JURNAL HUKUM DAN MASYARAKAT
ISSN 1693-2889
Volume 14 Nomor 1 Januari 2015
PELAKSANAAN MEDIASI DI PENGADILAN MENURUT PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI KELAS IA JAYAPURA1 Oleh: Tumian Lian Daya Purba, SH2 Abstrak
Kritik atas lambatnya penyelesaian sengketa melalui litigasi merupakan pernyataan umum dan sulit dihilangkan. oleh karena birokrasi sitem peradilan itu sendiri memang sangat potensial memperlambat penyelesaian sengketa. sehingga penumpuan perkara di pengadilan terus menerus terjadi. PERMA no. 2 Tahun 2003 tentang prosedur Mediasi Di Pengadilan Belum cukup mencapai tujuan yang diinginkan oleh pembuat peraturan. untuk itu keluarlah PERMA terbaru yaitu PERMA NO. 1 Tahun 2008tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. dalam PERMA tersebut tercantum ketentuan pasal 2 yang secara tegas mewajikan setiap perkara perdata melewati proses mediasi maka perkara tersebut batal demi hukum. Mediasi di pengadilan pasca dikeluarkannya PERMA NO. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur mediasi di Pengadilan berdasarkan data yang telah dihimpun, seoptimal mugkin diupayakan berjalan sesuai dengan ketentuan, namun hasilnya sangat tergantung pada para pihak itu sendiri. perkara yang berhasil mencapai perdamaian melalui mediasi di pengadilan masih sangat minimkarena sebagian besar dilanjutkan keproses sidang berikutnya. Minimnya ketersediaan data laporan perkara perdata yang diproses melalui mediasi perdasarkan PERMA NO. 1 Tahun 2008. hal ini menyulitkan untuk melihat jumlah perkara perdata dalam frekuensi waktu tertentu di suatu pengadilan. Kata Kunci : Penumpukan Perkara, Mediasi Di Pengadilan, PERMA No. 1 Tahun 2008. I. Pendahuluan Sudah menjadi rahasia umum, penumpukan perkara di lembaga peradilan masih terus terjadi. Hal ini karena semua perkara masuk ke pengadilan, sementara tekad untuk meyelesaikan perkara secara win-winsolution belum membudaya.3
1
Tumian Lian Daya Purba, Pelaksanaan Mediasi Di Pengadilan Menurut Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan Negeri Kelas Ia Jayapura, Tesis, Fakultas Hukum, Universitas Cenderawasih,Jayapura: UNCEN, 2013. 2 Dosen FH UNCEN, Email :
[email protected] 3 Yoshiro Kusano, Wakai Terobosan Baru Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Grafindo, 2008),hlm.7.
Hukum dan Masyarakat 2015
Jalur perdata khususnya di Indonesia, kurang disenangi orang karena berlarut-larutnya proses perdata di pengadilan. Hampir semua kasus perdata akhirnya diajukan pula ke pengadilan yang tertinggi untuk kasasi kerena selalu tidak pada puasnya para pihak yang kalah. Bahkan ada kecenderungan orang sengaja mengulur waktu dengan selalu mempergunakan upaya hukum, bahkan walaupun kurang beralasan dilanjutkan pula ke peninjauan kembali.4 Kritik atas lambatnya penyelesaian sengketa melalui litigasi merupakan pernyataan umum yang sulit dihilangkan. Oleh karena birokrasi dan formalistik dari sistem peradilan itu sendiri memang sangat potensial memperlambat penyelesaian sengketa. Keadaannya diperburuk lagi oleh sikap irrasional yang telah merasuki masyarakat pencari keadilan, menyebabkan segala upaya hukum yang dibenarkan Undang-Undang dimanfaatkan tanpa mempertimbangkan lagi apakah putusan yang dijatuhkan itu benar dan adil. Sementara itu di dalam hukum ada acara perdata yangmasih berlaku saat ini, tidak ada mengatur tentang pembatasan penggunaan upaya hukum tersebut.5 Akibat dari penumpukan perkara antara lain menambah waktu penyelesaian sengketa dan menambah biaya perkara. Penyakit kronis yang diderita dan menjangkiti semua badan peradilan dalam segala tingkat peradilan di seluruh dunia adalah penyelesaian sangat lambat atau buang waktu (waste of time), hal itu terjadi sebagai sistem pemeriksaanya sangat formalistis (very formalistic), juga sangat teknis (very technicial), sedangkan pada sisi lain, arus perkara semakin deras baik secara kuantitas dan kualitas, sehingga terjadi beban yang berlebihan (overloaded).6 Selain itu, umumnya kemampuan dan pengetahuan para hakim menghadapi berbagai kasus hanya bersifat generalis. Kualitas dan kemampuan profesionalisme mereka pada bidang tertentu sangat minim. Para hakim dianggap 4
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta:Sinar Grafika, 2005), hal.29. Runtung, Keberhasilan Dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif: Studi MengenaiMasyarakat Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe dan Brastagi, Disertasi, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, (Medan: USU, 2002), hlm. 53-54. 6 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 233. 5
2
Hukum dan Masyarakat 2015
hanya memiliki pengetahuan yang sangat terbatas dalam sengketa menyangkut bidang perbankan atau pasar modal. Mungkin juga tidak memahami sama sekali masalah asuransi, perkapalan dan perdagangan internasional, dan sebagainya. 7 Memperhatikan para hakim yang mempunyai kualitas dan kemampuan generalis,
sangat
diragukan
kemampuan
dan
kecakapan
mereka
menyelesaikansengketa secara tepat dan benar sesuai dengan asas-asas maupun doktrin dan paradigma yang berlaku pada sengketa tersebut.8 Hukum Acara Perdata Indonesia yaitu HIR dalam Pasal 130 dan Rbg Pasal 154 telah mengatur lembaga perdamaian, dimana hakim yang mengadili wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya diperiksa secara ajudikasi. Pasal 130 ayat (1) jo. Pasal 131 ayat (1) HIR, berbunyi sebagai berikut: Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka
pengadilan
negeri
dengan
pertolongan
ketua
mencoba
akan
memperdamaikan mereka.9 Selanjutnya ayat (2) mengatakan: Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menaati perjanjian yang dibuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.10 Untuk memberdayakan pasal tersebut pada tahun 2002 telah dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HR). SEMA ini sama sekali tidak berlaku secara efektif karena hanya akan memberikan peran kecil kepada hakim untuk mendamaikan pada suatu segi,
7
Ibid 8
Ibid R.Soesilo, RBG/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor: Politea, 1985), hlm. 88. 10 Ibid. Hal. 187. Lihat juga dalam K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm 15. 9
3
Hukum dan Masyarakat 2015
serta tidak memilikikewenangan penuh untuk memaksa para pihak melakukan penyelesaian terlebih dahulu melalui proses perdamaian.11 Belum lengkapnya SEMA No. 1 Tahun 2002 ditegaskan dalam konsideransi PERMA No. 2 Tahun 2003 huruf d yang berbunyi sebagai berikut: “Bahwa Surat Edaran No.1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pegadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 Rbg)
belum
lengkap, sehingga perlu disempurnakan.12 Penerbitan SEMA tersebut bertitik tolak dari satu hasil Rakernas Mahkamah Agung di Yogyakarta tanggal 24 sampai dengan 27 September 2001. Motivasi yang mendorongnya, untuk membatasi perkara kasasi secara substansif dan prosesual. Sebab apabila peradilan tingkat pertama mampu menyelesaikan perkara melalui perdamaian, akan berakibat turunnya jumlah perkara pada tingkat kasasi. Belakangan Mahkamah Agung menyadari SEMA itu sama sekali tidak berdaya dan tidak efektif sebagai landasan hukum mendamaikan para pihak.13 Mahkamah Agung dalam pertimbangannya pada PERMA No. 2 Tahun 2003 telah cukup tegas menyatakan bahwa SEMA No. 1 Tahun 2002 tidak berdaya dan tidak efektif dalam mencapai tujuan mengatasi penumpukan perkara. SEMA itu tidak jauh berbeda dengan ketentuan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg. Hanya memberi peran kecil kepada hakim untuk mendamaikan pada suatu segi,serta tidak memiliki kewenangan penuh untuk memaksa para pihak melakukan penyelesaian lebih dahulu melalui proses perdamaian. Itu sebabnya sejak berlakunya SEMA tersebut pada 1 Januari 2002, tidak tampak perubahan sistem dan prosesual penyelesaian perkara. Tetap berlangsung secara konvesional melalui prosoes litigasi biasa.14
11 12 13
M. Yahya Harahap, Op. Cit.,hlm. 242. Konsiderans PERMA No. 2 Tahun 2003 huruf d.
Ibid Ibid
14
4
Hukum dan Masyarakat 2015
Keberadaan SEMA tersebut dapatlah dikatakan merupakan wujud dari upaya positif dari Mahkamah Agung dalam mengurangi derasnya laju perkara dipengadilan yang pada akhirnya menyebabkan penumpukan perkara. Setahun lebih kemudian Mahkamah Agung menerbitkan PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Namun keberadaan PERMA ini tampaknya tidak juga mengurangi bertumpuknya perkara di Pengadilan sampai ketingkat kasasi di Mahkamah Agung. Banyaknya perkara kasasi maupun Peninjauan Kembali yang diajukan ke Mahkamah Agung disebabkan oleh sistem hukum yang berlaku sekarang ini tidak membatasi perkara apa saja yang dapat diajukan ke Mahkamah Agung. Perlunyadicarikan penyelesaian yang lebih mendasar yaitu mengurangi lajunya perkara-perkara yang diajukan di Mahkamah Agung atau dengan membatasi perkara-perkara yang tidak perlu disampaikan di Mahkamah Agung, antara lain dengan sedapat mungkin menyelesaikan perkara di pengadilan tingkat pertama atau tingkatbanding, dengan musyawarah melalui penyelesaian sengketa allternatif baik di luar pengadilan maupun di dalam pengadilan. 15 Salah satu alternatif dari penyelesaian sengketa adalah mediasi. Lembaga mediasi bukanlah suatu lembaga litigasi oleh karena itu pada mulanya Lembaga Mediasi berada di luar pengadilan. Sebenarnya masyarakat di Indonesia telah lama mengenal dan menerapkan penyelesaian sengketa secara damai. Mediasi bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia yang latar belakang budayanya berasaskan musyawarah mufakat. Mengapa harus mediasi yang dikembangkan di Indonesia?
Sekurang-
kurangnya ada dua alasan yang melandasi pemikiran dalam memilih mediasi sebagai bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang tepat untuk dikembangkan di Indonesia. Pertama, dalam masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat konsensus, cara penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga netral (mediasi) ini mempunyai basis sosial yang kuat, baik di pedesaan 15
H. Soeharto, “Mediasi dan Perdamaian”, Mahkamah Agung RI, 2002, hlm. 12.
5
Hukum dan Masyarakat 2015
(rural community) maupun perkotaan
(urban community). Hasil studi
perkembangan hukum di indonesia menyimpulkan bahwapenyelesaian sengketa alternatif telah digunakan oleh masyarakat
tradisional
di Indonesia
dalam
menyelesaikan sengketa di antara mereka. 16 Setiap lembaga sampai keluarga mempunyai kebiasaan (habits) dan kebutuhan membuat aturan, begitu juga ada kebutuhan umum mencari cara dan sarana guna menegakkan aturan itu, jika tidak, aturan itu tidak akan berarti sama sekali. Oleh karenanya tidaklah mengejutkan bahwa arbitrase dan proses semacamnya (termasuk mediasi) begitu meresap dalam masyarakat. 17 Muncul kebutuhan terhadap bagaimana menyelesaikan sengketa yang tidak dapat dipenuhi oleh pengadilan biasa, atau dapat dipenuhi dengan harga yang terlalu mahal. Bisa diumpamakan pengadilan formal bagaikan restoran mewah ditengah-tengah masyarakat yang juga membutuhkan pizza dan hamburger untuk makanan murah , cepat saji.18 PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan belum cukup mencapai tujuan yang diinginkan oleh pembuat peraturan.Sehingga diperlukan peraturan yang lebih lengkap.Belum cukupnya PERMA tersebut mengatasi penumpukan perkara berdasarkan penelitian sebelumnya. Bahwa sistematika dan materi dari PERMA No. 2 Tahun 2003 banyak yang tidak jelas sehingga menimbulkan penafsiran yang beraneka ragam dan menyulitkan penerapannya. Untuk itu keluarlah PERMA terbaru yaitu PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan. Dalam PERMA tersebut
tercantum
ketentuan Pasal 2 yang secara tegas mengharuskan setiap perkara perdata melewati proses mediasi dipengadilan apabila tidak melalui proses mediasi maka 16
Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum Sumatera Utara, (Medan: USU, 2006), hlm. 5 17 Lawrence Friedman, American Law An Introduction 2ndEdition, Penerjemah : Wisnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, ?(Jakarta: Tatanusa, 2001), hlm. 32 18
ibid 6
Hukum dan Masyarakat 2015
perkara tersebut batal demi hukum. Sebagaimana tercantum sebagai berikut „‟Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130 HIR dan atau pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Dimasukkannya redaksional Pasal tersebut di atas menunjukkan bahwa Mahkamah Agung memodifikasikannya kearah yang lebih bersifat memaksa (compulsory)19 PERMA No. 1 tahun 2008 membawa beberapa perubahan penting, bahkan menimbulkan implikasi hukum jika tidak di jalani. Misalnya, memungkinkan para pihak menempuh mediasi pada tingkat banding atau kasasi.Perubahan – perubahan itu penting dipahami oleh para hakim, penasihat hukum,advokat,pencari keadilan dan mereka yang berkecimpung sebagai mediator atau arbiter.20 Timbulnya
pertanyaan
apakah
bobot
pengabaian
tahap
proses
mendamaikan sedemikian rupa beratnya, sehingga berakibat pemeriksaan batal demi hukum? Pada dasarnya tahap proses mendamaikan dianggap sangat prinsipil. Alasanya sekiranya tidak prinsipil,tidak perlu diatur dalam pasal khusus.21 Persoalan ini sangat menarik untuk diteliti agar mengetahui sajauhmana pelaksanaan mediasi di pengadilan pasca keluarnya PERMA No. 1 Tahun 2008 yangbersifat memaksa para hakim untuk lebih menyelesaikan perkara dengan mediasi dibandingkan dengan memutus perkara melalui proses litigasi biasa. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah pelaksanaan mediasi di Pengadilan sudah diterapkan sesuai aturan PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan Negeri Kelas IA Jayapura ?
19
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 242
20
Toni Budidjaya, “Tanpa Mediasi Wajib, Putusan Hakim Bisa Batal demi Hukum”, http://www.cicods.org/upload/database/mediasi_database.pdf diakses 28 Juni 2009 21
M. Yahya Harahap. Op. Cit.,hlm. 240
7
Hukum dan Masyarakat 2015
II. Metode Penelitian Tipe atau jenis penelitian hukum yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum memiliki karakter tersendiri. Meskipun bersifat eksplanatoris, penelitian hukum bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam mengenai gejala hukum tertentu.22 Metode pendekatan yang digunakan pada penelitian ini melalui studi perundangundangan dan kasus. Menurut Soerjono Soekanto23, dalam penelitian hukum dikenal data primer dan data sekunder. Data primer atau data dasar adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka yang menurut kekuatan mengikatnya. III.
Tinjauan Pustaka
A. Kekuasaan kehakiman Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman memuat mengenai perdamaian yaitu Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut: (1)
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian. Ketentuan pasal 16 ayat (2) di atas menyatakan bahwa penyelesaian
perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui mediator tetap diperbolehkan. Tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.
22
Peter Mahmud, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 34-35. Diparafrasekan dari Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 51. 23
8
Hukum dan Masyarakat 2015
Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang tersebut diatas menyatakan “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Ratio ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 adalah bahwa masyarakat pencari keadilan tidak akan tertolong, apabila ditinggalkan denga perselisihan-perselisihan yang tidak terselesaikan, oleh karena Undang-Undang tidak mengatur, kurang jelas dan tidak lengkap. Maka tugas hakim adalah menyelesaikan tiap perkara meskipun bertentangan dengan UndangUndang atau Undang-Undang tinggal diam. Hakim wajib membuat penyelesaian yang diinginkan oleh masyarakat pencari keadilan itu, berdasarkan hokum yang ditemukan atau yang dibentuknya sendiri. Hubungannya dengan penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah penyelesaian perkara merupakan tugas hakim baik sebagai pemutus maupun sebagai mediator. Hakim harus menyelesaikan perkara dengan seoptimal mungkin, termasuk dengan cara perdamaian. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan: Peradilan dilakukan dnegan sederhana, cepat dan biaya ringan. Asas: “sederhana, cepat dan biaya ringan” merupakan asas yang tidak kalah pentingnya dengan asas-asas lainnya yang terdapat dalam UU No. 4 Tahun 2004.24 Usaha untuk memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum, telah dilakukan perubahan terhadap UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan pada tanggal 15 Januari 2004 UU No. 14 Tahun 1970 tantang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, telah dicabut 24
Soedikno, Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indoneisa, (Yogyakarta:Liberty, 1998), hlm. 36.
9
Hukum dan Masyarakat 2015
dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman25, dan karena Undang-Undang ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal tersebut tertuang pada Penjelasan Umum UU No. 48 Tahun 2009 menjelaskan alasan penggantian Undang-undang No. 4 Tahun 2004 ini karena belum mengatur secara komprehensif penyelenggaraan kekuasaan kehakiman seperti di atur dalam UUD 1945 dan adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU/2006 yang pada salah satu amarnya membatalkan Pasal 34 UU No. 4 Tahun 2004 dan membatalkan ketentuan pengawasan hakim menurut UU No. 22 Tahun 2004. B. Alternative Dispute Resolution (ADR) Klausula-klausula satu kontrak atau perjanjian, pada bagian penyelesaian sengketa selalu diikuti dengan kata-kata “Apabila di kemudian hari terjadi suatu sengketa atau perselisihan maka akan diselesaikan dengan cara musyawarah dan apabila tidak tercapai suatu kesepakatan akan diselesaikan dengan cara musyawarah dan apabila tidak tercapai suatu kesepakatan akan diselesaikan di Pengadilan Negeri”.26 Ketiga, sebagai upaya untuk mengimbangi meningkatnya daya kritis masyarakat yang dibarengi dengan tuntutan berperan secara aktif dalam proses pembangunan
(terutama
pengambilan
keputusan
terhadap
urusan-urusan
publik).27 Keempat adalah menumbuhkan iklim persaingan yang sehat bagi lembaga peradilan.28
25
Ni‟matul Huda, 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 246-247. 26 27
lbid
Runtung, Op. Cit., hlm. 18-19
28
lbid 10
Hukum dan Masyarakat 2015
Kehadiran mediasi sebagai bagian dari ADR secara keseluruhan, tidak lepas dari tidak efektifnya penyelesaian sengketa melalui proses irigasi di pengadilan dirasakan masyarakat pencari keadilan. Alternatif penyelesaian sengketa diatur dalam satu pasal, yakni pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa. Sengketa atau beda pendapat dalam bidang perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi. Apabila segketa tesebut tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikanmelalui bantuan seorang mediator. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasi juga mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi lembaga Alternatif Penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga Alternative Penyeesaian Sengketa, dalamwaktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator tersebut dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan daam bentuk tertulis yang ditanda tangani oleh keduabelah pihak yang terkait. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan dipengadilan dalam waktu paing lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat tersebut wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.
11
Hukum dan Masyarakat 2015
Tidak seperti arbiter atau hakim, seseorang mediator tidak membuat keputusan mengenai sengketa yang terjadi tetapi hanya membantu para pihak untuk mencapai tujuan mereka menemukan pemecahan masalah dengan hasil winwin solution.29 Tidak ada pihak yang kalah atau yang menang, semua sengketa diselesaikan dengan cara kekeluargaan, sehingga hasil keputusan mediasi tentunya
merupakan
consensus
kedua
belah
pihak.
Pemerintah
telah
mengakomodasi kebutuhan terhadap mediasi dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 1 tahun 2008 tentang Produser Mediasi di Pengadilan. Kecenderungan memilih Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resulation) oleh masyarakat dewasa ini didasarkan pada :30 1) Kurang percayanya pada system pengadialn saat yang sama kurang di pahaminya keuntungan atau kelebihan sistem arbitase disbanding pengadilan, sehingga masyarakat pelaku bisnis lebih mencari alternative lain dalam upayamenyelesaikan perbedaan-perbedaan pendapat atau sengketa-sengketa bisnisnya; 2) Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga arbitrase mulai menurun yang disebabkan banyaknya klausula-klausula arbitrase yang tidak berarti sendiri, melainkan mengikuti dengan klausula kemungkinan pengajuan sengketa kepengadilan jika putusan arbitrasenya tidak berhasil diselesaikan. Model yang dikembangkan oleh arternatif penyelesaian sengketa memang cukup ideal dalam hal konsep, namun dalam prakteknya juga tidak menutup kemungkinan terhadap kesulitan jika masing-masing pihak tidak ada kesepakatan yang dibuat oleh para pihak dengan perantara mediator tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Apabila jalur arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa tidak dapat menyelesaikan perselisihan, maka lembaga peradilan atau jalur litigasi adalah gawang terakhir sebagai putusan perkara. 29
Karnaen Perwataatmaja, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta : Predana Media, 2005) hal 292. 30 Suyud Margono, ADR dan Arbitrase, ProsesPelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hal 82.
12
Hukum dan Masyarakat 2015
1. Dasar Hukum Mediasi Di Pengadilan Pengaturan mengenai mediasi secara tertulis di Indonesia, awalnya terdapat di dalam hukum secara perdata yaitu Pasal 130 HIR/154 RBg yang mengatur tentang perdamaian di pengadilan. Hakim yang mengadili wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya dilanjutkan ke proses berikutnya. Adapun landasan formil mengenai integrasi mediasi dalam system peradilan adalah sebagai berikut: 1) SEMA No. 1 Tahun 2002 Ketentuan yang pertama kali mengatur tentang mediasi di pengadilan diatur dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA) RI No. 1 Tahun 2002. M. Yahya menjelaskan bahwa: SEMA No. 1 Tahun 2002 dikeluarkan pada tanggal 30 Januari 2002 yang berjudul Pemberdayaan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HR). Penerbitan SEMA tersebut bertitik tolak dari salah satu hasil Rakernas Mahkamah Agung (MA) di Yogyakarta tanggal 24 sd. 27 September 2001. Motivasi yang mendorongnya, untuk membatasi perkara kasasi secara substantive dan prosesual. Sebab apabila peradilan tingkat pertama mampu menyelesaikan perkara melalui perdamaian, akan berakibat turunnya jumlah perkara pada tingkat kasasi. 31 2) PERMA No. 2 Tahun 2003 Konsiderans PERMA No. 2 Tahun 2003 memuat beberapa alas an yang melatarbelakangi penerbitan PERMA menggantikan SEMA No. 1 Tahun 2002, antara lain mengatasi penumpukan perkara, pada huruf a konsiderans dikemukakan pemikiran perlu diciptakan suatu instrument efektif yang mampu mengatasi
31
M. Yahya Harahap, Op. Cit. hlm. 242
13
Hukum dan Masyarakat 2015
Kemungkinan penumpukan perkara di pengadilan, tentunya terutama di tingkat kasasi. Menurut PERMA ini instrument yang di anggap efektif adalah system mediasi, dan caranya dengan jalan pengintegrasian mediasi ke dalam system peradilan.32 Pasal 17 PERMA ini menegaskan “Bahwa dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung (MA) ini, Surat Edaran Mhkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/145RBG) dinyatakan tidak berlaku.” 3) PERMA No. 1 Tahun 2008 PERMA No. 1 Tahun 2008 terbit setelah melalui sebuah kajjian oleh tim yang dibentuk Mahkamah Agung . salah satu lembaga yang intens mengikuti kajian mediasi ini adalah Indonesia Institute For Conflict Transformation (IICT). Mulai tahun 2006 dibentuk suatau tim working group untuk meneliti hal-hal yang perlu disempurnakan. Produk akhirnya adalah PERMA No. 1 Tahun 2008. Working group ini terdiri dari beberapa pihak, mulai sektor kehakiman, Advokat, maupun organisasi yang selama ini concern terhadap mediasi yaitu IITC dan Pusat Mediasi Nasional (PMN).33 Konsiderans PERMA NO. 1 Tahun 2008 huruf e memuat sebagai berikut : Bahwa setalah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Prosedur Mediasi di Pengadilan berasarkan Peraturan Mahkamah Agung Indonesia No. 2 Tahun 2003 ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 perlu direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan.34 C. Prosedur Mediasi
32
Ibid Toni Budidjaya, Op. Cit 34 Konsideran PERMA No. 1 tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan huruf e
33
14
Hukum dan Masyarakat 2015
Dasar filosofi mediasi di luar pengadilan maupun mediasi di dalam pengadilan di Indonesia adalah Pancasila. Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dalam sila tersebut terdapat asas penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Pengaturan mengenai mediasi di luar pengadilan dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3), Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Proses ini dinilai lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yangmemuaskan atas sengketa yang dihadapi. Di samping itu institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi pengadilan dalam penyelesaian sengketa disamping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif). Definisi mediasi menurut pasal 1 angka 7 PERMA No. 1 Tahun 2008, Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Ada 4 (empat) Tahap Mediasi Di Pengadilan:35 1) Mediasi Awal Litigasi (chotei) 2) Mediasi Dalam Litigasi (wakai) 3) Mediasi dalam Tingkat Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali 4) Mediasi Di Luar Pengadilan (one day wakai) Ada 2 (dua) jenis mediasi yang dimaksud PERMA No. 1 Tahun 2008 yaitu:36 1) Mediasi di pengadilan, mediasi ini ada 2 (dua) tahap:
35
D.S. Dewi, “Implementasi PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan “, Makalah, (Pusdiklat MARI, 2010), hlm. 4 36 Firdaus Muhammad Arwan, “Cara Mudah memahami dan Melaksanakan perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengdilan”Pusdiklat MARI, 2010, hlm.3
15
Hukum dan Masyarakat 2015
a. Mediasi awal litigasi, yakni mediasi yang dilaksanakan sebelum pokok perkara diperiksa b. Mediasi selama litigasi, yakni mediasi yang dilaksanakn ketika pokok sengketa dalam tahap pemeriksaan. Mediasi ini terbagi 2 (dua): (1) Selama dalam pemeriksaan tingkat pertama (2) Selama pemeriksaan tingkat banding dan kasasi 2) Mediasi di luar pengadilan, yaitu mediasi yang dilaksanakan diluar pengadilan kemudian perdamaian yang terjadi dimohonkan ke pengadilan untuk dikuatkan dalam akte perdamaian. IV. Pembahasan A. Pelaksanaan Mediasi Di Pengadilan Negeri Kelas IA Jayapura. Jumlah perkara yang masuk kepengadilan Negeri Kelas IA Jayapura sepanjang Tahun 2009 ada 44 berkas perkara perdata semuanya diupayakan mengikuti prosedur mediasi sesuai dengan ketentuan PERMA No. 1 Tahun 2008. Perkara perdata yang berhasil mencapai kesepakatan damai melalui proses mediasi di Pengadilan Negeri Kelas IA Jayapura oleh mediator hakim berjumlah 1 (satu) perkara. Sebagian besar berkas berlanjut kembali ke proses persidangan berikutnya. Perkara perdata yang gagal menghasilkan perdamaian melalui mediasi menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 berjumlah 40 berkas. Dengan kata lain hampir semua perkara perdata sepanjang tahun 2009 di pengadilan Negeri Kelas IA Jayapura mengalami mediasi gagal karena tidak menemui kesepakatan damai melalui mediasi di Pengadilan. Adapun 4 (empat) berkas perkara perdata dari 44 berkas perkara, 1 (satu) menghasilkan perdamaian melalui mediasi di pengadilan dengan melibatkan pihak hakim sebagai mediator. 3 (tiga) perkara lainnya damai dengan melibatkan advokat atau kuasa hukum masing-masing sebagai mediator. Atas kesepakatan para pihak dibuatlah kesepakatan perdamaian baru kemudian dikuatkan dengan akta perdamaian kepada Ketua Majelis Hakim berupa Akta van dading/Akte 16
Hukum dan Masyarakat 2015
Perdamaian. Advokat yang menjadi mediator perkara yang bersangkutan tidak/belum memiliki serifikat sebagaimana ketentuan Pasal 5 Ayat (1). Pada asasnya setiap orang yang menjalankan fungsi mediator wajib memiliki sertifikat mediator.
Sertifikat Mediator adalah dokumen yang
menyatakan bahwa seorang yang telah mengikuti pelatihan dan pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang di akreditasi oleh Mahkamah Agung. Namun pada pelaksanaannya advokat yang menjalankan fungsi mediator tidak/belum bersertifikat. Hakim dipengadilan Negeri Kelas IA Jayapura sudah ada memiliki sertifikat mediator sebagaimana yang diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2008. Daftar mediator sudah ditemui di Pengadilan Kelas IA Jayapura. Namun ruang mediasi yang disediakan terkesan asal saja. Mediasi di Pengadilan Negeri Kelas IA Jayapura belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai prosedur yang ditentukan PERMA No. 1 Tahun 2008. Pelaksanaan mediasi tidak mencapai target. Berdasarkan wawancara dengan hakim Penadilan Negeri Kelas IA Jayapura, peran hakim yang ditunjuk sebagai mediator sangat besar dalam pelaksanaan mediasi di pengadilan. Hakim harus mengupayakan tercapainya perdamaian diantara kedua belah pihak yang berperkara. Hakim semestinya melakukan pendekatan psikologis terhadap para pihak yang berperkara sehingga upaya mendamaikan dapat dioptimalkan. Namun pada praktiknya sangat sulit diimplementasikan mengingat semua keputusan terpulang kembali kepada para pihak. Mediator hakim hanya menjembatani jalannya mediasi. Ada dua sisi yang menyertai dalam pelaksanaan mediasi di Pengadilan Negeri Kelas IA Jayapura, di satu sisi jika mediasi oleh hakim mediator berhasil mencapai kesepakatan, maka pengurangan perkara yang lanjut melalui litigasi akan efektif, berarti tujuan mediasi dapat tercapai. Disisi lain pada kenyataannya mediasi ini menambah lama waktu penyelesaian dari suatu perkara.
17
Hukum dan Masyarakat 2015
Mediasi di pengadilan Negeri Kelas IA Jayapura tidak semata-mata formalitas belaka. Hal ini sangat dipengaruhi oleh keaktifan mediator hakim dalam mengupayakan perdamaian kedua belah pihak meski hasil mediasinya dikembalikan lagi kepada para pihak dan kuasa hukumnya. Ada juga mediator hakim yag tidak aktif mengupayakan tercapainya target mediasi ini. Tidak ada alasan hukum untuk mengatakan bahwa pelaksanaan mediasi di pengadilan merupakan proses yang sifatnya formalitas belaka. Hal ini dikarenakan mediasi merupakan aturan yang wajib dilaksanakan. Tercapainya kesepakatan damai oleh para pihak tidak terlepas dari etikad baik dari para pihak yang berperkara itu sendiri. Jika para pihak mau sedikit menurunkan egoismenya, gengsi dan kekerasan hatinya, maka konsensus antara kedua belah pihak dapat dicapai. Perkara perdata yang berhasil mencapai kesepakatan melalui mediasi di pengadilan negeri binjai dengan hakim sebagai mediatornya ditemui sebanyak 1 (satu) perkara. Deskripsi perkara perdata yang berhasil mencapai kesepakatan damai melalui mediasi oleh hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Jayapura adalah sebagai berikut: Akta Perdamaian untuk perkara perdata No.21/Pdt.G/2009/PN.JPR. Duduk perkara adalah bahwa antara Penggugat Ny. Siti Aman Aminah, bertempat tinggal di Jl. Tuar Tuberi Kel. VIM Kec, Abepura, mengajukan gugatan terhadap Tergugat I,Ny. Hj. Ratna yani, bertempat tinggal di. Jl. Raya Sentani Abepura, Kel. Heram Kec. Abepura, Kota Jayapura, dan Tergugat II, Tn. M. Irfan Tan, bertempat tinggal di Jl. Raya Sentani Abepura, Kel. Heram Kec. Abepura, Kota Jayapura, yang di dampingi oleh Kuasa Hukumnya James Simanjuntak. Posita gugatannya menyatakan penggugat menggugat tergugat I dan Tergugat II karena tidak mengakui bahwa suami Tergugat I dan Ayah dari Tergugat II telah menerima uang titipan dari penggugat sejumlah Rp. 135.800.000, -(seratus tiga puluh lima juta delapan ratus ribu rupiah) dan para Tergugat tidak mau mengembalikan uang titipan tersebut kepada
pihak
penggugat 18
Hukum dan Masyarakat 2015
Setelah surat gugatan tersebut masuk ke Pengadilan Negeri Kelas IA Jayapura dan telah dilakukannya penetapan Ketua Pengadilan Negeri Kelas IA Jayapura Tentang penunjukan Majelis Hakim, Ketua Majelis Hakim nama mediator untuk menangani proses mediasi paling lama 40 (empat puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penetapan. Adanya mediasi di pengadilan masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali.karena meskipun jumlah perkara yang berhasil diselesaikan lewat mediasi masih minim tetapi tetaplah berarti untuk mengurangi penumpukan perkara di pengadilan. Namun hendaklah mediasi tidak menjadi bagian dari persyaratan saja karena konsep awal mediasi adalah dengan kesukarelaan para pihak.Mediasi tidak bisa dipaksakan wajib dijalani oleh para pihak sehingga seringkali sifatnya mengarah pada formalitas saja.Mediator harus punya kesungguhan dan semangat dalam menjalankan fungsinya demi tercapainya kesepakatan yang diharapkan bersama. Mediator pada perkara ini dikategorikan ke dalam tipe mediator otoritatif yaitu hakim berasal dari intitusi pengadilan negeri binjai dan memiliki kapasitas mengarahkan hasil perundingan. 1. Pihak Yang Meminta Mediasi Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008, pada Pasal 7 ayat (1) menyebutkan “Pada hari sidang yang ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan kedua belah pihak untuk menempuh mediasi. Pasal tersebut diatas menegaskan bahwa Hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Dapat diketahui bahwa pihak yang meminta mediasi adalah pihak hakim yang menanggani perkara perdata. Kemudian pada ayat (3) dinyatakan bahwa “ Hakim melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.
19
Hukum dan Masyarakat 2015
Hal ini semakin memperjelas bahwa pihak yang meminta mediasi adalah hakim yag menanggani perkara tersebut. Jik dibandingkan dengan PERMA No. 2 Tahun 2003, peran aktif seorang hakim dalam meminta pelaksanaan mediasi pada suatu perkara kurang tegas di PERMA tersebut. Pada Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003 berbunyi “ pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan kedua belah pihak ang berperkara agar lebih dahulu menempuh mediasi.” Pada kasus diatas hakim yang meminta mediasi tesebut kepada para pihak. Hal ini lebih kepada ketaatan haim kepada PERMA No. 1 Tahun 2008 karena tdak ada alasan hukum untuk tidak melaksanakan mediasi bagi setiap perkara perdata. Hal ini adalah pedoman kerja hakim dalam menyelesaikan perkara yang di keluarkan Mahkamah Agung untuk mengurangi penumpukan perkara, dan lebih bersifat memaksa. 2. Mediator Yang Menanggani Perkara Berdasarkan konsepsional tulisan ini, mediator adalah pihak netral yamg membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Mediator memimpin dan mengarahkan pertemuan perundingan sesuai agenda, selalu mengingatkan bahwa para pihaklah yang mencari penyelesaian bukan mediator. Mediator hanya membantu para pihak menyelesaikan perkaranya dan menentukan siapa yang berbicara terlebih dahulu dan siapa kemudian.37 Mediator
harus
mempunyai
kemampuan
mentransfer
ketrampilan
perundingan kepada para pihak melalui saran dan nasehat tenteng perundingan intersetbased. Mediator menekankan adanya kesamaan kepentingan para pihak 37
Wiwiek Awiati, “Keterampilan Dan Teknik Mediator”, Pusdiklat MARI, April 2010,
hlm 3-18.
20
Hukum dan Masyarakat 2015
membantu para pihak melakukan brainstorming mendorong masing-masing pihak untuk mengusulkan bentuk penyelesaian masalah tanpa diinterupsi oleh evaluasi pihak lain: setelah masing-masing pihak menyampaikan usulannya, mediator membantu para pihak dalam mengevaluasi berbagai usulan dengan mengacu padadesirability, practicability dan biaya tiap usulan.38 Pengungkapan emosi tidak dilarang tetapi perlu dikontrol. Mediator harus mampu menahan emosinya sendiri ketika menghadapai emosi salah satu pihak. Dalam mengatasi emosi yang moderat, moderator mendengarkan saja, kemudian secara perlahan dialihkan. Mediator mengingatkan pihak yang emosi pada permasalahan yang perlu diatasi. 39 Mengatasi emosi yang autoritatif dengan mengidentifikasi pengungkapan emosi yang tidak wajar, mengingatkan pada aturan perundingan, mengingatkan pihak yang emosi dengan komitmen pada proses penyelesaian. Mengatasi emosi yang tinggi atau kuat dengan menskorsing pertemuan untuk istrahat sejenak, pertemuan terpisah (kaukus).40 Sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) manfaat penting yang diperoleh dari para informan tersebut, yaitu: pertama, sebagai penghubung antara peneliti dengan informasi utama, kedua untuk mengetahui bagaimana persepsi mereka mengenai mediasi di pengadilan. Ketiga, bagaimana peran mediator dalam menuntun dan mengarahkan
warga
masyarakat
yang
berperkara
untuk
menyelesaikan
sengketanya melalui mediasi di pengadilan. V.Penutup Mediasi di pengadilan menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan berdasarkan data yang telah dihimpun, seoptimal mungkin diupayakan berjalan sesuai ketentuan, namun hasilnya sangat tergantung kepada para pihak itu sendiri. Peran yang berhasil mencapai perdamaian melalui mediasi di pengadilan masih sangat minim karena sebagian besar dilanjutkan ke proses 38
Ibid. Ibid. 40 Ibid. 39
21
Hukum dan Masyarakat 2015
sidang berikutnya. Dalam hal prosedur mediasi tetap dijalankan sesuai ketentuan PERMA No. 1 tahun 2008, masalah berhasil atau tidak mencapai perdamaian tidak bisa dipaksakan dalam mencapainya. Hal ini tidak lepas dari itikad para pihak yang biasanya datang dari pengadilan ketika perkaranya sudah tidak bisa diselesaikan lagi secara damai di luar pengadilan.
Daftar Pustaka
Arwan, Firdaus Muhammad, “Cara Mudah memahami dan Melaksanakan perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengdilan”Pusdiklat MARI, 2010. Awiatik, Wiwiek, “Keterampilan Dan Teknik Mediator”, Pusdiklat MARI, April 2010. Friedman, Lawrence, American Law An Introduction 2ndEdition, Penerjemah : Wisnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Jakarta: Tatanusa, 2001. Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Hamzah, Andi, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta:Sinar Grafika, 2005. Huda, Ni‟matul, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Pers, Jakarta, 2008. Karnaen Perwataatmaja, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta : Predana Media, 2005 Kusano, Yoshiro, Wakai Terobosan Baru Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Grafindo, 2008. Mahmud, Peter, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Kencana, 2008. Margono,Suyud, ADR dan Arbitrase, ProsesPelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000. Runtung, Keberhasilan Dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif: Studi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe dan
22
Hukum dan Masyarakat 2015
Brastagi, Disertasi, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan: USU, 2002. Soedikno, Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indoneisa, Yogyakarta:Liberty, 1998. Soeharto, H., “Mediasi dan Perdamaian”, Mahkamah Agung RI, 2002. Soesilo, R., RBG/HIR Dengan Penjelasan, Bogor: Politea, 1985. Dewi, D.S, “Implementasi PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan “, Makalah, (Pusdiklat MARI, 2010) Konsideran PERMA No. 1 tahun 2002 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Konsideran PERMA No. 2 tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Konsideran PERMA No. 1 tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Budidjaya Toni, “Tanpa Mediasi Wajib, Putusan Hakim Bisa Batal demi Hukum”,http://www.cicods.org/upload/database/mediasi_database.pdf diakses 28 Juni 2009.
23