JURNAL HUKUM DAN MASYARAKAT ISSN 1693-2889 Volume 13 Nomor 2 April 2014 AKULTURASI HUKUM CERMIN PLURALISME HUKUM (Perspektif Antropologi Hukum) Oleh : Frans Reumi 1 ABSTRAK Pada hakikatnya “akulturasi hukum” menurut Norbert Roulandmerupakan bentuk pendekatan kemutakhiran dibidang Antropologi Hukum dalam memprotet fenomenafenomena sosial budaya dan hukum suatu masyarakat dan negara yang tertutup sifatnya dalam mempertahankan peradabannya dari dunia luar, dan atau sebaliknya sampai pada masyarakat tersebut membuka diri dengan dunia luar. Hal ini diperkuat M.B. Hooker menjelaskan “awal timbulnya pluralisme” pada suatu masyarakat dan negara akibat kontak antara masyarakat dan negara dengan dunia luar atau negara Barat, yaitu melalui : 1) masuknya hukum kolonial sebagai pranata, 2) Adanya penduduk pribumi diperlakukan klasklas tidak wajar, 3) negara-negara bekas kolonial ingin mengikuti hukum Barat agar memberi harapan bagi kemakmuran, 4) sistem hukum tradisional dihapuskan oleh sistem hukum baru yang didasarkan pada ideologi tertentu, di Indonesia misalnya : secara langsung maupun tidak langsung memberi dampak proses terjadinya “pluralisme hukum”, berawal dari penerapan hukum oleh penjajah (kolonial) Belanda di Indonesia, ketika pembagian tiga golongan masing-masing tunduk pada sistem hukum yang berlainan, yaitu 1) golongan Eropa, 2) Golongan Timur Asing, 3) golongan Bumi Putra. Sedangkan Griffiths bagi masyarakat yang hetoregenisitas sosialnya dihadapkan dengan berbagai aturan normatif yang sifatnya otonom dan semi otonom mencerminkan situasi pluralisme hukum. Didukung Sally F. Moore dengan konsep semi autonomous social field (lapangan sosial semi otonomis) dipedomani dalam tugas kedinasan maupun non kedinasan mencerminkan pula pluralisme hukum. Kemudian Werner Menski dengan teori “Triangular Concept of Legal Pluralism” (konsep segi tiga pluralisme hukum) meliputi : Eropa, Asia dan Afrika dalam konteks historis dan politis dari awal masa silam sampai sekarang, menunjukan pada era globalisasi “pluralisme hukum” mewarnai berbagai lapangan hukum di setiap negaranegara merdeka tanpa batas terhadap sistem hukum yang dianutnya, tidak lagi negara satu dengan negara lain mengkleim dirinya dari sistem hukum lain yang masuk hidup berdampingan dan berinteraksi saling melengkapi menuju “unifikasi sistem transformasi hukum global”. Seperti kehadiran hukum internasional terlihat sekali pengaruhnya terhadap hukum nasional, hukum agama (hukum Islam) dan hukum lokal (hukum adat) sebagai hukum yang hidup (the living law)Eugen Ehrlich, dalam menghadapi budaya dan hukum global. 1
Dosen dan Peneliti Utama pada Fakultas Hukum UNCEN Jayapura 2014.
Hukum dan Masyarakat 2014
A. Pendahuluan Makna “pluralisme hukum” dalam perbandingan hukum
global dewasa ini,
memberikanbanyak rujukan normatif maupun empiris tentang pengambilalihan suatu hukum oleh hukum lainnya bagi negara-negara merdeka terutama sistem hukum Eropa ke dalam sistem hukum negara-negara merdeka di Asia dan Afrika, sebagaimana teori Werner Menski2 (2012) yang dikenal dengan “Triangular Concept of Legal Pluralism” (konsep segi tiga pluralisme hukum) dalam konteks historis dan politis dari awal masa silam sampai sekarang. Kajian Antropologi Hukum memperhatikan fenomena-fenomena peralihan sistem hukum yang lebih luas dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern dengan menggunakan pendekatan atau pengertian “akulturasi hukum”. Artinya akulturasi hukum itu dapat didefinisi sebagai “transformasi hukum global” yang dialami oleh suatu sistem hukum bila berhubungan dengan sistem hukum lain” pada negara merdeka. Sehingga hal ini merupakan suatu proses yang meliputi pelaksanaan sarana-sarana paksaan dalam suatu negara yang sifat dan tingkatnya bermacam-macam dan yang mampu memenuhi kebutuhankebutuhan tertentu masyarakat yang mengalami transformasi global yang dimaksud. Transformasi hukum global tersebut dapat bersifat unilateral (salah satu hukum berubah atau bahkan ditindas) atau bersifat timbal balik (masing-masing hukum itu dimodifikasi karena bersentuhan dengan hukum lainnya) dalam arena sosial atau masyarakat. Jadi, fenomena hukum senantiasa telah menarik perhatian para pengacara, aparat penegakan hukum, tetapi hanya sedikit diantara mereka yang berminant pada efektivitas peralihan-peralihan semacam itu jika berkaitan dengan hukum-hukum tradisional yang dipedomani sebagai hukum yang hidup (living law) sebagaimana teori Eugen Ehrlich dalam bukunya “Grundlegung der Soziologie des Recht (1936) yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Walter L. Moll dengan judul “Fundamental Principles of the Sociology of Law”. Artinya teori Eugen Ehrlichmenekan pada “penghormatan terhadap kehidupan, kekebebasan, dan milik setiap orang bukan hanya norma untuk keputusan dan kebijakan negara, tetapi telah benar-benar menjadi prinsip hukum yang hidup (living law)”. Oleh karena mengingat perbedaan2
Werner Menski, Comparative Law in a Global Context: Sistem Eropa, Asia, dan Afrika, (UK Cambridge University Press, 2008), Penerjemah M. Khozin, Penyunting Nurainun Mangunsong “Perbandingan Hukum Dalam Konteks Global : Sistem Eropa, Asia dan Afrika”, Nusamedia, Bandung, 2008, hlm. 113, 116-117.
86
Hukum dan Masyarakat 2014 perbedaan yang ada antara hukum tradisional dan modern, maka akulturasi hukum sering terjadi bersamaan dengan dekulturasi hukum 3. Kemudian untuk setiap sistem hukum menjadi rujukan pada suatu budaya tertentu, dan apabila beberapa budaya yang sangat berlainan saling berhubungan maka pengalihan hukum satu dengan hukum yan lainnya bercorak akulturasi hukum menuntut suatu transformasi hukum dan atau pelepasan nilainilai yang menjadi dasar sistem hukum. 4 Misalnya : 1) mengindentifikasi akulturasi hukum dan penjajahan dengan sistem hukum civil law dan sistem hukum common law; 2) pluralisme hukum terhadap akulturasi hukum di Asia, Afrika, dan Amerika Latien dengan hukum tradisional (hukum adat/hukum lokal/hukum rakyat); 3) perubahan-perubahan sistem hukum yang disebabkan oleh akulturasi hukum dan dekulturasi hukum disebabkan oleh impor sisten hukum civil law dan common law. Adanya akulturasi hukum dan dekulturasi hukum sebagaimana deskripsi di atas, maka secara langsung maupun tidak langsung dapat mencerminkan adanya pluralisme hukum (legal pluralism) yang telah timbul sebagai salah satu tema penting dalam bidang kajian antropologi hukum5, hukum tata negara, hukum pidana, hukum perdata dan hukum adat sebagai bagian dari penerapan sistem hukum barat oleh kolonial (penjajah) yang direduksi menjadi sistem hukum nasional di setiap negara-negara baru merdeka termasuk Indonesia. B. Awal Terjadinya Pluralisme Hukum Adanya akulturasi hukum dan dekulturasi hukummemberi dampak terhadap “awal timbulanya pluralisme hukum” dalam suatu masyarakat dan negara, sebagaimana dijelaskan oleh M.B. Hooker6, melalui : 1) masuknya hukum kolonial sebagai pranata, 2) adanya penduduk pribumi diperlakukan sebagai klas-klas yang tidak sewajarnya yaitu klas bawah, 3) memang negara-negara bekas kolonial ingin mengikuti hukum Barat agar memberi 3
baru.
Dekulturasi hukum adalah kebudayaan dan hukum lama hilang digantikan oleh kebudayaan dan hukum
4
Norbert Rouland., L’ Anthropologie Juridiqie, diterjemahkan oleh Paul W Suleman “ Antropologi Hukum. FH. Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1992, hlm. 69-70. 5 Ibid. hlm. 75. 6 Frans Reumi, DIKTAT Antropologi Hukum Fakultas Hukum UNCEN, 2011/2012, hlm. 42
87
Hukum dan Masyarakat 2014 harapan bagi kemakmurannya; dan 4) sistem hukum tradisional dihapuskan oleh sistem hukum baru yang didasarkan pada ideologi tertentu. Misalnya di Indonesia dengan akulturasi hukum mencerminkan proses terjadinya pluralisme hukum berawal dari penerapan hukum secara normatif maupun empiris pada masa kolonial Belanda dahulu ketika penduduk Indonesia dijajah dengan klasifikasi penerapan beberapa sistem hukumyang digolongankan menjadi tiga (3) golongan, masing-masing tunduk pada sistem hukum yang berlainan, yaitu 1) golongan Eropa, 2) golongan Timur Asing, dan 3) golongan Bumi Putra.7 Pemahaman fungsi akulturasi hukum dan pluralisme hukum (legal pluralism) dikaji secara historis dalam politik hukum dengan melihat kenyataan bahwa timbulnya pluralisme hukum sebagai jawaban terhadap sentralisme hukum, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa hukum adalah dan seharusnya merupakan hukum negara yang berlaku seragam untuk semua orang, berdiri sendiri dan terpisah dari semua hukum lain serta dijalankan oleh lembaga-lembaga negara, tanpa memikirkan keragaman sistem hukum lain yang hidup berdampingan dan berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. MenurutGriffiths, pluralisme hukum dan sentralisme hukummerupakan dua kutub yang secara tegas saling berhadapan.8 Untuk konsepsi pluralisme hukum menurutnya adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial. Kemudian lebih luas Griffiths membagi pluralisme hukum atau kemajemukan hukum menjadi dua yaitu weak legal pluralism (pluralisme hukum yang lemah) dan strong legal pluralism (pluralisme hukum yang kuat). Pluralisme hukum yang lemah mengandung makna bahwa suatu pluralisme hukum yang berusaha melakukan penggabungan atau perujukan antara hukum adat dengan hukum negara. Pengertian pluralisme hukum yang kuat, yaitu adanya berbagai hukum yang berlaku di dalam lapangan sosial tertentu tanpa harus merujuk kepada hukum negara.9 Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa di lapangan hukum : bidang
hukum
pertanahan, hukum perkawinan, hukum waris, hukum pidana, dan hukum tata negara 7 8
9
Ibid. 43. Griffiths “Wahat is Legal Pluralism”, Journal of Legal Pluralism, 1986, hlm. 24-25.
Frans Reumi 2011/2012, Lop Cit, hlm. 43.
88
Hukum dan Masyarakat 2014 terdapat beberapa aturan atau hukum yang berlaku seperti hukum negara (state law) dan hukum lokal (folk law). Maka timbul pertanyaan bahwa bagaimanakah kedua sistem hukum tersebut beroperasi atau bekerja di dalam kenyataan sehari-hari terhadap bidang hukum masing-masing, serta bagaimana pula implikasi teoritis dan praktis dari saling pengaruh (interaksi) lebih dari satu sistem hukum tersebut dalam tingkat penyelesaian sengketa kasuskasus hukum di dalam berbagai lapangan hukum.Kemudian menurut T.O. Ihromi, tidak melihat pada kedua paham itu (state law and folk law) sebagai dua kutub yang berhadapan karena realitas sosial menunjukkan bahwa sistem hukum bekerja dalam arena sosial, terjadi interaksi yang tidak dapat dihindari antara hukum negara (slate law) dengan berbagai hukum lain. Meskipun situasi pluralisme hukumsecara potensial memang merupakan potensi konflikantara sistem hukum yang saling berbeda bentuk, struktur, isi, fungsi, politik dan efektivitasnya, namun bukan berarti selalu memunculkan konflik karena ada juga saling pengaruh dan adaptasi dalam kehidupan sosial. Sedangkan M.B. Hooker, mengemukakan bahwa pluralisme hukum (legal pluralism) itu adalah "situasi dimana dua atau lebih sistem hukum yang berlaku berdampingan dan saling berinteraksi dan atau saling mempengaruhi. Oleh karena itu, menurut Hooker proses terjadi pluralisme hukum ada apabila terjadi ”kontak”masyarakat lokal (masyarakat adat) dengan dunia luar. Berkenaan dengan pandangan Griffiths dan Hooker, sama-sama mengemukakan satu unsur pokok dalam pengertian pluralisme hukum (legal pluralism), yaitu bahwa pluralisme itu ditandai oleh ”adanya situasi dimana didalam satu masyarakat terdapat dua atau lebih sistem hukum dapat dijadikan pegangan dalam menghadapi konflik sistem hukum dan atau sengketa-sengketa oleh warga masyarakat yang bersangkutan”. Di bagian lain konsep pluralisme hukum oleh Sally F. Moore dengan wujud nyata dari konsep semi autonomous social field (lapangan sosial semi otonomis) artinya kemampuan untuk menciptakan aturan-aturan yang berlaku dalam lingkungan sendiri, mendorong bahkan memaksa, warganya agar mentaati aturan tersebut.10 Paksaan yang dimaksud dapat berupa sanksi yang bersifat ekonomi atau psikologi. Bahkan Griffiths11, menambahkan bahwa 10
Frans Reumi, Pendekatan Pluralisme Hukum dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat; dalam Jurnal Hukum dan Masyarakat, FH. UNCEN, Jayapura, 2008, hlm. 16-17. 11
Griffiths, 1986, Op Cit. hlm. 28-29.
89
Hukum dan Masyarakat 2014 aturan, adat, simbol yang diciptakan sendiri rentan terhadap aturan-aturan, keputusankeputusan dan kekuatan dari luar yang lebih besar di sekelilinginya dalam kehidupan sosial (masyarakat). Secara historis pada pertengahan abad ke-19 keanekaragaman sistem hukum yang dianut oleh masyarakat di berbagai belahan dunia ini ditanggapi sebagai gejala evolusi hukum, maka pada abad ke-20 keanekaragaman tersebut ditanggapi sebagai gejala pluralisme hukum. Kebutuhan untuk menjelaskan gejala ini muncul terutama ketika banyak negara memerdekakan diri dari penjajahan, dan meninggalkan sistem hukum Eropa Kontinental (civil law)di negara-negara Eropa Daratan. Sudah banyak konsep dan atribut mengenai pluralisme hukum yang diajukan oleh para ahli. Para pluralist pada masa permulaan (tahun 1970-an) mengajukan konsep pluralisme hukum yang meskipun agak bervariasi, namun pada dasarnya mengacu pada adanya lebih dari satu sistem hukum yang secara bersama-sama berada dalam lapangan sosial yang sama. Dalam arena akulturasi hukum mencerminkan adanya pluralisme hukum itu terdapat hukum negara di satu sisi, dan di sisi lain adalah hukum rakyat yang pada prinsipnya tidak berasal dari negara, yang terdiri dari hukum adat, agama, kebiasaan-kebiasaan atau konvensikonvensi sosial lain yang dipandang sebagai hukum. Namun dalam era globalisasi seperti sekarang, perlu diperhitungkan hadirnya hukum internasional dalam arena pluralisme hukum. Dalam kenyataan empirik, khususnya dalam bidang perekonomian (perdagangan), telekomunikasi, dan bidang hak asasi manusia, kehadiran hukum internasional terlihat sekali pengaruhnya terhadap hukum nasional, hukum agama (terutama hukum Islam) dan hukum lokal (hukum adat/hukum rakyat) sebagai hukum yang hidup (living law). Pandangan pluralisme hukum dapat menjelaskan bagaimanakah hukum yang beranekaragam secara bersama-sama mengatur suatu kasus hukum (perkara). Bagi kebanyakan sarjana hukum, kenyataan adanya sistem hukum lain di samping hukum negara masih sulit diterima. Padahal dalam kenyataan sehari-hari tidak dapat dipungkiri terdapat sistem-sistem hukum lain di luar hukum negara (state law). Melalui pandangan pluralisme hukum, dapat diamati bagaimanakah semua sistem hukum tersebut ”beroperasi” bersamasama dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, dalam konteks apa orang memilih (gabungan) 90
Hukum dan Masyarakat 2014 aturan hukum tertentu, dan dalam konteks apa ia memilih aturan dan sistem peradilan yang lain. Pandangan lain yang dikategorikan sebagai pluralisme hukum yang kuat menurut Griffith adalah teori dari Sally Falk Moore mengenai pembentukan aturan dengan disertai kekuatan pemaksa di dalam kelompok-kelompok sosial yang diberi label the semiautonomous social field. Dalam hal ini Griffith mengadopsi pengertian pluralisme hukum dari Moore:12 ”Legal pluralism refers to the normative heterogeneity attendant upon the fact that social action always takes place in a context of multiple, overlapping ’ semi-autonomous social field” . Sementara itu pengertian hukum dari Moore yang juga dikutipnya adalah ”Law is the self-regulation of a’semi-autonomous social field”. Kemudian berkembang konsep pluralisme hukum yang tidak lagi menonjolkan dikotomi antara sistem hukum negara di satu sisi dan sistem hukum rakyat di sisi yang lain. Pada tahap ini konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada ”a variety of interacting, competing normative orders–each mutually influencing the emergence and operation of each other’s rules, processes and institutions” (Kleinhans dan MacDonald)13. Sedangkan Franz von Benda-Beckmann adalah salah satu ahli yang dapat digolongkan ke dalam tahap perkembangan ini. Ia mengatakan bahwa tidak cukup untuk sekedar menunjukkan bahwa di lapangan sosial tertentu terdapat keanekaragaman hukum. Namun yang lebih penting adalah apakah yang terkandung dalam keanekaragaman hukum tersebut, bagaimanakah sistemsistem hukum tersebut saling berinteraksi (mempengaruhi) satu sama lain, dan bagaimanakah keberadaan dari sistem-sistem hukum yang beragam itu secara bersama-sama dalam suatu lapangan kajian tertentu.14 Pada tahap perkembangan ini (akhir 1990-an) terdapat variasi pandangan, yang ditunjukkan oleh adanya konsep pluralisme hukum yang tidak didasarkan pada mapping yang kita buat sendiri, tetapi melihatnya pada tataran individu yang menjadi subjek dari pluralisme hukum tersebut. Pemikiran pluralisme hukum baru terakhir sampai tahun 2002, menunjukkan adanya perkembangan baru, yaitu memberi perhatian kepada terjadinya saling ketergantungan atau 12
Frans Reumi, 2008, Op Cit, hlm. 18.
13
Kleinhans dan MacDonald, 1997. Hlm. 31 dalam Frans Reumi, 2008, Op Cit, hlm. 19. Franz von Benda-Beckmann, 1990:2 dalam Frans Reumi, Op Cit, hlm.20
14
91
Hukum dan Masyarakat 2014 saling
pengaruh
(interdependencies,
interfaces)
antara
berbagai
sistem
hukum.
Interdependensi yang dimaksud terutama adalah antara hukum internasional, hukum nasional, dan hukum lokal (adat). Kajian-kajian yang berkembang dalam antropologi hukum baru, mulai melihat bagaimakah kebijakan dan kesepakatan-kesepakatan internasional memberi pengaruh atau bersinggungan dengan sistem hukum dan kebijakan di tingkat nasional, dan selanjutnya memberi imbas kepada sistem hukum dan kebijakan di tingkat daerah bahkan lokal (adat). Fungsi pluralisme hukum dibedakan antara pluralisme sistem hukum dan pluralisme kaidah hukum. Oleh karena selain adanya sistem hukum barat yang diadopsi kedalam sistem hukum nasional yang berlaku saat ini merupakan salah satu warisan kolonial yang harus di tata secara substansi, struktur dan kultur. Sehingga perlu ada kajian penataan kembali berbagai sistem hukum tanpa menyampingkan berbagai sistem hukum, terutama sistem hukum yang hidup dan eksis sebagai kenyataan yang dipertahankan dalam kehidupan masyarakat. Pembangunan sistem hukum adalah upaya mengintegrasikan berbagai sistem hukum sehingga tersusun dalam suatu tatanan sistem hukum yang harmonis bagi negara dan warga negaranya. Perkembangan pemikiran pluralisme hukum menunjukkan adanya perkembangan baru, yaitu memberi perhatian kepada terjadinya saling ketergantungan atau saling pengaruh (interdependencies, interfaces) antara berbagai sistem hukum. Interdependensi yang dimaksud terutama adalah hukum internasional, nasional, dan hukum lokal (adat). Kajiankajian yang berkembang dalam bidang hukum pidana, hukum perdata, hukum tata negara, hukum adat, filssafat hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum, sosiologi hukum, dan antropologi hukum, baru mulai terlihat bagaimanakah kebijakan privat maupun publik dan kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan oleh negara maupun masyarakat hukum adat atau para pihak yang berperkara memberi pengaruh atau bersinggungan dengan sistem hukum yang selanjutnya memberi imbas kepada sistem hukum dan kebijakan di tingkat nasional dan lokal masyarakat hukum adat. Kajian perkembangan pluralisme hukum bukan saja dipahami sebagai beberapa sistem hukum yang berlaku diakui oleh sistem hukum negara (state law).Namun lebih jauh 92
Hukum dan Masyarakat 2014 menggambarkan fokus perhatian pada realitas hukum antara lain : kehidupan ekonomi, sosial budaya, politik secara global, dalam berbagai macam sistem hukum yang exist pada lingkungan masing-masing masyarakat (masyarakat hukum adat) yang dapat dipedomani dan dioperasikan berlaku bebas diluar sistem hukum negara (state law). Masing-masing sistem hukum yang berlaku diluar ketentuan negara memiliki sumber dan perkembangan historis yang berbeda-beda dalam bentuk aturan-aturan ideal dan aturan-aturan prosedural dan memiliki cara khas dalam mempersepsikan realitas hukum serta memberi makna pada realitas tersebut15. Lebih luas dalam aspek tertentu pluralisme hukum berlawanan dan atau bertolak belakang dengan aturan-aturan ideal dan proseduralsentralisme hukum (legal centralism) yang mengabsolutkan bahwa negara memonopoli sistem hukum dan meniadakan bentukbentuk hukum lain yang ada dalam kehidupan masyarakat. Adanya ulasan state law adalah bahwa hukum yang uniform untuk seluruh masyarakat hukum tertentu sehingga diatur oleh sistem hukum tunggaldari organisasi politik yaitu negara, dan bagi sistem hukum lainnya hanya bisa exist bila diakui oleh state law
16
. Kemudian secara normatif penolakan terhadap
dominasi state law terhadap berbagai aturan hukum (sistem hukum) lain yang secara realitas hukum banyak terdapat diberbagai masyarakat hukum adat atau suku-suku bangsa tertentu di Indoesia17. Dengan dominasi tersebut biasanya akan berdampak merubah tatanan sosial masyarakat hukum adat dan bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat lain berdasarkan gaya hidup masyarakat yang bersangkutan sesuai tingkat perkembangannya. Upaya pemahaman terhadap hakikat pluralisme hukum pada dasarnya adalah proses interaksi di antara sistem-sistem hukum yaitu hukum internasional, hukum nasional, hukum agama, hukum adat, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang disepakti para pihak secara semi otonomi, yang berbedadalamtatanan kehidupan sosial. Proses interaksi itu terutama terjadi antara state
15
Slaats, Herman & Karen Portier, Traditional Decision-Making and Law. Institutions and Processes in An Indonesian Context. Terutama Bagian “Introduction. Yogyakartya : Gadjah Mada University Press, 1992. 16 Yando Zakaria dan Djaka Soehendra, Pengaturan Hukum Adat Tanah Dalam Perundang-Undangan Nasional dan Rasa Keadilan, (Makalah) pada Seminar Nasional Pluralism Pertanahan di Indonesia, diselenggarakan oleh YLBHI. Jakarta, Tgl 7 September 1994 17 Djaka Soehendra. Mengalternatifkan Aturan Adat Dalam Mengatasi Masalah Pemanfaatan Sumber Daya Hutan. Contoh Kajian Dengan Menggunakan Pendekatan Pluralisme Hukum .(Makalah) Penataran Pengajar Antropologi Hukum dan Sosiologi Hukum diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Tgl 18-30 Juli 1994
93
Hukum dan Masyarakat 2014 law dan folk law atauliving law walaupun bisa saja terjadi hubungan atau bertolak belakang, sehingga menimbulkan konflik di antara sistem hukum terutama antara state law dan folk law. Penggabungan atau pengakuan terhadap suatu sistem hukum oleh hukum lainnya, atau pengaruh hukum tertentu terhadap hukum,18 sebagaimana dihadapi oleh masyarakat hukum adat di Indonesia yang berada pada “situasi pluralisme hukum” dalam berbagai tingkat penyelesaian atau penanganan kasus-kasus hukum guna mencapai tujuan hukum yang dicitacitakan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Sehubungan dengan situasi pluralisme hukumitu, ada kecenderungan bahwa masyarakat hukum adat diberbagai negara termasuk Indonesia kajian pluralisme hukum memang mendapat perhatian penting terhadap kasus-kasus hukum yang timbul dari awal hingga akhir penyelesaiannya diwarnai pada interaksi antara state law dan folk law, yang lebih didominasi oleh state law dari pada folk law, terutama pada negara-negara merdeka bekas jajahan kolonial. Misalnya pada pertengahan abad ke-14 keanekaragaman sistem hukum yang ada pada masyarakat-masyarakat di dunia direspon sebagai gejala perkembangan “evolusi hukum”, maka pada abad ke-20 keanekaragaman sistem hukum ditanggapi sebagai gejala pluralisme hukum yang dihadapi oleh setiap masyarakat dan negara dalam era globalisasi. C. Hakikat Akulturasi Hukum Dalam Sistem Hukum Pada dasarnya kajian mengenai akulturasi hukum selalu terkait dengan paradigma sistem hukum (legal system) yang berlaku dalam suatu masyarakat dan negara tertentu. Hal ini, selalu di tandai dengan sejarah politik hukum terhadap sistem hukum yang dianut negara yang bersangkutan. Misalnya : akulturasi hukum bangsa Indonesia dengan sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) sebagai bekas jajahan kolonial Belanda terutama KUHPidana dan KUHPedata. Oleh karena itu, sistem hukum kini sebagai sarana kebijakan maka bisa dijadikan sarana untuk mencapai kebutuhan atau kepentingan masyarakat dan negara untuk 18
Allot, Anthony & Gordon R. Woodman, “Introduction”, dalam People’s Law and State Law, Anthony & Gordon R. Woodman (eds). Dordrect-Holland : Foris Publications, 1985
94
Hukum dan Masyarakat 2014 melakukan perubahan, dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat
atas dasar
pertimbangan politik pembangunan hukum.Keutamaan sistem hukum dapat direduksi kedalam sistem hukum nasional diharapkan dapat menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak-hak asasi manusia berdasarkan keadilan dan kebenaran, yang dijabarkan dalam kerangka peraturan dan kelembagaan yang dapat berasal dari Konvensi Internasional sebagai instrumen hukum internasional. Misalnya penanganan Teroris, Perdagangan Manusia, Perdagangan Ekonomi, dan Telokomunikasi, telah bersentuhan dengan negara-negara lain yang memiliki otoritas sistem hukum nasional masing-masing. Sehinga ada indikasi bahwa dalam era globalisasi hukum kedepan tidak ada lagi batasan-batasan hukum masing-masing negara mengkleim dirinya dengan hukummnya masing-masing. Suatu sistem hukum yang modern haruslah merupakan hukum yang baik, dalam arti hukum tersebut harus mencerminkan rasa keadilan bagi semua pihak dan sesuai dengan kondisi masyarakat. Hukum dibuat sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan, dan juga harus dimengerti atau dipahami oleh masyarakat secara keseluruhan, dengan tujuan supaya hukum benar-benar dapat mempengaruhi perilaku warga masyarakat. Artinya sistem hukum nasional seharusnya memberikan jaminan pada 19 : 1) Perlindungan hak dan kewajiban rakyat Indonesia; 2) Kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak, 3) Transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik. Menuruth Lawrence M. Friedman20 (1975), terdiri dari tiga komponen sub sistem hukum yaitu :1) struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal cuture). Untuk komponen struktur hukum adalah bagia-bagian yang dinamis dalam suatu mekanisme; komponen substansi hukum merupakan hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum-sistem hukum meliputi kaidah-kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis. Sedangkan komponen budaya hukum adalah nilai dan sikap yang mengikat sistem hukum itu secara bersama dan menghasilkan suatu bentuk penyelenggaraan hukum dan budaya masyarakat secara keseluruhan dan saling keterkaitan (holistik).
19
Ahmad Musliadi, Politik Hukum. Akademia Permata, Jakarta, 2013, hlm. 47. Lawrence M. Friedman (1975) , The Legal System : A Social Science Perspective (New York : Russel Sage Foundation, Penerjemah M Khozin, Penyunting Nurainum Mangunsong : Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial. Nusa Media , Bandung, cetakan II, 2009, hlm, 8. 20
95
Hukum dan Masyarakat 2014 1. Subtansi Hukum(legal structure) Sisi sustansi hukum dengan berlaku prinsip bahwa hukum berlaku umum untuk semua orang dan berlaku yang sama (equality before the law ). Sehingga dalam pengaturan substansi hukum sering dikemukakan adanya sifat khusus, yang melahirkan dua makna substansi hukum, yaitu : a.
Kekhususan dalam sistem pengaturan suatu materi hukum, karena dimuat dalam undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai materi tertentu. Kekhususan yang demikian ini disebut sebagai kekhususan secara sistemik atau sistematik. Makna sistemik ini adalah suatu undang-undang yang mengatur materi yang khusus karena titelnya memang khusus. Jadi hanya teknis legal drafting dan kaitanya dengan proses pembentukan sistem hukum.
b.
Ketentuan khusus yang dipergunakan untuk menghadapi situasi yang khusus, karena keadaan tersebut memerlukan tindakan yang khusus berupa penyimpangan dari kaidah umum. Tanpa ada penyimpangan tersebut problem hukum yang dihadapi tidak dapat diselesaikan secara tepat, benar dan adil.
2. Struktur Hukum(legal substance) Sisi kelembagaan aparat penegak hukum dewasa ini juga masih menjadi suatu permasalahan yang harus dihadapi oleh Pemerintah Indonesia. Kinerja aparat penegak hukum dan peradilan, meskipun sudah menunjukkan banyak kemajuan, diakui masih perlu perbaikan kinerja yang menunjukkan kesungguhan dalam upaya penegakan hukum yang sesuai dengan prinsip keadilan, cepat, mudah, murah, dan transparan. Pengawasan internal maupun eksternal yang dilakukan oleh tiap-tiap institusi/kelembagaan belum dapat memberikan hasil yang maksimal terhadap hasil kinerja yang dilakukan karena masih terdapat semangat “melindungi korps” terhadap ketimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang terjadi dewasa ini dalam praktek-prakter peradilan. 3. Budaya Hukum(legal culture). Sisi budaya hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistem hukum yang 96
Hukum dan Masyarakat 2014 berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan. Misalnya hakim dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran, terpaksa harus melihat sumber-sumber hukum dalam arti kata material, apabila sumber-sumber hukum dalam arti formil tidak dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu perkara yang sedang diperiksanya. Oleh karena itu perlu adanya kemandirian hakim dalam proses menyelesaikan undang-undang dengan peristiwa yang kongkrit, memfungsikan hakim untuk turut serta dalam penegakan hukum secara kontinyu. Sehingga membawa konsekuensi, bahwa hakim dapat bahkan harus memenuhi ruang kosong yang ada dalam sistem hukum, asal saja penambahan itu tidak mengubah sistem tersebut. Namun, hakim tidak dapat menentukan secara sewenang-wenang hal-hal yang baru, tetapi ia harus mencari hubungan dengan apa yang telah ada. Konsenkuensi dimasukkannya dimensi budaya hukum sebagai subsistem hukum dalam pembangunan hukum adalah21: a.
Pembangunan dan pengembangan budaya hukum diarahkan untuk membentuk sikap dan perilaku anggota masyarakat termasuk para penyelenggara negara sesuai dengan nilai dan norma Pancasila agar budaya hukum lebih dihayati dalam kehidupan masyarakat, sehingga kesadaran, ketaatan serta kepatuhan hukum makin meningkat dan hak asasi manusia dihormati dan dijunjung tinggi.
b.
Kesadaran untuk makin menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagai pengalaman Pancasila dan UUD 1945 diarahkan pada pencerahan harkat dan martabat manusia serta untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
c.
Pembangunan dan pengembang budaya hukum yang ditujukan untuk terciptanya ketentraman serta ketertiban dan tegaknya hukum yang berintikan kejujuran, kebenaran dan keadilan untuk mewujudkan kepastian hukum dalam rangka menumbuhkan disiplin nasional.
d.
Kesadaran hukum penyelenggaraan negara dan masyarakat perlu ditingkatkan dan dikembangkan secara terus-menerus melalui pendidikan, penyuluhan, sosialisasi, keteladanan dan penegakan hukum untuk menghormati suatu bangsa yang berbudaya hukum.
Di harian Kompas, pada 1 Juli 2002, Prof.Satjipto Rahardjo,22 mengungkapkan keluh kesah dan keprihatinan atas budaya hukum Indonesia yang berkembang belakangan. 21
Ahmad Muliadi, Op Cit, 2013, hlm.107, 108, 109.
97
Hukum dan Masyarakat 2014 Menurutnya kultur kurang sadar hukum telah menggejala di hampir semua lapisan masyarakat. Tidak hanya masyarakat pada umumnya, tetapi juga aparat penegak hukum sendiri. Oleh karena itu, kultur hukum harus menjadi bagian penting yang harus diperhatikan dalam pembangunan hukum di Indonesia. Dengan demikian budaya hukum merupakan suatu kumpulan nilai, ide, gagasan, kebiasaan, atau tradisi hukum yang telah menjadi identitas kolektif suatu masyarakat yang penuh dengan kebhinnekaan kehidupan sosial.
D. Penutup Tak terhindari akulturasi hukum merupakan pendekatan muktahir bidang kajian Antropologi Hukum memberi validasi data dalam kajian sejarah perbandingan hukum dan politik hukum masa silam sampai sekarang, mengenai timbulnya sistem-sistem hukum pada negara-negara merdeka di Asia dan Afrika, dijadikan sebagai hukum nasional atau hukum positif. Hal ini didasari adanya proses akulturasi hukum, akibat negara-negara merdeka membuka diri menerima nilai-nilai budaya dan sistem hukum yang dibawah kolonial di daerah-daerah jajahannya. Sehingga akulturasi hukum dapat memberi jawaban terhadap penerapan sistem hukum Eropa pada bekas jajahan negara-negara merdeka di Asia dan Afrika dewasa ini menujuh transformasi unifikasi sistem hukum globalisasi. Artinya teori Werner Menski “Triangular Concept of Legal Pluralism” (konsep segi tiga pluralisme hukum) dalam konteks historis dan politis dari awal masa silam sampai sekarang, menunjukan pada era globalisasi “pluralisme hukum” mewarnai berbagai lapangan hukum di setiap negara-negara merdeka tanpa batas terhadap sistem hukum yang dianutnya, tidak ada lagi negara yang mengkleim dirinya dari sistem hukum lain yang masuk hidup berdampingan dan berinteraksi saling melengkapi. Akulturasi hukum mengantarkan kita pada kenyataan teori M.B. Hooker mengenai penerapan sistem-sistem hukum di negara-negara merdeka menunjukan adanya “gejala atau situasi pluralisme hukum” kerena selain sistem hukum negara, masih ada sistem hukum lain 22
Ahmad Muliadi, Op Cit, 2013, hlm.110.
98
Hukum dan Masyarakat 2014 seperti : sistem hukum adat, sistem hukum agama, dan kebiasaan-kebiasan lain yang disepati oleh masyarakat secara semi otonomi,yang hidup berdampingan dan berinteraksi dan saling melengkapi. Misalnya bangsa Indonesia dengan KUHPidana masih warisan Belanda. Situasi pluralisme hukum merupakan ajaran menekankan pada kenyataan empiris setiap masyarakat dengan tingkat intensitas yang beda-beda memiliki sejumlah aturan hukum aneka ragam yang bersifat hierarkis. Menurut teori Griffiths, pluralisme hukum dapat dikatan ada apabila dalam bidang sosial tertentu dapat dibedakan perilaku yang berhubungan dengan lebih dari satu tertib hukum. Misalnya masyarakat yang heterogenisitas sosial, hidup dengan berbagai aturan yang dikeluarkan negara (otonom) dan aturan yang tidak dikeluarkan oleh lembaga non pemerintah dan masyarakat (semi otonom), secara intenisitas di pedomani dan di laksanakan setiap masyarakat dalam kehidupan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Teory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legis Prudence), Vol. 1 Pemahaman Awal, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 216-217. ---------------, 2008.Menguak Realitas Hukum, Kencana Prenada Media group, Jakarta. Adamson Hoebel. E, 1961. The Law of Primitive Man a Study in Comparative Legal Dynamic, Harvard University, Press. Ade Saptomo, 2010. Hukum dan Kearifan Lokal : Revitalisasi Hukum Adat Nusantara. Grasindo, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Ahmad Musliadi, Politik Hukum. Akademia Permata, Jakarta, 2013, hlm. 47. Allot, Anthony & Gordon R. Woodman, 1985 .“Introduction”, dalam People’s Law and State Law, Anthony & Gordon R. Woodman (eds). Dordrect-Holland : Foris Publications. Bahder Johan Nasution, 2008. Metode Penelitian Hukum. CV. Mandar Maju Bandung. B. Ter Haar, 1972. Peradilan Pengadilan Negeri Menurut Hukum Tidak Tertulis, Bhatara, Djakarta, hlm. 12. Djaka Soehendra,1994.Mengalternatifkan Aturan Adat Dalam Mengatasi Masalah Pemanfaatan Sumber Daya Hutan. Contoh Kajian Dengan Menggunakan Pendekatan 99
Hukum dan Masyarakat 2014 Pluralisme Hukum . (Makalah) Penataran Pengajar Antropologi Hukum dan Sosiologi Hukum diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Tgl 18-30 Juli 1994. Frans Reumi, DIKTAT Antropologi Hukum Fakultas Hukum UNCEN, 2011/2012. -----------------, Pendekatan Pluralisme Hukum dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat; dalam Jurnal Hukum dan Masyarakat, FH. UNCEN, Jayapura, 2008. Franz von Benda-Beckmann, 1979. Property In Social Continuity In Minangkabau West Sumatera; Alih bahasa Tim Perwakilan KITLV, Jakarta, bersama Indira Simbolon, Properti Kesinambungan Sosial di Minangkabau Sumatera Barat. 2000. Griffiths, 1986.“What is Legal Pluralism”, Journal of Legal Pluralism. Hilman Hadikusuma, 1992.Pengantar Antropologi Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. -------------------------, 1989.Peradilan Adat Di Indonesia, CV Miswar,Jakarta, 1989 hlm.37 -------------------------, 1989. Hukum Pidana Adat, Cetakan Ketiga, Alumni, Bandung, hlm. 106. Jazim Hamidi, 2009, dkk (Tim Gree Mind Community). Teori Politik Hukum Tata Negara. Total Media, Malang., 2009. hlm. 39. Johnny Ibrahim, 2005. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Bayumedia Publishing, Surabaya. J.R. Mansoben, 1994. Keanekaragaman Sistem Kepemimpinan Tradisional di Irian Jaya, Dalam : Koentjaraningrat (Editor), Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk, Penerbit Djambatan, Jakarta, hlm. 384-391. Keebet von Benda-Beckmann, 2000,Goyahnya Tangga, Menuju Mufakat, Peradilan Nagari dan Pengadilan Negeri di Minangkabau. Jakarta, Grafindo. Laura Nader and Harry F. Tood JR, (Ed),1978.The Disputing Process Law in Ten Societies, New York, Columbia University Press. Lawrence M. Friedman, 1975. The Legal System : A Social Science Perspective (New York : Russel Sage Foundation,. Penerjemah M. Khozim; Penyuntin Nurainum Mangunsong : Sistem Hukum : Pespektif Ilmu sosial. Nusamedia, Bandung. Cetakan II, 2009, h 8. Leopold Posipisil, 1971,Anthropology of Law a Comparative Theory, Yale University, Harper and Row, Publishers. Lili Rasjidi H. dan I.B Wyasa Putra, 2003.Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung. Masinambow. E.K.M. (Ed), 2000, Hukum dan Kemajemukan Budaya (Sumbangan Karangan Untuk Ulang Tahun ke-70 Prof. DR. T.O. Ihromi), Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
100
Hukum dan Masyarakat 2014 Moh.Koesnoe, Hukum Adat; dalam Alam Kemerdekaan Nasional dan Soalannya Menghadapi Era Globalisasi. Ubhara Press. Surabaya, 1996, p.p. 36-38. Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. Muh. Tahir Azhary, 2003. Negara Hukum Suatu Study Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Medinah Dan Masa Kini. Pernada Media, Jakarta, hlm. 88,89. Nader, Laura dana H.F. Todd, Jr (eds), 1978. The Dispute Process : Law in Ten Societies. New York : Columbia University Press. Norbert Rouland., L’ Anthropologie Juridiqie, diterjemahkan oleh Paul W Suleman “ Antropologi Hukum FH. Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1992. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2009.Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, PT. Refika Aditama. Peter Mahmud Marzuki, 2005. Penelitian Hukum. Prenada Media, Surabaya, hlm. 93-95. Philipus M. Hadjon & Tatiek Sri Djatmiati, 2009.Argumentasi Hukum, Gadja Mada University Press, Yogyakarta. Plato SM adalah murid, ia dilahirkan pada tal. 29 Mei 429 SM di Athena.Plato banyak menghasilkan karya dalam bidang Filsafat, Politik dan Hukum. Diantara karyanya yang termasyur adalah Politea (tentang Negara), Politicos (tentang Ahli Negara), dan Nomoi (tentang UU),dalam Jazim Hamidi, dkk (Tim Geen Mind Community/GMC), Teori Dan Politik Hukum Tata Negara. Totalmedia, Malang, 2009, hlm. 36. R. Soepomo, 2003. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Radjawali Press, Jakarta, hlm. 60-61. -----------------, 1982. Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Kedua, Cetakan Ke Sebelas, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 100-103. Sally Falk Moore,1978.Law as Process An Anthropology Approach, University of California, Los Angles Roudhedge and Kegan Paul. Satjipto Rahardjo, 2010. Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta. Slaats, Herman & Karen Portier,1992.Traditional Decision-Making and Law. Institutions and Processes in An Indonesian Context. Terutama Bagian “Introduction. Yogyakartya : Gadjah Mada University Press. Soerjono Soekanto, 2002.Hukum Adat Indonesia (Cetakan ke 5) RajaGrafindo Persada, Jakarta, p. 93. ------------------------, 1977. Pengantar Sosiologi, Cetakan Kedua, Bhartara Karya Aksara, Jakarta, hlm. 67 mengutip Leopol Pospisil, Kapauku Papuans and Their Law, Yale University Publication in Anthropology, Number 54, 1958 Sulistyowati Irianto,1993. Kesejahteraan Sosial Dalam Sudut Pandang Pluralisme Hukum, dalam T.O. Ihromi Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, h. 241-242. Surojo Wingnjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Edisi Ketiga, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 91-92. 101
Hukum dan Masyarakat 2014 Ter Haar. Het Adatrecht van Indie in vetenschap, praktijk en onderwijs, dalam Moh. Koesnoe, 1937, Ibid., p.3. T.O. Ihromi, (Penyunting), 2000. Antropologi dan Hukum, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. -----------------,2000. Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. V.E.Korn, The Village Republic Of Tegangan Pegeringsingan, Dalam : Bali : Studies In Life, Thought, And Ritual, Stanpoort, Netherlands, 1933, hlm. 305-315. Werner Menski, Comparative Law in a Global Context: Sistem Eropa, Asia, dan Afrika, (UK Cambridge University Press, 2008), Penerjemah M. Khozin, Penyunting Nurainun Mangunsong “Perbandingan Hukum Dalam Konteks Global : Sistem Eropa, Asia dan Afrika”, Nusamedia, Bandung, 2008, hlm. 113, 116-117. Yando Zakaria dan Djaka Soehendra, 1994.Pengaturan Hukum Adat Tanah Dalam PerundangUndangan Nasional dan Rasa Keadilan, (Makalah) pada Seminar Nasional Pluralism Pertanahan di Indonesia, diselenggarakan oleh YLBHI. Jakarta, Tgl 7 September 1994.
102
Hukum dan Masyarakat 2014 Biodata Para Penulis
Ispurwandoko Susilo, lahir 06 Maret 1954 di semarang, alamat : Lapangan Trikora IV No. 2 Abepura Jayapura. Menempuh perndidikan Sarjana Hukum (S1) di Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih Jayapura, dan Pasca Sarjana di Universitas Diponegoro Semarang. Bekerja sebagai staf di pengajar di Universitas Cenderawasih dengn Pangkat/golongan : IV/a dengan Pangkat sebagai Pembantu Dekan iI, dengan mengasuh Mata Kuliah – Mata Kuliah : Perselisihan Pembukuan dan Hukum Ekonomi. Suprianto Hadi, S.H., M.Hum., Lahir 23 September 1961 di Jakarta Menempuh pendidikan Sarjana Hukum (SI) di Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih Jayapura, dan Pendidikan Pasca Sarjana di Universitas Diponegoro Semarang, . Bekerja sebagai staf pengaja di Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih Jayapura Papua, adapun matakuliah yang diampu adalah hukum ekonomi, hukum investasi Budiyanto, S.H., M.H, lahir 24 Januari 1966 di nganjuk, alamat : Gang Leli II No. 38. Waena Jayapura. Menempuh pendidikan Sarjana Hukum (S1) di Universitas Cenderawasih Jayapura tahun 1991 dan Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Udayana Bali tahun 2000. Pangkat Sebagai Ketuan Bagian Hukum Pidana dan mengasuh Mata kuliah- mata kuliah : Hukum Pidana, Hukum Kesehatan, Kriminologi, dan Sistem Peradilan Pidana. Sara Ida Magdalena Awi, S.H., M.H, Lahir 03 Januari 1986 di Jayapura Papua., alamat : BTN Puskopad Kampkey Abepura. Menempuh pendidikan Sarjana Hukum (SI) di Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih Jayapura Papua dan Pendidikan Pasca Sarjana di Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Bali. Bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih dengan pangkat/golongan : Penata Muda/IIIa dan jabatan sebagai Asisten ahli, dengan Mengasuh mata kuliah – mata kuliah : Hukum PemerintaH Adat, Hukum Acara Peradilan Adat, dan Hukum Adat. Yuliana Diah Wariski Susi Irianti, S.H., M.Hum., lahir 20 Juli 1966 di Jayapura, alamat : Jalan Cempedak Blok C No. 54 Kotaraja Jayapura Papua. Menempuh pendidikan Sarjana Hukum (S1) di Universitas Cenderawasih Jayapura Papua Tahun 1990 dan Pendidikan Pasca Sarjana di Universitas Diponegoro Semarang. Bekerja sebagai staf pengaja di Fakultas Hukum 103
Hukum dan Masyarakat 2014 Universitas Cenderawasih Jayapura Papua dengan Pangkat sebagai Ketua Bagian Hukum Acara dengan mengasuh Mata kuliah- mata kuliah : Metode Penelitian dan Penulisan Hukum dan Filsafat Hukum. Frans Reumi S.H.,M.A.,M.H., lahir 13 Juli 1960 di Serui , Alamat Kompleks Perumahan Dosen Otto Wospakrik perumnas III Waena, Menempuh pendidikan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih dengan kekususan hukum pidana, dan program Pasca Sarjana di Universitas Indonesia, dan sedang menempuh program Doktor pada Universitas Hasannudin, adapun mata kuliah yang diampu adalah, pengantar sosiologi, Etnografi Papua,Antropologis
104