JURNAL HUKUM DAN MASYARAKAT ISSN 1693-2889 Volume 13 Nomor 3 Agustus 2014 PERADILAN ADAT DI PAPUA Oleh Hendrik H J Krisifu 1 Abstrak Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi dalam Pasal 50 dan 51 menegaskan tentang Keberadaan Peradilan Adat pada masyarakat hukum adat di Papua dan posisinya dengan lembaga peradilan di Papua. Implementasi pasalpasal tersebut melalui Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di Papua. Penyelesaian perkara secara damai dilakukan secara kekeluargaan atas dasar musyawarah untuk mufakat, sebagai salah satu corak hukum adat. Peradilan adat sebagai
salah satu kearifan local pada masyarakat adat
diPapua,telah menunjukkan fungsi dan perannya jauh sebelum diberlakukannya otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Dalam penyelesaian perkara,para pihak yang berperkara selalu mendorong untuk sesegeranya dilakukan penyelesaian. Inisiatif ini menunjukkan adanya tanggung jawab dari semua anggota masyarakat hukum adat untuk menciptakan ketertiban di dalam kehidupan masyarakat adat yang rukun dan harmoni.
A. Pendahuluan Setelah berakhirnya Perang Dunia II, banyak negara, baik yang baru merdeka maupun negara-negara yang sudah ada sebelum perang berusaha untuk memperbaharuhi hukumnya. Bagi negara-negara yang baru merdeka, usaha pembaharuan tersebut didasarkan alasanalasan, baik politik, sosiologis, maupun praktis. Alasan politik dilandasi oleh pemikiran bahwa suatu negara merdeka harus mempunyai hukum sendiri yang bersifat nasional demi kebanggaan nasional. Alasan sosiologis menghendaki adanya hukum yang mencerminkan nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, sedang alasan praktis, antara lain bersumber pada kenyataan bahwa biasanya bekas-bekas negara jajahan mewarisi hukum yang menjajahnya dengan bahasa aslinya, yang kemudian banyak tidak dipahami oleh generasi muda dari negara yang baru merdeka tersebut. Hal ini disebabkan biasanya negara yang baru merdeka
1
Lektor Kepala pada Mata Kuliah Hukum Adat, pada Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih Jayapura.
Hukum dan Masyarakat 2014 tersebut ingin menjadikan bahasanya sendiri sebagai bahasa kesatuan sehingga bahasa dari negara jajahan hanya dimiliki oleh generasi yang mengalami penjajahan. 2
Sejarah peradilan di Indonesia menunjukan bahwa hukum asli Indonesia, hukum Islam, hukum kerajaan dan hukum pemerintahan Kolonial, serta Pemerintahan Jepang di Indonesia telah memberi pengaruh penting bagi jalannya riwayat sistem peradilan di Indonesia dan bentuk-bentuk pengadilan yang pernah ada di Indonesia di dalam jangka beberapa ratus tahun sampai dengan keadaan sekarang ini.3
B. Peradilan Adat di Indonesia C. Menurut Soepomo, kehakiman desa itu dalam ilmu hukum dipahamkan sebagai peradilan adat.4 Demikian juga Abdurrahamn, menyebutkan antara peradilan desa dan peradilan adat sebetulnya tidak ada perbedaan yang prinsip. 5
Peradilan Adat di Indonesia termasuk salah satu lembaga peradilan yang diunifikasi oleh pemerintah melalui Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang TindakanTindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Susunan, Kekuasaan Dan Acara PengadilanPengadilan Sipil. Melalui undang-undang ini Pemerintah secara tegas menentukan sikap mengenai keberadaan peradilan adat dan kedudukan peradilan desa dalam sistim peradilan di Indonesia.
Dalam Pasal 1 ayat (2) sub b Undang-undang Darurat No. 1 tahun 1951 menyatakan pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan segala Peradilan Adat (Inheemse Rechtspraak in rechtsreeks bestruurdgebied), kecuali Pengadilan Agama jika Pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan bagian satu bagian tersendiri dari Pengadilan Adat. Kemudian dalam ayat (3) disebutkan bahwa ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak sedikitpun juga mengurangi hak kekuasaan yang sampai 2
3
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni Bandung, 1985, hlm 1. Tresna, R. Mr. Peradilan di Indonesia; Dari Abad Ke Abad, cetakan ketiga, Pradnya Paramita, Jakarta 1978, hlm 5. 4 Soepomo, Pertautan Peradilan Desa Kepada Peradilan Gubernemen, Bharatara Jakarta 1972, hlm 7. 5 Lihat, Suara Pembaharuan Daily, 20/9/2004, http://www:huma.or.id
13
Hukum dan Masyarakat 2014 selama ini telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana di maksud dalam pasal 3a RO. Pasal 3a RO menentukan, bahwa: (1)
Perkara-perkara yang menurut hukum adat termasuk kekuasaan hakim-hakim dan daerah-daerah hukum kecil-kecil (hakim desa) tetap diadili oleh hakim-hakim sendiri.
(2)
Ketentuan pada ayat dimuka tidak mengurangi sedikitpun hak yang berperkara untuk setiap waktu mengadukan perkaranya kepada hakim-hakim yang dimaksud dalam Pasal 1, 2 dan 3.
(3)
Hakim-hakim yang dimaksud dalam ayat (1) mengadili perkara menurut hukum adat; mereka tidak boleh menjatuhkan hukuman.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dalam sistem peradilan di Indonesia tidak diakui adanya pengadilan adat. Sekalipun tidak diakui, namun dalam kenyataannya banyak dikenal bentuk-bentuk peradilan adat pada berbagai kalangan masyarakat hukum adat di tanah air. Menurut Hilman Hadikusuma dalam kehidupan masyarakat peradilan adat itu masih hidup. Peradilan adat mengikuti hukum adat yang berubah dari kehidupan masyarakat yang berubah.6 Demikian halnya Sajipto Raharjo mengemukakan bahwa walaupun hukum nasional/hukum negara berupaya melenyapkan hukum adat (termasuk peradilan adat 7) melalui tindakan artifisial melalui konstruksi hukumnya, namun the living law termasuk hukum adat tidak mati, namun tetap tersimpan/terpendam/laten dalam sanubari kesadaran hukum masyarakat dan menunggu saat yang tepat untuk muncul ke permukaan.8
Dengan demikian, bila dikaji lebih mendalam lagi, maka akan terlihat bahwa sebenarnya Peradilan Adat itu masih hidup dan tetap dipertahankan oleh sebagian masyarakat hukum adat di Indonesia. Apalagi sekarang dengan semangat otonomi daerah yang lebih memperkuat sifat lokalsentris dan kedaerahan telah mendorong beberapa daerah untuk menghidupkan kembali peradilan adat melalui legalitas Peraturan Daerah. Menurut Betty Sumarti, setidaknya kehadiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, telah memberikan ruang bagi euforia kebangkitan semangat lokalitas dan otonomi 6
Hilman Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia, CV Miswar Jakarta, 1989, hlm, 109. Kursif Penulis 8 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Buku Kompas, Jakarta, 2006, hlm 177. 7
14
Hukum dan Masyarakat 2014 desa.9 Semangat itu dapat memacu masyarakat hukum adat untuk kembali menghidupkan peradilan adat, seperti disinggung oleh Bagir Manan bahwa, ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, di pandang sebagai dasar yang memungkinkan membentuk atau menghidupkan kembali badan-badan peradilan asli atau adat yang terkait dengan daerah otonom tertentu. Tetapi sesuia dengan prinsip setiap bentuk peradilan adalah peradilan negara, maka pembentukan peradilan adat hanya dapat dilakukan oleh negara dengan undang-undang bukan atas inisiatif masing-masing daerah yang dibentuk dengan (melalui) Peraturan Daerah.10.
Menurut
Jimly Asshiddiqie, bahwa dewasa ini, dikenal pula adanya sebelas bentuk
pengadilan khusus, baik yang bersifat tetap ataupun ad hoc. Pengadilan adat yang memiliki kekhususan diatur dan diperkenalkan kembali oleh Undang-Undang otonomi Khusus Papua. Semua lembaga peradilan atau semi atau quasi peradilan itu memiliki kedudukan khusus dalam sistem hukum nasional. Fungsinya adalah untuk menjamin agar hukum dan keadilan dapat ditegakkan dan diwujudkan dengan sebaik-baiknya.11
D. Peradilan di Papua
Sebelum Papua bergabung dengan NKRI, di Papua telah ada Peradilan Adat yang diatur oleh Penetapan Ratu Belanda tertanggal 29 Desember 1949 (Besluit Bewindsregeling Nieuw Guinea), sedangkan ketentuan mengenai peradilan adat di Irian Barat diatur dalam Pasal 125 sampai Pasal 149 besluit tersebut.12
Pada tanggal 22 Mei 1963 Presiden mengeluarkan PERPRES Nomor 12 Tahun 1963 tentang tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, Acara 9
Betty Sumarti, Revitalisasi Peran Ninik Mamak Dalam Pemerintahan Nagari, Seri Karya Mahasiswa Terseleksi, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM, Jogyakarta, 2007, hlm120. 10 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, FH UII Press, Yogyakarta, 2007, op.cit, hlm 36 11 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta 2007, hlm 530 12 Sudikno Mertokusuma, Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangan di Indonesia Sedjak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia, Jogjakarta, 1970, hlm 60.
15
Hukum dan Masyarakat 2014 dan Tugas Pengadilan-Pengadilan Sipil dan Kejaksaan di Irian Barat. Disusul
dengan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang dalam
Pasal 39 menegaskan bahwa Penghapusan Pengadilan Adat dan
Swapraja dilakukan oleh Pemerintah. Selanjutnya dalam penjelasan resmi pasal 39 menyatakan berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakantindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan, susunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil Pasal 1 ayat (2) oleh Menteri Kehakiman secara beranggsur-anggsur telah dilakukan penghapusan Pengadilan Adat/Swapraja, diseluruh Bali, Propinsi Sulawesi, Lombok, Sumbawa, Timor, Kalimantan, Jambi dan Maluku.
Khusus untuk Irian Barat
penghapusannya dilakukan dengan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 1966 tentang Penghapusan Pengadilan Adat/Swapraja dan Pembentukan Pengadilan Negeri di Irian Barat dihapuskan pula Pengadilan Adat/Swapraja di Irian Barat. Kemudian Peraturan Presiden tersebut dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 ditetapkan menjadi Udang-Undang. Dalam pasalnya 1 dicantumkan, bahwa pelaksanaan penghapusannya diserahkan kepada Keputusan Bersama Gubernur Kepala Daerah dan Ketua Pengadilan Tinggi Propinsi Irian Barat.
Untuk daerah Irian Barat pelaksanaannya berdasarkan Keputusan Bersama Gubernur Kepala Daerah Propinsi Irian Barat dan Ketua Pengadilan Tinggi Jayapura No. 11/GIB/1970 dan No. 11/IV/1970 tentang Pelaksanaan Penghapusan Pengadilan Adat/Swapraja di daerah tertentu di Propinsi Irian Barat. Dalam Pasal 1 ayat (1) ditentukan bahwa untuk tahap pertama telah dihapuskan Pengadilan Adat/Swapraja sebagai berikut : Pengadilan Swapraja Jayapura, Lembah Baliem, Nabire, Biak, Manokwari, Sorong, Raja Ampat, Fak-Fak, Kaimana, Serui, Bokondini, Pengadilan Adat di Merauke, Tanah Merah, dan Mindiptana.
Tiga puluh tahun kemudian, sejalan dengan semangat reformasi yang telah mendorong secara relatif terjadinya kemajuan-kemajuan di bidang politik dan keamanan, dan yang secara tidak langsung berpengaruh pula terhadap terjadinya disintegrasi bangsa. Konflik sosial dan menguatnya disintegrasi di berbagai daerah seperti di Aceh, Maluku, dan Papua merupakan gangguan bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kalau tidak 16
Hukum dan Masyarakat 2014 ditanggulanggi akan dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Khususnya bagi Daerah Istimewa Aceh dan Papua hal-hal tersebut lebih merupakan ketidakpuasaan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang perlu segera dikoreksi dengan cepat dan tepat.
Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya sebagaimana dimanatkan dalam Ketetapapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 Bab IV huruf G Pembangunan Daerah angka (2) Khusus ditegaskan bahwa, dalam rangka pengembangan otonomi daerah di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan bersungguh-sungguh maka kepada Provinsi Irian Jaya perlu diberikan status otonomi khusus.
Melalui, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, memberikan pengakuan terhadap keberadaan Pengadilan Adat di Papua. Pengakuan itu ditegaskan, dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut : (1)
Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2)
Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu.
Kemudian dalam Pasal 51 ayat (1) sampai dengan ayat (8) menegaskan sebagai berikut, yakni : (1)
Peradilan adat adalah pengadilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(2)
Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
17
Hukum dan Masyarakat 2014 (3)
Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(4)
Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang memeriksanya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pihak yang berkeberatan tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan peradilan yang berwewenang untuk memeriksa dan mengadili ulang sengketa atau perkara yang bersangkutan.
(5)
Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman penjara atau kurungan.
(6)
Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4), menjadi putusan akhir dan berkekuatan tetap.
(7)
Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan tempat terjadinya peristiwa pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(8)
Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan
hukum
Pengadilan
Negeri
dalam
memutuskan
perkara
yang
bersangkutan.
Implementasi Pasal 50 dan 51 UU Otsus Papua, melalui Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di Papua. Pada bagian penjelasan umum disebutkan bahwa yang menjadi isi Peraturan Daerah Khusus ini adalah : Pertama, Pengakuan terhadap keberadaan peradilan adat yang selama ini hanya diakui dari aspek politik dan administrasi, sedangkan dari aspek kekuasaan kehakiman tidak diakui; memperkokoh kedudukan peradilan adat; dan membantu pemerintah dalam penegakan
18
Hukum dan Masyarakat 2014 hukum; Kedua, Penguatan Pemerintah terhadap pelaksanaan peradilan adat di Papua, melalui pembiayaan dan penyediaan sarana pendukung. Dalam Pasal 2 Perdasus Nomor 20 Tahun 2008, menegaskan bahwa Peradilan Adat di Papua berasakan : a. kekeluargaan; b. musyawarah mufakat; dan c. peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.13 Asas pokok yang berlaku umum pada semua peradilan dalam masyarakat hukum adat di Indonesia adalah asas perdamaian. Penyelesaian perkara secara damai dilakukan secara kekeluargaan atas dasar musyawarah untuk mufakat, sebagai salah satu corak hukum adat. Musyawarah mufakat menghasilkan kesepakatan damai, sehingga tidak ada pihak yang dinyatakan kalah ataupun yang menang perkara. Penyelesaian damai bertujuan memulikan susana/situasi yang telah kacau oleh karena adanya peristiwa. selain itu, menciptakan kehidupan yang rukun dan harmoni dalam masyarakat adat.
Walaupun penyelesaian perkara secara damai, namun tetap ada hukum/sanksi yang bersifat denda kepada pihak yang dinyatakan bersalah. Denda itu, dapat berbentuk; barang, uang dan hewan piaran (babi). Pada beberapa masyarakat hukum adat tertentu di Papua, pada perkara pembunuhan, selain dikenakan denda seperti disebutkan di atas, dapat ditambah juga denda dengan perempuan (orang).
Dan dalam Pasal 3 ditegaskan pula tentang tujuan Peradilan Adat di Papua, adalah : a. sebagai wujud pengakuan pemerintah terhadap keberadaan, perlindungan, penghormatan dan pemberdayaan terhadap masyarakat adat Papua dan bukan Papua; b. memperkokoh kedudukan peradilan adat; c. menjamin kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan; d. menjaga harmonisasi dan keseimbangan kosmos; dan e. membantu pemerintah dalam penegakan hukum.14
Dengan demikian pengadilan adat di Papua merupakan salah satu lembaga yang diakui oleh Negara dan memiliki kedudukan khusus dan hanya berlaku bagi masyarakat hukum adat di Papua, dan berfungsi juga untuk menjamin ketertiban, keadilan dan kepastian
13 14
Lihat Perdasus Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di Papua Ibit
19
Hukum dan Masyarakat 2014 hukum. Melalui peradilan adat, diharapkan dapat diterapkan asas nebis in idem yaitu perkara yang sama (subjek dan objek perkara yang sama) dilarang untuk diajukan ke pengadilan untuk kedua kalinya. Artinya apabila ada perkara yang telah diselesaikan melalui peradilan adat, tidak diteruskan atau
dilakukan penuntutan lagi ke peradilan
negara (pengadilan negeri). D.
Peran Peradilan Adat di Papua
Peradilan adat sebagai salah satu kearifan lokal pada masyarakat adat di Papua, telah menunjukkan fungsi dan perannya jauh sebelum diberlakukannya otonomi khusus bagi Provinsi Papua, pengadilan adat telah ada dan dipraktekkan oleh masyarakat hukum adat di Papua dalam meneyelesaikan perkara diantara sesama warga masyarakat dalam satu wilayah adat maupun dengan masyarakat adat pada wilayah adat yang lain. Sejarah pengadilandi Papua menunjukkan bahwa sejak masa pemerintahan Belanda di Papua, pengadilan adat telah diakui eksistensinya dalam menyelesaikan perkara-perkara adat. Mansoben, menyebutkan bahwa pada tahun 1947 Pemerintah Belanda di Biak telah menghidupkan kembali Kainkain Karkara Byak untuk membantu roda pemerintah di tingkat kampung.15 Pemerintahn Belanda membiarkan masyarakat adat
untuk tetap
menerapkan pengadilanadatnya menurut hukum adat setempat untuk menyelesaikan perkara yang terjadi, selama mereka tidak menyerahkannya kepada Peradilan Gubernemen.
Dalam penyelesaian perkara, para pihak yang berperkara selalu mendorong untuk sesegeranya dilakukan penyelesaian. Jadi ada inisiatif dari para pihak yang berperkara untuk penyelesaian damai, dan tentunya dibantu oleh pemimpin adat dan keluarga besar mereka masing-masing. Inisiatif ini menunjukkan adanya tanggung jawab dari semua anggota masyarakat hukum adat untuk menciptakan ketertiban di dalam kehidupan masyarakat adat. Terbangunnya kebersamaan itu, adalah wujud nyata dari pengaruh ajaran cinta kasih yang diajarkan dalam agama Kristen yang telah diterima oleh masyarakat adat sebelum masyarakat adat mengenal pemerintahan dan hukum negara. Seperti diketahui dari catatan sejarah penyebaran agama di Papua. Pengaruh agama terhadap kehidupan 15
Joshz Mansoben, Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya, LIPI – RUL Seri 5, Jakarta 1995, hlm 296
20
Hukum dan Masyarakat 2014 masyarakat adat dan hukum adat di Papua sudah dimulai sejak kontak pertama antara masyarakat adat dengan para penyebar agama. Agama Islam di bagian kepala burung Papua pada abad 15, agama Kristen Protestan di bagian utara Papua pada tanggal 5 Februari 1855 dan agama Katholik di Papua bagian selatan pada tahun 14 Agustus 1905.
Dengan memahami kondisi objektif daerah Papua, terutama pada daerah-daerah terpencil yang jauh dari pusat-pusat pelayanan pemerintahan, yang sebagian besar belum terjangkau oleh aparat penegak hukum (polisi). Maka peradilan adat secara hukum telah berperan aktif dan efektif dalam membantu aparat penegak hukum dan pemerintah dalam menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Masyarakat adat menaruh kepercayaan yang besar kepada peradilan adat, mereka percaya
peradilan adat mampu menyelesaikan
perkara/ sengketa yang mereka hadapi secara damai, bermartabat dan memberi rasa keadilan.
Kepercayaan itu melekat kuat, oleh karena masyarakat adat menyadari bahwa hukum yang dekat dengan mereka selama ini adalah hukum adat, yang dengan peradilan adatnya dapat menyelesaikan perkara secara baik. Bila dibandingkan dengan sistem hukum dan peradilan negara yang sangat formalistik dan jauh dari pemahaman dan pengetahuan masyarakat adat tentang hukum itu sendiri. Mereka merasa asing dengan peradilan negara yang; jauh di kota, perlu biaya, perlu waktu dan orang-orang yang terlibat (aparat penegak hukum) dalam menyelesaikan perkara, mereka tidak kenal. Juga bahasa yang digunakan mereka tidak paham. Dan masih banyak lagi pertimbangan-pertimbangan masyarakat adat untuk tidak meneyelesaiakan perkara mereka ke peradilan negara.
E. Manfaat Penyelesaian Perkara Melalui Peradilan Adat
Dari sisi masyarakat hukum adat, penyelesaian perkara melalui pengadilan adat dapat memberikan manfaat, hukum, ekonomi, sosial budaya, dan terjaganya nilai-nilai kerukunan dan nilai-nilai magis religius. Secara hukum dapat tercipta perdamaian dan kepuasan hukum bagi para pihak yang berperkara. Ada penghargaan terhadap harga diri dan kehormatan dari 21
Hukum dan Masyarakat 2014 mereka yang berperkara, melalui sanksi/pembayaran denda adat ada saling memaafkan. Dengan begitu maka ketertiban dan kehidupan sosial dan budaya dapat kembali rukun dan kehidupan bermasyarakat berlangsung dengan tertib. Selain itu, penyelesaian perkara melalui pengadilan adat, memberikan manfaat ekonomi, karena para pihak yang bersengketa tidak mengeluarkan biaya yang besar untuk datang ke pengadilan negara yang umumnya berada di kota-kota yang jauh dari tempat tinggal mereka yang berperkara. Sebaliknya ada sumber daya ekonomi yang diperoleh melalui suatu penyelesaian perkara ditingkat pengadilan adat, berupa uang dan barang. Peran pengadilan adat, bila dicermati secara baik dalam sisi sistem peradilan di Indonesia, maka penyeleaian perkara melalui pengadilan adat, dapat menguranggi/menekan tingginya tunggakan perkara yang terjadi pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi bahkan hingga ke Mahkamah Agung.
Umum diketahui, bahwa sejumlah problema menjerat sistem peradilan negara untuk mencapai visi penegakan keadilannya. Prosesnya yang formalistik, berbelit sehingga mahal, kian mengaburkan capaian visi keadilannya. Ketiadaan peraturan perundang-undangan sebagai satu-satunya norma yang menjadi ukuran perkara juga merupakan problema lain, yang kian mengurangi sifat fungsional sistem peradilan negara. Peradilan adat sangat mungkin bisa keluar dari jebakan-jebakan tersebut. Prosesnya yang tidak formal memungkinkan semua hal yang terkait dengan perkara bisa mengemuka. Lokus institusinya yang berada di komunitas sendiri, memudahkan para pihak untuk menjangkaunya tanpa harus mengeluarkan biaya mahal. Pengetahuan hakim adat terhadap kasus yang ditanggani menghindarkannya dari proses yang berbelit.16
F. Penutup
Keberadaan pengadilan adat di Indonesia, secara hukum mendapat pengakuan dan perlindungan dalam konstitusi Negara. Pada amandemen kedua UUD 1945 dalam Pasal 18B 16
Sekilas Mengenai Peradilan Adat, disusun oleh Tim HuMa, sebagai materi penunjang bagi wartawan pada kegiatan Seminar Peradilan Adat pada tanggal 10 Desember 2003, di Sanggau Kalimantan Barat, hlm 1. http://www.huma.or.id
22
Hukum dan Masyarakat 2014 ayat (2) menyebutkan Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Rumusan pasal di atas secara jelas memberikan pengakuan terhadap masarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup. Hak-hak tradisional yang masih hidup itu salah satunya adalah peradilan adat, yang merupakan suatu lembaga hukum pada masyarakat hukum adat, yang bertugas menyelesaiakan setiap perkara dalam masyarakat adat.
Selanjutnya, dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 ditegaskan bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Pasal ini bila ditafsirkan lebih luas, maka sesungguhnya peradilan adat di Papua yang diatur dalam Pasal 50 dan 51 UU Otsus Papua, diberikan kewenangan hukum dan tanggung jawab hukum untuk menyelesaikan sengketa/perkara yang terjadi dalam lingkungan masyarakat hukum adat di Papua, karena peradilan adat juga menjalankan fungsi peradilan yang bertujuan menciptakan perdamaian dan kehidupan masyarakat yang harmoni dan rukun. Peradilan adat juga memiliki tujuan hukum yang sama dengan tujuan hukum pada umumnya yaitu menciptakan ketertiban dan keteraturan. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, lepas dari segala kerinduan terhadap hal-hal lain yng juga menjadi tujuan dari hukum, ketertiban sebagai tujuan utama hukum, merupakan suatu fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuk.17
Melalui peradilan adat pada masyarakat adat di Papua dapat membantu pemerintah dan lembaga peradilan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan lembaga peradilan adat. Sehingga putusan pada peradilan adat juga diakui dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berperkara. Sehingga dapat dapat diterapkan Asas nebis in idem yaitu perkara yang sama (subjek dan objek perkara yang sama) yang telah diselesaiakam melalui peradilan adat dilarang untuk diajukan ke pengadilan (negeri) untuk kedua kalinya. Oleh karena sanksi adat dalam denda juga merupakan sanksi yang memiliki 17
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Penerbit Alumni Bandung, 2002, hlm 3.
23
Hukum dan Masyarakat 2014 tujuan penghukuman yang sama, yaitu membuat pihak yang melakukan pelanggaran merasa bersalah dan dengan penuh kesadaran melakukan permohonan maaf kepada pihak yang dilanggar hak-haknya.
Dan peradilan adat di Papua bukanlah hal baru dalam sistem pemerintahan dan sistem peradilan di Papua. Melalui
Undang-undang Otonomi Khusus, Pemerintah
telah
menghidupkan kembali peradilan adat di Papua dan menempatkan secara tegas dalam sistem peradilan di Indonesia. itu, sekaligus menegaskan bahwa peradilan adat di Papua memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perkara/sengketa secara damai. Penyelesaian damai, menunjuk pada fitra dan citra peradilan adat sebagai penjaga keseimbangan, keharmonisan dan suasana rukun dalam masyarakat hukum adat. ========================= Daftar Pustaka Buku : Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, FH UII Press, Yogyakarta, 2007. Betty Sumarti, Revitalisasi Peran Ninik Mamak Dalam Pemerintahan Nagari, Seri Karya Mahasiswa Terseleksi, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM, Jogyakarta, 2007. Hilman Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia, CV Miswar Jakarta, 1989. Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta 2007 Joshz Mansoben, Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya, LIPI – RUL Seri 5, Jakarta 1995 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Penerbit Alumni Bandung, 2002. Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni Bandung, 1985. Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, Alumni Bandung, 2005
24
Hukum dan Masyarakat 2014 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Buku Kompas, Jakarta, 2006 Soepomo, Pertautan Peradilan Desa Kepada Peradilan Gubernemen, Bharatara Jakarta 1972. Sudikno Mertokusuma, Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangan di Indonesia Sedjak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia, Jogjakarta, 1970. Tresna, R. Mr. Peradilan di Indonesia; Dari Abad Ke Abad, cetakan ketiga, Pradnya Paramita, Jakarta 1978, hlm 5.
Undang-Undang dan Peraturan: Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen. Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Susunan, Kekuasaan Dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. PERPRES Nomor 12 Tahun 1963 tentang tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, Acara dan Tugas PengadilanPengadilan Sipil dan Kejaksaan di Irian Barat. Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di Papua. Jurnal dan Media on line : Suara Pembaharuan Daily, 20/9/2004, http://www:huma.or.id Sekilas Mengenai Peradilan Adat, disusun oleh Tim HuMa, sebagai materi penunjang bagi wartawan pada kegiatan Seminar Peradilan Adat pada tanggal 10 Desember 2003, di Sanggau Kalimantan Barat, hlm 1. http://www.huma.or.id
25
Hukum dan Masyarakat 2014
26