JURNAL HUKUM DAN MASYARAKAT
ISSN 1693-2889
Volume 14 Nomor 1 Januari 2015 HUKUM ISLAM DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN KAITANNYA DENGAN PENDEKATAN SISTEM Oleh Tri Yanuaria Kadir Katjong ABSTRAK Berlakunya ketentuan-ketentuan hukum Islam di dalam hukum positif secara yuridis formal, seperti: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf , dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang di rubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006,yang mengatur tentang Peradilan Agama , dan diperkuat dengan di keluarkan Kompilasi Hukum Islam, hal ini sebagai konsekuensi logis dari negara hukum agar setiap permasalahan yang muncul di masyarakat memperoleh perhatian dan penyelesaian secara adil menurut aturan hukum yang diyakini oleh anggota masyarakat Pengadilan Agama sebagai komponen struktural dalam penegakan hukum Islam, terutama dalam menyelesaikan masalah yang tejadi diantara umat Islam sebagai warga negara, serta komponen kultural (budaya hukum) yaitu umat Islam yang merupakan masyarakat Indonesia yang mayoritas ,dimana diperlukan adanya perilaku dan kesadaran hukum yang tinggi demi penegakkan hukum Islam yang yuridis formal di Indonesia. I. Pendahuluan Hukum Islam sudah ada di Indonesia sejak Islam masuk ke bumi Nusantara ini secara damai pada abad ke-7 Masehi atau bertepatan dengan abad ke-1 Hijrah, ada juga yang berpendapat pada tahun ke-30 Hijrah atau berpendapat dengan tahun 650 Masehi. Ketika wilayah nusantara dikuasai oleh para sultan, hukum Islam diberlakukan di dalam wilayah kekuasaannya dan sultan sendiri sebagai penanggungjawabnya, sultan berperan aktif sebagai piñata agama Islam dengan cara mengangkat penghulu sebagai kadi syariah dan pemberi fatwa-fatwa agama. Ketika VOC datang ke Indonesia kebijakan yang telah dilaksanakan oleh para sultan tetap dipertahankan pada daerah-daerah kekuasaannya. Dalam menghadapi perkembangan
Hukum dan Masyarakat 2015
hukum Islam di Indonesia, pada mulanya pemerintah Kolonial Belanda meneruskan kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh VOC, mereka tidak menganggap bahwa hukum Islam itu merupakan suatu ancaman bagi kelangsungan pemerintahannya, tetapi kondisi seperti ini tidak dapat dipertahankan dalam jangka waktu lama.1 Setelah Indonesia merdeka pemerintah Indonesia melalui Departemen Agama berusaha meluruskan persepsi tentang pemberlakuan hukum Islam Indonesia. Di dalam realitas politik Indonesia secara konstitusional adalah bukan negara Islam melainkan negara Pancasila (berdasarkan Pancasila), sehingga secara formal kelembagaan tidak memungkinkan bagi umat Islam untuk mewujudkan seutuhnya prinsip-prinsip Islam tentang hukum terutama dalam bentuknya yang resmi pula. Negara Pancasila adalah “religious nation state” yakni negara kebangsaan yang bukan negara agama (berdasarkan satu agama tertentu) dan bukan negara sekuler (negara yang tak mengurusi agama sama sekali). Negara Pancasila membina dan mengakui agama-agama yang dianut oleh rakyatnya sepanjang berkeadaban dan adil. Dengan demikian umat Islam yang ada di Indonesia terikat pada hukum nasional yang pemberlakuannya harus dilakukan secara prosedural oleh rakyat (legislative), terutama untuk hukum-hukum publik yang sumbernya merupakan campuran aspirasi dari gagasan hukum masyarakat tentang hukum barat, hukum adat, dan juga hukum Islam2 Untuk memberlakukan hukum Islam pada umatnya berdasarkan sistem politik yang ada sekarang ini, yang dapat dilakukan oleh umat Islam adalah berjuang dalam bingkai politik hukum agar nilai-nilai islami dapat mewarnai, bahkan dapat menjadi materi dalam produk hukum, terutama dalam lapangan hukum-hukum privat. Jadi dari peluang yang terbuka di dalam Negara Pancasila, umat Islam dapat memperjuangkan nilai-nilai dasar hukum Islam melalui perjuangan struktural dan perjuangan kultural dalam produk hukum nasional, tanpa harus mempetentangkan
1
Abdul Manan,2008
2
Moh. Mahfud MD,2010 Hal 281-282
39
Hukum dan Masyarakat 2015
antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian adanya bagian dari hukum Islam yang dapat berlaku secara formal atau menjadi hukum positif dalam tata hukum Indonesia, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Mohammad Daud Ali3 hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis adalah hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan mengatur hubungan manusia dengan benda di dalam masyarakat yang disebut dengan istilah mu‟amalah. Hukum Islam ini menjadi hukum positif karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Situasi sebagaimana tersebut telah mendorong para pakar hukum Islam di Indonesia untuk mengadakan pembaruan hukum Islam dalam bidang hukum keluarga agar sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia. Hukum Islam yang mengalami perubahan itu bukan hal-hal yang bersifat qath’i, tetapi hal-hal yang bersifat dhanni berdasar hasil ijtihat kolektif para ulama. Upaya-upaya pembaharuan ini melahirkan ketentuan-ketentuan hukum Islam yang terintegrasi dalam hukum positif atau sepenuhnya menjadi hukum positif yang berlaku di Indonesia, seperti pada aspek perkawinan, kewarisan, hibah, zakat,wakaf dan bahkan adanya peradilan agama. Berkaitan dengan itu dibawah ini akan di uraikan cuplikan beberapa contoh ketentuan-ketentuan hukum Islam yang telah menjadi hukum positif di Indonesia, diantaranya yang berkaitan dengan aspek perkawinan, wakaf, dan Peradilan Agama. II.Pembahasan A. Beberapa Aspek Hukum Islam dalam Hukum Positif di Indonesia Sumbangan hukum Islam terhadap hukum nasional tidak dapat dipungkiri lagi karena sebagian besar rakyat Indonesia mayoritas pemeluk agama Islam. Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipedomani dan ditaati oleh mayoritas penduduk dan masyarakat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam yang masuk dan eksis dalam hukum nasional.
3
Mohammad Daud Ali 1991, Hal 75
40
Hukum dan Masyarakat 2015
Dalam sejarah perjalanan hukum Islam di Indonesia, kehadiran hukum Islam dalam hukum nasional merupakan perjuangan eksistensi. Dalam bentangan sejarah itu Islam pula, hukum Islam selalu memperteguh eksistensinya, baik sebagi hukum positif atau tertulis, maupun tidak tertulis. Inilah yang disebut dengan
teori
eksistensi4. Menurut teori eksistensi ini keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional dapat dibedakan dalam empat bentuk, yaitu: 1. Ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia; 2. Ada
dalam arti diakui kemandirian, kekuatan, dan wibawanya oleh hukum
nasional dan diberi status sebagai hukum nasional; 3. Ada dalam fungsinya sebagai penyaring bagi materi - materi hukum nasional Indonesia; 4. Ada dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama bagi pembentukan hukum nasional. Berkaitan dengan teori eksistensi dan keberadaan ketentuan Hukum Islam dalam Hukum Positif di Indonesia, berikut ini disajikan cuplikan beberapa contoh ketentuan hukum Islam dalam hukum positif di Indonesia sebagai berikut: 1. Perkawinan (dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) Dalam hukum Perkawinan Nasional, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, terdapat nilai-nilai hukum Islam yang diintegrasikan dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut, sebagai contoh : a. Tentang sahnya Perkawinan Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Ketentuan Pasal 2 ini
merupakan integrasi dari nilai-nilai hukum Islam dalam kaitan dengan larangan 4
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo,2006 , Hal 70-71
41
Hukum dan Masyarakat 2015
kawin antar agama, dimana adanya larangan kawin antara seorang laki-laki dan perempuan yang berbeda agama apalagi bukan ahli kitab. Nilai-nilai hukum islam ini diperkuat dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam Indonesia, dimana dalam Pasal 40 Kompilasi Hukum Islam Indonesia yang diberlakukan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, disebutkan bahwa: dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dan wanita karena wanita tersebut tidak beragama Islam. b. Tentang masalah kawin lebih dari satu orang Asas yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah “monogami”, yakni asas yang memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai seorang istri dalam jangka waktu tertentu. Tetapi dalam hal tertentu seorang laki-laki diperbolehkan untuk mempunyai istri lebih dari satu orang dengan alasan apabila istri yang telah dikawini itu tidak dapat melahirkan keturunan, istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagi istri dan istri sakit-sakitan yang tidak dapat disembuhkan. Disamping itu harus memenuhi syarat yang telah ditentukan yaitu harus ada izin dari istri yang telah dinikahinya, mempunyai kesanggupan untuk memberi nafkah kepada istriistrinya, dan mampu bersikap adil kepada istri-istrinya. Izin untuk melaksanakan perkawinan lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama setelah memenuhi alasan-alasan dan syarat-syarat sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Dalam banyak kasus, kawin lebih dari seorang sering merugikan sebagian masyarakat, terutama kaum perempuan dan anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. Perkawinan yang seperti ini bukan bertujuan poligami yang dianjurkan oleh syariat Islam, tetapi lebih disebabkan oleh rendahnya moralitas orang yang melaksanakannya, karena banyaknya mudharatnya dari perkawinan poligami yang dilaksanakan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, banyak negara islam yang melarang poligami seperti ini.
42
Hukum dan Masyarakat 2015
c. Tentang alasan perceraian Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19 menentukan bahwa perceraian dapat dilaksanakan dengan alasan-alasan sebagai berikut: 1) Salah satu pihak pberbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan 2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alas an yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. 3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. 5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri 6) Antara suami dan istri terus menerus menjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Dari alasan perceraian diatas, terlihat adanya nilai-nilai hukum Islam yang dimasukkan atau diintegrasikan dalam hukum positif (hukum perkawinan nasional), seperti pada alasan perceraian point 1. Dimana salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, dan penjudi, dimana dalam hukum Islam hal ini sangat dilarang. Contoh lain yaitu pada alasan perceraian point 6. Dimana antara suami dan istri terus menerus menjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun dalam rumah tangga. Alasan ini juga merupakan nilai-nilai hukum islam yang disebut “syiqaq” yang diintegrasikan, yaitu perselisihan yang terus menerus yang sulit untuk dirukunkan lagi, dan dikhawatirkan akan mendapat bahaya dan kemudharatan apabila diteruskan.
43
Hukum dan Masyarakat 2015
d. Tententuan Masa Tunggu (Iddah) Masa Tunggu (Iddah) merupakan ketentuan hukum Islam yang di masukkan dalam hukum positif, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Masa tunggu atau iddah tergantung waktu dimana seorang janda tidak diperkenankan untuk menerima pinangan atau lamaran dari laki-laki lain, atau juga melangsungkan pernikahan dengan laki-laki sebelum habis masa tertentu. Masa tunggu dimaksudkan untuk menentukan nasab dari kandungan janda apabila kenyataan ia hamil. Masa tunggu juga dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada bekas suami untu rujuk lagi dengan bekas istrinya (jika perkawinan putus karena talak). Masa tunggu juga dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada janda untuk berkabung setelah meninggal suaminya bila perkawinan putus karena kematian suaminya. Dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dijelaskan bahwa apabila perkawinan putus karena kematian, maka masa tunggu ditetapkan 130 hari dihitung sejak suami meninggal dunia. Jika perkawinan putus karena perceraian masa tunggu bagi yang masih datang bulan ditetapkan 3 kali dengan sekurang-kurangnya 90 hari. Jika perkawinan putus (apakah perceraiannya itu karena cerai talak ataupun cerai gugat) maka masa tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedangkan antara janda itu dengan bekas suaminya belum terjadi seks. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian (cerai gugat), masa tunggu dihitung sejak putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan bagi perceraian yang dilaksanakan dengan cerai talak, masa tunggu dihitung sejak suami mengikrar talak kepada istrinya di depan sidang pengadilan. Dalam ketentuan hukum Islam dalam masa tunggu ini khususnya dalam talak raj’I masih ada akibat hukum yang perlu mendapat perhatian yaitu:
44
Hukum dan Masyarakat 2015
1) Suami masih mempunyai kewajiban memberi nafkah, sandang, pangan kepada bekas istrinya seperti ketika ia belum bercerai. 2) Suami masih mempunyai hak untuk ruju‟ (selagi masa iddah) dengan bekas istrinya 3) Bila salah satu pihak (suami atau istri) dalam masa tunggu ini meninggal dunia, maka pihak yang masih hidup berhak mendapat waris yang meninggal dunia. e. Tentang Pengadilan Dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa: yang dimaksud pengadilan dalam Undang-undang ini adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.
2. Wakaf (dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004) Wakaf sebagai perbuatan hukum sudah lama melembaga dan dipraktekkan di Indonesia. Diperkirakan lembaga wakaf ini sudah ada sejak Islam masuk ke nusantara ini, kemudian berkembang seiring dengan perkembangan agama islam di Indonesia. Dewasa ini wakaf di Indonesia telah diatur sepenuhnya dalam hukum positif (menjadi hukum positif) di Indonesia dengan diberlakukan Undang-Undang Wakaf pada tahun 2004 tentang Wakaf. Wakaf berasal dari kata kerja bahasa Arab, yaitu: waqfan – yaqifu. Waqfan yang berarti ragu-ragu, berhenti, memberhentikan, memahami, mencegah, menahan, mengaitkan, memperlihatkan, meletakkan, memperhatikan, mengabdi, dan tetap berdiri5 Para pakar hukum Islam berbeda pendapat dalam memberi definisi wakaf secara istilah hukum (hukum). Al-Minawi (dalam Abdul Manan,2008:238) mengemukakan bahwa wakaf adalah menahan harta benda yang dimiliki dan 5
Ahmad Warson Munawwir dalam Departemen Agama RI, 2002
45
Hukum dan Masyarakat 2015
menyalurkan manfaatnya dengan tetap menjaga pokok barang dan keabadiannya yang berasal dari para dermawan atau pihak umum selain dari harta maksiat, semata-mata karena ingin memerdekakan diri kepada Allah SWT.
Menurut Abd al-Wahhab Khallaf, wakaf berarti menahan sesuatu baik hissi maupun maknawi. Kata wakaf juga digunakan untuk obyeknya yakni dalam arti sesuatu yang ditahan. Menurut Muhammad bin Isma‟il as- San‟any, wakaf adalah menahan harta yang mungkin manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusak bendanya (ainnya) akan untuk kebaikan6 Wakaf sebagai suatu lembaga Islam mempunyai empat rukun wakaf, yaitu: a. Orang yang berwakaf atau wakif, yakni pemilik harta benda yang melakukan tindakan hukum. b. Harta yang diwakafkan atau mauquf bih sebagai obyek perbuatan hukum. c. Tujuan wakaf atau yang berhak menerima wakaf, yang disebut mauquf‟alaih. d. Pernyataan wakaf dari wakif yang disebut sigat atau ikrar wakaf. Aagar benda yang diwakafkan sah, maka harus memenuhi syarat-syarat wakaf. Adapun syarat-syarat wakaf adalah: a. Benda yang diwakafkan itu harus mutaqawwin (barang yang dimiliki seseorang dan boleh dimanfaatkan menurut syariat Islam dalam keadaan apapun) dan ‘aqar (benda tidak bergerak) dan dapat diambil manfaatnya. b. Benda yang diwakafkan harus jelas wujudnya dan pasti batas-batasnya. c. Harta yang diwakafkan itu harus benar-benar kepunyaan wakif secara sempurna, artinya bebas dari segala beban. d. Benda yang diwakafkan harus kekal. Tujuan wakaf yang harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Oleh karena itu, benda-benda yang dijadikan sebagai objek wakaf hendaknya benda-benda yang termasuk dalam bidang mendekatkan 6
Departemen Agama RI,2002, Hal. 115
46
Hukum dan Masyarakat 2015
diri kepada Allah SWT. Tidak dibenarkan pelaksanaan wakaf itu didasarkan kepada tujuan yang tidak baik dan mendatangkan kemudharatan kepada masyarakat. Wakaf hendaknya dilaksanakan dengan tujuan untuk kebaikan sesame manusia dengan mendapat ridha dan pahala dari Allah SWT, misalalnya untuk pendidikan, maupun rumah sakit, dan kepentingan umum lainnya. Nilai-nilai wakaf menurut ketentuan hukum Islam ini di Indonesia telah di laksanakan oleh umat islam di Indonesia dan telah diintegrasikan dalam hukum positif atau menjadi hukum positif dalam tata hukum Indonesia berupa undangundang
maupun dalam Peraturan Pemerintah, seperti dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria yang telah memperkokoh eksistensi wakaf di Indonesia, dimana dalam Pasal 49 di jelaskan bahwa untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya dapat diberi tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai, perwakafan tanah milik dilindungi dan di atur dengan peraturan pemerintah. Sebagai raalisasi dari undang-undang ini pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik. Wakaf sebagai nilai-nilai dalam hukum islam semakin kuat eksistensinya dalam hukum positif di Indonesia dengan diberlakukan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang berlaku berdasarkan instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, dan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang terdiri dari sebelas bab, tujuh puluh satu pasal, hal ini inhern dengan penataan sistem hukum nasional yang berlaku saat ini. Salah satu pertimbangan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, adalah perlu ditingkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan social, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomis yang berpotensi, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, supaya hal ini dapat berjalan dengan baik sebagaimana yang diharapkan, maka perlu menggali dan mengembangkan potensi 47
Hukum dan Masyarakat 2015
yang terdapat dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis. Dengan demikian dalam Undang-Undang wakaf ini digantungkan harapan agar terjaminnya kesinambungan dan optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan benda wakaf sesuai dengan sistem ekonomi syariah yang sedang digalakkan saat ini. Diharapkan aset wakaf menjadi sumber pendanaan bagi pembangunan ekonomi islam yang dapat mensejahterakan masyarakat. 3. Peradilan Agama (dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama). Peradilan Agama dalam bentuknya yang sederhana berupa tahkim (lambaga penyelesaian sengketa antara orang-orang islam yang dilakukan oleh para ahli agama). Peradilan Agama telah ada di Indonesia sejak agama Islam dianut oleh penduduk yang berada di wilayah nusantara ini, berabad-abad sebelum kehadiran penjajah. Peradilan agama pada waktu itu belum mempunyai landasan hukum secara formal. Pengadilan Agama ini muncul bersamaan dengan adanya kebutuhan dan kesadaran hukum umat Islam Indonesia (Munawir Sjadzali, 1991:42) Keberadaan Peradilan agama baru diakui secara resmi pada masa penjajahan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1882, ketika diresmikannya Pengadilan Agama di Jawa Madura berdasarkan stbl. 1982 Nomor 52 (Amrullah Ahmad, 1996:4) Dalam perjalanan pemerintah belanda berusa menghalangi berlakunya hukum islam lebih luas lagi. Setelah Idonesia merdeka tatanan peradilan nasional khususnya Peradilan Agama mulai berubah Perubahan ini bertitik tolak pada ketentuan konstitusi disamping memperhatikan perkembangan aspirasi dan tatanan masyarakat secara luas. Pada tanggal 29 Desember 1989 terjadi peristiwa penting berkenaan dengan berlakunya sebagian hukum Islam dan penyelenggaraan Peradilan Islam di 48
Hukum dan Masyarakat 2015
Indonesia. Peristiwa tersebut adalah pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Peradilan Agama ini terdiri dari 7 bab dan 108 Pasal. Undang-Undang ini kemudian dirubah atau diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Wewenang Pengadilan Agama ditegaskan dalam Pasal 49 ayat (1) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989, yang berbunyi: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama iislam di bidang: a. Perkawinan; b. Kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. Wakaf dan shadaqah”. Dengan demikian jelas bahwa wewenang Pengadilan Agama adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan permasalahan kaum muslim dalam bidang-bidang tertentu,yaitu perkawinan dan berbagai hal yang terkait dengannya, bidang kewarisan dan berbagai hal yang terkait dengannya, serta bidang perwakafan dan berbagai hal yang terkait dengannya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 kewenangan Pengadilan Agama diperluas dalam bidang ekonomi syari‟ah meliputi: Bank Syari‟ah, Asuransi, Asuransi Syari‟ah, Reasuransi Syari‟ah, Surat Berharga Berjangka Menengah Syari‟ah, Sekuritas Syari‟ah, Pengadilan Syari‟ah, Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari‟ah, Bisnis Syari‟ah, dan Lembaga Keuangan Mikro Syari‟ah. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 berlaku asas pilihan hukum (choise of law), yakni dalam bidang kewarisan, para pihak yang beragama islam sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan. Ketentuan ini dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tidak berlaku lagi. Sehingga orang-orang islam yang berperkara sesama orang Islam dalam bidang kewarisan menjadi wewenang Pengadilan Agama.
49
Hukum dan Masyarakat 2015
Tambahan lain tentang kewenangan pengadilan Agama adalah bahwa Pengadilan Agama memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriayah. Pengadilan Agama juga dapat memberikan keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat. Undang-Undang yang mengatur tentang Peradilan Agama ini sebagai konsekuensi logis dari negara hukum agar setiap permasalahan yang muncul di masyarakat memperoleh perhatian dan penyelesaian secara adil menurut aturan hukum yang diyakini oleh anggota masyarakat. Dari aspek keyakinan umat islam akan merasa memperoleh keadilan karena hukum yang diberlakukan sesuai dengan keyakinannya. Dengan diberlakukan Undang-undang Pengadilan Agama ini maka eksistensi Pengadilan agama di Indonesia telah mendapat pengakuan secara konstitusional. Dengan masuknya Pengadilan Agama ke dalam UUD 1945, tidak akan ada perdebatan lagi mengenai kehadiran peradilan agama dalam sistem kekuasaan kehakiman di Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga dapat memenuhi harapan umat Islam Indonesia terutama berkaitan dengan status hukum dan kewenangannya yang menjadi bagian dari sistem peradilan nasional sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. 4. Kompilasi Hukum Islam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pengertian hukum diartikan sebagai buku hukum atau kumpulan bahan hukum tertentu, pendapat hukum, atau aturan hukum. Atamimi mendefinisikan Kompilasi Hukum Islam sebagai himpunan ketentuan hukum Islam yang dituliskan dan disusun secara teratur. Secara historis, lahirnya kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, merupakan salah satu bentuk respon positif dari kalangan bangsa Indonesia untuk menata dan membenahi keberadaan hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Lahirnya Kompilasi Hukum Islam ini lebih mempertegas ketentuan-ketentuan
50
Hukum dan Masyarakat 2015
hukum Islam yang ada dalam hukum positif di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan Perkawinan, Kewarisan , Perwakafan, dan bahkan membantu para hakim yang ada di pengadilan Agama dalam penegakkan hukum Islam di Indonesia.
Kompilasi Hukum Islam (KHI), meski tidak terbentuk undang-undang, melainkan Instruksi Presiden Nomor I Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam ini terdiri dari tiga buku, yaitu: Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan. kompilasi ini sangat membantu para hakim dalam memutus perkara terutama di Peradilan Agama, kareana diperuntukkan bagi para hakim di Pengadilan Agama untuk mendapatkan kepastian hukum dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Berdasarkan pertimbangan ini maka Kompilasi Hukum Islam dapat diartikan sebagai rangkuman dari berbagai pendapat ulama „fikih‟. Secara substansial Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum normative bagi umat Islam, dimana kekuatan yuridisnya terletak pada Istruksi Presiden selaku pemegang otoritas dibidang perundang-undangan.
B. Analisis Sistem Berlakunya Ketentuan Hukum Islam Dalam Hukum Positif di Indonesia Indonesia sebagai negara hukum yang mayoritas jumlah penduduknya beragama Islam, jika dilihat dari berbagai ketentuan syariah Islam atau ketentuan hukum islam yang telah menjadi bagian dari hukum positif atau seluruhnya dijadikan hukum positif dalam tata hukum Indonesia, jika dikaitkan dengan sistem hukum sebagaimana dikemukakan L.M. Friedmann , yang terdiri dari tiga komponen, yaitu Komponen truktural, substansial dan dan kultur (budaya hukum), dimana berlakunya sistem hukum tersebut harus didukung oleh tiga komponen tersebut. Oleh karena itu berkaitan dengan ketentuan hukum Islam yang telah menjadi hukum positif di Indonesia sebagai sistem hukum dalam tata hukum Indonesia, 51
Hukum dan Masyarakat 2015
tergambar bahwa: Dari segi komponen struktural telah hadirnya Pengadilan Agama maupun Pengadilan Tinggi Agama beserta para hakimnya sebagai lembaga penegak hukum dalam menyelesaikan masalah yang terjadi bagi umat Islam yang ada di Indonesia sesuai dengan kewenangannya, seperti dalam menyelesaikan masalahmasalah perkawinan, warisan dan perwakafan. Dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, maka eksistensi Peradilan Agama benar-benar semakin mantap karena mempunyai status hukum yang kuat dan memiliki kedudukan yang sama dan setingkat dengan peradila-peradilan lainnya dengan kekuasaan dan wewenang yang berbeda, walaupun harus diakui bahwa wewenang Peradilan Agama masih terbatas pada perkara-perkara umat islam dalam bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Dari segi komponen Substansial, telah hadirnya ketentuan-ketentuan syariat islam atau ketentuan-ketentuan syariat islam yang menjadi hukum positif di Indonesia atau yang berlaku secara formal yuridis, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Undang-Undang tentang wakaf , kompilasi hukum islam dsb. Sebagai perangkat norma atau aturan yang harus dipedomani oleh umat Islam yang ada di Indonesia baik sebagai pribadi muslim sekaligus sebagai warga negara Indonesia. Dari segi koponen kultural atau budaya hukum, yang juga turut menentukan suksesnya pelaksanaan hukum Islam yang menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia, dimana diperlukan adanya kesadaran hukum yang tinggi dari umat Islam. Tanpa adanya kesadaran hukum ini akan sulit dalam penegakkan hukum, terutama bagi Pengadilan Agama untuk menegakkan hukum Islam ditengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu kredibilitas Pengadilan Agama sebagai institusi penegak keadilan sangat tergantung juga pada umat Islam yang ada di Indonesia yang juga turut bertanggung jawab mengemban dan melaksanakan peradilan tersebut. Jika ketentuan-ketentuan Hukum Islam yang ada dalam hukum positif di Indonesia dikaitkan dengan Pendekatan Sistem sebagaimana dikemukakan oleh Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra (1993:103-105) , dimana hukum sebagai suatu sistem 52
Hukum dan Masyarakat 2015
terdapat 9 (Sembilan) komponen sistem hukum, yang jika di kaitkan dengan keberadaan hukum Islam dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana tergambar sebagai berikut7: 1. Masyarakat Hukum, dimana masyarakat Indonesia mayoritas beragama islam sebagai warga negara, sehingga adanya ketentuan-ketentuan hukum Islam dalam hukum positif di Indonesia adalah suatu kewajaran. 2. Budaya hukum, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam harus berperilaku /berpedoman pada ketentuan hukum Islam yang ada dalam hukum positif, dimana diperlukan adanya kesadaran hukum yang tinggi dari umat Islam. Tanpa adanya kesadaran hukum ini akan sulit dalam penegakkan hukum. 3. Filsafat Hukum, Ketententuan-ketentuan hukum Islam dalam hukum positif merupakan formulasi nilai tentang cara mengatur kehidupan manusia, terutama umat Islam di Indonesia baik sebagai pribadi muslim maupun sebagai warga negara. 4. Ilmu/Pendidikan Hukum, merupakan sarana komunikasi antara teori dan praktek hukum, pengembangan teori-teori hukum, desain dan formula hukum praktis yang berkaitan dengan ketentuan hukum Islam yang ada dalam hukum positif di Indonesia sesuai dengan cita negara hukum. 5. Konsep Hukum, merupakan formulasi kebijaksanaan hukum yang ditetapkan oleh masayarakat hukum dalam hal ini umat Islam di Indonesia sebagai warga negara, yang berkaitan dengan budaya hukum tertulis, nilai-nilai hukum Islam, serta proses pembentukan, penerapan, pengembangan dan pembangunan hukum, dimana hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia. 6. Pembentukan hukum, masuknya hukum Islam dalam hukum positif di Indonesia merupakan bagian proses hukum yang meliputi, lembaga, seperti melaui Pemerintah dan DPR, aparatur, sarana pembentukan hukum serta prosedur yang harus dilalui. 7
Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra,1993 Hal. 103-105
53
Hukum dan Masyarakat 2015
7. Bentuk Hukum merupakan hasil proses pembentukan hukum berupa peraturan perundangan, seperti: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf , Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 /Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama, dan Kompilasi Hukum Islam, maupun keputusan-kepautusan hakim Pengadilan Agama. 8. Penerapan Hukum, dalam penerapan hukum Islam yang yuridis formal di Indonesia meliputi tiga komponen, yaitu: Komponen Struktural (insttitusi yang melaksanakan, seperti: Pengadilan Agama, personil dari institusi seperti: Hakim Pengadilan Agama bagian administratifnya); Komponen Substansial, yaitu: Ketentuan-ketentuan Hukum Islam yang ada dalam hukum positif; dan Komponen cultural, yaitu masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama islam yang diharapkan memiliki tingkat kesadaran hukum yang tinggi. 9. Evaluasi Hukum, merupakan proses pengujian kesesuaian antara hukum yang terbentuk dengan konsep hukum positif, sehingga tercipta hukum positif di Indonesia yang mengakomodir ketentuan hukum Islam, dimana hukum islam sebagai salah satu sumber bagi hukum nasional.
III. Kesimpulan Dari uraian-uraian diatas dapat di tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam perkembangan hukum dan konstitusi di Indonesia, maka hukum Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia telah menjadi sumber bagi hukum nasional, beberapa ketentuan hukum islam yang telah diintegrasikan menjadi hukum positif dalam tata hukum Indonesia dan telah berlaku secara yuridis formal adalah sebagai contoh diantaranya ketentuan yang berkaitan dengan perkawinan sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, ketentuan tentang wakaf sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan juga Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang54
Hukum dan Masyarakat 2015
2. Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang di rubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, dalam menyelesaiakan masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan, kewarisan, dan perwakafan bagi umat islam sebagai warga negara. 3. Berlakunya ketentuan-ketentuan hukum Islam di dalam hukum positif secara yuridis formal, seperti: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf , dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang di rubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006,yang mengatur tentang Peradilan Agama , dan diperkuat dengan di keluarkan Kompilasi Hukum Islam, hal ini sebagai konsekuensi logis dari negara hukum agar setiap permasalahan yang muncul di masyarakat memperoleh perhatian dan penyelesaian secara adil menurut aturan hukum yang diyakini oleh anggota masyarakat. Dari aspek keyakinan umat islam akan merasa memperoleh keadilan karena hukum yang diberlakukan sesuai
dengan
keyakinannya. 4. Dilihat analisis sistem hukum, ketentuan-ketentuan hukum Islam yang telah terintegrasi menjadi hukum positif dalam tata hukum Indonesia merupakan suatu system hukum (Hukum Nasional), dimana ketentuan hukum Islam dalam hukum positif sebagai komponen substansial dari salah satu komponen hukum yang harus dipedomani oleh umat Islam sebagai warga negara Indonesia, disamping komponen lainnya, yaitu Pengadilan Agama sebagai komponen struktural dalam penegakan hukum Islam, terutama dalam menyelesaikan masalah yang tejadi diantara umat Islam sebagai warga negara, serta komponen kultural (budaya hukum) yaitu umat Islam yang merupakan masyarakat Indonesia yang mayoritas ,dimana diperlukan adanya perilaku dan kesadaran hukum yang tinggi demi penegakkan hukum Islam yang yuridis formal di Indonesia. Ketiga komponen sistem hukum diatas harus saling mendukung sehingga sistem hukum dapat berjalan dengan baik.
55
Hukum dan Masyarakat 2015
Daftar Pustaka Abdurrahman, Tebaran Pikiran Tentang Studi Hukum dan masyarakat, Media Sinar Press, Jakarta,1986 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008 Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman Yang Terus Berkembang, Pustaka Pelajar, Yokyakarta,2006 A.Hamid S Attamimi, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Tinjauan Dari sudut Teori Perundang-Undangan, dalam Amrullah Ahmad SF,et al (ed), Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1998 Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum, Jakarta, 2002 Departemen Agama RI Drektorat Pembinanaan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dilinkungan Peradilan Agama, Jakarta ,2004 Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Peradilan dan Masalahnya. Dalam Tjun Surjaman (ed), Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek, Remaja rosdakarya, Bandung, 1991 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010 Munawir Sjadzali, Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama di Indonesia. Dalam Tjun Surjaman (ed), Hukum Islam di Indonesia : Pemikiran dan Praktek , Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991 M. Sularno, Syari’at Islam dan Upaya Pembentukan Hukum Positif di Indonesi, Al-Mawarid Edisi XVI Tahun 2006
56
Hukum dan Masyarakat 2015
Sukarno Aburaera, Materi Kuliah Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia, Prodi S3 Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 211 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
57