JURNAL HUKUM DAN MASYARAKAT
ISSN 1693-2889
Volume 14 Nomor 1 Januari 2015 TANGGUNG JAWAB EKSPEDITUR DALAM PENGANGKUTAN BARANG KIRIMAN Tri Yanuaria, SH., MH Dr. Thobby Wakarmamu, M.Si. ABSTRAK
Fungsi pengangkutan ialah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai. Di sini jelas, meningkatnya daya guna dan nilai merupakan tujuan dari pengangkutan, yang berarti bila daya guna dan nilai di tempat baru tidak naik, maka pengangkutan tidak perlu diadakan, sebab merupakan suatu perbuatan yang merugikan bagi si pedagang. Fungsi pengangkutan yang demikian itu tidak hanya berlaku di dunia perdagangan saja, tetapi juga berlaku di bidang pemerintahan, sosial, pendidikan, hankam dan lain-lain. Pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan ialah pengangkut dan pengirim. Adapun sifat perjanjian pengangkutan adalah timbal balik, artinya kedua belah pihak baik pengangkut maupun pengirim masing-masing mempunyai kewajiban sendiri-sendiri. Kewajiban pengangkut ialah: menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan kewajiban pengirim ialah membayar uang angkutan. Istilah “menyelenggarakan pengangkutan” berarti bahwa pengangkutan itu dapat dilakukan sendiri oleh pengangkut atau dilakukan oleh orang lain atas perintahnya. Istilah “dengan selamat” mengandung arti, bila pengangkutan berjalan dengan “tidak selamat” itu menjadi tanggung jawab pengangkut. Keadaan “tidak selamat” ini hanya mempunyai dua arti, yaitu : barangnya tidak ada, lenyap atau musnah, sedang arti kedua ialah barangnya ada, tetapi rusak sebagian atau seluruhnya. Barangnya tidak ada itu mungkin disebabkan karena terbakar, tenggelam, sengaja di lempar ke laut, dicuri orang atau karena sebab lain. Kalau barang itu rusak, baik sebagian atau seluruhnya, sedemikian rupa sehingga barang itu tidak bisa dipergunakan sebagaimana mestinya). Kata kunci: Tanggung Jawab, Ekspeditur, Pengangkutan I.
Pendahuluan Pada perjanjian pengangkutan, baik menutupnya maupun melaksanakan,
kebanyakan kalinya diserahkan kepada orang lain yang ahli di bidang yang bersangkutan. Begitulah misalnya pada waktu menutup perjanjian pengangkutan atau perjanjian carter kapal, untuk yang pertama diserahkan kepada ekspeditur, sedangkan bagi yang kedua kepada makelar kapal (cargadoor). Convooiloper atau agenduane (fungsi ini sekarang dikerjakan oleh EMKL) mengusahakan in dan uitklaring. Pengatur muatan (stuwadoor) atau juru padat mengusahakan tentang 57
Hukum dan Masyarakat 2015
pemuatan dan pembongkaran. Fungsi-fungsi ini terkadang bersatu dalam satu atau dua perusahaan, misalnya, ada perusahaan EMKL yang berfungsi sebagai ekspeditur, makelar kapal dan agen-duane atau convooiloper, sedang perusahaan lain berfungsi sebagai pemuatan (stuwadoor) dan pembongkaran muatan.1 Bila ada seorang perantara yang bersedia untuk mencarikan pengangkut yang baik bagi seorang pengirim itu namanya “ekspeditur”. Mengenai ekspeditur ini diatur dalam KUHD, Buku I, Bab V, Bagian II, Pasal 86 sampai dengan 90. Pasal 86 ayat (1) KUHD berbunyi: “de expediteur is iemand, die zich met het doen vervoeren van koopmanschapen en goederen te land of te water bezig houdt” (Ekspeditur adalah orang yang pekerjaannya menyuruh orang lain untuk menyelenggarakan pengangkutan barang-barang dagangan dan barang-barang lainnya melalui daratan atau perairan). Di sini jelas bahwa ekspeditur menurut undang-undang hanya seorang perantara yang bersedia mencarikan pengangkut bagi pengirim dan tidak mengangkut sendiri barang-barang yang telah diserahkan kepadanya itu. Perjanjian yang dibuat antara ekspeditur dan pengirim disebut perjanjian ekspedisi, sedangkan perjanjian antara ekspeditur, atas nama pengirim dengan pengangkut disebut perjanjian pengangkutan. Kecuali Pasal 86 sampai dengan 90 KUHD, juga Pasal 95 KUHD mengenai persoalan daluwarsa bagi gugatan terhadap ekspeditur dan lain-lain berlaku bagi ekspeditur. Daluwarsa bagi gugatan terhadap ekspeditur hanya satu tahun bagi pengiriman-pengiriman dalam wilayah Indonesia dan dua tahun terhadap pengiriman dari Indonesia ke luar negeri. Di antara para perantara pengangkutan, hanya ekspeditur sajalah yang mendapat pengaturannya dalam undang-undang. Sebagai yang sudah dijelaskan di atas, bagi ekspeditur berlakulah Pasal 86 sampai dengan 90 KUHD. Di samping itu berlaku juga Pasal 95 KUHD tentang daluwarsa gugatan hukum terhadap ekspeditur. Peraturan ini semua adalah peraturan pelengkap dan berlaku juga bagi ekspeditur yang tidak tetap, yaitu ekspeditur insidentil.
1 H.M.N. Purwosutjipto, 2003, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3: Hukum Pengangkutan, Djambatan, Jakarta, hlm. 12
58
Hukum dan Masyarakat 2015
Berpedoman pada Pasal 466 KUHD, maka yang disebut pengangkut adalah orang yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan. Sedangkan ekspeditur menurut Pasal 86 KUHD adalah orang yang bersedia untuk mencarikan pengangkut bagi pengirim. Pengusaha transpor adalah orang yang bersedia menyelenggarakan seluruh pengangkutan dengan satu jumlah uang angkutan yang ditetapkan sekaligus untuk semuanya, tanpa mengikatkan diri untuk melakukan pengangkutan itu sendiri. Dari itu, perbedaan antara ekspeditur, pengangkut dan pengusaha transpor dapat diuraikan sebagai berikut:2 1. Perbedaan antara ekspeditur di satu pihak dengan pengangkut dan pengusaha transport di lain pihak adalah ekspeditur hanya bersedia untuk mencarikan pengangkut bagi pengirim, sedangkan pengangkut dan pengusaha transpor bersedia untuk menyelenggarakan pengangkutan 2. Perbedaan antara pengangkut dengan pengusaha transpor dapat dijelaskan sebagai berikut: a. pengangkut menerima pengangkutan yang dapat diangkut dalam trayeknya sendiri b. pengusaha transpor menerima seluruh pengangkutan, baik yang dapat diangkut melalui trayeknya sendiri maupun di luarnya. Sudah tentu, pada hal yang terakhir ini pengusaha transpor mempergunakan pengangkut lain. Uang angkutan bagi pengangkutan yang melalui trayeknya sendiri, maupun melalui trayek orang lain diperhitungkan sekaligus dan merupakan satu jumlah yang tidak diperinci lagi. Hal yang terakhir inilah yang menjadi ciri khas daripada pengusaha transpor. Pelaksanaan
pengangkutan
dengan
perantaraan
ekspeditur
dalam
prakteknya sering muncul permasalahan. Permasalahan tersebut antara lain adalah mengenai rusaknya barang yang dikirim atau keterlambatan barang kiriman sampai di tempat tujuan. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian pada pihak penerima barang.
2
Ibid, hlm. 20
59
Hukum dan Masyarakat 2015
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya ekspeditur juga mempunyai tanggung jawab terhadap barang kiriman/ hantaran, terutama yang berkaitan dengan masalah kerusakan barang yang dikirim atau masalah keterlambatan barang kiriman sampai di tempat tujuan (tempat penerima barang). Sebagai yang telah diketahui bersama, adalah termasuk kewajiban pengangkut untuk menyerahkan barang angkutan kepada penerima seperti yang sudah ditetapkan dalam perjanjian pengangkutan yang bersangkutan. Si penerima itu mungkin si pengirim sendiri atau orang lain. Sebagai contoh peristiwa yang pertama, misalnya seorang Duta Besar RI yang sudah habis masa jabatannya di Jepang, dipanggil kembali ke Indonesia untuk memangku jabatan negara di tanah air. Duta Besar yang bersangkutan mengirimkan barang-barang miliknya yang penting-penting ke Indonesia melalui sebuah perusahaan pengangkutan di Jepang. Dalam perjanjian pengangkutan yang diadakan untuk itu, Duta Besar RI bertindak sebagai pengirim, sedangkan perusahaan pengangkutan di Jepang tersebut bertindak sebagai pengangkut. Barang-barang yang diangkut tersebut di Indonesia diterima oleh Duta Besar RI yang mengirim barang dari Jepang tersebut. Di sini Duta Besar RI tersebut tidak hanya berkedudukan sebagai pengirim, juga sebagai penerima. Adapun contoh peristiwa kedua adalah sebagai berikut: Importir A di Jakarta menutup suatu perjanjian jual beli perusahaan dengan eksportir B di Amerika. Adalah kewajiban eksportir B di Amerika untuk mengirim barangbarang yang dipesan kepada importir A di Jakarta. Eksportir B lalu menutup perjanjian pengangkutan dengan pengangkut C di Amerika untuk mengirimkan barang-barang pesanan kepada A di Jakarta. Setelah barang-barang sampai di Jakarta, pengangkut menyerahkannya langsung kepada A di Jakarta. Dalam hal ini B adalah pengirim, C adalah pengangkut sedangkan A adalah penerima. Dalam contoh peristiwa kedua ini, si penerima bukanlah si pengirim, tetapi orang lain, yaitu importir (pembeli dalam perjanjian jual beli perusahaan). Di pandang dari sudut perjanjian pengangkutan, maka penerima adalah pihak ketiga yang
60
Hukum dan Masyarakat 2015
berkepentingan, yakni berkepentingan terhadap diterimanya barang-barang kiriman tersebut. Dalam hal ini A bukanlah pihak dalam perjanjian pengangkutan, sebab pihak-pihak yang bersangkutan dalam perjanjian pengangkutan adalah B dan C. Di sini A menjadi pihak ketiga (di luar pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan)
yang
berkepentingan
terhadap
terlaksananya
perjanjian
pengangkutan tersebut. Kedudukan A sebagai pihak ketiga yang berkepentingan mendapat sifat hukumnya dalam Pasal 1317 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “Lagi pula diperbolehkan untuk minta ditetapkan janji khusus, yang dibuat guna kepentingan pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seseorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukan kepada orang lain mengandung suatu janji seperti itu. Ayat (2) berbunyi: “orang yang membuat janji khusus itu tidak boleh mencabut janjinya, kalau pihak ketiga sudah menyatakan akan memanfaatkan janji khusus itu”. Pihak ketiga yang berkepentingan ini mempunyai hak dan kewajiban, sebagai akibat dari kedudukan hukumnya, di antaranya ialah hak untuk memanfaatkan janji khusus dalam perjanjian pengangkutan tersebut, yakni menerima barang-barang kiriman dari B.3 Berdasarkan latar belakang di atas, maka Penulis fokuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimana tanggung jawab ekspeditur dalam pengangkutan barang kiriman serta penyelesaiannya apabila barang kiriman terlambat atau rusak sampai di tujuan?” Dalam penelitian ini untuk mencapai hasil yang diinginkan, maka tentu saja penelitian memiliki tujuan, yaitu: “Untuk
mengetahui
dan
mengkaji
tanggung
jawab
ekspeditur
dalam
pengangkutan barang kiriman serta penyelesaiannya apabila barang kiriman terlambat atau rusak sampai di tujuan”. II. Metode Penelitian Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari penelitian disajikan dan diolah secara kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut: 3
Ibid, hlm. 45
61
Hukum dan Masyarakat 2015
1. Data yang diperoleh dari penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan dalam penelitian 2. Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan 3. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar dalam pengambilan kesimpulan
III. Pembahasan 1. Pengertian Pengangkutan Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, di mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan. Pengangkutan dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Dalam hal ini terkait unsur-unsur pengangkutan sebagai berikut: a. ada sesuatu yang diangkut; b. tersedianya kendaraan sebagai alat angkutnya; dan c. ada tempat yang dapat dilalui alat angkutan. Proses pengangkutan itu merupakan gerakan dari tempat asal darimana kegiatan angkutan dimulai ke tempat tujuan di mana angkutan itu diakhiri. 4 Adapun yang menjadi fungsi pengangkutan itu adalah memindahkan barang atau orang dari satu tempat ke tempat lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai.5 Pengangkutan dilakukan karena nilai barang akan lebih tinggi di tempat tujuan daripada di tempat asalnya. Oleh karena itu, pengangkutan dikatakan memberi nilai kepada barang diangkut. Nilai itu akan lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Nilai yang diberikan berupa nilai tempat (place 4 Muchtaruddin Siregar, 1981, Beberapa Masalah Ekonomi dan Managemen Pengangkutan, Lembaga Penerbitan FE UI, Jakarta, hlm.5 5 HMN. Purwosutjipto, 2003, Op. Cit, hlm.1
62
Hukum dan Masyarakat 2015
utulity) dan nilai waktu (time utility). Kedua nilai tersebut diperoleh jika barang yang diangkut ke tempat di mana nilainya lebih tinggi dan dapat dimanfaatkan tepat pada waktunya. Dengan demikian pengangkutan memberikan jasa kepada masyarakat yang disebut jasa angkutan. 6 Dari segi hukum, khususnya hukum perjanjian, pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim barang atau penumpang di mana pihak pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang ke suatu tempat tujuan tertentu, dan pihak pengirim barang atau penumpang mengikatkan dirinya pula untuk membayar ongkos angkutannya.7 Mengenai pengangkut pada umumnya tidak ada definisinya dalam KUHD. Pasal 466 dan Pasal 521 KUHD menetapkan definisi pengangkut laut dan bukan pengangkut pada umumnya. Pengangkut pada umumnya adalah orang yang mengikatkan diri untuk menyelengarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Lawan pihak dari pengangkut ialah pengirim, yang definisinya juga tidak terdapat dalam KUHD. Pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan. Dimaksudkan juga dia memberikan muatan. Tetapi apakah ini dapat dikatakan kewajiban bagi si pengirim, orang tidak sependapat. Pada umumnya orang menjawab bahwa itu bukan suatu kewajiban bagi si pengirim.8 Pengangkut mengikatkan diri untuk mengangkut muatan yang diserahkan kepadanya, selanjutnya menyerahkan kepada orang yang ditunjuk sebagai penerima dan menjaga keselamatan barang muatan itu. Kalau perjanjian pengangkutan itu berbentuk perjanjian carter kapal, maka pengangkut mengikatkan diri untuk menyediakan ruang dalam satu atau beberapa kapal bagi kepentingan si pengirim. Di sini pengangkut melakukan penawaran umum bagi siapa saja. Kalau ada seseorang yang akan memakai jasanya, dia harus menerimanya. Muchataruddin Siregar, Op. Cit., hlm.6 H.M.N. Purwosutjipto, Loc. Cit. 8 Ibid, hlm. 4 6 7
63
Hukum dan Masyarakat 2015
Tetapi ada kalanya pengangkut menolak muatan yang diserahkan kepadanya, misalnya karena barang yang akan dimuat itu adalah jelas barang larangan, barang yang berbahaya atau barang yang kurang baik mengepaknya. Kalau alasan penolakan semacam itu tidak ada, maka penolakan pengangkut tersebut merupakan suatu wanprestasi bagi si pengirim, sebab menyerahkan muatan bukanlah kewajiban baginya.
2. Prinsip Tanggung Jawab Dalam Pengangkutan Titik sentral setiap pembahasan mengenai tanggung jawab pengangkut pada umumnya adalah tentang prinsip tanggung jawab (liability principle) yang diterapkan. Penggunaan suatu prinsip tanggung jawab tertentu bergantung kepada keadaan tertentu, baik ditinjau secara makro (sesuai dengan perkembangan masyarakat), maupun ditinjau secara mikro (sesuai dengan perkembangan dunia angkutan yang bersangkutan, baik darat, laut atau udara). Setidak-tidaknya ada 3 (tiga) prinsip atau teori mengenai tanggung jawab yang dikenal, ialah:9 a. prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanya unsur kesalahan (fault liability, liability based on fault principle) b. prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga (rebuttable presumption of liability principle); c. prinsip tanggung jawab mutlak (no fault liability, absolute atau strict liability principle). Yang menjadi fokus pembahasan adalah menunjukkan perbedaanperbedaan pokok dari ketiga macam prinsip tanggung jawab tersebut, baik dari segi dasar falsafah maupun akibatnya dalam praktek bagi pihak-pihak yang bersangkutan, khususnya dalam kaitannya dengan sistem penyantunan atas kerugian yang timbul dalam pengangkutan. Tujuannya adalah menemukan prinsip tanggung jawab yang sesuai untuk diterapkan dalam peraturan perundang-undangan tentang pengangkutan. 9 E. Saefullah Wiradipradja, 1989, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional, Liberty, Yogyakarta, hlm. 19
64
Hukum dan Masyarakat 2015
a. Prinsip Tanggung Jawab yang Didasarkan atas Adanya Unsur Kesalahan Dilihat dari sejarah perkembangannya, prinsip tanggung jawab berdasarkan kepada adanya unsur kesalahan (liability based on fault or negligence atau fault liability) merupakan reaksi terhadap prinsip atau teori tanggung jawab mutlak no fault liability atau absolute/strict liability yang berlaku pada jaman masyarakat primitif. Pada masa itu berlaku suatu rumus (formula): “a man acts at his peril” yang berarti bahwa perbuatan apapun yang dilakukan seseorang, bila merugikan orang lain akan menyebabkan dia dipersalahkan telah melanggar hukum. Dengan perkataan lain, seseorang bertanggung jawab untuk setiap kemungkinan kerugian bagi orang lain sebagai akibat perbuatannya. 10 Di dalam hukum Anglo Saxon kuno dikenal prinsip (maxim) yang berbunyi: “Buy spear from side or bear it” yang menunjukkan dengan jelas teori mengenai tanggung jawab pada jaman primitif ketika “the offender must buy off the vengeance of the offended or fight it out”. Di dalam sistem hukum primitif tujuan hukum yang utama adalah adanya kerukunan dan keamanan (peace and security), sedangkan ketentuanketentuan mengenai perbuatan melawan hukum (law of torts) menetapkan bahwa seseorang yang menderita kerugian akibat perbuatan orang lain harus memperoleh santunan (kompensasi) tanpa melihat motivasi atau tujuan dari orang yang menyebabkan kerugian tersebut.11 Jadi
prinsip
atau
teori
tanggung
jawab
mutlak
lebih
menitikberatkan pada unsur penyebabnya daripada kesalahannya. Apabila perbuatan seseorang menyebabkan kerugian terhadap orang lain, dia diwajibkan memberikan santunan (kompensasi) tanpa melihat ada atau tidak adanya unsur kesalahan dari pelaku. Namun kemudian secara berangsur-angsur hukum mulai menaruh perhatian lebih besar pada hal-hal yang bersifat pemberian maaf (exculpatory considerations) dan sebagai akibat pengaruh moral 10 11
Ibid, hlm. 20 Ibid
65
Hukum dan Masyarakat 2015
philosophy dari ajaran agama cenderung mengrah pada pengakuan kesalahan moral (moral culpability) sebagai dasar yang tepat untuk perbuatan melawan hukum. Maka prinsip tanggung jawab mutlak sebagai suatu hukuman yang diperlukan untuk menghindarkan perbuatan balas dendam kemudian berubah menjadi tanggung jawab yang didasarkan pada adanya unsur “kesalahan”. Di samping ajaran moral ini, faktor lain yang juga penting dalam proses perubahan sikap ini adalah adanya anggapan masyarakat bahwa kerugian sebagai akibat dari suatu kelalaian (negligence) tidak berarti kurang penting daripada kerugian akibat dari suatu kesengajaan. Adapun yang termasuk dalam pengertian kesalahan adalah baik perbuatan yang di sengaja maupun kelalaian. Maka dengan demikian yang semula merupakan tanggung jawab secara moral (moral responsibility) berubah menjadi tanggung jawab secara hukum (legal liability).12 Menurut sejarahnya, prinsip tanggung jawab yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan pada mulanya dikenal dalam kebudayaan kuno dari Babylonia. Dalam bentuknya yang lebih modern, prinsip ini dikenal dalam tahap awal dari hukum Romawi (abad kedua sebelum masehi) termasuk di dalamnya doktrin mengenai culpa dalam Lex Aquilia. Lex Aquilia menentukan bahwa kerugian sebagai kesalhaan seseorang baik di sengaja atau tidak, secara hukum harus diberikan santunan. Pada tahun 1809 Code Napoleon dinyatakan berlaku di Negeri Belanda yang kemudian diubah menjadi Code Civil pada tahun 1911. Setelah Negeri Belanda memperoleh kemerdekaan dari Perancis, disusun Burgerlijk Wetboek (BW) yang isinya sama dengan Code Civil dengan beberapa perkecualian. Burgerlijk Wetboek ini dinytakan berlaku pada tahun 1838.13 Pasal 1382 Code Napoleon tersebut menjadi Pasal 1401
12 13
hlm. 2-3
Ibid, hlm. 21 Rachmat Setiawan, 1982, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Alumni, Bandung,
66
Hukum dan Masyarakat 2015
Burgerlijk Wetboek Belanda atau Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Indonesia, yang berbunyi: Setiap perbutan melawan hukum, yang oleh karena
itu
menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahanya menyebabkan kerugian tersebut mengganti kerugian. Pasal 1365 KUH Perdata terkenal dengan sebutan Pasal perbuatan melawan hukum atau pasal mengenai tanggung jawab berdasarkan atas kesalahan (schuld theorie, fault principle). Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam suatu gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata adalah: Pertama, adanya perbuatan melawan hukum dari pihak tergugat; kedua, perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya, ketiga, adanya kerugian yang diderita penggugat sebagai akibat dari kesalahan tersebut. Pengertian kesalahan di sini adalah dalam pengertian umum, yaitu baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian. Adapun yang menjadi ukuran (criterion) perbuatan pelaku adalah pebruatan manusia normal yang dapat membedakan kapan dia harus melakukan sesuatu dan kapan dia tidak boleh melakukan sesuatu. b. Prinsip Tanggung Jawab atas Dasar Praduga Sebagaimana telah disebut di muka, prinsip “presumption of liability” yang diterapkan di dalam Konvensi Warsawa 1929 diberlakukan bagi pengangkutan udara internasional, dan di dalam Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 bagi pengangkutan udara domestik. Prinsip tanggung jawab pengangkut udara ini timbul dari kombinasi antara Pasal 17 (tentang penumpang), Pasal 18 ayat (1) (tentang bagasi dan kargo), Pasal 19 (tentang kelambatan) dengan Pasal 20 Konvensi. Pasal-pasal tersebut secara berturut-turut sama dengan Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 28 dan Pasal 29 Ordonansi mengatur tentang kapan pengangkut udara harus bertanggung jawab, sedangkan Pasal 20 Konvensi (atau Pasal
67
Hukum dan Masyarakat 2015
29 Ordonansi) mengatur tentang kapan pengangkut udara dapat dibebaskan dari tanggung jawab. Perbedaan yang utama antara prinsip tanggung jawab yang didasarkan semata-mata pada adanya unsur kesalahan dan presumption of liability adalah bahwa di dalam prinsip yang kedua beban pembuktian beralih dari penggugat (korban) kepada pengangkut. Jadi, berdasarkan prinsip presumption of liability yang diterapkan di dalam Konvensi Warsawa atau Ordonansi, pengangkut adalah prima facie bertanggung jawab atas kerugian yang timbul kecuali dia dapat membuktikan pihaknya telah mengambil semua tindakan yang perlu untuk menghindarkan kerugian tersebut atau bahwa hal tersebut tidak mungkin dilakukannya. Jadi, pihak penggugat atau korban dapat mengajukan tuntutan untuk memperoleh santunan tanpa harus membuktikan adanya kesalahan di pihak pengangkut. Satu-satunya kewajiban yang harus di lakukan adalah menunjukkan bahwa kecelakaan atau kejadian yang menyebabkan kerugian tersebut terjadi di dalam pesawat udara atau selama embarkasi atau disembarkasi. Dengan demikian, yang dimaksud bahwa tanggung jawab pengangkut berdasarkan pada presumption (praduga) berarti tanggung jawab pengangkut tersebut dapat dihindarkan bila pengangkut membuktikan bahwa pihaknya tidak bersalah (absence of fault). Latar belakang sejarah dari prinsip tanggung jawab ini dapat ditelusuri pada sejarah pembentukan Konvensi Warsawa itu sendiri. Konvensi Warsawa 1929 merupakan suatu hasil dari Konferensi Internasional Hukum Udara Perdata Kedua (the Second International Conference on Private Aeronautical Law) yang diadakan di Warsawa pada tanggal 4-12 Oktober 1929. Konferensi ini merupakan kelanjutan dari Konferensi Internasional Hukum Udara Perdata Pertama yang diadakan di Paris pada tanggal 27 Oktober 1925. Berkenaan dengan prinsip tanggung jawab, Konferensi Warsawa tetap mempertahankan, dengan beberapa perubahan, ketentuan-ketentuan draft Konvensi yang telah diterima di
68
Hukum dan Masyarakat 2015
dalam Konferensi Paris. Konferensi Paris membentuk sebuah panitia ahli, Comite International Technique d’Experts Juridique Aeriens (CITEJA). Tugasnya adalah untuk mempersiapkan suatu draft Konvensi tentang Tanggung Jawab pengangkut Dalam Pengangkutan Udara Internasional. Pembahasan selanjutnya mengenai draft Konvensi tersebut dilakukan pada sidang CITEJA tahun 1926 dan hasilnya disampaikan kepada Konferensi Warsawa 1929. c. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Prinsip tanggung jawab mutlak (no fault liability or liability without fault) di dalam kepustakaan biasanya dikenal dengan ungkapan absolute liability atau strict liability. Dengan prinsip tanggung jawab mutlak dimaksudkan tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Atau dengan perkataanlain, suatu prinsip tanggung jawab yang memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya atau atau tidak.14 Dalam
hubungannya
dengan
tanggung jawab
pengangkut,
sebagaimana dikemukakan di atas, dalam sistem hukum Kontinental (civil law system) prinsip tanggung jawab mutlak diberlakukan pada semua jenis pengangkutan umum, kargo dan penumpang, sementara dalam sistem Anglo Saxon (common law system) prinsip ini hanya berlaku bagi pengangkutan umum untuk kargo. Dalam sistem hukum Kontinental kewajiban opengangkut adalah sebagai konsekuensi dari kewajiban kontraktual,yaitu mengangkut penumpang dan kargo sampai di tempat tujuan dengan selamat. Bila selama dalam pengangkutan penumpang mengalami kecelakaan (luka, cacat atau meninggal dunia) atau kargo hilang (musnah) atau rusak, sudah cukup membuktikan adanya pelanggaran perjanjian (wanprestasi). Kewajiban pengangkutan adalah menjamin bahwa penumpang dan kargo yang diangkutnya sampai di tempat tujuan dengan selamat. Jadi kewajiban 14
E. Saefullah Wiradipradja, 1989, Op. Cit, hlm. 35
69
Hukum dan Masyarakat 2015
pengangkut adalah untuk mencapai sesuatu hasil (obligation de resultat), bukan hanya sekedar menyelenggarakan pengangkutan (obligation de moyens).15 Untuk menuntut pembayaran santunan, korban atau ahli warisnya atau pemilik kargo cukup membuktikan adanya perjanjian pengangkutan disertai fakta bahwa korban atau kargo tidak sampai di tempat tujuan dengan selamat. Pengangkut hanya dibebaskan dari tanggung jawabnya jika dia dapat membuktikan bahwa kecelakaan atau kerugian itu diakibatkan oleh suatu sebab yang tidak dapat ditimpakan kepadanya. Adalah merupakan ketentuan umum dalam sistem hukum Kontinental tentang tanggung jawab kontraktual bahwa pihak debitur akan dibebaskan dari tanggung jawab bila kerugian disebabkan karena keadaan memaksa (force majeure). Ketentuan umum demikian dapat dijumpai, misalnya dalam Pasal 1147 Code Civile Perancis atau Pasal 1281 Burgerlijk Wetboek Belanda (1838) yang isinya sama dengan Pasal 1245 KUH Perdata Indonesia. Selain ketentuan umkum tentang pembebasan tanggung jawab tersebut (force majeure) terdapat pula ketentuan yang bersifat spesifik untuk pengangkutan kargo dan pengangkutan orang. Ketentuan spesifik tersebut diatur, misalnya dalam KItab Undang-Undang Hukum Dagang Indonesia (atau Wetboek van Koophandel Belanda). Ketentuan yang sama terdapat pula dalam Handelsgesetzbuch 429, yaitu untuk semua jenis pengangkutan selain kereta api. Namun dalam hal pengangkutan dengan kereta api, pengangkut tetap bertanggung jawab meskipun kerugian disebabkan oleh suatu keadaan yang tak terduga (zufall) kecuali dapat dibuktikan bahwa kejadian tersebut tidak dapat dihindarkan. Di lain pihak, seperti telah disebutkan dimuka, dalam sistem Anglo Saxon tanggung jawab mutlak hanya diterapkan pada pengangkutan umum untuk kargo. Hukum yang mengatur tentang tanggung jawab pengangkut kargo merupakan perkembangan dari hukum tentang penitipan barang 15
Ibid, hlm. 44
70
Hukum dan Masyarakat 2015
(bailment). Hubungan antara pemilik (pengirim) kargo dengan pengangkut adalah seperti hubungan antara penitip kargo (bailor) dengan penyimpan kargo (bailee). Bailment adalah hubungan yang timbul akibat penyerahan penguasaan barang oleh bailor kepada bailee, tanpa adanya pemindahan pemilikan, untuk maksud tertentu sesuai dengan kehendak dari bailor. Tanggung jawab dari bailee adalah mutlak, sebagaimana dinyatakan dalam keputusan pengadilan dalam perlara Southcote v Bennet (1601) bahwa seorang bailee bertanggung jawab untuk hilangnya barang sekalipun dia membuktikan bahwa barang tersebut telah dicuri tanpa kesalahannya. 16 Sebagai prinsip umum yang berlaku dalam sistem hukum Anglo Saxon adalah bahwa pengangkut umum untuk kargo merupakan penjamin (insurer) bagi keselamatan kargo yang diangkutnya, dan oleh karena itu dia bertanggung jawab secara mutlak atas kehilangan atau kerusakan kargo yang terjadi selama dalam pengangkutan. Namun demikian, dalam keadaan-keadaan tertentu pengangkut dapat dibebaskan dari tanggung jawab secara mutlak tersebut. Beban pembuktian untuk menunjukkan bahwa fakta-fakta kejadian yang menyebabkan kerugian itu termasuk dalam salah satu dari perkecualian-perkecualian tersebut di atas berada di pihak pengangkut. Akan tetapi meskipun pengangkut dapat membuktikan bahwa fakta-fakta dari kejadian yang menyebabkan kerugian itu termasuk salah satu dari perkecualian-perkecualian tersebut, pengangkut tidak secara otomatis bebas dari tanggung jawabnya karena dia masih harus membuktikan bahwa baik dia maupun para pegawainya tidak turut menyebabkan kehilangan atau kerusakan kargo karena kesalahannya sendiri. Jadi dalam hal perkecualian-perkecualian (expected perils) ini pengangkut bebas dari tanggung jawab berdasrakan prinsip kesalahan, karena itu dalam hal-hal demikian tanggung jawab sebagai common carrier berubah menjadi bertanggung jawab sebagai private carrier. Dengan perkataan lain, 16
Ibid, hlm. 45
71
Hukum dan Masyarakat 2015
pengangkut umum untuk kargo bertanggung jawab atas hilang atau rusaknya kargo meskipun dia telah mengambil segala tindakan yang layak dan tindakan pekcegahan untuk menghindari kerugian.
3. Pengertian Ekspeditur Ekspeditur adalah perantara yang bersedia untuk melayani penumpang maupun angkutan barang, perjanjian yang dibuat antara pemilik barang dengan melayani pengiriman barang lazimnya dinamakan perjanjian ekspeditie, berbeda dengan perjanjian yang dibuat antara pengangkutan dengan pengirim/pemilik barang. Menurut ketentuan Pasal 86 ayat (1) KUHD dinyatakan bahwa ekspeditur adalah orang yang pekerjaannya menjadi tukang menyuruhkan kepada orang lain untuk menyelenggarakan pengangkutan barang-barang dagangan dan lainnya melalui daratan atau perairan. Jadi dengan demikian ekspeditur menurut KUHD hanya seorang perantara yang bersedia mencarikan pengangkut bagi pengirim dan tidak mengangkut sendiri barang-barang yang telah diserahkan kepadanya. Pasal 87 KUHD menetapkan tanggung jawab ekspeditur terhadap barang-barang yang telah diserahkan pengirim kepadanya untuk: a. menyelenggarakan pengiriman selekas-lekasnya dengan rapi pada barangbarang yang telah diterimanya dari pengirim b. mengindahkan segala upaya untuk menjamin keselamatan barang-barang tersebut. Kecuali tanggung jawab seperti tersebut di atas, juga hal-hal di bawah ini menjadi tanggung jawabnya: a. pengambilan barang-barang dari gudang pengirim b. bila perlu penyimpanan di gudang ekspeditur c. pengambilan barang-barang muatan dari tempat (pelabuhan) tujuan untuk diserahkan kepada penerima yang berhak atau kepada pengangkut selanjutnya.
72
Hukum dan Masyarakat 2015
Tugas tersebut di atas hanya dilakukan bila tegas-tegas telah ditetapkan dalam perjanjian ekspedisi yang bersangkutan. Menurut Moelngraaf, Polak dan Dorhout Mees,17 Pasal 86 dan 87 KUHD adalah peraturan pelengkap, artinya penyimpanan dari ketentuanketentuan Pasal 86 dan 87 KUHD diperbolehkan. Misalnya, Pasal 86 KUHD menetapkan bahwa tugas ekspeditur hanya mencarikan pengangkut bagi pengirim yang mempergunakan jasanya. Bila seorang ekspeditur yang tugasnya merangkap menjadi pengangkut, tidak sesuai dengan maksud Pasal 86 KUHD tersebut. Tetapi dalam praktek, banyak juga seorang ekspeditur yang merangkap menjadi pengangkut, tidak menimbulkan kesulitan-kesulitan hukum. Berhubung Pasal 86 dan 87 KUHD adalah peraturan pelengkap, maka sebagai juga pengangkut, ekspeditur dapat mengurangi tanggung jawabnya sedemikian rupa sehingga hampir dapat dikatakan tidak mempunyai tanggung jawab. Berbeda dengan pengangkut laut dan udara, di sini undang-undang tidak memberi pembatasan, kecuali ketertiban umum dan kesusilaan. Meniadakan tanggung jawab untuk kesengajaan dan kelalaian yang besar tidak diperkenankan. Menurut Pasal 87 KUHD, tanggung jawab ekspeditur berhenti pada saat barang-barang dari pengirim itu telah diterima oleh pengangkut. Tetapi menurut Pasal 88 KUHD, kerugian-kerugian sesudah saat tersebut, bila dapat dibuktikan bersumber pada kesalahan atau kelalaian ekspeditur, maka kerugian itu dapat dibebankan kepada ekspeditur. Kecuali itu, ekspeditur juga harus bertanggung jawab atas ekspeditur antara (tussen expediteur), yang jasanya dipergunakan (Pasal 89 KUHD). Tanggung jawab ekspeditur seperti ditentukan dalam Pasal 89 KUHD ini sifatnya lebih luas daripada tanggung jawab seorang pemegang kuasa menurut Pasal 1803 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut: “Si pemegang kuasa
17
Ibid, hlm. 16
73
Hukum dan Masyarakat 2015
bertanggung jawab untuk orang yang telah ditunjuk sebagai penggantinya dalam melaksanakan tugasnya, bila: a. dia tidak diberikan kekuasaan untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya b. kekuasaan itu telah diberikan kepadanya tanpa penyebutan seorang tertentu, sedangkan orang yang dipilihnya untuk itu ternyata seorang yang tidak cakap atau tidak mampu. Dan selanjutnya perbedaan yang besar ialah Pasal 89 KUHD tanpa syarat, sedangkan Pasal 1803 KUH Perdata dengan syarat.
4. Tanggung Jawab Ekspeditur Dalam Pengangkutan Barang Kiriman serta Penyelesaian Apabila Barang Kiriman Terlambat atau Rusak Sampai di Tujuan Tugas dan tanggung jawab ekspedisi muatan, diatur dalam Pasal 86 sampai dengan Pasal 90 KUHD Bab II Titel V Buku I, sebagaimana dirumuskan oleh pembentuk undang-undang ialah mengurus mengangkut (doen vervoeren) jadi berbeda dengan tugas seorang pengangkutan, tugas ekspeditur adalah mencarikan pelayanan angkutan, karena dilukiskan dalam Pasal 86 ayat 1 KUHD, ialah pengusaha yang bersedia mencarikan pengangkutan baik darat, laut dan udara yang baik untuk pengiriman barang, dan bertindak atas namanya sendiri, hal ini sama dengan komisioner yang bertindak atas namanya sendiri berdasarkan ketentuan (Pasal 76 KUHD). Pembebanan kewajiban, yaitu terhadap barang yang telah diterima dari pemilik barang untuk dikirim ialah: a. Barang dapat segera diserahkan kepada pengangkut b. Menjaga daya upaya agar barang yang diserahkan dalam keadaan baik Selanjutnya mengenai pembebanan tugas ekspeditur dapat diuraikan sebagai berikut: a. Pengambilan dan penerimaan barang-barang dari rumah ke gudang pengirim/ekspeditur
74
Hukum dan Masyarakat 2015
b. Menyimpan dalam gudang ekspeditur dengan menjaga barang sebaikbaiknya hingga barang tersebut sampai pada tangan pengangkut c. Mengambil barang kiriman di terminal dari pengangkutan dan menyerahkan kepada penerima/pemilik sesuai dengan alamat yang dikehendaki dalam surat angkutan. Pembebanan kewajiban ini dapat dilakukan setelah diterbitkan dalam perjanjian ekspeditur, pemberian kuasa (order) dari pemilik barang (pengirim) kewajiban ekspeditur sebagai pengantar (Pasal 87 KUHD). Penyimpangan hal-hal tersebut di atas, apabila ekspeditur merangkap sebagai pengangkut dalam praktek kedua beban kewajiban ini dapat dilakukan dengan lancar tanpa menemui rintangan (Pasal 86-87 KUHD) oleh karena menurut sifat dari hukum perjanjian ekspeditur ialah Hukum Pelayanan berkala vide Pasal 1601 KUH Perdata sifat persetujuan melakukan pekerjaan jasa dengan memperoleh upah dan sekaligus pemberian kuasa dari pemilik barang untuk dikirimkan (Pasal 1792 KUH Perdata) di mana pemberian kuasa adalah suatu persetujuan. Orang yang menerimanya menyelesaikan dengan sebaik-baiknya, pemberian kuasa (order) pada masa kini harus dituangkan dalam akta tertulis. Dalam pelaksanaannya tanggung jawab ekspeditur dalam pelayanan pengiriman barang setelah barang kiriman diserahkan kepada pengangkut (Pasal 86 KUHD). Terhadap kelalaian ekspeditur sehingga barang-barang yang sebelumnya diserahkan ke tangan pengangkut menjadi rusak/hilang, maka kerugian yang terbit akibat dari kelalaian tidak sempurnanya beban tanggung jawabnya dapat dituntut ekspeditur mengganti kerugian (Pasal 88 KUHD). Pasal 1244 KUH Perdata menentukan bahwa pengangkut, bilamana cukup alasan, dapat dituntut membayar ganti rugi, biaya dan bunga, kalau dia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya, tidak sempurna atau tidak tepat waktu dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu peristiwa
yang
tidak
dapat
diduga
lebih
dulu
dan
tidak
dapat
75
Hukum dan Masyarakat 2015
dipertanggungjawabkan kepadanya, serta pula tidak ada iktikad buruk padanya. Jadi, secara acontrario dapat disimpulkan bahwa bahwa pengangkut dapat
menolak
tuntutan
pihak
lawan,
bilamana
pengangkut
dapat
membuktikan: a. tidak dilaksanakannya; b. tidak sempurna dilaksanakannya; atau c. tidak tepat waktu pelaksanaan perikatan itu disebabkan karena suatu peristiwa yang tidak dapat diduga lebih dulu dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Penolakan pengangkut tersebut tidak berhasil, bila pihak lawan bisa membuktikan adanya iktikad buruk pada pengangkut. Iktikad baik dianggap ada pada tiap-tiap perbuatan, sedang iktikad buruk (jahat) harus dibuktikan adanya pihak lawan (Pasal 533 dan 1965 KUH Perdata). Tetapi, berdasarkan Pasal 91 KUHD, pengangkut dapat menolak tuntutan pihak lawan, bila peristiwa yang menimbulkan kerugian itu disebabkan karena: a. cacat pada barang itu sendiri; b. kesalahan atau kealpaan pengirim atau ekspeditur; c. keadaan memaksa (overmacht, force majeur). Sebab-sebab tersebut di atas harus dibuktikan adanya oleh pengangkut. Persoalan mana di antara Pasal 1244 KUH Perdata dan Pasal 91 KUHD yang berlaku bagi peristiwa tersebut, maka kita harus mengingat adagium “lex specialis derogat lex generali”, yang terjelma dalam Pasal 1 KUHD, darimana dapat ditentukan bahwa Pasal 91 KUHD adalah “lex specialis”, jadi, yang berlaku bagi peristiwa tersebut di atas. Menurut Pasal 91 KUHD, pengangkut (darat atau perairan darat) harus menanggung segala kerusakan yang terjadi pada barang-barang setelah diterimanya untuk diangkut, kecuali kerusakan-kerusakan yang diakibatkan karena cacat pada barang itu sendiri, karena keadaan yang memaksa atau karena kesalahan atau kelalaian pengiriman atau ekspeditur.
76
Hukum dan Masyarakat 2015
Dengan cacat ini dimaksudkan sifat pembawaan (eigenschap) dari barang itu sendiri, yang menyebabkan rusak atau terbakarnya barang dalam perjalanan. Lain halnya, bila kerusakan atau terbakarnya barang itu disebabkan karena salah penempatan atau kelalaian pengangkut, maka kerugian ini dibebankan kepada pengangkut. Hal lain yang dapat menjadi alasan bagi pengangkut untuk menolak tuntutan pengirim, ialah “kelalaian atau kesalahan” pengirim atau ekspeditur, misalnya: cara mengepaknya kurang sempurna sehingga mudah dimasuki air laut. Dalam hal pengangkut mengetahui kesalahan atau kelalaian pengirim atau ekspeditur itu, dia harus menolak atau memperingatkan atau paling sedikit menyuruh agar dicatat dalam surat muatan bahwa pengepakannya kurang sempurna, dan lain-lain. Unsur yang dapat dipakai alasan oleh pengangkut untuk menolak tuntutan pengirim atau ekspeditur ialah “keadaan memaksa” (overmacht, force majeur). Pengertian ini dalam Pasal 91 dan 92 KUHD disebut: keadaan memaksa (overmacht), tetapi dalam Pasal 1245 KUH Perdata pengertian tersebut disebut: keadaan memaksa atau peristiwa kebetulan (overmacht of door toeval). Dalam membuktikan adanya keadaan memaksa, dapat ditempuh dua jalan, yaitu: a. Apakah benar-benar sama sekali tidak ada kesalahan atau kelalaian pada pengangkut debitur. Jalan atau cara ini disebut cara yang “obyektif”. Jadi, keadaan di sini bersifat obyektif. Cara ini adalah sangat berat bagi pengangkut debitur. b. Apakah dalam keadaan konkrit, pengangkut debitur telah berusaha sejauh mungkin untuk mencegah datangnya kerugian, meskipun usaha itu tidak berhasil. Cara ini disebut cara “subyektif” dan keadaan memaksa di sini disebut keadaan memaksa subyektif. Dalam hal ini pembentuk undang-undang condong pada cara yang kedua, yakni keadaan memaksa yang subyektif, karena dalam Pasal 468 ayat
77
Hukum dan Masyarakat 2015
(2) dan Pasal 522 ayat (2) KUHD, istilah “overmacht” atau “toeval” tidak ada. Dalam kedua pasal tersebut istilah “overmacht” diganti dengan “toeval, dat hij redelijkerwijze niet heeft kunnen voorkomen of afwenden” (suatu malapetaka, yang sepatutnya dia tidak dapat mencegah atau menghindari). Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa pembentuk undang-undang menghendaki adanya keadaan memaksa yang subyektif dalam KUHD. Luas tanggung jawab pengangkut ditentukan oleh Pasal 1236 dan 1246 KUH Perdata. Pasal 1236 KUH Perdata menentukan, pengangkut wajib memberi ganti rugi atas biaya, kerugian yang diderita dan bunga yang layak diterimanya, bila dia tidak dapat menyerahkan atau tidak merawat sepatutnya untuk menyelamatkan barang-barang muatan. Pasal 1246 KUH Perdata menentukan, biaya kerugian dan bunga itu pada umumnya terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan laba yang sedianya akan diterimanya. Kerugian yang harus diganti ialah misalnya: harga pembelian barang, biaya pengiriman barang dan laba yang layak diterimanya. Luas tanggung jawab pengangkut tersebut di atas dibatasi oleh Pasal 1247 KUH Perdata dan Pasal 1248 KUH Perdata, yaitu: a. Kerugian tersebut ialah kerugian yang dapat diperkirakan secara layak pada saat timbulnya perikatan; b. Kerugian itu harus merupakan akibat yang langsung dari tidak terlaksananya perikatan dari perjanjian pengangkutan. Meskipun pengangkut debitur melakukan penipuan yang merugikan penerima atau pengirim, beban tanggung jawab untuk mengganti kerugian oleh pengangkut debitur terbatas dengan ketentuan-ketentuan tersebut di atas. Pengurangan tanggung jawab pengangkut hanya mungkin bila ada persetujuan dari pengirim atau penerima (Pasal 1320 KUH Perdata). Sedangkan penghapusan tanggung jawab pengangkut adalah tidak mungkin, bila ada unsur kesengajaan atau ketidakjujuran pengangkut (Pasal 23 A.B. bsd 1338 KUH Perdata).
78
Hukum dan Masyarakat 2015
Adanya klausula pengurangan atau penghapusan tanggung jawab pengangkut itu boleh saja, asal klausula itu disetujui kedua belah pihak. Hal ini mungkin terjadi, karena Pasal 91 dan 92 KUHD itu bukan hukum memaksa (dwingenrecht). Klausula itu tidak perlu tertulis dalam akta perjanjian pengangkutan, cukup bila pengirim sudah mengetahuinya. Dianggap pengirim atau penerima sudah mengetahuinya, bila klausula itu sudah ada dan telah diumumkan sebelum perjanjian pengangkutan itu terjadi. Perlu kiranya diperingatkan bahwa segala macam perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik, sebagai ditentukan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (kejujuran)”. “Ketentuan ini adalah ketentuan yang bersifat memaksa (dwingenrecht), yang akibatnya menurut Pasal 23 A.B. tersebut tidak boleh dihilangkan kekuatannya dengan suatu perbuatan atau suatu perjanjian. Adanya pengurangan tanggung jawab pengangkut menambah risiko pengirim, karena mengurangi hak pengirim untuk menuntut ganti kerugian. Pengurangan tanggung jawab pengangkut tersebut diadakan dengan maksud untuk mengurangi uang angkutan. Jadi, di samping pengirim atau penerima risikonya bertambah, uang angkutan yang harus dibayar oleh pengirim atau penerima menjadi kurang. Meskipun tindakan ini mengandung sifat keseimbangan, tetapi keseimbangan ini jangan sedemikian rupa, sehingga barang-barang
muatan
tidak terjamin
keselamatannya.
Untuk
itulah
pembentuk undang-undang mencampuri persoalan tersebut. Campur tangan pembentuk undang-undang ini dalam hukum laut sudah ada, yaitu dalam Pasal 472 dan seterusnya KUHD bagi pengangkutan barang dan Pasal 524 dan seterusnya KUHD untuk pengangkutan orang. Pengurangan tanggung jawab pengangkut itu sudah terang merugikan penerima atau pengirim, dari itu penerima dan pengirim layak mendapat perlindungan dari pembentuk undang-undang. Untuk pengangkutan di darat perlu sekali adanya pasal-pasal semacam 470 dan 524 KUHD tersebut.
79
Hukum dan Masyarakat 2015
Perlindungan kepada pengirim atau penerima ini perlu sekali, mengingat bahwa kedudukan ekonomis pengirim atau penerima dalam perjanjian pengangkutan kalah kuat daripada pengangkut. Telah diusahakan oleh pengangkut dengan sebaik-baiknya dan tidak salah melakukannya, maka pengangkut dapat saja memperjanjikan dia tidak bertanggung jawab sama sekali atau hanya mau memberi ganti rugi tiap-tiap koli terbatas pada suatu jumlah tertentu. Hal tersebut, memang sudah dikawekani oleh pembentuk undang-undang dengan adanya kalimat terakhir pada Pasal 470 ayat (1) KUHD tersebut di atas yang berbunyi: “Janji-janji yang bermaksud demikian, adalah batal”. Jadi, kalau pengangkut telah memperjanjikan sama sekali tidak bertanggung jawab, karena dia yakin tidak adanya kenyataan-kenyataan sebagai disebut di atas, tetapi ternyata dalam perjalanan pada waktu mengangkut barang, salah satu kenyataan tersebut itu ada, maka klausula yang menyatakan bahwa pengangkut sama sekali tidak bertanggung jawab atau hanya mau memberi ganti rugi tiap-tiap koli terbatas pada jumlah uang tertentu itu batal. Meskipun ada kemungkinan bagi pengangkut untuk memperjanjikan sama sekali tidak bertanggung jawab, tetapi dalam praktek tidak ada pengangkut yang berbuat demikian, sebab para pengirim tentu akan memilih pengangkut yang bertanggung jawab terhadap barang-barangnya, walaupun uang angkutannya agak tinggi. Dengan keadaan begini, maka pengangkut yang sama sekali tidak mau bertanggung jawab akan kehilangan banyak langganan, yang dapat merugikan perusahaannya. Persoalan mengenai pengangkut yang memperjanjikan tidak bertanggung jawab sama sekali itu memang diperbolehkan dalam undang-undang, yaitu dalam Pasal 470 KUHD, yakni bila sifat dan nilai barang dengan sengaja diberitahukan secara keliru. Persoalan mengenai pengangkut yang memperjanjikan hanya akan mengganti kerugian tiap-tiap koli dengan satu jumlah uang tertentu, juga diperbolehkan dalam undang-undang, yaitu dalam Pasal 470 ayat (2) KUHD, kecuali kalau
80
Hukum dan Masyarakat 2015
sifat dan harga barang muatan itu sudah diberitahukan kepada pengangkut pada waktu penerimaannya. Selanjutnya
berkaitan
dengan
penyelesaian
hukum
terhadap
perselisihan yang timbul akibat barang hantaran yang terlambat atau rusak sampai di tujuan apabila penyelesaiannya dilakukan dengan cara yang sama yaitu dengan memberi ganti rugi kepada pengirim atau penerima dengan sejumlah uang tertentu, maka pada dasarnya pengangkut telah melakukan pelanggaran karena ganti rugi terhadap barang hantaran yang terlambat sampai di tujuan seharusnya berbeda dengan jumlah ganti rugi terhadap barang hantaran yang rusak sampai di tujuan. Jadi dengan demikian penyelesaian perselisihan yang terjadi akibat barang hantaran terlambat atau rusak sampai di tujuan hendaknya diselesaikan sesuai dengan kondisi dan kenyataan yang ada di lapangan sehingga pengirim atau penerima barang hantaran tidak merasa dirugikan. Bila ada perselisihan tentang prestasi, tidak dilaksanakannya sama sekali, kurang sempurna atau tidak tepat waktu pelaksanaannya, yang diajukan dan diperiksa di muka Hakim, pihak penerima penggugat dianggap cukup dengan mendalilkan bahwa prestasi, sama sekali tidak dilaksanakan, kurang sempurna atau tidak tepat waktu pelaksanaannya, dan menuntut ganti kerugian. Penerima penggugat tidak perlu mendalilkan atau membuktikan kesalahan atau kelalaian pengangkut tergugat. Sebaliknya,
pengangkut
tergugat
dapat
mengemukakan
dan
membuktikan hal-hal yang dapat mendiskulpir (memaafkan) dirinya, yakni hal-hal yang dapat melenyapkan kulpa (kesalahan atau kelalaian) pengangkut tergugat. Diskulpasi menurut undang-undang terkandung dalam Pasal 1244 KUH Perdata dan Pasal 91 KUHD. Ingat bahwa iktikad baik selalu dianggap ada pada setiap perbuatan, kecuali bila dibuktikan sebaliknya (Pasal 533 bsd. 1965 KUH Perdata), ini berarti bahwa iktikad jahat harus dibuktikan adanya oleh lawan.
81
Hukum dan Masyarakat 2015
Bila prestasi sama sekali tidak, kurang sempurna atau tidak tepat waktu melaksanakannya, di antara pengirim dan penerima siapa yang harus beraksi. a. Si penerima berhak mengadakan aksi, bila dia telah menyatakan kehendaknya untuk menerima barang-barang muatan. Apa lagi kalau dari awal mula telah ditetapkan dalam perjanjian bahwa si penerimalah yang harus membayar uang angkutan b. Bila halnya tidak tersebut di atas, maka si pengirimlah yang berhak mengajukan perkaranya di muka Hakim. Kalau yang menjadi pihak dalam perjanjian pengangkutan adalah ekspeditur, maka ekspediturlah yang harus beraksi. Pada
umumnya
mengenai
siapa
yang
harus
beraksi,
dapat
dipergunakan kriterium, siapa di antara pengirim dan penerima yang menurut kenyataannya menderita kerugian, sebagai akibat langsung dari tidak terlaksananya prestasi dalam perjanjian pengangkutan dialah yang berhak beraksi.
IV. Penutup Tugas dan tanggung jawab ekspedisi muatan, diatur dalam Pasal 86 sampai dengan Pasal 90 KUHD Bab II Titel V Buku I, sebagaimana dirumuskan oleh pembentuk undang-undang ialah mengurus mengangkut (doen vervoeren) jadi berbeda dengan tugas seorang pengangkutan, tugas ekspeditur adalah mencarikan pelayanan angkutan, karena dilukiskan dalam Pasal 86 ayat 1 KUHD, ialah pengusaha yang bersedia mencarikan pengangkutan baik darat, laut dan udara yang baik untuk pengiriman barang, dan bertindak atas namanya sendiri, hal ini sama dengan komisioner yang bertindak atas namanya sendiri berdasarkan ketentuan. Berkaitan dengan penyelesaian hukum terhadap perselisihan yang timbul akibat barang hantaran yang terlambat atau rusak sampai di tujuan apabila penyelesaiannya dilakukan dengan cara yang sama yaitu dengan memberi ganti rugi kepada pengirim atau penerima dengan sejumlah uang tertentu, maka pada
82
Hukum dan Masyarakat 2015
dasarnya pengangkut telah melakukan pelanggaran karena ganti rugi terhadap barang hantaran yang terlambat sampai di tujuan seharusnya berbeda dengan jumlah ganti rugi terhadap barang hantaran yang rusak sampai di tujuan. Jadi dengan demikian penyelesaian perselisihan yang terjadi akibat barang hantaran terlambat atau rusak sampai di tujuan hendaknya diselesaikan sesuai dengan kondisi dan kenyataan yang ada di lapangan sehingga pengirim atau penerima barang hantaran tidak merasa dirugikan.
Daftar Pustaka E. Saefullah Wiradipradja, 1989, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional, Liberty, Yogyakarta
H.M.N. Purwosutjipto, 2003, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3: Hukum Pengangkutan, Djambatan, Jakarta
Muchtaruddin Siregar, 1981, Beberapa Masalah Ekonomi dan Managemen Pengangkutan, Lembaga Penerbitan FE UI, Jakarta
Rachmat Setiawan, 1982, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Alumni, Bandung
83