JURNAL HUKUM DAN MASYARAKAT ISSN 1693-2889 Volume 13 Nomor 3 Agustus 2014 DISPARITAS PUTUSAN HAKIM DAN FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA DISPARITAS DALAM PUTUSAN HAKIM PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI KLAS IA JAYAPURA TERHADAP TUNTUTAN PASAL 3 UU TIPIKOR Oleh Hotlarisda Girsang Abstrak UUD 1945 menjamin bahwa tidak ada warga negara yang dapat diperlakukan berbeda dihadapan hukum, tidak akan ada perlakuan yang berbeda antara orang yang mempunyai kedudukan ataupun orang yang tidak punya pendidikan dan tidak mempunyai kedudukan, semua pihak diperlakukan sama. Perlakuan yang sama jga hendaknya berlaku dalam hak hakim memberikan putusan terhadap perkara yang ditanganinya. Namun dalam kenyataan yang ada ada terjadi disparitas putusan hakim. Disparitas hakim sebenarnya adalah merupakan hal yang wajar dan sudah tentu akan terjadi, tergantung pada jenis dan pola tindak pidananya, keseriusan tindak pidana dan selanjutnya dapat juga terjadi akibat dari majelis hakim yang tidak selalu sama. Namun adakalanya disparitas itu tidak wajar dan menimbulkan rasa ketidakadilan bagi terpidanamaupun bagi masyarakat. Maka dalam tulisan ini akan membahas disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana korupsi yang dituntut oleh Penuntut Umum melanggar Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
A. Pendahuluan Negara Indonesia adalah negara hukum demikian ketentuan Pasal 1 ayat (3) UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Salah satu ciri negara hukum adalah menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia, dengan demikian negara harus menjamin pelaksanaan pengakuan dan perlindungan Hak Azasi Manusia (HAM) setiap warga. Selanjutnya Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 menyebutkan “setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu” pasal ini mendukung ketentuan Pasal 27 ayat (1) yang menyebutkan “segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal-pasal tersebut menjamin bahwa tidak ada warga negara yang dapat diperlakukan berbeda dihadapan
HukumdanMasyarakat 2014 hukum, tidak akan ada perlakuan yang berbeda antara orang yang mempunyai kedudukan ataupun orang yang tidak punya pendidikan dan tidak mempunyai kedudukan. Upaya penegakan hukum (dalam arti sempit) akan sangat terkait dengan pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan atas setiap perkara yang diajukan. Dalam pelaksanaan tugas hakim tersebut, negara memberikan jaminan kemerdekaan dan jaminan bahwa kekuasaan kehakiman tersebut bebas dari interpensi pihak-pihak lain. Hal tersebut dijamin dalam ketentuan UUD 1945 Pasal 24 ayat (1) yang menyebutkan bahwa”kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”, selanjutnya jamian terhadap peradilan yang bebas tersebut dipertegas oleh Pasal 1 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kehakiman), disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut dibatasi oleh keharusan untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 UU Kehakiman). Salah satu konsep yang harus diperhatikan dalam negara hukum adalah azas equality before the law, hal ini berati bahwa ketika hakim memeriksa suatu perkara maka harus memberikan perlakuan yang sama, sebaiknya derajat dan status terdakwa dalam masyarakat tidak mempengaruhi hakim dalam memberikan putusan. Demikian halnya dalam penyelesaian perkara-perkara korupsi, mengingat dampak masif dari perbuatan korupsi, selain sangat memperburuk perekonomian bangsa, akibat harga menjadi mahal dengan kualitas yang buruk, akses rakyat terhadap pendidikan dan kesehatan sulit, keamanan suatu negara terancam, kerusakan ligkungan hidup, citra pemerintah yang buruk di mata dunia sehingga menggoyahkan sendi-sendi kepercayaan pemilik modal asing, krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan negara pun menjadi semakin terperosok dalam kemiskinan. 1 Sedemikian
besar
dampak
kerugian
yang diakibatkan
perbuatan
korupsi,
sehingga
pemberantasannya juga membutuhkan perhatian yang khusus.
1
Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi, Bahan Ajar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2011, hal. 54 58
HukumdanMasyarakat 2014 Pemberantasan korupsi sangat membutuhkan komitmen yang tinggi dari semua pihak, baik pemerintah, aparat penegak hukum, demikian juga peran serta masyarakat. Peranan yang paling besar diperankan oleh hakim sebagai salah satu bagian dari aparat penegak hukum yang memiliki peran sentral dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Hakim mempunyai kebebasan/independensi yang dijamin konstitusi dalam menjalankan wewenangnya untuk mencapai putusan yang tepat terhadap satu perkara tindak pidana korupsi. Putusan hakim seharusnya mencerminkan keadilan
bagi untuk semua pihak, baik terdakwa maupun bagi
masyarakat luas, bahkan putusan hakim seharusnya
dapat memberikan kemanfaatan dan
kepastian hukum. Namun putusan-putusan hakim dalam tindak pidana korupsi terlihat ada disparitas pemidanaan.
Disparitas merupakan ketidaksetaraan hukuman antara kejahatan yang serupa
(same offence) dalam kondisi atau situasi serupa (comparable circumstances).2
Disparitas
pidana (Disparity of Sentencing) dapat juga dikatakan sebagai penerapan pidana yang tidak sama (sameoffence)
atau
terhadap
tindak-tindak
pidana
yang
sifat
berbahayanya
dapat
diperbandingkan (offences of comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas.3 Dapat dikatakan bahwa disparitas pemidanaan dapat terjadi juga dalam hal dijatuhinya hukuman yang sama terhadap pelaku yang melakukan kejahatan yang berbeda tingkat kejahatannya. Terjadinya perbedaan dalam penjatuhan hukuman atau disparitas pemidanaan pada dasarnya merupakan hal yang wajar, karena jarang sekali ada perkara yang terjadi yang sama persis perbuatan maupun kesalahannya, terlebih lagi hakim ketika memeriksa menyertakan unsur keyakinan dalam pemberian putusan terhadap suatu kasus, terlebih lagi di pengadilan susunan majelis hakimbukanlah merupakan susunan yang baku, melainkan akan senantiasa berubah sehingga ketika formasi hakim berubah maka akan berubah juga pandangan maupun keyakinannya. Sehingga putusan pasti akan berbeda terhadap perkara-perkara yang diperiksa. Disparitas pemidanaan menjadi permasalahan ketika rentang perbedaan hukuman yang dijatuhkan antara perkara serupa sedemikian besar, sehingga menimbulkan ketidakadilan serta dapat menimbulkan kecurigaan-kecurigaan di masyarakat. Oleh karenanya, diskursus mengenai disparitas pemidanaan dalam ilmu hukum pidana dan kriminologi tidaklah pernah dimaksudkan
2
Litbang Mahkamah Agung, Kedudukan dan Relevansi Yurisprudensi untuk Mengurangi Disparitas Putusan Pengadilan, Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI: 2010, hal. 6. 3
Cheang dalam Muladi dan Barda Nawawi, teori-teori dan kebijakan pidana, PT. Alumni, 1998, hal.52
59
HukumdanMasyarakat 2014 untuk menghapuskan perbedaan besaran hukuman terhadap para pelaku kejahatan, namun memperkecil rentang perbedaan penjatuhan hukuman tersebut. B. Pembahasan 1. Disparitas Dalam Putusan Hakim di Pengadilan Negeri Klas 1a Jayapura Tindak pidana korupsi dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebuut UU Korupsi) mengatur bahwa terdapat dalam 13 pasal yang merupakan defenisi korupsi secara gamblang. Dari 13 pasal tersebut menjelaskan bahwa ada 30 bentuk perbuatan yang dapat dikenakan sanksi akibat tindak pidana korupsi. Dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi, maka Presiden telah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004, tentang pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas. Dengan demikian maka kinerja lembaga penegak hukum menjadi syarat utama dalam menentukan keberhasilan upaya pemberantasan tersebut. Selanjutnya sebagai tindak lanjut dari Inpres tersebut diadakan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tahun 2004-2009 dan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tahun 2010 2025. Demikian serius pemerintah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. dengan demikian halinimemberikan tugas kepadahakim sebagai ujung tombak pemberantasan tindak pidana korupsi. Bagaimana hakim dalam putusannya dapat memberikan efek jera bagi pelaku secara khusus dan bagi masyarakat secara umum. Pada hakikatnya, pemberian pidana tersebut berorientasi dan bermuara kepada “sanksi pidana” merupakan “penjamin/garansi yang utama/terbaik” atau (prime guarantor) dan sekaligus sebagai “pengancam yang utama”(prime threatener) atau serta merupakan alat atau sarana terbaik dalam menghadapi kejahatan. Konklusi dasar asumsi Herbert L. Packer ini diformulasikan dengan redaksional sebagai berikut :4 a. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana. (The criminal sanction is indispensable; we could not, now or in the foresecable future, get along without it) b. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk 4
Lilik Mulyadi, http://halamanhukum.blogspot.com/2009/08/artikel-3.html, akses tanggal 3 November
2014
60
HukumdanMasyarakat 2014 menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. (The criminal sanction is the best available device are have for dealing with gross and immediate harm and threats of harm. Putusan hakim dapat dikatakan sebagai “mahkota” sekaligus “puncak” rasa nilai-nilai keadilan, kebenaran yang hakiki, pengakuan akan hak azasi manusia, penguasaan hukum atau fakta, pencerminan mentalitas dan moralitas para hakim yang memeriksa dan memberikan putusan.5 Apakah putusan hakim tersebut tidak mengandung pemidanaan berupa pembebasan (vrijspraak) dan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging), atau pun ketika putusan tersebut
mengandung pemidanaan (veroordeling.
Dalam kenyataannya, ketika putusan pidana yang dijatuhkan berbeda terhadap pelaku tindak pidana, sebenarnya adalah merupakan hal yang wajar dan sudah tentu akan terjadi, tergantung pada jenis dan pola tindak pidananya, keseriusan tindak pidana dan selanjutnya dapat juga terjadi akibat dari majelis hakim yang tidak selalu sama. Lebih spesifik Harkristuti Harkrisnowo menyebutkan bahwa disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori yaitu: 1. Disparitas antara tindak tindak pidana yang sama 2. Disparitas antara tindak tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama 3. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim 4. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama.6 Dari pendapat Harkristuti Harkrisnowo itulah dapat kita temukan bahwa disparitas tidak hanya terjadi pada tindak pidana yang sama, tetapi juga pada tingkat keseriusan dari suatu tindak pidana, dan juga dari putusan hakim, baik satu majelis hakim maupun oleh majelis hakim yang berbeda untuk perkara yang sama. Tentu saja kenyataan mengenai ruang lingkup tumbuhnya disparitas ini menimbulkan inkonsistensi di lingkungan peradilan. Indikator keberhasilan peranan hakim dalam pemberantasan korupsi bukan dari banyaknya terdakwa yang dihukum, tetapi lebih karena putusan yang adil baik bagi pelaku tindak pidana demikian juga masyarakat. Kenyataan saat ini masih terdapat disparitas putusan 5
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia” PT. Citra Aditya Bakti, 2010, hal.
129
Harkristuti Harkrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, Orasi pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang Universitas Indonesia, 8 Maret 2003 6
61
HukumdanMasyarakat 2014 hakim yang sangat mencolok, terlebih lagi jika dikaitkan dengan faktor terdakwanya. Hal ini terlihat dari beberapa putusan hakim terhadap tuntutan pelanggaran Pasal 3 UU Korupsi. Penjatuhan putusan hukum terhadap terdakwa selalu didasarkan pada dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, dan hakim terikat pada dakwaan tersebut, artinya bahwa hakim tidak dapat memeriksa diluar isi dakwaan. Dalam hukum acara pidana, penjatuhan putusan akhir atas suatu perkara tindak pidana, diserahkan kepada hakim dan hakim akan menjatuhkan putusannya dengan berdasarkan pada pembuktian secara hukum ditambah dengan keyakinannya. Idealnya, suatu putusan hakim akan memberikan keadilan untuk semua pihak, bahkan sekaligus memberikan kemanfaatan dan kepastian hukum, walaupun fakta menunjukkan bahwa mengakomodir keadilan antara terdakwa dan masyarakat yang dirugikan sekaligus dalam putusan tidaklah mudah, karena keadilan berkaitan dengan "rasa subjektif" yang tolak ukurnya sangat relatif. Akan tetapi karena sulitnya mencari parameter yang tepat untuk menentukan keadilan yang hakiki, sekalipun didalam menjalankan kewenangannya untuk mengadili, hakim mempunyai kebebasan/independensi yang dijamin konstitusi dan undang-undang. Pemahaman yang dapat dijadikan pedoman adalah ketentuan undang-undang kekuasaan kehakiman yang mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat dan ketentuan yang menggariskan bahwa putusan Hakim harus mencerminkan rasa keadilan bagi rakyat Indonesia. Karena itu, selain melakukan penilaian fakta-fakta hukum dipersidangan dengan mempertimbangkan berbagai hal menurut ketentuan peraturan perundang-undangan dan praktik penjatuhan putusan selama ini, seyogianya dampak korupsi berupa kerugian hebat yang diderita masyarakat saat ini dapat menjadi bahan pertimbangan sebagai titik tolak bagi pemikiran Hakim dalam setiap pengambilan putusan perkara korupsi. Hakim di ruang pengadilan hendaknya dalam memutus perkara tidak hanya mendasarkan pada ketentuan hukum normatif yang masih jauh dari kesempurnaan, tetapi hakim hendaknya mampu menciptakan kaidah-kaidah hukum baru yang senyawa dan sejiwa dengan kompleksitas akar dan bobot perkara yang diputus, atau “Judge made Law”. Hakim merupakan pengemban hukum praktis yang dalam menjalankan profesinya dituntun oleh etika profesi. Dalam pelaksanaannya, etika profesi belum berjalan efektif, disebabkan masih ditemukannya korupsi pada peradilan (judicial corruption) itu sendiri, dan untuk itu sangat dibutuhkan penguatan 62
HukumdanMasyarakat 2014 terhadap pengawasan internal dan eksternal terhadap hakim sekaligus keterbukaan informasi di pengadilan sebagai upaya alternatif mengatasi krisis dalam profesi hakim. Dampak yang diharapkan dari setiap putusan hakim yang adil bukanlah sekedar untuk memperoleh citra positif tetapi lebih kepada tumbuh kembalinya kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap lembaga peradilan dan instrumen-instrumennya. Dari data yang diperoleh dari Bagian Tipikor Pengadilan Negeri Klas Ia Jayapura tahun 2012-2013, dapat ditarik kesimpulan bahwa putusan hakim banyak yang berada dibawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum, dominasi oleh rentang waktu 2 sampai 1 tahun, sementara itu ada beberapa perkara yang berada dalam rentang waktu 3-4 tahun. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa disparitas putusan hakim terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap Pasal 3 UU Korupsi tidak terlalu mencolok karena masa rentang waktu hukuman hanya berbeda lama bulan dalam masa pidana yang diputuskan hakim. Berikut ini adalah contoh disparitas putusan hakim dapat dilihat dalam perkara yang sama persis baik modus operandi maupun keseriusan perbuatannya (kasus sama) namun penyelesaiannya dilakukan dengan model splitsing (pemisahan) dalam berkas yang berbeda dan pormasi majelis hakim yang berbeda. Kasus tersebut bermula dari upaya mempromosikan Kabupaten Merauke pada kurun waktu tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 Johannes Gluba Gebze selaku Bupati Merauke, membuat kebijakan berupa kegiatan pemberian souvenir kulit buaya kepada para tamu Pemerintahan Daerah yang berkunjung ke Kebupaten Merauke. Bahwa kemudian Nur,aini telah melakukan pembayaran pengadaan souvenir kulit buaya dengan cara menerbitkan 38 SP2D senilai Rp. 12.050.500,00, yang dilampirkan dengan dokumen pembayaran yang dibuat di Bagian Umum Setda Kab. Merauke. Sedangkan saksi KASLAN melakukan pembayaran kepada pengrajin kulit buaya dengan menerbitkan SP2D sebanyak 29 set senilai Rp. 8.599.167.500,00. Bahwa terdakwa dan saksi KASLAN selaku Kuasa Bendahara Umum Daerah Kabupaten Merauke telah menandatangani SP2D kemudian telah melakukan pencairan dana melalui Bank Papua Kantor Cabang Merauke. Dana masuk ke 7 rekening pengrajin kulit buaya, dianggap telah memperkaya orang lain dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp.18.490.838.625. Dalam putusannya hakim menjatuhkan pidana yang sangat berbeda (terjadi disparitas yang sangat mencolok) kepada para terdakwa, digambarkan sebagai berikut :
63
HukumdanMasyarakat 2014 Tabel 1 Putusan Hakim atas Tindak Pidana yang Sama Nama
Pidana
Uang Pengganti
DOMINIKU
Pidana Penjara 1 tahun 8 bulan
Rp.475.191.925 subsider 5
S BULIBA
dan denda Rp.50.000.000, jika
bulan penjara.
GEBZE,
tidak dibayar dipidana 2 bulan
S.Sos
kurungan
Drs.
Pidana Penjara 1 tahun dan denda
Rp.169.725.750. subsider 4
JOHANES
Rp.50.000.000, jika tidak dibayar
bulan penjara.
GLUBA
dipidana 2 bulan kurungan
GEBZE Alias JOHN Kaslan
menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 4 tahun dan 6 bulan dan pidana denda Rp.500.000.000 subsidair 6 bulan kurungan
Nur' Aini
Menjatuhkan pidana terhadap
Mudia
terdakwa oleh karena itu dengan
Sutiarsih,
pidana penjara selam 2 tahun dan
S.Sos
4 bulan dan pidana denda sebanyak Rp. 50.000.000,- ( lima puluh juta rupiah ) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan
Sumber : Bagian TIPIKOR PN Jayapura
Salah satu kekhasan pidana korupsi adalah adanya pidana pembayaran uang pengganti. Mengenai pembayaran uang pengganti didalam UU Tipikor tidak mengatur mengenai definisi 64
HukumdanMasyarakat 2014 uang pengganti, namun disebutkan dalam Pasal 17 jo Pasal 18 Ayat (1) huruf b UU 31 Tahun 1999 hanya menyebutkan bahwa selain pidana tambahan yang diatur dalam KUHP, sebagai pidana tambahan yang dapat dijatuhkan adalah pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyakbanyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Sementara itu dalam ayat (2) dan (3) diatur bahwa jika dalam satu bulan terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut maka harta bendanya dapat disita dan dilelang oleh penuntut umum untuk menutupi uang pengganti tersebut, dan jika terdapat kekurangan maka terhadap terpidana dikenakan penjara pengganti yang besarnya tidak melebihi ancaman penjara pokoknya. Atas pidana tambahan uang pengganti tersebut dalam amar putusannya pengadilan selalu mengatur berapa ancaman penjara pengganti dari kekurangan pembayaran uang pengganti yang berhasil dipenuhi oleh terpidana. Isu besaran pidana pengganti dari pembayaran uang pengganti selama ini kurang mendapatkan sorotan. Padahal berbeda dari variabel yang digunakan untuk menentukan berat ringannya hukuman dalam pidana pokok yang cukup rumit, variabel yang dapat digunakan untuk menentukan besaran penjara pengganti atas uang pengganti dapat jauh lebih sederhana, yaitu besaran uang pengganti itu sendiri. Dalam prakteknya sering sekali terlihat bahwa besaran uang pengganti kemudian pidana yang akan dikenakan jika harta terpidana tidak mencukupi untuk mengganti besaran uang pengganti, terjadi disparitas penentuan lamanya masa subsider yang ditetapkan, sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan. Tabel berikut ini dipaparkan data bagaimana besaran denda dan besaran uang pengganti disubsiderkan dengan kurungan atau penjara.
Nama Terdakwa Drs. JHON
Tabel 2 Subsidaritas besaran Uang Dendan dan Uang Pengganti Besaran uang Subsider Besara uang Subsider Denda pengganti Rp. 50.000.000,-
IBO, M.M ALBERT SAHAT SILALAHI
Rp. 50.000.000
2 bulan
Rp.
1 (satu)
kurungan
1.055.920.700,
tahun
3 bulan
Rp.
3 (tiga)
kurungan
909.437.090.0
bulan
3,
65
HukumdanMasyarakat 2014 Drs. ANDI
Rp. 50.000.000,
BASO
2 bulan
-
-
6 bulan
Rp.
1 tahun
kurungan
151.000.000,-
kurungan
6 bulan
Rp.
1 tahun
kurungan
1.584.364.800
kurungan
2 bulan
-
-
kurungan
BASALENG LUKAS MRA-
Rp. 50.000.000,
MRA, S.H PELIUS
kurungan Rp. 50.000.000.
TABUNI, S.Sos
DANIEL REMI
Rp. 200.000.000
ANALINARTA BASTIO, S.T
2 bulan
Rp. 50.000.000,
kurungan SEPTINUS
Rp.50.000.000,
BARANSANO,
3 bulan
Rp. 20.000.000 3 bulan
kurungan
penjara
S.T YULIANUS
Rp.200.000.000
MNUSEFER,
4 bulan
Rp.
2 tahun 6
kurungan
13.960.000.00
bulan
0
penjara
Rp.1.000.000,-
pidana
Sth, S.Si,. M.A.P LUKMAN,
Rp.50.000.000,-
S.Sos
kurungan 1 bulan
ALFRED LEO
Rp.200.000.000
NUMBERI
2 bulan
Rp.
penjara
kurungan
136.037.454
selama 2 tahun 3 bulan
FRANSISKA KOIREWOA
Rp.200.000.000
2 bulan
Rp.
Di pidana
kurungan
436.822.954
penjara
66
HukumdanMasyarakat 2014 selama 5 bulan Ir. ANTON
Rp.100.000.000,
SUGESTIANO RABUNAWAT
3 bulan
-
-
-
-
Rp.
Di pidana
136.037.454,
penjara
kurungan Rp.50.000.000,
I
1 bulan kurungan
ALFRED LEO NUMBERI
selama 2 tahun 3 bulan JEREMIAS
Rp.50.000.000,
DAVID H.
(empat) bulan
KAIBA, S.T IRFAN
dipidana 4
kurungan Rp.200.000.000
LARAJA
subsidair 3
Rp.
dipidana
bulan
463.641.820.0
selama 5
kurungan
6 ditanggung
bulan
renteng dengan kurungan. terdakwa lain Sumber : Bagian TIPIKOR PN Jayapura Dari data diatas terlihat bagaimana terjadi disparitas dalam hal penentuan masa pengganti/ subsidaritas atas lamanya kurungan atau penjara yang harus dijalani oleh terpidana.
2. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Disparitas Putusan Hakim Di Pengadilan Negeri Klas Ia Jayapura a. Sistem Hukum Saat ini sistem hukum Indonesia masih dipengaruhi oleh Sistem Eropa Kontinental (civil law system). Sehingga disparitas putusan pasti terjadi, karena sistem civil law 67
HukumdanMasyarakat 2014 menitikberatkan aturan pada undang-undang. Hal ini mermbuat hakim harus senantiasa mengutamakan memperhatikan isi undang-undang, ketika undang-undangnya tidak jelas, atau kurang mengatur dengan baik, barulah dibuka ruang bagi hakim untuk melihat nilai-nilai keadilan yang hidup didalam masyarakat. Yurisprudensi juga diakui dalam sistem ini tetapi tidak wajib diikuti atau tidak mengikat secara formil bagi hakim lain dalam Sistem Eropa Kontinental. Kondisi ini tentu berbeda dengan negara bersistem hukum Anglo Saxon yang menitik beratkan hukum pada yurisprudensinya.7 Ssistem common law menganut sistem presedent, pada sistem ini
yurisprudensi sebagai putusan Mahkamah Agung (MA) atau peradilan
tertinggi yang sudah pernah atau selalu diikuti oleh hakim-hakim lain di bawah MA yang dianggap sebagai preseden.8 Preseden (yurisprudensi) dalam system hukum Anglo-Saxon (Common law System) bersifat “the binding force precedent”. Itu artinya, peluang terjadinya disparitas bisa dicegah karena putusan pengadilan mengikuti putusan hakim sebelumnya. 9 b. Undang-undang Undang-undang juga menjadi faktor penyebab terjadinya Disparitas, sebagai contoh pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Pada Pasal 2 tersebut memiliki hukuman yang paling berat yaitu minimun 4 tahun dan maksimum 20 tahun untuk pidana, dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), pasal ini paling sering dituding sebagai penyebab terjadinya disparitas putusan. Sedangkan pada Pasal 3 cendrung lebih ringan, kemudian pasal suap yang diatur dalam Pasal 5 lebih ringan pidana minimal dan maksimalnya, bila dibandingkan dengan pidana minimal dan maksimal yang diatur dalam Pasal 12, hal ini menjadi penyebab terjadinya disparitas putusan. Sehingga sering sekali sejumlah kalangan mencari cara supaya terhadap mereka akan dijatuhkan Pasal 3, atau Pasal 5, untuk menghindari hukuman yang lebih berat. c. Hakimnya Sendiri Faktor lain yang dianggap sebagai pendorong terjadinya disparitas putusan adalah faktor yang bersumber dari hakim itu sendiri. Problem disparitas juga bisa bersumber dari hakim. 7
ICW, Disparitas Putusan Penindakan Tindak Pidana Korupsi, 2014, hal. 39 ibid 9 ibid 8
68
HukumdanMasyarakat 2014 Antara lain terjadi karena adanya pemahaman ideologis yang beragam terhadap the philosophy of punishment (nilai-nilai dasar atau falsafah penghukuman), setidaknya dalam mengikuti aliran hukum pidana (aliran klasik atau aliran modern)10. Putusan perkara korupsi yang dilandasi pemikiran untuk menitikberatkan pada keadilan masyarakat jangan sampai terjebak pada keinginan untuk mencari popularitas, dengan selalu memaksakan untuk menjatuhkan putusan pemidanaan dalam setiap perkara korupsi, apapun fakta dan keadaannya hal ini sangat berbahaya karena akan berakhir dan terjerumus pada penyalahgunaan/arogansi kekuasaan. Sebaliknya, apabila dalam putusan perkara korupsi Hakim telah pula mempertimbangkan dengan seksama antara keadilan terdakwa dan keadilan masyarakat dan tetap berkesimpulan bahwa terdakwa harus dibebaskan, atau dipidana dengan pidana sekian lama, sepanjang penjatuhan putusan dilakukan secara adil, tentu saja hal tersebut tidak dianggap sebagai kegagalan hakim dalam pemberantasan korupsi. Semestinya pengadilan memihak kepada kepentingan negara/rakyat dengan mencanangkan adanya suatu inovasi bahwa pengadilan Indonesia adalah pengadilan yang memiliki nurani (conscience of the court) dan nurani itu adalah antikorupsi. Seorang hakim yang bersikap determinasi penuh untuk memberantas korupsi dengan mencermati fakta di persidangan secara berbeda daripada Hakim yang memiliki sikap menjaga status quo.Selanjutnya dalam hukum pidana positif Indonesia, hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (stafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan penggunaan sistem alternatif pengancaman pidana didalam Undang-Undang. Hal ini karena dalam Pasal 183 KUHAP dasebutkan bahwa hakim
harus
mempunyai
keyakinan
atas
suatu
kenyataan
kebersalahan araupun
ketidakbersalahan seorang terdakwa, faktor keyakinan ini pasti berbeda antara hakim yang satu dengan yang lainnya.Penialian hakim akan sangat berpengaruh pada kepribadian dan mentalitas hakim. Selanjutnya faktor lingkungan sosial hakim, lingkungan sosial biasanya mencakup banyak faktor, misalnya faktor politik, ekonomi, dan lain sebagainya,yang pasti akan sangat membedakan cara pandang hakim yang bersangkutan. d. Panduan yang Tidak Jelas
10
Ibid, hal. 41
69
HukumdanMasyarakat 2014 Selain itu faktor yang dapat menimbulkan disparitas adalah karena tidak adanya panduan yang jelas mengenai, misalnya masa subsidaritas dari uang denda dan uang pengganti. Hal tersebut sangat memungkinkan terjadinya disparitas. C. Penutup 1. Kesimpulan a) Bahwa putusan Hakim Pengadilan Negeri Klas 1a Jayapura juga masih banyak terjadi disparitas, baik itu untuk kasus yang sama persis pola perbuatannya dan dampaknya, demikian juga dalam hal penentuan masa subsidaritas dari besaran uang denda dan uang pengganti ketika terpidana tidak mampu untuk membayar. b) Faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas putusan hakim di Pengadilan Negeri Klas 1a Jayapura adalah faktor sistem hukum yang masih mempengaruhi sistem hukum Indonesia, faktor undang-undang sebagai contoh keberadaan Pasal 2 dan Pasal 3, Pasal 5 dan Pasal 12 UU Tipikor, faktor hakim yang meliputi kepribadian dan mentalitas, faktor lingkungan sosial hakim, dan faktor yang terakhir adalah karena kekosongan panduan dalam penerapan hukum. 2. Saran a) Guna meminimalisasi terjadinya disparitas dalam putusan hakim Tipikor, sebaiknya digunakan yurisprudensi sebagai tolak ukur dalam pemberian putusan terhadap tindak pidana yang sama tipe dan akibat perbuatannya. b) Dalam pembuatan pidana minimal dan maksimal
dalam pasal-pasal UU Tipikor
sebaiknya disejajarkan sehingga tidak membuka ruang bagi pihak-pihak tertentu untuk menghindar dari pidana yang lebih berat. c) Ada panduan dalam penetapan masa subsidaritas dari besaran uang denda dan uang pengganti ketika terpidana tidak sanggup membayar. ========================= DAFTAR PUSAKA Arya Maheka, Tanpa Tahun, Mengenali dan Memberantas Korupsi, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia. 70
HukumdanMasyarakat 2014 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 2, Jakarta: Rineka Cipta. Harkristuti Harkrisnowo, 2003, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, Orasi pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang Universitas Indonesia, 8 Maret. Haryadi, Maret 2014, Tinjauan Yuridis Perumusan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 tahun 2001 DalamPerspektif Tujuan Pemidanaan” Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Universitas Jambi, Volume, 5 Nomor 1, ICW, 2014, Disparitas Putusan Penindakan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta:ICW Lawrence M. Friedman, 2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Bandung : Nusa Media. Lilik Mulyadi, 2010, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti. ..............., Sebuah Polarisasi Pemikiran Terhadap Filsafat Pemidanaan Yang Diterapkan Hakim Indonesia Dikaji Dari Perspektif Teoretis Dan Praktik Peradilan Indonesia, http://halamanhukum.blogspot.com/2009/08/artikel-3.html, akses tanggal 3 November 2014 Litbang Mahkamah Agung, 2010, Kedudukan dan Relevansi Yurisprudensi untuk Mengurangi Disparitas Putusan Pengadilan, Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. Mia Aminati Iskandar, 2013, Perluasan Penyertaan Dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut UNCATOC 2000 dan UNCAC 2003, Jakarta:Referensi (GP Press Group). Muladi dan Barda Nawawi,1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: PT. Alumni. Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi, 2011, Bahan Ajar, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Sudarto, 1977, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni.
71
HukumdanMasyarakat 2014
72