JURNAL HUKUM DAN MASYARAKAT
ISSN 1693-2889
Volume 14 Nomor 2 April 2015 PEMIDANAAN SEBAGAI SALAH SATU SARANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Penanganan Kasus Korupsi di Kejati Papua)1
Oleh: Tumian Lian Daya Purba, SH2 Abstrak Penerapan tuntutan sanksi di Kejaksaan Tinggi Papua, berdasarkan fakta yang ada, Kejaksaan Tinggi Papua telah menerapkan tata cara dan proses penanganan penyelesaian kasus korupsi dengan menerapkan tuntutan sanksi pidana dan pidana denda melalui pengumpulan bukti, dimulai dari penyidikan, penuntutan sampai berakhir pada pelaksanaan putusan pengadilan. Pertanggung jawaban pidana pada pelaku tindak pidana korupsi disimpulkan bahwa setiap pelaku tindak pidana korupsi harus dapat dituntut dan dipertanggungjawabkan telah melakukan perbuatan pidana dan terdapatnya unsur kesengajaan. Surat edaran Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: B1118/F/FSP/111/2006 tanggal 21 November 2006 bahwa setiap Kejaksaan di daerah seluruh Indonesia ditargetkan tiap tahunnya yaitu : 1) Kejaksaan Tinggi 5 (lima) Kasus 2) Kejaksaan Negeri 3 (tiga) Kasus 3) Cabang Kejaksaan Negeri 1 (satu) Kasus
Kata Kunci : Pemidanaan, Satu Sarana, Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi. I. Pendahuluan Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas di masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dam hak-hak ekonomis masyarakat, oleh 1
Tumian Lian Daya Purba, Pemidanaan Sebagai Salah Satu Sarana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi (Studi Penanganan Kasus Korupsi Di Kejati Papua), Makalah, Fakultas Hukum, Universitas Cenderawasih,Jayapura: UNCEN, 2013. 2 Dosen FH UNCEN, Email :
[email protected]
Hukum dan Masyarakat 2015
karena itu, Tindak Pidana Kompsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut caracara luar biasa.3 Masalah korupsi tampaknya tidak habis-habisnya dibicarakan oleh berbagai kalangan. Akan tetapi masalah tersebut belum juga teratasi, walaupun usaha-usaha untuk mengurangi kejahatan tersebut telah dijalankan secara gigih oleh pemerintah, dalam hal ini oleh para penegak hukum. 4 Tingginya tingkat intensitas korupsi menandakan bahwa penegakkan hukum di negara kita masih lemah atau belun dapat diharapkan sebagai pengayom dan penyelamat, sehingga investor asing enggan menanamkan modal di Indonesia. Aparat penegak hulum yang dalam hal ini terutama pihak Kejaksaan R.I belum optimal melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai wewenang yang diberikan kepadanya, karena itu adalah wajar jika masyarakat memberikan perhatian besar dan selalu menyoroti hasil kinerja kejaksaan. Penilaian terhadap kejaksaan belum optimal yang seolah-olah di dalam upaya penegak hukum tidak sungguh-sungguh, lamban, penuh keraguan dan kurang profesional dalam melaksanakan kewajibanrya sesuai tugas dan wewenang yang diembannya selaku penyidik dan penuntut umum dalam memberantas kejahatan korupsi berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Pasal 30 ayat (1) huruf a dan d.5 Sebagaimana telah diketahui bahwa Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah begitu meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun baik dari jumlah kasus yang terjadi, jumlah kerugian negara maupun dari segi kualitas tindak pidana dengan modus operandi yang selalu
3
Himpunan Peraturan Pemberantasan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2007, hal 103. 4 Bambang Purnomo. Potensi Kejahatan Korupsi di Indonesia. Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal 6. 5 Kumpulan Undang-Undang, Bintang Pustaka, Yogyakarta, 2006, hal 92.
78
Hukum dan Masyarakat 2015
mengalami dinamisasi dari segala sisi dan semakin sistematis sehingga sulit dalam pembuktiannya. Namun demikian, pemerintah telah berupaya memberantas tindak pidana korupsi. Hal ini terlihat adanya reaksi pemerintah antara lain perbaikan undangundang sebagai landasan pelaksanaan tugas bagi aparat hukum yaitu dari UndangUndang Namor 31 Tabun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tabun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dilahirkannya UndangUndang Nomor 30 Tabun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Konupsi. Menurut Elwi Danil, tindak pidana korupsi telah terjadi di negeri ini secara sistematis dan meluas, sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, melainkan juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, maka pemerintah mempersiapkan sebuah Rancangan UndangUndang (RUU) untuk mengamandemenkan Undang-Undang Nomor. 31 Tabun 1999, RUU inilah yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomar. 20 Tahun 2001 Tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tabun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (Lembaran Negara R.I Tabun 2001 Nomor 134 Tahun 2001).6 Juga Andi Hamzah berpendapat, masalah korupsi telah mendunia. Buktinya telah ada konvensi internasional mengenai pemberantasan korupsi, jadi penentuan peringkat korupsi Indonesia yang demikian tingginya masih dapat dipertanyakan kebenarannya, melihat negara lain yang sampai mempergunakan kekuatan militer untuk merebutkan kekayaan negara lain, ini
6
Elwi Danill, Sistem Pembalikan Beban Pembuktiaan Dalam Perspektif Hak Azazi Mannsia (Sebuah Problema Dalam Pemberantasan Korupsi Di Indonesia), Pidato Ilmiah Disampaikan Pada Dies Natatalis ke-55 Fakultas Hukum Universitas Andatas Padang 9 Desember 2006, hal 17.
79
Hukum dan Masyarakat 2015
sudah meningkat dari persoalan korupsi individual atau kelompok ke korupsi negara.7 Aspirasi dan tuntutan masyarakat sangat kuat diera reformasi untuk mencegah dan memberantas korupsi secara lebih efektif, disalurkan dan diwujudkan oleh wakil-wakil rakyat di DPR dengan mengganti UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian UndangUndang inipun di amandemen dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Salah satu kebijakan yang ditempuh DPR dalam melakukan perubahan atau reformasi Undang-Undang untuk memberantas korupsi ialah dengan mencantumkan ancaman pidana mati dalam Undang-IJndang Nomor 31 Tahun 1999 yang dalam Undang-Undang sebelumnya (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971) tidak ada. Dalam ”penjelasan umum” Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dinyatakan sebagai berikut : ”Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas Tindak Pidana Korupsi, menurut ketentuan pidana undangundang ini berbeda dengan undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan perbuatan pidana.” Adanya ancaman pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 itu seolah-olah menunjukkan keseriusan pemerintah dan DPR pada waktu itu untuk memberantas korupsi. Bahkan sempat juga pidana mati itu digunakan sebagai alat dan tema kampanye calon presiden dan wakil presiden beberapa waktu yang lalu untuk memperkuat komitmennya dalam upaya program
7
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, penerbit Raja Grapindo Persada Jakarta, 2004, hal 13.
80
Hukum dan Masyarakat 2015
pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, dalam kenyataannya, sampai saat ini belum ada seorang koruptorpun yang dijatuhi pidana mati.8 Kesungguhan pemerintah dalam menanggulangi tindak pidana korupsi adalah komitmen yang tidak dapat dipungkiri, harus dilaksanakan secara konsekuen penuh tantangan dan resiko, walaupun kendala sangat komplek, tetapi peraturan yang telah ada dijadikan sebagai pedoman kerja bagi aparat penegak hukum. Setiap pelaku kejahatan korupsi tentu harus dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Penetapan jenis dan bentuk sanksi, sesungguhnya merupakan bagian dari kebijakan kriminal yang menuntut penggunaan atau penerapan metode yang rasional. Menurut Karl O. Christiansen yang dikutip oleh Sholehuddin bahwa kebijakan menetapkan suatu sanksi merupakan cara, metode, dan atau tindakan yang rasional dan terarah pada suatu tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan kata lain langkah awal dalam menetapkan suatu jenis sanksi, adalah menetapkan tujuan yang hendak dicapai oleh sanksi itu sendiri. Sanksi dalam kebijakan kriminal pada hakekatnya terdapat dalam dua aspek, aspek yang disebut sebagai upaya penal dan aspeh sebagai upaya non penal. Dalam kalangan ilmu hukum pidana dikenal sebagai Double Track System. menurut Sholehuddin double track system merupakan sistem dua jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana yakni jenis sanksi pidana di satu pihak dan jenis sanksi tindakan di pihak lain. Walaupun di tingkat praktek, perbedaan antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan pidana. sering agak samar, namun di tingkat ide dasar keduanya memiliki perbedaan mendasar, keduanya bersumber dari ide dasar yang berbeda. Dengan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan 8
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal 305-306.
81
Hukum dan Masyarakat 2015
menjadi jera, fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah. Jelaslah, bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan). Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan sipembuat. 9 Hakikat perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan dari berbagai pandangan Sholehuddin cenderung memilih dan sependapat dengan pandangan ALF Ross yang pernah dikutip oleh Muladi dan Bardu Nawawi Arief dalam bukunya Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Menurut ALF Ross untuk dapat dikategorikan sebagai sanksi pidana (punishment), segala suatu harus memenuhi dua syarat dan tujuan ; pertama, pidana ditujukan kepada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan, kedua, pidana itu merupakan suatu pernyataan, pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Sedangkan untuk membedakan secara jelas antara sanksi pidana dan sanksi tindakan pada prinsipnya harus didasarkan pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan. Pandangan tersebut di atas, bila dihubungkan dengan teori-teori pemidanaan yang menjadi dasar suatu tujuan pemidanaan, maka akan tampak lebih dekat pada teori tujuan (utilitarian theory) karena pemidanaan itu tidak dimaksudkan semata-mata si pelaku telah terbukti bersalah, melainkan karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi- konsekuensi positif baginya termasuk korban dan orang-orang lain dalam masyarakat.10 Dalam menanggulangi kejahatan, terutama tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa, maka penanggulangannyapun harus luar biasa dan pedoman pelaksanaannya sudah ada ketentuannya sebagaimana diatur dalam Undanb-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001. Pada umumnya selama ini para koruptor selalu dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1), (2) dan Pasal 3 Undang9
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System & Implementasintasnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Ha1.15-17. 10
ibid, hal 143-145
82
Hukum dan Masyarakat 2015
Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang rincian sanksi pidananya adalah sebagai berikut : Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kemampuan Jaksa selaku penyidik dan penuntut umum mengungkapkan kasus kejahatan korupsi hingga terbukti dapat dijatuhi sanksi pidana.
II. Metode Penelitian Tipe atau jenis penelitian hukum yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum memiliki karakter tersendiri. Meskipun bersifat eksplanatoris, penelitian hukum bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam mengenai gejala hukum tertentu.11 Metode pendekatan yang digunakan pada penelitian ini melalui studi perundangundangan dan kasus. Menurut Soerjono Soekanto12, dalam penelitian hukum dikenal data primer dan data sekunder. Data primer atau data dasar adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka yang menurut kekuatan mengikatnya. III. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Korupsi dan Tindak Pidana Korupsi Pengertian korupsi menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus (Webster student dictionary ; 1960). Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyakan bahasa eropa seperti Inggris, yaitu coruption, corrupt, Perancis, yaitu corruption dan Belanda yaitu corruptie (korruptie). Kita dapat
11
Peter Mahmud, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 34-35. Diparafrasekan dari Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 51. 12
83
Hukum dan Masyarakat 2015
memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu korupsi”.13 Arti harfiah dari kata itu menurut Andi Hamzah ialah kebusukan, keburukan, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kebejatan, ketidakjujuran kesucian.14 Meskipun demikian, bukan berarti penggunaan pendekatan multidisipliner tidak bermanfaat bagi kalangan hukum untuk menelaah dan memahami makna korupsi. Pendekatan seperti itu justru sangat diperlukan urrtuk memperoleh pemahaman yang komprehensif, sehingga dapat dihasilkan pengertian yang luas dan konseptual tentang makna korupsi. Dengan demikian, kalangan hukum dapat memahami aspek-aspek yang secara sosiologis bersifat koruptif, namun belum tertampung dalam rumusan hukum pidana.15 Atas dasar pemikiran demikian, Elwi Danil yang mengutip dari Soejono Dirdjosisworo mengatakan, bahwa pemberian arti dari beberapa segi peninjauan tentang korupsi akan relevan bagi usaha untuk menemukan cara penanggulangan dari segi hukum pidana dan kriminologi. Salah satu jenis kegiatan yang semakin sulit dijangkau oleh aturan hukum pidana begitu pula menurut Bambang Purnomo ialah kejahatan korupsi, perbuatan korupsi (corruptie) menurut beliau merupakan suatu perbuatan curang (figbedorven) dan tidak jujur (oneerlijk) yang bermula sebagai perbuatan jahat yang memerlukan kemampuan berfikir (intelegensia), dengan pola perbuatan yang demikian itu kemudian paling mudah merangsang untuk ditiru dan menjalar dilapisan masyarakat sebagai makna dimaklumi bahwa
13
Andi Hamzah, Op cit hal 4-5
14
ibid 15
Elwi Danil, Pemahaman Konseptual tentang Makna Korupsi, Fakultas Hukum Universitas Andala, Padang, 003, hal 2. 84
Hukum dan Masyarakat 2015
terbentuknya
kelompok
masyarakat
kriminal
yang
tumbuh
dalam
masyarakat.16 Pada dasarnya korupsi dibentuk menyangkut penyelenggaraan pelayanan umum (public services) dan hubungan kerja (public contracts) yang mendatangkan sumber keuangan. Oleh karena itu korupsi terjadi melalui kelemahan sistem birokrasi penyelenggaraan pelayanan umum dan kelemahan sistem kontrol pada hubungan kerja yang mendatangkan sumber keuangan, dengan memanfaatkan situasi tertentu dari siklus pertumbuhan negara, perkembangan sistem sosial, dan keserasian struktur pemerintahan. Penggunaan waktu yang tidak tepat guna dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, penggunaan fasilitas bagi diri pribadi atau kerabat atau kelompok, kalangan dalam penyelenggaraan pemilihan umum, intimidasi dan penjatahan bersuara dalam badan legislatif, permainan menyusun kekuatan di belakang layar orang kuat, dan berbagai manipulasi kebijakan yang menyangkut urusan hajat hidup orang banyak, dapat digolongkan menjadi korupsi dibidang politik. Pengertian korupsi secara umum menurut pandangan masyarakat di Indonesia dapat kita temukan didalam beberapa kamus yaitu : kamus besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Soharsono dan Ana Retnoningsih yang memberikan pengertian korupsi adalah perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. 17 Dari beberapa pengertian korupsi yang sudah diuraikan diatas sangat beraneka ragam, sehingga sangat sulit untuk memberikan suatu rumusan atau definisi
singkat
namun cukup lengkap, kalaupun dirumuskan atau
didefinisikan mungkin terlalu panjang, tetapi menurut penulis makna yang terkandung dari kata korupsi itu sendiri berkonotasi negatif sehingga undang-
16
Bambang Purnomo, Op-cit (catatan kaki No.2), hal 11. Suborsono dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Lux:, Widya Karya, Semarang, 2005, hal 267. 17
85
Hukum dan Masyarakat 2015
undang pemberantasan tindak pidana korupsi sendiri sudah memberikan batasan tentang korupsi. Pengertian korupsi menurut undang-undang akan penulis bahas pada bab berikutnya. 2. Sejarah tentang Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam sejarah kehidupan Hukum Pidana Indonesia menurut Elwi Danil istilah korupsi pertama kali digunakan dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor:
PRT/PM-06/1957,
sehingga
korupsi
menjadi
suatu
istilah.
Penggunaan istilah korupsi dalam peraturan tersebut terdapat pada bahagian konsiderannya yang antara lain menyebutkan bahwa perbuatan-perbuatan yang merugikan keuaangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi.18 Kemudian dijelaskan pula oleh Andi Hamzah bahwa peraturan pemberantasan korupsi yang pertama ialah Peraturan Penguasa Militer Nomor: PRT/PM-06/1957 tanggal 9 April 1957, Nomor PRT/PM/03/1957 tanggal 27 Mei 1957 dan Nomor : PRT/PVl/Oll/1957 tanggal 1 Juli 1957 konsideran dari peraturan yang pertama diatas (Nomor : PRT/PM-06/1957 tanggal 9 April 1957) menyatakan sebagai berikut : ”Bahwa
berhubung tidak adanya
kelancaran dalarn usaha-usaha
memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata cara kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha-usaha memberantas korupsi dan seterusnya”. Menilik kata-kata dalam konsideran tersebut diatas, nyata maksudnya memperbaiki baik peraturan-peraturan (laws), maupun manusianya (human). Hal ini penting untuk diketahui dari peraturan-peraturan diatas ialah adanya usaha untuk pertama kali memakai istilah-istilah korupsi sebagai istilah 18
Elwi Danil, Diktat tentang Konseptual tentang Makna Korupsi, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitsa Andalas, Padang, 2003, hal 6.
86
Hukum dan Masyarakat 2015
hukum dan memberi batasan pengertian korupsi sebagai berikut ; ”perbuatanperbuatan yang merugikan keuangan negara dan perekonomian negara”.19 Berhubung dengan berlakunya Undang-Undang Keadaan Bahaya Nomor 74 Tahun 1957 pada tanggal 17 April 1958 akan tidak berlaku lagi. Ketiga peraturan penguasa militer tersebut diatas menurut hukum digantikan dengan Peraturan Pemberantasan Korupsi Para Penguasa Perang Pusat Nomor: PRT/Peperpu/013/1958 yang ditetapkan dan diumumkan pada tanggal 16 April 1958 clan disiarkan di BN Nomor 40/1958. Dalam konsideran peraturan ini khususnya pada butir a dikatakan sebagai berikut : ”Bahwa untuk perkara-perkara pidana mempergunakan modal dan atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dari masyarakat misalnya Bank, Koperasi, Wakaf dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan si pembuat pidana, perlu diadakan tambahan beberapa aturan pidana pengusutan, penilntutan dan pemeriksaan yang dapat memberatkan perbuatan-perbuatan yang disebut korupsi" Berdasarkan pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pembuat peraturan masih berusaha memperbaiki dan menambah peraturan yang terdahulu agar lebih efektif dalam memberantas korupsi. Dari konsideran inipun dapat ditarik kesimpulan bahwa KUHP saja tidaklah cukup untuk menampung segala masalah yang timbul berhubung dengan perbuatan yang merugikan keuangan itu. Dalam hal ini, dapat dipahami maksud pembuat peraturan ini yaitu Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat. Kemudian, peraturan tersebut diatas diberlakukan pula untuk wilayah hukum angkatan laut dengan surat keputusan kepala staf angkatan laut Nomor Z/1/1/7 tanggal 17 April 1958 diumumkan dalam BN Nomor 42/58.20
19
Andi Hamzah, Op cit hal 41-42. 20 Ibid hal 43
87
Hukum dan Masyarakat 2015
Sejalan dengan itu Elwi Danil mengemukakan ternyata dalam pelaksanaan pemberantasan korupsi berdasarkan undang-undang itu dengan persyaratan demikian tidak mendapatkan efektivitas yang memadai seperti harapan semula. Hal ini disebabkan karena sangat sulit untuk membuktikan unsurunsur melakukan kejahatan atau pelanggaran. Akibat adanya persyaratan atau unsur yang demikian, banyak perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang sesungguhnya bersifat koruptif sangat sukar dipidanakan berdasarkan Undang-Undang ini. Kesukaran itu adalah karena sulitnya memenuhi pembuktian unsur melakukan kejahatan dan pelanggaran terlebih dahulu. Disamping itu, ketentuuanketentuan hukum acara pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 24 PRP Tahun 1960 dirasakan pula kurang memadai untuk memberantas tindak pidana korupsi secara efektif, terutama sekali menyangkut ketentuanketentuan tentang pembuktian.21 Kebijakan untuk melakukan pembaharuan terhadap undang-undang mengenai tindak pidana korupsi erat pula kaitannya dengan perkembangan rasa keadilan masyarakat tentang tindak pidana korupsi, yang oleh pembentuk Undang-Undang dianggap tidak mampu ditampung oleh Undang-Undang nomor 24 PRP Tahun 1960. Artinya, berhubungan dengan perkembangan, masyarakat Undang-Undang Nomor 24 PRP Tahun 1960 dianggap kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan. atas dasar alasanalasan tersebut diatas, dan diperkuat dengan berbagai pendapat yang berkembang ditengah masyarakat, pemerintah memandang perlu mengadakan pembaharuan hukum pidana untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 24 PRP Tahun 1960. Agar upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan secara efektif dan efisien, perlu diadakan perluasan rumusan tindak pidana korupsi, kemudian untuk mempermudah pembuktian dan mempercepat proses 21
Elwi Danil, Op. cit, hal 113-114
88
Hukum dan Masyarakat 2015
peuyelesaian perkara tindak pidana korupsi perlu dilakukan pembaharuan terhadap ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang terdapat dalam Undang-Undang korupsi. Untuk memenuhi maksud tersebut diatas, maka dengan amanat Presiden Nomor
R-07/P.U/VIII/1970
tanggal
13
Agustus
1970,
pemerintah
menyampaikan kepada DPR-GR sebuah rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengajuan rancangan Undang-Undang tersebut dimaksudkan untuk mencabut dan mengganti dengan suatu UndangUndang Korupsi yang baru. Setelah melalui beberapa tahap pembahasan dalam persidangan dilembaga legislatif, akhirnya pada sidang pleno tanggal 12 Maret 1971 rancangan undang-undang tersebut diatas disetujui oleh DPRGR untuk ditetapkan menjadi undang-undang yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1971. Kemudian Elwi Darul menjelaskan pula bahwa konsideran UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 menegaskan latar belakang pemikiran pembuat Undang-Undang untuk memposisikan Undang-Undang tersebut sebagai instrument hukum pidana dalam penanagulangan masalah korupsi. Pembuat Undang-Undang memberikan penegasan bahwa, perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan / perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sementara undang-undang yang ada kurang mencukupi sebagai sarana untuk memberantas tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, diperlukan adanya langkah pembaharuan perundang-undangan pidana, sehingga dengan demikian dapat diketahui betapa pentingnya keberadaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dalam upaya penanggulangan tindak pidana korupsi. Namun demikian didalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dirasakan memiliki beberapa kelemahan sehingga perlu diganti. Disamping tidak adanya ketegasan mengenai sifat rumusan tindak pidana korupsi sebagai delik formil, tidak adanya ketentuan yang dapat diterapkan
89
Hukum dan Masyarakat 2015
terhadap korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi (corporate criminal reability) tercatat sebagai salah satu kelemahan yang dimiliki oleh UndangUndang nomor 3 Tahun 1971, dan kelemahan lainnya yang terdapat dalam Undang-Undang PTPK 1971 adalah mengenai sanksi pidana yang hanya menetapkan batas maksimum umum (dua puluh tahun) dan minimum umum (satu hari), sehingga jaksa penuntut umum dan hakim dapat bergerak secara leluasa dalam batas minimum umum dan maksimum umum itu. Kewenangan diskresi dalam menentukan sanksi pidana ini dapat menyinggung rasa keadilan masyarakat, karena ternyata dalam praktek terdapat kasus korupsi yang hanya dijatuhi pidana dibawah satu tahun, padahal tindak pidana korupsi itu sendiri memiliki dampak yang luas terhadap kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, dilihat dari segi kebutuhan praktis dalam proses penegakan hukum pidana, oleh karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dianggap sudah tidak lagi efektif, maka ia sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan. Atas dasar pertimbangan demikian, dibentuklah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Karupsi, lembaran negara Republik Indonesia TAM 1999 Nomor 140.34 Karena tindak pidana korupsi di Indonesia. sudah begitu meluas dalam masyarakat, perkembangan yang terus meningkat dari tahun ke tahun baik dari jumlah kasus yang tejadi, jumlah kerugian negara maupun dari segi kualitas tindak pidana dengan modus operandinya yang selalu mengalami dinamisasi dari segala sisi dan semakin sistematis sehingga sulit dalam pembuktiannya. Dalam waktu yang relatif singkat, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai instrumen pidana khusus, telah menimbulkan perbedaan interpretasi dikalangan sarjana hukum. Disamping masalah ketentuan peralihan yang tidak secara eksplisit dicantumkan, masalah pembalikan beban pembuktian kembali diperbincangkan. disebabkan
Gagasan
karena
untuk
timbulnya
menerapkannya
kesadaran
tentang
kembali semakin
menjemur, ruwetnya
problematika korupsi dan pemberantasannya di negeri ini. Oleh sebab itu, 34
ibid hal 117, 118 dan 119.
90
Hukum dan Masyarakat 2015
korupsi perlu didekati sebagai suatu kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Mengingat tindak pidana korupsi telah terjadi di negeri ini secara sistematis dan meluas, sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, melainkan juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, maka
pemerintah
mempersiapkan
suatu
rancangan
Undang-Undang
mengamandemenkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Rancangan Undang-Undang inilah yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang perubahan atas Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia TAM 2001 Nomor 134). Karena korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasanya harus dilakukan secara luar biasa, maka berdasarkan amanat Pasal 43 UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada tanggal 27 Desember 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). KPK merupakan lembaga negara bersifat independen dan mempunyai kewenangan yang luar biasa antara lain melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap penyelenggaraan negara tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku pejabat negara. Bahkan presiden Bambang Soesilo Yudhoyono sebabai presiden Republik Indonesia yang pertama kali dipilih secara langsung oleh rakyat indonesia telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nornor 5 Tahun 2004 tanggal 9 Desember 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Mengacu kepada Pasal 43 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, maka Undang-Undang Pemberantasan Korupsi yang berlaku di Indonesia saat ini Yaitu : Pertama; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 untuk Tindak Pidana sebelum diundangkan Undang-Undang Nornor 31 Tahun 1999, kedua; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 untuk tindak pidana korupsi yang
91
Hukum dan Masyarakat 2015
terjadi sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 dan ketiga; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Untuk menghindari beraneka ragam penafsiran, selanjutnya penyebutan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang disatukan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dalam penulisan
tesis
ini
maka
cukup
disebut
dengan
Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara umum ancaman pidana Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini jauh lebih berat dan dalam keadaan tertentu dapat dijatuhkan pidana mati. Menurut Andi Hamzah, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah Undang-Undang yamg paling keras dan berat di ASEAN.35 Menurut Andi Hamzah penyebab terus meningkatnya korupsi dan sulitnya diberantas bukan karena perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang tidak lengkap. Walaupun rancangan ini lebih berat tetapi dalam kenyataannya praktek-praktek tindak pidana korupsi di Indonesia semakin luas dan menjadi jadi. Dan penulis sependapat dengan Andi Hamzah yang mengutip pendapat dari Stally Brass yang menyatakan bahwa orangorang Inggris kurang mempercayai huruf Undang-Undang. Mereka lebih menitik-beratkan pada praktek peradilan dan mereka selalu cenderung untuk berkata sebagai berikut : "Show me the law in action, show over the prison" (mereka tidak rnenyukai teori-teori, yang lebih dipentingkan ialah; polisi, jaksa, hakim yang jujur berdisiplin dan cakap serta the practical common sense of citizen who serve upon the juries).36 3. Tujuan Pemidanaan
35
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Ditinjau Dari Hukum Pidana, Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, 2002, hal 69. 36
Andi Hamzah, op. cit, hal 41.
92
Hukum dan Masyarakat 2015
Dalam studi dibidang hukum pidana sering dijumpai pertanyaan yang bersifat filosofis yang berkaitan dengan masalah pemidanaan, mengapa Negara mempunyai hak untuk menjatuhkan hukuman pidana. Jawaban atas pertanyaan tersebut telah melahirkan berbagai teori tentang pembenaran pemidanaan, sehubungan dengan itu M. Arif Setiawan yang mengutip dari Packer mengajukan pertanyaan, pertama: bahwa dibutuhkan beberapa pertanyaan mengenai dasar pemikiran (rationale) sanksi pidana, bagaimana diterimanya suatu penalaran mengenai sifat hakikat maupun pembenaran sanksi pidana Kedua kalau sudah dapat dipahami pembenaran secara rasional tentang sanksi pidana dan masalah apa yang dihadapi dalam pelaksanaannya, ketiga: Packer akan mencari jawaban tentang kriteria dari keterbatasan sanksi pidana itu. Terakhir diingatkan bahwa pada akhirnya sanksi pidana adalah penggunaan kekuasaan. Karena itu harus disadari mengenai penggunaan kekuasaan yang tanpa batas. Secara umum
dapat
dikatakan
bahwa
sanksi
pidana
diperlukan
untuk
mempertahankan norma hukum pidana. Sanksi pidana berarti suatu nestapa atau penderitaan yang ditimpahkan kepada orang yang bersalah telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, dengan adanya sanksi tersebut diharapkan orang tidak akan melakukan tindak pidana. Menurut Packer tujuan penjatuhan pidana hanya ada dua tujuan akhir yang akan dicapai oleh hukuman pidana yaitu memberikan pembalasan, berupa penderitaan kepada penjahat dan mencegah terjadinya kejahatan. Meskipun demikian diakui pula dapat dibedakan beberapa tujuan spesifik, namun pada akhirnya hanya merupakan suatu modus antara yang termasuk antara yang termasuk dalam salah satu dari Kedua tujuan akhir tersebut. Akan tetapi pemidanaan diberikan berkenaan dengan tidak dipatuhinya oleh kaedah-kaedah Hukum Pidana yang ada. Tata Hukum pidana di Indonesia yang disusun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diarahkan pada fungsi Hukum sebagai pengayoman terasa dan terwujud
93
Hukum dan Masyarakat 2015
dengan sebenar-benarnya sehingga seluruh rakyat bahkan siapapun yang berada dalam wilayah Republik Indonesia dapat mengenyam kerindangan dan keadilan yang dipancarkan oleh pohon beringin lambang pengayoman yang bagaikan mercusuar yang memancarkan sinar-sinarnya keseluruh pelosok dunia42. Fungsi Hukum pidana di Indonesia ialah pengayoman terserah kepada pengadilan dan lembaga permasyarakatan untuk mewujudkannya terhadap narapidana dalam praktek sehari-hari. Wujud pengayuman ini ialah membimbing manusia dengan kepribadian penuh menjadi warga masyarakat yang baik, serta bersama yang lainya ikut membangun masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur. Hukum yang diadakan atau dibentuk, untuk itu tentunya membawa misi tertentu yaitu keinsafan masyarakat yang dituangkan dalam hukum sebagai sarana pengendali dan perubah agar terciptanya kedamaian dan ketentraman masyarakat. Pernyataan Studarto yang dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief bahwa ”penghukuman” berasal dari kata dasar ”hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai ”menetapkan hukum” atau ”memutuskan tentang hukumannya" (berechten). "Menetapkan Hukum" untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata, dan beliau mengemukakan bahwa istilah "penghukuman" dapat disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan "pemidanaan" atau "pemberian/penjatuhan pidana" oleh hakim. "Penghukuman" dalam arti yang demikian menurut Sudarto mempunyai makna sama dengan "setence".43 III. Pembahasan 42
Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia dan Rencana Undang-undang Tentang Asas dan Dasar-dasar Pokok Tata Hukum Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal 17. 43
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni/1984/ Bandung, hal 1. 94
Hukum dan Masyarakat 2015
A. Kemampuan Jaksa Penyidik dan Penuntut Umum Mengungkapkan Kasus Tindak Pidana Korupsi Sehingga dapat Dijatuhi Sanksi Pidana Kinerja jaksa dalam mengungkap kasus tindak pidana korupsi di Papua dapat dibuktikan dari jumlah penyidikan yang bertambah dari tahun ketahun, hal ini bisa dijadikan bukti bahwa jaksa dalam penegakan hukum menunjukkan angka yang cukup baik. Data Penyidikan Tindak Pidana Korupsi No
Tahun
Jumlah Penyelidikan
1
2011
4
2
2012
6
3
2013
8
Sumber : Kejati Papua, 2011, 2012, 2013 Data menggambarkan makin banyaknya ditemukan tindak pidana korupsi di Papua, hal ini dapat kita ketahui dari peningkatan jumlah dari tahun ketahun. Tahun 2011 jumlah penyidikan untuk kasus tipikor ada 4 kasus, tahun 2012 mengalami peningkatan sampai 6 kasus dan pada akhir tahun 2013 dengan 8 jumlah penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan. Dari data yang ada di atas Kejaksaan Tinggi Papua ialah menerapkan tata cara proses penyelesaian kasus tindak pidana korupsi dari semua tahap sejak dari penyidikan hingga putusan pengadilan, Jaksa melakukan penyidikan tentu berdasarkan Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU No. l6/2004 tentang Kejaksaan RI sebagai landasan pelaksanaan tugas melakukan penyidikan di dalam praktek melakukan penyidikan yaitu berupa: penangkapan, penahanan, pemeriksaan, dan tindakan-tindarkan lain, tentu berdasarkan KUHAP (UU No. 8 tahun 1981). Sedangkan Jaksa selaku Penuntut Umum dasar hukumnya adalah Pasal 30 ayat (1) huruf a yang tugasnya meliputi pemberkasan perkara, pembuatan surat dakwaan, pelimpahan berkas perkara ke pengadilan, proses acara persidangan di pengadilan, membuat dan membacakan tuntutan, dan
95
Hukum dan Masyarakat 2015
melaksanakau penetapan dan ataupun putusan pengadilan. Semuanya itu juga berdasarkan ketentuan yang telah ada yaitu berdasarkan KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981). Jika dikaitkan dengan tugas jaksa selaku penyidik terhadap tindak pidana korupsi di Kejaksaan Tinggi Papua selama tahun 2011 sebanyak 4 kasus, 2012 sebanyak 6 kasus dan 2013 sebanyak 8 kasus, dari segi kuantitatif meningkat dari tahun ke tahun dan bahkan berdasarkan patokan yang telah ada yaitu surat Jaksa Agung Muda Pidana Khusus kejaksaan Agung RI No. B118/F/FSP/II/2006 tanggal 21 November 2006 Kejati Papua telah melebihi target yang telah ditentukan, karena setiap Kejaksaan di seluruh Indonesia tiap tahunnya harus dapat mengungkap kasus : a. Kejaksaan Tinggi 5 Kasus b. Kejaksaan Negeri 3 Kasus c. Cabang Kejaksaan Negeri 1 Kasus Jika melihat fakta yang ada Kejati Papua dalam menangani kasus sejak 2011, 2012, dan 2013 : a. Selaku Penuntut Umum Telah melakukan penuntutan dan diputus oleh Pengadilan Negeri dengan rincian : a. l . Tahun 2011 dari 4 kasus telah di putus 2 kasus. a.2. Tahun 2012 dari 6 kasus telah diputus 3 kasus dan a.3. Tahun 2013 dari 8 kasus telah diputus 4 kasus Tuntutan Jaksa baik sanksi pidana maupun sanksi pidana dan denda tetap berada pada posisi di atas sanksi minimal, sedangkan putusan Pengadilan Negeri dari ke tiga kasus sebagaimana yang diuraikan di atas selalu berada di bawah tuntutan Jaksa atas setidak-tidaknya tidak di bawah standar sanksi pidana dan denda minimal sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999. 96
Hukum dan Masyarakat 2015
b. Selaku Penyidik Kejati Papua telah melakukan kegiatan berupa penyidikan terhadap kasus tindak pidana korupsi sejak tahun 2011, 2012 sampai 2013 telah menunjukkan angka kenaikan yang berarti menunjukkan kemampuan Jaksa melakukan tindakan penyidikan semakin meningkat dan membaik hasil kinerjanya. III. Penutup Kemampuan Jaksa Penyidik dan Jaksa Penuntut di Kejati Papua mengungkapkan kasus korupsi, sehingga dapat dijatuhi sanksi pidana (pemidanaan) seperti terlihat pada : a. Berdasarkan fakta dan data di Kejati Papua untuk periode tahun 2011 ada 4 kasus, 2012 ada 6 kasus sedangkan tahun 2013 ada 8 kasus, berarti telah melampaui target dimana surat edaran Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: B1118/F/FSP/111/2006 tanggal 21 November 2006 bahwa setiap Kejaksaan di daerah seluruh Indonesia ditargetkan tiap tahunnya yaitu : 4) Kejaksaan Tinggi 5 (lima) Kasus 5) Kejaksaan Negeri 3 (tiga) Kasus 6) Cabang Kejaksaan Negeri 1 (satu) Kasus Jaksa selaku Penuntut Umum juga telah melimpahkan ke Pengadilan sebanyak 4 (Empat) kasus, sudah diputus 3 (Tiga) kasus, yang 1 (Satu) kasus masih dalam proses persidangan. b. Pertanggung jawaban pidana pada pelaku tindak pidana korupsi disimpulkan bahwa setiap pelaku tindak pidana korupsi harus dapat dituntut dan dipertanggungjawabkan telah melakukan perbuatan pidana dan terdapatnya unsur kesengajaan. c. Penerapan tuntutan sanksi di Kejaksaan Tinggi Papua, berdasarkan fakta yang ada, Kejaksaan Tinggi Papua telah menerapkan tata cara dan proses penanganan penyelesaian kasus korupsi dengan menerapkan
97
Hukum dan Masyarakat 2015
tuntutan sanksi pidana dan pidana denda melalui pengumpulan bukti, dimulai dari penyidikan, penuntutan sampai berakhir pada pelaksanaan putusan pengadilan.
Daftar Pustaka Danil, Elwi, Sistem Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Perspektif Hak Azazi Manusia (Sebuah Problema Dalam Pemberantasan Korupsi di lndonesia) Pidato Ilmiah Disampaikan Pada Dies Nalalis ke-55 Fakultas Hukum Universiatas andalas, Padang 9 Desember 2006. ----------------, Pemahaman Konseptual tentang Makna Korupsi, Fakultas Hukum Universitas Andala, Padang, 2003
--------------, Diktat Hukum Penitensier Program Semique IV Dirjen. Dikti, Depdiknas, Fakultas Hukum Unand Padang, 2002.
Hamzah, Andi, KUHP clan KUHAP, Rineka Cipta, Jakarta, 2005.
-------------, Pemberantasan korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Mahmud Peter, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Kencana, 2008.
Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia dan Rencana Undangundang Tentang Asas dan Dasar-dasar Pokok Tata Hukum Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1985.
Nawawi, Arif, Barda, Pembaharuan Hukum Pidana dan Prespektif Kajian Perbandingan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.
Purnomo, Bambang. Potensi Kejahatan Korupsi di Indonesia. Bina Aksara, Jakarta, 1983.
98
Hukum dan Masyarakat 2015
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System & Implementasintasnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004 Suborsono dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Lux:, Widya Karya, Semarang, 2005. Undang-Undang Nornor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomcr 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undan,g Nornor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nornor 28 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentaug Kepolisian Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Undang-Undang Nomor 17 Tahuu 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Himpunan
Peraturan
Pemberantasan
Korupsi,
Kolusi
dan
Nepotisme,
NavindoPustaka Mandiri, Jakarta, 2007. Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Pemberantasan KKN, Korupsi, kolusi, Nepotisme, Pustaka Yustitia, Tangerang, 2006. Surat Edaran Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor BI 118/FiFSP/11/2006 tanggal 21 November 2006 tentang Laporan Pelaksanaan Program Pencapaian Kineria Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi. Surat Keputusan jaksa Agung RI No. kep.132/JA/11/1994. Tanggal 7 November 1994 Tentang Administrasi Tindak Pidana Surat Keputusan Jaksa Agung RI No. Kep. 132/JA/1994. Tgl. 17-11-1994. Tentang Administrasi dalam Tindak Pidanan
99