JURNAL HUKUM DAN MASYARAKAT
ISSN 1693-2889
VOLUME 14 NOMOR 1 JANUARI 2015 PENEGAKAN HAK-HAK STRATEGIS M.S. MAYALIBIT Staf Pengajar Fakultas Hukum Uncen Abstrak Hak dasar yang dinilai bersifat strategis progresif adakah hak bangsa untuk merdeka sebagaimana yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD. Merdeka Mengandung makna lebih dari sekedar emansipasi politik, melainkan merupakan manifestasi dari perjuangan dan kesadaran bangsa Indonesia untuk menciptakan suatu kehidupan bermasyarakat dengan kemerdekaan yang sesungguhnya dan merupakan hak strategis yang diakui dalam kehidupan berbangsa.Dalam penyelenggaraan pemerintahan, implementasi hak strategis dimaksud telah diaplikasikan baik dalam bentuk instrumen hukum material maupun dalam bentuk lembaga-lembaga penegakannya.Namun sejauh ini penerapannya belum mampu meredakan tuntutan masyarakat atas hak atas kemerdekaan dimaksud. Faktor-faktor idiologi, politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya masih merupakan alasan pembenaran dan seekaligus penghambat yang dominan dalam penekanan hak stratefis dimaksud. Terbukti sejak awal kemerdekaan bangs ini hingga kini, yang ditandai dengan silih bergantinya rezim pemerintahan, kondisi faktual sebagian masyarakat yang lazim disebut akar rumput masih terus hidup dalam tekanan hukum-hukum represif yang menjadi dasar penciptaan kebijakan. Luapan-luapan ekspresif yang dilakukan massa rakyat korban kebijakan menjadi semakin tidak berdaya dan pada akhirnya melakukan tindakan-tindakan pembiaran bagi penguasa untuk bersih marajalelah dan hanya berharap melalui doa.
I. Pendahuluan Sesungguhnya tak jarang mengandung kontradiksi-kontradiksi satu sama lain, namun perbagai ragam hak-hak asasi manusia pada masa lampau dan sekarang tetap harus diakui mampu mewujudkan suatu masyarakat yang lebih baik. Dalam skala global, usaha-usaha konseptualisasi Hak-hak Asasi Manusia (HAM) pada umumnya mengambil Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia Sedunia (Universal Declaration of Human Rights). sebagai kerangka acuan, akan tetapi bukan berarti suatu kerangka yang dapat dengan mudah dipergunakan untuk menilai hak-hak asasi manusia aktual dari suatu negara atau bangsa. Hal mana mengingat bahwa dalam
Hukum dan Masyarakat 2015
penerapannya, konsep deklarasi dimaksudkan tidak dapat lepas dari kondisi sosial, politik dan ekonomi suatu negara atau bangsa. Karena itu Masyhur Effendi mengatakan: “Kalau sering kita dengar konsep hak azasi manusia setiap negara berbeda, lebih-lebih pada pelaksanaannya tidak dapat lepas dari sistem politiknya”.1 Karena itu, Gunawan Muhammad dan Umar Kayam berpendapat bahwa : “Nilai budaya lokal negara-negara berkembang dapat digali untuk mendukung pemahaman hak azasi manusia” 2 Dalam konteks lokal dan nasional, dengan demikian seyogyanya penegakan hak azasi manusia haruslah memperdulikan kondisi-kondisi yang dimaksud tesebut di atas, di mana HAM itu berlaku. Di sini menurut, Masyhur Effendi :
“Dituntut kepedulian dan kepekaan sosial pemegang peran (para
pemimpin) sebab masalah kemanusiaan dan hak azasi manusia banyak terkait dengan kesadaran / kemauan pimpinan negara dan kesadaran masyarakat”. 3 Namun dalam realitasnya praktek kehidupan politik di Indonesia telah memanipulasi kenisbian demokrasi. Sehingga demokrasi menjadi hak kekuasaan dan elite pemerintahan untuk mempertahankan status quo. Orientasi pemerintahan adalah stabilitas politik. Upaya membentuk bangsa dan negara yang demokratis terhalang oleh penafsiran atas kekuasaan, khusus pada munculnya batasan-batasan atau pengurangan kebebasan berpendapat, terlebih bila dikaitkan dengan kebijakan pemerintah. Demikian pula dengan demokrasi ekonomi yang berkaitan dengan HAM di mana UUD 1945 melalui pasal 33, menurut Eggi Sudjana, mewajibkan negara memberi hak kesejahteraan bagi warga negara. Penguasa produktif yang menjadi tumpuan hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara, ternyata hanya dikuasai 1
H.A. Masyhur Effendi, 1994, Hak Asasi Mnusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 47. 2 Gunawan Muhammad dan Umar Kayam dalam Masyhur Efendi, Ibid. 3 Masyhur Efendi, Ibid, h. 116.
97
Hukum dan Masyarakat 2015
Oleh segelintir orang saja atas
“restu “ negara. Akibat fatal dari
kenyataan ini adalah munculnya penindasan kehidupan berekonomi warga negara oleh minoritas, pemodal dan pengusaha yang mengangkangi Pasal 33 UUD 1945 dengan dukungan tafsir penguasa.4 Dalam hubungan ini, Moh. Mahfud, MD antara lain mengatakan bahwa “Penekanan Pemerintah pada pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan telah menolak gagasan-gagasan bagi sistem politik yang demokratis. Karena kehidupan yang terlalu demokratis dengan ketentuan-ketentuan yang dirinci dan imperatif tentang HAM akan sangat potensial membuka pintu-pintu interupsi bagi pemerintah yang konsentrasinya untuk membangun ekonomi akan terganggu”.5 Hal demikian jelas menyimpang dari hakekat pembangunan itu sendiri yang secara substansial bertendensi pada mengangkat dan meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan warga bangsa sebagai yang diamanatkan oleh Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD). Dalam konteks ini, pembangunan nasional itu seseungguhnya berhadapan denagan HAM, dan oleh karenanya haruslah dihayati sebagai adanya upaya perwujudan hak-hak dasar rakyat. Sebab bagaimanapun konkretisasi pembangunan nasional itu pada dasarnya menyangkut hubungan kerja di dalam masyarakat, baik dalam kedudukannya sebagai subjek maupun objek dari pembangunan itu sendiri. Berlatar wacana tersebut di atas, maka ihwal hak-hak dasar yang progresif, yang oleh Todung Mulya Lubis disebut sebagai “ Hak-hak yang paling strategis”,6 dan atau yang oleh Mulyana W. Kusuma dan Fauzi Abdullah disebut sebagai “ Hak-hak strategis rakyat” yakni “hak-hak yang realisasinya merupakan
4
Eggi Sudjana, HAM, Demokrasi dan Lingkungan Hidup, Yayasan As-Syahidah, Bogor, 1998, h. 12-13. 5 Moh. Mahfud, MD dalam Jurnal Hukum No. 10 Vol. 5 – 1998, Reformasi Hukum Tata Negara, FH-UII, Yogyakarta, H. 29. 6
Todung Mulya Lubis dalam Jurnal Hukum, Ibid, h. 98.
98
Hukum dan Masyarakat 2015
Kondisi bagi realisasi hak-hak dasar lainnya”,7 menjadi sangat urgen untuk disoroti keberadaan dan keberlakuannya dalam era pembangunan dewasa ini. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka pokok permasalahan yang diangkat dan dibahas dalam makalah ini adalah : “Bagaimanakah kedudukan hukum hak-hak strategis dan faktor-faktor apa sajakah yang menghambat upaya penegakannya”.Tulisan ini dimaksudkan untuk mengetahui kedudukan hukum hak-hak strategis dan berbagai faktor yang menghambat upaya penegakannya. II. Pembahasan A. Kedudukan Hukum Hak-hak Strategis Hak-hak dasar yang secara hukum terumus dalam UUD adalah hak bangsa untuk merdeka sebagaimana yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD. Merdeka di sini menurut M.W. Kusumah dan Fauzi Abdullah, mengandung makna lebih dari sekedar emansipasi politik, melainkan merupakan manifestasi dari perjuangan dan kesadaran bangsa Indonesia untuk menciptakan suatu masyarakat dengan kemerdekaan yang sesungguhnya dan merupakan hak strategis yang diakui dalam kehidupan berbangsa.8 Seperti diketahui bahwa sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), UUD 1945 tidak memuat secara rinci ketentuan-ketentuan tentang jaminan hak-hak asasi manusia, seperti halnya Deklarasi Hajk-hak Asasi Manusia Sedunia. Sebelumnya menurut Aswab Nahasin, di dalam UUD 1945 hanya 4 dari 37 pasal yang memuat ketentuan mengenai HAM, yakni Pasal 27 yang menjamin persamaan kedudukan di depan hukum dan hak warga negara atas pekerjaan yang
7
Mulyana W. Kusuma dan Fauzi Abdullah, Hak-hak Asasi manusia dan Struktur-strukur Dalam Masyarakat Indonesia, Alumni, Bandung, 1982, h. 16. 8
Ibid, h. 47.
99
Hukum dan Masyarakat 2015
layak, Pasal 28 (sekarang telah berubah menjadi Pasal 28A – 28J, pen.) mengakui kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sesuai dengan ketentuan-ketentuan undang-undang, Pasal 29 yang menjamin kebebasan beragama dan pasal 31 yang menjamin hak warga negara atas pendidikan. 9 Di samping keempat pasal dimaksud, menurut Bambang Arumonadi dan Sunarto UUD 1945 mengatur hak-hak asasi manusia dalam 7 (tujuh pasal (selain keempat pasal tersebut di atas) adalah Pasal 32 tentang perlindungan yang bersifat kultural, Pasal 33 tentang hak asasi di bidang ekonomi, sedangkan Pasal 34 menyangkut kesejah-teraan sosial.10 Sementara itu, Dahlan Thaib (dalam Jurnal Hukum, op cit :12) mengatakan bahwa UUD 1945 bila di kaji baik pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan akan disarikan setidaknya terdapat 15 prinsip HAM, yaitu : 1) hak menentukan nasib sendiri, Alinea I Pembukaan; 2) hak akan warga negara, Pasal 26; 3) hak akan kesaman dan persamaan di depan hukum, Pasal 27 ayat (1); 4) hak untuk bekerja, Pasal 27 ayat (2); 5) hak akan hidup yang layak, Pasal 27 ayat (2); 6) hak berserikat, Pasal 28; 7) hak menyatakan pendapat, Pasal 28; 8) hak beragama, Pasal 29; 9) hak untuk membela negara, Pasal 30); 10) hak untuk pendidikan, Pasal 31; 11) hak akan kesejahteraan social, Pasal 33; 12) hak akan jaminan social, Pasal 34; 13) hak akan kebebasan dan kemandirian peradilan, Penjelasan Pasal 24 dan 25; 14) hak mempertahankan tradisi budaya, Penjelasan Pasal 31; 15) hak mempertahankan bahasa daerah, Penjelasan Pasal 31. 11 Hak-hak asasi yang dimuat dalam pasal-pasal yang terbatas dan dirumuskan secara ringkas ini dapat dimengerti karena Naskah UUD 1945 ini disusun pada saat akhir masa pendudukan Bala Tentara Dai Nippon dan dalam suasana
yang sangat
mendesak, sehinggga
tidak cukup waktu untuk
membicarakan HAM secara rinci dan mendalam. Lagi pula kehadiran Bala Tentara Dasi Nippon di Indonesia
9
Aswan Nahasin dalam Mulyana W. Kusuma dan Fauzi Abdullah, Ibid. h.47. Bambang Arumonadi dann Sunarto, Konsepsi Negara Hukum menurut UUD 1945, IKIP Semarang Press, Semarang, 1990, h. 76. 11 Dahlan Thaib dalam Jurnal Hukum, Opcit, h. 12. 10
100
Hukum dan Masyarakat 2015
tidak menciptakan iklim yang menguntungkan untuk merumuskan HAM itu secara lengkap. Di samping alasan tersebut, pada saat penyusunan Rancangan UUD 1945 terdapat perbedaan pendpat di kalangan anggota Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUKI). Di satu pihak menghendaki agar HAM tidak di tuangkan dalam UUD karena tuntutan HAM dianggap cerminan paham liberalisme, sedangkan bangsa Indonesia ingin mendirikan negara atas dasar kekeluargaan dan kegotong-royongan. Dipihak lain berpendapat bahwa HAM harus dituangkan dalam UUD untuk menghindari kemungkinan timbulnya tindakan sewenang-wenang oleh penguasa. Dari sisi lain, dapat pula dikatakan bahwa UUD 1945 diundangkan
jauh lebih dahulu dari lahirnya Universal
Declaration of Human Rights.12 Dengan Paska Amandemen UUD 1945, maka kini situasi dan kondisi penegakan HAM yang tadinya selalu dipersoalkan keberadaannya secara konstitusional telah berakhir, yang ditandai dengan adanya akomodasi HAM secara terinci dalam UUD bahkan telah pula teraplikasi dalam berbagai instrumen hukum, seperti antara lain UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia), Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia, dan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program,, atraupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerin-tahan. Di samping instrumen hukum material tersebut, Pemerintah juga telah menghadirkan lembaga-lembaga penegakannya, seperti antara lain terlihat dengan dibentuknya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi
12
Bambang Arumonadi dann Sunarto, Opcit, h. 76-77.
101
Hukum dan Masyarakat 2015
Manusia, Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Keberadaan instrumen-instrumen hukum tersebut telah menempatkan bangsa kita sebagai pendukung Universal Declaration of Human Rights.. Selanjutnya, jika bertolak dari pemikiran bahwa hak-hak yang utama adalah hak-hak untuk memerdekakan diri dari proses-proses dan struktur-struktur dalam masyarakat yang memustahilkan atau meniadakan peluang mewujudkan HAM, maka urutan-urutan hak-hak mempunyai fungsi progresif dan yang terealisasinya merupakan kondisi bagi realisasi hak-hak dasar lainnya, terutama golongan-golongan dalam masyarakat yang secara sosiologis penting serta berada dalam posisi “under privilledge”, adalah : (a) hak-hak strategis untuk mengorganisasikan diri, dan (b) hak-hak strategis untuk berpartisipasi dalam setiap proses yang
menyangkut
kehidupannya.13
Sementara
Todung
Mulya
Lubis
menyebutkan hak-hak yang tergolong “hak-hak strategis” dimaksud adalah “hak untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dan pendapat”. 14 Hak-hak strategis dimaksud hakikatnya menurut Maurice Cranston, merupakan amanah konstitusi yang wajib diemban oleh pemerintah, dalam artian mewujudkan kondisi yang memungkinkan terlaksananya hak-hak strategis dimaksud. Oleh karena dari penciptaan kondisi yang konstitusional itu akan dengan sendirinya mengkondisikan terealisasinya hak-hak dasar. Hak-hak dasar adalah hak-hak yang mencakup berbagai jenis hak yang didasarkan pada kaidah hukum positif terutama yang bersumber dari konstitusi sebagai negara. Ruang lingkup berlakunya nya menjangkau setiap warga negara yang bersangkutan.15 Sedangkan yang dimaksudkan dengan hak-hak strategis, dalam konteks permasalahan yang dikaji, adalah hak untuk berorganisasi dan hak untuk memperjuangkan
penguasaan
dan
pengendalian
sumberdaya-sumberdaya
ekonomi serta hak untuk merdeka dari struktur penindasan
13
Mulyana W. Kusuma dan Fauzi Abdullah, Opcit, h. 48. Todung Mulya Lubis, Loc cit,. 15 Maurice Cranston dalam Deno Kamelus dalam Jurnal Hukum, Ibid, h.95. 14
102
Hukum dan Masyarakat 2015
dan penghisapan yang mewarnai hubungan-hubungan di antara kekuatan-kekuatan produksi.16 Meskipun hak-hak tersebut termasuk secara yuridis telah memperoleh pengakuan konstitusi bahkan merupakan amanat yang harus dilaksanakan sebagaimana seharusnya, tetapi ternyata pada tingkat implementasinya, belum sepeniuhnya mempunyai kekuatan operasional, dalam artian penegakan hak-hak strategis tersebut masih sangat ditentukan oleh kekuatan-kekuatan makro sosiologis dalam masyarakat, antara lain, karakter sosial dan kekuatan-kekuatan ekonomi di dalam masyarakat. Pada sisi lain, penegakan hak-hak strategis dimaksud tampaknya harus memadukan perjuangan dalam bingkai percaturan hukum yaitu pelembagaan dalam perundang-undangan, dengan peningkatan intensitas perjuangan organisasi. B. Faktor-faktor yang Menghambat Penegakan Hak-hak Strategis. Dalam tingkatan implementasi penegakan hak-hak strategis secara faktual masih terdapat berbagai faktor yang menghambat atau masih terdapat upaua meniadakan peluang bagi tegaknya hak-hak strategis dimaksud. Mulyana W. Kusuma dan Fauzi Abdullah mencatat ada tiga kondisi yang menghambat atau meniadakan peluang bagi penegakan hak-hak strategis dimaksud, yaitu adanya penghisapan ekonomi, manipulasi ideologi dan penindasan politik.`17 1. Faktor Penghisapan Ekonomi Menurut Rigoberto Tiglao (dalam M.W Kusuma), penghisapan ekonomi dewasa ini dapat dilihat dalam konteks tingkat internasionalisasi kapitalisme maju.
18
Lebih lanjut dikatakannya bahwa dua jenis struktur keterbelakangan
yang lahir sebagai akibat proses ditimpakannya tiap tingkat internasionalisasi modal ini adalah : ekonomi kantong ekspor dan ekonomi subsitusi impor serta
16
Mulyana W. Kusuma dan Fauzi Abdullah, Op cit, h. 18.
`17
Ibid, h. 17. Rigoberto Tiglao dalam Mulyana W. Kusuma, Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia, Alumni, Bandung. 1981, h.58. 19 Ibid. 18
103
Hukum dan Masyarakat 2015
industrialisasi yang export-oriented, yang masing-masing mengakibatkan kontradiksi-kontradiksi struktural yang melahirkan kemiskinan bagi mayoritas rakyat dan hanya memperkaya modal asing dan suatu kelas yang berkuasa; suatu jenis industrialisasi yang indenpenden dan berjalan sendiri yang memuaskan kabutuhan-kebutuhan dasar massa, melainkan ke arah suatu industrialisasi yang tergantung pada impor dan yang memuaskan konsumsi yang eksesif dari kelompok kecil kelas atas.19 Jelas yang diuntungkan di sini adalah negaranegara kapitalis maju pemilik modal dan klas-klas domestik berkuasa yang menyangga struktur keterbelakangan itu. Dalam konteks ini, Andre Gunder Frank sebagai yang dikutip olah M.W. Kusumah menyebutkan bahwa jenis yang paling diuntungkan adalah kelompok yang merupakan alat pasif dari industri dan perdagangan asing yang berkepentingan identik dengan kepentingan asing.20 Di era pembangunan masa lalu, kekuasaan ekonomi penting dipegang oleh koalisi klas-klas atas, yang dikenal dengan sebutan konglomerat plus para penguasa. Kepentingan dominan klas ini adalah menguasai sarana-sarana ekonomi vital bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan konsumtif mereka serta menjaga agar monopoli kekuasaan ekonomi tetap berada di tangan mereka. Dalam kondisi-kondisi yang demikian pihak yang kedudukannya atau posisi yang relatif lebih kuat mendominasi pihak yang lemah. Hal mana tampak misalnya pada transaksi dagang dengan perusahaan muiltinasional walaupun tampak mereka membuat persetujuan atau kontrak tetapi hukum tersebut lebih merupakan cerminn kehendak pihak yang kuat tadi dari pada dianggap sebagai konsensus. Hukum seperti ini di dalamnya mengandung potensi konflik. Karena hukum merupakan refleksi kepentingan asing. Basis ontologis yang menyangkut asumsi, dasar filosofis, moral dan struktur hukum tersebut disusun berdasarkan ideologi asing. Dengan demikian, maka hukum tersebut tidak efektif menjamin kepentingan nasional dan manusia Indonesia secara indivudual, bahkan secara potensial
20
Andre Gunder Frank dalam Mulyana W. Kusuma, ibid.
104
Hukum dan Masyarakat 2015
menindas hak-hak ekonomi, sosial dan kultur masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat lokal di mana perusahaan itu beroperasi. Dengan demikian sesungguhnya hak-hak rakyat tidak cukup terlindungi didalam hukum yang demikian maka adalah suatu kemustahilan jika hak-hak strategis rakyat itu dapat di tegakkan 2. Faktor Manipulasi Ideologis Ihwal manipulasi ideologis sebagai bentuk ketidakadilan struktural dapat dibeberkan dengan menelaah pemikiran Nicos Paulantas berikut ini.21 Ideologi tidak hanya menyangkut bidang cita-cita : ia bukan suatu sistem konseptual dalam pengertian sempit. Ideologi meliputi tata cara, kebiasaaankebiasaan dan pandangan hidup. Ideologi dikonkretisasikan dalam praktek suatu golongan dalam masyarakat yang ideologi dominan adalah suatu kekuasaan esensial dari kelas-kelas dan seperangkat sosial. Oleh karenanya ideologi terwujud dalam suatu seperangkat pranata-pranata dan sarana-sarana atau dalam aparatus-aparatus ideologis. Dominasi politik dalam kenyataannya tak hanya dapat dipertahankan melalui penggunaan represi fisik semata-mata, tetapi menuntut intervensi ideologi yang langsung menentukan. Dalam pengertian inilah ideologi dominan, dalam wujud aparatuss ideologisnya secara langsung dilibatkan dalan menjamin dan memberikan ekspresi pada kekuasaan politik. Aparatus-aparatus itu dirancang untuk di samping mempertahankan kekuasaan juga untuk mengawetkan kohesi dan kesatuan suatu golongan penguasa. Usaha yang umum digunakan untuk mengefektifkan kerjanya kekuasaan politik, sosial dan ekonomi dilakukan dalam berbagai bentuk. Usaha tersebut dapat berupa penataran, indoktrinisasi atau paling kasar adalah usaha-usaha manipulatif dalam menafsirkan ideologi yang bersangkutan, dan dalam hal ini klas-klas penguasa domestik yang menetukan arah pelaksanaan ideologi. Dari klas-klas ini akan muncul semacam kelompok
21
Nicos Paulantas dalam Mulyana W. Kusuma dan Fauzi Abdullah, op cit. h.60.
105
Hukum dan Masyarakat 2015
penafsir
yang
mengatasnamakan
ideologi
demi
kepentingan-
kepentingan dominan mereka. Ideologi dijabarkan menjadi hukum, di mana mereka sangat menentukan proses maupun substansi dari pembuatan suatu perundang-undangan
atau
kontrak,
yang
intinya
adalah
bertujuan
mempertahankan dominasi lewat legalisasi hukum. Dengan demikian jelas bahwa tatkala pembuat undang-undang mengabaikan sistem yang sudah ada dalam hukum dan hidup dalam kesadaran hukum rakyat itu sendiri dengan bersandar pada kekuasaan semata-mata, maka produknya bukan hukum lagi, melainkan ungkapan kehendak atau kepentingan kekuasaan belaka.
Wujud
perundang-undangan atau kontrak yang demikian, oleh Finnis : dipandang sebagai “unjust law”.22 Dengan demikian menurut Deno Kamelus,
“muncul suatu
pemahaman baru bahwa pelanggaran hak asasi manusia secara potensial dilakukan oleh organ negara yang membentuk hokum”.23 Secara teoritis, Philipe Nonet dan Philip Selznick, mengatakan bahwa “hukum yang demikian tergolong hukum represif yang mengabdi kepada kekuasaan represif dan perintah dari yang berdaulat yang memiliki kewenangan diskresioner tanpa batas”.24 Produk-produk hukum serta pelaksanaannya dirasakan represif oleh masyarakat, oleh karena melalui hukum tersebut dilembagakan disprivilege dengan menekankan kewajiban dan tanggung jawab, bukan pada hak-hak yang dipunyai golongan yang tidak berkuasa, melembagakan ketergantungan, khususnya golongan miskin yang menjadi sasaran lembaga-lembaga atau klasklas penguasa, sehingga hal-hak mereka ditentukan dan mengkriminalisasikan perlaku-perilaku tertentu dari masyarakat demi pengamanan sosial atau kritik yang dilakukan masyarakat. Di dalam kondisi seperti ini, mungkinkah hak-hak strategis rakyat dapat dipergunakan. Suatu pertanyaan yang sulit untuk dijawab. 3. Faktor Panindasan Politik
22
Finnis dalam Deno Kamelus, op cit, 96. Philipe Nonet dan Philip Selznick dalam Deno Kamelus, Ibid, h. 97. 24 Ibid. 23
106
Hukum dan Masyarakat 2015
Penindasan politik sebagai suatu bentuk ketidakadilan struktural yang didorong oleh kepentingan-kepentingan dominan klas-klas domestik yang berkuasa, akan semakin terasa ketika reaksi-reaksi sosial politik dipandang akan menembus tembok-tembok kekuasaan. Pengasingan mayoritas rakyat daripada penguasaan dan pengendalian sumberdaya-sumberdaya politik, tak hanya terbatas pada usaha-usaha melegitasikan kekuasaan melalui cara-cara demokrasi konstitu-sional dan dengan menggunakan secara optimali aparatusaparatus represif yang ada. Dalam ihwal ini, hak-hak politik kelompok-kelompok masyarakat yang diemaskulasi bertambah lagi. Bahkan kadangkala untuk memperkuat posisi kekuasaan atau untuk menyingkirkan kekuatan reaktif dari dalam, diciptakan suasana tertentu yang terbuka untuk setelah tenggang waktu tertentu dipakai sebagai momentum memperkuat kohesi dikalangan ini dan kembali mendaya-gunakan aparatus represif. Bentuk-bentuk penindasan politik dapat pula melembaga oleh karena cirri penindasan tidak begitu nampak menusuk atau bahkan pelembagaan itu diselubungi oleh usaha-usaha politis tertentu yang dipandang dapat memperoleh simpati rakyat. Hasil penelitian Bernard Arief Sidharta, antara lain,
menunjukan
bahwa tatanan hukum represif pada periode tahun 1959-1993 diperlukan demi formatif tatanan politik (pengadaan lembaga-lembaga negara sesuai dengan UUD, pemberdayaan infra struktur politik). Dalam kaitannya dengan pelanggaran hak asasi manusia, tatanan hukum represif yang dalam konteks ini berperan sebagai alat penguasa dalam implementasinya justru membuka peluang bagi kolusi, korupsi, manipulasi, praktek mafia peradilan serta pengesampingan
asas
hukum
dan
asas
perundang-undangan
yang
fundamental.25 Berdasarkan pengalaman praktis dan kajian teoritis, Todung Mulya Lubis, melihat implikasi tatanan hukum represif tersebut terhadap hak untuk berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dan pendapat, yang dianggapnya sebagai hak-hak yang
25
Bernard Arief Sidharta dalam Deno Kamelus, Ibid.
107
Hukum dan Masyarakat 2015
paling strategis.26 Hal mana sangat jelas terlihat dari munculnya berbagai fenomena regulasi politik (floating mass), lembaga sensor, pembredelan, dan peradilan politik. Dalam konstelasi politik seperti demikian. Sungguh sangat riskan jika ada pemikiran yang mengharapkan terealisasinya hak-hak strategis yang
sekaligus
merupakan
dasar
yang
mengkondisikan
peluang
bagi
terealisasinya hak-hak dasar rakyat yang lainnya, bahkan kondisi bagi penegakan hak-hak asasi manusia sebagai suatu keseluruhan. Situasi gambaran analisis tersebut di atas hendak menjelaskan pada kita betapa penindasan atas hak masyarakat masih terus berlangsung, tiada upaya signifikan dari penguasa untuk mengakhiri situasi itu. PT. Free Port-Indonesia merupakan contoh kasus konkret yang mengilhami
analisis teoretik dalam
penulisan makalah ini.
IV. Penutup Hak-hak strategis rakyat yang mencakup hak untuk berorganisasi dan hak untuk berpartisipasi secara de jure telah terposisikan dan atau memperoleh kekuatan konstitusi, bahkan mengamanatkan aplikasinya dalam kehidupan kenegaraan. Secara de fakto, implementasi hak-hak strategis dimaksud terhalang oleh berbagai produk hukum organik yang lebih bernuansa represif, memihak penguasa dan atau pihak yang direstui penguasa. Konsekuensi yuridisnya adalah tercipta peluang bagi pelanggaran hak-hak asasi manusia pada umumnya, dan khususnya hak-hak strategis yang merupakan kondisi bagi terealisasinya hak-hak dasar lainnya, yang secara faktual ditandai dengan adanya tindakan-tindakan yang berupa penghisapan ekonomi, manipulasi ideologi dan penindasan politik. Ihwal demikian itu berimplikasi, bahwa selama masa pemerintahan Orde Baru hak-hak strategis dimaksud belum mampu memposisikan dirinya pada kondisi
26
Todung Mulya Lubis, loc cit.
108
Hukum dan Masyarakat 2015
yang menciptakan peluang bagi pengendalian dan atau minimal berpartisipasi aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan pembangunan. Kondisi seperti itu tampaknya terus berlangsung dari waktu ke waktu hingga kini, dan tiada kehendak dari penguasa untuk menghilangkannya. Luapanluapan ekspresif yang dilakukan massa rakyat korban kebijakan menjadi semakin tidak berdaya dan pada akhirnya melakukan tindakan-tindakan pembiaran bagi penguasa untuk bersih marajalelah dan hanya berharap melalui doa/.
Daftar Pustaka Bambang Arumonadi dan Sunarto, Konsepsi Negara Hukum menurut UUD 1945, IKIP Semarang Press, Semarang, 1990. Eggi Sudjana, HAM, Demokrasi dan Lingkungan Hidup, Yayasan As-Syahidah, Bogor, 1998. H.A. Masyhur Effendi, Hak Asasi Mnusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994. Mulyana W. Kusuma, Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia, Alumni, Bandung, 1981. Mulyana W. Kusuma dan Fauzi Abdullah, 1982, Hak-hak Asasi manusia dan Struktur-strukur Dalam Masyarakat Indonesia, Alumni, Bandung, 1982. Moh. Tolchah Mansoer, Hukum, Negara, Masyarakat, Hak-hak Asasi Manusia dan Islam, Alumni, Bandung, 1979. Jurnal Hukum No. 10 Vol. 5 – 1998, Reformasi Hukum Tata Negara, FH-UII, Yogyakarta.
109