9
3.3.2.6 Perbandingan Kualitas Data dengan Parameter Statistika Parameter statistika yang digunakan sebagai alat bantu penilaian perbandingan kualitas kedua data adalah rasio, korelasi, MAE, dan RMSE. Rasio R
Data CH Dugaan Data CH Pengukuran Stasiun
Rasio merupakan salah satu uji apakah data hasil dugaan mampu mendekati data hasil pengukuran. Nilai rasio yang terbaik adalah mendekati 1 yang menggambarkan bahwa nilai kedua data sama. Selanjutnya nilai rasio digunakan sebagai bahan dalam menentukan nilai faktor kalibrasi. Faktor kalibrasi diperlukan agar data memiliki rasio mendekati 1. Koefisien korelasi
y y yˆ yˆ y y yˆ yˆ n
ryi yˆ i
i 1
i
i
i
2
n
i 1
2
n
i 1
i
i
Korelasi menunjukkan keeratan hubungan antara data hasil dugaan dengan data hasil pengukuran lapangan. Nilai korelasi berkisar antara (-1) sampai dengan 1. Korelasi yang terbaik antara kedua data adalah mendekati 1. MAE (Mean Absolute Error) ^ 1 n MAE i 1 | y i y i | n MAE merupakan nilai absolut galat rata-rata antara data dugaan dan data pengukuran lapangan. RMSE (Root Mean Square Error) RMSE
^ y y i i i 1 n
2
n
RMSE merupakan nilai akar kuadrat galat rata-rata dari data curah hujan dugaan dan pengukuran.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Hubungan Suhu Kecerahan Awan dan Laju Hujan (Rain Rate) Analisis data suhu kecerahan awan citra MTSAT IR1 dan nilai laju hujan (rain rate) hujan dari data TRMM 2A12 dilakukan berdasarkan wilayah kajian dan waktu yang sama atau berdekatan. Asumsi pengambilan kedua data ini adalah data yang hanya
memiliki nilai curah hujan pada waktu tertentu. Artinya beberapa data pada waktu tertentu yang sedikit mempunyai nilai curah hujan tidak diikutkan dalam analisis. Data suhu kecerahan awan dan curah hujan yang pada selang waktu berdekatan untuk wilayah DAS Citarum diplotkan seperti terlihat pada Gambar 11 setelah dilakukan proses cropping. Walaupun satelit MTSAT-1R dan TRMM mimiliki resolusi spasial yang berdekatan antara 4-5 km, tetapi kedua data tersebut sedikit memiliki titik piksel yang sinkron. Hal ini disebabkan oleh bentuk grid data TRMM 2A12 yang tidak beraturan. Kurang sinkronnya grid MTSAT-1R dan TRMM menyebabkan jumlah piksel yang dihasilkannya tidak sama. Untuk wilayah DAS Citarum terdapat 775 piksel MTSAT IR1 dan 462 piksel TRMM 2A12 seperti terlihat pada Gambar 11. Selanjutnya seleksi data dilakukan sesuai koordinat yang sama dan berdekatan antara dua data. Jumlah piksel akhir sesuai dengan jumlah piksel TRMM, yaitu 462 piksel. Data yang digunakan sebagai bahan analisis hubungan suhu kecerahan awan dan curah hujan adalah data tanggal 2 (02.00 UTC), 13 (10.00 UTC), 14 (09.00 UTC), 27 (14.00 UTC), 30 (12.00 UTC), dan 31 (11.00 UTC) Januari 2008. Pemilihan data ini didasarkan oleh ada tidaknya curah hujan pada seri data bulan Januari. Oleh karena itu, untuk data bulan Juli tidak diikutsertakan. Plotting data dilakukan secara berurutan sesuai tanggal dapat dilihat pada Gambar 12. Nilai suhu kecerahan awan pada beberapa waktu yang telah ditentukan di bulan Januari berkisar antara 190 K sampai 292 K, dengan nilai suhu rata-rata sebesar 253 K. Selanjutnya nilai laju hujan TRMM 2A12 berkisar antara 0 sampai dengan 47 mm/jam, dengan nilai rata-rata sekitar 1 mm/jam. Berdasarkan Gambar 12 dapat dilihat bahwa terdapat pola laju hujan tinggi pada suhu kecerahan awan rendah. Tetapi tidak semua suhu kecerahan rendah yang memiliki laju hujan tinggi. Ketidaksamaan ini diantaranya disebabkan oleh waktu yang tidak sama antara satelit MTSAT dan TRMM ketika melakukan snap shot dan ketidakmampuan satelit dalam membedakan jenis awan. Kedua faktor tersebut sering menyebabkan Pasangan data suhu kecerahan awan dan laju hujan tidak terjadi pada waktu yang sama sesuai yang diinginkan karena resolusi temporal antara kedua data tidak sama.
10
Gambar 11 Plot data spasial antara Suhu Kecerahan MTSAT IR1 02.00 UTC dan laju hujan TRMM 2A12 pada 02.19 UTC 2 Januari 2008 setelah dilakukan proses cropping pada wilayah kajian Resolusi temporal satelit TRMM tidak dapat ditentukan secara pasti karena bentuk orbit polar, sedangkan resolusi temporal satelit MTSAT-1R yaitu 1 jam. Jenis awan sulit dibedakan oleh satelit karena cara kerja satelit cenderung mengutamakan faktor suhu puncak awan dalam melakukan pendugaan.
Awan cirrus sulit dibedakan karena jenis ini memiliki titik dasar awan tinggi sehingga suhu puncaknya juga tinggi. Meskipun memiliki suhu rendah, awan jenis ini tidak berpotensi rendah karena volume awan kecil serta berada pada lapisan atmosfer tinggi.
350,000
50
45 300,000 40
35
30 200,000 25 150,000 20
15
100,000
CH TRMM 2A12 (mm/jam)
Suhu Kecerahan Awan (oK)
250,000
Suhu Kecerahan Awan (oK)
CH TRMM 2A12 (mm/jam)
10 50,000 5
0,000
0 Data Tanggal 2, 3, 14, 27, 30, 31 Januari 2008
Gambar 12 Grafik data suhu kecerahan dan laju hujan tanggal 2 (02.00 UTC), 13 (10.00 UTC), 14 (09.00 UTC), 27 (14.00 UTC), 30 (12.00 UTC), dan 31 (11.00 UTC) Januari 2008
11
4.2 Analisis Regresi antara Suhu Kecerahan Awan dan Laju Hujan (Rain Rate) Analisis regresi dilakukan pada pasangan data suhu kecerahan awan dan laju hujan tanggal 2 (02.00 UTC), 13 (10.00 UTC), 14 (09.00 UTC), 27 (14.00 UTC), 30 (12.00 UTC), dan 31 (11.00 UTC) Januari 2008 untuk DAS Citarum. Sebelum memasuki analisis regresi, keseluruhan data diseleksi berdasarkan beberapa asumsi karena beberapa data memiliki nilai eror. Pemilihan data dilakukan analisis regresi yang didasarkan oleh dua asumsi (Parwati 2009), pertama setiap piksel dengan nilai suhu kecerahan awan kurang dari 225 K dan curah hujannya di bawah 5 mm/jam tidak diikutkan dalam analisis, hal ini merupakan kondisi awan cirrus yang tidak berpotensi hujan, dan kedua adalah tidak menyertakan nilai piksel dengan suhu kecerawan awan lebih tinggi dari 260 K dan laju lebih dari 50 mm/jam, kondisi ini diasumsikan tidak mengikuti kondisi alam ketika semakin tinggi suhu awan maka proses pembentukan butir hujan akan sulit terjadi. Menurut Hong et. al. (2010) hubungan antara suhu kecerahan awan dan laju hujan berbanding terbalik tetapi keduanya tidak mengikuti pola linier. Pernyataan ini didukung bahwa besarnya curah hujan yang jatuh di suatu titik permukaan tidak hanya dipengaruhi oleh suhu awan saja, melainkan masih banyak faktor lain, seperti arah dan kecepatan angin, stabilitas atmosfer, dan topografi. Analisis regresi yang dianggap mewakili hubungan keduanya adalah modifikasi eksponensial (Suseno 2009). Analisis regresi modifikasi eksponensial pada Gambar 13 menghasilkan koefisien determinasi (R2=0.71). Artinya sebesar 71%
model mampu menjelaskan hubungan antara suhu kecerahan awan dan laju hujan. Regresi modifikasi eksponensial tersebut menghasilkan persamaan berikut: y = a . exp(b/x) dimana: y = Laju hujan dugaan (mm/jam) x = Suhu kecerahan awan (K) a = 1.11 x 10-6 b = 3.24 x 103 Selanjutnya persamaan tersebut digunakan untuk menduga curah hujan dengan menggunakan data suhu kecerahan awan satelit MTSAT IR1 sebagai nilai masukan. 4.3 Analisis Awan Potensi Hujan Awan memiliki bermacam-macam jenis berdasarkan perbedaan ketinggiannya, yaitu awan rendah, sedang , dan tinggi. Tidak semua jenis awan memiliki potensi menurunkan hujan ke permukaan bumi. Awan yang memiliki potensi hujan termasuk pada golongan awan rendah (Handoko et. al. 1994). Awan rendah secara umum memiliki ketinggian sekitar 2.000 meter. Awan berpotensi menjadi hujan ketika memiliki butir air yang lebih besar dan banyak sehingga gaya dorong ke atas lebih kecil dari gaya gravitasi serta memiliki suhu puncak awan yang lebih rendah dibanding awan yang tidak berpotensi hujan. Teknologi satelit geostasioner cenderung mendeskripsikan obyek dalam nilai suhu dan belum mampu mendeteksi volume dan bentuk awan. Pengklasifikasian awan potensi hujan didasarkan pada perbedaan suhu kecerahan awan (MTSAT IR1 10.8 µm) dan suhu kecerahan uap air (MTSAT IR3 6.8 µm).
Gambar 13 Regresi modifikasi eksponensial antara suhu kecerahan awan MTSAT IR1 (X) dengan laju hujan TRMM 2A12 (Y)
12
(i)
(ii)
(iii) Gambar 14 Proses klasifikasi awan potensi hujan: (i) suhu kecerahan awan dari MTSAT IR1; (ii) suhu kecerahan uap air dari MTSAT IR3; (iii) awan potensi hujan Suhu kecerahan awan yang terdeteksi pada kanal IR1 dengan panjang gelombang 10.8 µm direpresentasikan sebagai suhu puncak awan. Sedangkan pada gelombang 6.8 µm pada kanal IR3 mampu mendeteksi suhu kecerahan uap air yang selanjutnya merepresentasikan jumlah butiran hujan. Pada kanal IR1 dapat diklasifikasikan bahwa awan yang berpotensi menjadi hujan adalah awan yang bersuhu rendah. Suhu puncak awan rendah menunjukkan bahwa awan memiliki tingkat kondensasi tinggi dan siap turun menjadi hujan. Semakin cerah atau semakin tinggi suhu uap airnya maka uap air yang terkandung dalam sebuah piksel citra adalah semakin sedikit dan sebaliknya. Penentuan awan yang berpotensi hujan didasarkan pada persamaan Kidder (2005) yang menggunakan perbedaan nilai suhu kecerahan awan dan uap air. Persamaan tersebut diturunkan berdasarkan hasil observasi secara history. Proses klasifikasi awan potensi hujan ditunjukkan pada Gambar 14.
4.4 Hasil Curah Hujan Dugaan Luaran data curah hujan hasil dugaan dikelompokkan berdasarkan tingkatan waktu dalam melakukan akumulasi jumlah hujan, yaitu, harian, 5-harian (pentad), dan 10harian (dasarian). Berdasarkan data curah hujan dasarian maka curah hujan dugaan pada bulan Januari 2008 dapat dipetakan secara spasial seperti terlihat pada Gambar 15. Secara spasial terdapat variasi pola hujan di DAS Citarum. Pada dasarian pertama terlihat bahwa curah hujan tertinggi di dalam DAS Citarum berkisar antara 140 mm sampai 160 mm dalam 10 hari. Curah hujan tertinggi tersebut secara merata terjadi di bagian hilir DAS. Curah hujan pada dasarian kedua secara umum lebih tinggi dibanding dasarian pertama dengan nilai tertinggi berkisar antara 200 mm sampai 220 mm.
13
(i)
(ii)
(iii) Gambar 15 Distribusi spasial curah hujan dugaan bulan Januari 2008: (i) dasarian ke-1; (ii) dasarian ke-2; (iii) dasarian ke-3 Berbeda dengan dasarian pertama, wilayah terjadinya hujan tinggi pada dasarian kedua secara merata terletak pada bagian hulu DAS. Pola spasial curah hujan dasarian ketiga memiliki nilai tertinggi 240 mm sampai 260 mm dan sebagian besar terjadi pada bagian hulu serta tengah DAS. Nilai ini lebih tinggi jika dibanding dengan nilai-nilai curah hujan pada dua dasarian sebelumnya. Kejadian hujan pada dasarian kedua dan ketiga lebih banyak tejadi di bagian hulu DAS sehingga sangat berpengaruh terhadap jumlah air yang tertampung pada tiga bendungan utama yang terdapat di DAS Citarum, yaitu Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Curah hujan yang berada di hulu DAS menjadi input utama dari ketiga bendungan tersebut. 4.5 Perbandingan Data Dugaan dan Data Pengukuran Pendugaan curah hujan metode ini adalah menduga data hujan setiap jam. Data curah hujan setiap jam selama 24 jam dijumlahkan sehingga menjadi data harian. Penurunan dimensi data setiap jam menjadi data harian dilakukan untuk mengikuti
dimensi data pengukuran lapangan. Perbandingan data dilakukan secara visual dengan melihat kedekatan nilai dan pola time series di semua stasiun pengukuran. Gambar 16 menunjukkan letak geografis stasiun pengukuran berdasarkan ketinggiannya. Contoh perbandingan antara data dugaan dengan data pengukuran ditunjukkan oleh Gambar 17 yaitu untuk data di stasiun pengukuran Bandung yang selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 2. Grafik tersebut dibedakan berdasarkan perbandingan variasi temporal antara curah hujan harian, pentad, dan dasarian. Secara umum kejadian hujan terdapat pada akhir bulan atau pada dasarian ke-3. Pada beberapa hari di stasiun pengukuran Bandung terlihat bahwa nilai curah hujan pengukuran lebih tinggi daripada curah hujan dugaan. Pada stasiun pengukuran lainnya (Lampiran 2) terlihat bahwa nilai curah hujan dugaan cenderung overestimate terhadap nilai curah hujan pengukuran, namun pola temporal curah hujan dugaan terhadap waktu cukup mendekati curah hujan pengukuran.
14
Gambar 16 Letak stasiun pengukuran berdasarkan ketinggiannya 100,0
CH (mm)
80,0 60,0 40,0 20,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
0,0 Hari ke-
300,0
CH Dugaan
CH Pengukuran
(i)
250,0
300,0
100
50
200,0
250,0 CH (mm)
CH (mm)
CH (mm)
150
150,0 100,0
1
2
0,0
150,0 100,0 50,0
50,0
0
200,0
0,0 3
4
5
6
1
2
Pentad ke-
1
CH Dugaan
3
Dasarian ke-
CH Pengukuran
2
CH Dugaan
Dasarian ke-
(ii) CH Dugaan
3
CH Pengukuran
(iii) CH Pengukuran
Gambar 17 Plot curah hujan dugaan dan pengukuran di stasiun Bandung pada Januari 2008: (i) harian; (ii) pentad; (iii) dasarian 4.6 Perbandingan Kualitas Data Dugaan dengan Data Pengukuran Perbandingan kualitas dua data dilakukan dengan melihat nilai koefisien rasio, korelasi, MAE (Mean Absolute Error), dan RMSE (Root Mean Square Error). Data yang dilakukan uji adalah data pada bulan Januari saja karena semua data bulan Juli tidak memiliki nilai hujan. Perbandingan data dilakukan berdasarkan dimensi data
yaitu harian, pentad, dan dasarian. Jumlah titik atau stasiun sampel pengukuran yang dilakukan uji kualitas data adalah 19 titik di DAS Citarum Hulu bagian dalam maupun luar DAS. Selain itu dilakukan juga uji pengaruh ketinggian terhadap nilai curah hujannya. Uji rasio bertujuan untuk melihat sejauh mana data dugaan mampu mendekati data pengukuran. Rasio yang diuji adalah
15
perbandingan antara data dugaan terhadap data pengukuran. Nilai rasio yang terbaik adalah 1 merepresentasikan bahwa data dugaan sama dengan data pengukuran. Terdapat dua jenis rasio yang diplotkan pada Gambar 18, yaitu rasio data sebelum dikalikan dengan faktor kalibrasi dan sesudah dikalikan faktor kalibrasi. Faktor kalibrasi diperlukan untuk menurunkan nilai data dugaan. Proses kalibrasi yang dilakukan adalah dengan mengalikan data dugaan dengan 0.5. Nilai 0.5 didapat agar nilai rasio mendekati 1. Penggunaan faktor kalibrasi ini lebih cocok digunakan pada data bulanan karena pada data harian tidak bisa dihitung rasionya ketika kejadian bukan hari hujan. Rasio sebelum dikalikan faktor kalibrasi mayoritas lebih dari 1, sehingga dapat dikatakan bahwa secara umum data dugaan mengalami overestimate terhadap data pengukuran. Nilai rasio data yang sudah memperhitungkan faktor kalibrasi pada Gambar 24 lebih cenderung mendekati 1.
Artinya pendugaan curah hujan metode ini cenderung overestimate dan lebih baik mengalikan data dugaan dengan faktor kalibrasi 0.5. Curah hujan bulanan yang sudah dikalikan dengan faktor kalibrasi 0.5 dapat ditunjukkan pada Gambar 19. Curah hujan pada bulan Januari yang merupakan perwakilan dari bulan basah secara umum bernilai tinggi. Curah hujan tertinggi menyebar secara merata dari hulu sampai bagian tengah DAS Citarum. Nilai tertinggi curah hujan bulanan pada Januari 2008 adalah berkisar antara 270 mm sampai 300 mm tiap bulan. Untuk bulan Juli secara merata di dalam DAS Citarum tidak terdapat nilai curah hujan. Tetapi terdapat satu titik di luar DAS yang bernilai curah hujan berkisar antara 5 mm sampai 10 mm, sehingga perbandingan data tidak dilakukan karena tidak tersedianya data pengukuran di titik tersebut.
6,0
5,0
Rasio
4,0
3,0
2,0
rasio normal
Paseh
Cisalak
Ciparay
Cibeureum
Cisondari
Ciherang
Cisampih
Bandung
Stasiun
Cicalengka
Lembang
Chinchona
Kayu Ambon
CipanasPengalengan
Cililin
Sukawana
Cisomang
Saguling Dam
Montaya
0,0
Ujung Berung
1,0
rasio (FK 0.5)
Gambar 18 Rasio untuk curah hujan bulanan dugaan terhadap pengukuran sebelum dan sesudah dikalikan dengan faktor kalibrasi 0.5
(i)
(ii)
Gambar 19 Distribusi spasial curah hujan bulanan: (i) Januari 2008; (ii) Juli 2008
16
Koefisien korelasi menunjukkan keeratan hubungan antar dua data. Nilai koefisien korelasi antara data curah hujan dugaan dan pengukuran harian, pentad, dan dasarian untuk data yang sudah dikoreksi lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 20. Nilai koefisien korelasi pada data sebelum dan sesudah dilakukan koreksi tidak jauh berbeda karena korelasi hanya memperhitungkan faktor hubungan pola keeratan antar dua data bukan nilai data. Selang nilai koefisien korelasi adalah -1 sampai +1. Nilai negatif menunjukkan jika
data tersebut memiliki hubungan keeratan yang saling berkebalikan. Terlihat pada Gambar 20 jika korelasi curah hujan harian rata-rata kurang dari 0.5 dan meningkat pada curah hujan pentad serta dasarian. Curah hujan harian memiliki variasi nilai yang tinggi sehingga nilai korelasinya kecil. Semakin besar nilai dimensi waktunya maka koefisien korelasinya semakin besar. Sehingga pendugaan curah hujan ini baik digunakan pada data yang memiliki dimensi waktu besar seperti dasarian, bulanan, dan tahunan.
1
0,8
0,60 0,6
0,51 0,43 0,30
0,27
0,35
0,26 0,13
0,09 -0,03
-0,07
0,32
0,29
0,15
0,2
0,07
-0,14
-0,03
0,05
-0,13
Paseh
Cisalak
Ciparay
Ujung Berung
Cisondari
Cibeureum
Ciherang
Cisampih
Bandung
Cicalengka
Lembang
Chinchona
Kayu Ambon
Sukawana
Cililin
CipanasPengalengan
-0,4
Saguling Dam
-0,2
Montaya
0
Cisomang
Koefisien Korelasi
0,4
-0,6
-0,8
-1
Korelasi
Stasiun Cuaca
(i) 1,00
0,90 0,79
0,80
0,73
0,69 0,62 0,60
0,53
0,49
0,48
0,42 0,36 0,29
0,28
0,26
0,20
0,22 -0,06
0,03
Cisalak
-0,04
Ciparay
0,10 -0,09
Paseh
Ujung Berung
Cisondari
Cibeureum
Cisampih
Ciherang
Cicalengka
Bandung
Lembang
Chinchona
Kayu Ambon
Sukawana
Cililin
CipanasPengalengan
-0,40
Saguling Dam
Montaya
0,00
-0,20
Cisomang
Koefisien Korelasi
0,40
-0,60
-0,80
-1,00
Stasiun Cuaca
Korelasi
(ii) 1,00 1,00
0,94
0,92
0,99
0,98
0,98
0,97
0,98
0,82
0,78
0,75
0,80
0,62 0,56
0,60 0,49
0,24 0,20 -0,97
-0,10
-0,71
Paseh
Cisalak
Ciparay
Ujung Berung
Cisondari
Cibeureum
Cisampih
Ciherang
Cicalengka
Bandung
Lembang
Chinchona
Kayu Ambon
Sukawana
Cililin
CipanasPengalengan
-0,40
Saguling Dam
-0,20
Montaya
0,00
Cisomang
Koefisien Korelasi
0,41 0,40
-0,60
-0,80
-1,00
Stasiun Cuaca
Korelasi
(iii) Gambar 20 Koefisien korelasi CH dugaan dan pengukuran: (i) harian; (ii) pentad; (iii) dasarian
17
Selanjutnya adalah uji MAE dan RMSE data dugaan terhadap data pengukuran. Uji MAE bertujuan untuk mengetahui nilai rataan dari absolut galat, sedangkan RMSE untuk mengetahui akar dari rataan kuadrat galat. Nilai yang paling baik untuk MAE dan RMSE adalah mendekati 0. Perhitungan MAE dan RMSE dilakukan pada data bulan Januari sebelum dan sesudah dilakukan koreksi seperti yang terlihat pada Tabel 2 dan 3. Penggunaan faktor kalibrasi 0.5 mampu menurunkan MAE dan RMSE ratarata setengahnya pada data harian, pentad, maupun dasarian. Tabel 2 Nilai korelasi, MAE, dan RMSE sebelum data dugaan dikalibrasi Harian Korelasi
Pentad
Dasarian
0,18
0,37
0,56
MAE
13,62
51,41
77,01
RMSE
21,48
70,59
97,83
Tabel 3 Nilai korelasi, MAE, dan RMSE sesudah data dugaan dikalibrasi Harian
Pentad
Dasarian
Korelasi
0,18
0,40
0,56
MAE
8,70
30,82
42,48
RMSE
15,45
44,50
59,62
V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan eksponensial antara suhu kecerahan awan dan curah hujan ketika dilakukan analisis regresi. Klasifikasi awan potensi hujan dilakukan dengan menggunakan data suhu kecerahan awan pada MTSAT IR1 dan suhu uap air pada MTSAT IR3. Hasil dari persamaan regresi adalah laju hujan yang selanjutnya dimodifikasi menjadi curah hujan harian, pentad, dasarian, dan bulanan. Berdasarkan analisis curah hujan spasial, pada bulan Januari terjadi tiga pola spasial distribusi hujan, yaitu dasarian ke-1 kejadian hujan cenderung terjadi di daerah hilir, dasarian ke-2 hulu, dan dasarian ke-3 pada bagian tengah DAS. Selama bulan Juli tidak terjadi hujan karena pada bulan tersebut terjadi kemarau. Selanjutnya analisis ini diharapkan mampu membantu dalam pengelolaan DAS Citarum secara berkelanjutan.
Nilai curah hujan yang didapat overestimate dan koefisien determinasi kecil karena beberapa faktor penghambat pendugaan, diantaranya adalah terjadi selang waktu ketika melakukan plot data suhu kecerahan awan dan curah hujan padahal awan bergerak mengikuti pergerakan angin serta mampu berpindah lebih dari 5 km dalam waktu kurang dari 1 jam, serta tidak dimasukkannya faktor-faktor stabilitas meteorologi seperti angin, titik dasar awan, dan topografi. Pada uji kualitas data ditunjukkan bahwa kualitas data menjadi lebih baik ketika terjadi peningkatan dimensi data dari harian, pentad, dan bulanan. Uji kualitas data yang dilakukan adalah dengan melihat nilai rasio, korelasi, MAE, dan RMSE. Faktor kalibrasi 0.5 ditentukan dari hasil uji rasio selanjutnya dapat menurunkan nilai curah hujan dugaan yang overestimate. 5.2 Saran Penelitian ini hanya menggunakan faktor suhu kecerahan awan dan suhu kecerahan uap air dalam melakukan pendugaan curah hujan. Curah hujan merupakan salah satu unsur cuaca kompleks dan sangat erat dengan stabilitas serta termodinamika atmosfer. Metode pendugaan curah hujan sebaiknya memasukkan semua komponen yang mempengaruhinya sesuai kejadian di alam. Data TRMM 2A12 merupakan data yang dikeluarkan oleh NASA, sehingga perlu dilakukan validasi dengan data pengukuran lapangan khususnya untuk wilayah kajian. Klasifikasi Awan potensi hujan dilakukan menggunakan persamaan Kidder (2005) yang seharusnya perlu dikaji lagi untuk wilayah Indonesia. Beberapa kekurangan tersebut kemungkinan besar yang menyebabkan munculnya faktor kalibrasi 0.5 dan selanjutnya diharapkan mampu menjadi masukan untuk penelitian berikutnya.