III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Derajat Penetasan Telur Hasil perhitungan derajat penetasan telur berkisar antara 68,67-98,57% (Gambar 1 dan Lampiran 2).
Gambar 1 Derajat penetasan telur ikan cupang pada maskulinisasi dengan ekstrak purwoceng melalui perendaman embrio Berdasarkan Gambar 1 di atas ditunjukkan bahwa perlakuan kontrol (0 µL/L) memiliki nilai derajat penetasan telur terbesar dari semua perlakuan dengan nilai rata-rata 98,57% dan perlakuan dosis 30 µL/L memiliki nilai terkecil dari semua perlakuan dengan nilai rata-rata 68,57%. Sedangkan perlakuan dosis 10 dan 20 µL/L masing-masing sebesar 88.57% dan 85.71%. 3.1.2 Kelangsungan Hidup Nilai rata-rata jumlah larva awal yang dihasilkan berkisar 24-34 ekor dan rata-rata jumlah ikan akhir berkisar 15-21 ekor (Gambar 2 dan Lampiran 2)
Gambar 2 Kelangsungan hidup ikan cupang pada maskulinisasi dengan ekstrak purwoceng melalui perendaman embrio 7
Berdasarkan Gambar 2 di atas ditunjukkan bahwa jumlah larva awal terbanyak ada pada perlakuan kontrol sebanyak 34 ekor. Sedangkan jumlah larva awal paling sedikit ada pada perlakuan 30 µL/L sebanyak 24 ekor. Sedangkan jumlah pada perlakuan 10 dan 20 µL/L masing-masing sebanyak 31 dan 30 ekor. Dari populasi larva awal yang berbeda tersebut didapatkan jumlah akhir ikan cupang terbanyak pada perlakuan 20 µL/L sebanyak 21 ekor dan jumlah akhir ikan cupang paling sedikit pada perlakuan 10 µL/L sebanyak 15 ekor. Sedangkan jumlah akhir ikan cupang pada perlakuan kontrol dan 30 µL/L masing-masing sebesar 18 dan 19 ekor. 3.1.3. Persentase Ikan Jantan Nilai rata-rata persentase populasi ikan jantan berkisar 39,72-62,68 % (Gambar 3 dan Lampiran 2).
Gambar 3 Persentase ikan jantan pada maskulinisasi dengan ekstrak purwoceng melalui perendaman embrio Berdasarkan Gambar 3 di atas ditunjukkan bahwa persentase populasi ikan jantan tertinggi terdapat pada perlakuan 10 dan 20 µL/L dengan nilai rata-rata masing-masing sebesar 62,68% dan 62,66%. Sedangkan persentase ikan jantan terendah justru ada pada perlakuan dosis tertinggi 30 µL/L dengan nilai rata-rata sebesar 39,72%. Perlakuan kontrol memiliki nilai rata-rata persentase ikan jantan sebesar 45,91%. 3.1.4 Bobot Rata-rata Akhir Ikan Uji Nilai bobot rata-rata akhir ikan yang diukur pada akhir perlakuan disajikan pada Gambar 4 berikut.
8
Gambar 4 Bobot rata-rata akhir ikan cupang pada maskulinisasi dengan ekstrak purwoceng melalui perendaman embrio Berdasarkan Gambar 4 diatas dapat dilihat bahwa bobot rata-rata akhir semua perlakuan memiliki nilai yang hampir seragam. Bobot rata-rata pada perlakuan 10 µL/L yaitu sebesar 0,07 gram, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan 20, 30, dan 0 µL/L yaitu sebesar 0,06 gram (Lampiran 3).
3.2 Pembahasan Persentase populasi ikan jantan tertinggi terdapat pada perlakuan 10 µL/L dan 20 µL/L (62,68% dan 62,66%). Nilai persentase populasi ikan jantan pada perlakuan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol dengan persentase populasi jantannya sebesar 45,91%. Kenaikan persentase ikan jantan pada perlakuan 10 dan 20
µL/L diduga dipengaruhi oleh bahan aktif yang
terdapat dalam ekstrak purwoceng. Putra (2011) menyatakan bahwa dalam tanaman purwoceng terdapat senyawa fitoandrogen berupa stigmasterol sebanyak 5,38%. Gunawan (2002) menyatakan bahwa senyawa tersebut merupakan bahan baku untuk pembuatan hormon steroid. Kenaikan persentase ikan jantan setelah dilakukan perendaman ekstrak purwoceng juga terjadi pada penelitian Putra (2011) yang dilakukan pada ikan nila. Larva ikan nila merah yang direndam dengan ekstrak purwoceng pada umur 4 dan 7 hari pada semua dosis memiliki persentase ikan jantan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol negatifnya (tanpa perendaman ekstrak purwoceng dan 17α-metiltestosteron). Rata-rata persentase ikan jantan dari perlakuan perendaman 10, 20, dan 30 mg/L ekstrak purwoceng masing-masing sebesar 9
66,70%, 73,33% dan 68,88%. Persentase tersebut lebih tinggi dibandingkan kontrol dengan nilai rata-rata sebesar 52,20%. Persentase tertinggi populasi ikan cupang jantan yang telah dilakukan perendaman embrio dengan ekstrak purwoceng menunjukkan hasil yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian serupa menggunakan aromatase inhibitor. Wulansari (2002) menyatakan bahwa embrio cupang yang direndam selama 10 jam menggunakan aromatase inhibitor pada dosis 10, 20, dan 30 mg/liter menghasilkan persentase populasi ikan jantan masing-masing sebesar 25,33%, 32,63%, dan 36,89% dengan populasi ikan jantan pada perlakuan kontrol sebesar 22,22%. Dosis perendaman 10 dan 20 µL/L ekstrak purwoceng pada ikan cupang dinilai lebih baik jika dibandingkan dengan dosis yang lebih tinggi. Pada dosis 30 µL/L, persentase ikan jantan merupakan persentase terendah dari semua perlakuan termasuk kontrol dengan rata-rata 39,72%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis perendaman dalam kegiatan maskulinisasi ikan tidak selalu diikuti dengan peningkatan persentase populasi jantannya. Hal serupa juga terjadi pada ikan lele Amerika (Ictalurus punctatus) yang diberikan 17α-metiltestosteron untuk menghasilkan populasi jantan yang lebih banyak dibandingkan dengan betinanya. Akan tetapi hasil yang didapatkan dari pemberian hormon 17α-metiltestosteron ini adalah populasi ikan dengan 100% betina. Hal tersebut diduga juga disebabkan oleh dosis yang berlebih (Zairin 2002). Selain itu, diduga juga pada ikan lele Amerika memiliki suatu zat yang menyerupai enzim aromatase sehingga 17αmetiltestosteron yang masuk ke dalam tubuh ikan dikonversi terlebih dahulu menjadi estradiol-17ß dan berfungsi sebagai hormon tersebut. Seperti pada ikan lele Amerika, diduga pada ikan cupang juga memiliki enzim aromatase. Aromatase tersebut dapat mengkatalis androgen menjadi estrogen (Callard et al. 1990 dalam Wulansari 2002), sehingga produksi estrogen yang berlebih tersebut akan merangsang ikan pada pembentukan gonad betina. Selain faktor dosis, keberhasilan pada pengarahan kelamin juga dipengaruhi oleh lama perlakuan dan fase ikan uji saat dilakukan perendaman. Perendaman pada saat embrio sampai fase bintik mata diduga merupakan fase paling efektif untuk melakukan kegiatan pengarahan kelamin. Karena pada fase 10
ini perkembangan otak masih labil sehingga mudah untuk diarahkan (Martati 2006). Selain itu, pada fase bintik mata embrio dianggap telah kuat untuk menerima perlakuan (Zairin 2002), sehingga dapat mengurangi resiko gagal menetas. Tave (1992) menjelaskan bahwa pada banyak ikan, fertilisasi terjadi secara eksternal. Sehingga diferensiasi jaringan atau organ termasuk gonad berlangsung di dalam air. Dalam proses perkembangannya pun mudah sekali terpengaruh oleh keadaan lingkungan. Proses diferensiasi kelamin pada ikan teleostei juga dinilai sangat labil (Francis 1992 dalam Pandian & Sheela 1995). Meskipun secara genotip jenis kelamin ikan sudah terbentuk saat terjadi proses fertilisasi, akan tetapi fenotipnya terbentuk seiring dengan proses perkembangan gonad (Tave 1992). Dengan demikian pengarahan kelamin ikan dapat dilakukan dengan pemberian hormon steroid pada fase tersebut. Prinsip inilah yang mendasari kegiatan maskulinisasi ikan cupang ini dan pada kegiatan pengarahan kelamin umumnya. Karena prosesnya yang labil dan bisa dipengaruhi oleh lingkungan, maka intervensi lingkungan memungkinkan untuk mendapatkan kelamin ikan yang diinginkan. Salah satunya dengan memberikan hormon steroid. Peningkatan persentase populasi ikan jantan pada perendaman dengan dosis 10 dan 20
µL/L diduga karena bahan aktif dari purwoceng yang
mempengaruhi proses diferensiasi gonad. Perubahan lingkungan yang diakibatkan perendaman ekstrak purwoceng menyebabkan rangsangan pada sistem syaraf ikan dan memacu pelepasan hormon gonadotropin untuk pembentukan gonad jantan. Fujaya dalam Martati (2006) menjelaskan bahwa perubahan lingkungan tersebut diterima oleh indra yang kemudian disampaikan ke sistem syaraf pusat. Setelah itu kemudian dikirim ke hipotalamus dan memerintahkan kelenjar hiposfisa untuk mengeluarkan hormon gonadotropin. Hormon inilah yang kemudian dibawa oleh darah menuju gonad sebagai petunjuk untuk memulai pembentukan gonad jantan (testis). Peningkatan populasi ikan jantan pada kegiatan pengarahan kelamin yang menggunakan bahan alami memiliki hasil yang berbeda-beda. Penggunaan ekstrak kayu sandrego yang dicampurkan pada pakan dengan dosis 0, 10, 20, dan 30 mg/kg, memberikan perbedaan persentase populasi ikan cupang jantan masing11
masing sebesar 33%, 59,7%, 70,7%, dan 50,3% (Alfian 2003). Perendaman ikan gapi dengan menggunakan madu pada dosis 0, 20, 40, 60 mL/L memberikan perbedaan persentase populasi ikan jantan masing-masing sebesar 24,3%, 44,9%, 52,5%, dan 59,5% (Soelistyowati et al. 2007). Penggunaan T. terrestis dalam perendaman ikan gapi dengan dosis 0, 0,05, 0,1 dan 0,15 g/liter memberikan perbedaan persentase populasi ikan jantan masing-masing sebesar 36%, 53%, 52%, dan 72% (Cek et al. 2007). Serta penggunaan ekstrak testis sapi dalam perendaman larva nila pada dosis 1, 3, dan 5 mL/L memberikan persentase populasi ikan jantan yang berbeda masing-masing sebesar 68,9%, 75,6%, dan 85,6% (Iskandar 2010). Perbedaan peningkatan jumlah populasi ikan jantan pada setiap bahan yang digunakan disebabkan oleh jenis dan jumlah kandungan bahan aktif yang berbeda pada setiap bahannya, metode maskulinisasi yang digunakan, dan jenis ikan ujinya sendiri. Keberhasilan terbaik kegiatan maskulinisasi pada ikan cupang adalah dengan perendaman hormon sintetik 17α-metiltestosteron pada dosis 20 mg/L. Pada perlakuan tersebut didapat persentase ikan jantan jantan sebesar 95,90% (Kholidin dalam Zairin 2002). Namun, penggunaan 17α-metiltestosteron saat ini sudah dilarang karena bahan tersebut bersifat karsinogenik bagi manusia dan berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan karena sulit terdegradasi secara alami (Contreras-Sancez et al. 2001 dalam Ariyanto et al. 2010). Sehingga penggunaan ekstrak purwoceng bisa dijadikan salah satu alternatif untuk kegiatan maskulinisasi ikan cupang meskipun hasil akhirnya belum sebaik penggunaan 17α-metiltestosteron. Purwoceng juga memiliki bahan aktif lain yang berfungsi pada sistem fisiologis ikan lainnya seperti pematangan gonad. Gunawan (2002) menyebutkan bahwa selain senyawa aktif stigmasterol yang bersifat androgenik juga terdapat senyawa aktif lainnya seperti isoorientin. Senyawa aktif ini berfungsi dalam meningkatkan sperma. Bertha (2012) menyatakan bahwa ekstrak purwoceng dapat meningkatkan proses spermatogenesis pada ikan lele (Clarias sp.) jantan. Dengan demikian persentase bahan aktif pada tanaman purwoceng juga mempengaruhi tingkat keberhasilan kegiatan maskulinisasi pada ikan cupang ini.
12
Penggunaan ekstrak purwoceng pada maskulinisasi ikan cupang dinilai tidak memberikan efek negatif pada dosis yang tepat. Hal ini terlihat pada nilai derajat penetasan pada Gambar 1 yang menunjukkan nilai yang relatif tinggi. Perlakuan kontrol, 10, dan 20 µL/L menunjukkan nilai rata-rata derajat penetasan masing-masing sebesar 98,57%, 88,57%, dan 85,71%. Sedangkan nilai derajat penetasan pada perlakuan 30 µL/L terlihat lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini diduga pada dosis yang berlebih, ekstrak purwoceng dapat memberikan efek negatif yang ditunjukkan dengan rendahnya nilai derajat penetasan ikan cupang. Penelitian ini dilakukan di laboratorium. Meskipun demikian, pada setiap perlakuan tidak diberikan kontrol lingkungan tambahan seperti penggunaan aerasi untuk menjaga kestabilan kelarutan oksigen dan penggunaan termostat untuk menjaga kestabilan suhu. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir kemungkinan faktor lain yang dapat mempengaruhi perubahan kelamin, terutama parameter suhu. Devlin & Nagahama (2002) menyatakan bahwa pada banyak ikan, tinggi rendahnya suhu dapat mempengaruhi pembentukan gonad menjadi jantan atau betina. Suhu yang tinggi cenderung mengarahkan ikan pada pembentukan gonad jantan (testis). Sebaliknya, suhu yang rendah cenderung mengarahkan ikan pada pada pembentukan gonad betina (ovari). Kenaikan suhu pada rentang 23-29 oC dalam sebagian banyak ikan dapat meningkatkan presentasi populasi ikan jantan dalam satu keturunan. Kestabilan suhu pada derajat yang tinggi 35
o
C
memberikan efek yang sangat kuat pada proses maskulinisasi ikan (Baras et al. 2000). Parameter kualitas air yang diamati pada penelitian ini adalah parameter suhu. Meskipun dilakukan di laboratorium, akan tetapi fluktuasi suhu yang terjadi setiap hari cenderung tinggi. Dalam pengamatan yang dilakukan setiap pagi dan sore hari, tercatat bahwa suhu terendah dapat mencapai 23 oC dan suhu tertingginya 32
o
C. Rata-rata fluktuasi harian suhu dapat mencapai 5
o
C
(Lampiran 4). Fluktuasi suhu yang relatif tinggi ini diduga menjadi salah satu faktor kematian ikan. Selain karena suhu yang fluktuatif, kematian ikan juga dimungkinkan disebabkan oleh fase kritis pembentukan labirin. Axelrod (1967) dalam Wulansari (2002) menyatakan bahwa pada umur ikan sekitar 3 minggu 13
organ labirin mulai terbentuk dan sangat sensitif. Bahkan pada beberapa ikan organ tersebut tidak terbentuk sempurna. Hal itu dapat menyebabkan kematian pada ikan. Berdasarkan dari parameter pertumbuhan yang dinyatakan dengan bobot rata-rata akhir yang terdapat pada Gambar 4, terlihat bahwa bobot rata-rata setiap perlakuan hampir seragam yaitu berkisar antara 0,06 dan 0,07 gram (Gambar 4 dan Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa perendaman embrio dengan menggunakan ekstrak purwoceng tidak menghambat pertumbuhan ikan cupang.
14