II. PENDEKATAN TEORITIS
2.1
Konsep Gender Konsep gender dibuat oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan
perbedaan laki-laki dan perempuan yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan mana yang merupakan bentukan budaya yang dikonstruksikan, dipelajari, dan disosialisasikan. Pembedaan ini sangat penting karena seringkali disamaratakannya ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah dengan ciri-ciri manusia yang bersifat non kodrat (gender) yang sebenarnya bisa berubah dan atau diubah. Fakih (1996) menyatakan gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural, namun untuk memahami konsep gender harus dibedakan dengan konsep seks atau jenis kelamin. Jenis kelamin merupakan pensifatan dan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jajakala (kala menjing), dan produsen sperma, sedangkan rahim saluran untuk melahirkan, sel telur, vagina, dan alat untuk menyusui dimiliki oleh perempuan. Secara biologis, alat tersebut melekat pada manusia, tidak bisa dipertukarkan, secara permanen tidak berubah, dan merupakan suatu kodrat (ketentuan Tuhan). Konsep gender sendiri adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang merupakan kategori sosial atau pencirian sosial (feminitas dan maskulinitas) yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural tercermin dalam perilaku, kepribadian, sikap, keyakinan, penampilan, pekerjaan,
8
seksualitas, tanggung jawab keluarga, dan lain-lain. Dikotomi tersebut tidak berdasarkan biologis, tetapi lebih pada hubungan sosial budaya laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai atau sistem simbol masyarakat dan struktur masyarakat yang bersangkutan. Ciri dari sifat itu dapat dipertukarkan, bisa berubah dari waktu kewaktu serta berbeda dari tempat ke tempat bahkan dapat berbeda dari kelas ke kelas lainnya dalam suatu konsep gender. Misalnya, perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa dan lain-lain (Fakih, 1996; Saptari, 1997). Pemahaman dan pembedaan gender sangat diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. (Fakih, 1996). Hal ini juga diperlukan dalam melakukan kajian untuk memahami persoalan-persoalan gender yang terjadi dalam masyarakat, karena terkait dengan perbedaan gender (gender differences) dan pembedaan gender (gender inequalities). Di samping itu dengan memisahkan perbedaan seks dengan gender akan memudahkan dalam menganalisis realita kehidupan dan dinamika perubahan relasi laki-laki dan perempuan. Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat di mana manusia beraktivitas. Sedemikian rupanya perbedaan gender ini melekat pada cara pandang, sehingga seringkali hal tersebut merupakan sesuatu yang permanen dan abadi sebagaiamana permanen dan abadinya ciri biologis yang dimiliki perempuan dan laki-laki.
9
2.2
Ketidakadilan Gender Perbedaan gender (gender differences) terbentuk karena beberapa hal yaitu
dibentuk dan disosialisasikan oleh keluarga, diperkuat dan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Sampai akhirnya perbedaan gender dianggap sebagai ketentuan Tuhan, dipahami sebagai kodrat laki-laki maupun kodrat perempuan, yang tidak bisa dirubah (Fakih, 1996). Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan pembedaan gender (gender inequalities). Namun yang menjadi persoalan adalah perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan gender, baik bagi laki-laki dan terutama terhadap perempuan. Ketidakadilan gender (gender inequalities) adalah pemberian perlakuan yang berbeda kepada laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, sebagian besar kasus ketidakadilan gender menimpa perempuan. Itulah sebabnya masalah-masalah yang berkaitan dengan gender sering diidentikkan dengan masalah perempuan (de Vries, 2006). Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana perempuan maupun laki-laki menjadi korban dari sistem tersebut. (Fakih, 1996). Berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik secara langsung yang berupa perlakuan maupun sikap yang telah berakar dalam sejarah, adat, norma ataupun dalam berbagai struktur yang ada di masyarakat. de Vries (2006) menjelaskan bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang sering terjadi pada perempuan yaitu: pertama, subordinasi yang merupakan pembedaan perlakuan terhadap salah satu identitas sosial, dalam hal ini adalah perempuan. Pandangan bahwa perempuan itu emosional mengakibatkan mereka kurang diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan; kedua, pelabelan
10
negatif (stereotype) yaitu pembentukan citra buruk perempuan yang menempatkan perempuan pada posisi tidak berdaya dalam masyarakat; ketiga, marginalisasi sebagai akibat langsung dari subordinasi perempuan serta melekatnya label-label buruk pada diri perempuan, perempuan tidak memiliki akses dan kontrol yang sama terhadap laki-laki dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi. Lebih jauhnya, hal ini akan berimplikasi pada termarginalisasinya kebutuhan dan kepentingan perempuan; keempat, beban kerja berlebih sehingga perempuan selalu diindikasikan dengan pekerjaan domestik. Pada kalangan keluarga miskin, beban ganda terjadi dimana kaum perempuan harus bekerja di sektor domestik dan produktif. Kelima, kekerasan yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang dalam hal ini dilakukan terhadap perempuan. Hal serupa juga dikemukakan oleh Fakih (1996), akan tetapi terdapat perbedaan urutan dari bentuk ketidakadilan gender tersebut yaitu: 1. Marjinalisasi (pemiskinan) perempuan. Proses marjinalisasi yang menyebabkan kemiskinan banyak terjadi dalam masyarakat di negara berkembang. Perempuan dipinggirkan dan tersingkir dari program pembangunan karena hanya memfokuskan pada laki-laki saja. Di samping itu perkembangan teknologi menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada umunya dikerjakan oleh laki-laki. 2. Subordinasi Pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Subordinasi sering terjadi di rumah tangga.
11
3. Pandangan Stereotipe Pelabelan atau penandaan (stereotype) yang seringkali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Misalnya pelabelan perempuan sebagai ‘ibu rumah tangga’ membatasi gerak perempuan untuk ikut aktif dalam kegiatan politik, bisnis maupun birokrasi. Sementara label laki-laki sebagai ‘pencari nafkah’ mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap ‘sambilan’ sehingga kurang dihargai. 4. Kekerasan (violence). Kekerasan yang merupakan terjemahan dari violence adalah suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut kekerasan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan, dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman, dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan terusik batinnya. 5. Beban Kerja Sebagai suatu bentuk ketidakadilan gender adalah beban kerja menjadi panjang yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin yaitu perempuan ataupun laki-laki. Hasil observasi menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga, sehingga bagi mereka yang bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah publik mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik. Menurut Fakih (1996) bahwa manifestasi ketidakadilan gender dalam bentuk-bentuk seperti di atas dapat terjadi di berbagai tingkatan. Di tingkat negara, tempat kerja, organisasi maupun dunia pendidikan, dalam adat istiadat,
12
dalam kultur suku-suku atau dalam tafsiran keagamaan bahkan dalam lingkungan rumah tangga. Manifestasi ketidakadilan gender ini telah mengakar di dalam keyakinan dan menjadi ideologi pada masing-masing orang (kaum perempuan maupun kaum laki-laki), keluarga hingga tingkat negara yang bersifat global, sehingga ketidakadilan gender menjadi hal yang paling sulit untuk diubah. Selanjutnya sebagai maniefestasi lain dari ketidakadilan gender adalah domestikasi dan pengiburumahtanggaan (housewifization). Menurut Saptari (1997) mengutip dari literatur “Perempuan dalam Pembangunan” domestikasi adalah suatu proses pembatasan ruang gerak perempuan ke arena domestik. Dalam menjelaskan konsep domestikasi, Saptari mengacu kepada Barbara Rogers dengan karyanya yang terkenal “The Domestication of Women“ yang menurutnya cukup menggambarkan proses domestikasi. Menurut Rogers (1980) dalam Saptari (1997), bersamaan dengan terkucilnya perempuan dari kerja upahan dan dari jalur lain dalam ekonomi uang, ideologi tentang ‘kodrat’ domestik mereka didukung dengan kuat, melalui pengajaran ketrampilan domestik gaya Barat dan melalui ajaran moral tentang tempat mereka di rumah. Istilah domestikasi sering dipakai secara bergantian dengan pengertian housewifization atau pengiburumahtanggaan. Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Maria Mies. Pengiburumahtanggaan menurut Mies (1986) yang dikutip oleh Saptari (1997) merupakan proses pendefinisian sosial perempuan sebagai ibu rumah tangga terlepas dari apakah mereka memang ibu rumah tangga atau bukan. Menurut Saptari sendiri, definisi ini berimplikasi
13
kepada timbulnya anggapan perempuan yang tergantung secara ekonomis kepada laki-laki dengan kata lain mereka mempunyai suami yang menafkahi mereka.
2.3
Pembagian Kerja Gender Menurut Saptari (1997) dalam masyarakat kita pekerjaan yang dilakukan
perempuan seringkali tidak tampak. Selain itu perempuan cenderung terlibat dalam pekerjaan yang tidak membawa upah atau tidak dilakukan di luar rumah. Moore (1988) dalam Saptari (1997) mengemukakan definisi tentang kerja sering kali tidak hanya menyangkut apa yang dilakukan seseorang, tetapi juga menyangkut kondisi yang melatarbelakangi kerja tersebut, serta penilaian sosial yang diberikan terhadap pekerjaan tersebut Dalam
situasi
seperti
ini
bisa
dipahami mengapa kerja perempuan sering kali tidak tampak (invisible) karena dalam masyarakat kita keterlibatan perempuan sering kali berada dalam pekerjaan yang tidak membawa upah atau tidak dilakukan di luar rumah. Sebenarnya terdapat dua bias kultural dalam masyarakat kita yang menyebabkan timbulnya pengertian sekaligus pembedaan terhadap kerja upahan (produktif) dan bukan upahan (tidak produktif). Pertama, uang sebagai ukuran bernilai tidaknya suatu kegiatan. Kedua, kecenderungan masyarakat melakukan dikotomi tajam terhadap semua gejala yang ada. Dari berbagai dikotomi yang pernah ada dalam litetarur studi perempuan (produksi/reproduksi, domestik/bukan domestik, upahan/bukan upahan), menurut Saptari (1997) sampai saat ini belum ada yang memberikan batasan jelas mengenai hakikat kerja. Menurutnya hal ini dikarenakan dalam kehidupan seharihari sulit untuk membuat pemisahan yang tajam. Oleh karena itu dalam melihat
14
suatu pekerjaan yang terpenting adalah bukan batasannya melainkan hubungan sosial atau hubungan kerja yang berbeda dan kondisi sosial yang mempengaruhi kerja yang dilakukan seseorang. Menurut Moser (1986), kerja produktif dipakai untuk menunjukkan kerja baik secara aktual maupun potensial, yang memiliki nilai tukar, mencakup kerja di sektor formal dan informal, termasuk di dalamnya bekerja pada perusahaan keluarga. Sedang kerja reproduktif juga merupakan kerja produktif, tetapi karena nilai produksi yang dihasilkan tidak berupah, maka kerja reproduktif dikategorikan sebagai kerja produktif tidak langsung. Bila dibedakan kerja menurut ruang lingkupnya, Moser (1986) memberi arti domestik untuk pekerjaan yang dilakukan dalam rumah tangga. sedangkan publik merupakan ruang lingkup kerja di luar rumah.
2.4
Perkebunan di Indonesia Pada sektor perkebunan, sejak zaman tanam paksa, interaksi antara buruh
perkebunan dan masyarakat petani dengan pengusaha dan negara mengalirkan sejarah kekalahan buruh kebun. Kekalahan buruh perkebunan terjadi akibat penguasaan lahan dan sistem pengelolaan tenaga kerja (pengupahan, penerapan teknologi, dan sistem manajemen) yang mengeksploitasi petani. Pada masa kolonial digambarkan bahwa para kuli perkebunan yang dikelola W. F Kissing yang ada di Sumatera Selatan tidak dapat mencapai tingkat upah biasa karena kewajiban-kewajiban yang ditetapkan pada mereka terlalu besar (Houben, 2003 dalam Wijaya, 2005).
15
Mengkaji kekalahan petani dan para kuli buruh kebun, disimpulkan bahwa kehidupan dan budaya petani Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir telah dihancurkan oleh faktor-faktor eksternal seperti kebijakan internasional tentang liberalisasi perdagangan yang berhubungan dengan pertanian dimana berbagai kebijakan tersebut membuat para petani mengahadapi persoalan peminggiran ekonomi, dominasi politik serta berbagai kekerasan terhadap budaya mereka (Fakih, 2001 dalam Wijaya, 2005). Menurut Maliki (1999) dalam Wijaya (2005), modernisasi pertanian yang memunculkan keberhasilan Indonesia memperoleh pengakuan FAO di tahun 1984 ternyata tidak mengubah bergaining position para petani secara ekonomi maupun politik dan ironisnya petani diposisikan sebagai komunitas statik, tertinggal, dan tidak siap menerima inovasi. Bahayanya, persoalan petani yang semakin terpinggirkan tidak pernah dianggap serius oleh pemerintah. Menurut
Kartodirdjo
dan
Djoko
Suryo
(1991),
sebagai
sistem
perekonomian baru, perkebunan di Indonesia didifusikan oleh pemerintah kolonial Belanda tanpa dasar persiapan budaya agar pihak penjajah mendapat nilai tambah dari perkembangan ekonomi wilayah negara jajahan melalui pola produksi perkebunan komersial di tanah jajahan yang berdampak pada perubahan kehidupan masayarakat jajahan. Pada konteks penggunaan tenaga kerja, diterapkan model spesialisasi yang menciptakan keterpisahan antara perkebunan dengan masyarakat sekitarnya (petani) yang menggunakan sistem kerja pra-spesialisasi. Keadaan tersebut berdampak perkebunan menjadi kantong-kantong industri (enclave industri). Ini bisa dipahami dengan mengamati keadaan industri perkebunan yang komersil di
16
tengah masyarakat Indonesia yang berciri subsistensi, kondisi perkebunan yang berteknologi modern dengan keadaan masyarakat yang masih berteknologi tradisional. Padahal industrialisasi dan prosesnya dalam pengusahaan perkebunan membutuhkan kesiapan sosial budaya dari masyarakat untuk menerima, mendukung, dan melestarikan keadaan fisik industri perkebunan di tengah masyarakat petani (Soetrisno, 1983 dalam Tetiani, 2005 ) Masyarakat perkebunan memiliki sistem stratifikasi sosial yang kaku dan sangat dipengaruhi oleh birokrasi pemerintahan yang sering turut campur tangan. Terjadi perbedaan yang jelas antara administratur dan karyawan perkebunan dengan buruh perkebunan, yang mana golongan staf dan karyawan tak hanya tinggal dalam rumah dan lingkungan yang bagus tetapi mereka juga bergaya hidup mewah, sedangkan buruh hidup dengan penuh kesederhanaan (Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991)
2.5
Kondisi Kerja Buruh Perkebunan Jenis kelamin merupakan prinsip pembeda utama dalam pembagian kerja
di perkebunan. Pekerja dibedakan berdasarkan pekerja untuk laki-laki dan pekerjaan untuk perempuan (Grijns 1987, Oktaviani 1995, Tetiani 2005). Selain itu sistem penggolongan tenaga kerja dalam sistem organisatoris perusahaan perkebunan juga ditentukan oleh tingkat pendidikan dan keahlian (Oktaviani, 1995). Tetiani (2005), menyatakan bahwa di dalam kebun juga dikembangkan hierarki dan segregasi kerja berbasis ras yang dipandang sebagai penerjemahan nilai partiarkal, fenomena promosi kerja sampai kepada jabatan tinggi (staf) berdasarkan lama waktu kerja.
17
Di perkebunan Sumatera Utara, sebaran umur karyawan pemanen yang berada pada kelompok tua dan kelompok muda mempunyai jumlah yang sama yaitu sebanyak 17 orang dengan persentase 27 persen. Pada kelompok umur dewasa sebanyak 29 orang dengan persentase 46 persen. Sebaran umur pada kelompok dewasa lebih besar karena tergolong usia produktif dan memiliki tenaga yang kuat untuk melakukan pemanenan. Pembentukan stratifikasi sosial yang ada dalam komunitas perkebunan ini sangat dipengaruhi oleh sistem penggolongan tenaga kerja dalam sistem organisatoris perusahaan. Penggolongan itu berdasarkan pada pembedaan posisi dan kedudukan seseorang di dalam perusahaan yang ditentukan oleh tingkat pendidikan dan disesuaikan dengan keahlian. Untuk itu seseorang yang bersangkutan mendapat upah serta fasilitas-fasilitas yang berbeda antara masingmasing golongan (Kristina, 2004). Oktaviani (1995) menyatakan bahwa dalam perkebunan di Sumatera Selatan pekerjaan laki-laki lebih berat daripada perempuan misalnya membuka hutan yang masih banyak ditumbuhi pohon besar, membuat saluran irigasi, membuang tangkai buah kelapa sawit yang sudah tua sedangkan perempuan hanya sekedar menyiangi lahan yang sudah digarap, melakukan pembibitan, penanaman, mengasuh anak, atau membantu pekerjaan rumah di kediaman pegawai staf. Pekerjaan produktif perempuan dalam perkebunan di Sumatera Utara sangat kecil (Lubis, 1989). Pada tahap pembibitan dalam budidaya karet, perempuan hanya bekerja pada 5 jenis pekerjaan dari 14 jenis pekerjaan. Pada tahap permulaan tanaman baru, perempuan hanya turut bekerja pada 6 jenis
18
pekerjaan dari 22 jenis pekerjaan. Ketika melakukan penanaman ulang, perempuan hanya melakukan 8 jenis pekerjaan dari 19 jenis pekerjaan. Pada tahap penyadapan, peraturan hanya mengijinkan perempuan bekerja menyadap. Pada kasus di perkebunan teh Selasari, Jawa Barat (Grijns 1987), hampir semua pekerjaan memetik dilakukan oleh perempuan (93% dari semua perempuan dan 59% dari semua pekerja). Sejumlah kecil perempuan melakukan pekerjaan tidak tetap seperti mengepak teh untuk pelelangan di luar negeri, menyiram tanaman-tanaman muda, mencuci cangkir untuk mencicipi teh, atau bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada pegawai staf yang dibayar oleh perusahaan. Terdapat satu tempat yang seluruh pekerjanya selalu perempuan yaitu bagian sortasi dalam pabrik. Kasus di perkebunan kakao Blitar (Wijaya 2005) menunjukkan bahwa buruh kebun dibagi menjadi tujuh kelompok kerja yang sebagian besar berstatus sebagai karyawan tetap golongan IA. Empat kelompok lainnya terdiri atas para kuli yang berstatus sebagai karyawan lepas, kelompok kuli jambret, kelompok kuli petik, dan pecah buah diupah berdasarkan kerja borongan. Menurut Masithoh (2005), terdapat pembagian kerja laki-laki dan perempuan. Laki-laki bekerja di kebun atau menjadi tukang ojek, sedangkan perempuan bekerja di kebun sebagai buruh petik, membantu suami di kebun, atau berdagang kebutuhan sehari-hari. Tanggung jawab untuk mencari nafkah dibebankan pada laki-laki sebagai kepala rumahtangga. Untuk lapisan atas, perempuan lebih banyak melakukan pekerjaan domestik saja. Menurut Oktaviani (1995), perusahaan menetapkan sistem pengupahan berdasarkan keahlian, kecakapan, dan tanggung jawab seorang pekerja, serta
19
menurut kemampuan perusahaan yang disesuaikan dengan ketentuan berlaku tentang upah minimum. Buruh adalah lapisan terbawah dan terbanyak dalam ketenagakerjaan. Buruh ini dibedakan berdasarkan pekerja laki-laki dan perempuan yang diterapkan langsung dalam pembagian jenis pekerjaan. Pekerjaan perempuan dinilai pihak perusahaan lebih ringan maka dibayar lebih murah daripada pekerja laki-laki Klasifikasi tenaga kerja di perkebunan didasarkan pada status gaji yaitu bulanan dan harian (Grijns 1987). Pimpinan merupakan golongan terpisah. Mandor, teknisi dan pegawai administrasi mendapat gaji tetap yang dibayar bulanan ditambah bayaran kerja lembur dan bonus produksi. Buruh harian dibayar menurut jumlah hari bekerja selama sebulan lalu atau menurut sistem borongan. Buruh tetap mempunyai hak untuk libur satu hari dalam seminggu dengan tetap dibayar. Terdapat satu tempat yang seluruh pekerjanya selalu perempuan yaitu bagian sortasi dalam pabrik. Bagian ini dimandori oleh seorang perempuan dengan gaji bulanan. Hanya sebagian kecil perempuan yang bekerja sebagai mandor dan semuanya di kebun dan dibayar harian, berbeda dengan mandor lakilaki yang kebanyakan dibayar bulanan. Untuk yang telah bekerja selama enam tahun mendapat dua belas hari cuti tiap tahunnya, setelah bekerja selama dua puluh lima tahun ada yang mendapat pensiun atau pesangon, dan mendapat pelayanan sosial dari perkebunan. Pada kasus tertentu pekerja harian lepas juga dapat menikmati fasilitas tersebut (Grijns 1987, Oktaviani 1995). Menurut Oktaviani (1995), pekerja perkebunan dibedakan lagi menjadi 2 kelompok yaitu: 1) Pekerja harian tetap yang diangkat menjadi pekerja tetap setelah lewat masa percobaan selama 3 bulan, dan berhak menerima upah dan
20
fasilitas seperti rumah, kesehatan, THR. Upah ditetapkan berdasarkan hari kerja dan akan dibayar tiap akhir bulan ditambah dengan tunjangan lain seperti beras. 2) Pekerja harian lepas adalah pekerja yang belum diangkat menjadi pekerja tetap sehingga tidak diberikan fasilitas. Penetapan upah dibayar berdasarkan prestasi kerja yang dicapai dan diukur dengan volume kerja yang dihasilkan. Pekerja ini biasanya juga dikenal dengan sebutan pekerja borongan. Pada kasus di Blitar (Wijaya 2005), Pekerja yang berstatus karyawan harian lepas menerima upah sesuai upah minimum rata-rata harian di Blitar. Upah yang dirasakan amat kecil adalah upah borongan yang diterima oleh kuli petik. Kuli pecah cuil buah menerima upah dua kali lipat. Melihat upah yang diterima kondisi para kuli petik lebih memprihatinkan daripada kuli lain. Menurut Daulay (2006), pada sistem pengupahan perusahaan perkebunan, upah buruh masih rendah, belum memakai standar upah minimum rata-rata.
2.6
Kesejahteraan Menurut Sawidak (1985) dalam Munir (2008), kesejahteraan merupakan
sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi sendiri pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsi pun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya bagi konsumennya. Menurut Wattimena (2009), tingkat kesejahteraan mengacu kepada keadaan komunitas atau masyarakat luas. Kesejahteraan adalah kondisi agregat
21
dari kepuasan individu-individu. Meskipun tidak ada suatu batasan substansi yang tegas tentang kesejahteraan, namun tingkat kesejahteraan mencakup pangan, pendidikan, kesehatan, dan seringkali diperluas kepada perlindungan sosial lainnya seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua, keterbebasan dari kemiskinan, dan sebagainya. Penggunaan output ekonomi perkapita atau pendapatan rumah tangga dipandang kurang relevan dalam mengukur kesejahteraan masyarakat karena hanya memperhatikan faktor ekonomi saja. Maka diperlukan penggunaan indikator lain yang lebih komprehensif. Oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, saat ini Indeks Pembangunan Manusia sebagai penilaian yang bersifat komposit atas perkembangan konsumsi, kesehatan, dan pendidikan masyarakat digunakan secara luas untuk mengukur perkembangan kesejahteraan masyarakat (Wattimena, 2009). Kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya (Suharto, 2006). Taraf kesejahteraan rakyat masyarakat indonesia secara umum mengalami peningkatan yang berarti dari waktu ke waktu. Peningkatan ini terjadi dalam konteks demografis, yaitu walaupun jumlah penduduk masih terus bertambah tetapi kecepatan bertambahnya terus berkurang sebagai akibat turunnya angka kelahiran. Peningkatan taraf kesejahteraan rakyat Indonesia antara lain
22
ditunjukkan oleh dua indikator yang berdampak pada bidang kesehatan dan pendidikan, yaitu meningkatnya angka harapan hidup dan rata-rata lama sekolah (BPS, 2006). Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat (visible) melalui aspek tertentu. Oleh karena itu, kesejahteraan rakyat dapat diamati dari berbagai aspek yang spesifik. Tidak semua permasalahan kesejahteraan dapat diamati dan diukur (BPS, 2006). Diperlukan berbagai bidang disiplin ilmu di samping melakukan penelitian atau melalui pengamatan empirik berbagai kasus untuk dapat menemukan indikator keluarga sejahtera yang berlaku secara umum dan spesifik (BPS, 1995 dalam Munir, 2008). Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan dibahas oleh BPS (2006), sebagai berikut: 1. Kependudukan Masalah kependudukan yang antara lain meliputi jumlah, komposisi, dan distribusi penduduk merupakan salah satu masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi potensi tetapi dapat pula menjadi beban dalam proses pembagunan jika berkualitas rendah. Oleh sebab itu untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional, dalam penanganan masalah kependudukan pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk, tetapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusianya. Di samping itu, program perencanaan pembangunan sosial di segala bidang harus mendapat prioritas utama yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan penduduk. Hal-hal yang perlu
23
diperhatikan pada masalah kependudukan adalah jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, pesebaran dan kepadatan penduduk, serta fertilitas. 2. Kesehatan dan Gizi Kesehatan dan gizi merupakan indikator dari kesejahteraan penduduk dalam hal kualitas fisik. Indikator tersebut meliputi angaka kematian bayi dan angka harapan hidup yang menjadi indikator utama. Selain itu, aspek penting yang turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status kesehatan yang antara lain diukur melalui angka kesakitan dan status gizi. Sementara untuk melihat gambaran tentang kemajuan upaya peningkatan dan status kesehatan masyarakat dapat dilihat dari penolong persalinan bayi, ketersediaan sarana kesehatan dan jenis pengobatan yang dilakukan. 3. Pendidikan Tinggi rendahnya kualitas sumber daya manusia antara lain ditandai dengan tingkat pendidikan. Semakin lamanya usia wajib belajar diharapkan tingkat pendidikan anak semakin baik, semakin tinggi tingkat pendidikan yang dicapai suatu masyarakat, maka dapat dikatakan masyarakat tersebut semakin sejahtera. Aspek yang dapat mengagambarkan kesejahteraan masyarakat di bidang pendidikan yaitu angka melek huruf, tingkat partisipasi sekolah, dan putus sekolah. 4. Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting yang menunjukkan kesejahteraan masyarakat, dimana tolak ukur keberhasilan pembangunan ketenagakerjaan diantaranya adalah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
24
dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), lapangan usaha dan status pekerjaan, jumlah jam kerja, dan pekerja anak. 5. Taraf dan Pola Konsumsi Berkurangnya jumlah penduduk miskin mencerminkan bahwa secara keseluruhan pendapatan penduduk meningkat, sebaliknya meningkatnya jumlah penduduk miskin mengindikasikan menurunnya pendapatan penduduk. Dengan demikian jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Aspek lain yang perlu diperhatikan berkenaan dengan peningkatan pendapatan penduduk tersebut adalah bagaimana pendapatan tersebut terdistribusi di antara kelompok penduduk. Indikator distribusi pendapatan, walaupun didekati dengan pengeluaran, akan memberi petunjuk tercapai atau tidaknya aspek pemerataan. Dari data pengeluaran dapat juga diungkapkan tentang pola konsumsi rumah tangga secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan dan non-makanan. 6. Perumahan dan Lingkungan Manusia dan alam lingkungannya baik fisik maupun sosial merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Secara umum, kualitas rumah tinggal menunjukkan tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga, dimana kualitas tersebut ditentukan oleh fisik rumah yang dapat terlihat dari fasilitas yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai fasilitas yang mencerminkan kesejahteraan rumah tangga tersebut diantaranya dapat terlihat dari luas lantai rumah, sumber air minum dan fasilitas tempat buang air besar. Kualitas perumahan yang baik dan penggunaan fasilitas perumahan yang memadai akan memberikan kenyamanan bagi penghuninya.
25
7. Sosial Lainnya Pembahasan mengenai aspek sosial lainnya difokuskan pada kegiatan yang mencerminkan kesejahteraan seseorang. Semakin banyaknya waktu luang untuk melakukan kegiatan yang bersifat sosial maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat, karena waktu yang ada tidak digunakan hanya untuk mencari nafkah. Berbeda dengan BPS, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) lebih melihat dari sisi kesejahteraan dibandingkan dari sisi kemiskinan. Unit survey juga berbeda dimana pada BPS digunakan rumah tangga sedangkan BKKBN menggunakan keluarga. Hal ini sejalan dengan visi dari program Keluarga Berencana (KB) yaitu "Keluarga yang Berkualitas". Untuk menghitung tingkat kesejahteraan, BKKBN melakukan program yang disebut sebagai Pendataan Keluarga. Terdapat empat kelompok data yang dihasilkan oleh Pendataan Keluarga, yaitu: 1. Data demografi, misalnya jumlah jiwa dalam keluarga menurut jenis kelamin. 2. Data keluarga berencana, misalnya Pasangan Usia Subur (PUS), peserta KB. 3. Data tahapan keluarga sejahtera, yaitu jumlah keluarga yang masuk dalam kategori keluarga pra sejahtera (sangat miskin), keluarga sejahtera I (miskin), keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III, dan keluarga sejahtera III plus 4. Data individu, seperti nomor indentitas keluarga, nama, alamat, dll. Pra Sejahtera (sangat miskin) diartikan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan
26
pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan. Sejahtera tahap I (miskin) diartikan sebagai keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan dasarnya tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya. Yang dimaksud kebutuhan sosial psikologis adalah kebutuhan akan pendidikan, keluarga berencana, interaksi dalam keluarga, interaksi dalam lingkungan tempat tinggal dan transportasi. Berikut adalah indikator yang digunakan BKKBN dalam pentahapan keluarga sejahtera: 1. Keluarga Pra Sejahtera (Sangat Miskin) yaitu belum dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi: a. Indikator Ekonomi seperti makan dua kali atau lebih sehari, memiliki pakaian yang berbeda untuk aktivitas (misalnya di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian), bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah. b. Indikator Non-Ekonomi seperti melaksanakan ibadah, bila anak sakit dibawa ke sarana kesehatan. 2. Keluarga Sejahtera I (Miskin) adalah keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator meliputi: a. Indikator Ekonomi seperti paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging atau ikan atau telor, setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru, luas lantai rumah paling kurang 8 m persegi untuk tiap penghuni b. Indikator Non-Ekonomi seperti ibadah teratur, sehat tiga bulan terakhir, punya penghasilan tetap, usia 10-60 tahun dapat baca tulis huruf latin, usia 6-15 tahun bersekolah, anak lebih dari 2 orang, ber-KB.
27
3. Keluarga Sejahtera II adalah keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator meliputi memiliki tabungan keluarga, makan bersama sambil berkomunikasi, mengikuti kegiatan masyarakat, rekreasi bersama (6 bulan sekali), meningkatkan pengetahuan agama, memperoleh berita dari surat kabar, radio, TV, dan majalah, menggunakan sarana transportasi 4. Keluarga Sejahtera III yaitu sudah dapat memenuhi beberapa indikator, meliputi memiliki tabungan keluarga, makan bersama sambil berkomunikasi, mengikuti
kegiatan
masyarakat,
rekreasi
bersama
(6
bulan
sekali,
meningkatkan pengetahuan agama, memperoleh berita dari surat kabar, radio, TV, dan majalah, menggunakan sarana transportasi. Belum dapat memenuhi beberapa indikator, yaitu: aktif memberikan sumbangan material secara teratur, aktif sebagai pengurus organisasi kemasyarakatan. 5. Keluarga Sejahtera III Plus yaitu sudah dapat memenuhi beberapa indikator yaitu aktif memberikan sumbangan material secara teratur dan aktif sebagai pengurus organisasi kemasyarakatan.
2.7
Kerangka Pemikiran Dalam konteks perusahaan perkebunan, jenis kelamin, umur, pendidikan
dan lamanya seorang bekerja diduga memiliki hubungan dengan kondisi kerja karyawan yaitu dalam golongan karir, pendapatan, perolehan jaminan kerja dan jaminan untuk keluarga. Namun, jenis kelamin diduga merupakan prinsip pembeda utama yang berhubungan dengan kondisi kerja karyawan.
28
Diduga terdapat ketidakadilan gender dalam kondisi kerja karyawan perkebunan. Ketidakadilan gender adalah pemberian perlakuan yang berbeda kepada laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, sebagian besar kasus ketidakadilan gender menimpa perempuan. Itulah sebabnya masalah-masalah yang berkaitan dengan gender sering diidentikkan dengan masalah perempuan (de Vries, 2006). Perempuan diduga diposisikan pada pekerjaan yang dianggap mudah, golongan karir yang rendah dan sulit meningkat sehingga boleh diupah rendah dan tidak diberikan jaminan kerja dan jaminan keluarga seperti laki-laki. Sesungguhnya bekerja baik bagi laki-laki maupun perempuan adalah suatu hal yang sangat penting. Kondisi kerja di perkebunan (golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga) di duga berhubungan dengan kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan keluarga ini dapat dilihat dari kesehatan keluarga, pendidikan anggota keluarga, pola konsumsi keluarga, dan perumahan. Hubungan antar variabel dapat dilihat dalam gambar kerangka pemikiran berikut ini: Pendidikan
Jenis Kelamin
Umur
Lama Bekerja
• • • •
Kondisi Kerja Golongan Karir Pendapatan Jaminan Kerja Jaminan Keluarga
Keterangan: : berhubungan Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Kesejahteraan Keluarga • Kesehatan • Pendidikan • Pola konsumsi • Perumahan
29
2.8
Hipotesis Berdasarkan kerangkan pemikiran tersebut, dapat diajukan beberapa
hipotesa sebagai berikut: 1. Jenis kelamin diduga merupakan prinsip pembeda utama yang memiliki hubungan dengan kondisi kerja karyawan perkebunan. 2. Pendidikan diduga berhubungan dengan kondisi kerja karyawan perkebunan. 3. Umur diduga berhubungan dengan kondisi kerja karyawan perkebunan. 4. Lama bekerja diduga berhubungan dengan kondisi kerja karyawan perkebunan. 5. Kondisi kerja di perkebunan (golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga) diduga berhubungan dengan kesejahteraan keluarga (kesehatan keluarga, pendidikan anggota keluarga, pola konsumsi keluarga, dan perumahan).
2.9
Definisi Operasional Untuk menjelaskan sesuatu yang absrak seperti konsep/variabel menjadi
konkrit untuk dapat diukur, maka dibuatlah definisi operasional sebagai berikut: 1. Jenis kelamin adalah identitas biologis karyawan. Jenis kelamin dibagi menjadi dua kategori yaitu: 1. laki-laki 2. perempuan. 2. Umur adalah lamanya hidup karyawan yang diukur berdasarkan usia. Umur menentukan kondisi kerja karyawan perkebunan. Umur digolongkan menjadi
30
dua ketegori. Kategori tersebut ditentukan berdasarkan rata-rata umur karyawan yang diketahui dari hasil penelitian di lapangan (emik). Pengukuran: 1. ≤ 45 tahun = skor 2 = muda 2. > 45 tahun = skor 1 = tua 3. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah dilakukan karyawan. Pengukuran: 1. Tidak lulus SD 2. Lulus SD 4. Lama bekerja adalah sejumlah waktu kerja karyawan di perkebunan mulai dari awal bekerja sampai saat ini. Lama bekerja menentukan kondisi kerja karyawan perkebunan. Lama bekerja digolongkan menjadi dua ketegori. Kategori tersebut ditentukan berdasarkan rata-rata lama bekerja karyawan yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan (emik). Pengukuran: 1. ≤ 25 tahun = skor 1 = kurang lama 2. > 25 tahun = skor 2 = lama 5. Kondisi kerja adalah perlakuan perusahaan terhadap karyawan yang meliputi golongan karir, pengupahan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga. Kondisi kerja mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga Pengukuran:
31
a) Golongan karir adalah pembedaan karyawan yang dilihat dari tingkatan karir karyawan di perusahaan. Golongan karir merupakan variabel untuk melihat kondisi kerja karyawan. 1. IA/14 = skor 1 = rendah 2. > IA/14 = skor 2 = tinggi b) Pendapatan adalah tingkatan jumlah uang yang diterima oleh karyawan sebagai imbalan atas pekerjaan utama yang dilakukan. Ukuran pengupahan
ditentukan berdasarkan upah rata-rata karyawan yang
diperoleh dari hasil penelitian di lapangan yaitu upah minimum perusahaan adalah Rp. 820.000. Pengupahan merupakan variabel untuk melihat kondisi kerja karyawan. 1. ≤ upah rata-rata buruh = skor 1 = rendah 2. > upah rata-rata buruh = skor 2 = tinggi c) Jaminan kerja adalah banyaknya jaminan kesehatan, jaminan keselamatan dan fasilitas yang diterima oleh karyawan dari perusahaan perkebunan. Jaminan kerja merupakan variabel untuk melihat kondisi kerja karyawan. Pengukuran: Jaminan kesehatan: •
Memperoleh libur/cuti jika sakit, menstruasi, dan melahirkan
•
Memperoleh biaya penggantian bila sakit
•
Memperoleh biaya pengobatan rawat jalan bila sakit
•
Memperoleh biaya pengobatan rawat inap bila sakit
•
Memperoleh asuransi kesehatan penduduk miskin
32
•
Memperoleh hak beristirahat
•
Memperoleh hak beribadah
Jaminan keselamatan dan fasilitas: •
Asuransi keselamatan kerja
•
Kompensasi apabila cacat akibat kecelakaan kerja
•
Fasilitas kerja dan keselamatan kerja (sepatu, topi/penepis panas, karung) 1. Ya ≤ 5 = skor 1 = kurang baik 2. Ya >5 = skor 2 = baik
d) Jaminan keluarga adalah jaminan dan fasilitias kesejahteraan untuk keluarga yang diterima oleh karyawan dari pekerjaan yang dilakukan di perkebunan. Jaminan keluarga merupakan variabel untuk melihat kondisi kerja karyawan. Pengukuran: •
Memperoleh THR
•
Memperoleh santunan menikah
•
Memperoleh santunan melahirkan
•
Memperoleh santunan anggota keluarga sakit
•
Memperoleh santunan anak khitan/sunatan
•
Memperoleh santunan pendidikan anak
•
Memperoleh santunan keluarga meninggal dunia
•
Memperoleh rumah/tempat tinggal
33
•
Memperoleh pinjaman/hutang
•
Memperoleh sembako bulanan
•
Memperoleh dana pensiun
•
Memperoleh pesangon bila di-PHK 1. Ya ≤ 6 = skor = Kurang baik 2. Ya > 6 = skor 2 = Baik
Pengukuran kondisi kerja: 1. Skor ≤ 4 = Kurang baik 2. Skor > 4 = Baik 6. Jumlah anak dalam keluarga adalah banyaknya anak dalam keluarga yang menjadi tanggungan karyawan. Jumlah anak dalam keluarga mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga karyawan. Pengukuran: 1. < 2
= skor 1 = sedikit
2. ≥ 2
= skor 2 = banyak
7. Kesehatan keluarga adalah status kesehatan dan taraf gizi yang antara lain diukur melalui angka kondisi sakit, jenis pengobatan yang dilakukan, frekuensi makan dan jenis makanan yang dikonsumsi keluarga. Kesehatan merupakan variabel untuk melihat kesejahteraan keluarga. Pengukuran: a) Angka kondisi sakit merupakan variabel untuk melihat status kesehatan keluarga karyawan di perkebunan. Angka kondisi sakit dilihat dari
34
frekuensi seringnya sakit karyawan atau keluarganya dalam satu tahun. Angka kondisi sakit digolongkan menjadi dua yaitu: 1. > 2 kali
= skor 1 = rendah
2. ≤ 2 kali
= skor 2 = tinggi
b) Jenis pengobatan merupakan variabel untuk melihat status kesehatan keluarga karyawan di perkebunan. Jenis pengobatan dilihat dari apa yang dilakukan oleh karyawan dan keluarganya ketika terdapat anggota keluarganya yang sakit. Jenis pengobatan digolongkan sebagai berikut: 1. Berobat non medis (warung, dukun/pengobatan alternatif) = skor 1 2. Berobat medis (Puskesmas, Dokter,) = skor 2 c) Frekuensi makan merupakan variabel untuk melihat taraf gizi pada keluarga karyawan perkebunan. Frekuensi makan dilihat dari seberapa sering karyawan dan keluarganya makan dalam satu hari. Frekuensi makan digolongkan menjadi dua: 1. ≤ 2 kali = skor 1 2. > 2 Kali = skor 2 d) Jenis makanan merupakan variabel untuk melihat taraf gizi pada keluarga karyawan perkebunan. Jenis makanan dilihat dari seberapa banyak macam makanan yang dikonsumsi buruh dan keluarganya dalam satu hari. Janis makanan digolongkan menjadi dua kategori: 1. Makanan yang dikonsumsi kurang atau telah mencukupi makanan yang mengadung karbohidrat dan protein = skor 1
35
2. Makanan yang dikonsumsi melebihi makanan
yang mengadung
karbohidrat dan protein = skor 2 Pengukuran kesehatan keluarga: 1. ≤ 4 = skor 1 = Kurang baik 2. > 4 = skor 2 = baik 8. Pendidikan keluarga adalah banyaknya jumlah anggota keluarga karyawan yang Drop Out atau tidak melanjutkan. Pendidikan keluarga digolongkan sebagai berikut: 1. ≥ 1 orang = skor 1 = banyak 2. < 1 orang = skor 2 sedikit Semakin sedikit jumlah anggota keluarga buruh yang drop out maka semakin sejahtera keluarga buruh. 9. Pola konsumsi adalah tingkat pengalokasian uang dalam keluarga untuk kebutuhan akan konsumsi makanan dibandingkan dengan konsumsi nonmakanan. Pola konsumsi merupakan variabel untuk melihat kesejahteraan keluarga. Pola konsumsi digolongkan sebagai berikut: 1. Konsumsi makanan ≥ konsumsi non makanan = skor 1 = rendah 2. Konsumsi makanan < konsumsi non makanan = skor 2 = tinggi Semakin tinggi tingkat konsumsi makanan dibandingkan konsumsi non makanan, maka semakin rendah tingkat kesejahteraan keluarga. 10. Perumahan adalah tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan yang menunjukkan tingkat kesejahteraan keluarga. Hal dapat terlihat dari status rumah, keadaan rumah, keadaan MCK, alat penerangan, fasilitas komunikasi.
36
Pengukuran: a) Status rumah adalah hak atas kepemilikan rumah bagi keluarga karyawan. Status rumah merupakan salah satu variabel untuk melihat tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan. 1. Bukan milik pribadi = skor 1 2. Milik pribadi
= skor 2
b) Keadaan rumah adalah kondisi bangunan rumah atau tempat tinggal keluarga karyawan. Keadaan rumah merupakan salah satu variabel untuk melihat tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan. 1. < semi permanen = skor 1 2. ≥ semi permanen = skor 2 c) Keadaan MCK adalah kondisi MCK yang dimiliki dalam rumah tangga. Kondisi MCK merupakan salah satu variabel untuk melihat tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan. 1.
Tidak ada MCK = skor 1
2.
Ada MCK = skor 2
d) Alat penerangan adalah jenis penerangan yang dipakai oleh keluarga karyawan. Alat penerangan merupakan salah satu variabel untuk melihat tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan. Alat penerangan dibagi menjadi dua katagori: 1. Listrik ≤ 450 Watt = skor 1 2. Listrik > 450 Watt = skor 2
37
•
Fasilitas komunikasi adalah kepemilikan alat komunikasi dalam sebuah rumah tangga. Fasilitas komunikasi merupaka variabel untuk melihat tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan. Fasilitas komunikasi dibagi menjadi dua katagori : i. Tidak menggunakan telepon/HP = skor 1 ii. Menggunakan telepon/HP
= skor 2
Pengukuran perumahan: 1. skor ≤ 5 = Kurang baik 2. skor > 5 Baik 11. Kesejahteraan keluarga karyawan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan keluarga yang membuat sebuah keluarga merasa aman dan bahagia. kesejahteraan keluarga karyawan dapat dilihat dari kesehatan, pendidikan anggota keluarga, pola konsumsi keluarga, dan perumahan. Pengukuran: 1. skor ≤ 4 = Kurang terpenuhi 2. skor > 4 = Terpenuhi