AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI TERHADAP PENCATATAN PERJANJIAN PERKAWINAN ANTARA WARGA NEGARA INDONESIA DAN WARGA NEGARA ASING PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 585 K/Pdt/2012) Dwi Noryani Christina Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424 Email :
[email protected]
Abstrak Dalam suatu perkawinan suami istri dapat membuat suatu perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan ini harus dibuat dalam bentuk tertulis dan selanjutnya disahkan pada pegawai pencatat perkawinan. Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami istri ini ada yang dicatatkan pada pengadilan negeri bukan pada pegawai pencatat perkawinan. Permasalahan yang dikemukakan pada skripsi ini bagaimana keberlakuan perjanjian perkawinan yang didaftarkan kepada pengadilan negeri setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah tipe penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap hukum tertulis atau kepustakaan. Pokok hasil dari penelitian dalam skripsi ini adalah bahwa perjanjian perkawinan yang dicatatkan pada pengadilan negeri setelah berlakunya UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 tetap berlaku bagi kedua belah pihak yang membuat perjanian perkawinan tersebut namun bagi pihak ketiga perjanjian perkawinan tersebut tidak berlaku dan tidak dapat mengikat pihak ketiga. Kata Kunci : Perkawinan; Pegawai Pencatat Perkawinan; Pengadilan Negeri; Perjanjian Perkawinan.
LAW EFFECT OF DISTRICT COURT INCONSISTENCIES TO REGISTERY MARRIAGE AGREEMENT BETWEEN INDONESIAN CITIZEN AND FOREIGN CIITIZEN AFTER ACT NO. 1 YEAR 1974 (CASE STUDY: SUPREME COURT JUDGEMENT NO. 585 K/ Pdt/2012) Abstract In a marriage husband and wife can make a marriage agreement. Marriage agreement must be made in written form and subsequently registered by marriage officer. There are marriage agreement that made by husband and wife that registered on district court but not registered by marriage officer. The main issue in this thesis is what is the law effect of Marriage Agreement Registered on District Court After Act No. 1 year 1974 about Marriage. The research method used in this thesis is a juridical normative research, namely study of written law and literature. The result of this research are the marriage agreement that registered on district court have a legal concequences to husband and wife who made the marriage agreement but the marriage agreement do not have any legal consequences to third party. Keyword : district court; marriage; marriage agreement; marriage officer.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
Pendahuluan Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Begitulah pengertian perkawinan menurut UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan menurut hukum perdata yang tercantum didalam pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Perkawinan merupakan peristiwa yang sakral dalam hidup seseorang dan merupakan kebutuhan biologis setiap orang. Tujuan umum dari perkawinan itu sendiri, yakni: (1) memperoleh ketenangan hidup ( k
h , yang penuh cinta (mawaddah,), dan kasih sayang
(rahmah), sebagai tujuan pokok dan utama, (2) tujuan reproduksi/regenerasi, (3) pemenuhan kebutuhan biologis, (4) menjaga kehormatan, (5) dan ibadah. Semua tujuan perkawinan tersebut adalah tujuan yang menyatu dan terpadu (integral dan induktif). Artinya, semua tujuan tersebut harus diletakkan menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling berkaitan.1 Menurut Hukum Islam, nikah adalah suatu akad yaitu akad yang menghalalkan pergaulan (hubungan suami isteri) dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara laki-laki dan seorang perempuan yang dua-duanya bukan muhrim, artinya apabila seorang pria dan seorang perempuan bersepakat diantara mereka untuk membentuk suatu rumah tangga, maka hendaknya kedua calon suami istri tersebut terlebih dahulu melakukan akad nikah2. Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus juga merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan3. Perkawinan bisa menimbulkan akibat hukum terhadap suami dan istri yaitu akibat hukum terhadap suami dan istri, akibat hukum terhadap harta kekayaan dan akibat hukum terhadap anak. Salah satu akibat perkawinan adalah akibat hukum terhadap harta kekayaan dimana terdapat percampuran harta. Di dalam pasal 119 ayat 1 KUHPerdata ditetapkan bahwa “sejak saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara kekayaan 1
Khoiruddin Nasution, ISLAM tentang Relasi Suami dan Istri (Hukun Perkawinan I), cet. 1, (Yogyakarta: ACAdemia dan Tazzafa, 2004), hlm. 47. 2
Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, (Jakarta: Hidakarya Agung,1981), hlm. 11. 3
H. Hilman, Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hlm. 8.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
suami-istri”4. Dari kata-kata demi hukum berlakulah persatuan bulat harta kekayaan dapat disimpulkan bahwa mereka tidak perlu mengadakan perbuatan tertentu atau memenuhi formalitas tertentu selain daripada mereka menikah dengan sah dan tidak perlu ada penyerahan. Pasal 120, 121, dan 122 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur mengenai luasnya persatuan harta kekayaan, yaitu meliputi semua aktiva dan pasiva baik yang diperoleh suami isteri itu sebelum maupun selama perkawinannya termasuk modal, bunga, bahkan juga hutang yang diakibatkan oleh suatu perbuatan melawan hukum.5 Percampuran harta ini memiliki pengaruh terhadap pihak ketiga sebagai kreditur. Percampuran harta ini dapat disimpangi dengan membuat perjanjian perkawinan. Pada prinsipnya pengertian perjanjian perkawinan itu sama dengan perjanjian pada umumnya yaitu suatu perjanjian antara dua orang calon suami istri untuk mengatur harta kekayaan pribadi masing-masing yang dibuat menjelang perkawinan serta disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Umumnya perjanjian perkawinan ini dibuat apabila salah satu pihak memiliki jumlah harta kekayaan yang lebih besar dari pada pihak yang lainnya. Perjanjian perkawinan itu harus dibuat secara tertulis atas persetujuan kedua belah pihak yang disahkan Pegawai Pencatat Perkawinan. Apabila telah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, maka isinya mengikat para pihak dan juga pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut. Perjanjian perkawinan itu dimulai berlaku sejak perkawinan berlangsung dan tidak boleh dirubah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak dengan syarat tidak merugikan pihak ketiga yang tersangkut. Para pihak dalam perkawinan sebenarnya bebas menentukan bentuk hukum yang dikehendaki atas harta kekayaan yang mereka miliki. Mereka bisa saja menentukan bahwa dalam perjanjian perkawinan mereka tidak akan terdapat persatuan harta kekayaan atau ada harta kekayaan yang terbatas.6 Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dikenal mengenai perjanjian perkawinan yang diatur didalam pasal 29. Menurut Undang-Undang ini perjanjian perkawinan harus diadakan sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. 7 Perjanjian
4
J.Satrio, Hukum Harta Perkawinan, cet 1, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.1991), hlm. 38.
5
Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Keluarga dan Orang, cet. 5, (Bandung : Percetakan Offset Alumni,1986), hlm. 58. 6
Ibid., hlm 76.
7
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan UndangUndang Perkawinan, cet. 1, (Jakarata: Kencana, 2006), hlm. 145a.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
Perkawinan menurut KUHPerdata diatur dalam buku I Bab VII tentang perjanjian perkawinan pada pasal 139 dan pasal 140 yang berbunyi : “Dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan dibawah ini Perjanjian yang demikian tak boleh mengurangi segala hak yang disandarkan pada kekuasaan si suami sebagai suami, dan pada kekuasaan orang tua, pun tak boleh mengurangi hak-hak yang diberikan undang-undang kepada si yang hidup terlama diantara suami dan istri” Istilah perjanjian perkawinan dalam hukum Islam tidak ada, yang ada dalam literatur fiqh ditemukan bahasan dengan maksud yang sama yakni “ijab kabul yang disertai dengan syarat” atau “persyaratan dalam perkawinan”. Bahasan tentang syarat dalam perkawinan tidak sama dengan syarat perkawinan yang ada dalam kitab-kitab fiqh karena yang dibahas dalam syarat perkawinan itu adalah syarat-syarat untuk sahnya suatu perkawinan. Pada Kompilasi Hukum Islam mengenai perjanjian perkawinan diatur pada bab VII pasal 45 sampai 52 tentang perjanjian perkawinan. Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa “Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk 8: 1. Ta’lik talak 2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam Pada dasarnya perjanjian perkawinan diadakan untuk menyimpangi ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur kekayaan pribadi masing-masing suami dan istri menjadi satu kesatuan yang bulat. Perjanjian Perkawinan ini memiliki beberapa manfaat. Manfaat perjanjian perkawinan bagi kehidupan masing-masing suami istri antara lain adalah kebebasan bertindak dalam hal pemberian bantuan kepada rekan-rekan dan saudara, penegakan rasa keadilan apabila penghasilan pihak tertentu lebih besar dari pada pihak yang lain, peningkatan kualitas kerja dimana pada saat terjadi pemisahan harta masing-masing pihak akan berusaha lebih giat sebab apabila terjadi perceraian masing-masing pihak tidak dapat menikmati harta kekayaan pihak 8
Damanhuri HR, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, cet. 1, (Bandung,2007),
hlm 11.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
yang lain, serta peningkatan taraf ekonomi negara dimana para istri tidak bergantung pada suami dan berusaha untuk menghidupi dirinya sendiri apabila terjadi perceraian. Manfaat lain dari perjanjian perkawinan adalah dalam hal penyelesaian kasus perkawinan pada lembaga peradilan9. Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, Perjanjian perkawinan harus dibuat secara tertulis dan harus disahkan didepan Pegawai Pencatat Perkawinan. Perjanjian perkawinan yang telah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan berlaku mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi pihak calon suami istri, pihak ketiga, dan pihak yang tersangkut. Menurut KUHPerdata Perjanjian Perkawinan dibuat dalam bentuk tertulis yang dalam hal ini dibentuk dengan akta notaris dan dicatatkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa segala ketentuan yang ada sebelum Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang ini. Berdasarkan pasal diatas maka seharusnya ketentuan yang berlaku adalah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dimana Perjanjian Perkawinan dicatatkan pada Pegawai Pencatat Perkawinan dan ketentuan dalam KUHPerdata dianggap tidak berlaku. Namun pada kenyataannya ada masyarakat yang masih mencatatkan perjanjian perkawinan yang mereka buat kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Salah satunya adalah pasangan suami istri dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 585 K/Pdt/2012 dimana pihak suami adalah Warga Negara Asing dan pihak istri adalah Warga Negara Indonesia. Sebelum melangsungkan perkawinan mereka membuat perjanjian perkawinan dan kemudian pihak istri mencatatkan perjanjian perkawinan tersebut kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, perjanjian perkawinan baru memiliki kekuatan hukum mengikat apabila telah dicatatkan di Pegawai Pencatat Perkawinan. Namun dalam kasus pada putusan Mahkamah Agung No. 585 K/Pdt/2012 perjanjian perkawinan tersebut tidak dicatatkan di Pegawai Pencatat Perkawinan namun dicatatkan di Pengadilan Negeri. Pihak suami mengajukan pembatalan perjanjian perkawinan sebab merasa perjanjian perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun Hakim menolak permintaan pihak suami dan menganggap perjanjian perkawinan tersebut sah berdasarkan asas Pacta Sunt Servanda dimana perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 perjanjian perkawinan 9
Ibid., hlm. 48.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Perlu diteliti lebih lanjut apakah Perjanjian Perkawinan yang dicatatkan pada Pengadilan Negeri pasca berlakunya UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 ini tetap berlaku atau tidak. Kemudian perlu juga diteliti apabila perjanjian perkawinan tersebut tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Perkawinan apa dampak hukumnya bagi suami dan istri terhadap pencatatan perjanjian perkawinan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Perlu juga dianalisis mengenai pertimbangan hakim pada putusan tersebut. Oleh karena itu untuk menjawab berbagai permasalahan yang ada penulis akan membahas dibahas lebih lanjut dalam bab-bab selanjutnya. Tinjauan Teoritis Untuk menghindari adanya kesalahpahaman atas berbagai istilah yang digunakan dalam penelitian, maka penulis akan memberikan definisi istilah-istilah yang di pakai dalam tulisan ini, antara lain: 1. Perkawinan Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa10 2. Perkawinan Campuran Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia11. 3. Perjanjian Perkawinan Perjanjian Perkawinan adalah suatu perjanjian antara dua orang calon suami istri untuk mengatur harta kekayaan pribadi masing-masing yang dibuat menjelang perkawinan serta disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. 4.Harta Bersama Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh sepanjang perkawinan di luar hadiah atau warisan12. 10
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, ps. 1.
11
Ibid., ps. 57.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
5. Harta Bawaan Harta bawaan adalah harta yang dibawa masuk ke dalam suatu perkawinan. Penguasaannya tetap pada masing– masing suami istri yang membawanya ke dalam perkawinan, sepanjang pihak tidak menentukan lain. 6. Warga Negara Penduduk sebuah negara atau bangsa berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan sebagainya yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga dari negara itu13. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap hukum tertulis atau kepustakaan. Penggunaan metode penelitian ini untuk menjawab permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini berdasarkan atas asas-asas hukum yang ada, dan hukum positif yang mengatur permasalahan dalam penelitian ini serta beberapa teori-teori pendukung lainnya. Dalam penelitian terhadap akibat hukum inkonsistensi Pengadilan Negeri terhadap pencatatan perjanjian perkawinan antara Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini lebih ditekankan pada pendekatan secara normatif, dimana penulis lebih ingin menggambarkan mengenai kejelasan dampak tidak dicatatkannya perjanjian perkawinan terhadap harta kekayaan dalam perkawinan. Dengan adanya pemahaman terhadap hal tersebut, penulis berusaha untuk memberikan jawaban mengenai pengaturannya yang terdapat dalam hukum Indonesia, khususnya dari KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dilihat dari sifatnya tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.14 Dimana penelitian ini memberikan gambaran dan penjelasan awal yang berkaitan dengan akibat hukum tidak dicatatkannya perjanjian
12 13
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet. 5, (Jakarta: UI Pres,1986), hlm. 89. Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/warga+negara di akses pada 24 September 2014.
14
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3 (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press),1986), hlm. 10.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
perkawinan. Dilihat dari bentuknya penelitian ini merupakan penelitian preskriptif dimana penelitian ini ditujukan untuk mendapat saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu.15 Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder yang meliputi buku-buku, skripsi, artikel dan dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah.16 Bahan hukum penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu; a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,17 selain itu merupakan bahan hukum yang mempunyai otoritas. yang terdiri dari: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 3. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 585 k/Pdt/2012 b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.18 Bahan hukum sekunder yang terdapat di penelitian ini antara lain, buku, skripsi, tesis, makalah, dan laporan penelitian. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder,19 Alat pengumpulan data yang akan dipergunakan yaitu studi dokumen atau bahan pustaka dan studi lapangan melalui wawancara. Wawancara dalam pengumpulan data disini sebagai penujang analisis yang akan dibuat oleh penulis. Dalam studi dokumen maka sudah dapat dipastikan bahwa data-data yang dibutuhkan adalah dokumen (hasil putusan). Studi
15
Ibid.,
16
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, ed.1, cet 10, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.24. 17
Sri Mamudji, et al.,Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm.30. 18
Ibid., hlm. 31.
19
Soekanto, Op.Cit., hlm. 16.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
dokumen atau bahan pustaka berfungsi untuk memberikan fakta-fakta yang secara tidak langsung memberikan suatu pemahaman atas permasalahan yang sedang kita teliti. Dengan demikian, diharapkan bahwa dengan penggunaan studi dokumen atau bahan pustaka dan wawancara ini, dapat memberikan fakta-fakta dan pemahaman yang lebih jelas mengenai permasalahan yang sedang diteliti. Metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif, karena data yang digunakan adalah data sekunder. Pada penelitian hukum normatif menelaah data sekunder, biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya20.Dalam penelitian ini pun diterapkan analisis data yang demikian demi mendapatkan data yang akurat terhadap permasalahan dalam penelitian ini. Dalam menganalisa data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang keadaan atau gejala-gejala lainnya21. Di sini penulis menganalisis putusan tentang perjanjian perkawinan yang tidak dicatatkan dimana nantinya penulis akan mendapatkan beberapa penegasan dari beberapa pertimbangan hakim dalam memutuskan putusan tersebut yang diharapkan bisa memunculkan sebuah gagasan baru terkait akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak dicatatkan. Hasil Penelitian Pengesahan perjanjian perkawinan melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri ini memang diatur dalam pasal 152 KUHPerdata dimana setelah perjanjian perkawinan mereka dituangkan dalam akta notaris perjanjian perkawinan tersebut dibukukan dalam suatu daftar tertentu pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Namun semenjak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan berdasarkan Pasal 66 segala ketentuan yang ada sebelum Undang-Undang ini tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang ini. Oleh karena itu karena karena pencatatan perjanjian perkawinan telah diatur dalam UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 maka ketentuan mengenai pendaftaran perjanjian perkawinan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri tidak berlaku. Namun ketidakberlakuannya ini tidak multak sebab berdasarkan Staatblad 1917 Nomor 129 golongan Tionghoa masih menggunakan ketentuan yang ada di dalam KUHPerdata. Berdasarkan pengaturan diatas 20
Ibid., hlm. 69.
21
Ibid., hlm 50.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
maka seharusnya perjanjian perkawinan yang dibuat oleh Penggugat dan Tergugat disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang dalam hal ini adalah Kantor Catatan Sipil bagi perkawinan mereka dan bukan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri seperti yang dilakukan Tergugat mengingat mereka bukan merupakan golongan Tionghoa. Dalam kasus ini hakim menolak untuk membatalkan perjanjian perkawinan yang dibuat oleh Penggugat dan Tergugat. Salah satu pertimbangan hakim adalah “bahwa setelah memperhatikan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pada Pasal 12 huruf h Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tersebut di atas maupun dalam penjelasannya tidak ada secara implisit menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan yang tidak dimuat dalam Akta Perkawinan adalah batal demi hukum atau dapat dibatalkan”, mengenai pertimbangan hakim diatas memang secara impilisit dalam ketentuan Pasal 29 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dan pada Pasal 12 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tersebut di atas maupun dalam penjelasannya tidak ada secara implisit menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan yang tidak dimuat dalam Akta Perkawinan adalah batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Pasal tersebut hanya menyatakan bahwa perjanjian perkawinan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Oleh karena itu jika dilihat dari syarat sahnya perjanjian yang ada dalam pasal 1320 KUHPerdata yaitu sepakat mereka yang mengikatkan diri, cakap untuk membuat suatu perjanjian, mengenai suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Syarat yang pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian. Dalam hal syarat subjektif ini tidak terpenuhi maka suatu perjanjian dapat dibatalkan. Syarat yang ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan. Apabila syarat objektif ini tidak terpenuhi maka suatu perjanjian batal demi hukum. Dalam kasus ini perjanjian yang dibuat oleh Penggugat dan Tergugat memenuhi keempat syarat diatas sehingga tidak ada alasan untuk membatalkan perjanjian tersebut. Pertama mereka telah sepakat mengadakan perjanjian perkawinan dengan membuat perjanjian perkawinan dihadapan Notaris, kedua mereka telah cakap melakukan perjanjian, ketiga perjanjian yang mereka buat mengenai hal tertentu yaitu perjanjian perkawinan, dan yang keempat yang mereka perjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, hukum, dan kesusilaan. Perkawinan tersebut hanya dapat dibatalkan apabila syarat subjektifnya tidak terpenuhi dan batal demi hukum apabila syarat objektifnya tidak terpenuhi. Mengenai pertimbangan Mahkamah Agung “Pencatatan perjanjian perkawinan pada Pegawai Pencatat Perkawinan hanya terkait soal administrasi dan pembuktian adanya perjanjian perkawinan bagi pihak ketiga, sedangkan untuk kedua belah pihak berlaku azas
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
Pacta Sunt Servanda, berdasarkan ketentuan pada Pasal 1338 KUHPerdata semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya atau dikenal dengan istilah Pacta Sunt Servanda. Sehingga perjanjian perkawinan yang dibuat oleh Penggugat dan Tergugat tetap mengikat kedua belah pihak dan tidak dapat dimintakan pembatalan. Pada perjanjian umum, berdasarkan pasal 1340 KUHPerdata perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang membuat perjanjian tersebut tanpa dapat menimbulkan kerugian maupun manfaat bagi pihak ketiga. Namun dalam perjanjian perkawinan dapat juga berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut sebagaimana yang diatur dalam pasal 152 KUHPerdata dan Pasal 29 ayat (1). Perlu diingat kembali bahwa berdasarkan ketentuan pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata dinyatakan tidak berlaku selama telah diatur dalam Undang-Undang ini. Oleh karena itu syarat berlakunya perjanjian perkawinan bagi pihak ketiga adalah setelah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan dalam pasal ini menghapuskan syarat berlakunya perjanjian perkawinan bagi pihak ketiga yang tercantum dalam pasal 152 KUHPerdata. Menurut pasal 67 pelaksanaan UndangUndang ini secara efektif diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dalam hal ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam peraturan pemerintah ini tidak ada pasal khusus yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan. Pengaturan mengenai perjanjian perkawinan ini disinggung dalam pasal 12 huruf (h) yang menyatakan bahwa akta perkawinan memuat perjanjian perkawinan apabila ada. Kemudian pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa akta perkawinan tersebut disiapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dimana dalam hal ini Kantor Catatam Sipil untuk yang beragama selain Islam dan Kantor Urusan Agama (KUA) untuk yang beragam Islam. Berdasarkan penjabaran diatas maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 juncto Pasal 12 huruf (h) juncto pasal 11 ayat (1) juncto pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 pengesahan perjanjanjian perkawinan harus dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan agar dapat mengikat pihak ketiga tanpa perlu didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 152 KUHPerdata mengatakan bahwa perjanjian perkawinan berlaku terhadap pihak ketiga sejak didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Tidak didaftarkanya perjanjian perkawinan mengakibatkan
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
apabila misalnya suami atau istri melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga maka pihak ketiga dapat menganggap bahwa dalam perkawinan mereka tidak ada pemisahan harta. Namun hal ini tidak mutlak sebab jika pihak ketiga mengetahui bahwa dalam perkawinan itu suami istri memiliki perjanjian perkawinan maka ia tidak boleh menganggap bahwa perkawinan tersebut berlangsung dengan persatuan harta. Jadi apabila pihak ketiga tidak mengetahui bahwa ada perjanjian kawin namun tidak didaftarkan maka barulah pihak ketiga dapat menganggap bahwa dalam perkawinan suami istri tersebut terdapat persatuan harta. Oleh karena itu pendaftaran bukan merupakan kewajiban mutlak akan tetapi pendaftaran itu memberikan kesempatan kepada suami istri untuk mengikat pihak ketiga terhadap apa yang didaftarkan itu dan melindungi pihak ketiga dari sesuatu yang tidak benar. 22 Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 sendiri, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa berdasarkan ketentuan pasal 29 ayat (1), dapat disimpulkan untuk sahnya sebuah perjanjian perkawinan maka perjanjian tersebut harus didaftarkan untuk minta disahkan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan dan jika tidak didaftarkan maka dengan sendirinya akan mempunyai konsekuensi atau akibat hukumnya tersendiri. Akibat hukum apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan pada Pegawai Pencatat Perkawinan dapat dibagi menjadi dua yaitu : 1. Akibat hukum bagi para pihak Berdasarkan asas Pacta Sunt Servanda yang terdapat pada Pasal 1338 KUHPerdata dan sesuai dengan asas lahirnya perjanjian yaitu asas konsensualisme yang mengatakan bahwa perjanjian lahir sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak, maka dengan sendirinya perjanjian perkawinan mengikat pihak yang membuatnya saat keduanya sepakat tentang perjanjian perkawinan yang dibuat, baik di daftarkan maupun tidak. Oleh karena itu untuk perjanjian perkawinan apabila tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Perkawinan maka tetap berlaku bagi kedua belah pihak yang membuat pejanjian perkawinan tersebut yaitu suami dan/atau istri, karena dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak ada satu pasalpun yang menyatakan bahwa perjanjian perkawinan baru berlaku jika telah didaftarkan atau disahkan. Masa belaku perjanjian perkawinan itu sendiri berdasarkan pasal 147 ayat (1) da ayat (2) KUHperdata serta pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan syatu perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan tersebut dilangsungkan dan menjadi gugur apabila perkawinan tidak dilangsungkan. Jadi baik didaftarkan maupun tidak, perjanjian 22
R. Soetojo , Op. Cit., hlm. 82-84.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
perkawinan yang telah dibuat tetap mempunyai akibat hukum yang tetap mengikat bagi suami-istri yang bersepakat membuatnya. dan kedua belah pihak tetap terikat dengan kesepakatan yang terdapat dalam Perjanjian Perkawinan tersebut.
2. Akibat hukum terhadap pihak ketiga Akibat hukum terhadap pihak ketiga apabila Perjanjian Perkawinan tidak di sahkan atau didaftarkan kepada pegawai pencatat perkawinan maka dengan sendirinya Perjanjian Perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. Selama perjanjian perkawinan belum didaftarkan pihak ketiga dapat saja menganggap bahwa perkawinan berlangsung dengan persatuan harta perkawinan secara bersama. Sehingga apabila terjadi persangkutan utang dengan suami dan/atau istri, penyelesaiannya dilakukan dengan melibatkan harta bersama antara harta suami dan/atau harta istri, karena dengan tidak adanya perjanjian perkawinan dengan sendirinya yang ada hanya harta bersama. Akan tetapi anggapan tidak tahunya pihak ketiga tentang adanya perjanjian perkawinan hanya dapat diberikan kepada pihak ketiga yang tidak mengetahui bahwa suami istri telah membuat perjanjian perkawinan namun belum mendaftarkannya. Sedangkan pihak ketiga yang mengetahui bahwa suami istri telah membuat perjanjian perkawinan namun perjanjian perkawinan tersebut belum di daftarkan, maka ia tidak boleh menganggap bahwa perjanjian perkawinan itu tidak ada dan suami istri kawin dengan persatuan harta perkawinan. Terhadap pihak ketiga, apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan maka akibat hukumnya perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. Dalam bidang hukum tanah, dampak hukum tidak dicatatkannya perjanjian perkawinan terhadap perkawinan campuran dapat dilihat di pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, menyatakan bahwa : “Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.”
Berdasarkan ketentuan pasal ini Warga Negara Indonesia yang menikah dengan Warga Negara Asing kehilangan haknya untuk memiliki hak milik atas tanah yang berada di Indonesia sebab dianggap terjadi percampuran harta. Hal ini karena dalam perkawinan secara
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
tidak langsung akan ada percampuran harta antara suami dan istri sehingga secara tidak langsung Warga Negara Asing dapat memiliki hak milik atas tanah Indonesia. Suami dan isteri yang melakukan perkawinan campuran tidak dapat melakukan jual beli dengan menggunakan harta bersama, terutama untuk Hak Milik dan HGB. Untuk membeli tanah dengan hak tersebut, pasangan kawin campur harus memiliki perjanjian kawin yang menegaskan adanya pemisahan harta sehingga pasangan yang berstatus WNI tetap dapat menjadi subjek yang sah sebagai pemegang hak atas tanah tersebut. Apabila pasangan kawin campur tetap membeli tanah dan bangunan dengan hak tersebut, maka jual beli tersebut dapat dianggap batal demi hukum karena subjek bukanlah pihak yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas Hak Milik atau HGB. Dalam hal ini apabila pasangan tersebut membuat perjanjian perkawinan tentang pemisahan harta dan tidak mencatatkannya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan maka perjanjian perkawinan yang mereka buat hanya mengikat untuk kedua belah pihak. Oleh karena itu pihak ketiga dapat menganggap bahwa ada persatuan harta dalam perkawinan mereka sehingga apabila salah satu pihak misalnya Warga Negara Indonesia (WNI) ingin membeli sebuah tanah dengan hak milik kepada pihak ketiga, maka pihak ketiga tidak dapat mengadakan jual beli dengan Warga Negara Indonesia (WNI) tersebut karena tidak sesuai dengan pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1950 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan secara tidak langsung Warga Negara Asing dapat memiliki tanah dengan hak milik atas tanah Indonesia. Menurut Prof. Rosa Agustina ketentuan yang ada didalam pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) terdapat pengaturan bagi pihak-pihak yang melakukan perkawinan campuran. Pengaturan tersebut berkenaan dengan seorang perempuan warga negara Indonesia yang memiliki sebidang tanah dengan status hak milik menikah dengan laki-laki warga negara asing, maka dalam jangka waktu satu tahun setelah perkawinannya maka kepemilikan atas tanah itu harus dialihkan dengan cara dijual ke pihak lain atau diturunkan statusnya menjadi hak pakai dalam jangka waktu kurang dari satu tahun. Bila lalai maka haknya atas tanah itu gugur dan tanah berubah menjadi tanah negara ( Pasal 21 ayat 3) .Jika mengacu pada ketentuan Pasal 35 UU No 1 Tahun 1974, maka ketentuan sebagaimana diatur dalam UUPA diatas hanya dapat dikesampingkan apabila terdapat perjanjian perkawinan. Hal tersebut didasarkan pertimbangan bahwa selama perkawinan berlangsung maka terdapat harta bersama, kecuali apabila para pihak membuat perjanjian perkawinan yang memisahkan kepemilikan harta benda setelah perkawinan.Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan diatas
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
dapat dikemukakan bahwa belum ada pengaturan hukum dibidang hukum keluarga, khususnya perkawinan yang memberi kepastian hukum bagi masyarakat. Kedepan perlu dipikirkan dan direalisasikan revisi terhadap peraturan sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara yang dijamin oleh Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat secara konsekuen dilaksanakan.23 Untuk perjanjian perkawinan yang belum dicatatkan pada Pegawai Pencatat Perkawinan pada saat perkawinan dilangsungkan,menurut Notaris Ny. Ismiati Dwi Rahayu, S.H. kedua belah pihak dapat meminta penetapan ke Pengadilan Negeri yang memerintahkan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan agar perjanjian perkawinan tersebut dicatatkan di buku register pencatatan nikah baik di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Kantor Pencatatan Sipil sesuai dengan agama dan keyakinannya, yang kemudian pada Akta Perkawinan pada halaman belakang akan dicantumkan sesuai dengan penetapan tersebut. Hal ini juga sejalan dengan yang dikemukakan oleh Bapak Made Sutrisna S.H., M.Hum., dimana memang perjanjian perkawinan yang belum dicatatkan dapat dimintakan penetapan ke Pengadilan. Memang tidak ada aturan khusus dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur hal ini. Namun biasanya Hakim menggunakan analogi dalam melakukan penetapan ini asalkan tidak merugikan pihak manapun.Mengenai keberlakuan perjanjian perkawinan yang belum dicatatkan terhadap pihak ketiga sebelum dimintakan penetapan pengadilan, Ny. Ismiati Dwi Rahayu S.H. berpendapat bahwa perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat mengikat pihak ketiga karena asas publisitas sehingga pihak ketiga dapat menganggap bahwa terjadi percampuran harta. Perjanjian perkawinan baru berlaku pada pihak ketiga sejak tanggal penetapan pengadilan dikeluarkan.
Simpulan 1. Pengaturan perkawinan Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 57 sampai dengan Pasal 62. Perkawinan tersebut dapat dilangsungkan didalam negeri maupun diluar negeri. Apabila perkawinan tersebut dilangsungkan di Indonesia maka harus mengikuti 23
Rosa Agustina, et. al, Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga, dan Hukum Waris di Belanda dan Indonesia, Ed 1, (Denpasar : Pustaka Larasan,2012)
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
ketentuan sahnya perkawinan yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Sedangkan apabila perkawinan dilakukan diluar negeri maka harus dilakukan berdasarkan hukum dimana perkawinan tersebut dilangsungkan dan bagi Warga Negara Indonesia (WNI) tidak melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. sebagaimana yang diatur dalam pasal 56 ayat (1). Untuk pencatatan perkawinan yang dilangsungkan di wilayah Indonesia berlaku pula ketentuan yang ada dalam pasal 34 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 2. Pengaturan mengenai perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Pasal 139 sampai dengan Pasal 154 KUHPerdata. Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 ketentuan dalam KUHPerdata dapat digunakan sepanjang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Menurut Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 perjanjian perkawinan yang telah dibuat oleh calon suami istri ini harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, yang dalam hal ini Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain Islam dan Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk. Mengenai bentuk perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang ini dapat dibuat dengan akta otentik maupun akta dibawah tangan. Selama perkawinan berlangsung perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tidak dapat diubah kecuali ada kesepakatan dari kedua belah pihak dan perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (4). Mengenai hal ini dalam UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 tidak dibatasi sejauh mana perjanjian perkawinan ini dapat diubah. Proses pencatatan perjanjian perkawinan pada Kantor Catatan Sipil dilakukan bersama-sama dengan pembuatan akta perkawinan. Pada saat pencatatan perkawinan akta perjanjian perkawinan tersebut dilampirkan bersamaan dengan dokumen-dokumen yang dibutuhkan dalam proses pencatatan perkawinan. Akta perjanjian kawin dan persyaratan lainnya harus dimasukkan pada Kantor Catatan Sipil paling lambat 14 hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan yang telah dicatatkan ini mulai berlaku sesuai dengan tanggal yang tertera pada catatan pinggir register akta perkawinan dan kutipan akta perkawinan. Apabila tanggal register dan kutipan akta perkawinan berbeda dengan tanggal yang tertera pada catatan pinggir, maka perjanjian perkawinan mulai berlaku pada tanggal yang tertera pada catatan pinggir tersebut. Menurut pasal 147 KUHPerdata perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
berlangsung. Tidak dipenuhinya syarat tersebut diancam kebatalan, yang mengakibatkan bahwa suami dan istri dianggap telah kawin dengan persatuan harta kekayaan secara bulat. Setelah perkawinan berlangsung berdasarkan ketentuan pasal 149 perjanjian perkawinan dengan cara bagaimanapun tidak dapat di ubah. Proses pendaftaran perjanjian perkawinan menurut KUHPerdata yaitu setelah perjanjian perkawinan dituangkan dalam akta otentik yang dibuat dihadapan notaris, proses selanjutnya adalah perjanjian perkawinan tersebut didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri menurut ketentuan pasal 152 KUHPerdata. Ketentuan dalam pasal ini menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan dibukukan dalam suatu register umum pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Apabila tidak didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri maka perjanjian tersebut hanya berlaku bagi suami dan istri dan tidak berlaku pada pihak ketiga. Pengaturan yang ada dalam KUHPerdata lebih lengkap mengatur mengenai perjanjian perkawinan apabila dibandingkan dengan pengaturan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 sehingga apabila ada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang tidak jelas atau kurang lengkap maka berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 ketentuan dapat KUHPerdata dapat digunakan. 3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 585 K/Pdt/2012 secara garis besar telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertimbangan yang diberikan hakim pada dasarnya sudah tepat. Tidak dicacatkannya perjanjian perkawinan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan yang dalam hal ini adalah Kantor Catatan Sipil sebagaimana yang diamatkan dalam pasal 29 ayat (1) tidak serta merta membatalkan perjanjian perkawinan yang dibuat oleh para pihak. Tidak dicatatkannya perjanjian perkawinan pada Pegawai Pencatatat Perkawinan tidak berarti bahwa perjanjian perkawinan tersebut tidak pernah ada sebab sesuai dengan ketentuan pasal 1338 KUHPerdata bahwa suatu perjanjian berlaku bagi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Oleh karena itu bagi kedua belah pihak perjanjian perkawinan tersebut masih tetap berlaku. Namun akibat hukum bagi pihak ketiga berbeda dengan akibat hukum bagi kedua belah pihak. Perjanjian perkawinan yang tidak dicatatkan memiliki akibat bahwa perjanjian tersebut tidak mengikat pihak ketiga sehingga apabila kedua belah pihak melakukan hubungan hukum misalnya hutang piutang dengan pihak ketiga maka pihak ketiga dapat menganggap bahwa dalam perkawinan tersebut terdapat percampuran harta walaupun kedua belah pihak memiliki perjanjian perkawinan yang isinya terdapat pemisahan harta sama sekali. Saran
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
1. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 pengaturannya kurang lengkap sehingga perlu adanya revisi. 2. Sebelum adanya revisi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk pengaturan yang kurang lengkap dapat kembali merujuk kepada KUHPerdata sesuai dengan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dimana dapat digunakan ketentuan yang lama apabila dalam Undang-Undang Perkawinan belum diatur. 3. Pemerintah seharusnya membuat sosialisasi atau membuat peraturan yang isinya mengatur pasal-pasal mana saja dalam KUHPerdata khususnya mengenai perkawinan yang masih berlaku dan pasal mana saja yang sudah tidak berlaku supaya ada kepastian hukum mengingat Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak mencabut ketentuan yang ada didalam KUHPerdata. 4. Sebaiknya Mahkamah Agung membuat Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak menerima pendaftaran terhadap perjanjian perkawinan karena dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sudah ditentukan bahwa pendaftaran seharusnya dilakukan ke Pegawai Pencatatan Perkawinan. 5. Perlu adanya sosialisasi dari Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama di setiap wilayah bahwa untuk perjanjian perkawinan pendaftarannya dilakukan melalui pegawai pencatatan perkawinan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya. Sosialisasi ini bisa diadakan dengan cara penyuluhan hukum misalnya ada penyuluhan sebelum calon suami dan istri mengadakan perkawinan. Kemudian dalam hal ini juga perlu peran notaris untuk mengarahkan masyarakat untuk melakukan pencacatan perjanjian perkawinan kepada pihak yang ditunjuk untuk itu mengingat dalam perjanjian perkawinan peran notaris sangat dibutuhkan. Pemerintah juga dapat bekerjasama dengan Ikatan Notaris Indonesia untuk mengadakan penyuluhan mengenai pencatatan perjanjian perkawinan agar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang ada saat ini. Kepustakaan A. BUKU Abdurrahman dan Riduan Syahrani. Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung : Percetakan Offset Alumni, 1978. Agustina, Rosa et. al, Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga, dan Hukum Waris di Belanda dan Indonesia, Ed 1, Denpasar : Pustaka Larasan,2012.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, cet 1, Jakarta : Rizkita, 2002 Darmabrata, Wahyono. Tinjauan Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta Undang-undang Dan Peraturan Pelaksanaannya, Cet. 2, Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997.
Hadikusuma, H. Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat dan Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 2007. HR,
Damanhuri.
Segi-Segi
Hukum
Perjanjian
Perkawinan
Harta
Bersama,
cet.
1
Bandung,2007.Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, CV. Zahi Trading Co,1975. Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1986. Nasution, Khoiruddin. Islam tentang Relasi Suami dan Istri (Hukun Perkawinan I), cet. keI.Yogyakarta: ACAdemia dan Tazzafa, 2004. Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet.1, Jakarta : PT. Bina Aksara, 1987. Prawirohamidjojo, R. Soetojo. Berbagai-Bagai Masalah Hukum Dalam UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Jakarta: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Trisakti. . Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Surabaya: Airlangga University Press,1988. Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Asis Safioedin. Hukum Orang dan Keluarga, Cet.V, Bandung : Percetakan Offset Alumni, 1986. Prins, J. Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia, cet. 1, (Jakarta : Ghaila Indonesia, 1982), hlm. 8081. Prodjodikoro, R. Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia, cet. 6, (Bandung : Penerbit “Sumur Bandung”, 1974 Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Indonesia Legal Centre Publishing, 2002. Rahman, Bakri A. dan Ahmad Sukardja. Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, Jakarta: Hidakarya Agung,1981.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indo Jakarta, 1976), hlm. 35. Satrio, J. Hukum Harta Perkawinan, cet 1.Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.1991. Sing, Ko Tjay. Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga (Diktat Lengkap), Semarang : Seksi Perdata Barat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1981. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, ed.1, cet 10, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Soekanto, Soerjono.
Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, Jakarta : Badan Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press, 2012). Subekti, Winarsih Imam dan Sri Soesilowati Mahdi. Hukum Perorangan dan Keluarga Perdata Barat, Jakarta : Gitama Jaya, 2005. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermassa,2003 Susanto, Happy. Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian: Pentingnya Perjanjian Perkawinan Untuk Mengantisipasi Masalah Harta Gono-Gini, Cet. 3, (Jakarta: Visimedia Pustaka, 2008 Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan UndangUndang Perkawinan, cet. I Jakarata: Kencana, 2006. Tutik, Titik Triwulan. Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Cet. I.(Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2006 Vollmar, Hukum Keluarga Menurut KUHPerdata, Bandung : Penerbit “Tarsito”, 1982. B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UU No. 5 tahun 1960, LN No. 104 tahun 1960. . Undang-Undang Perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019. . Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, UU No. 24 tahun 2013, LN No 232 Tahun 2013. . Peraturan Pemerintah Perkawinan. PP No. 9 Tahun 1975. LN No. 12 Tahun 1975. TLN No. 3050. Subekti, R dan R Tjitrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Edisi Revisi. Jakarta: Pradnya Paramita, 2009.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
C. JURNAL Onny Medaline, Perjanjian Kawin dalam Perspektif Hukum Nasional (Medan: Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu 346, 2010 D. SKRIPSI DAN TESIS Laksana, Marshella. Efektivitas Perjanjian Perkawinan yang Tidak Didaftarkan Terhadap Pihak Ketiga (Analisa Kasus : Akta Perjanjian Perkawinan Nomor 000 yang Dibuat Dihadapan Notaris XXX), Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia. Depok, 2012. Rasjid, Ira .”Tinjauan Perjanjian Perkawinan Terhadap Perkawinan Campuran Warga Negara Indonesia-Warga Negara Australia yang dilangsungkan di New South Wales-Australia,” Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia. Depok, 2013. Samosir, Astrid Melanie Pinta Uli. Pelaporan Perkawinan Beda Kewarganegaraan pada Catatan Sipil DKI Jakarta serta Keabsahan Perjanjian Perkawinan yang dilangsungkan di Luar Negeri (Analisis Tanda Bukti Laporan Perkawinan Campuran Internasional Nomor: 132/KHS/AI/2009/2009), Skripsi Sarjana Hukum Universitas Indonesia. Depok, 2009. Sujana, Errica. “Pembatalan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Perkawinan Berlangsung (Analisa Pe et p Nomor 277/PDT.P/2010/PN.TNG ”, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia,.Depok, 2013. Sulpi, “Pembentukan Perjanjian Perkawinan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 te t g Perk wi ”, Tesis Universitas Indonesia. Depok, 2005. Wahyuni, Hikmah. ”Perjanjian Perkawinan Pada Perkawinan Campuran Internasional sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Istri Warga Negara Indonesia (Analisis Kasus : Perjanjian Perkawinan Di Luar Tiap Persekutuan Harta Kekayaan Nomor 10 tahun 1998),” Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok, 2006. Yulianie, Novie. “Upaya Perlindungan Hukum Bagi Istri Warga Negara Indonesia yang Melangsungkan Perkawinan Campuran,” Tesis Universitas Indonesia. Depok, 2012. Yunanto, “Akib t Hukum Pe d ft r Perj ji Perk wi terh d p Pih k Ketig ”, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro. Semarang, 2008. E. INTERNET Haedah Faradz, Tujuan dan Manfaat Perjanjian Perkawinan, http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/83089196.pdf, diunduh Tanggal 16 Oktober Hukum Online. Ichtijanto: UU Perkawinan Akui Pluralitas Hukum http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6272/ichtijanto-uu-perkawinan-akui-pluralitashukum-agama diakses pada 24 Oktober 2014 L’ Agence Consulaire de France, “M ri ge” diunduh pada 6 oktober 2014.
,
http://agence-consulaire-bali.org/mariage_id.php,
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta, “Apa yang Perlu Diketahui Bila anda Menikah dengan Orang Asing?”, http://www.lbh-apik.or.id/fact-45-nikah%20asing.htm diunduh pada 9 Oktober 2014
F. WAWANCARA
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
Agus Tamim Kepala Seksi Perkawinan Dinas Kependudukan dan Cacatan Sipil Depok. Wawancara 7 November 2014. Ismiati Dwi Rahayu, S.H Notaris di Depok. Wawancara 14 November 2014 Made Sutrisna S.H, M.Hum., Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Wawancara 28 November 2014.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014