Tinjauan Hukum Eksekusi Objek Jaminan Fidusia pada Debitur Pailit (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 306 K/Pdt.Sus/2010 Jo. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 01/PAILIT LAIN LAIN/2009/PN.NIAGA.JKT.PST) Theresia Carolina, Ahmad Budi Cahyono, Ari Wahyudi Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, 16424, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini membahas mengenai eksekusi jaminan fidusia pada saat debitur pailit. Pada penelitian ini akan dibahas mengenai dua hal. Pertama, pembahasan mengenai kedudukan jaminan fidusia sebagai jaminan umum. Kedua pembahasan mengenai ketepatan Mahkamah Agung dalam mengambil keputusan yang berbeda dengan Pengadilan Niaga dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 306 K/Pdt.Sus/2010 jo. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 01/Pailit Lain Lain/ 2009/ PN.Niaga.Jkt.Pst. Kasus yang digunakan dalam pembahasan ini merupakan kasus eksekusi jaminan fidusia yang dilakukan oleh kreditur pemegang jaminan fidusia yaitu PT Bank Mega Tbk., pada saat debitur , yaitu PT Tripanca Group telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundangundangan, pendekatan perbandingan dan pendekatan kasus. Penelitian ini menyumpulkan bahwa jaminan fidusia bukan merupakan jaminan umum, melainkan merupakan jaminan khusus selama benda yang merupakan objek jaminan fidusia telah didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia dan bahwa putusan Mahkamah Agung telah tepat untuk membatalkan putusan Pengadilan Niaga yang memasukkan objek jaminan fidusia ke dalam boedel pailit. Kata kunci: Hukum jaminan, jaminan fidusia, eksekusi jaminan fidusia pada debitur pailit.
Analysis on the Execution of Object of Fiduciary Guarantee on Bankrupted Debtor (Case Study: Supreme Court Decision No. 306/K/Pdt.Sus/2010 Jo. Commercial Court Decision Number 01/PAILIT LAIN LAIN/2009/PN.NIAGA.JKT.PST) Abstract This research discusses the execution of object of fiduciary guarantee on bankrupted debtor. This research focuses mainly on two issues. First, a discussion of the position of fiduciary guarantee as a general guarantee. Second, a discussion upon the accuracy of the Supreme Court to give a verdict contrary to the verdict given by the Commercial Court on Supreme Court Decision No. 306 K/Pdt.Sus/2010 jo. Comercial Court Decision No. 01/Pailit lain lain/2009/PN.Niaga.Jkt.Pst. The case as used in this thesis is a case concerning the execution of an object of a fiduciary guarantee done by a creditor who received a fiduciary guarantee, which is PT Bank Mega Tbk., after a debtor, which is PT Tripanca Group, which has been declared bankrupt by the Commercial Court. This research is a normative juridical research which focuses its approach on the legislation, comparative approach and case study. This research concludes that a fiduciary guarantee is not a general guarantee, but it is a special guarantee as long as the object of the fiduciary guarantee has been listed in the Fiduciary Registration Office and that the Supreme Court decision had given the appropriate verdict on nullifying the Commercial Court Decision that included the object of the fiduciary guarantee as a bankruptcy asset. Keywords: law of guarantees, fiduciary guarantee, execution of fiduciary guarantee on bankrupted debtor.
Pendahuluan
1
Di era global ini perkembangan dan pembangunan merupakan indikator yang penting. Salah satu parameter tercapainya perkembangan dan pembangunan adalah melalui aktifitas bisnis yang berjalan dengan baik dan perangkat-perangkat yang tepat untuk mendukungnya. Berjalannya aktifitas bisnis tersebut juga tergantung pada uang dan biaya yang harus dimiliki untuk menjalaninya. Para pelaku bisnis perlu untuk mencari dana untuk mengembangkan dan membangun usaha dari pihakpihak investor. Oleh karena itu munculah konstruksi pinjam meminjam antara kedua belah pihak tersebut, yakni para pelaku bisnis dan pemilik dana. Konstruksi seperti yang telah disampaikan sebelumnya menimbulkan adanya suatu perjanjian utang piutang. Utang piutang pada dasarnya dapat dilakukan oleh siapa saja. Dalam perjanjian utang piutang biasanya terdapat dua pihak yaitu pihak yang memberikan utang (kreditur) dan pihak yang menerima pinjaman (debitur). Setelah perjanjian utang piutang terjadi akan muncul hak dan kewajiban pada kedua pihak. Kreditur berhak menerima kembali uang beserta dengan bunga dari debitur pada waktunya dan debitur wajib membayar utang beserta bunganya tepat waktu. Selama kedua belah pihak melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan maka persoalan tidak akan muncul. Akan tetapi persoalan muncul bila debitur lalai mengembalikan uang pinjaman pada saat yang telah ditentukan. Jika terjadi demikian, pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menentukan bahwa semua kebendaan yang menjadi milik seseorang, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, akan menjadi jaminan bagi perikatannya. Walau ditegaskan secara demikian, pada prakteknya, seorang debitur pada umumnya tidak hanya terikat pada hanya satu macam kewajiban saja. Ini berarti jaminan secara umum ini, hanya akan menyebabkan seorang kreditur memperoleh sebagian dari uang yang telah dipinjamkan kepada debitur, jika jaminan umum ini tidaklah mencukupi untuk menutupi seluruh utang debitur yang telah ada dan telah jatuh tempo. Jaminan secara umum ini akan berlaku secara prorata bagi semua kreditur. Karena kondisi ketiadaan jaminan yang bersifat khusus banyak kreditur merasa kurang aman untuk memberikan uangnya untuk dijadikan pinjaman. Para debitur khawatir uangnya tidak kembali apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya. Sehingga untuk mengatasinya kreditur mengadakan perjanjian tambahan dengan debitur guna menjamin dilunasinya kewajiban debitur pada waktu yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak. Jaminan ini dapat diberikan oleh pihak ketiga diluar debitur dalam bentuk perjanjian penanggungan utang yang merupakan suatu jaminan pembayaran yang bersifat umum; maupun dalam bentuk penunjukan objek atau barang-barang tertentu yang akan dipergunakan 2
sebagai jaminan pelunasan utang yang bersifat khusus. Bentuk jaminan dari sisi kebendaan yang digunakan untuk pelunasan utang inipun tidak dibatasi macam maupun bentuknya selama memiliki nilai jual dan mudah dialihkan. Hal ini dimaksudkan agar kreditur tidak terbebani bila debitur lalai sehingga kreditur perlu menjual lelang jaminan tersebut. Karena kebutuhan akan jaminan semakin disadari oleh masyarakat, maka dibutuhkan juga instrumen yang tepat untuk melaksanakannya. Apabila penggunaan dan pelaksanaan jaminan tidak dilaksanakan dengan benar maka dapat menimbulkan masalah dan kerugian bagi banyak pihak. Maka itu, jaminan dianggap perlu untuk diatur secara formil agar dapat menguntungkan kreditur, debitur maupun pihak-pihak lainnya dan memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang menggunakannya. Oleh karena itu mulai muncul peraturanperaturan mengenai beberapa macam lembaga jaminan. Lembaga jaminan akan lebih memberikan kepastian hukum daripada sekedar kepercayaan. Jaminan menjadi sangat berarti apabila dikemudian hari bagi peminjam uang atau debitur benar-benar cidera janji. Dalam hal ini, kreditur akan menjadi pasti kedudukannya terhadap debitur karena adanya jaminan.
Menurut Thomas Suyatno, jaminan memberikan fungsi
antara lain membuka hak dan kekuasaan kepada pemberi kredit untuk mendapatkan pelunasan dengan barang jaminan itu, bila debitur melalaikan kewajibannya, disamping itu juga mendorong debitur agar benar-benar menjalankan usahanya dengan sebaik-baiknya. Selain itu jaminan juga berfungsi untuk memperlancar kredit. Syarat suatu jaminan yang ideal adalah sebagai berikut: 1. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukannya. 2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) penerima kredit untuk melakukan usahanya. 3. Memberikan kepastian kepada kreditur dalam arti mudah diuangkan untuk melunasi utangnya debitur. Sehubungan dengan fungsi jaminan, pemahaman tentang hukum jaminan sangat diperlukan agar pihak-pihak yang berkaitan dengan penyerahan jaminan kredit dapat mengamankan kepentingannya.
Menurut Prof. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, hukum jaminan adalah
hukum mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan. Peraturan demikian harus cukup menyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembaga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Salim H.S. memberikan pengertian atas hukum jaminan sebagai keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit. 3
Pada zaman Romawi pemberian jaminan untuk menjamin pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat dilakukan dengan jalan mengalihkan hak milik atas benda jaminan kepada kreditur, yang dinamakan fiducia cum creditore.
Akan tetapi fiducia cum creditore kemudian
ditinggalkan karena tidak menguntungkan bagi debitur. Gadai dan hipotik kemudian lebih banyak digunakan. Akan tetapi dengan berjalannya waktu, berkembang pula kebutuhan masyarakat. Gadai dan hipotik dianggap semakin tidak praktis dan kurang menunjang keperluan masyarakat akan lembaga jaminan yang baik. Hal ini dikarenakan kekurangan baik gadai dan hipotik. Dalam gadai, barang yang digadaikan merupakan benda bergerak dan barang tersebut berada pada tangan kreditur selama utang belum dilunasi yang mengakibatkan debitur tidak lagi dapat menggunakan barang yang digadaikan tersebut. Sedangkan lembaga jaminan hipotik, meskipun objek jaminan tetap berada pada pemberi hipotik, tetapi hanya dapat digunakan untuk utang dengan jaminan barang tidak bergerak, sehingga tidak bisa digunakan untuk benda bergerak. Karena kekurangan dari kedua lembaga jaminan di atas, yakni gadai dan hipotik, masyarakat mulai mencari alternatif lain. Sesuai dengan berkembangnya kebutuhan masyarakat, munculah Penyerahan Hak Milik Secara Kepercayaan (Fiduciaire Eigendomsoverdracht) atau yang lebih dikenal dengan fidusia. Fidusia diyakini dapat menjadi jalan keluar dari kekurangan lembaga jaminan gadai dan hipotik. Hal ini dikarenakan dalam jaminan fidusia, objek jaminan adalah benda bergerak dan objek jaminan tetap berada pada debitur selama tidak terjadi wanprestasi. Sehingga kreditur tetap dapat menggunakan barang yang ia jaminkan meskipun secara hukum, hak kepemilikkan barang tersebut berada pada kreditur sampai utang lunas. Lembaga fidusia tersebut di Belanda mendapat pengakuannya dari pengadilan melalui Arrest yang lebih dikenal dengan Bierbrouwerij Arrest pada tanggal 25 Januari 1929. Dalam putusan Hoge Raad mengenai kasus ini terdapat penyerahan benda jaminan dalam perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali. Hal ini dipandang sebagai penyerahan untuk penjaminan dan sekalipun benda jaminan berwujud benda bergerak, penyerahannya cukup dengan constitutum possessorium yang artinya hak milik beralih tanpa penyerahan nyata dan hel tersebut dengan tegas dinyatakan tidak bertentangan dengan ketentuan tentang gadai karena dengan tidak adanya penyerahan nyata dianggap tidak pernah terjadi gadai. Saat ini, lembaga jaminan fidusia adalah salah satu lembaga jaminan yang diakui di Indonesia. Lembaga fidusia di Indonesia untuk pertama kalinya mendapatkan pengakuan dalam keputusan HgH tanggal 18 Agustus 1932 dan semakin ditunjang dengan berlakunya Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Fidusia (UU Fidusia). Salah satu unsur 4
terpenting yang terdapat dalam UU Fidusia adalah prinsip memberikan kepastian hukum yang mewajibkan adanya pendaftaran jaminan Fidusia. Pendaftaran jaminan fidusia ini dilaksanakan dalam rangka memberi kepastian hukum kepada pemberi dan penerima Fidusia serta kepada pihak ketiga. Dengan munculnya sertifikat jaminan Fidusia, maka jelas memberikan kreditur hak parate eksekusi yaitu hak untuk mengeksekusi jaminan yang dimiliki bila debitur melakukan wanprestasi. Hak parate eksekusi yang dimiliki kreditur menjadikannya sebagai kreditur separatis. Dengan begitu kreditur memiliki kedudukan yang kuat atas jaminan fidusia yang ia miliki. Namun, dalam praktik, masih ada kerancuan dalam penerapan hukum terkait dengan jaminan Fidusia. Seperti dalam Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara
No.
No.
01/PAILIT
LAIN
LAIN/2009.PN.NIAGA.JKT.PST
Jo.
No.
33/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST yang memutus bahwa kreditur pemegang jaminan fidusia tidak dapat mengeksekusi jaminannya karena termasuk pada boedel pailit. Padahal kreditur mendaftarkan jaminan fidusia-nya sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga telah memiliki hak parate eksekusi dan telah menjadi kreditur separatis. Pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara No.
01/PAILIT
LAIN
LAIN/2009.PN.NIAGA.JKT.PST
Jo.
No.
33/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST dibatalkan dengan Putusan Mahkamah Agung No. 306 K/Pdt.Sus/2010 yang menyatakan bahwa objek jaminan fidusia terkait dapat dieksekusi oleh kreditur. Akan tetapi dengan munculnya putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 01/PAILIT
LAIN
LAIN/2009.PN.NIAGA.JKT.PST
Jo.
No.
33/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST tersebut dapat kita lihat bahwa peraturan mengenai fidusia masih kurang di mengerti dan mengakibatkan kerugian bagi para kreditur dan keresahan bagi masyarakat terkait keberlakuan UU Fidusia. Maka dari itu penulis beranggapan, bahwa hal ini perlu untuk dibahas lebih lanjut dalam tugas akhir penulis yaitu penelitian dengan judul “Tinjauan Hukum Eksekusi Objek Jaminan Fidusia pada Debitur Pailit (Studi Kasus Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 01/PAILIT LAIN LAIN/2009.PN.NIAGA.JKT.PST Jo. No. 33/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 306 K/Pdt.Sus/2010” Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka terdapat beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian, yaitu: 1. Apakah kreditur pemegang jaminan fidusia kehilangan hak preferennya ketika terjadi kepailitan? 5
2. Apakah putusan hakim di tingkat Mahkamah Agung telah tepat untuk mengambil keputusan yang berbeda dengan Pengadilan Niaga terkait dengan Mahkamah Agung Nomor 306/K/Pdt.Sus/2010?
Berdasarkan latar belakang serta pokok permasalahan di atas, maka tujuan dari pembahasan dalam peneltian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui kedudukan pemegang jaminan fidusia dan hak preferennya ketika terjadi kepailitan. 2. Mengetahui kebenaran putusan hakim di tingkat Mahkamah Agung mengambil keputusan yang berbeda dengan Pengadilan Niaga terkait Perkara No. 01/PAILIT LAIN
LAIN/2009.PN.NIAGA.JKT.PST
Jo.
No.
33/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 306 K/Pdt.Sus/2010. Metode Penelitian Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif yang merupakan penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka.1 Penelitian ini dilakukan secara deskriptif analitis, dimana penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang keadaan atau gejala-gejala lainnya2, yang kemudian dianalisis sesuai dengan prinsip-prinsip dalam peraturan maupun praktik yang ada. Sesuai dengan metode yang digunakan, data yang diteliti dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh langsung dari bahan pustaka3, yang mencakup: 1.
Bahan hukum primer
1
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 52; Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 13-14; Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukm dan Jurimetri, cet. 4, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 11. 2
Soerjono Soekanto, op.cit, hlm. 50.
3
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit, hlm. 28.
6
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat.4 Dalam tulisan ini, bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari: a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata b. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia c. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 2.
Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.5 Dalam penelitian ini, bahan hukum sekunder yang akan digunakan ialah buku-buku, hasil penelitian, jurnal-jurnal, artikel-artikel, antara lain: a. Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-hak yang Memberi Kenikmatan, (Jakarta: INDHILL CO, 2002); b. Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-hak yang Memberi Jaminan, (Jakarta: INDHILL CO, 2002); c. J. Satrio, Hukum Jaminan: Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002); d. Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985); e. Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 2009).
3.
Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus dan ensiklopedia.6
Data dalam pembahasan penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif. Bentuk hasil penelitian yang dihasilkan dari penelitian ini adalah laporan yang berbentuk deskriptif. Tinjauan Teoritis Dalam penulisan penelitian ini konsep-konsep yang digunakan dan perlu didefinisikan adalah sebagai berikut: 4
Soerjono Soekanto, op.cit, hlm. 52.
5
Ibid.
6
Ibid.
7
1. Fidusia Menurut Pasal 1 angka 1 UU Fidusia, Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. 2. Jaminan Fidusia Dalam Pasal 1 angka 2 UU Fidusia dikatakan bahwa Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya Bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya. 3. Pemberi Fidusia Sesuai dengan Pasal 1 angka 5 UU Fidusia, pemberi fidusia diartikan sebagai orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia 4. Penerima Fidusia Menurut Pasal 1 angka 6 UU Fidusia, Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia. 5. Kreditur Kreditur adalah pihak yang memiliki piutang. Menurut Pasal 1 angka 8 UU FIdusia, Kreditur adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang. 6. Debitur Debitur adalah pihak yang memiliki utang. Menurut Pasal 1 angka 9 UU Fidusia, Debitur adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang. Pembahasan
8
PT. Tripanca Group merupakan perusahaan yang telah dinyatakan pailit berdasarkan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Perkara No. 01/PAILIT
LAIN
LAIN/2009.PN.NIAGA.JKT.PST
Jo.
No.
33/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST, tertanggal 3 Agustus 2009, dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan nomor putusan No. 673 K/Pdt.Sus/2009 tertanggal 15 Oktober 2009. Setelah itu seluruh asset dan kekayaan PT. Tripanca Group (dalam pailit) pun jatuh kepada kepengurusan Tim Kuratornya. PT. Tripanca memiliki beberapa utang selama melakukan usahanya. Salah satunya adalah kepada PT. Bank Mega,Tbk. PT. Bank Mega Tbk. Merupakan kreditur separatis di dalam kepailitan PT. Tripanca Group (dalam pailit), sebagaimana dinyatakan dalam Sertifikat Jaminan Fidusia Nomor: W-6.836.04.06.TH.2007, tanggal 6 November 2007 dan Sertifikat Jaminan Fidusia Nomor: W6.1103.HT.04.06.TH.2007/STD, tanggal 4 Desember 2007. Objek fidusia yang dimaksud dalam sertifikat tersebut berupa barang bergerak yakni kopi berjumlah 25.939,913 (dua puluh lima ribu sembilan ratus tiga puluh sembilang koma sembilan ratus tiga belas) metric ton atau 25.939.913 (dua puluh lima juga sembilan ratus tiga puluh sembilan sembilan ratus tiga belas) kilogram yang berada di ketiga gudang milik PT. Tripanca Group (dalam pailit) yang bertempat di Bandar Lampung. Sesuai dengan kedudukannya sebagai kreditur separatis, PT. Bank Mega Tbk. Melakukan pelelangan umum atas objek jaminan fidusia dari PT. Tripanca Group (dalam pailit). Pelelangan umum tersebut didasari pada penetapan sita dengan nomor penetapan 29/Eks.F2008/PN.TK yang diterbitkan tanggal 24 September 2009 oleh Ketua Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjungkarang. Lelang eksekusi dilakukan pada 1 Oktober 2009 melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Bandar Lampung (KPKNL). Akan tetapi tidak ada peserta lelang yang menyetor uang jaminan ke rekening PT. Bank Mega Tbk. Sehari sebelum hari pelaksanaan lelang eksekusi untuk memenuhi syarat kepesertaan lelang. Kemudian pada tanggal 2 November 2009, Pengadilan Negeri Tanjungkarang kembali melaksanakan lelang eksekusi melalui PT. Bank Mega Tbk. Dengan dasar yang sama yakni Penetapan Nomor: 29/Eks.F/2008/PN.TK, dan dalam hal ini PT. Bank Mega Tbk. Menyatakan dan mensahkan PT. Perkebunan Indonesia Lestari sebagai pemenang lelang dengan nilai penawaran sebesar Rp 277.500.001.000,- (dua ratus tujuh puluh milyar lima ratus juta seribu rupiah). Akan tetapi, meskipun pelaksanaan lelang tersebut telah dinyatakan sah oleh PT. Bank Mega Tbk., namun PT. Tripanca Group (dalam pailit) merasa lelang tidak sah dengan alasan Penetapan Nomor: 29/Eks.F/2008/PN.TK, tangal 1 September 2009, sebagai dasar 9
Pelaksanaan Lelang adalah Penetapan yang diterbitkan setelah putusan pailit tertanggal 3 Agustus 2009 sehingga seharusnya aset yang akan dilakukan masuk ke dalam boedel pailit. Karena itu Tim Kurator PT. Tripanca Group (dalam pailit) (selanjutnya disebut Penggugat) menggugat PT. Bank Mega Tbk. (selanjutnya disebut Tergugat I), KPLNL Bandar Lampung (selanjutnya disebut Tergugat II) dan PT Perkebunan Indonesia Lestari (selanjutnya disebut Turut Tergugat). Berikut para pihak yang terlibat dalam kasus terkait: 1.
Titik Kiranawati Soebagjo dan Jandri Siadari selaku tim kurator PT Tripanca Group (dalam pailit) beralamat di Jalan Mesjid No. 6, Bendungan Hilir, Pejompongan, Jakarta Pusat yang ditunjuk berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara No. 01/PAILIT LAIN LAIN/2009.PN.NIAGA.JKT.PST Jo. No. 33/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST, tanggal 3 Agustus 2009 sebagai Penggugat;
2.
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, berkedudukan di Jakarta beralamat di Plaza Mandiri, Jalan Gatot Subroto Kav. 36-38 Jakarta 12910 sebagai Penggugat Intervensi I;
3.
Indonesia Eximbank yang berkedudukan di Indonesia Stock Exchange Building, Jalan Jendral Sudirman Kav. 52-53 Jakarta sebagai Penggugat Intervensi II;
4.
PT Bank Mega Tbk., berkedudukan di Menara Bank Mega Lantai 17 dan 24, Jalan Kapten Tendean 12-14 A, Jakarta Selatan sebagai Tergugat I;
5.
Kantor Pelayanan Lelang dan Kekayaan Negara Bandar Lampung, Jalan Rahmat Basuki Nomor 12, Bandar Lampung sebagai Tergugat II;
6.
PT Perkebunan Indonesia Lestari, berkedudukan di Menara Bank Mega 24, Jalan Kapten Tendena 12-14 A, Jakarta Selatan sebagai Tergugat.
Para Penggugat dan Terguguat telah disebutkan sebelumnya di atas. Penggugat menggugat para tergugat dengan dasar hukum Perbuatan Melawan Hukum tepatnya Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi: Tiap-tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut. Berdasar ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata tersebut, unsur perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut: 1.
Adanya Perbuatan;
2.
Adanya Kerugian, antara tindakan dan kerugian harus ada hubungan sebab akibat;
3.
Kerugian disebabkan kesalahan
10
Berdasar Yurisprudensi Mahkamah Agung R.I. No. 2831 K/Pdt/1996 tertanggal 7 Juli 1996, ditetapkan Penggugat harus membuktikan adanya unsur-unsur perbuatan melawan hukum menurut ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, yakni sebagai berikut: 1.
Suatu Perbuatan Melawan Hukum – adanya perbuatan Tergugat yang bersifat melawan hukum;
2.
Kerugian – adanya kerugian yang ditimbulkan pada diri Penggugat;
3.
Kesalahan dan kelalaian – adanya kesalahan atau kelalaian pada pihak Tergugat;
4.
Hubungan Kausal – adanya hubungan kausalitas atau sebab akibat antara kerugian pihak Pengugat dengan kesalahan atau perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat.
Tergugat menyatakan bahwa Para Tergugat telah mengetahui PT. Tripanca Group (dalam pailit) telah dalam keadaan pailit karena telah diberitahukan oleh Penggugat melalui: 1.
Pengumuman Putusan Pailit PT. Tripanca Group melalui Harian Bisnis Indonesia dan Lampung Post, keduanya edisi tanggal 5 Agustus 2009;
2.
Surat pemberitahuan kepada Tergugat I pada tanggal 7 Agustus 2009, dengan No. Surat 33.07/SKK/TG/TKS-JSN/VII/09, perihal: tentang pemberitahuan kepailitan, undangan rapat dan pengajuan tagihan;
3.
Surat pemberitahuan kepada Tergugat II pada tanggal 3 Agustus 2009, dengan No. Surat 33.03/SKK/TG/TKS-JS/VIII/09, perihal Pemberitahuan kepailitan PT. Tripanca Group (dalam pailit);
Bahwa dalam proses kepailitan, Tergugat I telah tunduk kepada UU Kepailitan terbukti dengan adanya tindakan dan perbuatan Tergugat I sebagai berikut: 1.
Tergugat I mengajukan dan mendaftarkan tagihan sebanyak 2 (dua) kali kepada Penggugat, yaitu tanggal 1 September 2009 dan 7 Oktober 2009;
2.
Tergugat I ikut dalam Rapat Kreditur yang diadakan oleh Penggugat pada tangal 18 Agustus 2009;
3.
Tergugat I ikut dalam Rapat pencocokan piutang yang juga diadakan Penggugat pada tanggal 15 September 2009, 8 Oktober 2009 dan 22 Oktober 2009;
Dan Tergugat I telah mengetahui bahwa PT. Tripanca Group (dalam pailit) berada dalam sita umum. Dan Tergugat I telah mengetahui keberatan secara terbuka dari Penggugat maupun dari Kreditus separatis dan pihak lainnya melalui pengumuman dari penggugat dan kreditur separatis di Koran harian Lampung Post yang dilakukan pada tanggal 25 September 2009, 7 Oktober 2009 dan 8 Oktober 2009, serta di harian Kompas pada tanggal 9 Oktober 2009. 11
Pihak Tergugat I maupun Tergugat II menyatakan bahwa rencana proses lelang sudah sesuai ketentuan. Untuk itu Tergugat I dan Tergugat II pun menyampaikan tanggapan dalam bentuk: 1.
Pengumuman Tergugat I pada harian Lampung Post;
2.
Surat Tergugat II kepada Ketua Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang dengan Nomr S-2775/WKN.05/LNJ.03/2009 tertanggal 28 September 2009, perihal Lelang Jaminan Fidusia PT. Tripanca Group.
Dalam pelaksanaan lelangpun Penggugat dan Kreditur separatis menyampaikan keberatan atau interupsi di dalam ruangan pelaksanaan lelang bahwa objek kopi yang akan dilelang masih dalam sengketa. Hal ini terjadi dalam kedua lelang yang dilaksanakan Tergugat I. Penggugat menggunakan Pasal 33 UU Kepailitan yang berbunyi: “Dalam hal sebelum putusan pernyataan pilit diucapkan penjualan benda milik Debitur baik bergerak maupun tidak bergerak dalam rangka eksekusi sudah sedemikian jauhnya hingga hari penjualan benda itu sudah ditetapkan maka dengan izin Hakim Pengawas Kurator dapat meneruskan penjualan itu atas tanggungan harta pailit.” Penjelasan Pasal 33 UUK: “Hasil penjualan benda milik Debitur masuk dalam harta pailit dan tidak diberikan kepada Pemohon Eksekusi.” Sehingga Penggugat meminta agar uang hasil lelang dan bunganya yang mungkin telah berada di dalam rekening Tergugat I untuk diserahkan kepada Kurator untuk dimasukkan ke dalam boedel pailit PT. Tripanca Group (dalam pailit). Pada intinya, Penggugat meminta agar pelelangan yang telah dilakukan dianggap cacat hukum agar objek fidusia tersebut dapat dimasukkan ke dalam boedel pailit, atau apabila lelang dinyatakan sah sekalipun, hasil penjualan beserta bunganya diberikan ke Kurator agar dapat dimasukkan ke dalam boedel pailit. Berikut bunyi keputusan hakim dalam perkara tersebut: Pengadilan Niaga Penggugat memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Jakarta Pusat untuk: PROVISI 1.
Memerintahkan Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Karang untuk tidak mengalihkan atau mentransfer uang hasil lelang sebesar Rp 277.500.001.000,- (dua ratus tujuh puluh tujuh milyar lima ratus juta seribu rupiah) dan juga seluruh bunga dari hasil uang hasil lelang dimaksud kepada Tergugat I dan/atau Tergugat II maupun Turut Tergugat atau pihak manapun sebelum adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap atas perkara ini. 12
PRIMAIR 1.
Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian.
2.
Menyatakan
Penetapan
Ketua
Pengadilan
Negeri
Tanjung
Karang
NOmor
29/Eks.F/2008/PN.TK tanggal 1 September 2009 tentang Pelaksanaan Lelang atas Objek Jaminan Fidusia adalah Penetapan yang Cacat Hukum dan Tidak Sah; 3.
Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum;
4.
Menyatakan pelaksanaan lelang ulang tertanggal 2 November 2009 adalah Lelang yang Cacat Hukum dan Tidak sah;
5.
Menetapkan biaya perkara ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
SUBSIDAIR 1.
Menyatakan Pelaksanaan lelang ulang tertanggal 2 November 2009 adalah lelang yang dapat dilindungi hukum;
2.
Memerintahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri Tanjungkarang memberikan uang hasil lelang sejumlah Rp. 277.500.001.000,’ (dua ratus tujuh puluh tujuh milyar lima ratus juga seribu rupiah) ditambah seluruh bunga dari hasil uang hasil lelang tersebut kepada Tim Kurator PT. Tripanca Group (dalam pailit) untuk dimasukkan ke dalam boedel pailit PT. Tripanca Group (dalam pailit);
3.
Memerintahkan kepada Tergugat I memberikan hasil lelang kepada Tim Kurator PT. Tripanca Group (dalam pailit) untuk dimasukkan sebagai boedel pailit, dalam hal apabila Pengadilan Negeri Tanjungkarang telah menyerahkan uang hasil lelang kepada Tergugat I sejumlah Rp. 277.500.001.000,’ (dua ratus tujuh puluh tujuh milyar lima ratus juga seribu rupiah) ditambah seluruh bunga dari hasil uang hasil lelang tersebut;
4.
Menetapkan biaya perkara ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
SUBSIDAIR 1.
Apabila Majelis berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex auquo et bono). Salah satu pertimbangan penting dalam putusan ini adalah Pasal 34 UU Kepailitan yang menyatakan bahwa kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini, perjanjian yang bermaksud memindahtangankan hak atas tanah, balik nama kapal, pembebanan hak
13
tanggungan, hipotik atau jaminan fidusia yang telah diperjanjikan terlebih dahulu, tidak dapat dilaksanakan setelah putusan pernyataan pailit diucapkan. Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengambil
keputusan,
yaitu
putusan
No.
01/PAILIT
LAIN
LAIN/2009.PN.NIAGA.JKT.PST Jo. No. 33/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 17 Februari 2010 yang amarnya sebagai berikut: 1.
Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat pada petitum Subsidair;
2.
Memerintahkan agar uang hasil lelang sejumlah Rp. 277.500.001.000,’ (dua ratus tujuh puluh tujuh milyar lima ratus juga seribu rupiah) ditambah seluruh bunga dari hasil lelang tersebut diserahkan kepada Team Kurator PT Tripanca Group (dalam pailit) sebagai bagian dari boedel;
3. Membebankan kepada Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.441.000,- (satu juta empat ratus empat puluh satu ribu rupiah Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada hari Rabu, tanggal 17 Februari 2010. Mahkamah Agung Dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung memberi putusan yang berbeda dengan Pengadilan Niaga. Terdapat beberapa pertimbangan akan tetapi terdapat beberapa poin pertimbangan yang paling krusial yang menyebabkan putusan Mahkamah Agung terkait berbeda dengan putusan Pengadilan Niaga. Point tersebut adalah poin 3, 4 dan 5. Dalam poin 3 pertimbangan Mahkamah Agung dinyatakan bahwa persoalan dalam perkara ini adalah ada perjanjian dengan jaminan Fidusia antara PT. Tri Panca Group dengan PT. Bank Mega, kemudian PT. Tri Panca Group tersebut dinyatakan pailit. Judex Facti di dalam pertimbangannya bersandar pada Pasal 34 UU Kepailitan, yang berbunyi “kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini perjanjian yang bermaksud memindahtangankan hak atas tanah, balik nama kapal, pembebanan hak tanggungan, hipotik atau jaminan fidusia yang telah diperjanjikan lebih dahulu, tidak dapat dilaksanakan setelah putusan pernyataan pailit diucapkan.” Sedangkan dalam poin 4 pertimbangan Mahkamah Agung dinyatakan bahwa pertimbangan Judex Facti tersebut tidak mempertimbangkan ketentuan lain di dalam undang-undang yaitu: a.
Pasal 55 UU Kepailitan yang menentukan: 14
“… setiap kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan” Pasal 29 ayat (1) UU Fidusia menentukan tata cara melaksanakan jaminan fidusia yaitu: 1.
Melaksanakan sesuai Pasal 15 ayat (2) oleh penerima fidusia.
2.
Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.
3. b.
Penyerahan di bawah tangan yang dilakukan berdasar kesepakatan.
Penjelasan Pasal 27 UU Fidusia menyatakan “Benda yang menjadi obyek jaminan fidusia berada diluar kepailitan dan atau likuidasi.”
c.
Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Kepailitan menyatakan “dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 56, 57, dan Pasal 58 ketentuan ini tidak berlaku bagi Kreditur sebagaaimana dimaksud dalam Pasal 55.”
Selanjutnya dalam poin 5 pertimbangan Mahkamah Agung, dikatakan bahwa dengan pertimbangan di atas, maka seolah-olah ada pertentangan antara Pasal 34 UU Kepailitan dengan Pasal 55, penjelasan Pasal 31 ayat 1 UU Kepailitan serta Pasal 27 UU Fidusia, sehingga menurut Mahkamah Agung ketentuan Pasal 34 UU Kepailitan haruslah diartikan bahwa yang tidak boleh dilaksanakan setelah adanya putusan pernyataan pailit adalah melakukan perjanjian yang bermaksud: a.
Memindahtangankan hak atas tanah;
b.
Balik nama kapal;
c.
Pembebanan hak tanggunga;
d.
Hipotik;
e.
Jaminan fidusia;
Yang telah diperjanjikan lebih dahulu. Artinya yang ada tersebut tidak boleh diwujudkan/dilaksanakan lebih lanjut, misalnya dengan menerbitkan sertifikat. Tetapi apabila perjanjian-perjanjian tersebut telah sempurna dengan adanya sertifikat, maka yang harus berlaku adalah Pasal 55 UU Kepailitan dan Pasal 27 UU Fidusia, yaitu obyek jaminan tidak masuk dalam harta/budel pailit. Sesuai dengan pertimbangannya, Mahkamah Agung mengadili dan mengadili sendiri sebagai berikut:
15
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: 1. PT. PERKEBUNAN INDONESIA LESTARI, 2. KANTOR PELAYANAN LELANG DAN KEKAYAAN NEGARA (KPKNL) BANDAR LAMPUNG, 3. PT. BANK MEGA, Tbk. tersebut; Membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 01/PAILIT
LAIN
LAIN/2009.PN.NIAGA.JKT.PST
Jo.
No.
33/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 17 Pebruari 2010; Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya; Menghukum para Termohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ditetapkan Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah); Menurut hukum Indonesia, jaminan fidusia merupakan jaminan kebendaan. Selain itu berdasarkan UU Fidusia tepatnya dalam Pasal 27, dinyatakan bahwa jaminan fidusia memberikan hak yang didahulukan. Pemegang jaminan fidusia mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan objek jaminan fidusia, tidak seperti jaminan umum yang disebutkan dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata yang mendapat pelunasan dari pembagian secara proporsional hasil penjualan harta debitur, akan tetapi kreditur pemegang jaminan fidusia memiliki hak untuk didahulukan seperti yang disebutkan dalam Pasal 1133 dan Pasal 1134 KUHPerdata. Sehingga membuat jaminan fidusia dianggap sebagai jaminan khusus yaitu jaminan yang memberikan kedudukan yang lebih baik dalam penagihan; lebih baik daripada kreditur konkuren yang tidak memegang hak jaminan khusus atau dengan perkataan lain, kreditur yang memiliki hak jaminan khusus relatif lebih terjamin dalam pemenuhan tagihannya. Dalam hal pailit, kreditur pemegang jaminan fidusia tetap dapat menjual sendiri aset yang diagunkan akan tetapi tetap harus mengikuti masa stay selama 90 (sembilan puluh) hari agar tujuan dari masa stay seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dapat tercapai. Sehingga, jelas bahwa Tergugat I memang merupakan kreditur separatis yang telah mendapatkan hak yang didahulukan sesuai dengan UU Fidusia karena telah melaksanakan pendaftaran terhadap objek jaminannya. Akan tetapi, perlu juga dilihat peraturan dalam UU Kepailitan mengenai masa penangguhan selama 90 (sembilan puluh) hari. Karena keharusan penangguhan tersebut maka bukanlah hak Tergugat I melelang objek jaminan fidusianya. Selain itu, perlu juga diperhatikan bahwa dalam Pasal 56 ayat (3) UU Kepailitan dinyatakan bahwa Selama jangka waktu penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kurator dapat menggunakan harta pailit berupa benda tidak bergerak maupun benda bergerak atau menjual harta pailit yang berupa benda bergerak yang berada dalam penguasaan kurator dalam rangka kelangsungan usaha debitur, dalam hal telah diberikan perlindungan yang wajar 16
bagi kepentingan kreditur atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Penjelasannnya dikatakan bahwa harta pailit yang dapat dijual oleh kurator terbatas pada barang persediaan (inventory) dan atau benda bergerak (current assets), meskipun harta pailit tersebut dibebani dengan hak agunan atas kebendaan sehingga kopi yang merupakan barang persediaan dan objek jaminan fidusia dalam kasus terkait seharusnya dijual oleh kurator, bukan Tergugat I. Maka, kuratorlah yang memiliki hak untuk menjual objek jaminan fidusia Tergugat I selama masa penangguhan belum berakhir. Sehingga putusan pengadilan niaga, meskipun tidak mempertimbangkan UU Fidusia tetapi telah sesuai dengan UU Kepailitan. Kreditur pemegang jaminan fidusia memiliki hak yang didahulukan, yaitu hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi jaminan fidusia selama telah mendaftarkan jaminan fidusia sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tergugat I telah melaksanakan pendaftaran dan memiliki Sertifikat Jaminan Fidusia atas piutang terkait. Bukti Sertifikat yang dimaksud adalah Sertifikat Jaminan Fidusia Nomor: W-6.836. 04.06.TH.2007 tanggal 6 November 2007 dan Sertifikat Jaminan Fidusia Nomor: W6.1103.HT.04.06.TH.2007/STD tanggal 4 Desember 2007 beserta seluruh perubahannya. Karena telah melaksanakan Pasal 27 UU Fidusia, maka Tergugat I sebagai kreditur separatis telah mendapatkan hak yang didahulukan atas jaminan fidusia tersebut dan secara hukum memiliki hak untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi jaminan fidusia. Akan tetapi tidak mengubah fakta yang telah dinyatakan sebelumnya bahwa Tergugat telah melaksanakan lelang sebelum berakrhirnya masa penangguhan. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan dan fakta bahwa menurut Pasal 56 ayat (3) dan penjelasannya, yang berhak menjual barang persediaan, seperti persediaan kopi pada kasus ini, adalah kurator bukan Tergugat I. Oleh
karena
itu,
putusan
Mahkamah
Agung
No.
306
K/Pdt.Sus/2010
perlu
mempertimbangkan Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 56 ayat (3) UU Kepailitan dalam mengambil putusan. Karena meskipun Tergugat I memang telah menjadi kreditur separatis dengan hak yang didahulukan menurut UU Fidusia, akan tetapi lelang hanya dapat dilaksanakan setelah masa penangguhan selesai atau masa insolvensi berlaku.
Maka putusan Majelis Hakim
Mahkamah Agung kurang sesuai dengan aturan mengenai kepailitan di Indonesia, karena meskipunt telah memperhatikan kedudukan Tergugat I sebagai kreditur separatis tetapi mengabaikan masa penangguhan yang seharusnya ditaati oleh Tergugat I sebagai kreditur. Kesimpulan 17
Berdasarkan uraian dari pokok permasalahan yang telah disebutkan, maka dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut: Sesuai dengan Pasal 27 UU Fidusia, maka jelas bahwa jaminan fidusia bukanlah merupakan jaminan umum, melainkan merupakan jaminan khusus selama jaminan fidusia tersebut telah didaftarkan. Hal ini jelas diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU Fidusia yang menyatakan bahwa penerima fidusia, yang adalah kreditur, memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya dan selanjutnya dalam penjelasan Pasal 27 ayat (1) dinyatakan bahwa hak yang didahulukan tersebut dihitung sejak tanggal pendaftaran benda yang menjadi jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Sehingga membuat kreditur pemilik jaminan fidusia yang telah melakukan pendaftaran atas benda yang menjadi jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia memiliki hak yang didahulukan. Hak yang didahulukan inilah yang dimaksudkan dengan jaminan khusus, yaitu bahwa hak yang didahulukan ini memberikan kreditur kedudukan yang lebih baik dalam penagihan, karena pemenuhan tagihannya dapat diambil dari benda jaminan fidusia yang secara khusus digunakan hanya untuk membayar utang debitur kepada kreditur separatis tersebut saja, bukan seperti kreditur konkuren yang membagi seluruh harta debitur untuk mendapat pelunasan. Sehingga, jaminan fidusia selama sudah didaftarkan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia merupakan jaminan khusus apabila jaminan fidusia tersebut telah didaftarkan. Dalam hal pailit, kreditur pemegang jaminan fidusia tetap dapat menjual sendiri aset yang diagunkan akan tetapi tetap harus mengikuti masa stay selama 90 (sembilan puluh) hari agar tujuan dari masa stay tersebut seperti dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan, yakni untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian, memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit dan memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal. Karena apabila kreditur pemegang jaminan fidusia melelang sebelum 90 (sembilan puluh) hari masa stay, dapat memperkecil tujuan dari diadakannya masa stay tersebut diadakan. Putusan Mahkamah Agung Nomor 306 K/Pdt.Sus/2010 yang membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 01/PAILIT LAIN LAIN/2009.PN.NIAGA.JKT.PST Jo. No. 33/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST kurang tepat. Pengadilan Niaga telah tepat mengembalikan hasil lelang ke dalam harta pailit. Hal ini dikarenakan dalam masa penangguhan yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan tidak dilanggar oleh Tergugat I dan bahwa dalam Pasal 56 ayat (3) UU Kepailitan dinyatakan bahwa Selama jangka waktu penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kurator dapat menggunakan 18
harta pailit berupa benda tidak bergerak maupun benda bergerak atau menjual harta pailit yang berupa benda bergerak yang berada dalam penguasaan kurator dalam rangka kelangsungan usaha debitur, dalam hal telah diberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan kreditur atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Penjelasannnya dikatakan bahwa harta pailit yang dapat dijual oleh kurator terbatas pada barang persediaan (inventory) dan atau benda bergerak (current assets), meskipun harta pailit tersebut dibebani dengan hak agunan atas kebendaan. Maka, kuratorlah yang memiliki hak untuk menjual objek jaminan fidusia Tergugat I selama masa penangguhan belum berakhir. Sehingga putusan MahkamahAgung tidaklah tepat untuk membatalkan putusan Pengadilan Niaga yang telah memutus untuk mengembalikan hasil lelang ke harta pailit yang diurus oleh kurator.
Daftar Referensi PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU Nomor 37 tahun 2004. LN No.131 Tahun 2004, TLN No. 4484. ___________. Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia. UU Nomor 42 tahun 1999. LN No. 168 Tahun 1999, TLN No. 3889. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetbook]. Diterjemahkan oleh R. Soebekti dan R. Tjiptrosudibio. Cet. 35. Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.
BUKU Fuady, Munir. Jaminan Fidusia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000. ___________. Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002. Harsono, Boedi. Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional. Jakarta: Universitas Trisakti, 2007. Hartono, Sri Redjeki. Hukum Ekonomi Indonesia. Malang: Banyumedia Publishing, 2007.
19
Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata: Hak-hak yang Memberi Kenikmatan. Jakarta: INDHILL CO, 2002. ___________. Hukum Kebendaan Perdata: Hak-hak yang Memberi Jaminan. Jakarta: INDHILL CO, 2002. Hoff, Jerry. Indonesian Bankruptcy Law. Jakarta: Tatanusa, 1998. Kamelo, Tan. Hukum Jaminan Fidusia: Suatu Kebutuhan yang Didambakan. Bandung: Alumni, 2006. Kartono. Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran. Jakarta: Pradnya Paramita, 1985. Mahadi. Falsafah Hukum: Suatu Pengantar. Bandung: Alumni, 2003. Mamudji, Sri. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbih Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Meliala, Djaja S. Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan. Bandung: Nuansa Aulia, 2007. S., Salim H. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Satrio, J. Hukum Jaminan: Hak Jaminan Kebendaan. Bandung. PT Citra Aditya Bakti, 2002. Shubhan, M. Hadi. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Simanjuntak, P. N. H. Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Djambatan 1999. Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan. Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 2009. Subekti. Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1989. Suyatno, Thomas. Dasar-dasar Perkreditan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992. Tutik, Titik Triwulan. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Usman, Rachmadi. Hukum Kebendaan. Jakarta: Sinar Grafika, 2012. 20
Yani, Ahmad & Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002. Widjaja, Gunawan. Resiko Hukum & Bisnis Perusahaan Pailit. Jakarta: Forum Sahabat, 2007. Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani. Seri Hukum Bisnis: Jaminan Fidusia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
21