Tinjauan Yuridis Terhadap Status Harta Isteri yang Diperoleh dari Hibah dan Di Atas-Namakan Suami Setelah Putusnya Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Analisis Putusan Mahkamah Agung RI No. 3149 K/Pdt/2012) Fitriana, Farida Prihatini, dan Sulaikin Lubis Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Dalam suatu perkawinan seringkali terdapat permasalahan hukum mengenai harta kekayaan. Hal ini terutama terjadi saat perkawinan tersebut putus karena perceraian. Oleh karena itu, Penulis tertarik untuk melakukan analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung RI No. 3149 K/PDT/2012. Dalam kasus ini, terdapat permasalahan mengenai status harta isteri yang diperoleh dari hibah dan di atas-namakan suami dengan cara meminjam nama, setelah bercerai. Terkait dengan hal itu, Penulis melakukan penelitian dengan metode deskriptif analitis. Berdasarkan penelitian Penulis, harta isteri yang diperoleh dari hibah akan kembali kepada isteri, jika tidak diadakan syirkah atau ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan, meskipun atas harta tersebut meminjam nama suami. Kata Kunci: harta kekayaan; hibah; perceraian; perkawinan; suami dan isteri.
Juridicial Review of the Legal Status of Wife’s Assets After Divorce That Was Given To Her As A Grant On Behalf of the Husband According To Islamic Law and Marriage Law No. 1 of 1974 (Analysis of Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 3149 K/PDT/2012) Abstract In a marriage, there’s often legal issues regarding marital property. These issues can happen particularly after the divorce. Therefore, the author is interested to analyze the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 3149 K/PDT/2012. In this case, there’s a problem regarding the legal status of wife’s assets which is the grant for her which she puts on behalf of the husband after the divorce. The author uses descriptive analysis methods in this research. Based on the research, the wife’s assets that obtained from the grant, will be returned to the wife as long as there’s no syirkah or marriage agreement, although the assets was put on behalf of the husband. Keywords: propert; grant; divorce; marriage; spouses.
Pendahuluan Perkawinan membawa akibat tidak hanya mengenai hubungan hukum antara suami-isteri, melainkan juga terhadap harta kekayaan mereka. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditentukan bahwa masing-masing suami isteri dalam suatu perkawinan mempunyai kekayaan sendiri, baik barang-barang yang
Tinjauan yuridis terhadap status..., Fitriana, FH UI, 2015
dibawa dalam perkawinan maupun barang-barang yang di dapat selama perkawinan berlangsung sebagai penghibahan maupun warisan. Pada dasarnya suatu perkawinan tidak menyebabkan adanya percampuran harta antara suami isteri selain ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan atau dilakukannya syirkah. Dengan demikian, harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Meskipun terdapat ketentuan mengenai harta kekayaan dalam perkawinan, namun sebagian orang Islam di Indonesia masih belum mengetahui akan kedudukan dari harta kekayaan dalam perkawinannya. Hal ini tentunya akan menimbulkan suatu permasalahan hukum sebagaimana yang terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 3149 K/Pdt/2012, tentang harta kekayaan dalam suatu perkawinan, khususnya tentang harta yang dihibahkan kepada isteri namun kemudian diatasnamakan suami tanpa adanya pengalihan hak milik atas harta tersebut kepada suami. Dalam kasus tersebut, setelah putusnya perkawinan, pihak suami tidak mengetahui kedudukan akan harta tersebut yang pada hakikatnya berada di bawah penguasaan isteri sepenuhnya. Hal ini tentunya berdampak pada hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masing-masing suami isteri terhadap harta. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat ditarik beberapa pokok permasalahan, yakni: 1. Bagaimanakah status harta isteri yang diperoleh dari hibah dan di atas-namakan suami setelah terjadinya perceraian menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan? 2. Apakah Putusan Mahkamah Agung RI No. 3149 K/Pdt/2012 sudah tepat dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)? Tujuan umum dari penelitian ini adalah sebagai studi analisis mengenai status harta isteri yang diperoleh dari hibah dan di atas-namakan suami menurut ketentuan hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain itu, diharapkan pula dapat dicapai tujuan khusus, yaitu untuk menjelaskan: 1. Status harta isteri yang diperoleh dari hibah dan di atas-namakan suami
setelah
terjadinya perceraian menurut hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; serta 2. Ketepatan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 3149 K/Pdt/2012 berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Tinjauan yuridis terhadap status..., Fitriana, FH UI, 2015
Tinjauan Teoritis Menurut hukum Islam, harta suami isteri itu terpisah dan masing-masing mempunyai hak untuk menggunakan atau membelanjakan hartanya dengan hak sepenuhnya. Hal ini dipertegas pula dalam ketentuan Pasal 86 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Selanjutnya Pasal 87 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam juga menyatakan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dalam hal ini, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, shadaqah, dan/atau lainnya. Menurut Sayuti Thalib, harta kekayaan dalam perkawinan dilihat dari asalnya, dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yakni: 1. Harta masing-masing suami isteri yang telah dimilikinya sebelum kawin baik diperolehnya karena mendapat warisan atau usaha-usaha lainnya, disebut sebagai harta bawaan; 2. Harta masing-masing suami isteri yang diperolehnya selama berada dalam hubungan perkawinan, tetapi diperoleh bukan karena usaha mereka bersama-sama maupun sendirisendiri, tetapi karena diperolehnya karena hibah, warisan, ataupun wasiat untuk masingmasing; 3. Harta yang diperoleh setelah mereka berada dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau salah satu pihak dari mereka, yang disebut harta pencaharian. Berdasarkan hal tersebut, maka harta kekayaan dalam perkawinan dimungkinkan untuk diperoleh dari cara hibah sebagai harta masing-masing yang diperoleh selama berada dalam hubungan perkawinan karena bukan atas usaha mereka bersama-sama maupun sendiri-sendiri. Menurut Hendi Suhendi, hibah adalah pemberian sesuatu kepada yang lain untuk dimiliki zatnya tanpa mengharapkan penggantian (balasan). Jika dikaitkan dengan suatu perbuatan hukum, hibah termasuk salah satu bentuk pemindahan hak milik. Adapun hibah sebagai suatu perbuatan hukum baru dianggap ada apabila terpenuhi empat unsur, yaitu: 1. Pihak penghibah, yaitu orang yang memberikan hibah atau orang yang menghibahkan hartanya kepada pihak lain. Dalam hal ini, pemberi hibah harus memenuhi beberapa syarat, yakni:
Tinjauan yuridis terhadap status..., Fitriana, FH UI, 2015
a. Merupakan pemilik sempurna atas sesuatu benda yang dihibahkan; b. Orang yang cakap bertindak secara sempurna (baligh dan berakal); c. Melakukan perbuatannya itu atas kemauan sendiri dengan penuh kerelaan, dan tidak dalam keadaan terpaksa. 2. Pihak penerima hibah, yang disyaratkan sudah wujud dalam arti yang sesungguhnya ketika akad hibah dilakukan. Oleh karena itu, hibah tidak boleh diberikan kepada anak yang masih dalam kandungan. 3. Objek yang dijadikan hibah dapat terdiri atas segala barang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, bahkan manfaat (hibah umra) atau hasil sesuatu barang dapat dihibahkan. Dalam hal ini, objek hibah harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: a. Benda yang dimiliki sempurna dari pihak penghibah; b. Sudah ada dalam arti yang sesungguhnya ketika transaksi hibah dilaksanakan; c. Merupakan sesuatu yang boleh dimiliki oleh agama; d. Telah terpisah secara jelas dari harta milik penghibah; e. Nilainya jelas dan dapat diserahterimakan. 4. Akad atau ijab qabul. Dalam hal ini yang ditekankan ialah shigat dalam transaksi hibah tersebut sehingga perbuatan itu sungguh mencerminkan terjadinya pemindahan hak milik melalui hibah. Hukum Islam tidak pernah menentukan ketetapan khusus mengenai “lafaz” apa yang harus dipakai untuk melakukan ijab kabul hibah tersebut. Yang terpenting adalah dalam transaksi tersebut harus menunjukkan adanya serah terima hibah. Menurut Malik, dalam mensahkan hibah, tidak diperlukan memegang barangnya asalkan telah terjadi akadnya. Sebagaimana halnya dalam hukum Islam, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 juga tidak menentukan bahwa dengan dilangsungkannya perkawinan akan menimbulkan adanya persatuan harta. Hal ini disebabkan kedudukan isteri dengan suami adalah seimbang, dimana perempuan meskipun sudah menikah adalah tetap cakap, sehingga secara individu masingmasing tetap dapat dipertanggungjawabkan. Harta benda dalam perkawinan berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terbagi menjadi dua macam, yaitu: 1. Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan yang menjadi harta bersama yang dikuasai bersama; dan
Tinjauan yuridis terhadap status..., Fitriana, FH UI, 2015
2. Harta bawaan dari masing-masing suami isteri dan harta benda yang diperoleh masingmasing sebagai hadiah atau warisan, yang berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Berdasarkan Pasal 1666 BW, hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Adapun syarat-syarat objek dan subjek hibah menurut ketentuan BW adalah: 1. Objek hibah haruslah merupakan barang-barang yang sudah ada. 2. Pemberi hibah haruslah orang yang sehat pikiran dan harus sudah dewasa (21 tahun) kecuali orang tersebut belum berusia 21 tahun tetapi sudah menikah. Sedangkan penerima hibah haruslah orang yang sudah dilahirkan pada saat dilakukan penghibahan. Dalam hal ini penerima hibah boleh saja belum dewasa tetapi diwakilkan oleh orangtua atau wali. Harta yang diperoleh suami dan isteri dari hibah ketika melangsungkan perkawinan, tetap dimiliki oleh masing-masing pihak dan terpisah dari harta bersama. Terpisahnya harta suami isteri ini memberikan hak yang sama bagi isteri dan suami untuk mengatur hartanya sesuai dengan kebijaksanaannya masing-masing. Dengan demikian, harta tersebut berada di bawah pengawasan masing-masing suami isteri sepanjang para pihak tidak mengadakan syirkah atau menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dalam hal ini, Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 hanya menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Menurut J. Satrio, dalam ketentuan tersebut, tidak ada tambahan kata-kata “sepanjang perkawinan”, sehingga beliau menafsirkan bahwa sebelum, selama, maupun sesudah perkawinan, suami atau isteri yang bersangkutan memang berhak dan tetap berhak untuk melakukan semua tindakan atas harta tersebut.
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam bentuk penelitian kepustakaan karena data penelitian diperoleh dari pustaka maupun dokumen, termasuk hasil penelitian yang telah dipublikasikan. Tipologi penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang memberikan gambaran umum mengenai status harta isteri yang diperoleh dari hibah dan di atas-namakan suami tanpa
Tinjauan yuridis terhadap status..., Fitriana, FH UI, 2015
adanya pengalihan hak milik setelah putusnya perkawinan menurut hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan bentuknya, penelitian ini merupakan penelitian preskriptif karena bertujuan untuk memberikan jalan atau saran bagi masyarakat mengenai kedudukan status harta kekayaan yang dimiliki oleh suami dan isteri dalam perkawinan. Selain itu, penelitian ini merupakan penelitian berfokus pada masalah karena permasalahan yang akan diteliti merupakan permasalahan yang terjadi pada masyarakat yang akan dianalisis berdasarkan teori-teori yang sudah ada sebelumnya. Dalam hal ini, permasalahan yang akan diteliti adalah permasalahan yang terjadi antara Beti Anovia dan Abdun Nafik dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 3149 K/Pdt/2012 mengenai status harta setelah putusnya perkawinan. Selanjutnya, karena penelitian ini berfokus pada status hukum atas harta kekayaan dalam perkawinan, maka penelitian ini hanya menggunakan satu ilmu, yaitu ilmu hukum. Sehingga penelitian ini merupakan penelitian mono disipliner. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang berasal dari bahan pustaka atau dokumen. Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan yang isinya mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya. Dalam hal ini, bahan hukum primer yang utama digunakan dalam penelitian adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Di samping itu, bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan yang memberikan informasi mengenai bahan hukum primer, seperti buku, skripsi dan tesis. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data-data yang bersumber dari buku-buku mengenai perkawinan, serta skripsi dan tesis yang memiliki keterkaitan dengan topik yang dibahas. Dalam penelitian ini, penulis melakukan analisis data dengan menggunakan metode kualitatif. Dengan demikian, pada akhir penelitian, penulis akan memberikan kesimpulan terhadap analisis yang telah dilakukan dengan menuangkannya dalam bentuk pernyataan atau tulisan.
Tinjauan yuridis terhadap status..., Fitriana, FH UI, 2015
Hasil Penelitian Dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak disebutkan mengenai harta yang diberikan kepada suami atau isteri karena hibah sebagai harta kekayaan dalam perkawinan. Padahal sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, pada dasarnya hadiah dan warisan adalah berbeda dengan hibah. Dengan demikian, Penulis berpendapat bahwa hibah seharusnya dimasukkan pula dalam ketentuan Pasal 35 ayat (2) tersebut, karena hibah merupakan salah satu cara dalam memperoleh harta dalam perkawinan. Selain itu, dalam hukum Islam maupun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak ditentukan secara tegas mengenai akibat hukum terhadap harta suami atau isteri yang diperoleh dari hibah setelah putusnya perkawinan. Sehingga dalam hal ini, perlu dilakukan penafsiran dari ketentuan-ketentuan mengenai harta yang diperoleh dari hibah untuk menentukan kedudukan harta tersebut setelah putusnya perkawinan. Berdasarkan Pasal 87 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Selanjutnya pada ayat (2) juga dikatakan bahwa suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya. Dengan demikian, harta suami atau isteri yang diperoleh dari hibah selama perkawinan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Mengenai harta suami atau isteri yang diperoleh dari hibah selama perkawinan, UndangUndang No. 1 Tahun 1974 juga tidak mengaturnya secara jelas. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, Penulis menafsirkan bahwa harta yang diperoleh dari hibah seharusnya juga dimasukkan dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, sehingga harta yang diperoleh dari hibah juga berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Dengan demikian, terhadap harta suami atau isteri yang diperoleh dari hibah selama perkawinan, dalam hal terjadi perceraian, akan kembali kepada suami atau isteri yang memperoleh harta tersebut. Ketentuan dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut, tidak mengatur secara jelas apakah ketentuan tersebut berlaku bagi perkawinan yang terputus karena kematian, perceraian, atau atas putusan pengadilan. Namun demikian, menurut Penulis, ketentuan ini dapat diberlakukan bagi segala macam bentuk putusnya perkawinan.
Tinjauan yuridis terhadap status..., Fitriana, FH UI, 2015
Sehingga harta suami atau isteri yang diperoleh dari hibah adalah berada di bawah penguasaan masing-masing pihak setelah putusnya perkawinan, kecuali ditentukan lain yang dinyatakan dalam perjanjian perkawinan.
Pembahasan Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 87 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka terhadap harta suami atau isteri yang diperoleh dari hibah selama perkawinan, dalam hal terjadi perceraian, akan kembali kepada suami atau isteri yang memperoleh harta tersebut. Hal ini adalah wajar karena harta yang diperoleh dari hibah tersebut tentunya akan kembali kepada suami atau isteri yang memiliki hak sepenuhnya terhadap harta tersebut, kecuali jika ditentukan lain yang biasanya dilakukan melalui perjanjian perkawinan. Dalam hal ini, segala apa yang menjadi hak kehartaan isteri, maka suami tidak boleh mengganggu gugat dengan dalih apapun, atau menghabiskannya tanpa izin dari isteri, demikian pula sebaliknya. Dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 3149 K/Pdt/2012, terdapat sebuah kasus antara Beti Anovia (Penggugat) dengan Abdun Nafik (Tergugat). Penggugat dan Tergugat merupakan sepasang suami isteri yang telah melangsungkan perkawinan pada tanggal 23 Juli 2000. Saat itu kondisi perekonomian dalam perkawinan Penggugat dan Tergugat masih belum mapan, sehingga orang tua Penggugat memberikan modal untuk menambah pemasukan bagi perkawinan mereka. Oleh karena itu, pada tanggal 26 Agustus 2002, Badi Zaenal (orang tua Penggugat) memberikan modal usaha kepada Penggugat sebesar Rp 205.000.000,- yang dibuktikan dengan kwitansi dan surat hibah dari Badi Zaenal kepada Penggugat. Modal usaha tersebut kemudian dimasukkan sebagai saham di PT Bank Perkreditan Rakyat Syariah Ben Salamah Abadi, yang merupakan perusahaan milik keluarga Penggugat. Saham sebesar
Rp
55.000.000,-
di
atasnamakan
Penggugat,
sedangkan
saham
sebesar
Rp 150.000.000,- di atasnamakan Tergugat dengan meminjam nama karena saat itu Tergugat dipromosikan sebagai Komisaris Utama. Selain itu, telah disepakati pula bahwa laba atau deviden yang diperoleh dari usaha tersebut akan diambil oleh Penggugat dan Bin Elviana sebagai pemilik modal awal. Selanjutnya, pada tanggal 23 September 2008, perkawinan Penggugat dan Tergugat telah putus karena perceraian. Namun hingga tahun 2011, Tergugat masih berkedudukan sebagai penerima deviden dari PT Bank Perkreditan Rakyat Syariah Ben Salamah Abadi. Hal ini
Tinjauan yuridis terhadap status..., Fitriana, FH UI, 2015
tentunya menyebabkan Penggugat tidak dapat mengambil deviden yang seharusnya menjadi haknya. Dengan adanya hal tersebut, Penggugat kemudian mengajukan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum kepada Tergugat, karena Tergugat tetap menuntut deviden sebesar 25%. Menurut Penulis, pengajuan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Purwodadi ini bermula karena adanya permasalahan mengenai kepemilikan saham sebesar Rp 150.000.000,00. Dalam hal ini, Beti Anovia sebagai Penggugat menyatakan bahwa saham tersebut adalah miliknya sehingga Abdun Nafik sebagai Tergugat tidak berhak untuk menerima deviden lagi sejak putusnya perkawinan mereka. Namun, di lain pihak, Tergugat menyatakan bahwa saham tersebut adalah miliknya karena saham itu di atasnamakan dirinya. Oleh karena itu, menurut Penulis, sebaiknya kepemilikan saham yang hanya meminjam nama Tergugat tersebut, dituangkan dalam suatu akta otentik yang dibuat oleh Notaris sebagai pejabat yang berwenang, untuk menegaskan kepemilikan atas saham tersebut sehingga tidak akan menimbulkan adanya permasalahan hukum. Dalam pertimbangan hukum, Majelis Hakim menggunakan asas acta publica probant sese ipsa, Pasal 165 HIR, Pasal 1870 BW, dan Pasal 1871 BW sebagai dasar atas nilai pembuktian yang kuat terhadap Akta Notaris No. 24, tanggal 30 Desember 2002, yang berisikan modal awal yang ditempatkan para pendiri BPR Syariah Ben Salamah Abadi. Dengan dasar hukum ini, Majelis Hakim menimbang bahwa Abdun Nafik secara hukum merupakan salah satu pendiri dari Turut Tergugat dengan modal awal yang ditempatkan sebesar Rp 150.000.000,-. Namun, menurut Penulis, pertimbangan hukum Majelis Hakim kurang tepat mengingat Beti Penggugat juga mengajukan alat bukti surat berupa Akta Pernyataan Keputusan Rapat No. 17 tanggal 28 Juli 2010 yang dibuat dan ditandatangani oleh Sri Suharni, SH, sebagai notaris, yang menyatakan bahwa Tergugat tidak lagi termasuk dalam susunan pemegang saham. Selanjutnya dalam pertimbangan hukum, Majelis Hakim juga meragukan apakah uang sejumlah Rp 205.000.000,- benar-benar diterima Penggugat atau tidak. Menurut Penulis, hal itu tidak perlu diragukan lagi jika di antara Badi Zaenal dan Penggugat memang telah terjadi shigat (ijab qabul) dalam transaksi hibah, sehingga perbuatan itu sungguh mencerminkan terjadinya pemindahan hak milik atas uang tersebut. Adapun menurut Penulis, pelaksanaan hibah tersebut juga telah memenuhi empat unsur hibah sebagaimana yang dikemukakan oleh Helmi Karim sebagai berikut. 1. Badi Zaenal sebagai pihak penghibah telah memenuhi syarat-syarat:
Tinjauan yuridis terhadap status..., Fitriana, FH UI, 2015
a.
Merupakan pemilik sempurna atas uang sejumlah Rp 205.000.000,-. Hal ini dapat dibuktikan dengan keterangan saksi Penggugat yang ke 3, bernama Ginting Hardaningrum, yang menerangkan pernah mengeluarkan uang sebesar Rp 500.000.000,- dari rekening milik pribadi Badi Zaenal yang ada di BMT Ben Takwa Godong untuk di setor ke Bank Muamalat di Semarang. Dari uang tersebut, Badi Zaenal menghibahkan uang sejumlah Rp 205.000.000,- kepada Penggugat sebagai modal awal Turut Tergugat.
b.
Orang yang cakap bertindak secara sempurna (baligh dan berakal). Selama proses di pengadilan, tidak terdapat keterangan yang menyatakan bahwa Badi Zaenal tidak dapat bertindak secara sempurna, sehingga Penulis menafsirkan bahwa Badi Zaenal adalah orang yang cakap. Meskipun dalam hal ini Ginting Hardaningrum yang mengeluarkan sejumlah uang dari rekening milik pribadi Badi Zaenal, namun posisi Ginting Hardaningrum hanyalah sebagai pihak yang disuruh saja dan tidak memiliki kewenangan apapun untuk mewakili Badi Zaenal dalam melakukan perbuatan hukum.
c. Melakukan perbuatannya itu atas kemauan sendiri dengan penuh kerelaan, dan tidak dalam keadaan terpaksa. Dalam persidangan, Badi Zaenal menyatakan bahwa ia mengambil uang sejumlah Rp 500.000.000,- dari rekening pribadi miliknya untuk modal BPR Ben Salamah Abadi atas nama anaknya yaitu Beti Anovia (Penggugat) dan Bin Elviana. Selain itu, Penggugat juga mendalilkan bahwa pemberian modal ini dilakukan untuk membantu perekonomian perkawinan Penggugat yang saat itu belum mapan. Berdasarkan hal tersebut, maka terlihat bahwa pemberian uang ini tidak mengandung adanya unsur paksa. 2. Penggugat sebagai pihak penerima hibah, sudah wujud dalam arti yang sesungguhnya ketika akad hibah dilakukan. Maksudnya adalah ketika hibah tersebut dilakukan, Penggugat bukanlah merupakan anak yang masih berada dalam kandungan. 3. Uang sejumlah Rp 205.000.000,- sebagai objek yang dijadikan hibah telah memenuhi syarat-syarat: a. Dimiliki sempurna dari Badi Zaenal sebagai pihak penghibah b. Sudah ada ketika transaksi hibah dilaksanakan c. Merupakan sesuatu yang boleh dimiliki oleh agama d. Telah terpisah secara jelas dari harta milik penghibah e. Nilainya jelas dan dapat diserahterimakan
Tinjauan yuridis terhadap status..., Fitriana, FH UI, 2015
4. Di antara Badi Zaenal dan Penggugat telah terjadi akad atau ijab qabul, sehingga telah mencerminkan adanya pemindahan hak milik atas uang tersebut melalui hibah. Dalam hal ini, hukum Islam tidak menentukan ketetapan khusus mengenai ‘lafaz’ apa yang harus dipakai untuk melakukan ijab qabul tersebut. Yang terpenting adalah Badi Zaenal dan Penggugat telah menunjukkan adanya serah terima sejumlah uang dengan cara hibah. Dengan telah terpenuhinya unsur-unsur tersebut, maka hibah yang terjadi antara Badi Zaenal dengan Penggugat adalah sah, meskipun uang tersebut tidak pernah diserahkan oleh Badi Zaenal kepada Penggugat secara langsung. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Malik bahwa dalam mensahkan hibah tidak diperlukan memegang barangnya asalkan telah terjadi akadnya. Dengan demikian, pertimbangan Majelis Hakim yang terlalu menekankan bahwa seharusnya Penggugat menerima dan memegang uang tersebut dari Badi Zaenal adalah tidak tepat. Adapun pertimbangan Majelis Hakim terhadap keterangan saksi Penggugat ke-1 yang bernama Soepangat sebagai bukti dalam memperkuat fakta bahwa saham senilai Rp 150.000.000,- merupakan milik Tergugat, adalah tidak tepat. Dalam hal ini, Soepangat hanya memberikan keterangan bahwa ia mengusulkan supaya Tergugat memegang saham yang paling banyak karena pada waktu itu Tergugat dipromosikan sebagai Komisaris Utama. Hal ini kemudian disetujui sehingga Tergugat diberikan modal saham sebesar Rp 150.000.000,sedangkan yang lainnya lebih kecil. Menurut Penulis, keterangan Soepangat ini hanya memperkuat fakta bahwa saham senilai Rp 150.000.000,- tersebut memang hanya diatasnamakan Tergugat saja, tanpa mempertimbangkan apakah telah terjadi pemindahan kepemilikan sejati terhadap saham tersebut. Tentunya hal ini harus dapat dibuktikan apakah telah terjadi shigat dalam pengatasnamaan saham tersebut sehingga perbuatan itu telah menimbulkan pemindahan hak milik melalui hibah. Dalam hal ini, Penulis menyimpulkan bahwa selama proses persidangan, Penggugat maupun Badi Zaenal sama sekali tidak menyatakan adanya kehendak untuk memberikan uang tersebut kepada Tergugat secara hibah. Mereka hanya menegaskan bahwa nama Tergugat hanya dipinjam saja sebagai pemegang saham karena Tergugat saat itu hanya ingin dijadikan sebagai Komisaris Utama saja. Dengan demikian, tidak terdapat suatu aqad hibah kepada Tergugat, karena tidak adanya kehendak dari pemilik sejati atas uang saham tersebut untuk memberikannya kepada Tergugat. Dalam melakukan penafsiran, seharusnya Majelis Hakim juga melihat pada unsur sosiologis yang terdapat dalam kasus tersebut. Menurut Penulis, alasan diangkatnya Tergugat menjadi Komisaris Utama adalah hanya untuk mengangkat derajat keluarga Badi Zaenal. Hal ini
Tinjauan yuridis terhadap status..., Fitriana, FH UI, 2015
dikarenakan Tergugat adalah suami dari anaknya, sehingga Badi Zaenal menggunakan nama Tergugat sebagai pemegang saham karena ingin terlihat bahwa Tergugat memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan anaknya di perusahaannya. Karena jika tidak, maka akan dikhawatirkan hal tersebut menimbulkan pandangan miring dari pekerja di perusahaannya. Menurut Penulis, uang sejumlah Rp 205.000.000,- yang diterima Penggugat dari Badi Zaenal merupakan harta pemberian yang diperoleh karena hibah. Meskipun memiliki akibat hukum yang sama dengan harta bawaan, yakni berada di bawah penguasaan pemiliknya, namun terdapat perbedaan dalam hal kapan diberikannya harta tersebut. Dalam harta bawaan, harta diberikan sebelum perkawinan dilangsungkan, sedangkan dalam harta yang diberikan karena hibah diperoleh selama berada dalam hubungan perkawinan. Berdasarkan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 94 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta pribadi masing-masing. Dengan demikian, Penggugat bebas menentukan harta yang diperolehnya dari hibah tersebut tanpa campur tangan dari Tergugat sebagai suaminya. Jika sejak awal Penggugat menjadikan saham tersebut sebagai harta bersama dengan syirkah atau ditentukan dalam perjanjan, maka Tergugat memang berhak atas harta tersebut. Namun disini Tergugat hanya berhak atas sebagian dari uang saja, yakni sebesar Rp 75.000.000,-. Untuk dapat memperoleh sebagian dari harta tersebut, kita harus membuktikan lebih lanjut apakah terdapat perjanjian syirkah, atau ditentukan dengan undang-undang atau peraturan perundangan, atau kenyataan kehidupan Penggugat dan Tergugat itu yang memperlakukan saham itu sebagai harta bersama. Memang, uang tersebut bukanlah merupakan harta bawaan milik Penggugat, namun dengan menelusuri asal diperolehnya, maka saham tersebut diperoleh Penggugat dari Badi Zaenal dengan cara hibah. Dengan adanya hibah tersebut, maka telah menimbulkan pemindahan hak milik atas uang tersebut dari Badi Zaenal kepada Penggugat. Sehingga setelah bercerai, Penggugat memiliki hak sepenuhnya atas modal saham Rp 150.000.000.- yang diatasnamakan Tergugat dan juga terhadap laba atau deviden sebesar 25%. Hal ini dikarenakan nama Tergugat hanya dipinjam saja sehingga tidak terjadi perpindahan hak milik atas uang saham tersebut dari Penggugat kepada Tergugat. Berdasarkan uraian tersebut, maka sudah sepatutnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwodadi menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan
Tinjauan yuridis terhadap status..., Fitriana, FH UI, 2015
menerima petitum Penggugat untuk sebagian atau seluruhnya sehingga Penggugat dinyatakan sebagai pihak yang menang. Namun, dalam putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya. Oleh karena itu, Penggugat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Semarang. Dalam pertimbangan hukum, Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama yang dijadikan dasar dan alasan kesimpulannya dalam memutus perkara, sudah tepat dan benar. Sehingga Majelis Hakim Tingkat Banding menguatkan putusan Pengadilan Negeri Purwodadi pada tanggal 4 Januari 2012 No. 09/Pdt.G/2011/PN.Pwi. Namun, terdapat satu orang Hakim anggota yaitu Hakim Anggota II yang bernama Hj. Rosida Idroes, SH., yang tidak sependapat dikuatkannya putusan Pengadilan Negeri Purwodadi tersebut dengan pendapat dan pertimbangan sebagai berikut. Menurut keterangan saksi Ginting Handaningrum, ia pernah mengeluarkan uang sebesar Rp 500.000.000,- atas permintaan Badi Zaenal dari rekeningnya yang ada di BMT Ben Takwa Godong untuk disetor ke Bank Muamalat di Semarang. Karena tidak dibantah oleh para pihak, maka terbukti bahwa modal awal Turut Tergugat sebesar Rp 500.000.000,- berasal dari Badi Zaenal. Selain itu, saham yang diatasnamakan Tergugat merupakan hal yang wajarwajar saja karena Tergugat adalah menantunya. Dalam hal ini, jika ia bukan karena suami dari Penggugat, maka tidak mungkin saham yang jumlahnya terbanyak diatasnamakan Tergugat. Menurut Penulis, Hakim Anggota II lebih baik memberikan pertimbangan hukumnya berdasarkan pada kedudukan harta itu dilihat dari asal diperolehnya. Sehingga dapat dilihat pula bagaimana status kepemilikan atas harta tersebut dan siapakah yang berhak memperoleh harta itu setelah bercerai. Menurut Penulis, hal ini lebih memenuhi asas kepastian hukum, dibandingkan dengan hanya melihat bahwa Tergugat bukan keluarga dari Badi Zaenal lagi sehingga tidak berhak atas deviden dan saham dari Turut Tergugat. Dengan dikuatkannya Putusan Pengadilan Negeri Purwodadi No. 09/Pdt.G/2011/PN.Pwi oleh Pengadilan Tinggi Semarang tersebut, maka Penggugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam hal ini, Majelis Hakim berpendapat bahwa alasan-alasan kasasi dapat dibenarkan, karena Pengadilan Tinggi Semarang yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Purwodadi telah salah menerapkan hukum. Pengadilan Negeri Purwodadi tidak cermat dalam mempertimbangkan fakta persidangan berupa keterangan 3 orang saksi di bawah sumpah yang menunjukkan bahwa seluruh modal pendirian Turut Tergugat adalah berasal
Tinjauan yuridis terhadap status..., Fitriana, FH UI, 2015
dari setoran orang tua Penggugat yang kemudian dicatatkan atas nama anak-anaknya termasuk atas nama Tergugat sebagai anak menantu. Sehingga telah benar bahwa saham sebesar Rp 150.000.000,- dalam perkara bukanlah merupakan hak Tergugat. Selain itu, setelah Tergugat berpisah dengan Penggugat karena perceraian, maka Tergugat bukan lagi anggota keluarga dari orang tua Penggugat, sehingga sudah sepatutnya Tergugat mengembalikan saham atas namanya kepada Penggugat. Dengan demikian, Mahkamah Agung membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 138/Pdt/2012/PT.Smg tanggal 30
Mei
2012
yang
menguatkan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purwodadi
No.
09/Pdt.G/2011/PN.Pwi tanggal 10 Agustus 2011. Dalam hal ini Penulis berpendapat bahwa Majelis Hakim Agung lebih baik memberikan pertimbangan hukumnya berdasarkan pada kedudukan harta itu dilihat dari asal diperolehnya. Sehingga dapat dilihat pula bagaimana status kepemilikan atas harta tersebut dan siapakah yang berhak memperoleh harta itu setelah bercerai. Menurut Penulis, hal ini lebih memenuhi asas kepastian hukum, dibandingkan dengan hanya melihat bahwa Tergugat bukan keluarga dari Badi Zaenal lagi sehingga tidak berhak atas deviden dan saham dari Turut Tergugat setelah terjadi perceraian. Namun, menurut Penulis, amar putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa “Uang saham Rp 150.000.000,- atas nama Tergugat berasal dari harta bawaan Penggugat” adalah tidak tepat. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, pada dasarnya uang saham tersebut adalah harta yang diperoleh Penggugat dari hibah selama berada dalam hubungan perkawinan. Meskipun memiliki akibat hukum yang sama dengan harta bawaan, yakni berada di bawah penguasaan pemiliknya, namun terdapat perbedaan dalam hal kapan diberikannya harta tersebut. Dalam harta bawaan, harta diberikan sebelum perkawinan dilangsungkan, sedangkan dalam harta yang diperoleh karena hibah diberikan selama berada dalam hubungan perkawinan. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, berdasarkan Pasal 87 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan (termasuk hibah) adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka terhadap harta suami atau isteri yang diperoleh dari hibah, hadiah, ataupun warisan selama perkawinan, dalam hal terjadi perceraian, akan kembali kepada suami atau isteri yang memperoleh harta tersebut.
Tinjauan yuridis terhadap status..., Fitriana, FH UI, 2015
Dengan demikian, segala apa yang menjadi hak kehartaan Penggugat, maka Tergugat tidak boleh menuntutnya dengan dalih apapun. Berdasarkan uraian tersebut, maka telah terbukti bahwa Tergugat secara nyata melakukan perbuatan melawan hukum. Uang saham Rp 150.000.000,- yang diatasnamakan Tergugat adalah milik Penggugat karena harta tersebut diperolehnya dari hibah, sehingga laba/deviden sebesar 25% tersebut adalah milik Penggugat. Dengan demikian, status harta Penggugat yang diperoleh dari hibah dan diatasnamakan Tergugat setelah terjadinya perceraian menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah tetap milik Penggugat dan berada di bawah penguasaan Penggugat dengan hak sepenuhnya.
Kesimpulan 1. Hukum Islam maupun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara tegas mengenai status harta isteri yang diperoleh dari hibah dan di atasnamakan suami setelah terjadinya perceraian. Namun, Penulis menafsirkan bahwa ketentuan Pasal 87 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 35 ayat (2) UndangUndang No. 1 Tahun 1974 dapat diberlakukan bagi harta isteri yang diperoleh karena hibah selama perkawinan berlangsung. Dengan demikian, jika terjadi perceraian, maka harta isteri yang diperoleh dari hibah akan kembali kepada isteri tersebut jika di antara suami dan isteri tidak diadakan syirkah atau tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan, meskipun atas harta tersebut meminjam nama suami. 2. Pertimbangan hukum Majelis Hakim Agung dalam Putusan Mahkamah Agung No. 3149 K/Pdt/2012 tidak menggunakan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Padahal Majelis Hakim Agung dapat mempergunakan ketentuan Pasal 87 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dalam pertimbangan hukumnya. Selain itu, amar putusan Majelis Hakim Agung yang menyatakan bahwa “Uang saham Rp 150.000.000,- atas nama Tergugat berasal dari harta bawaan Penggugat” adalah tidak tepat. Karena dilihat dari sudut asalnya, uang saham tersebut bukan merupakan harta bawaan Penggugat, melainkan harta yang diperoleh Penggugat dari hibah selama berada dalam hubungan perkawinan.
Tinjauan yuridis terhadap status..., Fitriana, FH UI, 2015
Saran 1. Sebaiknya segala sesuatu yang berkaitan dengan harta kekayaan dalam perkawinan, ditentukan terlebih dahulu dengan perjanjian perkawinan. Sedangkan jika perbuatan hukum atas harta kekayaan tersebut terjadi ketika perkawinan telah berlangsung, hendaknya dituangkan dalam perjanjian tertulis di depan notaris. 2. Sebaiknya dalam memberikan putusan, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang maupun Majelis Hakim Mahkamah Agung mencantumkan peraturan perundangundangan sebagai dasar hukum dalam pertimbangan hukumnya. 3. Sebaiknya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwodadi dan Majelis Hakim Tinggi Semarang dalam melakukan penafsiran, juga melihat pada unsur sosiologis dari suatu perkara sehingga dapat tercapai keadilan yang hakiki. Selain itu, sebaiknya Majelis Hakim Agung memberikan pertimbangan hukumnya berdasarkan pada kedudukan harta itu dilihat dari asal diperolehnya. Sehingga dapat dilihat pula bagaimana status kepemilikan atas harta tersebut dan siapakah yang berhak memperoleh harta itu setelah bercerai.
Daftar Referensi Buku Ash-Shiddieqy, T.M Hasbi. (1970). Hukum-Hukum Fiqih Islam, cet. 4. Jakarta: Bulan Bintang. Basuki, Zulfa Djoko. (2010). Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Hamid, Zahry. (1978). Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, cet. 1. Yogyakarta: Binacipta. J. Satrio. (1991). Hukum Harta Perkawinan, cet. 1. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Mamudji, Sri. Et al. (2005). Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, cet. 1. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Subekti, Wienarsih Imam dan Sri Soesilowati Mahdi. (2000). Hukum Perorangan Perdata Barat: Buku A. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Suhendi, Hendi. (2005). Fiqh Muamalah, ed. 2. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Thalib, Sayuti. (1986). Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet. 5. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).
Tinjauan yuridis terhadap status..., Fitriana, FH UI, 2015
Skripsi/Tesis Mulia, Natalie. (2005). Keberadaan Hibah Terhadap Bagian Mutlak Ahli Waris (Suatu Kajian Terhadap Ketentuan Waris Perdata Barat. Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok. Rahman, Taufiq. (2002). Akibat Hukum Dari Perceraian Terhadap Harta Benda Perkawinan Menurut Hukum Islam. Skripsi Sarjana Hukum Universitas Indonesia, Depok. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019. Presiden RI. Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975. Peraturan Presiden RI. Instruksi Presiden Kompilasi Hukum Islam, Inpres No. 1 Tahun 1991.
Tinjauan yuridis terhadap status..., Fitriana, FH UI, 2015