PEMBATASAN PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA MAJIKAN TERHADAP KESALAHAN YANG DILAKUKAN OLEH BAWAHANNYA BERDASARKAN PASAL 1367 KITAB UNDANGUNDANG HUKUM PERDATA INDONESIA (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1696 K/PDT/2012) Theresia Olivia, Rosa Agustina Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jalan Lingkar Kampus Raya, Kampus FHUI, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Fokus utama dari penelitian adalah menyajikan suatu pembahasan mengenai sejauh mana pertanggungjawaban perdata dari seorang majikan terhadap kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya berdasarkan ketentuan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Seringkali ditemukan suatu permasalahan mengenai ketidakpastian sumber hukum mengenai hal ini. Belum ada suatu peraturan atau dasar hukum yang secara jelas dan tegas memberikan pengaturan pembatasan pertanggungjawaban majikan atas kesalahan bawahannya. Dengan kata lain, telah terjadi suatu ketidakpastian hukum yang akhirnya memunculkan anggapan timbul suatu ketidakadilan karena ketiadaan dasar hukum ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami sejauh mana pertanggungjawaban perdata dari majikan atas kesalahan bawahannya berdasarkan hukum yang ada. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan metode penulisan adalah deskriptif eksplanatoris. Hasil penelitian menyarankankan bahwa Pemerintah hendaknya membentuk suatu peraturan yang dapat dijadikan dasar hukum perihal pembatasan pertanggungjawaban majikan terhadap bawahannya mengingat sampai saat ini belum ada sumber hukum tertulis yang memberikan penjelasan secara lengkap.
The Restriction of Civil Responsibility of The Employer towards the Fault of the Employee Regarding Article 1367 Indonesian Civil Code (Analyze on Indonesia Supreme Court Ruling No. 1696 K/PDT/2012) Abstract The focus of this study is the restriction of civil responsibility of the employer towards the fault which had been done by the employee regarding Article 1367 Indonesian Civil Code. It has usually found the problem about the legal uncertainty in this problem in Indonesia. There is no strict regulation that regulates about the restriction of civil responsibility of the employer towards the fault which had been done by his employee It can be said that there is a law uncertainty that can cause the unfairness because there is no strict law. The pupose of this study is to understand the restriction of civil responsibility of the employer regarding law in Indonesia. This research is descriptive explanatory. The researcher suggests that Government should make regulation that can give clear explanation about the civil responsibility of the employer toward the fault of the employee because so far there is no written regulation that give the clear explanation about this problem. Key words: civil responsibility; employee; employer; restriction
Pendahuluan
Pembatasan pertanggungjawaban..., Theresia Olivia, FH, 2014
Perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian pada orang lain karena dilakukan dengan kesalahan dalam hukum perdata disebut sebagai perbuatan melawan hukum.1 Perbuatan melawan
hukum
yang
didalamnya
terdapat
unsur
kesalahan
ini
menimbulkan
pertanggungjawaban perdata atau disebut juga dengan civil liability. Pertanggungjawaban perdata pada dasarnya memerlukan unsur kesalahan dari pelanggarnya.2 Pertanggungjawaban perdata mengacu pada ketentuan dalam pasal 1365 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yang menyebutkan bahwa “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian tersebut”.3
Perbuatan melawan hukum pada awalnya selalu menggunakan pengertian sempit. Hoge Raad sebelum tahun 1919 mengartikan perbuatan melawan hukum sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undangundang. Namun, pada tanggal 31 Januari 1919, terdapat putusan Hoge Raad yang menjadi permulaan munculnya pengertian perbuatan melawan hukum yang lebih luas. Hal itu terdapat dalam putusan perkara Lindebaum vs Cohen.4 Putusan lain yang dapat dilihat sehubungan dengan hal ini adalah putusan-putusan Hoge Raad dalam kasus Singer Naaimachine dan Zutphense Juffrow.5
Pertanggungjawaban perdata ternyata tidak hanya terhadap kesalahan yang dilakukan oleh diri sendiri saja melainkan dapat dibebankan kepada seseorang atas kesalahan yang dilakukan oleh orang lain dengan ketentuan tertentu. Hal ini diatur pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata versi terjemahan dari Prof. Subekti S.H., menyatakan bahwa:
1
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1980), hlm. 197.
2
Ibid, hlm.199.
3
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), Pasal 1365. 4
5
M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979), hlm.25-26. Ibid, hlm 5-7
Pembatasan pertanggungjawaban..., Theresia Olivia, FH, 2014
“Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orangorang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah penguasaannya”.6
Ketentuan dalam pasal 1367 KUHPerdata, mengenai perbuatan melawan hukum, disebutkan oleh M. A. Moegni Djojodirdjo S.H, dengan istilah „Tanggung Gugat‟ atau „pertanggungan jawab‟ atau dalam bahasa belandanya disebut sebagai „aansprakelijkheid‟. Tanggung gugat dibedakan menjadi tanggung gugat untuk perbuatan orang lain dan tanggung gugat yang disebabkan karena barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.7 Dalam Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata disebutkan bahwa seseorang bertanggung jawab secara perdata atas kerugian akibat pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain yang menjadi tanggungannya.
Ketentuan lebih lanjut dalam pasal 1367 ayat (2), (3), dan (4) mengatur mengenai pihak-pihak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban yaitu orang tua orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian yang disebabkan oleh anak-anak yang berada dibawah penguasaan mereka, majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka bertanggung jawab atas bawahannya, guru-guru sekolah dan kepalakepala tukang bertanggung jawab terhadap murid-murid dan tukang-tukang di bawah pengawasan mereka.
Terdapat pengecualian yang membatasi sejauh mana seseorang dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas kerugian dari perbuatan orang lain yang diatur dalam Pasal 1367 ayat (5) KUHPerdata dimana orang-orang atau pihak-pihak yang disebutkan dalam Pasal 1367 KUHPerdata tidak dapat dimintai pertanggungjawaban apabila mereka dapat membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab. Dari perumusan tersebut, terlihat bahwa pertanggungjawaban seseorang atas tindakan yang menjadi tanggungannya adalah tidak tak terbatas. Namun, rumusan dari ayat ini tidak memberikan batasan mengenai sejauh mana majikan harus bertanggung jawab jika
bawahannya
melakukan
kesalahan.
6
Ibid.
7
M. A. Moegni Djojodirdjo, Op.Cit., hlm. 114.
Ketiadaan
rumusan
mengenai
Pembatasan pertanggungjawaban..., Theresia Olivia, FH, 2014
batasan
pertanggungjawaban majikan terhadap bawahannya ini menimbulkan persepsi bahwa tanggung jawab majikan tersebut sifatnya tidak terbatas.
Dalam pelaksanaannya, ketiadaan pengaturan mengenai batasan pertanggungjawaban majikan terhadap tindakan buruhnya memunculkan persepsi bahwa majikan bertanggung jawab atas tindakan buruhnya walaupun tidak ada unsur kesalahan. Persepsi demikian dirasa kurang tepat dan dirasa perlu untuk diatur secara lebih jelas demi mencegah ketidakpastian hukum.
Pada dasarnya majikan bertanggung jawab atas tindakan buruh sesuai dengan pekerjaan yang diperintahkan kepadanya. Majikan berkewajiban untuk mengawasi segala tindakan buruh sehubungan dengan tugas dan wewenang yang dimiliki masing-masing. Namun, apabila buruh tersebut ternyata melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak menjalankan sesuai tugas dan wewenangnya, atau bahkan melebihi kewenangan yang diberikan kepadanya, maka kerugian yang ditimbulkan dirasa bukan menjadi tanggung jawab majikan.
Pertanggungjawaban majikan terhadap bawahannya sebaiknya diberikan pembatasan. Hal ini dikarenakan tidak semua perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh bawahan juga merupakan tindakan yang diperbolehkan atau sesuai kewenangan yang diberikan kepada bawahannya. Bawahan dapat melakukan suatu tindakan diluar kewenangannya. Antara tanggung jawab pribadi bawahan dengan tangung jawab majikan tidaklah dapat disatukan.
Dalam pelaksanaannya, terdapat salah satu contoh nyata dari kebutuhan akan kepastian hukum dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1696K/Pdt/2012. Dalam putusan tersebut, seorang majikan dinyatakan juga bertanggungjawab terhadap kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya walaupun telah terdapat putusan pidana yang memutuskan bahwa bawahan tersebut telah melakukan tindakan pidana yang melampaui kewenangan yang diberikan kepadanya. Putusan ini dinilai belum sepenuhnya sejalan dengan teori-teori yang ada sebagaimana diuraikan secara singkat sebelumnya.
Terdapat dua permasalahan yang akan di bahas dalam tulisan ini yaitu bagaimana pembatasan pertanggungjawaban dari majikan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh bawahannya menurut ketentuan Pasal 1367 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan bagaimana pertanggungjawaban perdata majikan atas perbuatan melawan hukum bawahannya menurut Mahkamah Agung dalam putusan Mahkamah Agung Republik
Pembatasan pertanggungjawaban..., Theresia Olivia, FH, 2014
Indonesia Nomor 1696 K/Pdt/2012 sehubungan dengan pertanggungjawaban majikan terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh bawahannya.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah agar pembaca dapat memperoleh informasi dan penjelasan mengenai sebagian kecil lingkup dari hukum perdata, khususnya mengenai pembatasan pertanggungjawaban majikan atas tindakan bawahannya. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas dalam proposal penelitan ini, yaitu: untuk memahami batasan pertanggungjawaban dari majikan atas kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya menurut ketentuan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan untuk memahami bagaimana pandangan dari Mahkamah Agung mengenai pertanggungjawaban majikan terhadap tindakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh bawahannya dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1696 K/Pdt/2012.
Tinjauan Teoritis Pengaturan mengenai perbuatan melawan hukum diatur dalam Buku III tentang Perikatan yakni diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian tersebut”.8
Sehubungan dengan ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, maka terdapat beberapa unsur dari suatu tindakan agar dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum yaitu: 1. Adanya perbuatan; Lingkup dari unsur perbuatan ini terdiri dari perbuatan yang diartikan dengan berbuat sesuatu (dalam arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu yang menjadi kewajiban hukum dari orang tersebut (dalam arti pasif).9 Pengertian aktif dan pasif ini dapat pula dipahami bahwa perbuatan melawan hukum dapat dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja, yang mana seharusnya orang tersebut diketahui seharusnya melakukan suatu perbuatan. 2. Perbuatan tersebut melawan hukum;
8
Ibid., hlm. 346.
9
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hlm.2.
Pembatasan pertanggungjawaban..., Theresia Olivia, FH, 2014
Sejak tahun 1919, arti dari melawan hukum memiliki pengertian luas yang meliputi halhal sebagai berikut: a. Melanggar undang-undang yang berlaku (hukum tertulis); b. Melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum (hak subjektif orang lain); Yang dimaksud dengan hak subjektif orang lain berarti telah terjadi pelanggaran wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang, termasuk hak perorangan dan/atau hak atas harta kekayaan. c. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; Diartikan sebagai kewajiban yang berdasarkan hukum tertulis maupun tidak tertulis. d. Bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden); dan e. Bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (atau dikenal dengan istilah asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian/ PATIHA).10
3. Adanya kesalahan dari pelaku; Unsur-unsur dari kesalahan itu sendiri meliputi: a. Adanya unsur kesengajaan; atau b. Adanya unsur kelalaian (negligence, culpa); dan c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain.11
Menurut Dr. Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M., ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan adanya unsur “kesalahan” dalam perbuatan melawan hukum. Dikatakan bahwa tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk dalam tanggung jawab berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Keberlakuan mengenai strict liability tidak didasarkan atas Pasal 1365 KUHPerdata tetapi didasarkan pada ketentuan dalam undang-undang lain.12
Terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikategorikan sebagai “kesengajaan” ataupun “kelalaian”. 10
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, cet.III, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010), hlm.11.
11
Ibid., hlm.12.
12
Ibid., hlm.12.
Pembatasan pertanggungjawaban..., Theresia Olivia, FH, 2014
a. Unsur kesengajaan: i.
Adanya kesadaran (state of mind) untuk melakukan;
ii.
Adanya konsekuensi dari perbuatan;
iii.
Kesadaran untuk melakukan, bukan hanya menimbulkan konsekuensi, melainkan kepercayaan bahwa dengan tindakan tersebut “pasti” dapat menimbulkan konsekuensi tersebut.13
b. Unsur kelalaian: i.
Adanya suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang mestinya dilakukan;
ii.
Adanya kewajiban kehati-hatian (duty of care);
iii.
Tidak dijalankan kewajiban kehati-hatian tersebut;
iv.
Ada kerugian bagi orang lain;
v.
Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dengan kerugian yang timbul.14
4.
Adanya kerugian bagi korban; Kerugian dalam perbuatan melawan hukum mencakup baik kerugian materiil maupun kerugian immateriil (kerugian yang menyebabkan pengurangan kenyamanan hidup seseorang, contoh: penghinaan dan cacat badan). Tidak ada pengaturan yang secara tegas mengatur kerugian materiil dalam perbuatan melawan hukum sehingga dapat dikatakan bahwa pembayaran ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum dapat mengikuti ketentuan dalam Pasal 1246 KUHPerdata yang mengatur mengenai ganti rugi dalam wanprestasi.
Kerugian materiil tersebut terdiri dari kerugian yang secara nyara diderita oleh korban dan keuntungan yang sedianya dapat diperoleh apabila tidak terjadi perbuatan melawan hukum yang bersangkutan. Dengan adanya penggantian kerugian tersebut diharapkan agar sedemikian rupa keadaan yang diderita korban dapat dikembalikan seperti sebelum perbuatan melawan hukum terjadi.
Sedangkan pengaturan mengenai kerugian immateriil dapat dilihat dalam Pasal 1372 KUHPerdata mengenai penghinaan. Dikatakan bahwa dengan penggantian kerugian
13
Ibid, hlm.47.
14
Ibid, hlm.73.
Pembatasan pertanggungjawaban..., Theresia Olivia, FH, 2014
immateriil, sedapat mungkin kondisi yang ada dapat dikembalikan seperti semula, yaitu selain ganti rugi yang berbentuk uang, juga pemulihan nama baik dan kehormatannya.15 5. Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian.16 Terdapat 2 (dua) teori tentang hubungan kausalitas yaitu: a. Conditio sine qua non; Menurut teori ini, yang menjadi sebab dari suatu akibat adalah tiap-tiap masalah yang merupakan syarat timbulnya suatu akibat. Menurut teori ini, setiap syarat merupakan sebab yang merupakan syarat mutlak untuk timbulnya suatu akibat.17 Tokoh yang mendukung teori ini adalah Von Buri. Teori ini tidak dipergunakan lagi karena pertanggungjawaban pelaku menjadi sangat luas yang akan mempersulit penentuan seberapa jauh pertanggungjawaban perdata dapat dimintakan terhadap seseorang. b. Adequate veroorzaking. Menurut teori ini, sebab dari suatu perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang seimbang dengan akibat dengan menggunakan perhitungan yang layak. 18 Dasar pertimbangan untuk dapat menentukan sebab yang layak adalah berdasarkan perhitungan yang layak (adalah masalah-masalah yang diketahui atau seharusnya diketahui oleh si pelaku) dan masuk akal sehat (reasonable).
Setelah membahas perbuatan melawan hukum secara umum, perlu diketahui pula bahwa terdapat beberapa bentuk pertanggungjawaban perdata yang dikenal dalam KUHPerdata. Salah satunya adalah pertanggungjawaban terhadap perbuatan orang lain yang diatur dalam Pasal 1367 KUHPerdata. Disebutkan dalam Pasal 1367 ayat (1) KUPerdata bahwa:
“Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-
15
J. Satrio, Gugat Perdata atas Dasar Penghinaan sebagai Tindakan Melawan Hukum, cet.1, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hlm.141. 16
Ibid., hlm. 10.
17
Rachmat Setiawan, Op.Cit., hlm.24.
18
M.A. Moegni Djojodirdjo, Op.Cit., hlm.88.
Pembatasan pertanggungjawaban..., Theresia Olivia, FH, 2014
orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah penguasaannya”
Tanggung gugat salah satunya ditemukan dalam hubungan antara majikan dan bawahan sebagaimana diatur dalam pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
“Majikan atau orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu.”
Dari rumusan pasal ini ditegaskan kata-kata “mengangkat orang lain untuk mewakili urusanurusan mereka” harus diartikan secara terbatas, tidak termasuk di dalamnya tukang yang mengangkat pembantunya atau pengusaha pabrik yang mengangkat buruhnya.19
Sehubungan dengan hubungan majikan bawahan ini, terdapat beberapa ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai sejauh mana seorang majikan dapat bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya. Menurut Dr. Yetty Komalasari, S.H., M.LI., setidaknya terdapat 2 (dua) kriteria agar majikan dapat bertanggungjawab atas tindakan bawahannya yaitu bawahannya harus adalah pekerja yang bekerja pada majikan tersebut dan bawahan tersebut harus menjalankan kegiatan yang masuk dalam lingkup pekerjaannya di saat bawahan yang bersangkutan melakukan kesalahan.20
Menurut Dr.H.M. Ridwan Indra, S.H., majikan juga bertanggung jawab atas tindakan bawahannya bila orang yang mendapat perintah (dalam hal ini bawahan) harus tidak menyimpang dari tugas yang diberikan kepadanya dan ia hanya melakukan perbuatan yang betul-betul diperintahkan kepadanya.21 19
M.A. Moegni, Op.Cit., hlm. 128.
20
Yetty Komalasari Dewi, Liability of Legal Person in Indonesia: A Statutory and Practical Review, Indonesia Law Review, No.1 (November, 2013), hlm.5. 21
Ridwan Indra, Asas-Asas Hukum Perdata Indonesia, cet.1, (Jakarta: Trisula, 1997), hlm.79.
Pembatasan pertanggungjawaban..., Theresia Olivia, FH, 2014
Pendapat lain dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad, S.H. Pertanggungjawaban majikan terhadap kesalahan perdata yang dilakukan bawahannya tergantung pada 2 (dua) syarat yaitu karyawan harus sudah berbuat berdasarkan perjanjian kerja dan kesalahan perdata harus sudah dilakukan dalam menjalankan pekerjaan.22
Itikad baik juga menjadi salah satu dasar pertimbangan pertanggunggugatan. Selama dan sepanjang buruh tersebut melaksanakan perintah yang diberikan oleh majikan dengan itikad baik, sesuai dengan perintah yang diberikan, maka majikan bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh buruhnya tersebut.23
Pendapat lainnya juga disampaikan oleh Rutten. Menurutnya, perlu dipersyaratkan pula bahwa pertanggungan-gugat menurut Pasal 1367 KUHPerdata baru dapat dikenakan di saat bawahan melakukan perbuatan melawan hukumnya pada saat jam kerja.24 Jadi dengan kata lain, disaat bawahan tersebut melakukan perbuatan melawan hukum di luar jam kerja, maka kerugian yang ditimbulkan bukanlah tanggung jawab majikan.
Menurut Dr.H.M. Ridwan Indra, S.H., batasan pertanggungjawaban harus dilihat tergantung dari isi dan maksud hubungan hukum yang bersangkutan atau dengan kata lain melhat kasus per kasus.25 Dalam hubungan antara majikan dan buruh, timbul suatu nilai ekonomi dan lingkup yang berbeda-beda dari lapangan pekerjaan yang terbatas pada bidang tertentu.
Selain pendapat para ahli, terdapat juga beberapa yurisprudensi sehubungan dengan tanggung gugat majikan terhadap bawahannya. Yurisprudensi ditemukan dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan Nomor Register 558 K/SIP/1971 yang diputuskan pada 4 Juni 1973. Dinyatakan bahwa juga harus bertanggung jawab atas kelalaian bawahan karena kesalahan dilakukan dalam melakukan pekerjaannya.26 22
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm.204.
23
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Op.Cit., hlm.161.
24
Ibid., hlm.134.
25
Ridwan Indra,Op.Ci.t., hlm. 81.
26
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, (Jakarta: PT Pilar Yuris Ultima, 2009), hlm. 353-358.
Pembatasan pertanggungjawaban..., Theresia Olivia, FH, 2014
Yurisprudensi lainnya ditemukan dalam Putusan Nomor 367K/Sip/1972 pada tanggal 24 Januari 1973. Diputuskan bahwa majikan bertanggung jawab atas kesalahan bawahannya dengan memperhatikan perihal paksaan dan tipu muslihat dimana selama bawahan melakukan pekerjaannya tanpa paksaan dan tipu muslihat maka majikan bertanggung jawab.27
Permasalahan tanggung gugat antara majikan dan bawahan ini juga menjadi permasalahan yang dialami di negara-negara penganut sistem hukum common law. Terdapat beberapa yurisprudensi yang dapat dijadikan referensi perihal pembatasan pertanggungjawaban majikan terhadap bawahannya. Dikatakan bahwa majikan bertanggung jawab: 1. Apabila perbuatan melawan hukum itu dikuasakan dengan tegas atau diam-diam oleh majikannya. Kekuasaan diam-diam saat seorang bawahannya bertindak dalam keadaan darurat untuk melindungi majikan. Yurisprudensi ditemukan dalam perkara Poland v. John Parr & Sons (1927); 2. Apabila kesalahan perdata itu adalah cara yang melawan hukum bagi pelaksanaan suatu perbuatan yang dikuasakan. Yurisprudensi dalam perkara Ricketts v. Thos Tilling (1915), Beard v. London General Omnibus Co. (1990), dan Limpus v. London General Omnibus (1862); 3. Untuk perbuatan salah yang disengaja dalam hal perbuatan-perbuatan yang ditugaskan kepada bawahannya itu selama bawahan melaksanakan kewajibannya. Yurisprudensi dalam perkara Lloyd v. Grace, Smith & Co (1912) dan perkara Morris v. C.W. Martin & Sons Ltd (1965)28; 4. Apabila bawahannya tidak menyimpang dari jalannya pekerjaan dan dikatakan sebagai “berbuat seenaknya sendiri”. Yurisprudensi terdapat dalam oerkara Hilton v. Thomas Burton Ltd (1961); 5. Apabila perbuatan tersebut ada hubungannya dengan pekerjaan itu walaupun terjadi sementara orang yang bersalah itu sedang bekerja. Yurisprudensi ditemukan dalam perkara Warren v. Henlys Ltd (1948).
27
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara dalam Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 1969-2008, (Jakarta: Perpustakaan dan Layanan Informasi Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2010), hlm. 35-36. 28
Ibid., hlm. 204-206.
Pembatasan pertanggungjawaban..., Theresia Olivia, FH, 2014
Selain penjelasan di atas, perlu diketahui juga perihal unsur pengawasan dalam hubungan majikan dengan bawahan yang dapat dijadikan pertimbangan mengenai tanggung gugat. Seseorang yang memberikan perintah pada dasarnya memiliki kewajiban untuk mengawasi tindakan orang yang diperintahkannya. Namun, pengawasan yang dilakukan akan berbeda antara satu subjek dengan subjek lainnya karena tergantung pada penentuan sejauh mana seseorang tersebut bertanggung jawab. Pengawasan yang dilakukan oleh majikan juga bergantung pada sifat dari masing-masing perjanjian perburuhan. Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. berpendapat bahwa walaupun sulit untuk membuat suatu indikator umum dalam menentukan batas pengawasan majikan, terdapat satu persamaan prinsip sehubungan dengan pengawasan dan tanggung jawab majikan yaitu terbatas pada lingkungan perburuhan masing-masing.29
Penentuan sejauh mana pengawasan majikan tersebut akan dapat dijadikan indikator apakah majikan telah lalai atau tidak dalam melakukan pengawasan tersebut. Menurut Abdulkadir Muhammad, S.H., terdapat 3 (tiga) unsur penting suatu tindakan dikatakan sebagai kelalaian: 1. Bahwa tergugat dibebankan kewajiban berhati-hati dalam melakukan kewajiban hukumnya; 2. Kewajiban hukum itu dilanggar; 3. Timbul kerugian dari pelanggaran tersebut.30
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian kepustakaan (library research). Sedangkan jenis data yang dipergunakan dalam penulisan adalah data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, buku-buku, maupun pustaka lainnya. Untu mendapatkan data sekunder tersebut maka alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah studi dokumen atau bahan pustaka dengan metode penulisan deskriptif eksplanatoris.
Hasil Penelitian
29
Ibid., hlm.62.
30
Ibid., hlm. 212.
Pembatasan pertanggungjawaban..., Theresia Olivia, FH, 2014
Ikut bertanggungjawabnya majikan atas kesalahan bawahannya pada awalnya didasarkan pada kekuranghati-hatiannya majikan dalam mengangkat bawahannya (culpa in eligendo) dengan beberapa batasan dimana majikan tidak bertanggung jawab apabila: 1.
Bawahan bukan merupakan pekerja yang bekerja pada majikan tersebut;
2.
Bawahan tersebut tidak menjalankan kegiatan yang masuk dalam lingkup pekerjaannya di saat bawahan yang bersangkutan melakukan kesalahan;
3.
Bawahannya, sebagai orang yang mendapat perintah dari majikannya, menyimpang dari tugas yang diberikan kepadanya dan ia tidak melakukan perbuatan yang betul-betul diperintahkan kepadanya. Pendapat ini dikemukakan oleh Dr.H.M. Ridwan Indra, S.H.31;
4.
Bawahan tidak berbuat berdasarkan perjanjian kerja, dengan kata lain ia bentindak sebagai pihak yang berdiri sendiri. Pendapat ini dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad, S.H. 32;
5.
Kesalahan perdata dilakukan saat tidak menjalankan pekerjaan. Pendapat ini dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad, S.H.33
6.
Bawahan tidak melaksanakan perintah yang diberikan oleh majikan dengan itikad baik dan tidak sesuai dengan perintah yang diberikan kepadanya.34 Itikad baik ini juga termasuk tanpa paksaan dan tipu muslihat;35
7.
Perbuatan melawan hukum itu tidak dikuasakan dengan tegas atau diam-diam oleh majikannya. Kekuasaan diam-diam timbul saat seorang bawahannya bertindak dalam keadaan darurat untuk melindungi majikan;
8.
Perbuatan yang dikuasakan kepada bawahannya bukan merupakan perbuatan melawan hukum;
9.
Perbuatan melawan hukum tersebut tidak ada hubungannya dengan jalannya pekerjaan;
10.
Perbuatan karyawannya sekalipun tugas tersebut berada di luar tugas yang diberikan kepada bawahan tersebut, namun tidak memiliki hubungan sedemikian rupa dengan
31
Ridwan Indra, Op.Cit., hlm.79.
32
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm.204.
33
Ibid.
34
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Op.Cit., hlm.161.
35
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara dalam Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 1969-2008, (Jakarta: Perpustakaan dan Layanan Informasi Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2010), hlm. 35-36.
Pembatasan pertanggungjawaban..., Theresia Olivia, FH, 2014
tugas bawahan tersebut sehingga dapat dianggap dilakukan keluar dari lingkup pekerjaan dimana bawahan tersebut dipekerjakan; 11.
Bawahan melakukan perbuatan melawan hukum di luar jam kerja. Pendapat ini dikemukakan oleh Rutten. 36
12.
Bawahan itu diizinkan melakukan sesuatu untuk keperluannya sendiri, tetapi tidak dipekerjakan untuk kepentingan majikannya;
13.
Suatu perbuatan yang betul-betul tidak ada hubungannya dengan pekerjaan itu walaupun terjadi sementara orang yang bersalah itu sedang bekerja.
Pembahasan Pembahasan akan menganalisa lebih lanjut putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1696K/PDT/2012 dimana pihak-pihak dalam perkara ini adalah 1. PT Internasional Nickel Indonesia (Tergugat I/ Pembanding/ Pemohon Kasasi I/ Termohon Kasasi II); 2. Raden Agus Setiawan Bin Raden Muhammad Rusdi (Tergugat II/ Turut Terbanding/ Turut Termohon Kasasi); 3. Wardiansyah, ST Bin Salahuddin (Tergugat III/ Turut Terbanding/ Turut Termohon Kasasi); 4. Safril (Tergugat IV/ Turut Terbanding/ Turut Termohon Kasasi); dan 5. Alamsyah Bin H. Alimuddin (Tergugat V/ Turut Terbanding/ Turut Termohon Kasasi).
Hubungan hukum terjadi antara Penggugat dengan Tergugat I lewat perjanjian sewa menyewa Excavator Caterpillar type 375 Serial Nomor 8XG00271, Engine Nomor 11NO2853 tahun 1998 milik Penggugat yang akan dipergunakan oleh Tergugat I dalam proses pengerukan Sungai Larona. Dalam perjanjian sewa menyewa tersebut diatur bahwa Penggugat berkewajiban untuk menyerahkan excavator kepada Tergugat I. Namun, dalam pelaksanaan Penggugat tidak memiliki alat angkut yang memadai untuk dapat mengantarkan excavator tersebut ke Tergugat I. Kemudian Tergugat I sendiri yang mengambil excavator tersebut sampai ke wilayah pertambangan Tergugat I. Setelah perjanjian sewa menyewa berakhir, ternyata Penggugat tidak langsung mengambil kembali excavator tersebut selama kurang lebih dua tahun sejak perjanjian berakhir. Excavator tersebut diletakkan oleh Tergugat I di
36
Ibid., hlm.134.
Pembatasan pertanggungjawaban..., Theresia Olivia, FH, 2014
luar pagar wilayah Tergugat I namun masih berada dalam kawasan tambang Tergugat I. Tergugat II yang merupakan pegawai dengan jabatan superintended dari Tergugat I kemudian melakukan pencurian. Pencurian tersebut sudah diputus secara pidana dengan putusan bahwa Tergugat II secara melawan hukum melakukan pencurian dan telah melanggar kewenangannya. Pencurian dilakukan oleh Tergugat II dengan mengeluarkan gate pass sebagai surat tanda lewat suatu alat tambang dan surat jual beli dimana keduanya ternyata palsu. Tergugat II melakukan tipu muslihat kepada petugas keamanan yang sengaja ditempatkan oleh Tergugat I untuk menjaga excavator tersebut dengan mengatakan bahwa excavator tersebut telah dijual oleh pemiliknya yaitu Penggugat kepada pihak lain lewat surat jual beli yang dimiliki oleh Tergugat II. Kemudian Tergugat II menjual excavator tersebut kepada Tergugat III, Tergugat III menjual kembali kepada Tergugat IV, dan Tergugat IV menjual excavator tersebut kepada Tergugat V. Dalam putusan Mahkamah Agung diputuskan bahwa Tergugat I selaku majikan dari Tergugat II juga bertanggung jawab atas tindakan Tergugat II dengan pertimbangan telah lalai karena tidak melaksanakan pengawasan dengan baik.
Berdasarkan penjabaran singkat dari kasus posisi di atas maka akan dianalisis terlebih dahulu perihal unsur perbuatan melawan hukum dari Tergugat II dimana terdapat lima unsur perbuatan melawan hukum yaitu: 1. Adanya perbuatan Dalam kasus ini, tindakan yang dilakukan oleh Tergugat II merupakan perbuatan secara aktif yaitu mengambil barang milik orang lain (Penggugat) tanpa persetujuan dari Penggugat untuk kepentingan pribadinya. 2. Perbuatan tersebut melawan hukum a. Melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum/ bertentangan dengan hak subjektif orang lain; Dalam kasus ini, hak subjektif yang terlanggar adalah hak dari Penggugat yang berupa hak kebendaan. Penggugat memiliki excavator tersebut melalui jual beli secara sah, dimana hal ini diperkuat oleh Mahkamah Agung dalam putusannya yang menyatakan bahwa Penggugat adalah pemilik sah dari excavator tersebut. Tindakan Tergugat II yang mencuri excavator tersebut mengakibatkan hak kebendaan Penggugat atas excavator tersebut terlanggar. Sehingga dengan kata lain, unsur “melanggar hak subjektif orang lain” dari tindakan Tergugat II terpenuhi. b. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
Pembatasan pertanggungjawaban..., Theresia Olivia, FH, 2014
Tindakan pencurian yang dilakukan oleh Tergugat II selaku bawahan merupakan salah satu bentuk pelanggaran dari hukum tertulis, yang merupakan tindak pidana. 3. Adanya kesalahan dari pelaku Dalam kasus ini, tindakan pencurian yang dilakukan oleh Tergugat II merupakan suatu bentuk kesengajaan, dimana secara sadar Tergugat II mempersiapkan dan membuat dokumen pendukung tindak pencuriannya yaitu dengan Gate Pass. Pembuatan dokumen ini tentunya tidak dapat terjadi secara tiba-tiba. Tergugat II juga secara sadar melakukan jual beli dengan Tergugat II. Akibat dari tindakannya tersebut, Tergugat II menyadari betul akibat yang ditimbulkan yaitu bahwa Penggugat sebagai pemilik dari excavator tersebut tidak dapat memiliki lagi secara utuh excavator yang bersangkutan dan juga menyadari bahwa akan ada kemungkinan tindakannya dapat diketahui mengingat excavator tersebut merupakan benda yang sangat besar. 4. Adanya kerugian bagi korban Kerugian yang dialami oleh korban dapat berupa kerugian materiil yang mencakup biaya pembelian excavator serta biaya sewa yang seharusnya dapat diterima oleh Penggugat apabila excavator tersebut dikembalikan. Sedangkan ganti rugi immateriil yang didalilkan Penggugat dikarenakan perasaan tertekan yang teramat sangat dan juga Penggugat tidak dapat lagi dipercaya atau hilang kepercayan dari pihak lain atas usahanya. 5. Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian Dalam kasus ini, teori kausalitas yang dianggap lebih sesuai untuk diterapkan apabila dilihat antara perbuatan dengan kerugian yang dialami oleh Penggugat adalah teori adequate veroorzaking sebagaimana yang dikemukakan oleh Von Kries dimana Tergugat II merupakan penyebab utama dari hilangnya hak milik Penggugat atas excavator tersebut.
Dengan terpenuhinya unsur perbuatan melawan hukum dari bawahan maka dapat dianalisis lebih lanjut apakah majikan bertanggung jawab atas kesalahan bawahannya. Apabila dikaitkan dengan teori-teori dari pendapat para ahli, terdapat beberapa kondisi yang tidak terpenuhi agar majikan dapat dimintakan pertanggungjawabannya yang meliputi: 1. Bawahan tersebut harus merupakan pekerja yang bekerja pada majikan tersebut; Tergugat II memang merupakan pekerja dari Tergugat I tetapi tindakan yang dilakukannya yaitu mengeluarkan gate pass tanpa sepengetahuan Tergugat I bukan merupakan kewenangan dalam perjanjian kerja yang ada. Tergugat I secara jelas menyatakan bahwa tindakan pencurian yang dilakukan oleh Tergugat II merupakan tindakan yang sangat dilarang di dalam perusahaan.
Pembatasan pertanggungjawaban..., Theresia Olivia, FH, 2014
2. Bawahan tersebut harus sedang menjalankan kegiatan yang masuk ke dalam lingkup pekerjaannya saat yang bersangkutan melakukan kesalahan; Dari penjabaran kasus posisi di atas, dapat dikatakan bahwa tindakan dari Tergugat II yang dimulai dengan mengeluarkan gate pass dan berusaha membohongi petugas keamanan untuk dapat mengeluarkan excavator dan kemudian dijual sehingga ia mendapatnya uang merupakan tindakan yang dilakukan tanpa itikad baik. 3. Menurut Dr.H.M. Ridwan Indra, S.H., majikan juga bertanggung jawab atas tindakan bawahannya bila orang yang mendapat perintah (dalam hal ini bawahan) harus tidak menyimpang dari tugas yang diberikan kepadanya37; Dalam kasus ini, Tergugat I tidak memberikan perintah yang menyatakan Tergugat II untuk memindahkan excavator tersebut. 4. Bawahan melakukan perbuatan yang berada di luar tugas yang diberikan kepadanya namun memiliki hubungan sedemikian rupa dengan tugas bawahan tersebut sehingga dapat dianggap dilakukan dalam lingkup pekerjaan dimana ia dipekerjakan Dalam kasus ini, tidak ditemukan adanya hubungan tingkah laku dengan tugas yang diberikan oleh majikannya. Tergugat II melakukan tindakan tersebut dengan tipu muslihat dan pada akhirnya hanya bertujuan untuk memberikan keuntungan bagi dirinya sendiri. Hubungan yang sedemikian rupa antara perbuatan dan tugas yang diberikan kepada Tergugat II juga tidak ditemukan dalam kasus ini. 5. Tindakan pelaku dilakukan di dalam jam kerja Dalam kasus ini tidak diperjelas mengenai waktu kejadian yang bisa saja terjadi pada saat jam kerja ataupun di luar jam kerja. Apabila tindakan yang dilakukan oleh Tergugat II adalah masih dalam jangka waktu jam kerja perusahaan tersebut, maka terdapat kemungkinan majikan bertanggung jawab karena tidak dapat menjalankan kehati-hatian dan pengawasan selama kegiatan perusahaan berlangsung.
Sehubungan dengan pengawasan dari majikan maka perlu dilihat terlebih dahulu sejauh mana tingkat pengawasan dari sebuah perusahaan pertambangan yaitu sebuah perusahaan besar terhadap tiap-tiap karyawannya. Upaya pengawasan dari perusahaan berupa penempatan petugas keamanan di area yang bersangkutan dan pengaturan mengenai peraturan perusahaan sudah dapat dikatakan merupakan bentuk pengawasan yang cukup ketat untuk ukuran perusahaan besar. 37
Ridwan Indra, Op.Cit., hlm.79.
Pembatasan pertanggungjawaban..., Theresia Olivia, FH, 2014
Kesimpulan Tidak terdapat pembatasan pertanggungjawaban majikan atas kesalahan bawahannya secara langsung dalam Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata, namun terdapat beberapa pendapat ahli yang menyatakan majikan tidak bertanggung jawab apabila: 1.
Bawahan bukan merupakan pekerja yang bekerja pada majikan tersebut;
2.
Bawahan tersebut tidak menjalankan kegiatan yang masuk dalam lingkup pekerjaannya di saat bawahan yang bersangkutan melakukan kesalahan;
3.
Bawahannya, sebagai orang yang mendapat perintah dari majikannya, menyimpang dari tugas yang diberikan kepadanya dan ia tidak melakukan perbuatan yang betul-betul diperintahkan kepadanya. Pendapat ini dikemukakan oleh Dr.H.M. Ridwan Indra, S.H.;
4.
Bawahan tidak berbuat berdasarkan perjanjian kerja, dengan kata lain ia bentindak sebagai pihak yang berdiri sendiri. Pendapat ini dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad, S.H.;
5.
Kesalahan perdata dilakukan saat tidak menjalankan pekerjaan. Pendapat ini dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad, S.H.;
6.
Bawahan tidak melaksanakan perintah yang diberikan oleh majikan dengan itikad baik dan tidak sesuai dengan perintah yang diberikan kepadanya. Itikad baik ini juga termasuk tanpa paksaan dan tipu muslihat;
7.
Perbuatan melawan hukum itu tidak dikuasakan dengan tegas atau diam-diam oleh majikannya. Kekuasaan diam-diam timbul saat seorang bawahannya bertindak dalam keadaan darurat untuk melindungi majikan;
8.
Perbuatan yang dikuasakan kepada bawahannya bukan merupakan perbuatan melawan hukum;
9.
Perbuatan melawan hukum tersebut tidak ada hubungannya dengan jalannya pekerjaan;
10.
Perbuatan karyawannya sekalipun tugas tersebut berada di luar tugas yang diberikan kepada bawahan tersebut, namun tidak memiliki hubungan sedemikian rupa dengan tugas bawahan tersebut sehingga dapat dianggap dilakukan keluar dari lingkup pekerjaan dimana bawahan tersebut dipekerjakan;
11.
Bawahan melakukan perbuatan melawan hukum di luar jam kerja. Pendapat ini dikemukakan oleh Rutten;
12.
Bawahan itu diizinkan melakukan sesuatu untuk keperluannya sendiri, tetapi tidak dipekerjakan untuk kepentingan majikannya;
Pembatasan pertanggungjawaban..., Theresia Olivia, FH, 2014
13.
Suatu perbuatan yang betul-betul tidak ada hubungannya dengan pekerjaan itu walaupun terjadi sementara orang yang bersalah itu sedang bekerja.
Mahkamah Agung juga memberikan pandangannya mengenai seberapa jauh seorang majikan harus bertanggung jawab secara perdata atas kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya. dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1696 K/Pdt/2012. Unsur kelalaian menjadi salah satu hal pokok yang dijadikan pertimbangan Majelis Hakim dalam hal majikan harus ikut bertanggung jawab. Majikan bertanggungjawab apabila telah lalai dengan tidak melakukan pengawasan terhadap bawahannya. Namun, pertimbangan yang diberikn masih kurang jelas. Majelis Hakim belum memberikan penjelasan yang memadai akan hal ini.
Saran Berdasarkan kesimpulan karya ilmiah ini, Penulis memberikan saran agar dibentuk suatu peraturan yang dapat menjadi suatu dasar hukum jelas dalam memberikan batasan perihal pertanggungjawaban majikan terhadap bawahannya. Dasar hukum tersebut dapat berupa Undang-Undang yang mengubah pengaturan dalam KUHPerdata dengan menyesuaikan pada kondisi pada masa sekarang ini atau dapat pula berupa Peraturan Mahkamah Agung yang dapat dijadikan pedoman bagi para hakim dalam memutus perkara perihal tanggung jawab majikan terhadap bawahan.
Kepustakaan BUKU _______ (1993). Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang. Bandung: Citra Aditya Bakti. _______ (2008). Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa. Agustina, Rosa (2003). Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ahmad, Z. Ansori Ahmad (1986). Sejarah dan Kedudukan BW di Indonesia (cet.1, ed.1). Jakarta: CV Rajawali. Badrulzaman, Mariam Darus (1996). KUHPerdata Buku III: Hukum Perikatan dengan Penjelasan (cet.1, ed.2). Bandung: Alumni. Djojodirdjo, M.A. Moegni (1982). Perbuatan Melawan Hukum (cet.2). Jakarta: Pradnya Paramita.
Pembatasan pertanggungjawaban..., Theresia Olivia, FH, 2014
Fuady, Munir (2005). Perbandingan Hukum Perdata (cet.1). Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Fuady, Munir (2002). Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer). Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Hamzah, Andi (1991). Asas-Asas Hukum Pidana (cet.1). Jakarta: PT Rineka Cipta. Muhammad, Abdulkadir (2000). Hukum Perdata Indonesia (cet.3). Bandung: Citra Aditya Bakti. Muhammad, Abdulkadir (1980). Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni. Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja (2004). Perikatan pada Umumnya. Jakarta: Balai Pustaka. Prodjodikoro, Wirjono. Perbuatan Melanggar Hukum (cet. 9). Bandung: Sumur Bandung. Prodjodikorno, Wirjono (2000). Perbuatan Melanggar Hukum: Dipandang dari Sudut Hukum Perdata. Bandung: Mandar Maju. Setiawan, R.(1979). Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Binacipta. Simajuntak, P.N.H.(1999). Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Djambatan. Soekanto, Soerjono (1986). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Subekti (2003). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa. Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi (2005). Perikatan yang Lahir Dari Undang-Undang (ed.1). Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
JURNAL Best, Eli K. Dan John J. Donohue III (2012). Jury Nullification in Modified Comparative Negligence Regimes. The University of Chicago Law Review. Vol.79. No.3. Diakses 20 September 2014 dari http://www.jstor.org/stable/23317728. Dewi, Yetty Komalasari Dewi (2013). Liability of Legal Person in Indonesia: A Statutory and Practical Review. Indonesia Law Review. Vol.3. No.1. Diakses 19 September dari http://ilrev.ui.ac.id/index.php/home/article/view/30/pdf_7. Dias, R.W.M Dias (1995). The Duty Problem in Negligence.The Cambridge Law Journal. No.12. Diakses 20 September dari http://www.jstor.org/stable/4504334. Terry, Henry T. (1995). Negligence. Harvard Law Review. No.1. Diakses 16 September 2014 dari http://www.jstor.org/stable/1325735. Y., H.E. (1952). Negligence in the Civil Law by F.H. Lawson. Vol.1. No.3. Diakses 20 September 2014 dari http://www.jstor.org/stable/837786.
Pembatasan pertanggungjawaban..., Theresia Olivia, FH, 2014