Pengaturan Prinsip Indemnitas dan Subrogasi di Indonesia dan Penerapannya dalam Putusan Hakim (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No, 176/Pdt.G/2011/Jkt.Ut) Chita Kalinda Netania, Brian Amy Prastyo Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
[email protected]
Abstrak Prinsip indemnitas dan subrogasi merupakan prinsip utama dalam asuransi, terutama asuransi kerugian, yang harus dipegang teguh agar asuransi dapat berjalan sesuai dengan tujuannya, yaitu ganti rugi. Salah satu jenis asuransi kerugian yang berkembang pesat seiring meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dan risiko atasnya adalah asuransi kendaraan bermotor. Sebagian besar kendaraan bermotor ternyata tidak dibeli secara tunai tetapi dengan menggunakan fasilitas pembiayaan, seperti perjanjian pembiayaan konsumen (PPK), yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian asuransi kendaraan bermotor. Skripsi ini akan membahas pengaturan prinsip indemnitas dan subrogasi di Indonesia, (termasuk perbandingannya dengan beberapa negara lain), serta penerapannya dalam putusan Pengadilan Negeri No. 176/Pdt.G/2011/Jkt.Ut yaitu putusan atas gugatan ganti rugi kepada pihak ketiga atas sebuah mobil, yang masih berada dalam masa PPK dan pertanggungan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif, dimana penulis menggunakan tiga pendekatan yaitu undang-undang, konseptual dan studi kasus. Selain itu, penulis menggunakan metode analisis kualitatif. Setelah melakukan perbandingan dan analisis, ternyata pengaturan prinsip indemnitas dan subrogasi masih belum baik dan Majelis Hakim pada kasus tersebut, belum memahami dan menerapkan kedua prinsip tersebut. Agar dapat dilaksanakan dengan baik, maka pengaturan kedua prinsip tersebut harus diperbaharui, diatur lebih lanjut atau diperjanjikan secara jelas dalam polis, serta pengetahuan hakim dalam bidang hukum asuransi harus terus ditingkatkan.
Kata Kunci: Indemnitas, Subrogasi, Ganti Rugi, Asuransi Kendaraan Bermotor, Perjanjian Pembiayaan Konsumen
Pengaturan prinsip…, Chita Kalinda Netania, FH UI, 2014
Indemnity and Subrogation Principles Regulation and Its Implementation in Court Decision (Case Study: Court Decision No. 176/Pdt.G/2011/Jkt.Ut) Abstract Indemnity and Subrogation Principles are two main principles in insurance law that have to be implemented so the purpose of insurance, indemnification, can be achieved. These principles are also applied in Automobile Insurance. In Indonesia, a lot of people bought their vehicle using a counsumer financing agreement, which cannot be separated from insurance agreement. In this research, I will give an explanation about how indemnity and subrogation’s principle regulation is in Indonesia, including comparison with other countries’ regulation, and whether The Judges have already implemented those two principles in their decision or not (Court Decision No. 176/Pdt.G/2011/Jkt.Ut). The decision itself is related to insurance agreement and consumer financing agreement. This research is a normative and qualitative research. After analyzing the problem in this research, I came to the conclusion that the regulation about indemnity and subrogation principles are still not good enough, and the judges still hadn’t understood and didnt implement those two principles in their decision. In my opinion, the government should make a new and a better regulation and the insurer and the insured have to make detailed regulations on insurance policy regarding indemnity and subrogation principles and lastly, the judges have to improve their knowledge in Insurance Law, so the two principles can be well implemented. Key Words: Indemnity, Subrogation, Indemnification, Automobile Insurance Agreement, Consumer Fincancing Agreement
•
Pendahuluan
Asuransi didefiniskan sebagai perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Diantara berbagai jenis asuransi, asuransi kendaraan bermotor merupakan salah satu jenis asuransi yang dapat kita rasakan penting keberadaannya saat ini. Dari tahun ke tahun, penjualan kendaraan bermotor di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Nasional jumlah mobil di tahun 2009 adalah sebanyak 7.910.407 dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 9.548.866. Sedangkan jumlah motor di tahun 2009 berjumlah 52.767.093, pada tahun 2011 meningkat menjadi 68.839.341. Atas kendaraan bermotor tersebut sangat banyak risiko-risiko yang mungkin terjadi seperti kecelakaan, kehilangan dan kebakaran. Di Indonesia sendiri angka kehilangan dan kecelakaan kendaraan bermotor pada tahun-tahun belakangan ini masih tinggi. Berdasarkan data yang diperoleh Badan Pusat Statistik Nasional, angka kehilangan kendaraan bermotor dari tahun 2009 sampai dengan 2011 mengalami kenaikan sebesar 13.7% naik dari 34.477 kejadian menjadi 39.217 kejadian. Sedangkan untuk kecelakaan, pada tahun 2010 terjadi 66.488 kecelakaan yang mengakibatkan kerugian materiil sebesar Rp
Pengaturan prinsip…, Chita Kalinda Netania, FH UI, 2014
158.259.000.000,00 dan pada tahun 2011 jumlah kecelakaan meningkat menjadi 108.696 dengan kerugian materiil sebesar Rp 217.435.000.000,00. Pada tahun 2013 juga kita semakin sering melihat pemberitaan mengenai kecelakaan. Pada mudik tahun ini saja misalnya, telah terjadi 3.675 kecelakaan. Meskipun data-data yang disajikan diatas berbeda antara berbagai sumber, namun dapat kita lihat bahwa angka kehilangan dan kecelakaan kendaraan bermotor di Indonesia masih tinggi. Diantara kasus-kasus kecelakaan tersebut diatas, beberapa kasus yang ramai dibicarakan publik adalah kasus-kasus kecelakaan akibat terbakarnya mobil. Pada tahun 2012 dan 2013 banyak terjadi kasus terbakarnya mobil. Beberapa kasus kebakaran mobil tersebut adalah Kasus Nissan Juke, yang dikendarai oleh Olivia Dewi pada tahun 2012, Kasus Toyota Avanza, yang hangus akibat korsleting pada sistem audio saat parkir di restoran cepat saji, Kawasan Mega Mas, Manado pada Agustus 2013, Kasus Mobil Boks Suzuki Carry terbakar di Kembangan, Jakarta pada Oktober 2013 dan masih banyak lagi. Penyebab terbakarnya mobil sendiri bermacam-macam bisa akibat tabrakan, kesalahan pemakaian atau pengemudi, maupun karena adanya cacat produksi. Tiap-tiap kasus kecelakaan tersebut menimbulkan kerugian yang tidak sedikit jumlahnya. Oleh karena itu, keberadaan asuransi kendaraan bermotor untuk menutup kerugian yang dialami para korban kehilangan dan kecelakaan, baik karena tabrakan maupun terbakarnya kendaraan bermotor, sangat dibutuhkan. Didalam pengganti kerugian oleh asuransi, terdapat dua prinsip yang harus dipegang teguh, yaitu prinsip indemnitas dan prinsip subrogasi, agar tujuan asuransi dapat tercapai dan asuransi dapat berjalan sesuai fungsinya. Prinsip Indemnitas pada intinya berbicara mengenai ganti kerugian. Berdasarkan prinsip indemnitas, seorang tertanggung yang mengalami kerugian bisa mendapatkan ganti kerugian dari penanggung, tidak lebih. Sedangkan prinsip subrogasi pada dasarnya berbicara mengenai pengalihan hak, yaitu pengalihan hak menuntut ganti kerugian dari tertanggung terhadap pihak ketiga yang menyebabkan kerugian kepada penanggung yang membayar kerugiannya. Didalam prakteknya, ternyata pelaksanaan kedua prinsip tersebut tidak mudah. Contohnya dalam hal kendaraan bermotor dibeli dengan menggunakan lembaga pembiayaan leasing, pembiayaan konsumen, kredit, tidak tunai. Dalam hal kendaraan bermotor dibeli dengan pembiayaan konsumen misalnya, selain penanggung dan tertanggung (pemilik mobil), terdapat pihak lain yang terlibat, yaitu perusahaan pembiayaan atau kreditur. Jika atas kendaraan bermotor yang dibeli dengan menggunakan lembaga pembiayaan konsumen dan belum lunas terjadi suatu kerugian, timbul pertanyaan siapakah yang berhak menerima ganti kerugian dari asuransi? Didalam perjanjian asuransi, yang berhak menerima ganti kerugian merupakan pihak yang berkepentingan, sedangkan pada kasus seperti itu, baik kreditur maupun debitur memiliki kepentingan atas mobil yang menjadi objek pertanggungan. Penentuan siapa yang menerima ganti kerugian berkaitan erat dengan penerapan prinsip indemnitas dan subrogasi oleh karena itu hal tersebut menjadi sangat penting. Pada prinsip subrogasi contohnya, seorang penanggung belum memiliki hak subrogasi jika ia belum menyelesaikan pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang berhak menerima sesuai perjanjian asuransi (polis). Permasalahan yang dijelaskan diatas semakin jelas dan nyata dengan adanya suatu putusan pengadilan negeri, yaitu Putusan Pengadilan Negeri No. 176/Pdt.G/2011/Jkt.Ut. Pada kasus tersebut seorang pembeli mobil yang menggunakan fasilitas pembiayaan konsumen menuntut ganti kerugian kepada pihak ketiga, yaitu dealer mobil atas terbakar habisnya mobil yang masih berada dalam masa pembiayaan konsumen dan masih dipertanggungkan kepada asuransi. Pihak asuransi telah membayar ganti kerugian kepada perusahaan pembiayaan konsumen dan seharusnya berdasarkan lembaga subrogasi, asuransilah yang berhak menuntut ganti kerugian kepada dealer. Namun, pada akhirnya Majelis Hakim mengabulkan gugatan ganti kerugian dari Penggugat tersebut yaitu sebesar harga pembelian mobil.
Pengaturan prinsip…, Chita Kalinda Netania, FH UI, 2014
Oleh karena itu, pembahasan mengenai pengertian dan pengaturan prinsip indemnitas, subrogasi pada asuransi serta kaitannya dengan lembaga pembiayaan konsumen dirasakan penting, yaitu agar kedua prinsip tersebut dapat terlaksana dengan baik, lembaga asuransi dapat berjalan sesuai fungsinya dan tujuan asuransi dapat tercapai. •
Permasalahan
Berdasarkan penjabaran diatas, dapat ditemukan beberapa permasalahan sebagai berikut: • Apakah yang dimaksud dengan prinsip indemnitas dan prinsip subrogasi dan bagaimana pengaturannya di Indonesia? • Apakah Putusan Pengadilan Negeri No. 176/Pdt.G/2011/Jkt.Ut telah sesuai dengan prinsip indemnitas dan prinsip subrogasi? •
Pembahasan
• Prinsip Indemnitas dan Pengaturannya di Indonesia Menurut Bennet, indemnitas berarti jaminan terhadap kerugian finansial. Menurut Rubin Indemnitas merupakan kompensasi untuk kerugian. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa indemnitas pada dasarnya adalah pemulihan keadaan finansial setelah mengalami kerugian finansial. Dengan diterapkannya prinsip indemnitas, tertanggung memiliki hak atas ganti kerugian sesuai dengan kerugian yang dideritanya dan karenanya, keadaan finansial tertanggung dapat dipulihkan, seperti sebelum kerugian terjadi. Dengan demikian, tujuan perjanjian asuransi dilihat dari sisi prinsip indemnitas adalah untuk memberikan ganti rugi terhadap kerugian yang diderita tertanggung yang disebabkan oleh bahaya yang tercantum dalam polis oleh penanggung. Besarnya ganti kerugian adalah sama dengan besarnya kerugian yang diderita tertanggung, tidak lebih. Mengapa? Karena tujuan diberlakukannya prinsip indemnitas adalah untuk pemulihan keadaan finansial tertanggung seperti sesaat sebelum terjadinya peristiwa yang menyebabkan kerugian, dan bukan sarana bagi tertanggung untuk mendapatkan keuntungan. Prinsip indemnitas ini sering juga disebut sebagai asas perseimbangan. Sri Rejeki berpendapat bahwa yang ingin dicapai oleh prinsip indemnitas ini adalah keseimbangan antara risiko yang dialihkan kepada penanggung dengan kerugian yang diderita oleh tertanggung sebagai akibat dari terjadinya peristiwa yang secara wajar tidak diharapkan terjadi. Abdul Kadir berpendapat harus ada keseimbangan antara risiko yang diperalihkan kepada penanggung dengan jumlah premi yang dibayar oleh tertanggung. Menurutnya, prinsip inilah yang membedakan asuransi dengan judi, karena prinsip ini bertujuan mencegah orang yang ingin berspekulasi mencari keuntungan yang tidak halal dengan pertanggungan. Prinsip atau asas indemnitas didasarkan pada asas nemo plus yang berarti tidak menerima melebihi dari apa yang menjadi hak dan tidak memberi melebihi dari apa yang menjadi kewajiban. Jika dikaitkan dengan asuransi, maka hal tersebut berarti harus ada keseimbangan antara premi, risiko yang ditanggung penanggung dan ganti kerugian yang akan dibayarkan jika kelak kerugian terjadi. Akibat dari prinsip keseimbangan inilah, seorang tertanggung belum tentu mendapatkan ganti kerugian sesuai dengan jumlah kerugian yang dideritanya. Contohnya dalam hal penutupan asuransi bersifat under insurance, dimana nilai pertanggungan berada dibawah nilai finansial objek yang sebenarnya dan tertanggung dianggap baru mengalihkan sebagian risiko atas objek
Pengaturan prinsip…, Chita Kalinda Netania, FH UI, 2014
pertanggungan dan premi yang dibayarkannya seharusnya lebih tinggi. Jika terjadi under insurance, maka ganti kerugian yang diberikan oleh asuransi pun akan diseimbangkan dengan risiko yang dialihkan dan premi yang dibayarkan, dimana nilai ganti kerugian yang diberikan hanya sebagian dari nilai kerugian aktual. Didalam penutupan asuransi yang bersifat under insurance berlaku sebuah prinsip yaitu Principal of Average, dimana berdasarkan prinsip ini, nilai ganti kerugian akan didasarkan pada persentase nilai pertanggungan. Ketidakpahaman tentang prinsip indemnitas inilah yang menimbulkan banyak kesalahpahaman di masyarakat bahwa penanggung akan mengganti semua kerugian tertanggung, atau penanggung akan membayar sama persis dengan nilai pertanggungan yang tertulis dalam polis. Nilai pertanggungan yang ada pada polis hanya menunjukkan jumlah maksimum ganti kerugian yang harus dibayarkan. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat beberapa alasan yang memungkinkan penanggung untuk menolak membayar klaim persis sama dengan jumlah yang tertera pada nilai pertanggungan dalam polis, yaitu: • Inadequate Sum Insured, dimana nilai pertanggungan nominalnya lebih rendah daripada nilai aktual objek yang dipertanggungkan. Tertanggung di anggap belum mengasuransikan seluruh nilai finansial dari objek asuransi. Nilai pertanggungan dijadikan dasar perhitungan premi. Jika seluruh nilai finansial objek sudah dipertanggungkan maka premi yang dibayarkan tertanggung seharusnya lebih tinggi. Dari sini dapat kita lihat bahwa harus ada keseimbangan antara ganti kerugian yang dibayarkan penanggung dengan risiko yang ditanggung penanggung serta premi yang dibayarkan tertanggung. • Indemnity Limit, atau batasan terhadap nilai klaim yang akan dibayarkan oleh penanggung kepada tertanggung. Penanggung tidak akan membayar klaim dalam jumlah yang melebihi batasan nilai tersebut, walaupun nilai kerugian yang terjadi lebih besar. • Excess atau Deductible, yaitu sejumlah nilai kerugian yang dapat berbentuk dalam persentase untuk setiap klaim yang dianggap masih menjadi beban tertanggung. • Franchise, sejumlah nilai kerugian untuk setiap klaim yang belum menjadi kewajiban penanggung. Penanggung wajib membayar klaim jika nilai kerugian lebih besar dari nilai franchise. Meskipun pada dasarnya harus ada keseimbangan antara risiko yang dialihkan dengan jumlah ganti kerugian, namun atas hal tersebut bisa dikecualikan dengan klausula primer risque, yang mana harus diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Dengan primer risque, seorang tertanggung yang belum mengasuransikan seluruh nilai finansial objek, tetap berhak menerima jumlah ganti kerugian yang sama dengan yang dideritanya asalkan tidak melebihi nilai pertanggungan yang tercantum didalam polis. Prinsip indemnitas berlaku hanya kepada jenis asuransi yang bertujuan untuk mengganti suatu kerugian, dan tidak berlaku kepada jenis asuransi jumlah seperti asuransi jiwa. Hal ini dikarenakan pada asuransi sejumlah uang, uang yang dibayarkan oleh penanggung tidak diseimbangkan dengan kerugian yang benar-benar diderita tertanggung, akan tetapi sudah ditetapkan sebelumnya yaitu pada saat perjanjian asuransi ditutup. Pada asuransi sejumlah uang kepentingan yang diasuransikan tidak dapat diukur dengan uang, misalnya pada asuransi jiwa.
Pengaturan prinsip…, Chita Kalinda Netania, FH UI, 2014
Pengaturan prinsip indemnitas dapat kita temukan pada KUHD. Meskipun tidak ada pasal-pasal yang benar-benar menyebutkan secara eksplisit dan tegas, namun beberapa penulis menyatakan terdapat beberapa pasal yang secara tidak langsung menggambarkan prinsip indemnitas. Sri Rejeki menyatakan bahwa prinsip indemnitas dapat ditemui sejak awal pengaturan perjanjian asuransi pada KUHD, yaitu pada pasal 246 KUHD yang menyatakan bahwa tujuan asuransi adalah untuk memberikan penggantian karena suatu kerugian. Menurut Sri Rejeki pengaturan pada pasal tersebut berarti bahwa kondisi finansial dari tertanggung menjadi lebih baik, jika terdapat klausula yang bertentangan dengan tujuan asuransi tersebut, maka perjanjian asuransinya batal. Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa terdapat beberapa pasal yang dapat dipegang sebagai pedoman untuk prinsip indemnitas, yaitu pasal-pasal yang memuat asas kepentingan dan subrogasi yaitu pasal-pasal 250, 252, 253, 274, 277, 279, dan 284 KUHD. Sri Rejeki menyampaikan kritiknya dimana beliau menyatakan bahwa pengaturan prinsip-prinsip dasar asuransi, termasuk prinsip indemnitas, di dalam KUHD tidak diatur secara sistematis. Menurutnya, perlu diadakan pengaturan prinsip dan asas dasar asuransi yang lebih sistematis, yaitu pengaturan yang disusun dan dibedakan sesuai fungsi dari prinsip dan asasnya. Penyusunan yang sistematis itu dapat disusun dan dibedakan berdasarkan prinsip dan asas mana yang berfungsi sebagai syarat terjadi dan sahnya perjanjian asuransi, dan prinsip dan asas mana yang berfungsi sebagai syarat guna pelaksanaan perjanjian asuransi. • Prinsip Subrogasi dan Pengaturannya di Indonesia Subrogasi secara umum dapat diartikan sebagai penggantian hak-hak kreditur oleh seorang pihak ketiga, yang membayar kepada kreditur tersebut. Dari pengertian tersebut jelas bahwa subrogasi muncul sebagai akibat pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga kepada kreditur. Di dalam asuransi, yang dimaksud kreditur adalah tertanggung, debitur adalah pihak ketiga yang menyebabkan kerugian dan hak-hak yang beralih adalah hak-hak menuntut ganti kerugian dari pihak ketiga. Subrogasi diatur dalam 1400-1403 KUHPer dan 284 KUHD. Namun, pengaturan di dalam KUHPer berlaku untuk perjanjian pada umumnya, sedangkan pengaturan untuk asuransi mengacu kepada pengaturan di KUHD. Karena pengaturan subrogasi pada pasal 284 KUHD lah, penanggung dapat melakukan subrogasi, meskipun hal tersebut tidak diperjanjikan dalam perjanjian asuransi dan dicantumkan dalam polis. Beberapa penulis seperti Abdulkadir Muhammad, dan Wirjono Prodjodikoro menyatakan akibat pengaturan yang khusus ini, pengaturan umum didalam KUHPer sudah tidak berlaku lagi untuk perjanjian asuransi. Subrogasi pada asuransi muncul sebagai konsekuensi logis prinsip indemnitas, yaitu agar prinsip indemnitas dapat terlaksana dengan baik, dan untuk menghindari adanya ketidakadilanketidakadilan yang mungkin timbul dengan adanya penggantian kerugian oleh asuransi dan pihak ketiga, yaitu saat kerugian yang dipertanggungkan diakibatkan oleh pihak ketiga. Jika kerugian yang diderita oleh tertanggung diakibatkan oleh pihak ketiga, maka tertanggung memiliki dua sumber ganti kerugian yaitu penanggung dan pihak ketiga yang menyebabkan kerugian. Jika hal tersebut terjadi, maka ada kemungkinan tertanggung akan diuntungkan, dan hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip indemnitas. Namun jika pihak ketiga dibebaskan begitu saja hal tersebut juga dirasakan tidak adil. Untuk menghindari ketidakadilan-ketidakadilan tersebut munculah pengaturan subrogasi dalam asuransi. • Munculnya hak subrogasi Subrogasi muncul akibat adanya pembayaran, namun berdasarkan pengaturan pada pasal 284 KUHD terdapat dua syarat lain yang harus terpenuhi agar subrogasi dalam pertanggungan dapat berlaku, yaitu:
Pengaturan prinsip…, Chita Kalinda Netania, FH UI, 2014
•
Tertanggung mempunyai hak terhadap penanggung dan terhadap pihak
ketiga. • Adanya hak tersebut karena timbulnya kerugian sebagai akibat dari perbuatan pihak ketiga. Jika kedua faktor tersebut terpenuhi dan penanggung telah membayar ganti rugi kepada tertanggung maka saat itu subrogasi muncul. Namun, menurut Penulis penjelasan mengenai kedua faktor tersebut belum memadai khususnya mengenai perbuatan pihak ketiga yang merugikan tertanggung. Seperti yang kita tahu, dalam hukum acara perdata gugatan ganti rugi dapat dilakukan berdasarkan wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum. Berkaitan dengan pengaturan subrogasi pada pasal 284 KUHD tidak dijelaskan ruang lingkup perbuatan pihak ketiga yang seperti apakah yang menyebabkan penanggung memiliki hak subrogasi, apakah wanprestasi atau perbuatan melawan hukum atau keduanya? Didalam buku-buku mengenai asuransi di Indonesia, contoh dari kerugian yang diakibatkan oleh pihak ketiga yang disebutkan seringkali adalah yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum, seperti dalam ‘Pokok-Pokok Hukum Pertanggungan yang ditulis oleh Abdul Kadir Muhammad, dan Hukum Asuransi yang ditulis oleh Kornelius Simanjuntak, Brian Amy Prastyo dan Myra R.B. Setiawan. Dilain pihak, Ignatius menyatakan bahwa subrogasi dapat timbul karena empat sebab, yaitu karena perbuatan melawan hukum, wanprestasi, undang-undang dan karena menjadi pokok pertanggungan. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa praktisi di bidang hukum asuransi, Penulis menyimpulkan bahwa di Indonesia pun, hak subrogasi penanggung terhadap pihak ketiga tetap ada, meskipun perbuatan pihak ketiga tersebut bukanlah PMH, tetapi wanprestasi. Meskipun pada prakteknya demikian, menurut Penulis, kurangnya penjelasan mengenai hal ini dapat menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum. Pada negara-negara common law, penanggung memiliki hak subrogasi untuk menuntut ganti rugi kepada pihak ketiga yang menyebabkan kerugian tidak hanya dalam bidang tort law (perbuatan melawan hukum) namun juga dalam bidang hukum kontrak (wanprestasi). Hal ini sebagaimana disebutkan oleh John F. Dobbyn dalam bukunya Insurance Law dan Poh Chu Chai dalam bukunya Law of Insurance. • Subrogasi yang Terbatas Subrogasi merupakan suatu hak yang diberikan demi kepentingan penanggung dan menjaga agar asuransi dimanfaatkan sesuai dengan tujuannya. Namun ternayata dalam pelaksanaan subrogasi ini, terdapat beberapa pembatasan. Contohnya dalam hal penanggung hanya membayar sebagian kerugian tertanggung, menurut Emmy Pangaribuan penanggung hanya bisa mensubrogasi sebagian kerugian yang telah dibayarkannya tersebut dari pihak ketiga, sedangkan untuk hak-hak selebihnya tetap berada pada tertanggung. Bentuk pembatasan lain dari subrogasi adalah mengenai hak yang bisa diambil oleh penanggung, terbatas pada hak-hak dari tertanggung terhadap pihak ketiga yang ada hubungannya dengan kerugian yang dijamin. • Keberlakuan Prinsip subrogasi Karena prinsip subrogasi merupakan konsekuensi logis dari prinsip indemnitas, maka pada umumnya ahli hukum berpendapat bahwa prinsip subrogasi hanya berlaku untuk jenis asuransi kerugian. Dorhout Mess menyatakan bahwa terdapat dua alasan mengapa kebanyakan orang berpendapat bahwa prinsip ini tidak berlaku untuk asuransi sejumlah uang, yaitu: • Karena tertanggung dalam asuransi jiwa mendapatkan pembayaran sejumlah uang yang tidak didasarkan pada suatu kerugian tertentu, maka tidak menjadi soal apakah si tertanggung akan mendapat lebih dari kerugiannya
Pengaturan prinsip…, Chita Kalinda Netania, FH UI, 2014
• Dalam asuransi jiwa tidak terjadi kerugian pada suatu barang yang dijamin seperti yang disebutkan dalam pasal 284 KUHD. Namun, Dourhout Mess berpendapat bahwa tidak dapat secara umum Pasal 284 dinyatakan tidak berlaku bagi asuransi sejumlah uang, tetapi perlu diteliti asuransi per asuransi, apakah dengan pembayaran sejumlah uang asuransi, Penanggung benar-benar mengganti suatu kerugian yang nyata. Dalam prakteknya, ternyata pelaksanaan prinsip subrogasi ini tidaklah mudah. Beberapa masalah yang mungkin ditemui penanggung berkaitan dengan subrogasi adalah: • Perbuatan dari Tertanggung yang Merugikan Penanggung Meskipun telah dilarang oleh Pasal 284 KUHD pada bagian akhir, pada prakteknya tertanggung masih sering melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan penanggung. Contohnya, tertanggung meminta ganti kerugian dua kali kepada pihak ketiga, maupun penanggung. Beberapa kemungkinan yang mungkin terjadi dan hal yang dapat dilakukan oleh penanggung untuk mengatasinya adalah: • Dalam hal pihak ketiga telah memberikan ganti rugi dan pihak ketiga tidak mengetahui bahwa penanggung memiliki hak subrogasi. Hak subrogasi penanggung telah hapus. Jika penanggung belum membayar ganti kerugian, penanggung dapat menjadikannya alasan untuk menolak klaim sehingga ganti rugi tidak diberikan. • Dalam hal pihak ketiga telah memberikan ganti rugi, dan pihak ketiga tidak mengetahui bahwa penanggung memiliki hak subrogasi. Hak subrogasi penanggung telah hapus. Jika penanggung telah membayar ganti rugi, penanggung dapat meminta kembali ganti rugi yang telah dibayarkannya kepada tertanggung. • Dalam hal pihak ketiga telah memberikan ganti rugi, namun pihak ketiga sadar bahwa penanggung memiliki hak subrogasi, maka hak subrogasi penanggung tidak hapus dengan adanya pembayaran ganti rugi tersebut dan penanggung masih dapat menuntut ganti rugi kepada pihak ketiga. Ketidakjujuran tersebut akan dilihat oleh penanggung untuk menentukan apakah asuransi akan dilanjutkan atau tidak. Hal ini akan dipertimbangkan oleh penanggung, dan sangat bergantung pada ada atau tidaknya itikad baik dari tertanggung. Yang dimaksud itikad baik disini adalah bahwa ketidakjujuran tertanggung adalah karena ketidakmengertiannya, bukan karena ingin mendapatkan keuntungan secara melawan hak. • Kesulitan dalam Melacak Indentitas atau Data Pihak Ketiga yang Menyebabkan Kerugian Hal ini sering terjadi, contohnya pada asuransi kendaraan bermotor, dimana banyak sering terjadi peristiwa tabrak lari. Pada kasus seperti ini pihak ketiga yang menyebabkan kerugian lolos dari kewajibannya untuk membayar ganti rugi. Mau tidak mau, penanggung harus memberikan ganti rugi kepada tertanggung tanpa bisa melaksanakan hak subrogasinya. • Jumlah Klaim yang Kecil Seringkali jumlah klaim dan ganti rugi yang diberikan penanggung kecil, dan dilihat dari pertimbangan ekonomis, tuntutan ganti rugi kepada pihak ketiga tidak layak dilakukan. Hal ini karena biasanya biaya yang harus dikeluarkan oleh penanggung dalam menuntut ganti rugi kepada pihak ketiga akan lebih besar daripada jumlah klaim atau ganti rugi yang telah diberikan oleh penanggung.
Pengaturan prinsip…, Chita Kalinda Netania, FH UI, 2014
• Proses Pengadilan Hambatan ini terjadi karena proses pengadilan seringkali memakan waktu yang sangat lama, ditambah lagi biaya pengacara yang tidak murah. Akibatnya, seringkali penanggung sangat selektif dalam menggunakan hak subrogasinya ini. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang telah penulis lakukan dengan Bapak Krisdianto, Country Head of Legal – General Counsel dari AIG Indonesia. Menurutnya, dalam melakukan hak subrogasi untuk recovery tersebut, perusahaan asuransi sangat jarang mengupayakan ganti rugi dari pihak ketiga, apalagi sampai membawanya ke pengadilan. Hal ini dikarenakan kemungkinan besar ganti rugi yang didapatkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk menuntut ganti rugi di pengadilan tidak sebanding, dimana biaya yang harus dikeluarkan lebih besar. • Adanya Perjanjian Knock for Knock Agreement Berdasarkan perjanjian Knock for Knock Agreement atau ketentuan saling pikul yang ditetapkan oleh Dewan Asuransi Indonesia (DAI), jika terjadi kerusakan/kerugian akibat tabrakan yang dipertanggungkan kepada Perusahaan Asuransi Anggota DAI, maka perusahaan tersebut bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh masing-masing nasabahnya, tidak melihat siapa yang bersalah. Akibat perjanjian ini hak subrogasi hapus. Perjanjian ini berlaku hanya untuk anggota DAI. • Pengaturan yang Sudah Usang dan Tidak Rinci Berdasarkan hasil wawancara dengan Krisdianto Cahyo Nugroho, S.H., LL.M. Country Head of Legal – General Counsel dari AIG dan Bapak Aulya Rachman, Coorporate Legal Division Staff dari Asuransi Central Asia, Penulis menyimpulkan bahwa pengaturan asuransi, khususnya mengenai prinsip-prinsip dasar, termasuk subrogasi, saat ini sudah usang, tidak rinci, tidak ada pengaturan yang lebih lanjut dan terlalu umum. Pengaturan yang sangat minim tersebut dapat menimbulkan adanya multi interpretasi. Indonesia, sebagai negara civil law yang sumber hukum utamanya adalah peraturan perundang-undangan, memerlukan pengaturan pada peraturan perundang-undangan yang jelas dan rinci agar tidak terjadi multi tafsir dan kepastian hukum terjamin. Jika hal tersebut masih sulit untuk dilakukan dalam waktu dekat, satu-satunya hal yang dapat dilakukan adalah mengatur hal tersebut di dalam polis secara rinci. Dengan demikian kemungkinan adanya multi tafsir terkait subrogasi diantara para pihak dalam pertanggungan dapat diminimalkan. • Pengaturan Prinsip Indemnitas dan Subrogasi di Indonesia dan Perbandinganya dengan Negara Lain: Belanda, Thailand dan Kanada Pengaturan prinsip indemnitas dan subrogasi di negara-negara lain sudah lebih lengkap dan jelas. Secara singkat, perbandingan pengaturan prinsip indemnitas dan subrogasi di Indonesia dengan negara lain dapat digambarkan dengan tabel dibawah ini. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa pengaturan prinsip indemnitas dan subrogasi di Indonesia masih belum lengkap, dan pada akhirnya dilengkapi oleh berbagai pendapat dari ahli hukum dan penulis. Indemnitas Indonesia Negara Lain Pengaturannya Tersirat di dalam KUHD Belanda : secara tegas disebutkan dalam NBW, yaitu pasal 960 NBW. Subrogasi:
Pengaturan prinsip…, Chita Kalinda Netania, FH UI, 2014
Indonesia Negara Lain Pengalihan Hak Menuntut Ganti Kerugian Diatur secara tegas dalam pasal 284 KUHD Diatur di Kanada, Thailand dan Belanda. Namun di Kanada, pada beberapa provinsi yaitu Quebec, tidak ada hak subrogasi dan di Ontario di berlakukan secara terbatas Terbatas Tidak diatur dalam KUHD, tetapi dapat ditemukan dalam tulisan Emmy Pangaribuan Thailand: Diatur didalam Civil and Commercial Codenya, yaitu dalam pasal 880(2) Pengaturan terkait jika ganti rugi baru sebagian Tidak diatur didalam KUHD, namun dapat ditemukan pada tulisan Emmy Pangaribuan. Hak subrogasi tetap ada, tetapi terbatas pada jumlah ganti rugi yang penanggung berikan kepada tertanggung. Thailand dan Kanada: Subrogasi belum ada jika ganti rugi baru sebagian. Kanada: Kecuali Asuransi Kendaraan Bermotor + Kebakaran Sistem Pembagian Ganti Kerugian Tidak diatur dalam KUHD, menurut pendapat Wirjono P & Djoko P) harus dibagi secara Prorata Kanada, pada salah satu provinsinya, yaitu Alberta dibagi secara prorata (diatur dalam Section 546 (2) Alberta’s Insurance Act) Pengaturan tentang pihak-pihak yang dikecualikan Tidak diatur dalam KUHD Belanda: diatur dalam salah satu pasal di NBW, yaitu pasal 962(3) Dilakukan atas nama Penanggung sendiri Thailand & Belanda : Penanggung, Kanada: Tertanggung Perbuatan Pihak Ketiga Umumnya PMH, ada juga yang berpendapat PMH & Wanprestasi Kanada: PMH & Wanprestasi Pengaturan Khusus untuk Tiap-Tiap Jenis Asuransi Tidak diatur dalam KUHD Diatur di Kanada, contohnya pengaturan khusus di Provinsi Quebec dan Ontario mengenai subrogasi. •
Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No. 176/Pdt.G/2011/Jkt.Ut.
• Kasus Posisi Penggugat ( PT. Warna Warni Perdana / Pembeli / Tertanggung/ Debitur) membeli satu unit mobil dari Tergugat (PT. Dipo Angkasa Motor / Penjual/ Dealer) dengan fasilitas Perjanjian Pembiayaan Konsumen (PPK). PT. BCA Finance merupakan perusahaan pembiayaan yang membiayai pembelian mobil tersebut (BCAF/ Kreditur). Pihak asuransi juga dilibatkan dalam PPK tersebut yaitu untuk menutup risiko atas objek PPK. Perusahaan asuransi yang digunakan adalah PT. ACA (Asuransi/ Penanggung) yang merupakan partner dari BCAF. Lima bulan setelah pembelian, saat sedang dikemudikan tiba-tiba mobil mengeluarkan asap dan api yang berasal dari bawah kemudi mobil dan pada akhirnya mobil terbakar habis. Penggugat kemudian
Pengaturan prinsip…, Chita Kalinda Netania, FH UI, 2014
mengirimkan somasi kepara Tergugat menuntut pertanggungjawaban. Menurut Penggugat somasi tersebut diabaikan oleh Tergugat sehingga akhirnya Penggugat membawa perkara tersebut ke pengadilan. Gugatan Penggugat didasarkan atas PMH. Pada akhirnya Majelis Hakim mengabulkan ganti rugi sebesar harga pembelian mobil. Didalam pengadilan terungkap fakta bahwa ternyata mobil tersebut belum lunas, dan Penggugat masih memiliki kewajiban pelunasan kepada PT. BCA Finance sebagai kreditur. BCA Finance telah mendapatkan ganti kerugian dari asuransi. •
Analisis
• Perjanjian Pembiayaan Konsumen dan Para Pihaknya Pada kasus ini, Penggugat membeli mobil dengan menggunakan perjanjian pembiayaan konsumen (PPK). PPK adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran. Pada PPK terdapat tiga pihak yang terikat yaitu pembeli atau debitur, perusahaan pembiayaan sebagai kreditur dan supplier. Hubungan diantara para pihak didasarkan pada perjanjian jual beli bersyarat dan perjanjian pinjam pakai habis atau kredit. Karena didasarkan pada perjanjian jual beli dan kredit, pembeli atau debitur sudah berstatus sebagai pemilik dari objek PPK saat terjadi penyerahan. Namun, biasanya objek PPK dijadikan jaminan fidusia, sehingga seluruh dokumen terkait kepemilikan masih dipegang oleh kreditur. Hal ini dilakukan untuk menjamin pelunasan hutang debitur kepada kreditur. Di dalam PPK Finance pengaturan mengenai fidusia diatur dalam pasal 7. Jika debitur wanprestasi, maka objek PPK akan disita oleh kreditur sebagai bentuk pelunasan hutang debitur. Namun dalam hal terjadi total lost, dimana penyitaan objek PPK untuk pelunasan tidak mungkin dilakukan, maka biasanya kreditur akan menggunakan uang ganti rugi dari asuransi untuk pelunasan hutang debitur tersebut. Disini kita dapat melihat betapa pentingnya peran asuransi kendaraan bermotor untuk menutup kerugian atas risiko yang mungkin terjadi pada kendaraan bermotor yang masih menjadi objek PPK. Pada objek PPK tersebut, tidak hanya ada kepentingan debitur, namun juga masih ada kepentingan kreditur atau perusahaan pembiayaan. Jika debitur tidak mengasuransikan objek PPK tersebut, maka ia tetap harus membayar sisa angsuran meskipun barangnya sudah musnah. Berdasarkan ketentuan perjanjian pembiayaan konsumen dari BCAF, dalam hal terjadi total lost, BCAF berhak menerima ganti kerugian dari asuransi terlebih dahulu, dan jika ada sisa baru akan dikembalikan kepada debitur. Pengaturan seperti ini telah dimasukan ke dalam salah pasal PPK BCAF yaitu dalam pasal 8 ayat (1) huruf b. Karena ACA merupakan rekanan dari BCAF maka Penulis mengasumsikan bahwa pengaturan tersebut telah disebutkan didalam polisnya. Klausula tersebut di dalam dunia perasuransian sering disebut sebagai banker’s clause atau klausula kreditur. Ilustrasi PPK antara Penggugat dengan BCAF dan penggantian kerugian dari ACA dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut. Angka-angka dibawah ini merupakaan perkiraan dan bukan angka yang sebenarnya. Besarnya DP, uang muka dan angsuran perbulan didapatkan berdasarkan simulasi kredit pada website resmi BCAF.
• Prinsip Indemnitas Berdasarkan PPK BCAF dan dengan asumsi bahwa pengaturan yang serupa telah dicantumkan dalam polis asuransi ACA, jelas bahwa yang berhak menerima ganti kerugian terlebih dahulu adalah BCAF sebagai perusahaan pembiayaan/kreditur dan jika ada sisa, yaitu setelah
Pengaturan prinsip…, Chita Kalinda Netania, FH UI, 2014
diperhitungkan dengan sisa kewajiban debitur, Penggugat sebagai debitur baru akan mendapatkan sisa pembayaran klaim. Pada pembuktian di pengadilan terungkap fakta bahwa ACA telah menyelesaikan pembayaran klaim kepada BCAF. Karena ACA merupakan rekanan dari BCAF, Penulis mengasumsikan bahwa pertanggungan ditutup secara penuh, yaitu sebesar harga pembelian. Jika ada kerugian, ACA sebagai penanggung akan membayarkan ganti kerugian secara penuh, sesuai prinsip indemnitas, yaitu sebesar kerugian aktual yang diderita. Uang tersebut pasti menutup sisa kewajiban debitur dan pasti akan ada sisa uang klaim yang harus diberikan oleh BCAF kepada debitur . Pada skema diatas, terlihat bahwa setelah pembayaran klaim, kerugian aktual dari Penggugat adalah sebesar Rp 135.100.000,00. Pada Putusan Pengadilan Negeri No. 176/Pdt.G/2011/Jkt.Ut, Majelis hakim mengabulkan gugatan ganti rugi sebesar harga pembelian yaitu sebesar Rp 797.000.000,00 walaupun sebenarnya kerugian aktual dari Penggugat, berdasarkan perhitungan yang terdapat pada skema diatas, hanya sebesar Rp 135.100.000,00. Penggugat telah diuntungkan sebesar Rp 661.900.000,00. Jika ternyata penggantian dari asuransi tidak sebesar seperti yang tergambar dari skema diatas, kerugian aktual yang diderita oleh Penggugat tetap tidak mungkin sebesar harga pembelian, karena pada dasarnya kerugian aktualnya hanyalah sebesar jumlah uang yang telah ia keluarkan ditambah dengan sisa kewajiban yang tidak mungkin sebesar harga pembelian, karena Penggugat belum melunasi seluruh hutangnya dan pada akhirnya pihak asuransilah yang membantu menutup sisa kewajiban tersebut. Berdasarkan hal tersebut, Penulis menyimpulkan bahwa Majelis Hakim masih belum memahami prinsip indemnitas dan karenanya belum bisa menerapkan prinsip tersebut dengan baik pada putusannya, karena dengan putusan tersebut, Penggugat telah diuntungkan dengan ganti kerugian yang melebihi kerugian aktualnya dimana hal ini bertentangan dengan prinsip indemnitas. Jika Majelis Hakim memahami prinsip indemnitas, Majelis Hakim tidak mungkin mengabulkan ganti rugi sebesar harga pembelian, namun memperhitungkannya terlebih dahulu dengan uang yang telah dibayarkan oleh Penggugat dan sisa uang klaim yang didapatnya. • Prinsip Subrogasi Pada pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa asuransi tidak perlu dilibatkan lagi karena antara ganti rugi asuransi dan tuntutan ganti rugi penggugat tidak ada hubungannya. Hal ini jelas salah, karena jelas-jelas ada hubungan diantara keduanya, yaitu pada kerugian. Kerugian yang menyebabkan asuransi membayar ganti kerugian kepada BCAF untuk selanjutnya diserahkan kepada Penggugat, dan kerugian yang menyebabkan Penggugat menggugat ganti kerugian kepada BCAF adalah kerugian yang sama, yaitu kerugian atas terbakarnya mobil Objek PPK/pertanggungan. Atas kerugian yang diakibatkan oleh terbakarnya mobil, Penggugat mendapatkan ganti kerugian dua kali, yaitu dari ACA yang telah dibayarkan melalui BCAF dan dari pihak ketiga/dealer. Berdasarkan pertimbangannya tersebut, hakim telah jelas-jelas mengenyampingkan hak subrogasi yang dimiliki asuransi. Karena, berdasarkan lembaga subrogasi, jika ACA telah melakukan pembayaran ganti kerugian, (dimana hal ini telah dilakukan, sesuai dengan pembuktian yang ada di pengadilan) yang berhak menuntut ganti kerugian adalah ACA yaitu berdasarkan lembaga subrogasi. Hak itu telah ada, meskipun kerugian yang dibayarkan baru sebagian. Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa Majelis Hakim belum memhami prinsip subrogasi, dan karenanya belum bisa menerapkan prinsip subrogasi dengan baik pada putusannya. •
Pentutup
Pengaturan prinsip…, Chita Kalinda Netania, FH UI, 2014
•
Kesimpulan
• Prinsip Indemnitas adalah prinsip yang memungkinkan tertanggung mendapatkan ganti kerugian atas kerugian yang terjadi, tidak lebih. Prinsip Subrogasi adalah prinsip yang memungkinkan penanggung mendapatkan hak-hak tertanggung kepada pihak ketiga yang menyebabkan kerugian. Pengaturan kedua prinsip tersebut masih mengacu kepada KUHD. Pengaturan Prinsip Indemnitas masih belum diatur secara tegas (tersirat) sedangkan pengaturan mengenai prinsip subrogasi perlu diberikan pengaturan lebih lanjut dan rinci, karena pengaturannya di dalam KUHD masih belum lengkap. • Majelis Hakim belum memahami Prinsip Indemnitas dan Subrogasi dengan baik, dan karenanya belum bisa menerapkan prinsip utama asuransi tersebut dalam putusan ini. •
Saran
• Saran untuk Pemerintah: Perlunya dibentuk pengaturan baru dan/atau lebih lanjut terkait prinsip-prinsip utama asuransi, termasuk indemnitas dan subrogasi. Jika pengaturan saat ini masih ingin dipertahankan, pengaturan lebih lanjut terkait indemnitas dan subrogasi harus diperjanjikan dan diatur secara rinci di dalam polis. Hal ini demi menjamin kepastian hukum dan agar asuransi dapat berjalan sesuai dengan fungsinya dan tujuan dari perjanjian asuransi dapat tercapai. • Saran untuk Penanggung: Penanggung harus memberikan penjelasan mengenai polis dan memastikan bahwa Tertanggung telah benar-benar mengerti tentang isi polis sebelum perjanjian asuransi di tandatangani. Hal ini menurut Penulis memang merupakan kewajiban dari Penanggung sebagai penyedia jasa asuransi, apalagi biasanya perjanjian asuransi dibuat secara sepihak oleh Penanggung. • Saran untuk Hakim dan Badan Penelitian dan Pembangunan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Pengadilan Mahkamah Agung RI (LITBANG DIKLAT KUMDIL MA RI): Hakim harus terus memperbanyak dan memperdalam ilmu dalam berbagai bidang hukum, termasuk asuransi. LITBANG DIKLAT KUMDIL MA RI diharapkan dapat mengadakan kerjasama dengan lembaga atau asosiasi seperti Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) untuk mengadakan diklat-diklat mengenai Hukum Asuransi.
Pengaturan prinsip…, Chita Kalinda Netania, FH UI, 2014
DAFTAR PUSTAKA Anjungroso, Fajar. “Apa yang Harus Dilakukan Jika Mobil Tiba-tiba Terbakar?” http://www.tribunnews.com/otomotif/2013/10/31/apa-yang-harus-dilakukan-jikamobil-tiba-tiba-terbakar. Diunduh 5 Januari 2014. Asril, Sabrina. “Tiga Indikasi Kebohongan Kasus Nissan Juke Terbakar Dibeberkan”, http://megapolitan.kompas.com/read/2012/08/07/18380065/Tiga.Indikasi.Kebohon gan.Kasus.Nissan.Juke.Terbakar.Dibeberkan. Diunduh 5 Januari 2014. Badan Pusat Statistik Nasional. “Jumlah Kecelakaan, Koban Mati, Luka Berat, Luka Ringan, dan Kerugian Materi yang Diderita Tahun 1992-2012” http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=17¬ab=14. Diunduh 21 September 2013. BCA Finance. “Asuransi” http://www.bcafinance.co.id/produklayanan/Asuransi.html. Diunduh 20 November 2013. -------------------. “Asuransi Rekanan BCAF” http://www.bcafinance.co.id/produklayanan/Asuransi_Rekanan_BCAF.html. Diunduh 20 November 2013. Brown, Craig. Canadian Insurance Contracts Law In a Nutshell. Toronto: Carswell, 1995. Chai, Poh Chu. Law of Insurance. 2nd Ed. Singapore: Longman Singapore Publishers (Pte) Ltd, 1990. Chorus, Jeroen, Piet-Hein Gerver, and Ewoud Hondius. Introduction to Dutch Law. 4th Ed. Alphen aan den Rijn: Kluwer Law International, 2006. DCL. “Dutch Civil Code” http://www.dutchcivillaw.com/civilcodegeneral.htm. Diunduh 4 Oktober 2013. Dobbyn, John F. Insurance Law in a Nutshell. 3rd Ed. St. Paul: West Publishing Co.,1996. Fuady, Munir. Hukum tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995. Hartono, Sri Rejeki. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Cet. 4. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Pengaturan prinsip…, Chita Kalinda Netania, FH UI, 2014
Indonesia. Undang-undang Usaha Perasuransian. UU No. 2 tahun 1992. LN No. 13 Tahun 1992. TLN. No. 3467. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan. Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.Tjitrosudibio. Cet. 32. Jakarta: Pradnya Paramita, 2008. Nugroho, Krisdianto Cahyo. 2013. Wawancara di Kantor Pusat AIG Indonesia. Mamudji, Sri, et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Cet. 1. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Manullang, Sabar D.F. “Analisa resiko dan pelaksanaan azas subrogasi dalam penyelesaian ganti rugi asuransi kendaraan bermotor” Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 1996. Muhammad, Abdulkadir. Pokok-Pokok Hukum Pertanggungan. Bandung: Alumni, 1983. Prakoso, Djoko. Asuransi di Indonesia. Cet. 3. Semarang: Dahara Prize, 1994. --------------. Hukum Asuransi Indonesia. Cet. 5. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Asuransi di Indonesia. Cet. 9, Jakarta: Intermasa, 1991. Rachman, Aulya. 2013. Wawancara di Kantor Pusat Asuransi Central Asia. Rusman, Ignatius. “Prinsip-Prinsip Asuransi” http://103.11.74.3/~k5017862/elearning/file.php/7/Bab_6_-_PrinsipPrinsip_Asuransi.pdf. Diunduh pada tanggal 13 Oktober 2013. Simanjuntak, Hukum Pertanggungan. Cet. 4. Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1980. Simanjuntak, Kornelius, Brian Amy Prastyo, dan Myra R.B Setiawan. Hukum Asuransi. Depok: Djokosoetono Research Center FHUI, 2011. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: UI-Press, 1986. Suharnoko, dan Endah Hartati. Doktrin Subrograsi, Novasi, dan Cessie. Ed.1. Cet.1. Jakarta: Kencana,2005.
Pengaturan prinsip…, Chita Kalinda Netania, FH UI, 2014
Sunaryo. Hukum Lembaga Pembiayaan. Cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Ed. 1. Cet. 9. Jakarta: Raja Grasindo Persada, 2007. T.N. “Selama Musim Mudik, 795 Orang Tewas Kecelakaan” http://ramadan.okezone.com/read/2013/08/22/335/853920/selama-musim-mudik-795orang-tewas-kecelakaan. Diunduh 21 September 2013. T.N. “Statistik Kriminal Berkata Naik !!!: Statistik Kriminal Pencurian Kendaraan Bermotor” http://www.intellitrac.co.id/statistik-kriminalitasindonesia-2012/. Diunduh pada tanggal 9 Januari 2014.
Pengaturan prinsip…, Chita Kalinda Netania, FH UI, 2014