Analisis Terhadap Perjanjian Keagenan yang Tidak Mencantumkan Identitas Para Pihak dan Tidak Memenuhi Ketentuan Pasal 21 Peraturan Menteri Perdagangan No. 11/M-Dag/Per/3/2006 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda pendaftaran Agen Atau Distributor Barang Dan/Atau Jasa (Kasus Perjanjian Changsha Zoomlion Heavy Industry Science And Technology Development Co., Ltd., dengan PT. XXX). Ardila Rahmanita, R.M. Purnawidhi W. Purbacaraka, Ari Wahyudi Hertanto, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 16412, Indonesia Email:
[email protected] Abstrak Seiring dengan perkembangan dunia usaha dan kebutuhan akan pemenuhan sarana kegiatan ekonomi masyarakat, maka lahirlah lembaga keagenan di Indonesia. Hubungan keagenan adalah hubungan antara agen yang merupakan perusahaan nasional dengan prinsipal yang merupakan perusahaan yang berasal dari luar negeri, yang diawali dengan dibentuknya suatu kesepakatan atau suatu perjanjian yang mengatur mengenai hal apa yang akan mereka perdagangkan. Perjanjian keagenan muncul apabila prinsipal, menunjuk agen untuk bertindak sebagai wakil perusahaan luar negeri tersebut dalam wilayah Indonesia. Dalam hal membuat suatu perjanjian, didalamnya terdapat suatu asas yang menyatakan, bahwa pihak yang membuat perjanjian dapat menentukan isi perjanjiannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh para pihak tersebut namun tetap dalam ketentuan hukum yang berlaku dan tidak melanggar syarat-syarat sahnya perjanjian, serta norma kesusilaan dan kepatutan. Dalam melakukan suatu perjanjian haruslah orang yang memiliki kapasitas, kewenangan dan kemampuan untuk melakukan perjanjian tersebut. Kata Kunci: Perjanjian, lembaga keagenan, perjanjian keagenan Abstract Analysis Of Agency Agreement That Does Not Include Identity Of the Parties and Does Not Meet The Provisions of Article 21 Of The Minister Of Trade Regulation No. 11/M-Dag/Per/3/2006 Of Rules And Procedures For The Issuance Of Letter Of Registration Agent Or Distributor Of Goods And/Or Services (Contract Case Heavy Industry Changsha Zoomlion Science And Technology Development Co.., Ltd., With PT. XXX).
Along with the business development and the need for community economic activities, it brings out agency relationship in Indonesia. Agency is a relationship between an agent who is a national company with a principal who is a company that comes from abroad, it begins with an agreement that organize what will be traded. Agency agreement existed whereby the agent is authorized by the principal to act as the representative company in Indonesia. In conducting an agreement, there are one principle that said, that the parties who make the agreement can decide the content of the agreement suitable for their needs, as long as the content is not contradictory to the law, norms, and public policy. In conducting an agreement, that should be someone who has the capacity, authority and ability to perform the agreement. Key Word: Agency, agreement, agency agreement Pendahuluan Lembaga keagenan pada hakikatnya adalah sebuah lembaga baru dalam hukum Indonesia, karena baik dalam menurut Sistem Hukum Eropa kontinental maupun hukum Adat yang ada di Indonesia tidak mengenal lembaga keagenan. Namun seiring dengan perkembangan dunia usaha dan kebutuhan akan pemenuhan sarana kegiatan ekonomi masyarakat, maka lahirlah lembaga keagenan di Indonesia. Sebagai sebuah lembaga baru dalam hukum nasional suatu Negara, maka tidaklah tertutup kemungkinan jika lembaga keagenan memiliki kekurangan di sana-sini, baik dalam segi pelaksanaannya maupun dalam segi pengaturannya. Hubungan antara agen dan prinsipalnya, pasti diawali dengan dibentuknya suatu kesepakatan atau suatu perjanjian yang mengatur mengenai hal apa yang akan mereka perdagangkan. Oleh sebab itu diperlukan suatu instrumen perjanjian keagenan agar mereka dapat terikat dalam suatu perjanjian yang bersifat khusus. Suatu perjanjian atau kontrak harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian agar dinyatakan sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian dinyatakan sah apabila adanya kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal1. Dalam hal membuat suatu perjanjian, didalamnya terdapat 1
hlm.. 1.
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Prenada Media, 2005),
suatu asas yang menyatakan, bahwa pihak yang membuat perjanjian dapat menentukan isi perjanjiannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh para pihak tersebut. Kehendak para pihak yang diwujudkan dalam kesepakatan adalah merupakan dasar mengikatnya suatu perjanjian. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), “suatu perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya” namun Pasal 1338 ayat (3) KUHPer menyebutkan bahwa “setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Dalam dunia bisnis, istilah perjanjian ini lebih sering digunakan sebagai istilah kontrak. Secara terminologi, kata kontrak berasal dari bahasa inggris contract, yang berarti perjanjian atau kontrak. Namun dalam penyusunan kontrak secara tertulis ada istilah lain yang dinamakan sebagai agreement atau yang berarti persetujuan atau permufakatan dan ada juga yang mengartikan sebagai perjanjian. Dalam praktek penyusunan kontrak, kedua istilah tersebut tidak begitu dipermasalahkan, tergantung para pihak yang menggunakan istilah mana yang lebih disukai, hanya saja dalam kontrak yang dibuat dalam bahasa Indonesia selalu digunakan istilah perjanjian atau kontrak, sedangkan dalam bahasa Inggris misalnya kontrak internasional dipergunakan istilah agreement misalnya perjanjian sewa menyewa, perjanjian kerja, loan agreement, distributor agreement, joint venture agreement dan sebagainya. Dalam melakukan suatu perjanjian haruslah orang yang memiliki kapasitas, orang yang memiliki kewenangan dan kemampuan untuk melakukan perjanjian tersebut. Orang yang belum dewasa atau masih di bawah umur dianggap belum memiliki kemampuan atau kecakapan untuk melakukan suatu tindakan hukum dan karenanya oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap melakukan tindakan hukum.2 Kecakapan juga ditentukan oleh undang-undang, misalnya dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) dinyatakan, bahwa Direksi PT adalah subjek yang diberi 2
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), Ps. 1330 (1)
kewenangan untuk mewakili PT dalam melakukan tindakan hukum.3 Hal ini berarti bahwa secara normatif selain direksi dari suatu perusahaan, maka tidak ada orang lain yang berhak atau memiliki kewenangan untuk mewakili perseroan tersebut untuk melakukan perjanjian dengan pihak lain. Jika terjadi suatu sengketa antara para pihak dan atas sengketa tersebut tidak ada pengaturan yang jelas dalam perjanjian yang disepakati para pihak, bukan berarti perjanjian belum mengikat para pihak atau sendirinya batal demi hukum4. Karena pengadilan dapat mengisi kekosongan hukum tersebut melalui penafsiran untuk menemukan hukum yang berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian. Mengenai perjanjian keagenan, KUHPer dan KUHD tidak mengatur secara khusus mengenai hal tersebut. Perjanjian keagenan muncul apabila suatu perusahaan, yang biasanya berasal dari luar negeri, menunjuk suatu perusahaan nasional tertentu untuk bertindak sebagai wakil perusahaan luar negeri tersebut dalam wilayah Indonesia. Perusahaan luar negeri yang menunjuk itu lazim disebut prinsipal, sedangkan perusahaan nasional yang ditunjuk itu disebut agen. Hubungan hukum antara prinsipal dan agennya ini lazim disebut sebagai perjanjian keagenan. Namun demikian sampai saat ini belum ada suatu pengaturan yang seragam mengenai kegiatan usaha keagenan yang prinsipalnya ada di dalam maupun luar negeri5. Ketentuan-ketentuan yang secara tegas menyebutkan agen atau agen tunggal ini, hanya terdapat dalam peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Kesehatan. Termasuk peraturan yang dikeluarkan aparatur bawahannya masing-masing. Peraturan tersebut hanyalah mengatur masalah keagenan dari sudut kepentingan atau tugas wewenang masingmasing instansi yang berwenang menerbitkan peraturan itu. kesemuanya bertujuan untuk melindungi perusahaan yang menjadi agen, pertumbuhan industri dan 3
Agus Sardjono, Pengantar Hukum Dagang, (Jakarta: PT. RajaGrafindo,2014), hlm.17
4
Ibid.,. hlm.15
5
Peraturan mengenai (pendaftaran) agen yang meliputi agen dengan prinsipal dalam dan luar negeri diatur dalam instruksi Direktur Jendral Perdagangan Dalam negeri No. 01/DAGRI/INS/II/85 tanggal 12 Februari 1985, telah diatur antara lain mengenai syarat-syarat untuk mendapatkan surat pendaftaran agen dari Departemen Perdagangan.
konsumen dari segi kontinuitas perdagangan dan pelayanan purna jualnya. Dalam perjanjian keagenan di dalamnya terdapat pengertian bahwa antara para pihak dalam perjanjian keagenan ini merupakan suatu badan usaha yang terpisah satu sama lainnya. Agen disini bukan sebagai karyawan atau pekerja dari perusahaan yang menunjuknya sebagai agen, melainkan sebagai suatu badan hukum yang bekerja untuk dan atas dirinya sendiri. Dalam praktek sehari-hari pengertian keagenan ini sering dikacaukan dan bahkan dicampur aduk dengan pengertian distributor, padahal secara teoritis pengertian keagenan dengan distributor adalah suatu hal yang berbeda, tapi dalam prakteknya nanti akan sulit untuk membedakan antara keduanya. Salah satu ciri utama yang penting dalam keagenan ini adalah bahwa agen bertindak untuk dan atas nama prinsipalnya. Batasan prinsipal menurut Pasal 1 Sub 3 Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 295/M/SK/7/1982 tentang Keagenan Tunggal ialah perusahaan induk di luar negeri atau di dalam negeri yang membuat barang-barang modal dan barang-barang industri tertentu dengan merek milik sendiri atau perusahaan atas dasar kuasa penuh dari perusahaan induk, memiliki hak dan wewenang penuh untuk memberikan keagenan kepada agen di Indonesia sesuai dengan peraturan perusahaan induk tersebut, sedangkan distributor pada perjanjian distributor tidaklah bertindak untuk dan atas nama orang lain. Perjanjian keagenan muncul apabila suatu perusahaan, yang biasanya berasal dari luar negeri, menunjuk suatu perusahaan nasional tertentu untuk bertindak sebagai wakil perusahaan luar negeri tersebut dalam wilayah Indonesia. Perusahaan luar negeri yang menunjuk itu lazim disebut prinsipal, sedangkan perusahaan nasional yang ditunjuk itu disebut agen. Hubungan hukum antara prinsipal dan agennya ini lazim disebut sebagai hubungan keagenan. Berkaitan mengenai apa yang telah dibahas dalam latar belakang. Tentunya di balik keagenan ini ada perjanjian yang melatar belakanginya, maka dari itu dalam penelitian ini akan dibahas mengenai: 1.
Apakah implikasi yuridis jika perjanjian keagenan tidak menyebutkan informasi subjek hukum yang menandatangani perjanjian keagenan tersebut?
2.
Apakah implikasi yuridis terhadap perjanjian keagenanan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 21 Peraturan Menteri Perdagangan No. 11/MDAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distributor Barang dan/atau Jasa (Permen 11/06)?
Tinjauan Teoritis Perjanjian adalah suatu perbuatan, antara sekurangnya dua orang, dan perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang berjanji. Perjanjian hanya mungkin terjadi jika adanya suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan, ataupun tindakan secara fisik dan tidak hanya dalam pikiran semata. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.6 Subjek hukum adalah orang (persoon) berarti pembawa hak atau subjek di dalam hukum.7 Disamping orang, badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan juga memiliki hak dan melakukan perbuatan hukum seperti seorang manusia. Badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantara pengurusnya, dapat digugat dan dapat juga menggugat di muka hakim.8 Lembaga keagenan adalah hubungan antara agen dan prinsipal diikat oleh perjanjian yang didasarkan kepada persetujuan para pihak.9 Perjanjian keagenan adalah perjanjian yang dilakukan oleh agen dan prinsipal dalam rangka mengatur hubungan agen dengan prinsipal. Dalam perjanjian keagenan, prinsipal memberikan amanat kepada agen untuk dan atas nama prinsipal menjualkan barang dan atau jasa
6
R. Subekti (a), Aneka perjanjian, Cet.10, (Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 1995), hal.1.
7
Subekti (b), Pokok-pokok Hukum Perdata, cet. XXVI, (Jakarta: PT. Intermasa, 1994), hlm.
19
8
Ibid., hlm. 21 I Ketut Oka Setiawan, Lembaga Keagenan dalam Perdagangan dan Pengaturannya di Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill-Co, 1996), hlm. 16. 9
yang dimiliki atau dikuasai oleh prinsipal.10 Agen adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama prinsipal berdasarkan perjanjian untuk melakukan pemindahan hak atas fisik barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai oleh prinsipal yang menunjuknya11. Prinsipal adalah perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum di luar negeri atau di dalam negeri yang menunjuk agen atau distributor untuk melakukan penjualan barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai12.
Metode Penelitian Penulisan ini adalah sebuah penulisan dibidang hukum atau yuridis, maka dengan demikian penulisan skripsi ini dinamakan penulisan hukum normatif atau yuridis normatif. Penelitian ini mengacu pada norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dan juga pada norma-norma atau aturan-aturan yang berlaku dan mengikat dalam kebiasaan masyarakat.13 Penulisan ini akan menggunakan tipe penulisan yang eksplanatoris14 dimana penulis bermaksud untuk menjelaskan sesuatu. Dalam mendapatkan data yang diperlukan untuk penulisan skripsi ini, alat yang dipergunakan adalah studi dokumen atau bahan pustaka sehingga data yang didapatkan ditinjau dari sumbernya dinamakan data sekunder15. Data sekunder dalam penulisan ini mencakup bahan hukum primer atau bahan hukum yang mengikat yang 10
Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Himpunan Peraturan Keagenan dan Distributor, (Jakarta: Direktorat Bina usaha dan Pendaftaran Perusahaan, Direktorat Jendral Perdagangan Dalam negeri, 2006), hlm. 8 &17 11 Kementrian Perdagangan, Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distributor Barang dan/atau Jasa, Permendag No. 11 Tahun 2006. Ps. 1 angka (4) 12 Ibid., Ps. 1 angka (1). 13 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normative Suatu Tinjauan Singkat, ed. 1, cet 11 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 13. 14 Sri Mamudji, Et. Al., Metode penelitian dan Penulisan hukum, (Jakarta: Badan Penerbit fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 6. 15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3 (Jakarta: UI-Press, 1986) hlm. 12.
berupa peraturan perundang-undangan yang berkaian dengan hukum dibidang perjanjian, keagenan, dan perjanjian keagenan. Bahan hukum sekunder yang berupa buku, artikel, jurnal, dan hasil-hasil penelitian. Tujuan dari penggunaannya bahan hukum sekunder ini adalah untuk menjelaskan bahan hukum primer yang ada. Data sekunder ini diharapkan dapat sebagai bahan dalam kerangka ilmu pengetahuan yang dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan hukum yang khususnya mengenai hukum dibidang perjanjian, keagenan, dan perjanjian keagenan. Bahan hukum tersier dalam penulisan hukum ini berupa kamus, buku petunjuk, dan lain-lain, yang berguna sebagai pengembangan teori yang ada. Pembahasan Dalam perjanjian keagenan ini terdapat 2 Pihak yaitu prinsipal dan agen. Yang menjadi prinsipal adalah perusahaan asing yang akan menjual produknya di Indonesia melalui agennya yang merupakan perusahaan nasional yang menjalankan kegiatannya di Indonesia. Pihak Pertama yang menjadi prinsipal adalah Changsha Zoomlion Heavy Industry Science and technology Development, Co., Ltd yang beralamat di No. 361, Yinpen South Road, Changsha, Hunan province 410013, R. R. Cina dan Pihak Kedua yang adalah perusahaan nasional yang bernama PT. XXX. Perjanjian keagenan ini dilaksanakan oleh kedua belah Pihak pada tanggal 15 Juli 2006 dan ditandatangani di Changsa, Cina. Secara struktur, isi perjanjian antara Changsha dengan PT. XXX. Para pihak dalam perjanjian tersebut tidak jelas dikarenakan dalam perjanjian tidak menyebutkan masing-masing direksi dan bahkan nama-nama dari direksi masing-masing perusahaan. Kondisi ini mengakibatkan ketidakjelasan dalam penentuan subjek hukum dalam perjanjian dimaksud. Khususnya, apabila para pihak akan dihadapkan pada keadaan saling bersengketa di kemudian hari. Melalui analisis ini, maka penulis menganggap bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPer yang menyatakan bahwa:
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanian 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal.” Dari hal tersebut penulis berpendapat bahwa dalam perjanjian keagenan ini, syarat sah perjanjian pada angka (2), yaitu mengenai kecakapan untuk membuat suatu perjanjian tidak terpenuhi, yang mengatur tentang syarat sah perjanjian menjadi tidak terpenuhi, berdasarkan syarat kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada subjek hukum pada umumnya diukur atau dibedakan dalam dua hal yaitu kecakapan sebagai person (pribadi) yang diukur dari usia kedewasaan, sedangkan untuk rechtpersoon (badan hukum) dapat diukur dari aspek kewenangan.16 Hal ini dikarenakan sebagai pribadi ciptaan hukum, badan hukum sebagai subjek hukum atrifisial tentu saja tidak dapat melakukan kegiatan apa-apa, karena wujud nyatanya tidak ada.17 Oleh karenanya, agar badan hukum dapat melakukan tindakan hukum untuk mencapai tujuan-tujuannya, diperlukan organ untuk menjalankan usahanya Hal ini sejalan dengan ketentuan pengaturan dalam UUPT yang menentukan bahwa sebuah perseroan terbatas dalam hal ini kepengurusannya diwakili oleh anggota direksi, tetapi dalam perjanjian tersebut tidak disebutkan nama pihak yang memiliki kapasitas sebagai direksi dalam perseroan terbatas dimaksud, baik pihak Indonesia maupun pihak asing. Dalam melakukan suatu perjanjian haruslah orang yang tepat atau orang yang memiliki kewenangan atau kemampuan untuk melakukan perjanjian tersebut atau harus jelas siapa subjek hukumnya. Subjek hukum menurut KUHPer dibedakan atas 2, yaitu pribadi kodrati dan badan hukum. Orang yang belum dewasa atau masih di bawah umur dianggap belum memiliki kemampuan atau kecakapan untuk melakukan suatu tidakan hukum dan karenanya oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap
16
Agus Yudha, Hernoko, Op. Cit., hlm. 184
17
Agus Sardjono, Op. Cit., hlm.79
melakukan tindakan hukum.18 Kecakapan juga ditentukan oleh undang-undang, misalnya dalam UUPT dinyatakan bahwa Direksi perseroan adalah subjek yang diberi kewenangan untuk mewakili perseroan dalam melakukan tindakan hukum.19 Hal ini berarti bahwa selain direksi dari suatu perusahaan, maka tidak ada orang lain yang berhak atau memiliki kewenangan untuk mewakili perseroan tersebut untuk melakukan perjanjian dengan pihak lain. Secara eksplisit ditentukan dalam UUPT bahwa RUPS harus dilakukan untuk membentuk organ perseroan sesuai kewenangan anggaran dasar. Berdasarkan pendirian hukum di atas maka menurut hukum nama Changsha tidak mempunyai kapasitas sebagai person yang dapat menandatangai perjanjian keagenan tersebut, karena Changsha merupakan nama dari badan hukumnya, bukan merupakan perwakilan dari badan hukum itu sendiri. Sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Changsha untuk pihak agen yang berasal dari Indonesia yaitu PT. XXX dalam perjanjiannya juga tidak mencantumkan identitas lengkap siapa yang mewakili badan hukum tersebut dalam perjanjian keagenan itu. padahal PT. XXX merupakan suatu badan hukum yang berdomisili di Indonesia dan oleh karena itu PT. XXX seharusnya tunduk pada aturan dan UndangUndang yang berlaku di Indonesia. Seharusnya PT. XXX mencantumkan identitas dari siapa yang berhak mewakilinya dalam melakukan suatu tindakan hukum. Badan hukum sebagai subjek hukum atrifisial tentu saja tidak dapat melakukan kegiatan apa-apa, karena wujud nyatanya tidak ada.20 Oleh karenanya, agar badan hukum dapat melakukan tindakan hukum untuk mencapai tujuan-tujuannya, diperlukan organ untuk menjalankan usahanya. Organ tersebut dapat berupa direksi dan dewan komisaris. Dalam menjalankan usaha dari badan hukum, maka yang harus dilakukan oleh direksi adalah untuk mengelola kegiatan perusahaan, mencatat atau membuat pembukuan atas seluruh kekasayaan badan hukum tersebut, dan yang terakhir adalah 18
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], Ps. 1330 (1).
19
Agus Sardjono, Op. Cit., hlm.17. Ibid.
20
mewakili perusahaan dalam melakukan tindakan hukum untuk kepentingan perusahaan.21 Dalam hal ini berarti badan hukum dalam melakukan suatu tindakan hukum harus diwakili oleh direksi yang tercantum dalam anggaran dasar dari badan hukum tersebut. Dalam perjanjian ini tidak mencantumkan identitas para direksi yang berwenang mewakili badan hukum tersebut dalam perjanjian ini. Hal ini bertentangan dengan kecakapan juga dinyatakan dalam UUPT, dimana dalam UUPT tersebut ditentukan bahwa Direksi PT adalah subjek yang diberi kekuasaan atau kewenangan untuk mewakili PT dalam melakukan tindakan hukum.22 Hal inilah yang dapat kita sebut sebagai legal ability yang mencakup ability or power to do something. Kewenangan yang dimiliki oleh Direktur PT tersebut muncul atau lahir dari undang-undang. Hal ini jelas melanggar apa yang telah diatur dalam UUPT tersebut, hal ini membuat syarat subjektif dari perjanjian tersebut tidak terpenuhi, maka terhadap perjanjian tersebut dapat dilakukan pembatalan karena tidak memenuhi syarat subjektif dari perjanjian. Oleh karena itu dikarenakan tidak adanya kejelasan mengenai siapa subjek hukum yang menlakukan perjanjian dan menandatangani perjanjian tersebut, maka syarat sahnya perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerd tidak terpenuhi, khususnya tidak terpenuhi syarat subjektif dari suatau perjanjian. Maka sesuai dengan syarat subjektif yang tidak terpenuhi maka salah satu pihak dalam perjanjian tersebut dapat meminta pembatalan atas perjanjian tersebut.23 Atau pula para pihak dapat melakukan perjanjian ulang dan dalam perjanjian tersebut harus dinyatakan secara jelas siapa para pihak yang mewakili badan hukum-badan hukum tersebut dalam suatu perjanjian. Hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apapun, asalkan tidak 21
Ibid., hlm. 81.
22
Ibid., hlm. 17.
23
Agus Yudha, Hernoko, Op. Cit., hlm. 161.
melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, atau dengan kata lain dapat kita sebut bahwa perjanjian menganut asas konsesualisme, asas kebebasan berkontrak, dan sistem terbuka.24 Dalam hal membuat suatu perjanjian, didalamnya terdapat asas yang menyatakan, bahwa pihak yang membuat perjanjian dapat menentukan isi perjanjiannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh para pihak. Kehendak para pihak yang diwujudkan dalam sebuah perjanjian merupakan dasar mengikatnya suatu perjanjian. Perjanjian tidak boleh mengandung unsur kekhilafan. Kekhilafan dapat menyangkut subjek maupun objek dari perjanjian dimaksud. Perihal aspek objek perjanjian, maka seharusnya terdapat kesinambungan antara judul perjanjian dengan isi perjanjian, yaitu adanya kesesuaian antara judul dengan isi perjanjian. Terhadap perjanjian yang dijadikan sebagai objek penulisan skripsi ini, Penulis mendapati bahwa adanya perjanjian keagenan yang salah satu pihaknya adalah subjek hukum Indonesia dengan daerah pemasaran di Indonesia, tetapi secara isi sama sekali tidak merujuk dan mendasarkan perjanjian tersebut pada hukum Indonesia. Terhadap implementasi perjanjian keagenan di Indonesia pada prinsipnya harus memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Penulis dalam hal ini telah melakukan telaah dengan melakukan penelusuran peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang salah satunya adalah terhadap Himpunan Peraturan Keagenan dan Distributor yang diterbitkan oleh Departemen Perdagangan Republik Indonesia tahun 2006. Dalam himpunan peraturan tersebut secara umum memuat, menerangkan dan menjelaskan mengenai serba serbi perjanjian keagenan, yaitu perjanjian yang dibuat oleh dan antara prinsipal dengan agen, dimana prinsipal memberikan amanat kepada agen untuk dan atas nama prinsipal menjualkan barang-barang atau jasa-jasa yang dimiliki atau dikuasai oleh prinsipal.25 24
Suharnoko, Op. Cit., hlm. 13. Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Himpunan Peraturan Keagenan dan Distributor, (Jakarta:Direktorat Bina usaha dan Pendaftaran perusahaan, Direktorat Jendral Perdagangan dalam Negeri, 2006), hlm. 8 & 17 25
Setelah menelaah secara seksama perjanjian keagenan, maka dalam perjanjian keagenan tersebut telah memuat persyaratan mengenai isi minimal dari perjanjian keagenan yang terdapat dalam Pasal 21 ayat (7) Permen 11/06. Perjanjian yang dibuat antara Changsa dengan PT. XXX tidak melaksanakan ketentuan yang
diatur dalam Permen 11/06, dimana perjanjian tersebut tidak
memenuhi ketentuan-ketentuan antara lain dan tidak terbatas tentang: a. Pembuatan dokumen perjanjian keagenan dihadapan notaris publik; b. Tidak adanya surat keterangan dari atas perdagangan Republik Indonesia atau pejabat kantor perwakilan di negara prinsipal; c. Perjanjian tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; d. Perjanjian tidak didaftarkan ke kantor Kementerian Perdagangan di Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Jelas sudah bahwa perjanjian keagenan tersebut tidak ada surat keterangan dari Atase Perdagangan Republik Indonesia atau Pejabat Kantor Perwakilan Republik Indonesia ataupun perjanjian ini juga tidak dilegalisir oleh Notaris Publik di negara prinsipal. Kekurangan lainnya yang terjadi dan tidak dipenuhi oleh para pihak perjanjian keagenan adalah terkait dengan bahasa, yaitu perjanjian yang dibuat dalam bahasa asing wajib diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah, hal ini terdapat ketentuannya dalam Pasal 21 (8) Permen 11/06. Namun demikian dalam perjanjian keagenan tersebut tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah, sehingga kembali ketentuan Permen 11/06 menjadi tidak terpenuhi, baik oleh Changsa maupun PT. XXX. Berdasarkan analisis di atas, maka perjanjian keagenan tersebut adalah benar merupakan sebuah perjanjian keagenan secara tegas dinyatakan bahwa PT. XXX adalah agen dari prinsipalnya yaitu Changsha. Namun Perjanjian Keagenan ini tidak mematuhi dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang tertera dalam Pasal 21 Permen 11/06. Apabila memperhatikan ketentuan Pasal 1339 KUHPer dan dengan memperhatikan bahwa perjanjian keagenan ini tidak mematuhi dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang praktek keagenan di Indonesia, maka
perjanjian ini secara hukum perdata telah tidak memenuhi ketentuan tentang syarat objektif. Oleh karenanya jika suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif atau tidak mempunyai sebab atau sebab tidak diperbolehkan, berarti hal ini terkait dengan syarat objektif sebagaimana yang diatur dalam pasal 1320 KUHPer,26 maka terhadap perjanjian keagenan ini dapat dinyatakan Nietig atau batal demi hukum. Jika suatu perjanjian dinyatakan batal demi hukum, maka akan muncul suatu anggapan bahwa perjanjian tersebut tidak pernah ada.27 Kesimpulan 1.
Dalam hal perjanjian keagenan tidak menyebutkan informasi subjek hukum yang menandatangani perjanjian keagenan tersebut, maka hal ini bertentangan dengan kecakapan juga dinyatakan dalam KUHPer dan UUPT, dimana dalam UUPT tersebut ditentukan bahwa Direksi PT adalah subjek yang diberi kekuasaan atau kewenangan untuk mewakili PT dalam melakukan tindakan hukum. Hal inilah yang dapat kita sebut sebagai legal ability yang mencakup ability or power to do something. Kewenangan yang dimiliki oleh Direktur PT tersebut muncul atau lahir dari undang-undang. Oleh karena itu dikarenakan tidak adanya kejelasan mengenai siapa subjek hukum yang menlakukan perjanjian dan menandatangani perjanjian tersebut, maka syarat sahnya perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPer tidak terpenuhi, khususnya tidak terpenuhi syarat subjektif dari suatau perjanjian. Maka sesuai dengan syarat subjektif yang tidak terpenuhi maka salah satu pihak dalam perjanjian tersebut dapat meminta pembatalan atas perjanjian tersebut. Atau pula para pihak dapat melakukan perjanjian ulang dan dalam perjanjian tersebut harus dinyatakan secara jelas siapa para pihak yang mewakili badan hukum-badan hukum tersebut dalam suatu perjanjian. Dalam hal telah terjadi pelaksanaan hak dan kewajiban dari perjanjian keagenan tersebut, maka permohonan
26
Agus Yudha, Hernoko, Op.Cit., hlm. 160.
27
Ibid.., hlm. 293.
pembatalan perjanjian, tidak serta merta menghilangkan kewajiban-kewajiban yang harus diselesaikan. Karena telah dilaksanakannya suatu prestasi dari salah satu pihak. 2.
Dalam Perjanjian Keagenan antara Changsha dengan PT. XXX, terdapat kesesuaian antara isi dengan judul. Karena dalam Perjanjian Keagenan secara tegas dinyatakan bahwa PT. XXX adalah agen dari prinsipalnya yaitu Changsha. Perjanjian Keagenan tersebut telah memuat syarat minimum isi perjanjian yang diatur dalam Pasal 21 Permen 11/06. Namun Perjanjian Keagenan tersebut tidak memenuhi beberapa ketentuan lain yang terdapat dalam Pasal 21 Permen 11/06 seperti ketentuan yang menyatakan bahwa perjanjian keagenan harus dilegalisir oleh Notary Public
dan harus
mendapatkan surat keterangan dari Atase Perdagangan Republik Indonesia atau Pejabat Kantor Perwakilan Republik Indonesia di negara prinsipal. Apabila memperhatikan ketentuan Pasal 1339 KUHPer dan dengan memperhatikan bahwa perjanjian keagenan ini tidak mematuhi dan melaksanakan ketentuanketentuan yang
mengatur tentang praktek
keagenan di Indonesia,
maka
perjanjian ini secara hukum perdata telah tidak memenuhi ketentuan tentang syarat objektif. Oleh karenanya jika suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif atau tidak mempunyai sebab atau sebab tidak diperbolehkan, berarti hal ini terkait dengan syarat objektif sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPer, maka terhadap perjanjian keagenan ini dapat dinyatakan Nietig atau batal demi hukum. Jika suatu perjanjian dinyatakan batal demi hukum, maka akan muncul suatu anggapan bahwa perjanjian tersebut tidak pernah ada. Saran 1.
Sampai saat ini belum ada suatu pengaturan yang seragam mengenai kegiatan usaha keagenan.
Padahal banyak sekali aspek-aspek hukum mengenai
keagenan yang perlu ditinjau dan ditelaah lebih jauh. Seharusnya dibuatlah pengaturan yang setara sebagai Undang-undang mengenai keagenan. Dengan
adanya pengaturan menegenai keagenan maka akan terciptanya suatu ketertiban hukum dan keseragaman pengaturan mengenai keagenan di Indonesia. Hal ini juga demi kelancaran alur perdagangan di Indonesia. 2.
Sejalan dengan pertumbuhan perekonomian di Indonesia, bentuk-bentuk lembaga
perdagangan
semakin
dibutuhkan
guna
memperlancar
arus
perdagangan barang dan/atau jasa. Lembaga keagenan menawarkan jalan keluar untuk memperlancar arus perdagangan tersebut ke pasaran. Oleh karena itu demi memperlancar dan menangani masalah keagenan tersebut, perlu dibuat lembaga khusus yang menangani mengenai usaha keagenan di Indonesia, demi kelancaran
usaha
keagenan
yang
nantinya
akan
berpengaruh
pada
perekonomian di Indonesia.
Daftar Referensi Buku Ali, Chidir. Badan Hukum. Bandung: Alumni, 1991. Anderson, Ronald A. Business Law, Principles Case. Ohio: South Western Publishing Company, 1983. Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Himpunan Peraturan Keagenan Dan Distributor. Jakarta: Direktorat Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan. Direktorat Jendral Perdagangan Dalam Negeri. 2006. Hertanto, Ari Wahyudi. Aspek-aspek Hukum Dalam Praktek Bisnis. Jakarta: Rizkita, 2010. Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial. Cet.2. Jakarta: Kencana, 2011. Mahdi, Sri Soesilowati, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono. Hukum Perdata (Suatu Pengantar). Jakarta: CV. Gitama Jaya, 2005. Mamudji, Sri. et. al., Metode penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2005.
Manullang, M. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1975. Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perikatan. Cet. 3. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992. Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,2003. Oka Setiawan, I Ketut. Lembaga Keagenan dalam Perdagangan dan Pengaturannya di Indonesia. Jakarta: Ind-Hill-Co, 1996. Prodjodikoro, Wirjono. Azas-Azas Hukum Perdata. Bandung : Sumur Bandung, 1981. Ridho, R Ali. Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf. Bandung: Alumni, 1977. Sardjono, Agus. Pengantar Hukum Dagang. Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2014. Singarimbun dan Sofian Efendi. Metode Penelitian Survai. Cet. 6. Jakarta: LP3ES, 1982. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986. Soekanto Soerjono dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cet 11. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009. Subekti, R (a). Aneka perjanjian. Cet.10. Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 1995. _________ (b). Pokok-pokok Hukum Perdata. Cet. XXVI. Jakarta: PT. Intermasa, 1994. _________ (c). Hukum Perjanjian. Cet. X. Jakarta: Intermasa, 1985. Suharnoko. Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Prenada Media, 2005. Syahrani , H. Riduan. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Cet.1. Bandung: PT Alumni, 2006. Undang-Undang
Indonesia. Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974. LN No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang [Wetboek van Koophandel]. Diterjemahkan oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 2002. Indonesia. Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, LN No. 106 Tahun 2007, TLN No. 4756. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], Diterjemahkan oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 2008. Peraturan Menteri Kementerian Perdagangan. (2006). Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distributor Barang dan/atau Jasa. KP. Jakarta.