1
Kebebasan Beragama di Indonesia : Tinjauan Hak Asasi Manusia terhadap Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Ryand, Heru Susetyo, Antarin Prasanthi Sigit Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
[email protected]
ABSTRAK Kebebasan beragama/berkeyakinan pada dasarnya merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights). Dalam hukum Indonesia pemenuhan hak atas kebebasan beragama tiap warga negara secara langsung dijamin oleh konstitusi. Meskipun telah mendapat jaminan langsung dari konstitusi, pada prakteknya pelanggaran terhadap kebebasan beragama masih kerap terjadi. Keberadaan Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ditengarai sebagai salah satu faktor yang mendorong terjadinya berbagai pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Secara substasnsi, Undang-Undang tersebut memberikan pengakuan tehadap enam agama sebagai agama resmi. Tulisan ini dibuat dengan pendekatan normatif yang dimaksudkan untuk menelaah keseuaian norma dalam Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dengan doktrin serta prinsip-prinsip HAM tekait kebebasan beragama. Selain itu, studi empiris dengan juga dilakukan untuk memperlihatkan dampak riil dari pengaturan dalam Undang-Undang tersebut. Dengan pendekatan demikian, dapat dilihat bahwa Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 memuat ketentuan pengaturan yang secara substansial bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM terkait kebebasan beragama. Selain itu, ditemukan bahwa dalam prakteknya ketentuan dalam Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 serta peraturan atau kebijakan turunannya memicu berbagai tindakan diskriminatif dan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama terutama bagi para pemeluk agama/kepercayaan yang tidak diakui oleh negara. Kata kunci: agama resmi; HAM; kebebasan beragama; kepercayaan. Religious Freedom in Indonesia: A Human Rights Perspective on Act No. 1/PNPS/1965 Concerning the Prevention of Abuse of Religion and/or Blasphemy ABSTRACT Religious freedom is one of the right that can not be reduced under any circumstances (non-derogable rights). Under Indonesian law, the fulfilment of religious freedom rights of every citizen are guaranteed by the constitution. Universitas Indonesia
Kebebasan beragama..., Ryand, FH UI, 2014
2
Despite enjoying direct guarantee from the constitution, in practice, violations of religious freedom still occur frequently. The existence of the Act No. 1/PNPS/1965 on the Prevention of Abuse of Religion and/or Blasphemy is considered as one of the factors that led to religious freedom violations in Indonesia. Substantially, this Act provides recognition to six religions as official religion. This paper is written in a normative approach to look over the suitability of the norms in the Act No. 1/PNPS/1965 on the the Prevention of Abuse of Religion and/or Blasphemy by the doctrine of human rights and the principles of religious freedom. Moreover, empirical studies are also conducted to show the real impact of regulation in the Act. Thus, it can be seen that the regulation on Act No. 1/PNPS/1965 contains provisions that are substantially opposed to the human rights principles related to freedom of religion. Furthermore, it was found that in practice the provision on the Act No. 1/PNPS/1965 and its derivative regulations and policies caused various discriminative actions and violations to the right of religious freedom, especially for the disciples of the religion/beliefs who are not recognized by the state. Keywords: Belief; Human rights; official religion; religious freedom.
Pendahuluan Agama merupakan fenomena universal yang menyertai kehidupan manusia. 1 Manusia sebagai individu merupakan makhluk yang secara natural disertai perasaan keyakinan terhadap adanya kekuatan yang lebih besar dan tinggi, hal ini menjadikan manusia memiliki “bakat beragama”. 2 Bakat beragama ini menyebabkan manusia disebut sebagai homo religius. Istilah
homo religius
sendiri berarti makhluk yang senantiasa hidup dalam nuansa religius dan sakral.3 Dalam masyarakat, adanya relasi manusia dan agama juga tidak dapat dipungkiri. Keberadaan agama dalam masyarakat adalah gejala universal dari setiap masyarakat manusia. Bergson (1859-1941) seorang pemikir Perancis, mengatakan bahwa kita dapat menemukan masyarakat manusia tanpa sains, seni
1
Francisco Jose Moreno, Agama dan Akal Fikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi, terj. M. Amien Abdullah dari “Between Faith and Reason: Basic Fear and the Human Condition”, (Jakarta : Rajawali, 1989), hlm 121. 2 Karen Amstrong, A History of God (New York : Alfred A Knoof, 1993), hal. 5. 3 Sastrapratedja, Manusia Multi Dimensional : Sebuah Renungan Filsafat, (Jakarta : Gramedia, 1982), hal. 38. Universitas Indonesia
Kebebasan beragama..., Ryand, FH UI, 2014
3
dan filsafat, tetapi tidak pernah ada masyarakat tanpa agama.4 Pemahaman serupa juga menjadi pola pikir Durkheimian bahwa ketika ada masyarakat yang terintegrasi maka di sana muncul agama. Agama eksis bertepatan saat sebuah komunitas eksis. Bahkan, masyarakat primitif sekalipun tidak hidup tanpa suatu sistem kepercayaan.5 Demikian fundamentalnya peran agama dalam kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat, sehingga harus ada perlindungan terhadap keberagamaan manusia. Wujud dari perlindungan tersebut adalah dengan diakuinya hak atas kebebasan beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia. “Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have or adopt a religion or believe of his choice, and freedom either individually or in community with others or in public or privat, to manivest his religion or belief in worship, observance, practice and teaching.”6 Petikan pasal 18 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) di atas merupakan bentuk pengakuan dan jaminan secara internasional bahwa kebebasaan beragama merupakan salah satu hak asasi manusia yang mutlak dimiliki oleh setiap individu. Pengertian agama atau kepercayaan atau keyakinan dalam hal ini tentu saja perlu dipahami dalam arti luas. Agama penghayat tradisional dan agama yang baru didirikan harus turut diakomodasi ke dalam pengertian ini, di dalamnya termasuk juga keyakinan orang untuk tidak bertuhan (atheistic), non-tuhan (non-theistic), bertuhan (theistic).7
4
Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia : Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta : Rajawali, 2006) hal. 3. 5 Emil Durkheim, “The Elementary Forms of Religious Life”, dalam Roland Robertson, Sociology of Religion, (Harmondsworth : Penguin Education, 1984), hal . 37. 6 United Nation, International Covenat on Social and political Rights (ICCPR), Article 18. 7 Pengertian ini merujuk pada gagasan di dalam paragraf 3 Komentar Umum No. 22 atas pasal 18 ICCPR, sebagai berikut : “Pasal 18 melindungi kepercayaan-kepercayaan tauhid, nontauhid, dan ateisme, serta hak untuk tidak menganut agama atau kepercayaan apa pun. Istilah “kepercayaan” dan “agama” harus dipahami secara luas. Pasal 18 tidak membatasi penerapannya hanya pada agama-agama tradisional atau agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang memiliki karakteristik institusional atau praktik-praktik yang serupa dalam agama-agama tradisional tersebut. Oleh karenanya, Komite prihatin akan adanya kecenderungan diskriminasi terhadap suatu agama atau kepercayaan atas dasar apa pun, termasuk berdasarkan kenyataan bahwa agama atau kepercayaan tersebut baru saja dibentuk, atau bahwa agama tersebut mewakili suatu kelompok agama minoritas dalam komunitas dengan agama mayoritas tertentu yang mungkin menjadi subyek permusuhan.” Universitas Indonesia
Kebebasan beragama..., Ryand, FH UI, 2014
4
Sebagai bagian dari hak sipil, kebebasan memeluk agama perlu diletakkan pada landasan kebebasan sipil yang tidak seharusnya diintervensi oleh negara. 8 Adapun kewajiban negara adalah menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil).9 Pada dasarnya keyakinan atas agama berada dalam wilayah pribadi (private), sehingga negara tidak mempunyai kewenangan untuk menentukan sah atau tidaknya status agama seseorang. Prinsip ini ditegaskan dalam pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 dan Komentar Umum Nomor 22 paragraf ketiga atas pasal 18 Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Konvensi Hak Sipil dan Politik.10 Dalam konteks nasional, hak atas kebebasan beragama dalam UndangUndang Dasar 1945 tidak hanya dijamin pemenuhannya, hak atas kebebasan beragama oleh Undang-Undang Dasar 1945 disebut sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non- derogable rights): “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”11 Diakuinya hak atas kebebasan beragama sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), berimplikasi pada tidak diperbolehkannya segala bentuk intervensi (termasuk intervensi dari negara) atas keyakinan seseorang, khususnya intervensi dalam bentuk koersi atau kekerasan yang dilakukan oleh negara, seperti yang ditegaskan di dalam pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 dan Komentar Umum No. 22 paragraf ketiga dan kelima atas pasal 18 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil 8
Komnas HAM, Komentar Umum Konvenen Internasional Hak Sipil dan Hak Politik serta Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Jakarta : Komnas HAM, 2009), hal. ix. 9 Ibid, hal. x. 10 Paragraf ketiga Komentar Umum Nomor 22 atas pasal 18 ICCPR berbunyi : “Pasal 18 membedakan kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama atau berkepercayaan dari kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya. Pasal ini tidak mengijinkan adanya pembatasan apa pun terhadap kebebasan berpikir dan berkeyakinan atau terhadap kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. Kebebasan-kebebasan ini dilindungi tanpa pengecualian, sebagaimana halnya hak setiap orang untuk mempunyai pendapat tanpa diganggu di pasal 19.1. Sesuai dengan pasal 18.2 dan pasal 17, tidak seorang pun dapat dipaksa untuk mengungkapkan pikiran atau kesetiaannya terhadap suatu agama atau kepercayaan. 11 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 28I, ayat 1. Universitas Indonesia
Kebebasan beragama..., Ryand, FH UI, 2014
5
dan Politik. Bahkan dalam keadaan perang sekali pun, negara tetap tidak diperkenankan melakukan intervensi terhadap keyakinan seseorang atas agamanya.12 Selain itu negara juga tidak memiliki kekuasaan menentukan status keagamaan seseorang atau sekelompok orang. Penentuan status keagamaan oleh negara adalah bentuk pelanggaran terahadap hak atas kebebasan beragama seseorang. Setiap warga negara maupun kelompok keagamaan berhak untuk mengajukan keberatan kepada negara atas pemberian status keagamaan oleh negara tersebut.13 Hal serupa, tentang jaminan atas hak beragama juga diatur dalam Pasal 28E ayat (1) UUD NRI 1945, Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tentang Pengesahan Rights
15
14
dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005
International
Covenant
on
Civil
and
Political
(Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). Dengan
demikian, perlindungan, pemenuhan serta penghargaan atas hak beragama telah memperoleh legitimasi yang kuat, karena selain secara langsung dimuat dalam konstitusi negara sebagai kaedah hukum tertinggi, jaminan terhadap hak atas kebebasan beragama juga diatur dalam berbagai ketentuan undang-undang.16 Namun demikian adanya jaminan langsung atas kebebasan memeluk agama dari konstitusi ternyata tidak serta-merta meniadakan permasalahan seputar kebebasan beragama di Indonesia. Pada praktiknya masih terdapat kebijakan dan peraturan negara yang bertentangan dengan semangat perlindungan HAM dalam konstitusi. Keberadaaan Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (selanjutnya disebut sebagai UndangUndang Penodaan Agama) serta perangkat peraturan pelaksana dibawahnya
12
Fulthoni, dkk., Jaminan Hukum dan HAM Kebebasan Beragama, (Jakarta : The Indonesian Legal Resource Center, 2009), hal 3. 13 Ibid. hal. 2. 14 Indonesia, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, LN Tahun 1999 Nomor 165, TLN Nomor 3886. 15 Indonesia, Undang-Undang No. 12. Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan internasional tentang hak sipil dan politik), LN Tahun 2005 No. 119, TLN No. 4558. 16 Tedi Kholiludin, Kuasa Negara atas Agama: Politik Pengakuan Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil, (Semarang : RaSAIL Media Group, 2009), hal 95. Universitas Indonesia
Kebebasan beragama..., Ryand, FH UI, 2014
6
merupakan wujud dari ketidak-sinkronan pengaturan mengenai kebebasan beragama di Indonesia. Undang-Undang Penodaan Agama secara eksplisit membedakan status dan pengakuan negara terhadap agama-agama yang ada di Indonesia. Bentuk pembedaan dan pengklasifikasian agama dengan mengklasifikasikan agama agama yang ada di Indonesia ke dalam kelompok “agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia” (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budhadan Khong Cu) dan kelompok “agama lainnya”. Dalam penjelasan pasal 1 Undang-Undang Penodaan Agama tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama disebutkan : “Dengan kata-kata "Dimuka Umum" dimaksudkan apa yang lazim diartikan dengan kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama- agama di Indonesia”17 Secara substansi, Undang-Undang Penodaan Agama ini mengatur tentang larangan bagi seseorang untuk menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan di muka umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, di mana penafsiran dan kegiatan tersebut menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama (yang diakui oleh negara).18 Tulisan ini dibuat untuk menelaah mengenai adanya pembatasan atas kebebasan beragama dalam Undang-Undang Penodaan Agama serta adanya pengklasifikasian antara agama-agama yang diakui sebagai agama “resmi”, agama-agama di luar agama “resmi” dan aliran kepercayaan/kebatinan dalam Undang-Undang Penodaan Agama. Pembedaan tersebut dalam prakteknya kerap menimbulkan perbedaan perlakuan dan diskriminasi dan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama.
17
Indonesia, Undang-Undang nomor 1/PNPS/1965 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, LN No. 3 Tahun 1965, TLN No. 2726, Penjelasan Pasal 1. 18 Ismail Hasani, dkk., Putusan Uji Materil Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pncegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi, (Jakarta : Publikasi Setara Institute, 2010), hal. 78 Universitas Indonesia
Kebebasan beragama..., Ryand, FH UI, 2014
7
Tinjauan Teoritis Secara teoritis terdapat sangat banyak definisi agama dari berbagai perspekti namun sulit untuk menemukan definisi yang dapat mendeskripsikan secara menyeluruh apa yang disebut sebagai agama. Secara sempit, agama dilihat sebagai suatu institusi sosial yang terkait dengan kepercayaan dan paktik-praktik serta ritual-ritual yang didasari hal-hal sakral. Namun dalam arti luas agama juga dilihat sebagai suatu sistem kepercayaan kepada eksistensi supra-manusia yang didasari oleh keyakinan. 19 Sebagai bagian dari HAM ,kebebasan beragama secara harafiah merupakan sebuah prinsip yang memberikan kebebasan bagi setiap individu untuk memeluk dan menjalankan agama/keyakinannya masing-masing. Kebebasan beragama merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dimiliki setiap dindividu dan dilindungi oleh hukum. Justifikasi bahwa kebebasan beragama merupakan bagian dari HAM mengacu pada instrumen-instrumen hukum baik nasional maupun internasional yang telah mengakui dan mengkualifikasi eksistensi hak atas kebebasan beragama tersebut sebagai HAM. Menurut Tore Londholm adapun inti normatif dari prinsip-prinsip hak asasi manusia atas kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam ICCPR dapat disingkat menjadi delapan komponen, sebagai berikut20: a. Kebebasan internal (forum intenum) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkesadaran dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk setiap orang memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah agama atau keyakinan. b. Kebebasan eksternal (forum eksternum) Setiap orang mempunyai kebebasan, baik sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, pengamalan, ibadah dan penaatan. 19
Erin Long Crowell, Religion: Key, Concepts and Definition dalam http://educationportal.com/, diakses pada 20 Tore Lindholm, Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan Seberapa Jauh?, (Yogyakarta: Kanisius, 2010) hal. 22. Universitas Indonesia
Kebebasan beragama..., Ryand, FH UI, 2014
8
c. Tanpa dipaksa Tidak seorangpun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau keyakinannya sesuai dengan pilihannya. d. Tanpa diskriminasi Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin hak kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan yang tunduk pada wilayah hukum atau yurisdiksinya, hak kebebasan beragama atau berkeyakinan tanpa pembedaan apa pun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau keyakinan, politik atau pendapat lain, kebangsaan atau asal-usul lainnya, kekayaan, kelahiran atau status lainnya. e. Hak orang tua dan wali Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, selaras dengan kewajiban untuk melindungi hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan setiap anak seiring dengan kapasitas anak yang sedang berkembang. f. Kebebasan korporat dan kedudukan hukum Komunitas keagamaan sendiri mempunyai kebebasan beragama atau berkeyakinan, termasuk hak otonomi dalam urusan mereka sendiri. Walaupun komunitas keagaamaan mungkin tidak ingin menggunakan kedudukan hukum formilnya, sekarang sudah lazim diakui bahwa mereka mempunyai hak untuk memperoleh kedudukan hukum sebagai bagian dari hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan khususnya sebagai salah satu aspek dari kebebasan memanifestasikan kepercayaan agama bukan hanya secara individual tetapi bersama-sama dengan orang lain. g. Tidak dapat dikurangi Negara tidak boleh mengurangi
hak kebebasan beragama atau
berkeyakinan, bahkan dalam keadaan darurat publik. h. Pembatasan yang diperbolehkan terhadap kebebasan eksternal (forum externum) Kebebasan memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk
Universitas Indonesia
Kebebasan beragama..., Ryand, FH UI, 2014
9
melindungi keamanan publik, ketertiban, kesehatan, moral atau hak-hak mendasar individu lain.
Metode Penelitian Penelitian dalam tulisan ini merupakan penelitian doktrinal-normatif yakni penelitian hukum yang dikonsepkan atau dikembangkan berdasarkan prinsipprinsip dan doktrin hukum tertentu.
21
Dilihat dari sifatnya, penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan suatu gejala tertentu. Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif ini dilakukan dengan cara penelusuran literatur dan kepustakaan (library research) untuk mengumpulkan, menelaah, mendalami dan mengidentifikasi bahan-bahan penelitian hukum berupa peraturan perundang-undangan, teks-teks teori hukum. Selain itu, pendekatan yang biasa dipergunakan dalam ilmu-ilmu sosial lainnya yang terkait tema penelitian ini juga digunakan sebagai perspektif tambahan. Metode kepustakaan dipilih karena secara garis besar dinilai sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, yakni: untuk mengidentifikasi suatu peraturan perundangundangan, menelaah konsistensinya secara hirarkis, mendalami kerangka berfikir yang mendasari peraturan tersebut.22 Bahan-bahan hukum yang dikumpulkan melalui studi normatif digunakan untuk menganalisis peraturan perundangan yang menjadi objek penelitian. Di sini ketentuan hukum yang menjadi objek dalam penelitian ini dianalisis secara kritis untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang kebebasan beragama dalam sudut pandang normatif.23
Pembahasan
21
Soetandyo Wignjosoebroto, “Ragam-Ragam Penelitian Hukum” dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2011), hlm. 121. 22 Sulistyowati Irianto, “Praktik Penelitian Hukum: Perspektif Sosiolegal” dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2011), hlm. 308-309. 23 Ibid, hal. 309. Universitas Indonesia
Kebebasan beragama..., Ryand, FH UI, 2014
10
Adanya jaminan langsung atas kebebasan memeluk agama dari konstitusi ternyata tidak serta-merta meniadakan permasalahan seputar kebebasan beragama di Indonesia. Pada praktiknya masih terdapat kebijakan dan peraturan negara yang bertentangan dengan semangat perlindungan HAM dalam konstitusi. Keberadaaan Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Penodaan Agama) serta perangkat peraturan pelaksana dibawahnya merupakan wujud dari ketidak-sinkronan pengaturan mengenai kebebasan beragama di Indonesia. Secara
substansi,
Undang-Undang
Nomor
1/PNPS/1965
tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama mengatur tentang larangan bagi seseorang untuk menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan di muka umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, di mana penafsiran dan kegiatan tersebut menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama dimaksud. Secara tegas Pasal 1 undang-undang ini menyatakan: “Setiap orang dilarang di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatankegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”24 Dalam penjelasan Pasal 1 dijelaskan bahwa: “Di muka umum” dimaksudkan apa yang lazim diartikan dengan katakata seperti yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena 6 jenis agama ini adalah agama yang dipeluk oleh hampir seluruh penduduk Indonesia maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan sebagaimana diatur dalam pasal ini.”25
24
Indonesia, Undang-Undang nomor 1/PNPS/1965 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Pasal 1 25 Ibid, Penjelasan pasal 1 Universitas Indonesia
Kebebasan beragama..., Ryand, FH UI, 2014
11
Sedangkan agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism tetap mendapat jaminan penuh seperti yang diatur dalam pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuanketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain. Terhadap badan/aliran kebatinan, pemerintah berusaha menyalurkannya ke arah pandangan yang sehat dan ke arah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan ketetapan M.P.R.S. No II/MPRS/1960, lampiran A. Bidang 1, Angka 6.26 Dengan kata-kata “Kegiatan keagamaan”, dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai agama, mempergunakan istilah-istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. 27 Sedangkan
yang
dimaksud
dengan
menceritakan,
menganjurkan
atau
mengusahakan dukungan umum ialah segala usaha, upaya, kegiatan atau perbuatan penyebaran yang dilaakukan oleh seseorang kepada orang lain, baik yang dilakukan di tempat umum maupun tempat khusus, seperti bangunan rumah ibadat.28 Pada pasal 2, Undang-Undang Penodaan Agama memuat sanksi atas dilanggarnya pasal 1 sebagaimana dikemukakan di atas. Atas pelanggaran yang dilakukan oleh individu, akan dikeluarkan perintah dan peringatan keras oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung untuk menghentikan tindakan yang dimuat dalam pasal satu. Sementara itu, jika pelanggaran dilakukan oleh organisasi maka Presiden, atas pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung dapat membubarkan organisasi tersebut dan menyatakan bahwa organisasi tersebut terlarang. Dalam pasal 3 dan 4 disebutkan tentang saksi pidana (maksimal 5 tahun) bagi orang, penganut, anggota dan atau anggota pengurus organisasi yang dianggap terus melanggar ketentuan pasal 2. Pasal 3 dan 4 Penpres ini selanjutnya secara mudah dipakai sebagai kriminalisasi kegiatan keagaaman yang dianggap 26
ibid Siti Aminah dan Uli Parulian Sihombing, Memahami Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Putusan Uji Materil Undang-Undang Penodaan Agama, (Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center Freedom House, 2011), hal. 9. 28 Ibid, 27
Universitas Indonesia
Kebebasan beragama..., Ryand, FH UI, 2014
12
menyimpang, dengan ancaman pidana. Dalam pasal 4 dipertegas amanat Penpres ini untuk menambahkan pasal baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sehingga dalam pasal 156 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana, tercantum pengaturan ancaman pdana bagi aliran yang menyimpang.
Dari uraian di atas dapat dilihat terdapat tiga poin utama yang diatur dalam Undang-undang No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yaitu: 1. Kategorisasi agama yang terdiri dari agama yang “diakui” (yang dalam pasal 1 disebut sebagai “agama yang dianut di indonesia”) yang terdiri dari enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Cu/Confusius), Agama lain di luar agama yang diakui serta aliran kebatinan. 29 2. Terhadap ketiga kategori agama ini terdapat perlakuan yang berbedabeda pula. Pada dasarnya setiap agama mendapatkan jaminan dari konstitusi namun khusus untuk enam agama yang diakui negara tidak hanya memberi jaminan atas keberadaannya tetapi juga memberikan bantuan-bantuan. Sedangkan untuk aliran kebatinan akan disalurkan kearah “pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa” oleh pemerintah. 3. Larangan
melakukan
tafsir
atau
melakukan
kegiatan-kegiatan
keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan “secara menyimpang” dari enam agama yang diakui. Jika dilihat lebih lanjut, terdapat beberapa poin yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan beragama yang muncul dari keberadaan UndangUndang Penodaan Agama, yakni: 1. Negara
melakukan
intervensi
terhadap
hak
atas
kebebasan
beragama/berkeyakinan. Kata “penyalahgunaan” dan “penodaan” agama di sini dengan jelas memberi hak kepada pihak tertentu, dalam hal ini negara, untuk menentukan 29
Kategorisasi agama tersebut secara ekspiisi terdapat dalam penjelasan pasal 1 UndangUndang nomor 1/PNPS/1965 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Universitas Indonesia
Kebebasan beragama..., Ryand, FH UI, 2014
13
“kebenaraan” “kegunaan” serta ajaran suatu agama. Dengan demikian, undangundang ini
memberikan kewenangan bagi Negara untuk menentukan “pokokpokok ajaran agama”, menentukan mana penafsiran agama yang dianggap “menyimpang dari pokok-pokok ajaran” agama dan mana yang tidak dan jika diperlukan, melakukan penyelidikan terhadap aliran-aliran
yang diduga
melakukan penyimpangan, dan menindak mereka. 30
2. Pemaksaan agama/keyakinan Hanya diakuinya enam agama yaitu Islam, Katolik, Kristen, Budha, Hindu, dan Khong Hucu dalam Undang-Undang Penodaan agama seolah-olah tidak mengakui kepercayaan lain yang di luar keenam agama yang ada di Indonesia. Padahal pada saat undang-undang tersebut dibuat, Departemen Agama mencatat terdapat lebih dari 360 kelompok kebatinan di seluruh Jawa. Saat ini, menurut data dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, jumlah penghayat kepercayaan di Indonesia berkisar sembilan juta jiwa di 248 organisasi berstatus pusat dan 980 organisasi berstatus cabang yang tersebar di 25 Propinsi di Indonesia31. Namun demikian undang-undang ini memilih bersikap untuk berusaha menyalurkan badan atau aliran kebatinan tersebut kearah “pandangan yang sehat” dan “kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Padahal, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menjamin hak memeluk agama dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan tiap warga negara. Hal ini tentu berbahaya, karena seolah terdapat upaya formalisasi terhadap agama-agama. Dengan demikian terdapat kelompokkelompok agama yang tereksklusi dan dianggap tak formal bahkan ilegal. 3. Kriminalisasi pendapat/ekspresi berbeda
Dalam Pasal 3 Undang-Undang Penodaan Agama disebutkan bahwa terhadap pelanggaran dari pasal 1, dapat dikenakan sanksi pidana penjara selamalamanya lima tahun. Sanksi tersebut dikukuhkan dalam pasal 4 sehingga menjadi bagian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 156 a. Ini merupakan bentuk kriminalisasi atas perbedaan pendapat/ekspresi. Ulil Abshar Abdalla dalam
30
Aminah, op.cit., hal. 6. Khotim Ubaidillah, “Eksotisme Penghayat Kepercayaan di Tengah Kerawanan Pluralitas” http://sosbud.kompasiana.com/2011/10/12/eksotisme-penghayat-kepercayaan-ditengah-kerawanan-pluralitas/, diunduh pada tanggal 18 Mei 2014. 31
Universitas Indonesia
Kebebasan beragama..., Ryand, FH UI, 2014
14
saksinya di depan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa “perbedaan tafsir bukanlah penodaan agama”. Memang, kata “penyalahgunaan”, “penodaan”, dan “pokok-pokok ajaran agama” dalam undang-undang tersebut sarat ambiguitas sehingga tidak memberikan kepastian hukum. Dari penjabaran diatas dapat dilihat pada prinsipnya ketentuan dalam Undang-Undang Penodaan Agama memiliki muatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan beragama yang telah dijelasakan sebelumnya. Pelanggaran
prinsip-prinsip
kebebasan
beragama
dalam
Undang-Undang
Penodaan Agama secara singkat dapat dilihat dari tabel berikut:
No 1
2
3
4
Pasal
Materi Pengaturan
Larangan Penafsiran secara menyimpang terhadap agama-agama resmi Larangan melakukan kegiatan-kegiatan keaagamaan yang Pasal 1 menyimpang dan menyerupai kegiatankegiatan agama-agama resmi Pengenaan sanksi administrasi (teguran, Pasal 2, 3 pembubaran orhanisasi, dll) dan 4 dan kriminalisasi terhadap orang/kelompok agama yang menyimpang Klasifikasi dan pembedaan Penjelasan perlakuan terhadap agamapasal 1 agama tertentu Pengarahan aliran kebatinan Penjelasaan untuk memeluk agama tertentu “ke arah pandangan pasal 1 yang sehat dan ke arah (paragraf ketuhanan YME” 4) Pasal 1
Prinsip Hak atas Kebebasan Beragama yang Dilanggar non intervention pembatasan forum internum non-derogable non intervention pelanggaran forum eksternum non-derogable
non intervention pembatasan forum internum non-derogable kebebasan korporat
non discrimination
non discrimination non intervention non derogable tanpa paksaan pembatasan forum internum
Tabel 3.2. Pelanggaran prinsip-prinsip kebebasan beragama dalam Undang-Undang Penodaan Agama
Pelanggaran
prinsip-prinsip
kebebasan
beragama
seperti
digambarkan
sebelumnya bukan sekedar ketidaksesuaian dan inkonsistensi pengaturan belaka.
Universitas Indonesia
Kebebasan beragama..., Ryand, FH UI, 2014
15
Pada praktiknya pengaturan Undang-Undang Penodaan Agama seperti itu sering menimbulkan pelanggaran hak-hak bahkan kekerasan terhadap para pemeluk agama-agama yang tidak diakui oleh negara. Dalam posisi Undang-Undang Penodaan Agama yang demikian dilematis dan mengandung banyak persoalan, masih terdapat berbagai ketentuan pelaksana serta peraturan/kebijakan turunan yang dikeluarkan untuk menindaklanjuti Undang-Undang Penodaan Agama. Substansi Undang-Undang Penodaan Agama yang berisi batasan dalam interpertasi dan hanya mengakui beberapa agama sebagai “agama resmi”, serta peraturan dan kebijakan turunannya yang memberikan batasan terhadap kebebasan beragama ini lebih lanjut dapat dikatakan cenderung berjalan berseberangan dengan ketentuan lain yang memberikan perlindungan terhadap kebebasan beragama. Pembedaan dan kategorisasi agama-agama dalam formula peraturan kebijakan seperti di atas, dan bentuk-bantuk inkonsistensi pengaturan di atas tentu membingungkan masyarakat. Menurut IGM Nurjana, dengan diakuinya hanya lima agama 32 di Indonesia seolah-olah menjadi justifikasi terhadap tindakantindakan intoleran yang terjadi. Bahwa hanya terdapat lima agama yang dianut oleh bangsa Indonesia lekat dan terpatri dalam benak masyarakat, bahkan gambaran semacam ini juga ditanamkan sejak dini melalui pengajaran di sekolah. 33 Hal ini merupakan benih-benih perilaku diskriminatif kepada para pemeluk agama-agama minoritas. Tidak hanya itu, peraturan dan kebijakan turunan Undang-Undang Penodaan Agama bahkan bertendensi memuat substansi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008, Nomor KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat salah satu contonya.
32
Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 pada tanggal 18 November 1978 yang menyatakan bahwa ada lima agama di Indonesia, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha. Sebuah Surat lain dari Menteri Dalam Negeri dengan nomor 77/2535/POUD terbit pada tanggal 25 Juli 1990 juga menyatakan hal yang sama. 33 IGM Nurdjana, Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 14 Universitas Indonesia
Kebebasan beragama..., Ryand, FH UI, 2014
16
Peraturan yang lebih dkenal dengan sebutan SKB Tiga Menteri secara tegas menyatakan pelarangan terhadap ajaran Ahmadiyah, padahal hak tiap warga negara untuk menjalankan ajaran agamanya dijamin oleh konstitusi. Disamping itu Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang Ahmadiyah juga ditengarai memicu munculnya kekerasan yang dialami oleh JAI di berbagai wilayah di Indonesia, bahkan dengan SKB itu, kekerasan yang dilakukan oleh kelompok agama itu, seperti mendapat pembenaran legal.34 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat merupakan contoh yang lain, peraturan ini dianggap telah memicu tingginya angka penutupan, penyegelan dan pembakaran rumah ibadah yang semakin tingi angkanya pada tahun 2010. 35 Terus meningkatnya angka pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama dalam bentuk penyegelan, penutupan, dan pembakaran rumah ibadah sampai dengan bulan Juli 2010, mencapai 28 peristiwa. Angka tersebut jauh melebihi angka pelanggaran yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2009 hanya ada 19 peristiwa sementara tahun 2008 terdapat 18 peristiwa.36 Wujud kongkret tindakan-tindakan diskriminatif seperti disebutkan di atas tergambar jelas dalam temuan SETARA Institute melalui pengamatan sepanjang tahun 2013 yang tercatat dalam statistik. SETARA Institute mencatat 292 bentuk tindak pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan baik yang dilakukan oleh negara maupun oleh pihak-pihak lain diluar negara.
Kesimpulan Keberadaaan Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
34
Ahmad Subakir, Potret Buram Kebebasan Beragama, (Yogyakarta: Nadi Pustaka-STAIN Kediri Press, 2010), hal 7. 35 Ibid 36 Setara Institute, Di Mana Tempat Kami Beribadah: Review Tematik Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan tentang Rumah Ibadah dan Hak Beribadah, Januari-Juli 2010 (Jakrata: Setara Institute, 2010). hal 19. Universitas Indonesia
Kebebasan beragama..., Ryand, FH UI, 2014
17
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta berbagai perangkat peraturan dan kebijakan dibawahnya merupakan wujud dari ketidak-sinkronan pengaturan mengenai kebebasan beragama di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari substansi UU Penodaan Agama yang bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM dalam konstitusi. Karenanya keberadaan Undang-Undang Penodaan Agama dilihat tidak hanya bertentangan dengan konstitusi tetapi juga berjalan pada arah yang berseberangan dengan ketentuan hukum Indonesia pada umumnya. Pada intinya Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama berisi larangan penafsiran secara bebas terhadap enam agama yang diakui oleh negara. Lebih lanjut penafsiran dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang dianggap “menyimpang” dari keenam agama yang diakui diancam sanksi pidana. Dengan pengaturan yang demikian negara telah
melakukan
intervensi
terhadap
kebebasan
beragama
dengan
mengkriminalisasi pendapat-pendapat yang berbeda. Adanya larangan untuk bebas menjalankan agama sesuai tafsir yang diyakini tentulah sangat eksesif karena justru menghilangkan hakekat kebebasan itu sendiri dengan melarang dan mengeliminir penafsiran yang berbeda terhadap suatu kepercayaan. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM, mengingat penafsiran terhadap keyakinan seseorang merupakan dimensi internal (forum internum) kebebasan beragama yang tidak dapat dicampuri oleh negara. Pengaturan dalam UndangUndang Penodaan Agama seperti di atas jelas-jelas
merupakan pelanggaran
terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia. Selain itu, secara eksplisit Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama membedakan agama ke dalam tiga kategori yakni: kelompok agama-agama yang diakui (dalam penjelasan pasal 1 disebut sebagai “agama yang dianut di indonesia” yang terdiri dari enam agama yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Cu/Confusius), agama lain di luar agama yang diakui, serta aliran kebatinan. Terhadap ketiga kategori agama tersebut perlakuan yang berbeda-beda pula. Pada dasarnya setiap agama mendapatkan jaminan sesuai, namun khusus untuk enam agama yang diakui negara tidak hanya memberi jamian atas keberadaannya tetapi juga memberikan bantuan-bantuan yang tidak diterima oleh
Universitas Indonesia
Kebebasan beragama..., Ryand, FH UI, 2014
18
agama-agama lainnya. Sedangkan untuk aliran kebatinan dianggap bukan sebagai agama, untuk itu undang-undang ini mengamanatkan kepada pemerintah untuk menyalurkannya ke arah “pandangan yang sehat” dan ke arah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sikap Undang-Undang Penodaan Agama untuk berusaha menyalurkan badan atau aliran kebatinan tersebut ke arah “pandangan yang sehat” dan “ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa” ini tentu perlu dikritisi. Dalam hal ini negara menempatkan diri untuk ikut mencampuri dan menentukan kepercayaan mana saja yang “tidak sehat” dan kepercayaan mana saja yang “sehat” yang seharusnya dipeluk oleh warga negara. Intervensi negara seperti ini tentu berbahaya, karena seolah terdapat upaya formalisasi terhadap agama-agama. Dengan demikian kelompok-kelompok agama yang tereksklusi dianggap tak formal bahkan ilegal. Padahal pilihan untuk memeluk agama tertentu hak atas kebebasan beragama yang dimiliki individu dan tidak boleh diintervensi dan dicampuri oleh negara. Hal ini dijamin penuh oleh konstitusi. Dalam praktiknya, pengkalsifikasian agama seperti dalam UndangUndang Penodaan Agama merupakan tantangan bagi pemenuhan dan jaminan hak atas kebebasan beragama. Pengklasifikasian yang demikian menimbulkan berbagai tindakan diskriminatif serta pelanggaran hak-hak individu yang kepercayaan atau agamanya tidak diakui. Tindakan-tindakan diskriminatif ini dapat dilihat dari penerapan Undang-Undang Penodaan Agama beserta perangkat kebijakan dan peraturan pelaksana dibawahnya yang tak kalah problematis. Undang-Undang Penodaan Agama beserta perangkat kebijakan dan peraturan pelaksana dibawahnya pada prakteknya memiliki tendensi menimbulkan pelanggaran hak atas kebebasan beragama, terutama bagi para kelompok minoritas pemeluk agama-agama yang tidak diakui oleh negara.
Saran Keseluruhan peraturan dan kebijakan yang tidak sejalan dengan prinsipprinsip HAM dan perlindungan terhadap hak atas kebebasan beragama seperti disebutkan di atas, seharusnya direvisi dengan mengacu kepada substansi ajaran
Universitas Indonesia
Kebebasan beragama..., Ryand, FH UI, 2014
19
semua agama dan kepercayaan yang selalu akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal.
37
Selain itu, juga harus disesuaikan dengan mengacu
kepada spirit kebebasan beragama sebagaimana tercantum dalam Pancasila, UUD 1945, Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan sejumlah kesepakatan internasional yang telah diratifikasi pemerintah, termasuk Konvenan Hak-hak Sipil, Politik yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Daftar Referensi Agus, Bustanuddin. Agama dalam Kehidupan Manusia : Pengantar Antropologi Aminah, Siti dan Uli Parulian Sihombing. Memahami Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Putusan Uji Materil Undang-Undang Penodaan Agama. (Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center Freedom House, 2011). Amstrong, Karen. A History of God. (New York : Alfred A Knoof, 1993). Crowell,
Elin
Long.
Religion:
Key,
Concepts
and
Definition
dalam
http://education-portal.com/. diakses pada 11 April 2014. Durkheim, Emile. “The Elementary Forms of Religious Life” dalam Roland Robertson. Sociology of Religion. (Harmondsworth : Penguin Education, 1984). Fulthoni, dkk. Jaminan Hukum dan HAM Kebebasan Beragama. (Jakarta : The Indonesian Legal Resource Center, 2009). Hanna, Siti. Undang-Undang No. 1 Tahun 1965 dan Pencgahan Penodaan Agama, Jurnal Religia Vol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hasani, Ismail. Putusan Uji Materil Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pncegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi. (Jakarta : Publikasi Setara Institute, 2010). Hasani. Dokumen Kebijakaan Pemghapusan Diskriminasi Agama. (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2011).
37
Ibid. Universitas Indonesia
Kebebasan beragama..., Ryand, FH UI, 2014
20
Irianto, Sulistyowati. “Praktik Penelitian Hukum: Perspektif Sosiolegal” dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2011). Kholiludin, Tedi. Kuasa Negara atas Agama: Politik Pengakuan Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil. (Semarang : RaSAIL Media Group, 2009). Komnas Perempuan. Laporan Pemantauan HAM Komnas Perempuan : Perempuan dan Anak Ahmadiyah, Korban diskriminasi berlapis. (Jakarta: Komnas Perempuan, 2010). Moreno, Francisco Jose, Agama dan Akal Fikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi. terjemahan. M. Amien Abdullah dari “Between Faith and Reason: Basic Fear and the Human Condition”. (Jakarta : Rajawali, 1989). Nurdjana, IGM. Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009). Sastrapratedja. Manusia Multi Dimensional : Sebuah Renungan Filsafat. (Jakarta : Gramedia, 1982). Setara Institute. Di Mana Tempat Kami Beribadah: Review Tematik Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan tentang Rumah Ibadah dan Hak Beribadah. (Jakrata: Setara Institute, 2010). Subakir, Ahmad. Potret Buram Kebebasan Beragama. (Yogyakarta: Nadi Pustaka-STAIN Kediri Press, 2010). Wignjosoebroto,
Soetandyo.
“Ragam-Ragam
Penelitian
Hukum”
dalam
Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2011).
Universitas Indonesia
Kebebasan beragama..., Ryand, FH UI, 2014