PENERAPAN UNITED NATIONS PRINCIPLES RELATING TO REMOTE SENSING OF THE EARTH FROM OUTER SPACE 1986 DALAM KEGIATAN SATELIT PENGINDERAAN JAUH (SATELLITE REMOTE SENSING) DI ERA GLOBALISASI Grace Gabriella Binowo Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Hukum tentang Hubungan Transnasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia
ABSTRAK Skripsi ini membahas penerapan United Nations Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space 1986 (Prinsip 1986) dalam kegiatan satelit penginderaan jauh di berbagai negara, termasuk Indonesia, melalui kebijakan nasionalnya. Prinsip 1986 mengatur secara umum kegiatan penginderaan jauh agar tetap sejalan dengan prinsip kegiatan keantariksaan. Di era globalisasi, teknologi penginderaan jauh semakin maju dengan sektor swasta semakin aktif terlibat. Salah satu isu utama penerapannya adalah prinsip nondiskriminasi atas akses terhadap data. Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, membutuhkan jasa satelit penginderaan jauh untuk memecahkan kompleksitas permasalahan terkait fakta geografisnya. Skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang bersifat hukum atau berupa norma hukum tertulis. Kata Kunci: Prinsip 1986, satelit penginderaan jauh, ruang angkasa, prinsip nondiskriminasi, kebijakan nasional, data resolusi tinggi, pihak swasta. ABSTRACT Judul: “Implementation of United Nations Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space 1986 Concerning Satellite Remote Sensing Activities in Globalization Era” This thesis studies the implementation of United Nations Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space 1986 (Principles 1986) in satellite remote sensing activities at various States, including Indonesia, through their national policies. Principles 1986 is generally regulating remote sensing activities while preserving the principles of outer space. In the globalization era, the technology is getting more sophisticated, by private entities providing services more actively. One of the main issues in its implementation is the principle of non-discriminatory access to data. Indonesia, as the biggest archipelagic country in the world, requires such remote sensing services to unravel the complexity of problems related to its geographical facts. This thesis is conducted using a juridical-normative research, by reviewing legal references, national and also international legal norms. Keywords: Principles 1986, satellite remote sensing, outer space, non-discriminatory principle, national policy, high resolution imagery, private entities.
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
2
Pendahuluan Konsep penggunaan satelit untuk pemanfaatan teknologi penginderaan jauh berkembang setelah penelitian gambar-gambar yang diambil oleh satelit meteorologi untuk perkiraan cuaca, TIROS (Television Infra-Red Observation Satellite), yang diluncurkan pada April 1960 oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA).1 Istilah “remote sensing” (penginderaan jauh) sendiri digunakan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1950-an oleh Evelyn Pruitt dari Kantor Penelitian Angkatan Laut Amerika Serikat.2 Istilah ini dipakai untuk mendeskripsikan ilmu alam – serta keseniannya – untuk mengidentifikasi, meneliti dan mengukur suatu objek tanpa mengadakan kontak fisik secara langsung dengan objeknya. Proses ini mencakup deteksi dan pengukuran radiasi dari refleksi panjang gelombang yang berbeda-beda atau yang diemisikan oleh objek atau material tertentu dari jarak jauh.3 Satelit penginderaan jauh pertama yang diluncurkan adalah Earth Resources Technology Satellite (ERTS-A) oleh NASA pada tahun 1972, yang kemudian diberi nama Landsat 1. Satelit penginderaan jauh telah menjadi alat bantu yang sangat berpengaruh dalam pengawasan dan evaluasi sumber daya Bumi. Saat ini, satelit telah menjadi alat utama untuk pemanfaatan teknologi penginderaan jauh karena dapat memberikan keuntungan yang lebih besar dari alat yang lain. Teknologi ini merupakan sebuah pengumpulan data mengenai objek atau fenomena tertentu, dimana alat pengumpulan data yang digunakan tidak bersinggungan dengan subjek yang sedang diteliti.4 Penginderaan jauh dilakukan dengan mengindera dan merekam energi yang direfleksikan atau diemisi oleh objek-objek tertentu tersebut, kemudian memproses dan menginterpretasi informasi yang telah didapat. Penginderaan jauh memanfaatkan fakta bahwa setiap objek memiliki refleksi karakteristik tersendiri yang unik dan emisi spektra yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi objek yang dimaksud. Terkadang, medan gravitasi dan medan 1
Website NASA: http://science.nasa.gov/missions/tiros/ diunduh 27 April 2013.
2
Ibid.
3
Website NASA: http://earthobservatory.nasa.gov/Features/RemoteSensing/ diunduh 27 April 2013.
4
George I. Zissis, “The Development of Remote Sensing of Earth Resources,” Remote Sensing of Earth Resources, a compilation of papers prepared for the 13th meeting of the Panel on Science and Technology, U.S. House of Representatives, Committee on Science and Astronautics, 1982, hlm. 120.
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
3
magnetik digunakan dalam penerapan penginderaan jauh.5 Satelit telah menjadi media utama dalam aktivitas teknologi penginderaan jauh karena beberapa keuntungan, di antaranya:6 1. Pengumpulan data secara terus-menerus; 2. Kemampuan meninjau ulang secara periodik dan teratur yang menghasilkan informasi terbaru dan terkini; 3. Cakupan wilayah yang luas; 4. Resolusi spektral yang baik; 5. Proses dan analisa yang bersifat semi-otomatis/ter-komputerisasi; 6. Kemampuan untuk memanipulasi/memperluas data untuk interpretasi citra yang lebih baik; dan 7. Pemetaan data yang akurat. Pada awal kehadirannya, teknologi satelit penginderaan jauh diperuntukkan bagi kegiatan dan operasi militer. Namun dalam tahap-tahap perkembangan selanjutnya, pemanfaatan teknologi ini lebih banyak diarahkan kepada kepentingan pembangunan di segala bidang. Informasi produk penginderaan jauh tidak saja mengenai segala sesuatu yang ada di muka bumi, melainkan juga potensi sumber daya tambang yang ada di perut bumi dan kedalaman laut. Dengan adanya komersialisasi teknologi ruang angkasa pada akhir tahun 1970-an, masyarakat sipil mulai menemukan kegunaan teknologi penginderaan jauh atau data penelitian Bumi (data dari satelit pengamatan). Sejak saat itulah satelit penginderaan jauh mempunyai manfaat ganda (dual use), yaitu untuk kepentingan sipil (kesejahteraan) dan militer (pertahanan dan keamanan). Maka, timbul keperluan akan adanya prinsip-prinsip internasional yang dapat mengatur kegiatan observasi Bumi oleh warga sipil. Penggunaan hasil dari teknologi satelit penginderaan jauh ini pun telah meningkat, contohnya yaitu dalam penggunaan data hasil pemanfaatan penginderaan jauh. Perkembangan teknis dari teknologi satelit penginderaan jauh sangat pesat, sehingga peraturan mengenai pemanfaatan teknologi ini harus pula mengikuti arus perkembangan teknisnya. Pada awal pembentukannya, perdebatan dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencakup isu-isu kedaulatan negara dan keamanan nasional, mulai dari dukungan terhadap persyaratan prior consent (izin awal untuk mengindera) sampai pada penerapan kebijakan 5
Anil K. Maini dan Varsha Agrawal, Satellite Technology Principles and Applications, (Chichester: John Wiley & Sons, Ltd, 2011), hlm. 422-423. 6
Ibid. hlm. 423.
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
4
“open skies” dan permasalahan hak kekayaan intelektual. Negara-negara berkembang dan Rusia – saat itu Uni Soviet – serta negara-negara blok komunis dan beberapa negara Barat mendukung pendekatan prior consent karena mereka berpandangan bahwa kegiatan penginderaan jauh dengan satelit telah melanggar kedaulatan teritorial dari negara yang diindera. Namun, pada akhirnya, pendekatan kebijakan open skies yang sangat didukung oleh Amerika Serikat dan sebagian besar negara-negara Barat, memenangkan perdebatan ini walaupun terdapat beberapa persyaratan dan ketentuan yang menyertainya. Dengan demikian, Majelis Umum PBB mengadopsi Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space pada tanggal 3 Desember 1986 (Resolusi Majelis Umum PBB 41/65)7 yang berisi prinsip-prinsip internasional dalam kegiatan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh. Walaupun data observasi Bumi memberikan banyak kegunaan dalam banyak aspek penting komersial warga sipil, akses yang terlampau mudah bagi negara bukan peserta (nonState parties) dan negara rawan lainnya terhadap citra satelit yang mengandung informasi terinci mengenai kondisi geografis dan informasi yang bersifat sensitif yang berhubungan dengan keamanan nasional suatu negara, adalah tantangan besar bagi semua negara di era globalisasi. Oleh karena itu, tidak hanya dibutuhkan keseimbangan antara kepentingan publik dan privat, namun juga keseimbangan antara kepentingan nasional dan internasional.8 Indonesia sebagai negara berkembang belum memiliki teknologi satelit penginderaan jauh, tetapi memiliki Stasiun Bumi penerima (receiver) citra penginderaan jauh. Sehubungan dengan itu, Indonesia menjalin kerjasama dengan negara-negara pemilik satelit tersebut untuk turut memanfaatkannya. Hal ini menjadi semakin penting mengingat wilayah negara ini sangat luas, terdiri dari perairan dan daratan yang hingga kini baru sebagian sumber daya alam (SDA) yang telah teridentifikasi. Di era globalisasi, sistem ekonomi nasional yang semula terisolasi satu sama lain oleh batas-batas negara berubah menjadi sebuah sistem ekonomi global yang terintegrasi dan saling bergantung satu sama lain.9 Oleh karena itu, tuntutan untuk mengetahui potensi SDA yang belum diketahui, menyadarkan kita akan pentingnya kegiatan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh, khususnya teknologi satelit penginderaan jauh. 7
United Nations, Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space 1986, 3 December 1986; UNGA Res. 41/65. UN Doc. A/AC.105/C.2/24.450 (1986). 8
Masami Onoda, “Global Earth Observation for Compliance of International Environmental Agreements,” (makalah disampaikan pada Proceedings of the 48th Colloquium on the Law of Outer Space, Fukuoka, 17-21 Oktober 2005), hlm. 10-19. 9
Charles W. L. Hill, Global Business Today, 2nd ed. (New York: McGraw-Hill, 2003), hlm. 4.
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
5 Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka Penulis melihat beberapa
permasalahan hukum, yaitu: (i) sejarah pembentukan UN Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space 1986 dan pengaturan di dalamnya, (ii) kebijakan nasional dan implementasi UN Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space 1986 dalam kegiatan satelit penginderaan jauh di negara-negara, dan (iii) kebijakan nasional dan implementasi UN Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space 1986 dalam kegiatan satelit penginderaan jauh di Indonesia. Pembahasan Dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pendapat negara-negara di dunia mengenai dampak yang besar dari penggunaan satelit penginderaan jauh khususnya dalam bidang militer, mulai diperhatikan. Pada tanggal 12 Desember 1959, sebuah komite PBB bernama Committee for the Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS) diinaugurasi oleh Majelis Umum. Untuk membantu komite ini menjalankan tugas serta mandatnya, maka dibentuklah dua komisi dari para anggota yang tergabung di dalamnya, yaitu Sub-komite Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Scientific and Technical Subcommittee) dan Subkomite Bidang Hukum (Legal Subcommittee).10 Sub-komite Bidang Hukum inilah yang menjadi cikal bakal dan pusat pimpinan untuk berbagai diskusi dan persiapan kerja menuju terbentuknya suatu tatanan hukum bagi kegiatan manusia di luar angkasa.11 Prinsip-prinsip internasional di dalam UN Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space 1986 dirancang oleh UNCOPUOS. Perhatian pertama mengenai perjanjian ini dilakukan melalui perundingan yang dimulai pada tahun 1968 ketika SubKomite Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menyampaikan laporannya tentang pemanfaatan teknik penginderaan jauh sebagai alat untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya Bumi secara global.12 Pada tahun 1970, Argentina secara resmi mengajukan usulan bahwa peraturan mengenai penginderaan jauh seharusnya diumumkan oleh PBB.13 Pada tahun yang sama, permintaan ini ditindaklanjuti melalui pembentukan sebuah kelompok kerja 10
Diederiks-Verschoor, I.H.Ph. Introduction to Space Law. Alphen aan den Rijn: Kluwer Law International, 2008, hlm. 72. 11
Ibid.
12
Carl Quimby Christol, The Modern International Law of Outer Space, (New York: Pergamon Press, 1982), hlm. 721. 13
Ibid.
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
6
khusus (Special Working Group) yang bertugas untuk membantu Sub-komite Bidang Hukum dalam menangani sejumlah permasalahan terkait kegiatan satelit penginderaan jauh. Pertemuan pertama kelompok kerja ini dilaksanakan pada tahun 1971, sedangkan proposal pertama diajukan pada tahun 1974. Sejak awal perundingannya, komite ini sulit mencapai kata sepakat dalam beberapa isu spesifik dan prinsip-prinsip dasar. Dua pertimbangan besar yang terus memperpanjang perdebatan adalah mengenai penggunaan secara ekonomis dari kegiatan penginderaan jauh dan pemanfaatan data secara militer dari kegiatan ini. Dua posisi utama negara-negara mengenai pemanfaatan dan penyebaran informasi yang diperoleh dari penginderaan jauh diajukan pertama kali pada awal tahun 1970-an oleh Argentina, Uni Soviet (saat ini Rusia), dan Amerika Serikat.14 Pada tahun 1973, Argentina dan Uni Soviet mengajukan kerangka perjanjian supaya dipertimbangkan oleh Kelompok Kerja Khusus ini. Dokumen-dokumen yang diajukan berisi permohonan untuk membatasi penyebaran data informasi penginderaan jauh kepada pihak ketiga tanpa adanya izin dari negara yang diindera. Sedangkan Amerika Serikat di sisi lain, mengajukan permohonan yang berisi beberapa batasan mengenai perolehan atau penyebaran data penginderaan jauh kepada pihak lain, terkait hak kekayaan intelektual.15 Posisi yang diambil oleh masing-masing negara ini dipengaruhi oleh sikap mereka terhadap prinsip-prinsip yang diajukan oleh anggota Kelompok Kerja untuk memberi pedoman bagi kegiatan penginderaan jauh di negara-negara.16 Kebanyakan dari prinsipprinsip ini dibentuk dengan kata-kata yang sifatnya luas dan longgar dan dipenuhi dengan frase yang tidak tegas.17 Negara-negara ini memandang prinsip-prinsip mengenai penginderaan jauh dari sudut pandang sistem politik dan ekonomi mereka.18 14
Walaupun banyak terjadi penundaan dalam formulasi rangkaian prinsip yang komprehensif untuk mengatur kegiatan penginderaan jauh ini dikarenakan posisi yang saling berlawanan antara mereka yang mendukung pembatasan atau yang mendukung kebebasan penyebaran data informasi penginderaan jauh seperti yang telah disebutkan, masalah lain yang timbul juga disebabkan oleh ketidakmampuan Kelompok Kerja (Working Group) ini untuk sepakat tentang definisi penginderaan jauh itu sendiri. (Lihat: U.N.Doc. A/AC.105/92 (May 26, 1971), U.N.Doc. A/AC.105/98 (1972), U.N.Doc. A/AC.105/111 (1973)). 15
Jefferson Hane Weaver, “Lessons in Multilateral Negotiations: Creating A Remote Sensing Regime,” 7 Temp. Int'l & Comp. Law Journal 29, (1993), hlm. 4. 16
Carl Quimby Christol, “Remote Sensing and International Space Law,” 16 Journal of Space Law, (1988), hlm. 24. 17
Prinsip-prinsip ini termasuk perihal yang digeneralisasikan, seperti: hak kedaulatan negara, pertimbangan jenis data yang dihasilkan oleh penginderaan jauh, akses yang sama bagi semua negara untuk data regional dan global yang berasal dari penginderaan jauh, dan saling ketergantungan antara hukum internasional dan berbagai organisasi untuk pengaturan ini. (Lihat: Report of the Working Group on Remote Sensing of the Earth by Satellites on the Work of Its Third Session, UNCOPUOS, at 26, U.N.Doc. A/AC.105/125 (1974)). 18
Ibid.
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
7 Pada satu sisi, banyak negara, khususnya negara-negara berkembang berpandangan
bahwa walaupun pengumpulan fakta adalah suatu kegiatan yang netral secara politis, satelit sumber daya Bumi seringkali dianggap sebagai suatu ancaman ekonomi karena potensi satelit tersebut untuk menyediakan data yang bermanfaat secara ekonomis untuk negara lain.19 Banyak negara yang memandang bahwa informasi mengenai sumber daya dan penyebaran populasi di negara-negara ini merupakan informasi yang bersifat sensitif. Apalagi informasi mengenai mineral yang dinilai sebagai isu yang paling merepotkan karena teknologi penginderaan jauh telah membantu menemukan lokasi-lokasi prospektif yang menjanjikan di banyak negara.20 Banyak negara berkembang yang khawatir bahwa sumber daya alam mereka akan dieksploitasi oleh warga negara asing apabila data penginderaan jauh didistribusikan secara luas.21 Meskipun pemerintahan dari negara berkembang ini dapat mencegah pihak ketiga dari akses terhadap sumber dayanya, mereka khawatir bahwa informasi yang disebar akan meningkatkan posisi tawar negara-negara maju yang sebelumnya sudah berada di atas mereka. Posisi tawar yang semakin tinggi ini tentu bertentangan dengan kemampuan teknologi yang lebih rendah dari negara-negara berkembang.22 Maka, negara-negara berkembang berpendapat bahwa informasi mengenai sumber daya alam juga termasuk ke dalam kepemilikan sumber daya alam yang pada dasarnya dimiliki oleh negara-negara tersebut. Oleh karena itu negara lain tidak seharusnya mengindera sumber daya mereka tanpa izin. Negara-negara berkembang juga menitikberatkan perhatian mereka pada keamanan militer. Argumen yang diajukan ini didasarkan pada konsep kedaulatan negara. Dengan demikian, mereka berpendapat bahwa penginderaan jauh tidak boleh dilakukan tanpa adanya persetujuan awal (prior consent) untuk mengindera dari negara yang diindera (sensed State). Modifikasi dari argumen ini adalah negara yang diindera harus mempunyai hak prioritas untuk data yang diperoleh dari satelit mengenai daerah teritorial mereka dan/atau data dari 19
H. DeSaussure, “Remote Sensing Regulation by National and International Law,” 15 Rutgers Computer and Tech. Law Journal, (1989), hlm. 714. 20
Ibid., hlm. 715. Banyak perusahaan besar dalam perminyakan, pertambangan dan gas diuntungkan melalui pencarian sumber daya alam dengan menggunakan data geo-fisika yang diperoleh dari cara-cara eksplorasi seismik, magnetik, elektrik, gravitasi dan radioaktif. Informasi ini merupakan hak yang berharga, dimiliki oleh pemilik tanah dan dilindungi oleh hukum di Amerika Serikat. Walaupun tidak menunjukkan persis dimana tepatnya lokasi sumber daya mineral, penginderaan jauh dapat meningkatkan pendeteksian permukaan dan dengan demikian menjadi informasi yang berharga.
21
Eleonora Ambrosetti, “The Relevance of Remote Sensing to Third-World Economic Development: Some Legal and Political Aspects,” 12 New York University Journal of Int’l Law & Policy, (1980), hlm. 578. 22
Ibid.
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
8
satu negara tidak boleh diberikan atau disediakan bagi pihak lain tanpa izin dari negara yang bersangkutan. Di sisi lain, argumen yang diajukan berbagai negara lainnya didasarkan pada pasalpasal yang ada dalam Outer Space Treaty 1967, terutama Pasal 1 dan 223 yang menyatakan bahwa ruang angkasa bebas dimanfaatkan oleh semua pihak dan pemanfaatan itu termasuk pula kegiatan penginderaan jauh. Prior consent dengan segala tuntutan hak yang belum jelas keterkaitannya tersebut malah akan bertentangan dengan kebebasan yang dikandung dalam Outer Space Treaty 1967. Lebih daripada itu, hak prioritas untuk negara yang diindera atau hak untuk meng-embargo penyebaran data juga akan membatasi pemanfaatan secara bebas yang dijamin dalam Outer Space Treaty 1967.24 Di samping berbagai pendapat yang berbeda yang selalu timbul dalam perundingan UNCOPUOS, para negara anggota sebenarnya menyadari bahwa ada beberapa elemen tertentu dalam pengajuan mereka yang sifatnya serupa, berkaitan dengan rezim apa yang harus ditegakkan untuk mengatur kegiatan penginderaan jauh.25 Mereka sepakat bahwa penginderaan jauh harus dilaksanakan sesuai dengan hukum internasional untuk kepentingan bersama umat manusia (common interest of mankind) dan untuk memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang.26 Mereka juga sepakat bahwa kegiatan penginderaan jauh seharusnya dilaksanakan untuk mengoptimalkan kerjasama internasional dan regional dan untuk melindungi lingkungan hidup Bumi.27 Prinsip-prinsip ini disetujui dengan besar dukungan yang berbeda-beda dari negara-negara yang tergabung dalam Kelompok Kerja. 23
Pasal 1 Outer Space Treaty 1967: “The exploration and use of outer space, including the Moon and other celestial bodies, shall be carried out for the benefit and in the interests of all countries, irrespective of their degree of economic or scientific development, and shall be the province of all mankind. Outer space, including the Moon and other celestial bodies, shall be free for exploration and use by all States without discrimination of any kind, on a basis of equality and in accordance with international law, and there shall be free access to all areas of celestial bodies. There shall be freedom of scientific investigation in outer space, including the Moon and other celestial bodies, and States shall facilitate and encourage interna- tional cooperation in such investigation.” Pasal 2 Outer Space Treaty 1967: “Outer space, including the Moon and other celestial bodies, is not subject to national appropriation by claim of sovereignty, by means of use or occupation, or by any other means.” 24
Francis Lyall dan Paul B. Larsen, Space Law: A Treatise, (Surrey: Ashgate Publishing Limited, 2009), hlm. 420. 25
Christol, The Modern International Law of Outer Space, hlm. 735.
26
Ibid.
27
Ibid.
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
9 Tiga prinsip yang serupa ditambahkan lagi pada tahun 1976 oleh Kelompok Kerja,
yaitu:28 1. Koordinasi dan kerjasama PBB terkait penginderaan jauh dan bantuan teknis yang berkaitan memang dianggap perlu dan penting; 2. Informasi penginderaan jauh yang berhubungan dengan bencana alam harus diberitahukan secepatnya; dan 3. Data yang diperoleh dari kegiatan penginderaan jauh tidak boleh digunakan untuk merugikan atau membahayakan negara lain. Ketentuan yang terakhir ini ditambahkan sebagai tanggapan dari kekhawatiran banyak negara berkembang bahwa negara-negara maju atau perusahaan-perusahaan multinasional dapat saja menggunakan data penginderaan jauh untuk membujuk negara-negara berkembang dalam membuat kesepakatan-kesepakatan yang tidak seimbang. Hal ini digarisbawahi selama pertemuan Kelompok Kerja pada tahun 1976 ketika Mongolia, sebagai perwakilan dari negara-negara berkembang, menyatakan bahwa, “negara-negara yang tergabung dalam kegiatan penginderaan jauh harus menghormati prinsip kedaulatan negara yang penuh dan permanen dan hak masyarakat atas kekayaan dan sumber daya alamnya sendiri sebagai hak yang tidak dapat dicabut untuk mengalihkan sumber daya alam mereka dan informasi mengenai sumber daya alam tersebut”.29 Akhirnya, setelah mengalami beberapa perubahan dan pembaruan selama kurang lebih limabelas tahun sejak inisiasinya, pada tahun 1986, UNCOPUOS mengajukan kerangka final mengenai prinsip-prinsip internasional kegiatan penginderaan jauh dan disetujui oleh Majelis Umum melalui sebuah Resolusi 41/65, yaitu UN Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space 1986.30 Resolusi ini berisi pedoman umum bagi negara-negara dalam melaksanakan kegiatan penginderaan jauh. Prinsip 1986 yang dikeluarkan Majelis Umum ini mewakili persetujuan formal negara-negara secara internasional mengenai pengaturan terhadap kegiatan penginderaan jauh. Seperti yang dinyatakan di dalamnya, prinsip-prinsip ini hanya berlaku pada 28
United Nations, U.N.Doc. A/AC.105/171 (1976).
29
United Nations, Report of the Legal Sub-Committee on the Work of Its Fifteenth Session, UNCOPUOS, U.N.Doc. A/AC.105/171, Annex 4 (1976): “states participating in remote sensing should respect the principle of full and permanent sovereignty of all States and peoples over their wealth and natural resources as well as their inalienable right to dispose of their natural resources and of information concerning those resources.” 30
United Nations, Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space 1986, 3 December 1986; UNGA Res. 41/65. UN Doc. A/AC.105/C.2/24.450 (1986); Carl Q. Christol, Space Law: Past, Present and Future (Deventer: Kluwer, 1991), hlm. 73-95.
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
10
penginderaan jauh dengan tujuannya yang terbatas, yaitu meningkatkan pengelolaan sumber daya alam, pemanfaatan lahan dan perlindungan lingkungan hidup. Walaupun begitu, faktanya adalah, satelit hanya memindai dan melaporkan apa yang ada di daerah itu. Alat ini tidak dapat diinstruksikan untuk tidak mengindera instalasi militer atau area sensitif lainnya. Mengaburkan informasi ini hanya dapat dilakukan pada tahap selanjutnya yang berbeda dari proses penginderaan. Oleh karena itu, prinsip-prinsip ini lebih tepat dianggap sebagai kebijakan umum yang harus dipatuhi negara-negara dan, dengan cara yang sesuai, dimasukkan ke dalam peraturan nasional masing-masing negara.31 Rezim hukum di masa yang akan datang menyangkut penginderaan jauh tentu sebagian besar akan dibentuk melalui isi dari Prinsip 1986.32 Prinsip-prinsip ini, seperti kerangka prinsip sebelumnya yang dibuat dan dipertimbangkan oleh UNCOPUOS, memfokuskan pada “akuisisi data di ruang angkasa, pengembalian data ke Bumi, penyusunan selanjutnya terhadap data, pengolahan, dan interpretasi data mentah”.33 Prinsip 1986 merupakan kerangka internasional berisi pengaturan kegiatan penginderaan jauh yang sifatnya tidak mengikat.34 Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Prinsip 1986 ini berjumlah lima belas prinsip. Prinsip I dimulai dengan membatasi penggunaan teknologi satelit penginderaan jauh. Untuk tujuan prinsip-prinsip internasional, penginderaan jauh didefinisikan sebagai penginderaan Bumi dari luar angkasa, memanfaatkan radiasi elektromagnetik yang diemisikan, direfraksikan atau didifraksi oleh objek yang diindera ‘dengan tujuan meningkatkan pengelolaan sumber daya alam, pemanfaatan lahan, dan perlindungan lingkungan hidup’.35 Prinsip II mensyaratkan bahwa kegiatan penginderaan jauh dilakukan untuk manfaat dan kepentingan semua negara, tanpa memandang derajat ekonomi, sosial atau ilmu pengetahuan atau perkembangan teknologi. Namun, prinsip ini juga menyatakan hal yang spesifik bahwa kebutuhan negara-negara berkembang harus tetap diberi perhatian khusus.36 Prinsip III menyatakan bahwa kegiatan penginderaan jauh harus dilaksanakan
31
Lyall, Space Law: A Treatise, hlm. 425.
32
United Nations, U.N.Doc. A/AC.105/C.2/24.450 (1986).
33
Christol, Remote Sensing and International Space Law, hlm. 22.
34
Christol, Remote Sensing and International Space Law, hlm. 21. United Nations, Prinsip I (a) Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space
35
1986. 36
United Nations, Prinsip II Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space
1986.
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
11
menurut Piagam PBB dan instrumen perjanjian internasional lainnya.37 Prinsip ini disebut juga sebagai klausul jaring keamanan (safety-net clause)38 yang dalam praktiknya sangat penting dalam kegiatan penginderaan jauh. Hal ini adalah konsekuensi dari kenyataan bahwa hukum internasional memang memiliki peran yang terbesar di ruang angkasa dimana tidak ada satu negara manapun yang dapat menerapkan yurisdiksi teritorialnya. Prinsip IV menyatakan bahwa kegiatan penginderaan jauh ‘harus dilaksanakan berdasarkan asas penghargaan terhadap prinsip kedaulatan penuh dan permanen yang dimiliki semua negara dan masyarakat terhadap kekayaan dan sumber daya alamnya sendiri, dengan hak dan kepentingan yang bersangkutan, sesuai dengan hukum internasional, dari negara lain dan badan hukum lain di bawah yurisdiksinya’39 – suatu pernyataan yang dapat diterima oleh kedua pihak yang berdebat dalam forum UNCOPUOS. Kemudian, untuk menghindari kemungkinan penyatuan dua hal yang berbeda ini dan untuk menggarisbawahi hal yang menjadi perhatian utama dari negara-negara berkembang, Prinsip IV diakhiri dengan: ‘kegiatan-kegiatan tersebut tidak boleh dilaksanakan melalui cara yang merugikan dan mengganggu hak legitimasi dan kepentingan negara yang diindera’.40 Dalam Prinsip VII, berdasarkan ketentuan yang dapat diterima dan saling menguntungkan, negara-negara pengindera menyediakan bantuan teknis kepada negara lain yang tertarik dalam kegiatan penginderaan jauh.41 Prinsip IX mensyaratkan negara-negara untuk tetap menginformasikan kepada Sekretaris Jenderal PBB mengenai program-program penginderaan jauh yang mereka lakukan. Negara-negara pengindera pun, ‘sejauh memungkinkan dan dapat dilaksanakan’, memberitahukan kepada negara-negara lain mengenai data-data penginderaan yang relevan, dengan permintaan negara yang diindera dan secara khusus kepada negara berkembang yang 37
United Nations, Prinsip III Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space
1986. 38
Frans von der Dunk, “United Nations Principles on Remote Sensing and the User,” Space and Telecommunications Law Program Faculty Publications (Paper 17, 2002), hlm. 33. Tersedia di http://digitalcommons.unl.edu/spacelaw/17 diunduh pada 14 Juni 2013. 39
Kutipan Prinsip IV UN Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space 1986: “… shall be conducted on the basis of respect for the principle of full and permanent sovereignty of all States and peoples over their own wealth and natural resources, with due regard to the rights and interests, in accordance with international law, of other States and entities under their jurisdiction … ” 40
Kutipan Prinsip IV UN Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space 1986: “… Such activities shall not be conducted in a manner detrimental to the legitimate rights and interests of the sensed State.” 41
United Nations, Prinsip VII Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space
1986.
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
12
terkena dampak dari program penginderaan.42 Namun, Prinsip IX ini tidak mendefinisikan informasi apa yang sebenarnya harus disediakan oleh negara pengindera kepada negara yang diindera.43 Prinsip XI bersifat lebih spesifik dengan mewajibkan negara-negara pengindera untuk mendistribusikan data olahan dan data analisa mengenai bencana alam, yang nyata dan potensial, kepada negara-negara yang mungkin akan terkena dampaknya.44 Sehubungan dengan Prinsip XI ini, pada praktiknya telah menunjukkan bahwa penginderaan jauh semakin penting, misalnya, supaya pihak yang terkait dapat mengawasi ancaman potensial terjadinya banjir dan mengurangi efeknya. Prinsip XII merefleksikan ekspektasi bahwa data penginderaan
jauh
harus
tersedia
secara
terbuka.
Sebagai
hasilnya,
prinsip
ini
mengekspresikan hak negara-negara untuk mengindera negara lainnya dengan menyediakan akses terhadap informasi mengenai negara tersebut di dalam kepemilikan negara pengindera. Persyaratan prior consent dari negara yang diindera pun tidak ada dalam prinsip ini. Tidak pula informasi mengenai negara yang diindera disediakan secara gratis bagi negara tersebut. Tetapi, ‘negara yang diindera harus mempunyai akses terhadap data primer dan data olahan berdasarkan asas non-diskriminasi dan dengan ketentuan biaya yang wajar’. Demikian pula bagi negara-negara yang diindera, mereka mendapat akses terhadap data analisa mengenai daerah teritorialnya, dengan kepemilikan data oleh negara pengindera, berdasarkan asas dan ketentuan yang sama, serta kebutuhan dan kepentingan dari negara-negara berkembang diperhatikan secara khusus.45 Prinsip XII mengakomodasi kepentingan antara hak kedaulatan negara pengindera dan negara yang diindera dengan menyatakan bahwa kegiatan penginderaan jauh dapat dilaksanakan oleh negara manapun dan negara yang diindera memiliki hak akses terhadap data apapun terkait dengan daerah teritorialnya.46 Prinsip XIII menjelaskan bahwa negara-negara yang diindera mempunyai hak dengan permintaannya untuk berkonsultasi dengan negara pengindera untuk membantu kerjasama yang terjadi ‘terutama mengenai hal yang berhubungan dengan kebutuhan negara-negara berkembang’.47 42
United Nations, Prinsip IX Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space
43
Lyall, Space Law: A Treatise, hlm. 422.
44
United Nations, Prinsip XI Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space
45
United Nations, Prinsip XII Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space
46
Weaver, Creating A Remote Sensing Regime, hlm. 15.
47
United Nations, Prinsip XIII Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space
1986.
1986. 1986.
1986.
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
13
Sudah barang tentu salah satu hasilnya mungkin saja berupa modifikasi program penginderaan untuk memasukkan hasil perolehan data yang berkepentingan kepada negara yang diindera dan memang untuk itu negara tersebut dapat memiliki akses berdasarkan Prinsip XII. Namun, dalam praktiknya, sedikit sekali konsultasi yang berjalan. Karena besarnya ukuran, jenis dan cakupan dari penginderaan jauh, kebutuhan dari kebanyakan negara-negara telah dapat dipenuhi. Sebaliknya, mengenai pengeluaran data sangat sulit diatur dan lebih baik ditangani pada tahap setelah penginderaan dilakukan, ketika analisis dan tafsiran data dilaksanakan. Dalam Prinsip XIV, negara-negara yang terlibat dalam kegiatan penginderaan jauh mempunyai tanggung jawab internasional untuk menjaga kesesuaian tindakannya dengan hukum internasional dalam menjalankan program-program penginderaan jauh. Di samping itu, Prinsip XIV mempertegas perlunya kesesuaian tindakan berdasarkan prinsip-prinsip yang telah disebutkan sebelumnya. Akhirnya, Prinsip XV ini menentukan bahwa negara-negara harus menyelesaikan sengketa mengenai pelaksanaan prinsip-prinsip ini melalui prosedur yang telah dibuat untuk penyelesaian sengketa secara damai.48 Secara umum, semua kebijakan nasional di masing-masing negara mengandung prinsip dasar yang sama, yaitu: (a) mengizinkan akses terhadap citra hasil penginderaan jauh yang berkaitan dengan manfaatnya di bidang ilmu pengetahuan, sosial dan ekonomi; dan (b) membatasi akses terhadap citra hasil penginderaan jauh yang berkaitan dengan alasan keamanan nasional.49 Perbedaan kebijakan dan hukum nasional mulai muncul dalam penerapan beberapa variabel, seperti: pembatasan resolusi, penolakan akses pada beberapa negara tertentu, dan lain-lain.50 Sebelum badan komersial manapun membangun satelit penginderaan jauh, atau sebelum sebuah entitas dapat mendapatkan akses terhadap citra hasil penginderaan jauh, mereka harus memperoleh izin dari pemerintah yang mengatur atau membatasi kemampuan pencitraan, seperti resolusi pankromatik dan multispektral.51 Di samping itu, sesaat setelah satelit diluncurkan, kebijakan nasional berperan dalam
48
1986.
United Nations, Prinsip XV Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space
49
Joanne Irene Gabrynowicz, “The Land Remote Sensing Laws and Policies of National Governments: A Global Survey by the National Center for Remote Sensing, Air and Space Law at the Mississippi School of Law,” (makalah disampaikan dalam Report for U.S. Department of Commerce/National Oceanic and Atmospheric Administration’s Satellite and Information Service Commercial Remote Sensing Licensing Program, 3 Januari 2007), hlm. 3. 50
Ibid.
51
Stacy A.C. Nelson, et. al., Remote Sensing, (New York: Springer, 2012), hlm. 117.
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
14
menentukan bagaimana sistem penginderaan jauh dioperasikan dan bagaimana hasil citranya didistribusikan.52 Sehubungan dengan data komersial dengan resolusi tinggi, kebiasaan yang berkembang saat ini adalah untuk memenuhi prioritas keamanan nasional, sehingga dibentuklah berbagai ketentuan terkait permintaan data yang didasarkan pada kasus per kasus. Ternyata, kebiasaan yang berkembang ini justru semakin menjauh dari prinsip-prinsip umum yang telah ditetapkan, seperti kebijakan non-diskriminasi terhadap akses, untuk menganalisis secara spesifik setiap permintaan,53 seperti yang ditetapkan dalam Prinsip II dari Prinsip 1986 yang menjunjung akses non-diskriminasi tanpa memandang derajat ekonomi, sosial atau ilmu pengetahuan dan teknologi suatu negara.54 Analisis dari setiap permintaan itu sendiri juga cenderung menjauh dari pertimbangan mengenai jenis data apa yang diminta menjadi kepada pertimbangan mengenai siapa yang meminta data tersebut, dan mengapa data tersebut diminta.55 Hukum dan kebijakan internasional yang formal sulit didapatkan karena adanya berbagai perbedaan dalam sistem hukum, hambatan dalam berbahasa dan perbedaan pandangan mengenai penting atau tidaknya suatu hal yang sedang dirundingkan. Walaupun begitu, terdapat pengakuan yang semakin banyak akan perlunya hukum dan kebijakan yang lebih formal dan transparan. Isu tentang era globalisasi, kegiatan penginderaan jauh, dan akses terhadap teknologi yang terjangkau menimbulkan masalah-masalah praktis yang memicu hukum tentang penginderaan jauh, khususnya, dan semua hukum nasional ruang angkasa pada umumnya. Perbedaan antara “publik” dan “privat” dalam penginderaan jauh dari ruang angkasa telah hilang di seluruh dunia. Apa yang dimaksud dengan operasi “komersial” berbeda-beda di setiap negara.56 Dengan demikian, kebijakan terkait pengaturan kegiatan satelit penginderaan jauh pun berbeda-beda pula di negara-negara tersebut. Operasi satelit diperbolehkan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan untuk berhasil, tetapi 52
Ibid. hlm. 117-118.
53
Gabrynowicz, Land Remote Sensing Laws and Policies of National Governments.
54
United Nations, Prinsip II Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space 1986: “Remote sensing activities shall be carried out for the benefit and in the interests of all countries, irrespective of their degree of economic, social or scientific and technological development, and taking into particular consideration the needs of the developing countries.” 55
Ibid.
56
Gabrynowicz, Land Remote Sensing Laws and Policies of National Governments.
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
15
kecenderungan yang meningkat di seluruh dunia adalah supaya operator kegiatan ini di kemudian hari dapat menjadi suatu badan pemerintahan.57 Amerika Serikat merupakan negara pertama yang mengembangkan kebijakan nasional yang berkaitan dengan data hasil penginderaan jauh. Pengelolaan satelit Landsat diberikan dari NASA kepada Presiden NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) dan DOC (Department of Commerce).58 NOAA bertanggung jawab atas pemberian izin sekaligus lisensi dan mengatur sistem penginderaan jauh swasta. Isu yang terutama disorot dalam kebijakan penginderaan jauh di Amerika Serikat adalah penerapan prinsip non-diskriminasi terhadap data, baik pada operator publik maupun privat. Amerika Serikat telah menerapkan banyak larangan nasional terkait pengumpulan dan pendistribusian citra penginderaan jauh. Sebagai contoh, pemegang lisensi dari sistem satelit penginderaan jauh Bumi milik swasta diwajibkan untuk menyediakan hanya data yang belum diolah (un-enhanced data) kepada semua negara yang diindera; namun tidak boleh ada data yang disediakan kepada negaranegara yang diindera apabila data tersebut bertentangan dengan masalah keamanan nasional Amerika Serikat.59 Pada praktiknya, penerapan ini semakin menjauh dari Prinsip XII dalam Prinsip 1986 tentang asas non-diskriminasi terhadap negara-negara yang diindera. Di Perancis, kebijakan penginderaan jauh sipilnya didasarkan pada promosi pasar global citra ruang angkasa dimana data dapat diperoleh dengan cara yang non-diskriminatif. Untuk memastikan partisipasi aktif dari negaranya sendiri, Perancis membentuk SPOT Image, sebuah perusahaan untuk mengelola distribusi data SPOT dan untuk mengajukan data dengan resolusi yang lebih baik dari sistem alternatif luar negeri kebanyakan. Dari segi hukum internasional, Perancis mendukung adopsi Prinsip 1986.60 Kanada telah membentuk undang-undang yang mengatur operasi sistem penginderaan jauh. Remote Sensing Space Systems Act bertujuan untuk memastikan bahwa sistem ruang angkasa penginderaan jauh diawasi secara operasional, dan bahwa data dan citra yang
57
Ibid. hlm. 3-4.
58
Carrey A Chin, “A Study on the Commercialization of Space-Based Remote Sensing in the TwentyFirst Century and its Implications to United States National Security,” (Thesis on June 2011 for Naval Postgraduate School), hlm. 25. 59
United States, Land Remote Sensing Act of 1992, Pub. L. No. 102-555, ß 501, 106 Stat. 4163, 4176 (codified as amended at 15 U.S.C. ß 5651 (Supp. II 2008)). 60
Philippe Achilleas, “French Remote Sensing Law,” The 2nd International Conference on the State of Remote Sensing Law, Journal of Space Law (Vol. 34, 2008), hlm. 2.
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
16
dihasilkan dapat disebarkan dengan cara yang sesuai dengan manfaat ganda (dual-use) penginderaan jauh.61 Pemerintah India menciptakan sebuah kebijakan mengenai data penginderaan jauh di tahun 2001, yang dikenal dengan Remote Sensing Data Policy (RSDP). Kebijakan ini diikuti oleh semua pihak yang berbagi data dari satelit milik India dan juga penyedia data satusatunya di India, National Remote Sensing Centre (NRSC). Kebijakan ini sedikit diperbarui pada tahun 2011. Sementara ini, India tidak mengizinkan pembentukan sistem satelit penginderaan jauh swasta.62 Keamanan nasional dan kebijakan luar negeri adalah pertimbangan pokok dalam pembuatan kebijakan di India. Selain itu, data dan citra satelit digolongkan ke dalam “barang publik (public good)” yang sesuai dengan Prinsip II dari Prinsip 1986 yang menekankan bahwa kegiatan penginderaan jauh harus bermanfaat bagi semua negara. Jepang belum memiliki hukum nasional tersendiri yang mengatur secara spesifik mengenai satelit penginderaan jauh dan juga kebijakan tentang data hasil penginderaan jauh.63 Semua pedoman yang berhubungan dengan satelit dan kegiatan antariksa dikelola oleh Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA). Pada prinsipnya, semua data tersedia untuk umum tanpa adanya batasan resolusi spasial tertentu. Hal ini merupakan implementasi dari Prinsip XII dari Prinsip 1986. Prioritas kebijakan penginderaan jauh Jepang adalah menciptakan data untuk data olahan; menyelesaikan isu yang berkaitan dengan observasi data bumi; dan mendorong penggunaan data. Semua data dapat dimanfaatkan untuk maksud damai dan JAXA memiliki hak kekayaan intelektual atasnya, sehingga sejalan dengan Prinsip II dan Prinsip XIV dari Prinsip 1986. Penginderaan jauh juga mendapat posisi yang penting di negara kita. Indonesia adalah negara di Asia Tenggara yang terletak di garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.64 Karena letaknya yang berada di antara dua benua dan dua samudra, Indonesia disebut juga sebagai Nusantara 61
Thomas Gillon, “Regulating Remote Sensing Space Systems in Canada – New Legislation for a New Era,” The 2nd International Conference on the State of Remote Sensing Law, Journal of Space Law (Vol. 34, 2008), hlm. 19. 62
Ranjana Kaul dan Ram S. Jakhu, “Regulation of Space Activities in India,” Space Regulations Library Series: National Regulation of Space Activities, Vol. 5, (London: Springer, 2010), hlm. 182. 63
Setsuko Aoki, “Regulation of Space Activities in Japan,” Space Regulations Library Series: National Regulation of Space Activities, Vol. 5, (London: Springer, 2010), hlm. 222. 64
Portal Nasional RI: http://www.indonesia.go.id/in/sekilas-indonesia/geografi-indonesia diunduh 17
Juni 2013.
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
17
(Kepulauan Antara). Terdiri dari 17.508 pulau, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia.65 Dengan fakta geografis ini, Indonesia mempunyai kompleksitas dari segi bentukan lahan, bentang alam dan kekayaan alamnya, mulai dari mineral tambang sampai kepada hasil laut. Kondisi Indonesia yang memiliki wilayah daratan dan perairan yang sangat luas ini pun menimbulkan sejumlah permasalahan lingkungan, seperti: kebakaran hutan, illegal logging, illegal fishing, illegal mining, illegal farming, tanah longsor, gempa bumi dan lain-lain.66 Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan teknologi satelit penginderaan jauh. Teknologi penginderaan jauh dengan wahana satelit merupakan suatu alternatif yang berdaya guna dan berhasil guna untuk pemetaan, inventarisasi, pemantauan sumber daya alam dan lingkungan.67 Di Indonesia, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang dibentuk pada tanggal 27 November 1963 melalui Keputusan Presiden Nomor 236 Tahun 1963 tentang LAPAN68 – dengan berbagai peraturan pembaharuan setelahnya – mengepalai segala urusan terkait satelit penginderaan jauh. LAPAN yang tugas dan fungsinya menurut Keppres No. 18 tahun 1974 mencakup penelitian, pengembangan dan pemanfaatan bidang penginderaan jauh, serta pengembangan bank data penginderaan jauh nasional dan pelayanannya, memulai penggunaan satelit pemantau bumi di Indonesia pada tahun 1984 dengan mendirikan stasiun bumi untuk satelit Landsat di Pekayon, Jakarta Timur.69 Kedeputian Penginderaan Jauh mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan di bidang pengembangan dan pemanfaatan penginderaan jauh, serta pengembangan bank data penginderaan jauh nasional, dan melaksanakan kerjasama teknis serta pemasyarakatan dalam bidang penginderaan jauh.70 Berkaitan dengan tugas dan fungsi penginderaan jauh, LAPAN bertanggung jawab melaksanakan operasional dan perawatan perekaman atau akusisi data satelit, pengolahan data, archiving atau pengarsipan (bank data), reproduksi data hingga distribusi data penginderaan jauh. Kedeputian Pengideraan Jauh mempunyai dua kepusatan, yakni Pusat 65
Ibid.
66
Umar S. Tarmansyah, “Urgensi Teknologi Penginderaan Jauh Satelit untuk Pertahanan Keamanan dan Pembangunan Nasional,” http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/urgensi-teknologi-penginderaanjauh-satelit-untuk-pertahanan-keamanan-dan-pembangunan-nasion , diunduh 27 April 2013. 67
Purwadhi S.H. dan Sanjoto TB, Pengantar Interpretasi Citra Penginderaan Jauh, (Jakarta: Lembaga Penerbangan dan Antariksa LAPAN), http://www.geocities.ws/rtriharjanto/Paper_postel_remotesensing_intro1.pdf, diunduh 14 Juni 2013, hlm. 39-40. 68
Ibid.
69
Triharjanto R.H. dan Widipaminto, A., Penggunaan Satelit Penginderaan Jauh di Indonesia, Jakarta: LAPAN, hlm. 2. 70
Ibid.
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
18
Data Penginderaan Jauh untuk memberikan pelayanan jasa terkait data, dan Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh untuk melakukan penelitian untuk pengembangan aplikasi.71 Selain menerima citra satelit penginderaan jauh secara mandiri dari ketiga stasiun bumi ini, LAPAN juga bekerjasama dengan penyedia datelit penginderaan jauh lainnya untuk kepentingan pengguna. Berdasarkan data LAPAN, pengguna data yang paling besar adalah instansi pemerintahan, internal LAPAN, serta disusul oleh perguruan tinggi. Sedangkan penggunaan data penginderaan jauh terbesar adalah untuk kegiatan penelitian, baik oleh LAPAN maupun oleh perguruan tinggi.72 Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki peraturan atau kebijakan khusus mengenai pemanfaatan teknologi satelit penginderaan jauh. Kegiatan pemanfaatan teknologi ini dilakukan di bawah Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN yang tugas, fungsi dan susunannya diatur dalam Pasal 7 – Pasal 10 Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1988 tentang Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Kegiatan penginderaan jauh juga diatur dalam RUU Keantariksaan73 yang sedang dalam proses pengesahannya menjadi Undang-Undang. Dalam RUU Antariksa, penginderaan jauh diatur dalam BAB IV Bagian Ketiga mulai dari Pasal 21 hingga Pasal 29. Pasal-pasal ini dikelompokkan menjadi lima paragraf yang mengatur hal-hal sebagai berikut: (i) penginderaan jauh secara umum, (ii) perolehan data, (iii) pengolahan data, (iv) penyimpanan dan pendistribusian data, dan (v) pemanfaatan data dan diseminasi informasi. Semua kegiatan penginderaan jauh secara lebih komprehensif akan diatur dalam Peraturan Pemerintahan, Peraturan Menteri, peraturan Lembaga dan peraturan pelaksanaan lainnya setelah RUU Keantariksaan ini diselesaikan. Pada prinsipnya, kegiatan penginderaan jauh harus sejalan dengan tujuan RUU Keantariksaan dan memenuhi misi bidang penginderaan jauh LAPAN, yaitu: “Mengembangkan kemampuan teknologi sistem sensor penginderaan jauh, sistem stasiun bumi, akuisisi data dan memaksimalkan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk mendukung inventarisasi dan permantauan sumber daya alam, ketahanan pangan dan
71
Triharjanto dan Widipaminto, Penggunaan Satelit Penginderaan Jauh di Indonesia, hlm. 4.
72
Kedeputian Penginderaan Jauh, Annual Report 2010: Pengembangan Teknologi, Data, dan Pemanfaatan Penginderaan Jauh, (Jakarta: LAPAN, 2010), hlm. 38. 73
Indonesia, RUU Keantariksaan.
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
19 lingkungan serta mitigasi bencana dan menjadi pembina nasional penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi penginderaan jauh.”
74
Menyadari pentingnya teknologi penginderaan jauh dan potensi wilayah serta sumber daya alam Indonesia, maka RUU Keantariksaan dapat menjadi payung perlindungan dan pedoman hukum bagi kegiatan ini. RUU Keantariksaan merupakan landasan bagi semua kegiatan keantariksaan secara umum sekaligus memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat di dalamnya. Selanjutnya, kegiatan penginderaan jauh akan diatur secara lebih komprehensif dalam suatu peraturan pelaksanaan agar dapat mewujudkan kemandirian dan daya saing bangsa secara internasional. Penutup Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan terbentuknya prinsip internasional UN Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space 1986 dan implementasinya melalui kebijakan nasional di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Berdasarkan tujuan tersebut, maka terdapat tiga kesimpulan dalam skripsi ini. Pertama, prinsip internasional UN Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space 1986 lahir dari kebutuhan negara-negara akan suatu pedoman internasional mengenai kegiatan penginderaan jauh yang mulai berkembang sejak peluncuran Landsat 1 pada tahun 1972. Penginderaan jauh memiliki manfaat ganda (dual-use), yaitu secara sipil (kesejahteraan) dan militer (pertahanan dan keamanan), sehingga pengoperasian teknologi ini harus dilakukan dengan landasan hukum yang baik dan tepat sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan dengan tertib, teratur, dan tentunya dapat menjaga serta mempertahankan perdamaian internasional. Pada tahun 1970, komite PBB United Nations Committee for the Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS) melalui Sub-komite Bidang Hukum membentuk Kelompok Kerja Khusus (Special Working Group) untuk merancang prinsip-prinsip penginderaan jauh. Sejak awal perundingannya, komite ini sulit mencapai kata sepakat dalam beberapa isu spesifik dan prinsip-prinsip dasar. Dua pertimbangan besar yang terus memperpanjang perdebatan adalah mengenai penggunaan secara ekonomis dari kegiatan penginderaan jauh dan pemanfaatan data secara militer dari kegiatan ini. 74
Misi Bidang Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
20 Kedua, secara umum, semua kebijakan nasional mengenai penginderaan jauh di
berbagai negara mengandung prinsip dasar yang sama, yaitu mengizinkan akses terhadap citra hasil penginderaan jauh yang berkaitan dengan manfaatnya di bidang ilmu pengetahuan, sosial dan ekonomi; dan membatasi akses terhadap citra hasil penginderaan jauh yang berkaitan dengan alasan keamanan nasional. Perbedaan kebijakan nasional terletak pada pembatasan resolusi data yang disebarkan, penolakan akses terhadap negara-negara tertentu, pemberian izin dan lisensi bagi pihak-pihak yang akan melaksanakan kegiatan penginderaan jauh, dan lain-lain. Ketiga, penginderaan jauh diatur dalam RUU Keantariksaan BAB IV Bagian Ketiga, Pasal 21 – Pasal 29. Pasal-pasal ini mengatur penginderaan jauh secara umum, perolehan data, pengolahan data, penyimpanan dan pendistribusian data, serta pemanfaatan data dan diseminasi informasi. Pada dasarnya, ketentuan-ketentuan ini sesuai dengan Prinsip tentang Penginderaan Jauh 1986. Semua kegiatan penginderaan jauh secara lebih komprehensif akan diatur dalam Peraturan Pemerintahan, Peraturan Menteri, peraturan Lembaga dan peraturan pelaksanaan lainnya setelah RUU Keantariksaan ini diselesaikan. Terkait dengan data, khususnya dengan resolusi tinggi, pengguna terbesarnya adalah instansi pemerintahan untuk kepentingan pembangunan nasional dan juga militer. Untuk menciptakan efisiensi penggunaan anggaran negara dan menghindari duplikasi alokasi anggaran dalam pengadaan data satelit penginderaan jauh resolusi tinggi, maka dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2012 tentang Penyediaan, Penggunaan, Pengendalian Kualitas, Pengolahan, dan Distribusi Data Satelit Penginderaan Jauh Resolusi Tinggi, yang menginstruksikan bahwa instansi-instansi pemerintahan meminta data resolusi tinggi yang disediakan secara integrasi oleh LAPAN bersama dengan Badan Informasi Geospasial. LAPAN bertanggung jawab melaksanakan operasional dan perawatan perekaman atau akusisi data satelit, pengolahan data, archiving atau pengarsipan (bank data), reproduksi data hingga distribusi data penginderaan jauh. Melalui LAPAN, data-data dari berbagai satelit diterima, diolah dan didistribusikan kepada instansi-instansi terkait yang membutuhkannya.
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
21
Daftar Pustaka Buku Aoki, Setsuko. Regulation of Space Activities in Japan, Space Regulations Library Series: National Regulation of Space Activities. Vol. 5. London: Springer, 2010. Christol, Carl Quimby. The Modern International Law of Outer Space. New York: Pergamon Press, 1982. _____. Space Law: Past, Present and Future. Deventer: Kluwer, 1991. Hill, Charles W.L. Global Business Today. ed. 2. New York: McGraw-Hill, 2003. Kaul, Ranjana dan Ram S. Jakhu. Regulation of Space Activities in India, Space Regulations Library Series: National Regulation of Space Activities. Vol. 5. London: Springer, 2010. Kedeputian Penginderaan Jauh. Annual Report 2010: Pengembangan Teknologi, Data, dan Pemanfaatan Penginderaan Jauh. Jakarta: LAPAN, 2010. Lyall, Franchis dan Paul B. Larsen. Space Law: A Treatise. Surrey: Ashgate Publishing Limited, 2009. Maini, Anil K dan Varsha Agrawal. Satellite Technology Principles and Applications. Chichester: John Wiley & Sons, Ltd, 2011. Nelson, Stacy A.C. Et. al. Remote Sensing. New York: Springer, 2012. Purwadhi dan Sanjoto TB. Pengantar Interpretasi Citra Penginderaan Jauh. Jakarta: Pusat Data Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa, 2010. Verschoor, Diedriks. Introduction to Space Law. Alphen aan den Rijn: Kluwer Law International, 2008. Artikel Achilleas, Philippe. “French Remote Sensing Law.” The 2nd International Conference on the State of Remote Sensing Law, Journal of Space Law. (Vol. 34, 2008). Ambrosetti, Eleonora. “The Relevance of Remote Sensing to Third-World Economic Development: Some Legal and Political Aspects.” 12 New York University Journal of International Law & Policy. (1980). Christol, Carl Quimby. “Remote Sensing and International Space Law.” 16 Journal of Space Law. (1988).
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
22
DeSaussure, H. “Remote Sensing Regulation by National and International Law.” 15 Rutgers Computer and Tech. Law Journal. (1989). Gillon, Thomas. “Regulating Remote Sensing Space Systems in Canada – New Legislation for a New Era.” The 2nd International Conference on the State of Remote Sensing Law, Journal of Space Law. (Vol. 34, 2008). Weaver, Jefferson Hane. “Lessons in Multilateral Negotiations: Creating A Remote Sensing Regime.” 7 Temp. Int'l & Comp. Law Journal 29. (1993). Chin, Carrey A. “A Study on the Commercialization of Space-Based Remote Sensing in the Twenty-First Century and its Implications to United States National Security.” Thesis submitted to Naval Postgraduate School in partial fulfillment of the requirements for the degree of Master of Science in Systems Engineering Management, Monterey, California, 2011. Gabrynowicz, Joanne Irene. “The Land Remote Sensing Laws and Policies of National Governments: A Global Survey by the National Center for Remote Sensing, Air and Space Law at the Mississippi School of Law.” Makalah disampaikan dalam Report for U.S. Department of Commerce/National Oceanic and Atmospheric Administration’s Satellite and Information Service Commercial Remote Sensing Licensing Program, 3 Januari 2007. Onoda, Masami. “Global Earth Observation for Compliance of International Environmental Agreements.” Makalah disampaikan pada Proceedings of the 48th Colloquium on the Law of Outer Space, Fukuoka, 17-21 Oktober 2005. Zissis, George I. “The Development of Remote Sensing of Earth Resources.” A compilation of papers prepared for the 13th meeting of the Panel on Science and Technology, U.S. House of Representatives, Committee on Science and Astronautics, 1982. NASA. “Remote Sensing.” http://earthobservatory.nasa.gov/ Features/RemoteSensing/. Diunduh 27 April 2013. _____. “TIROS Mission.” http://science.nasa.gov/missions/tiros/. Diunduh 27 April 2013. Portal Nasional RI. “Sekilas Indonesia.” http://www.indonesia.go.id/in/sekilasindonesia/geografi-indonesia. Diunduh 17 Juni 2013. R.H., Triharjanto dan Widipaminto, A. “Penggunaan Satelit Penginderaan Jauh di Indonesia.” http://www.geocities.ws/rtriharjanto/Paper_postel_ remotesensing_intro1.pdf. Diunduh 14 Juni 2013. Tarmansyah, Umar S. “Urgensi Teknologi Penginderaan Jauh Satelit untuk Pertahanan Keamanan dan Pembangunan Nasional.” http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/urgensi-teknologi-penginderaan-jauhsatelit-untuk-pertahanan-keamanan-dan-pembangunan-nasion . Diunduh 27 April 2013. United Nations. U.N.Doc. A/AC.105/92 (May 26, 1971).
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
23
_____. U.N.Doc. A/AC.105/111 (1973). _____. Report of the Working Group on Remote Sensing of the Earth by Satellites on the Work of Its Third Session, UNCOPUOS, at 26, U.N.Doc. A/AC.105/125 (1974). _____. Report of the Legal Sub-Committee on the Work of Its Fifteenth Session, UNCOPUOS, U.N.Doc. A/AC.105/171, Annex 4 (1976). Peraturan Indonesia. Rancangan Undang-Undang Tentang Keantariksaan. United Nations. Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space 1986. UNGA Res. 41/65. U.N.Doc. A/AC.105/C.2/24.450 (1986). United States. Land Remote Sensing Act of 1992. Pub. L. No. 102-555, ß 501, 106 Stat. 4163, 4176 (codified as amended at 15 U.S.C. ß 5651 (Supp. II 2008)).
Universitas Indonesia
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013
Penerapan United..., Grace Gabriella Binowo, FH UI, 2013