TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PRINSIP 5C (THE FIVE C’S OF CREDIT) DALAM ANALISIS PEMBERIAN KREDIT DAN PENGARUHNYA DALAM PENCEGAHAN TERJADINYA KREDIT BERMASALAH PADA PT.BANK X TBK CABANG BOGOR Andita Pritasari Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Hukum Tentang Kegiatan Ekonomi
ABSTRAK Terjadinya fenomena kredit bermasalah merupakan salah satu resiko yang dapat ditemui dalam kegiatan perkreditan perbankan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menerapkan prinsip kehati-hatian dalam perkreditan guna mencegah terjadinya kredit bermasalah di kemudian hari adalah dengan menerapkan suatu analisis yang akurat dan mendalam saat menilai kelayakan atas suatu permohonan fasilitas kredit. Skripsi ini membahas perihal Penerapan Prinsip 5C (The Five C’s Of Credit) dalam analisis pemberian kredit dan pengaruhnya dalam pencegahan terjadinya kredit bermasalah pada PT Bank X Tbk Cabang Bogor. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian studi kepustakaan atau yuridis normatif. Hasil penelitian kemudian menyimpulkan bahwa Bank X memiliki pedoman perkreditan yang telah sesuai berdasarkan ketentuan Bank Indonesia di mana di dalamnya telah memuat kriteria analisis secara rinci untuk menggali tiap aspek dari Prinsip 5C guna menilai kelayakan calon debitur. Selain itu penerapan prinsip ini cukup berpengaruh dalam pencegahan terjadinya kredit bermasalah pada Bank X yang ditandai dengan rendahnya angka kredit bermasalah yang terjadi bila dibandingkan dengan total jumlah pinjaman dana yang disalurkan hingga periode tertentu. Kata kunci : Prinsip 5C, Analisis Kredit, Kredit Bermasalah ABSTRACT The phenomenon of non-performing loans is one of the risks that usually arise up in the bank lending activities. The accurate and depth analysis in assessing the feasibility of an application credit facility is needed as a method that can be done in order to implement the precautionary principle in matters concerning financial credit and loans. This thesis tries to consider in-depth about the implementation of the five c’s of credit principle in analysing lending and its effect in preventing the non performing loan at Bank X Tbk Bogor. The research was done by using the library research method or normative juridical. Afterwards, the researcher found a conclusion that Bank X already has its lending guidelines according to the Bank of Indonesia Regulation which contains detailed criterias for them to analysis every five C’s principle in assessing the feasibility of the aplicants. Besides, the researcher also found that the implementation of this principle is quite affecting Bank X in order to prevent the non performing loan at the bank which is indicated by the low of the number of non performing loan that occured if compare to the total amount of loan funds that channeled until a certain period. Key words : The Five C’s Of Credit Principle, Credit Analysis, Non Performing Loan
1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sistem keuangan merupakan suatu sistem yang dibentuk oleh lembaga-lembaga yang mempunyai kompetensi yang berkaitan dengan seluk-beluk di bidang keuangan.1 Hal ini berarti bahwa sistem keuangan itu sendiri tidak lain tersusun dari lembaga-lembaga keuangan yang kemudian memiliki fungsi utama sebagai lembaga perantara dalam sektor keuangan (financial intermediation) dimana tugas utamanya adalah menjadi suatu penghubung antara dua pihak yang memiliki keadaan berkebalikan dalam bidang keuangan, yakni antara pihak yang memiliki dana berlebih (surplus of fund) sementara di sisi lainnya adalah pihak yang kekurangan dana (lack of fund).2 Sistem keuangan memegang peranan krusial dalam rangka kelancaran suatu transaksi perekonomian yang diharapkan akan berimbas kepada pertumbuhan dan perkembangan keadaan perekonomian dalam suatu negara. Sistem keuangan Indonesia pada prinsipnya dapat dibedakan ke dalam dua kelompok yakni sistem moneter yang terdiri dari sistem perbankan dan otoritas moneter sementara kelompok lainnya adalah sistem lembaga keuangan lainnya di luar sistem moneter. Lembaga keuangan yang termasuk ke dalam sistem perbankan adalah lembaga keuangan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dan dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.3 Oleh karena kewenangannya untuk dapat menerima suatu simpanan dana yang berasal dari masyarakat maka lembaga keuangan dalam sistem perbankan dapat disebut sebagai suatu depository financial institutions. Sistem perbankan Indonesia telah diatur secara garis besar di antaranya dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Posisi suatu lembaga keuangan bank sebagai depository financial institutions juga diimbangi dengan suatu fungsi intermediasi. Hal ini yang juga kemudian ditegaskan dalam Undang-Undang bahwa fungsi utama dari sistem perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. 1
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011),
2
Ibid., hal.3
3
Djoni.S.Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hal.39
hal.1
Sebagai salah satu sumber dana bagi masyarakat, bank melakukan kegiatan penyaluran dana di antaranya melalui bentuk perkreditan. Kredit didefiniskan sebagai suatu penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.4 Pada kegiatan perbankan dikenal suatu prinsip yang disebut dengan prinsip kehati-hatian (prudential banking principle). Undang-Undang Perbankan menyebutkan bahwa Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.5 Sebagai salah satu komponen penting dalam kegiatan perbankan yang juga menyokong kokohnya sistem keuangan nasional, kegiatan perkreditan harus dikelola secara hati-hati dalam setiap aspeknya. Kualitas kredit sebagai salah satu bagian dari aktiva produktif bank tentu akan berpengaruh terhadap keadaan likuditas bank yang juga berdampak kepada keadaan perekonomian nasional dalam skala besarnya. Sumber dana perbankan yang disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kegiatan kredit tersebut bukanlah semata-mata dana pribadi di bawah kepemilikan bank melainkan dana tersebut berasal dari simpanan para nasabahnya. Apabila sejumlah dana dalam jumlah besar yang disalurkan oleh bank kepada masyarakat melalui kredit tersebut tidak dapat dikembalikan sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan maka kualitas kredit dapat digolongkan sebagai kredit bermasalah ataupun seringkali disebut dengan istilah Non Performing Loan (NPL). Tingkat NPL yang tinggi akan berimplikasi kepada terganggunya likuditas dari bank yang bersangkutan, kondisi ini bisa bertambah parah apabila kemudian para nasabah penyimpan tibatiba banyak yang menarik simpanannya dalam jumlah besar dimana bank mau tidak mau harus memberikan pembayaran tepat saat itu juga, tidak boleh menunda-nunda atau menolak akibatnya bank tersebut bisa mengalami kesulitan likuiditas.6 Bila hal ini terjadi maka kepercayaan dari para nasabah akan dipertaruhkan bagi kelangsungan kegiatan usaha bank. 4
Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang RI No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, UU No.10 Tahun 1998, LN No.182 Tahun 1998, TLN No.3790, Pasal 1butir 11 5
Ibid., Ps.23 ayat (2).
6
Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank (Jakarta : Alfabeta, 2003) hal.2
Penting disadari kemudian, bahwa dalam setiap pemberian kredit akan selalu dihadapkan pada suatu risiko. Adapun sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 butir ke-6 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Resiko Bagi Bank Umum bahwa yang menjadi risiko kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada bank. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menerapkan prinsip kehati-hatian dalam perkreditan guna mencegah terjadinya kredit bermasalah di kemudian hari adalah dengan menerapkan suatu analisis yang akurat dan mendalam saat menilai kelayakan atas suatu permohonan fasilitas kredit. Secara umum, terdapat 5 hal utama yang digunakan sebagai instrumen analisis dan menjadi tolak ukur penilaian dari bank untuk memberikan persetujuan atau sebaliknya penolakan atas permohonan kredit yang diajukan oleh calon debitur yang dikenal dengan Prinsip 5C (The Five C’s Of Credit) yang terdiri dari aspek Character (Watak), Capacity (Kemampuan), Capital (Modal), Condition of Economy (Kondisi Ekonomi), Collateral (Agunan). Hal inilah yang kemudian membuat Penulis ingin mendalami lebih lanjut perihal perihal penerapan Prinsip 5C (The Five C’s Of Credit) dalam analisis pemberian kredit dan pengaruhnya kemudian sebagai bagian dari upaya pencegahan terjadinya kredit bermasalah di kemudian hari, dimana dalam hal ini penulis melakukan studi penelitiannya pada PT.Bank X Cabang Bogor. 1.2 Pokok Permasalahan a. Bagaimana penerapan Prinsip 5C (The Five C’s of Credit) dalam analisis pemberian kredit sebagai bentuk pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian (Prudential Banking Principle) pada PT.Bank X Tbk Cabang Bogor? b. Bagaimana pengaruh dari penerapan Prinsip 5C (The Five C’s of Credit) dalam analisis pemberian kredit sebagai bentuk pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian (Prudential Banking Principle) terhadap pencegahan terjadinya kredit bermasalah pada PT. Bank X Tbk. Cabang Bogor?
1.3 Tujuan Penelitian a. Mengetahui lebih lanjut perihal penerapan Prinsip 5C dalam analisis Pemberian Kredit sebagai bentuk pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian (Prudential Banking Principle) Pada PT.Bank X Tbk Cabang Bogor. b. Mengetahui perihal pengaruh dari penerapan Prinsip 5C
dalam analisis
pemberian kredit terhadap pencegahan terjadinya kredit bermasalah di PT. Bank X Tbk. Cabang Bogor. 1.4 Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif. Dalam penelitian ini penulis berusaha mendeskripsikan perihal penerapan prinsip 5C (The Five C’s Of Credit) dalam suatu analisis pemberian kredit lalu dianalisis perihal kesesuaiannya dengan peraturan yang berlaku untuk kemudian dikaitkan dengan pengaruhnya terhadap pencegahan terjadinya kredit bermasalah. Adapun Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah lebih kepada data sekunder. Peneliti disini lebih mengedapankan pada penelusuran studi kepustakaan atau dokumen. Studi kepustakaan dilakukan untuk merumuskan kerangka teori dan konsep. Studi kepustakaan yang dilakukan pun menggunakan berbagai macam sumber pustaka seperti peraturan perundang-undangan, buku, artikel, makalah dll. Namun guna kepentingan melengkapi data-data yang dibutuhkan dalam penelitian, penulis juga menggunakan alat pengumpulan data melalui proses wawancara dengan informan terkait topik permasalahan yang menjadi bahasan penelitian. Jenis bahan hukum yang digunakan dalam rangka pemakaian data sekunder dalam penelitian inipun bervariasi. Adapun jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya adalah : a. Bahan Hukum Primer7 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya adalah UndangUndang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata),
7
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan yang isinya mempunyai kekuatan mengikat terhadap masyarakat seperti Peraturan Perundang-undangan, yurisprudensi, traktat dan sebagainya.
Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Bank Indonesia No. 8/2/PBI/2006 jo. Peraturan Bank Indonesia No.9/6/2007 jo. Peraturan Bank Indonesia No.11/2/PBI/2009 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Umum, SK Direksi BI No.27/162/KTP/DIR dan SE BI No.27/7/UPPB masing-masing tanggal 31 Maret 1995 Tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bagi Bank Umum, dan masih banyak lagi. b. Bahan Hukum Sekunder8 Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya seperti buku-buku, artikel-artikel ilmiah dari media cetak maupun media elektronik, bahan-bahan seminar, perjanjian kredit bank, skripsi dan bahan hukum sekunder lain yang memiliki relevansi dengan topik penelitian yang dapat dijadikan sebagai referensi. c. Bahan Hukum Tersier9 Adapun bahan hukum tersier yang digunakan sebagai alat studi dokumen dalam penelitian ini di antaranya adalah Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pengumpulan data dengan studi dokumen dalam penelitian ini dilakukan melalui penelusuran terhadap beberapa literatur yang terkait dengan aspek-aspek hukum dalam perkreditan termasuk di dalamnya yang terkait dengan prinsip 5C (The Five C’s Of Credit) yang diterapkan dalam proses analisis pemberian kredit serta beberapa literatur lain yang terkait dengan pembahasan perihal kredit bermasalah. Selain itu dilakukan juga pengkajian terhadap instrumen hukum positif tentang dunia perbankan khususnya dalam pengaturan seputar kegiatan perkreditan. Sedangkan pengumpulan data melalui proses wawancara adalah suatu penggalian informasi yang dilakukan dengan pertanyaan baik dengan menggunakan panduan (pedoman) wawancara maupun kuisioner (daftar pertanyaan).10 Adapun wawancara dalam penelitian kali ini di antaranya dilakukan dengan informan yakni account officer bagian perkreditan PT.Bank XYZ Tbk. Cabang Bogor yang tugasnya memang melakukan kegiatan analisis kredit sebagai bagian dari prosedur proses pemberian kredit di PT. Bank XYZ Tbk. Cabang bogor. 8
Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan isi bahan hukum primer serta implementasinya. Dikutip dari Sri Mamudji et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal.31. 9
Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder. Dikutip dari Ibid. 10
Ibid., hal.50
2. Pembahasan 2.1 Pedoman Perkreditan Sebagai Bagian dari Regulasi Perkreditan Pengaturan perkreditan juga terdapat pengaturannya secara internal pada masing-masing bank dalam bentuk Pedoman Perkreditan atau Peraturan Perkreditan. Pedoman perkreditan yang harus ada di masing-masing bank umum berdasarkan Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UndangUndang Perbankan, harus memuat aturan tentang : a. Pemberian kredit harus dibuat dalam perjanjian tertulis b. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya. Keyakinan tersebut harus berdasarkan hasil penilaian terhadap Prinsip 5C atau The Five C’s Of Credit (Character, Capacity, Capital, Collateral dan Condition of Economy) c. Bank wajib menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah d. Bank wajib memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. e. Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada nasabah debitur atau pihak terafiliasi f. Bank wajib menetapkan aturan tentang cara-cara penyelesaian sengketa. Selain daripada ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Perbankan tersebut, pengaturan perihal pedoman perkreditan lebih lanjut ditegaskan dalam SK Direksi BI No.26/162/KTP/DIR tanggal 31 Maret 1995 yang mewajibkan kepada setiap bank untuk memiliki kebijakan perkreditan bank (KPB) secara tertulis dalam
melaksanakan kegiatan
perkerditannya serta harus melampirkan juga ketentuan yang lebih terperincinya dalam Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKB) yang sekurang-kurangnya memuat atau mengatur11 : a. Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan12 11
M.Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007) hal. 81. 12
Pada bagian prinsip kehati-hatian ini setidak-tidaknya harus diatur perihal kebijakan pokok perkreditan yang sehat, tatacara penilaian kualitas kredit, profesionalisme dan integritas pejabat kredit, kredit kepada pihak terkait, serta pemberian kredit yang perlu dihindari.
b. Organisasi dan manajemen perkreditan13 c. Kebijakan persetujuan kredit14 d. Dokumentasi dan administrasi kredit15 e. Pengawasan dan penyelesaian kredit bermasalah.16 Melalui ketentuan tersebut diharapkan bank dapat mempunyai panduan yang jelas sebagai pedoman pelaksanaan perkreditannya. Dengan demikian resiko yang mungkin timbul sedini mungkin dapat dideteksi dan dikendalikan, sekaligus dapat menghindarkan dari kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam pemberian kredit.17 2.2 Analisis Kredit Apabila suatu bank telah menerima suatu permohonan fasilitas kredit dari calon debitur maka tahap yang selanjutnya penting untuk dilakukan adalah analisis kredit. Untuk mengantisipasi dan meminimalkan resiko terjadinya kredit-kredit yang tidak terbayar oleh debitur nantinya pada saat jatuh tempo perlu dilakukan suatu analisis kredit.18 Kredit yang diberikan tanpa didahului oleh analisis kredit yang profesional dapat diragukan mutunya. Hal ini dikarenakan tujuan dari analisis kredit itu sendiri adalah untuk menilai mutu permintaan kredit baik kredit baru yang diajukan oleh calon debitur baru maupun permintaan tambahan kredit yang diajukan oleh kreditur lama.19 Hal ini berarti hasil analisis kredit sangat menentukan terhadap persetujuan atas suatu permohonan kredit serta kualitas kredit tersebut di kemudian hari. Mutu 13
Pada bagian organisasi dan manajemen perkreditan ini mengatur hal-hal mencakup Pengendalian intern dalam proses perkreditan, komite kebijaksanaan perkreditan dan komite kredit, tugas dan wewenang direksi dalam perkreditan, tugas dan wewenang komisaris dalam perkreditan. 14
Dalam bagian kebijakan persetujuan kredit ini memuat perihal persetujuan kredit mempertimbangkan konsep hubungan total pemohon kredit, proses persetujuan kredit, permohonan kredit, rekomendasi persetujuan kredit, pemberian persetujuan kredit, perjanjian kredit, dan mengenai persetujuan pencairan. 15
Pada bagian dokumentasi dan administrasi kredit ini yang dimuat di dalamnya adalah mengenai pencatatan dan pembukuan seluruh kredit yang dilakukan dengan benar, administrasi kredit harus ada unsur pengendalian intern, penetapan pejabat dan satuan kerja perkreditan serta penyusunan statistik perkreditan. 16
Pada bagian ini memuat hal-hal yang mencakup kegiatan mengawasi pelaksanaan kredit sesuai KPB, pemberian kredit, penilaian kolektabilitas kredit, pembinaan kepada debitur, kebenaran pemberian kredit, kebenaran pengadministrasian kredit dan kecukupan PPAP. 17
Iswi Hariyani, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet ( Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2010) , hal.13 18 19
Suharno, Analisa Kredit ; Dilengkapi dengan contoh kasus (Jakarta : Djambatan,2004) hal.61
Siswanto Sutojo,Menangani Kredit Bermasalah : Konsep dan Kasus (Jakarta : PT Damar Mulia Pustaka, 2008), hal.73.
permintaan kredit dapat diukur dari prospek kemampuan dan kesediaan calon debitur melunasi kredit sesuai dengan isi perjanjian kredit. Adapun sesuai dengan ketentuan yang terdapat Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.27/162/KEP/DIR/1995 Tentang Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKB) bahwa dalam Analisis kredit harus dibuat secara lengkap, akurat dan obyektif yang sekurang-kurangnya meliputi hal-hal sebagai berikut : a. menggambarkan semua informasi yang berkaitan dengan usaha dan data pemohon termasuk hasil penelitian pada daftar kredit macet, b. penilaian atas kelayakan jumlah pemohonan kredit dengan proyek atau kegiatan usaha yang akan dibiayai, dengan sasaran menghindari kemungkinan terjadinya praktek nark-up yang dapat merugikan bank, c. menyajiakan penilaian yang obyektif dan tidak dipengaruhi oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit. Analisis kredit tidak boleh merupakan suatu formalitas yang dilakukan semata-mata untuk memenuhi prosedur kredit. Seorang account officer dalam melakukan penelitian terhadap indikator-indikator yang menjadi aspek penting untuk dinilai dari suatu permohonan kredit yang diterimanya akan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut20 : a. Jumlah yang akan diberikan. Semakin besar kredit yang diberikan maka semakin besar resiko yang akan ditanggung oleh bank. Dengan demikian, semakin besar jumlah kredit yang diminta calon debitur, maka semakin dalam juga analisis terhadap aspek-aspek penting dari permohonan tersebut baik secara sendiri-sendiri maupun secara keseluruhan. b. Jangka waktu kredit. Semakin lama jangka waktu pelunasan kredit yang akan diberikan maka akan semakin besar pula resiko yang akan ditanggung oleh bank. Oleh karena itu, semakin lama jangka waktu kredit yang akan diberikan harus diiringi dengan semakin dalamnya kegiatan analisis dilakukan. c. Jenis dan jumlah nilai jaminan kredit yang akan disediakan oleh debitur.
20
Ibid., hal.74-75.
Apabila nilai jamnan jauh lebih tinggi dari jumlah kredit yang akan diberikan, apalgi bila barang-barang yang disediakan sebagai jaminan mudah untuk dijual atau dicairkan, maka resiko kredit tidak terbayar kembali oleh kreditur adalah lebih kecil. Oleh karena itu, apabila kredit yang akan diberikan dapat dijamin dengan harta yang mudah dicairkan dan nilainya lebih tinggi dari nilai kredit yang akan diberikan, account officer yang ditugaskan untuk melakukan analisis permintaan kredit biasanya akan lebih mudah memberikan analisis yang baik guna rekomendasi persetujuan kredit. d. Reputasi calon debitur dan perusahaannya di masyarakat. Analisis kelayakan permintaan kredit yang diajukan oleh calon debitur yang reputasi keberhasilan bisnisnya di dalam atau di luar negeri cukup cemerlang tentu akan berbeda dengan analisis terhadap permohonan debitur yang tidak memiliki reputasi baik atas dirinya sendiri ataupun usaha yang dijalankannya. e. Hubungan antara calon debitur dengan bank. Hubungan antara calon debitur dengan bank dapat berupa pembukaan rekening giro oleh calon debitur, simpanan, deposito ataupun penerimaan kredit. Oleh karena itu, sebelum bank mengetahui perihal reputasi calon debitur biasanya analisis atas kelayakan permintaan kredit yang mereka ajukan akan dibatasi pada faktor-faktor tertentu saja. 2.3 Penerapan Prinsip 5C Dalam Analisis Pemberian Kredit di PT. Bank X Tbk. Cabang bogor Pelaksanaan kegiatan perkreditan Bank X diatur ketentuannya dalam Pedoman Pelaksanaan Kredit PT Bank X Tbk.21 Adapun penerapan prinsip 5C (The Five C’s Of Credit) dalam analisis pemberian kredit yang terdapat dalam pedoman pemberian kredit pada Bank X adalah sebagai berikut : 1. Analisis Watak (Character)22
21
Berdasarkan Surat Keputusan Direksi PT Bank X Tbk Nomor S. 26 - DIR/ADK/06/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Perkreditan Bisnis Ritel PT Bank X Tbk sebagaimana diubah terakhir dengan Surat Keputusan Direksi PT Bank X Tbk Nomor S.3.a- DIR/ADK/02/2008 tentang Revisi Pedoman Pelaksanaan Perkreditan Bisnis Ritel PT Bank X Tbk. 22
Bank X, Pedoman Pelaksanaan Kredit Bisnis Ritel PT.Bank X Tbk (Jakarta : PT Bank X Tbk, 2006), Bab 4 huruf D angka 3 huruf b Nomor vi.4.a
Analisis watak bertujuan untuk mendapatkan gambaran akan kemauan membayar dari pemohon. Untuk mendukung analisis watak ini, maka account officer harus meneliti perilaku pemohon dari berbagai sumber informasi yang relevan antara lain mengenai : a) Reputasi bisnis/reputasi perusahaan b) Riwayat perusahaan c) Catatan kriminal, d) Riwayat hidup dan atau riwayat pernikahan, e) Gaya hidup f)
Tingkat kooperatif selama proses analisis dilakukan,
g) Tingkat hubungan/kerjasama dengan bank, h) Kecenderungan berbisnis selama ini. i)
Budaya perusahaan,
j)
Legalitas usaha pemohon.
k) Akte pendirian badan usaha beserta perubahannya. l)
Informasi Bank (BI) , rekan bisnis, pesaing, dsb
m) Catatan Intern bank. 2. Analisis Kemampuan (Capacity)23 Analisis ini bertujuan mengukur tingkat kemampuan membayar dari pemohon. Hal-hal yang perlu diperhatikan: a. Tingkat kemampuan membayar diperoleh dari hasil usaha obyek yang akan dibiayai oleh bank. Untuk kredit konsumtif kemampuan membayar diukur dari penghasilan (gaji). Hasil analisis ini merupakan sumber pembayaran yang bersifat “first
way
out”.
Perlu
digarisbawahi
bahwa
:
pencairan
agunan,
penanggungan/garansi, risk sharing, klaim asuransi merupakan “second way out”. b. Tingkat kemampuan membayar untuk kredit produktif dipengaruhi oleh: 1) Aspek Manajemen . Aspek manajemen adalah kemampuan pengelolaan perusahaan. 2) Aspek Produksi. Analisis aspek produksi bertujuan untuk mengetahui kemampuan pemohon
23
Ibid, Bab 4 huruf D angka 3 huruf b Nomor vi.4.b
3) Aspek Pemasaran. Tujuan analisis terhadap aspek pemasaran adalah untuk menilai kemampuan pemohon dalam memasarkan produknya. 4) Aspek Personalia. Analisis aspek personalia bertujuan untuk menilai kemampuan perusahaan dari sisi kuantitas maupun kualitas tenaga kerja yang mendukung aktivitas perusahaan dan kemampuan perusahaan memelihara hubungan baik antara tenaga kerja dengan perusahaan/ pemilik perusahaan. 5) Aspek Finansial. Beberapa hal yang perlu diperhatikan Account Officer dalam melakukan analisis aspek finansial antara lain adalah laporan keuangan yang diberikan oleh nasabah secara berkala dan rasio keuangan usaha pemohon selama minimal 2 (dua) periode terakhir. 3. Analisis Modal (Capital)24 Tujuan analisis modal adalah mengukur kemampuan usaha pemohon untuk mendukung pembiayaan dengan modalnya sendiri (own share). Semakin besar kemampuan modal berarti semakin besar porsi pembiayaan yang didukung oleh modal sendiri atau sebaliknya. Untuk mencapai tujuan tersebut Account Officer harus menganalisis secara cermat informasi sebagai berikut: a. Besar dan komposisi modal sebagaimana dicantumkan dalam akta pendirian perusahaan dan perubahannya. Pelajari secara cermat pasal-pasal yang memuat tentang permodalan. b. Perkembangan profitabilitas usaha selama minimal 2 (dua) periode terakhir. Tinggi rendahnya profitabilitas mencerminkan tinggi rendahnya kemampuan pemupukan modal sendiri dari laba. c. Angka Debt Equity Ratio harus di analisis lebih lanjut dengan melihat komposisi hutang yang ada, baik hutang jangka pendek atau jangka panjang. Jika porsi hutang jangka pendek semakin besar, berarti kondisi likuiditas usaha pemohon semakin rentan, karena dalam waktu pendek pemohon harus melunasi kewajibannya. Account Officer harus menganalisis “term & conditions” dari seluruh hutang tersebut. Bilamana jumlah hutang relatif besar dengan “term & conditions” yang relatif berat 24
Ibid, Bab 4 huruf D angka 3 huruf b Nomor vi.4.c
maka pemrakarsa agar meningkatkan kecermatannya dalam menganalisis kelayakan usaha pemohon. d. Bagi perusahaan yang telah menjual sahamnya di pasar modal (go public) agar diteliti pula perkembangan nilai sahamnya. Naik turunnya harga saham mencerminkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap prospek usaha penerbit saham. 4. Analisis Prospek Usaha /Kondisi Ekonomi (Condition of Economy)25 Untuk mengetahui prospektif atau tidaknya suatu usaha yang hendak dibiayai, Account Officer harus melakukan analisis terhadap kondisi makro usaha/industri sejenis. Selain itu, sejatinya untuk menilai prospek usaha ataupun kondisi ekonomi dari calon nasabah debitur biasanya bank memiliki langganan buletin khusus yang memberikan perihal referensi seputar geliat bisnis dan prediksi-prediksinya tentang sektor bisnis apa saja yang menjanjikan keuntungan di masa mendatang, kemudian bank juga harus tetap memperhatikan ketentuan daftar negatif investasi yang terdapat dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal dalam mencermati kegiatan usaha yang dijalankan oleh calon nasabah debitur. 5. Analisis Agunan (Collateral)26 Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam analisis agunan kredit adalah: a. Fungsi Agunan Agunan (collateral) dapat dikatakan sebagai unsur pengaman lapis kedua (the second way out) bagi Bank X dalam setiap pemberian kredit. Agunan merupakan sumber pelunasan terakhir apabila kredit menjadi bermasalah. Oleh karena itu penilaian terhadap agunan wajib dilakukan sesuai prinsip kehati-hatian dan menggambarkan obyektivitas penilaian yang wajar atas agunan kredit dimaksud. b. Agunan Pokok Sesuai dengan penjelasan Pasal 8 UU RI No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah oleh UU RI No.10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Perbankan, tersirat bahwa agunan pokok, adalah agunan yang 25
Ibid, Bab 4 huruf D angka 3 huruf b Nomor vi.4.d
26
Ibid, Bab 4 huruf D angka 3 huruf b Nomor vi.4.e
pengadaanya bersumber dari dana kredit bank. Agunan ini dapat berupa barang proyek atau hak tagih. Agunan bank dapat hanya berupa agunan pokok tersebut apabila berdasarkan aspek-aspek lain dari Prinsip 5C kredit telah diperoleh keyakinan atas kemampuan pemohon untuk mengembalikan hutangnya. c. Agunan Tambahan Agunan tambahan adalah agunan yang tidak termasuk dalam batasan pengertian proyek atau hak tagih seperti dijelaskan pada agunan pokok di atas. Agunan tambahan menjadi wajib dipenuhi apabila pejabat analis mengalami kesulitan dan pengikatan dan penguasaan agunan pokok. 2.4. Pengertian Kredit Bermasalah dan Penggolongan Kredit Bank Berdasarkan Kualitas Aktiva Produktif Bank Umum Kredit Bermasalah adalah kredit yang tergolong kredit kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit macet. Istilah kredit bermasalah telah digunakan Perbankan Indonesia sebagai terjemahan problem loan yang merupakan istilah yang sudah lazim digunakan di dunia internasional. Istilah lain dalam bahasa Inggris yang biasa dipakai bagi istilah kredit bermasalah adalah non-performing loan.27 Berdasarkan pendapat ini maka dapat disimpulkan bahwa kredit macet adalah bagian dari kredit bermasalah (non-performing loan) atau biasa dikenal dengan sebutan Rasio NPL. Penggolongan kualitas kredit diatur dalam Peraturan BI Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum sebagaimana telah diubah oleh Peraturan BI Nomor 8/2/PBI/2006 tentang Perubahan Atas Peraturan BI Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum jo. Peraturan BI Nomor 9/6/PBI/2007 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan BI Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum jo. Peraturan BI Nomor 11/2/PBI/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan BI Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Adapun penggolongan kualitas kredit tersebut dilakukan oleh bank berdasarkan beberapa faktor penilaian yakni28 : 27
Sutan Remy Sjahdeini, “Menanggulangi Kredit Bermasalah”., (makalah disampaikan pada kuliah Program Magister Hukum, Program Pascasarjana, Universitas Surabaya, Surabaya), hal.1 28
Bank Indonesia (1), Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, PBI No.7/2/PBI/2005, Ps 10. sebagaimana telah diubah oleh PBI 8/2/PBI/2006 jo. PBI 9/6/PBI/2007 jo. PBI 11/2/PBI/2009.
1) Prospek usaha29; Penilaian terhadap faktor prospek usaha yang dijalankan oleh debitur harus berdasarkan komponen-komponen seperti : a. potensi pertumbuhan usaha; b. kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan; c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja; d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan e. upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup. 2) Kinerja (Performance) Debitur30; Penilaian terhadap faktor kinerja debitur harus merujuk kepada beberapa komponen seperti : a. perolehan laba; b. struktur permodalan; c. arus kas; dan d. sensitivitas terhadap resiko pasar. 3) Kemampuan Membayar31 Penilaian terhadap faktor kemampuan membayar dari debitur dilakukan oleh bank berdasarkan komponen-kompenen sebagai berikut : a. ketepatan pembayaran pokok dan bunga; b. ketersediaan dan kekuatan informasi keuangan debitur; c. kelengkapan dokumentasi kredit; d. kepatuhan terhadap perjanjian kredit; e. kesesuaian penggunaan dana; dan f. kewajaran sumber pembayaran kewajiban. Selain daripada faktor-faktor penilaian dan komponen tersebut, penetapan kualitas kredit juga dilakukan dengan mempertimbangkan32 : a. signifikasi dan materialitas dari setiap faktor penilaian dan komponen; serta 29
Ibid., Ps 11 ayat (1)
30
Ibid., Ps 11 ayat (2)
31
Ibid., Ps 11 ayat (3)
32
Ibid., Ps12 ayat (2)
b. relevansi dari faktor penilaian dan komponen terhadap debitur yang bersangkutan Berdasarkan penilaian dan pertimbangan terhadap hal-hal tersebutlah kemudian dapat ditetapkan 5 (lima) spesifikasi kualitas kredit, yakni :33 a. Kredit dengan Kualitas Lancar b. Kredit dengan Kualitas Dalam Perhatian Khusus c. Kredit dengan Kualitas Kurang Lancar d. Kredit dengan Kualitas Diragukan e. Kredit dengan Kualitas Macet 2.5 Pengaruh Penerapan Prinsip 5C (The Five C’s of Credit) Pada Analisis Pemberian Kredit dalam Pencegahan Terjadinya Kredit Bermasalah di PT. Bank XYZ Cabang Bogor Dengan dilakukannya Penerapan Prinsip 5C dalam analisis kredit setidak-tidaknya Pemrakarsa Kredit yang merupakan perwakilan Bank X sebagai kreditur dapat menilai kelayakan seorang calon debitur untuk dapat atau tidaknya diberikan fasilitas kredit. Prinsip 5C yang meliputi aspek Character (Karakter), Capacity (Kemampuan), Capital (Modal), Condition of Economy (Kondisi dan Prospek Usaha) dan Collateral (Agunan) merupakan suatu barometer standar namun hampir telah mengakomodir secara komperhensif perihal apa yang seharusnya dapat dinilai oleh Bank X selaku kreditur mengenai kelayakan seorang calon nasabah untuk dapat memperoleh suatu fasilitas kredit. Apabila analisis dilakukan secara hati-hati maka keputusan-keputusan yang mengikutinya pun akan semakin baik guna memperkecil resiko, misalnya untuk analisis perhitungan jumlah nominal kredit yang akan direalisasikan kemudian serta pengajuan rekomendasi terhadap Pejabat Pemutus Kredit. Apabila Pejabat Kredit benar-benar melakukan penerapan Prinsip 5C secara hati-hati dan menyeluruh dan perhitungan yang matang dalam analisisnya tentu diharapkan akan semakin kecil juga resiko kredit yang akan direkomendasikan tersebut apabila terealisasi nantinya untuk menjadi suatu kredit yang bermasalah di kemudian hari. Akan tetapi, terdapat suatu kondisi dimana sehati-hati apapun suatu analisis pemberian kredit dilakukan kemungkinan terjadinya suatu kredit bermasalah tetaplah terbuka adanya.34 Hal ini disadari betul di dunia perbankan
33 34
Ibid, Ps 12 ayat (3)
Berdasarkan wawancara dengan Bapak ABC, Account Officer PT Bank X Tbk. Cabang Bogor, pada Selasa 2 Oktober 2012
termasuk oleh manajemen kredit Bank X sehingga hal tersebut tidak terlalu menjadi masalah dan menganggap hal tersebut sebagai bagian dari suatu resiko kredit. Adapun Bank X telah memiliki mekanisme mitigasi khusus dalam rangka penanggulangan terjadinya kredit bermasalah. Sebagaimana telah disebutkan di atas, Bank X kemudian membedakan 2 jenis resiko kredit beserta gradasi faktor-faktornya, yakni35 : a. Risiko bisnis adalah risiko kredit yang disebabkan karena faktor-faktor diluar kendali bank, baik yang berasal dari usaha debitur yang bersangkutan, dampak ekonomi secara makro, bencana alam, maupun faktor-faktor lainnya yang bersifat force majeure. Risiko bisnis tersebut tetap dapat terjadi walaupun rangkaian proses pemberian kredit sejak dari penetapan pasar sasaran sampai dengan pengawasan (monitoring)/ pembinaan kredit telah dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan asas-asas perkreditan yang sehat, serta didukung adanya itikad baik dari Pejabat Kredit yang terlibat dalam proses tersebut. Prinsip kehati-hatian dan asas-asas perkreditan yang sehat antara lain meliputi: Telah dilakukan analisis terhadap prinsip 5 C, Proses pemberian kredit didasari oleh itikad baik dari seluruh pejabat kredit lini, Telah dilakukan pengecekan atas kelengkapan dan kebenaran dokumen, Telah dilakukan pengawasan atas pencairan kredit dengan benar, Telah dilakukan monitoring kredit yang dapat dibuktikan secara tertulis. b. Risiko non bisnis adalah risiko yang timbul bukan akibat faktor-faktor yang bersifat bisnis, tetapi karena itikad tidak baik dari Pejabat Kredit Lini antara lain : Tidak melakukan analisis dan evaluasi sesuai prinsip kehati-hatian dan asas-asas perkreditan yang sehat, Pejabat Kredit dibujuk dan atau diintimidasi. Dengan sengaja tidak mau/enggan untuk memproses kredit lanjutan tanpa alasan yang jelas, Menutup-nutupi kredit yang seharusnya telah bermasalah, karena takut penilaian hasil kerjanya rendah, Tidak melakukan monitoring kredit
35
PT Bank X Tbk, op.cit., BAB IV Huruf C Nomor 2
Apabila setelah dilakukannya penelitian dan hasilnya menyatakan bahwa terjadinya kredit bermasalah tersebut dapat digolongkan sebagai suatu resiko bisnis maka hal tersebut akan diatasi melalui berbagai upaya penanggulangan seperti yang terdapat Pedoman Pelaksanaan Kredit Bank X. Akan menjadi berbeda ceritanya apabila ternyata terjadinya jredit bermasalah tersebut adalah suatu resiko non bisnis. Apabila ini yang terjadi maka terhadap pejabat kredit lini yang bertanggung jawab dapat dikenakan sanksi mulai dari yang paling ringan seperti teguran baik lisan maupun tertulis, penurunan jabatan, pemecatan bahkan hingga tuntutan pidana. Adapun berdasarkan data yang penulis peroleh dari hasil wawancara dengan Bapak ABC yang merupakan seorang Account Officer pada PT Bank X Tbk Cabang Bogor, diketahui bahwa prosentase kredit bermasalah (non performing loan) hingga bulan Juni 2012 pada PT Bank X Tbk. Cabang Bogor adalah sebesar 0,59% dari total pinjaman yang telah diberikan 162,457 Milyar hingga Juni 2012.36 Kecilnya prosentase NPL tersebut setidaknya dapat disimpulkan juga berkat telah diterapkannya Prinsip 5C dalam analisis pemberian kredit yang dilakukan oleh Pejabat Lini Kredit PT Bank X Tbk. Cabang Bogor. 2.6 Kendala yang Dihadapi Dalam Pelaksanaan Prinsip 5C dalam Analisis Pemberian Kredit di PT Bank X Tbk. Cabang Bogor Pada kegiatan melakukan suatu proses analisis kredit termasuk penerapan Prinsip 5C di dalamnya yang mana bertujuan untuk dapat mengukur seteliti mungkin perihal kelayakan suatu permohonan kredit yang diajukan oleh calon nasabah debitur, tidak jarang Pejabat Kredit Lini Bank X atau secara lebih khususnya Pejabat Pemrakarsa Kredit menemui beberapa kendala. Adapun kendala-kendala tersebut apabila diurai secara lebih rinci adalah sebagai berikut : a. Target yang Membebani Pejabat Pemrakarsa Kredit37 Bagi tiap Pejabat Kredit atau apabila berbicara lebih sederhananya yakni bagi para account officer dan manajer pemasaran (marketing) terdapat target yang dibebankan perihal jumlah pemberian kredit yang harus dapat tersalurkan tiap tahunnya. Sehingga tentunya sebelum masuk ke dalam tugasnya untuk menganalisis suatu permohonan kredit. 36 Berdasarkan wawancara dengan Bapak ABC, Account Officer PT Bank X Tbk. Cabang Bogor, pada Selasa 2 Oktober 2012 dan Rencana Kerja Anggaran Kantor Cabang PT Bank X Tbk hingga Juni 2012 37
Berdasarkan wawancara dengan Bapak ABC, Account Officer PT Bank X Tbk. Cabang Bogor, pada Selasa 2 Oktober 2012
Para Pejabat Kredit inilah yang harus melakukan pemasaran di lapangan untuk mencari para calon nasabah debitur yang tentunya potensial menguntungkan pihak bank. Menurut Bapak ABC yang merupakan seorang Account Officer pada PT Bank X Tbk Cabang Bogor, analisis yang hati-hati tentu dapat memperkecil resiko terjadinya NPL akan tetapi apabila terlalu berpegang pada apa yang terdapat dalam prosedur maka target tidak akan bisa terpegang dan akhirnya ada beberapa program yang tidak bisa berjalan sehingga perlu dibuat suatu skala prioritas yang baru dalam hal ini. b. Kurang Pengalaman38 Masih terkait dengan pelaksanaan di lapangan, terkadang Pejabat Kredit yang diharuskan melakukan suatu analisis komperhensif terhadap aspek 5C dari seorang nasabah debitur seringkali terbentur oleh kurangnya pengalaman. Pemrakarsa masih sering dihadapkan pada situasi yang membingungkan untuk dapat memperoleh data yang akurat untuk setiap aspek 5C dari masing-masing nasabah debitur. Pemrakarsa tidak boleh mengalami kebuntuan, dan bagaimanapun caranya harus dapat memperoleh data yang akurat yang dapat dijadikan suatu standar penilaian dalam analisis pemberian kredit. c. Karakteristik Nasabah yang Beragam39 Karakteristik nasabah yang sangat beragam tentu membutuhkan penanganan yang berbeda untuk setiap kasusnya. Sifat aspek dari karakteristik itu sendiri yang cenderung absurd karena kasat mata dan penilaiannya hanya dapat dilakukan melalui cara penelitian kualitatif membutuhkan suatu keterampilan khusus dari pemrakarsa untuk dapat menajamkan intuisi guna menilai karakteristik dari seorang calon nasabah debitur. 3. Penutup 3.1 Kesimpulan Dalam penulisan skripsi ataupun penelitian hukum ini terdapat 2 hal penting yang dapat disimpulkan pada akhirnya, yakni : 1. Penerapan Prinsip 5C (The Five C’s of Credit) dalam analisis pemberian kredit sebagai bentuk pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian (Prudential Banking Principle) sesuai dengan 38 Berdasarkan wawancara dengan Bapak ABC, Account Officer PT Bank X Tbk. Cabang Bogor, pada Selasa 2 Oktober 2012 39
Berdasarkan wawancara dengan Bapak ABC, Account Officer PT Bank X Tbk. Cabang Bogor, pada Selasa 2 Oktober 2012
ketentuan Penjelasan Pasal 8 ayat (1) jo. ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 pada PT.Bank X Tbk Cabang Bogor dilakukan dengan cukup cermat dan terstruktur. Setiap masing-masing unsur dari Prinsip Penerapan Prinsip 5C (The Five C’s of Credit) tersebut dielaborasi secara terperinci dalam Pedoman Pelaksanaan Kredit PT Bank X Tbk yang merupakan pedoman perkreditan internal Bank X di mana di dalamnya memuat kriteria-kriteria lebih spesifik lagi guna mendukung unsur utama agar hasil analisis yang diperoleh dapat seakurat mungkin nantinya. Berdasarkan dari hasil penelitian yang penulis uraikan dapat disimpulkan bahwa Penerapan Prinsip 5C dalam analisis pemberian kredit yang dilakukan oleh Bank X telah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia No.7/2/PBI/2005 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan BI Nomor 8/2/PBI/2006 jo. Peraturan BI Nomor 9/6/PBI/2007 jo. Peraturan BI Nomor 11/2/PBI/2009 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang menyebutkan perihal keharusan dilaksanakannya penyediaan dana berdasarkan prinsip kehati-hatian. 2. Bahwa pengaruh dari penerapan Prinsip 5C (The Five C’s of Credit) dalam analisis pemberian kredit sebagai bentuk pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian (Prudential Banking Principle) terhadap pencegahan terjadinya kredit bermasalah pada PT. Bank X Tbk. Cabang Bogor dapat disimpulkan cukup berpengaruh. Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan dengan pejabat analis kredit Bank X diketahui bahwa semakin teliti dan cermat menerapkan tiap unsur dari Prinsip 5C (The Five C’s of Credit) dalam melakukan analisis pemberian kredit guna mengetahui kelayakan calon nasabah debitur untuk menerima kredit, maka resiko kredit yang diberikan akan menjadi suatu bermasalah nantinya dapat diminimalisir dan angka NPL pun dapat ditekan. Penerapan Prinsip 5C yang sesuai dengan ketentuan internal bank mengharuskan kepada pejabat analis kredit untuk dapat menyimpulkan faktor kelebihan dan kekurangan dari suatu calon nasabah debitur berdasarkan analisisnya secara akurat. Berangkat dari hal ini dapat dilakukan suatu upaya pengenalan dini atau prediksi terhadap peluang terjadinya kredit bermasalah terhadap
suatu
fasilitas
kredit
penanggulangannya kemudian.
yang
akan
diberikan
berikut
dengan
upaya
3.2 Saran Saran yang dapat penulis berikan terkait dengan topik yang dibahas dalam skripsi ini adalah : 1. Pelaksanaan Prinsip 5C (The Five C’s of Credit) sebagai bentuk pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian (Prudential Banking Principle) yang sesuai dengan ketentuan Pasal 8 UU No.7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 perlu kiranya harus tetap diperhatikan dan diterapkan benar dalam proses analisis pemberian kredit oleh bank di samping memenuhi target pemasaran yang ditetapkan. Hal ini tidak lain agar hasil analisis yang diperoleh mengenai kelayakan calon nasabah debitur untuk dapat menerima fasilitas kredit dapat lebih akurat dan benar-benar menjadi suatu upaya prefentif bagi terjadinya kredit bermasalah di kemudian hari atas kredit yang diberikan. Perlu disadari sebagai suatu hal yang paling penting dan juga paling mendasar kemudian adalah bahwa dana yang disalurkan oleh bank melalui kegiatan pemberian kredit merupakan dana milik nasabah penyimpan yang ketersediaannya mempengaruhi tingkat likuiditas bank sehingga harus dikelola dengan sangat memperhatikan prinsip kepercayaan dan prinsip kehati-hatian. 2. Dalam melaksanakan proses analisis kredit yang berpatokan pada penilaian terhadap unsur yang terdapat dalam Prinsip 5C (The Five C’s of Credit), pihak Bank dituntut untuk harus selalu memiliki daya kreativitas serta diikuti oleh ketelitian yang tinggi. Pengembangan daya kreativitas yang diikuti oleh sifat ketelitian dapat diperoleh dengan seringnya terjun langsung ke lapangan demi mengetahui kelayakan calon nasabah debiturnya. Dengan seringnya mengenal langsung keadaan lapangan calon nasabah debitur maka Bank, di mana dalam hal ini adalah pejabat analis kreditnya, semakin dapat mengkotak-kotakan suatu kondisi atau kecenderungan yang dapat menjadi preseden dalam menunjang tugas-tugasnya selanjutnya. Selain itu pihak Bank pun semakin dapat kreatif mencari celah-celah dalam rangka menggali informasi pendukung untuk tiap unsur yang terdapat dalam Prinsip 5C (The Five C’s of Credit) dari calon nasabah debitur secara menyeluruh sehingga diharapkan hasil analisisnya nanti akurat dan meminimalisir kemungkinan bila fasilitas kreditnya disetujui akan menjadi suatu kredit bermasalah di kemudian hari yang merugikan pihak bank.
DAFTAR REFERENSI BUKU Bahsan, M.. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007 Gazali, Djoni.S. dan Rachmadi Usman. Hukum Perbankan. Jakarta : Sinar Grafika, 2010 Hariyani, Iswi. Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet. Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2010 Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011 Mamudji, Sri et. al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005 Suharno, Analisa Kredit ; Dilengkapi dengan contoh kasus. Jakarta : Djambatan,2004 Sutarno. Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank. Jakarta : Alfabeta, 2003 Sutojo, Siswanto.Menangani Kredit Bermasalah : Konsep dan Kasus. Jakarta : PT Damar Mulia Pustaka, 2008
MAKALAH Sjahdeini, Sutan Remy. “Menanggulangi Kredit Bermasalah”, (makalah disampaikan pada kuliah Program Magister Hukum, Program Pascasarjana, Universitas Surabaya, Surabaya)
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Undang-Undang RI Tentang Perbankan. UU Nomor 7 Tahun 1992. LN Tahun 1992 No. 31. TLN No.3472. _________. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang RI No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, UU No.10 Tahun 1998, LN No.182 Tahun 1998. TLN No.3790 Bank Indonesia. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Tentang Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKB). SK No.27/162/KEP/DIR/1995 _____________. Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, PBI No.7/2/PBI/2005
_____________. Peraturan Bank Indonesia Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/2/PBI/2005
Tentang
Penilaian
Kualitas
Aktiva
Bank
Umum.
PBI
No.8/2/PBI/2006 _____________. Peraturan Bank Indonesia Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. PBI No.9/6/PBI/2007 _____________. Peraturan Bank Indonesia Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. PBI No.11/2/PBI/2009 Bank X. Pedoman Pelaksanaan Kredit Bisnis Ritel PT.Bank X Tbk. Jakarta : PT Bank X Tbk, 2006
WAWANCARA Wawancara dengan Bapak ABC, Account Officer PT Bank X Tbk. Cabang Bogor, pada Selasa 2 Oktober 2012