Perjanjian Lisensi dan Pembayaran Royalti Kepada Lembaga Manajemen Kolektif atas Penggunaan Karya Cipta Lagu (Studi Kasus Perbandingan Putusan Nomor 01/HKI/CIPTA/2012/PN.NIAGA.MKS dengan Putusan Nomor 70/HAKCIPTA/2012/PN.NIAGA.JKT.PST) Armita Wilanda dan Henny Marlina Program Studi Hukum tentang Kegiatan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak Pembayaran royalti hak cipta musik dan lagu sangat kompleks karena terdiri dari berbagai mekanisme sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Di dalam pelaksanaannya, pemungutan royalti tersebut mengacu kepada standar baku yang dibuat Lembaga Manajemen Kolektif. Yayasan Karya Cipta Indonesia merupakan salah satu lembaga yang mengelola pengadministrasian kolektif, khususnya di bidang musik dan lagu. Penerapan mekanisme pemungutan royalti dan besarnya royalti yang ditetapkan oleh KCI juga masih mengalami banyak kendala dan pelanggaran. Oleh karena itu, dalam penelitian ini Penulis membahas mengenai peran Lembaga Manajemen Kolektif dalam pemungutan royalti atas penggunaan karya cipta musik dan lagu, serta mekanisme pemberian lisensi dan pembayaran royalti antara KCI dengan pengguna. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif. Sebagai studi kasus, Penulis menggunakan putusan Pengadilan Niaga Makassar dan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang mengadili kasus pelanggaran hak cipta antara KCI dengan PT Vizta Pratama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif sangat berperan dalam pemungutan royalti, baik bagi kepentingan pencipta atau pemegang hak cipta maupun industri musik itu sendiri. Selain itu, mekanisme pemberian lisensi dan pembayaran royalti antara KCI dengan pengguna mengikuti standar baku yang telah ditetapkan oleh KCI.
Abstract The payment of copyright royalties for music and songs are very complex because it consists of various mechanisms as it written down in the 19th of 2002 Indonesian Copyright’s Law. In the implementation, the royalties collection refer to the standards of Collective Management Organization. Yayasan Karya Cipta Indonesia is one of institutions that manage the administration of collective, especially in the music and song. Implementation of collecting royalties mechanism and the amount of royalties by KCI still having a lot of problems and violations. Therefore, in this thesis the writer tries to review the role of Collective Management Organization and the mechanism of lincence transfer and royalty payment. This paper used the research method of bibliography and normative juridical. Case study used the decision of the Commercial Court of Makassar and Jakarta, they prosecute copyright infringement case between KCI and PT Vizta Pratama. The result showed that Collective Management Organization is very useful for the benefit of the creator or copyright holder and the music industry. And about the mechanism of licences transfer and royalties payment between KCI and user is based on mutual agreement and was guided by the provisions of professional organizations. Keyword: Collective Management Organization; Copyright; Licenses; Royalties.
Universitas Indonesia Perjanjian lisensi..., Armita Wilanda, FH UI, 2013.
Pendahuluan Hak yang dimiliki oleh pencipta atas suatu ciptaan lazim disebut sebagai hak cipta. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta yang seketika muncul setelah suatu ciptaan dilahirkan. Pencipta atau penerima hak cipta memiliki hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.1 Ruang lingkup objek yang dilindungi oleh Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta adalah semua ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Terkait perlidungan objek ciptaan tersebut, Undang-undang Hak Cipta mengenal tiga ketentuan mengenai masa berlaku perlindungan hak cipta, yaitu (1) selama hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia, (2) selama 50 tahun, dan (3) selama 20 tahun.2 Di dalam hak cipta terkandung dua macam hak, yaitu hak ekonomi dan hak moral.3 Hak ekonomi merupakan suatu hak yang dimiliki oleh seorang pencipta untuk mendapatkan keuntungan dengan mengeksploitasi karya ciptanya. Hak ekonomi yang terkandung dalam Undang-undang Hak Cipta meliputi hak untuk mengumumkan dan memperbanyak.4 Konsepsi hak ekonomi yang terkandung di dalam hak cipta tersebut mencerminkan bahwa ciptaanciptaan sebagai hasil olah pikir manusia melekat secara alamiah sebagai suatu kekayaan. Oleh karena itu, pencipta berhak mendapatkan perlindungan hukum atas hasil ciptaannya. Musik dan lagu merupakan salah satu karya yang dilindungi oleh Undang-undang Hak Cipta, meskipun undang-undang ini tidak mengatur secara khusus mengenai hak cipta musik dan lagu. Karya musik dan lagu dalam pengertian Undang-undang Hak Cipta diartikan sebagai karya yang bersifat utuh, meskipun terdiri dari unsur melodi, syair atau lirik, aransemen, dan notasi.5 1
Indonesia (a), Undang-undang tentang Hak Cipta, UU No. 19 tahun 2002, LN. No. 85 Tahun 2002, TLN. No. 4220, Pasal 1 angka 1. 2
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelektual Property Right), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 111. 3
Henry Sulistyo Budi, Beberapa Aspek Hukum dalam Perlindungan Hak Cipta, makalah disajikan pada Seminar sehari Pekan seni dalam rangka HUT Institusi Kesenian jakarta (IKJ), (Jakarta, 30 Juni 1997), hal. 4. 4
Indonesia (a), op.cit., Pasal 1 angka 4 dan 5.
5
Indonesia (a), op.cit., Penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf d.
Universitas Indonesia Perjanjian lisensi..., Armita Wilanda, FH UI, 2013.
Pada umumnya, para pencipta atau pemegang hak cipta membutuhkan kerja sama dengan rumah produksi atau perusahaan rekaman untuk membantu mengumumkan dan memperbanyak ciptaan mereka. Dalam kerja sama tersebut, para pencipta atau pemegang hak cipta dapat memberikan izin kepada rumah produksi atau perusahaan rekaman melalui perjanjian lisensi. Dengan adanya perjanjian lisensi ini, pencipta atau pemegang hak cipta memperoleh suatu manfaat berupa royalti atas pengumuman atau perbanyakan ciptaan yang dilakukan oleh pihak lain atau pemegang lisensi. Perjanjian lisensi adalah perjanjian yang memuat pemberian izin oleh pemberi lisensi untuk melakukan satu atau beberapa tindakan tertentu kepada penerima lisensi. Pemberian izin dalam ranah hak cipta bersifat formal, yaitu harus dituangkan secara tertulis dalam bentuk perjanjian. Para pihak bebas mengatur sendiri hal-hal yang diperjanjikan6 dengan memperhatikan syarat sah suatu perjanjian, yaitu adanya kesepakatan kehendak, kecakapan, adanya hal tertentu, dan sebab yang halal.7 Di samping syarat-syarat tersebut, di dalam mekanisme pemberian lisensi juga disyaratkan agar perjanjian tidak melanggar unsur itikad baik, kepatutan, kepentingan umum, dan kebiasaan.8 Perjanjian dapat dinyatakan batal demi hukum jika syarat sah perjanjian dan unsur-unsur tersebut dilanggar. Dalam praktiknya, banyak pencipta atau pemegang hak cipta yang tidak bisa secara maksimal menikmati royalti yang menjadi haknya, sehingga diperlukan suatu lembaga yang membantu pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengelola royalti atas penggunaan karya ciptanya. Negara-negara lain, termasuk Indonesia, memiliki lembaga yang bertugas untuk menjembatani kerja sama antara pencipta atau pemegang hak cipta dengan pengguna atau user. Lembaga ini lazim disebut sebagai Lembaga Manajemen Kolektif atau Collecting Management Organization. Pencipta atau pemegang hak cipta harus menjadi anggota suatu Lembaga Manajemen Kolektif agar memperoleh bantuan dan pengawasan atas penggunaan karya ciptanya. Untuk itu, perlu adanya pemberian kuasa dari pencipta atau pemegang hak cipta kepada Lembaga Manajemen Kolektif yang ditunjuk. Beberapa Lembaga Manajemen Kolektif di Indonesia adalah yayasan Karya Cipta Indonesia (KCI), Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), Asosiasi Penerbit Musik Indonesia (APMINDO), Wahana Musik Indonesia (WAMI), dan Performers Rights Society of 6
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.Subekti dan R.Tjitrosoedibjo, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), Pasal 1338. 7
Indonesia (b), op.cit., Pasal 1320.
8
Ibid., Pasal 1338 dan Pasal 1339.
Universitas Indonesia Perjanjian lisensi..., Armita Wilanda, FH UI, 2013.
Indonesia (PRISINDO). Salah satu Lembaga Manajemen Kolektif di bidang musik dan lagu yang banyak dipilih pencipta atau pemegang hak cipta di Indonesia adalah yayasan Karya Cipta Indonesia (KCI).9 KCI sebagai penerima kuasa dari para pencipta atau pemegang hak cipta didirikan sebagai realisasi dari manfaat perlindungan hak cipta secara nyata terhadap kehidupan ekonomi pencipta lagu di Indonesia.10 Saat ini KCI telah mengelola 2.636 pencipta lagu Indonesia dengan karya cipta sebanyak 130.000 lagu. KCI juga telah memberikan lisensi kepada ribuan pengguna musik dan lagu di Indonesia, termasuk restoran, kafe, karaoke, hotel, stasiun radio dan televisi, pengelola bandara, penerbangan, dan lain-lain. Mekanisme pengalihan hak pengelolaan dan penggunaan karya cipta musik dan lagu dilakukan dengan cara perjanjian. Perjanjian antara pencipta atau pemegang hak cipta dengan KCI merupakan perjanjian pengalihan pengelolaan hak atas karya cipta musik dan lagu, sedangkan perjanjian KCI dengan pihak yang akan menggunakan karya cipta musik dan lagu adalah perjanjian lisensi. Melalui mekanisme ini, KCI bertindak untuk dan atas nama pencipta atau pemegang hak cipta dalam memberi izin kepada pihak-pihak yang akan menggunakan lagu milik pencipta atau pemegang hak cipta. Pemberian lisensi oleh KCI telah berhasil mendistribusikan royalti kepada para pencipta atau pemegang hak cipta musik dan lagu di Indonesia. Ketentuan lebih lanjut mengenai nominal royalti yang wajib dibayarkan kepada pencipta atau pemegang hak cipta oleh pengguna atau user didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan Lembaga Manajemen Kolektif. Undang-undang Hak Cipta tidak mengatur mengenai definisi maupun hal-hal yang terkait dengan Lembaga Manajemen Kolektif. Namun, dalam praktek yang terjadi, pelaksanaan pembayaran royalti tersebut dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif seperti KCI.11
9
Karya Cipta Indonesia, Introduksi Lisensi Hak Cipta Musik atau Lagu, (Jakarta: Karya Cipta Indonesia, 2004), hal. 9. 10
Hasil wawancara Direktur Jenderal Haki, Surahno, Dewan Ketua Umum Yayasan Karya Cipta Indonesia, Rinto Harahap, pada tanggal 3 Februari 2004 yang mengemukakan latar belakang didirikannya Karya Cipta Indonesia, yaitu: “Bahwa Karya Cipta Indonesia adalah lembaga nirlaba pengelola hak cipta musik secara kolektif yang memperoleh kuasa dari pemegang hak cipta musik Indonesia dan asing. KCI didirikan oleh para seniman musik Indonesia pada tahun 1990 sebagai perwujudan dari upaya Pemerintah Republik Indonesia dalam melindungi dan mendorong penciptaan dan penyebarluasan karya cipta, khususnya karya cipta musik. KCI didirikan sebagai realisasi dari manfaat perlindungan hak cipta secara nyata terhadap kehidupan ekonomi seniman musik Indonesia.” 11
Indonesia (a), op.cit., Pasal 45 ayat (3).
Universitas Indonesia Perjanjian lisensi..., Armita Wilanda, FH UI, 2013.
Kasus yang baru-baru ini mencuat terkait pelaksanaan pembayaran royalti adalah kasus antara KCI dengan PT Vizta Pratama selaku pemilik usaha Inul Vizta Karaoke. Kasus tersebut diperkarakan di dua Pengadilan Niaga sekaligus, yaitu Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan Pengadilan Niaga Makassar. Kedua perkara ini memiliki substansi yang sama, yaitu terkait izin lisensi dan pembayaran royalti. Dalam gugatan yang diajukan di kedua Pengadilan Niaga tersebut, KCI menuding bahwa izin lisensi yang dimiliki PT Vizta Pratama untuk menggunakan lagu-lagu yang dikelola KCI telah habis masa berlakunya. Tanpa melakukan perpanjangan izin lisensi kembali, PT Vizta Pratama masih tetap menggunakan lagu-lagu yang dikelola KCI dalam kegiatan usaha karaokenya, sehingga tindakan tersebut dianggap KCI telah melanggar hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta. Selain itu, PT Vizta Pratama juga tidak melakukan pembayaran royalti sesuai tarif yang berlaku, sehingga dianggap telah melanggar hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta. Dari uraian tersebut terlihat bahwa begitu kompleksnya permasalahan terkait pembayaran royalti hak cipta di bidang musik dan lagu, termasuk di dalamnya menyangkut pemberian lisensi, besarnya royalti untuk suatu karya cipta yang digunakan, dan peran Lembaga Manajemen Kolektif dalam menangani masalah-masalah tersebut. Oleh karena itu, penelitian terkait pembayaran royalti di bidang hak cipta musik dan lagu ini penting dilakukan, khususnya tentang penarikan royalti yang dilakukan oleh yayasan Karya Cipta Indonesia. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, maka pokok permasalahan yang akan dibahsa dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Bagaimana peran Lembaga Manajemen Kolektif di Indonesia dalam pemungutan royalti hak cipta musik dan lagu?
2.
Bagaimanakah mekanisme pemberian lisensi dan pembayaran royalti antara yayasan Karya Cipta Indonesia dengan pengguna atau user?
3.
Bagaimana ketepatan putusan yang diberikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan Pengadilan Niaga Makassar pada kasus pemberian lisensi dan pembayaran royalti antara yayasan Karya Cipta Indonesia dengan PT Vizta Pratama? Adapun tujuan berdasarkan uraian dalam latar belakang dan pokok permasalahan di
atas adalah sebagai berikut. 1.
Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk melakukan kajian yang lebih mendalam, sistematis, dan komprehensif mengenai mekanisme pemberian lisensi dan pembayaran Universitas Indonesia Perjanjian lisensi..., Armita Wilanda, FH UI, 2013.
royalti dalam bidang hak cipta musik dan lagu oleh yayasan Karya Cipta Indonesia. 2.
Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut. -
Untuk mengetahui peran Lembaga Manajemen Kolektif dalam melakukan pemungutan royalti di bidang hak cipta musik dan lagu.
-
Untuk menjelaskan mekanisme pemberian lisensi dan pembayaran royalti antara yayasan Karya Cipta Indonesia dengan pengguna atau user.
-
Untuk mengetahui tepat atau tidaknya putusan Hakim pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan Pengadilan Niaga Makassar atas kasus-kasus pemberian lisensi dan pembayaran royalti antara yayasan Karya Cipta Indonesia dengan PT Vizta Pratama.
Tinjauan Teoritis Perlindungan terhadap karya cipta musik dan lagu didasari oleh Teori Hukum Alam yang dikemukakan John Locke. Menurut teori tersebut, pencipta memiliki hak moral untuk menikmati hasil kerjanya, termasuk keuntungan yang dihasilkan oleh keintelektualannya.12 Oleh karena pencipta telah memperkaya masyarakat melalui ciptaanya, pencipta memiliki hak untuk mendapatkan imbalan yang sepadan dengan nilai sumbangannya. Teori Hukum Alam dikuatkan dengan adanya Teori Utilitarian, di mana teori tersebut melalui prinsip-prinsip ekonomi membela undang-undang hak cipta sebagai suatu sistem insentif bagi pencipta untuk menciptakan karya-karya ciptanya, sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat.13 Pengakuan terhadap perlindungan hak cipta dirumuskan pula dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia yang menekankan bahwa setiap individu berhak untuk turut serta dengan bebas dalam kehidupan kebudayaan, menikmati kesenian dan ilmu pengetahuan, serta sekaligus mendapatkan manfaatnya. Rumusan tersebut mencerminkan adanya suatu pengakuan universal atas hak dari setiap individu. Perolehan hak ini menimbulkan konsekuensi adanya perlindungan bagi setiap orang yang menciptakan kesenian atau sesuatu hal yang dapat dinikmati oleh orang lain dan ciptaan tersebut memberikan kemajuan ilmu 12
Hendra Tanu Atmadja, Hak Cipta Lagu, (Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 19. 13
Ibid., hal. 20.
Universitas Indonesia Perjanjian lisensi..., Armita Wilanda, FH UI, 2013.
pengetahuan dan manfaat bagi orang lain. Perlindungan hak dapat bersifat moral maupun materi sebagai timbal balik dari pemanfaatan suatu karya cipta. Selain Teori Hukum Alam dan Teori Utilitarian, ada empat teori lainnya yang mempengaruhi perlunya perlindungan hukum terhadap hak cipta. Teori-teori tersebut antara lain:14 1.
Teori Reward Teori ini menyatakan bahwa kepada para pencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra diberikan suatu penghargaan, pengakuan, dan perlindungan hukum terhadap karya yang diciptakannya.
2.
Teori Recovery Teori ini menyatakan bahwa atas usahanya dalam menciptakan sebuah karya yang telah mengeluarkan tenaga, waktu, pikiran, dan biaya yang sedikit jumlahnya tersebut, maka kepada para pencipta dalam jangka waktu tertentu diberi hak eksklusif untuk mengeksploitasi karya ciptanya guna meraih kembali segala sesuatu yang telah ia keluarkan.
3.
Teori Insentive Teori ini menyatakan bahwa insentif diberikan kepada pencipta yang telah berhasil melahirkan karya cipta guna meraih kembali segala sesuatu yang telah ia keluarkan.
4.
Teori Risk Teori ini menyatakan bahwa pada dasarnya karya cipta yang diciptakan itu bersifat rintisan, sehingga ada resiko oleh pihak lain untuk meneruskan atau melampaui dan mengembangkan labih lanjut karya cipta itu.
5.
Teori Economic Growth Teori ini menyatakan bahwa karya cipta merupakan suatu alat untuk meraih dan mengembangkan ekonomi.
Metode Penelitian Dalam menyusun penelitian ini Penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif. Metode penelitian ini mengacu pada norma-norma hukum 14
Roeseno, Masalah Pungutan Royalti dan Perlindungan Karya Cipta, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Departemen Kehakiman), hal. 18.
Universitas Indonesia Perjanjian lisensi..., Armita Wilanda, FH UI, 2013.
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, di mana permasalahan yang dibahas dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder dengan pendekatan melalui asas-asas hukum.15 Metode penelitian kepustakaan ini menggunakan dua alat pengumpul data, yaitu data primer dan data sekunder. Literatur hukum yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Alat pengumpulan data dalam penelitian kepustakaan adalah dengan studi dokumen. Apabila data sekunder tersebut ternyata dirasakan masih kurang, akan dilakukan wawancara dengan narasumber atau informan untuk menambah informasi dalam penelitian. Data yang telah terkumpul akan dianalisis dengan menggunakan metode analisis data kualitatif, yaitu proses atau penyusunan, mengkategorikan data kualitatif, mencari pola atau tema dengan maksud memahami maknanya. Dari data yang telah diolah tersebut, maka akan disusun sebuah laporan penelitian dengan bentuk penelitian perspektif. Bentuk penelitian perspektif ini memberikan jalan keluar maupun saran untuk mengevaluasi permasalahan dan kasus yang terjadi.
Hasil Penelitian Lembaga Manajemen Kolektif tersebut berperan untuk (1) mewakili atau menyajikan katalog daftar lagu nasional dan internasional dengan atau tanpa teks, (2) memberi lisensi pengumuman musik dan lagu tanpa diskriminasi kepada pengguna atau user yang memenuhi syarat, (3) mengontrol penggunaan yang sah, (4) mengalihkan uang dari penggunaan tersebut untuk kemudian didistribusikan kepada para pencipta atau pemegang hak cipta setelah dipotong biaya yang layak berdasarkan prinsip-prinsip yang disetujui di antara para pihak. Yayasan Karya Cipta Indonesia sebagai suatu Lembaga Manajemen Kolektif yang mengelola pengadministrasian kolektif di Indonesia, khususnya di bidang musik dan lagu, sangat berperan dalam pengeskploitasian hak cipta musik dan lagu. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai penerima kuasa dari para pencipta atau pemegang hak cipta, KCI melakukan pengawasan dan pengamatan atas lagu-lagu yang digunakan dalam kegiatan yang memiliki tujuan komersial. 15
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1984),
hal. 50-52.
Universitas Indonesia Perjanjian lisensi..., Armita Wilanda, FH UI, 2013.
Dalam proses menuju kesepakatan sebuah perjanjian lisensi antara KCI dengan pengguna atau user, maka harus melalui tahap-tahap berikut: 1.
Staf Licensing Executive mendatangi tempat yang menggunakan lagu dan musik yang menjadi repertoire KCI untuk kemudian melakukan pendataan dan survei terhadap pengguna atau user.
2.
Setelah data mengenai pihak-pihak yang menggunakan hak cipta musik dan lagu untuk kepentingan komersial didapatkan, staf Licensing Executive kemudian melakukan sosialiasi. Sosialisasi dilakukan dengan mengirim pemberitahuan yang bersifat informasi kepada pimpinan tempat tersebut untuk menjelaskan mengenai adanya perlindungan hukum atas sebuah karya cipta dan konsekuensi penggunaannya berupa suatu biaya yang harus dibayarkan. Pengiriman surat pemberitahuan ini disertai formulir aplikasi lisensi yang harus diisi oleh pengguna atau user.
3.
Pengguna atau user yang telah mengisi formulir aplikasi lisensi kemudian menyerahkan kembali kepada KCI.
4.
Data yang diterima akan dicek ulang oleh staf Licensing Executive untuk kemudian dicocokkan dengan data dari hasil survei yang telah dilakukan sebelumnya. Apabila perbedaan kedua data sama atau setidaknya tidak berbeda jauh, staf Licensing Executive akan mengirimkan rincian berupa biaya lisensi yang harus dibayarkan oleh pengguna atau user. Pada tahap ini biasanya terjadi proses negosiasi mengenai data, tarif, dan pembayaran.
5.
Apabila dalam tahap di atas telah tercapai kesepakatan, KCI akan mengeluarkan invoice.
6.
Pengguna atau user kemudian membayarkan royalti melalui transfer bank dan mengirimkan bukti transfer ke KCI.
7.
Jika pembayaran telah diterima, KCI akan mengeluarkan sertifikat lisensi pengumuman musik dan lagu beserta perjanjian lisensi dengan masa berlaku satu tahun.
8.
Satu bulan sebelum masa lisensi berakhir, staf Licensing Executive akan menghubungi pengguna atau user.
9.
Tahap selanjutnya akan dilakukan seperti semula. Pengalihan kuasa oleh pencipta atau pemegang hak cipta kepada KCI sebagai
penerima kuasa tidak dapat dilakukan melalui lisan saja, melainkan harus dilakukan secara tertulis, baik dengan maupun tanpa akte notaris. Kegiatan pengalihan ini didasarkan pada ketentuan hukum yang menganggap hak cipta sebagai benda bergerak yang dapat dialihkan, Universitas Indonesia Perjanjian lisensi..., Armita Wilanda, FH UI, 2013.
baik seluruhnya maupun sebagian, karena pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. 16
Pembahasan Dalam kasus antara KCI dengan PT Vizta Pratama di Pengadilan Negeri Makassar terlihat bahwa hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta telah dilanggar dengan tidak dibayarkannya royalti oleh Inul Vizta Karaoke Manado ketika lagu-lagu yang menjadi repertoir KCI digunakan dalam kegiatan usaha karaokenya. Namun, gugatan yang diajukan KCI tersebut dianggap error in persona oleh Inul Vizta Karaoke Medan karena gugatan diajukan kepada PT Vizta Pratama yang berkedudukan di Kompleks Mega Mas Manado, sedangkan berdasarkan fakta yang ada bahwa yang berdomisili di alamat tersebut adalah CV Suara Indah. Dalam eksepsi tersebut, Penulis setuju dengan pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa gugatan tersebut bukanlah gugatan error in persona. Penulis berpendapat bahwa gugatan KCI kepada Inul Vizta Karaoke Manado sudah tepat dan benar. Dapat dilihat, bahwa PT Vizta Pratama merupakan sebuah badan hukum yang mengelola usahanya secara waralaba, dalam hal ini adalah usaha karaoke dengan brand Inul Vizta Karaoke. Pengelolaan usaha tersebut dilakukan melalui kerjasama dengan pihak ketiga dengan membuka beberapa outlet di beberapa kota di Indonesia. Demikian halnya dalam perkara tersebut, di mana PT Vizta Pratama bekerjasama secara waralaba dengan CV Suara Indah yang beralamat di Kompleks Mega Mas Manado untuk membuka usaha karaoke dengan nama Inul Vizta Karaoke Manado. Dengan demikian, CV Suara Indah berkepentingan untuk membela kepentingannya di Pengadilan karena alamat yang ditujukan dalam gugatan sama dengan alamat outlet karaoke yang dikelolanya. Di lain sisi, Penulis tidak sependapat dengan dalil KCI yang menyatakan bahwa dirinya adalah pemegang hak cipta yang mendapat kuasa dari pencipta musik dan lagu. Seperti yang tercantum dalam surat kuasa khusus antara KCI dengan pencipta atau pemegang hak cipta, kuasa yang diberikan oleh pencipta atau pemegang hak cipta kepada KCI adalah kuasa untuk mengelola hak ekonomi dan perizinan di bidang musik dan lagu, serta pengalihannya kepada pihak lain. Hal ini tidak menunjukkan kedudukan KCI sebagai 16
Indonesia (a), op. cit., Pasal 3.
Universitas Indonesia Perjanjian lisensi..., Armita Wilanda, FH UI, 2013.
pemegang hak cipta, melainkan hanya sebagai penerima kuasa untuk mengelola hak ekonomi atas penggunaan karya cipta musik dan lagu milik pencipta atau pemegang hak cipta. Terkait pokok perkara, Majelis Hakim menyatakan bahwa Inul Vizta Karaoke telah melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu menggunakan karya cipta musik dan lagu yang menjadi repertoire KCI tanpa izin. Oleh karena itu, Inul Vizta Karaoke dihukum untuk membayar royalti sebesar Rp 15.840.000 kepada KCI. Terhadap putusan Majelis Hakim ini Penulis menyatakan setuju. Namun, perlu dilihat pula mengenai bukti-bukti yang mendasari Majelis Hakim mengambil keputusan tersebut. Berdasarkan hubungan hukum yang tercipta antara KCI dengan Inul Vizta Karaoke karena adanya perjanjian izin atau lisensi, maka sudah seharusnya Inul Vizta Karaoke melakukan pembayaran royalti atas pemberian izin atau lisensi tersebut. Dalam Sertifikat Lisensi Pengumuman Musik (SLPM) tertulis bahwa masa berlaku lisensi berakhir pada 29 Maret 2012, tetapi Inul Vizta Karaoke masih menggunakan karya cipta musik dan lagu yang menjadi repertoire KCI untuk usaha karaokenya. Dengan demikian, sudah jelas bahwa Inul Vizta Karaoke telah melakukan pelanggaran hak cipta yang tertuang dalam Pasal 45 ayat (1) dan (3) Jo. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Hak Cipta. Oleh karena terjadi pelanggaran hak cipta tersebut, maka sudah sepantasnya Inul Vizta Karaoke dihukum untuk membayar royalti atas penggunaan karya musik dan lagu yang telah habis masa berlakunya. Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim menghukum Inul Vizta Karaoke untuk membayar royalti sebesar Rp 15.840.000. Ini berbeda jauh dengan gugatan KCI yang menginginkan Inul Vizta Karaoke membayar royalti sebesar Rp 69.960.000 atau dengan kata lain menaikkan tarif royalti sebesar ±2.500%. Dalam hal ini Penulis menilai bahwa dalam menentukan besaran royalti pihak KCI tentu harus merujuk pada Pasal 45 ayat (4) Undang-undang Hak Cipta, di mana jumlah royalti yang harus dibayarkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi. Dengan demikian, besarnya royalti yang harus dibayarkan didasarkan kesepakatan KCI dengan Inul Vizta Karaoke yang tentunya berpedoman pula pada ketentuan-ketentuan perhitungan dari organisasi profesi, yaitu KCI itu sendiri. Oleh karena belum terjadinya kesepakatan antara KCI dengan Inul Vizta Karaoke terkait besarnya tarif royalti yang harus dibayarkan, maka keputusan Majelis Hakim untuk memberikan nominal tarif royalti sudahlah tepat. Hal ini tentu sangat mengapresiasi kepentingan para pencipta atau pemegang hak cipta lagu dan musik. Di lain sisi, besarnya tarif royalti yang ditetapkan Majelis Hakim juga telah berpihak kepada kepentingan Inul Vizta Karaoke dalam menjalankan usahanya. Universitas Indonesia Perjanjian lisensi..., Armita Wilanda, FH UI, 2013.
Dalam kasus KCI melawan PT Vizta Pratama dan beberapa outlet usaha karaokenya di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta telah dilanggar dengan tidak dibayarkannya royalti ketika musik dan lagu yang menjadi repertoire KCI digunakan dalam kegiatan usaha karaokenya. Sayangnya, dalam kasus ini hak pencipta atau pemegang hak cipta untuk memperoleh ganti kerugian terkendala karena gugatan dianggap error in persona serta kabur dan tidak jelas atau exceptio obscuur libel, sehingga tidak dapat diterima. Menurut Penulis, dengan melihat kepentingan kedua belah pihak yang berperkara, maka keputusan Majelis Hakim tersebut sudahlah tepat. Eksepsi error in persona adalah eksepsi mengenai adanya kesalahan dari suatu gugatan terhadap orang atau subjek hukum atau badan hukum sebagai pihak yang digugat. Kesalahan Penggugat dalam menentukan subjek hukum dan kepemilikan suatu badan hukum di dalam gugatannya tentu akan menimbulkan kesulitan di dalam pelaksanaan eksekusi jika gugatan tersebut dikabulkan, sehingga akan mengakibatkan suatu perkara menjadi non eksekutable. Selain itu, Penulis tidak setuju dengan gugatan KCI yang menginginkan agar putusan Pengadilan nantinya juga mengikat terhadap seluruh outlet Inul Vizta Karaoke yang berada di seluruh wilayah Indonesia. Perlu dipertimbangkan bahwa outlet-outlet Inul Vizta Karaoke yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia bisa saja dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum yang berbeda, yang dalam hal ini tidak ikut digugat oleh KCI. Akan tetapi, esensi utama kasus ini terkait pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh PT Vizta Pratama atas izin lisensi dan pembayaran royalti tidak diperhitungkan secara signifikan dikarenakan gugatan dari KCI dianggap error in persona dan exceptio obscuur libel. Oleh karena itu, Penulis merasa perlu untuk melihat apakah PT Vizta Pratama telah melakukan pelanggaran hak cipta atau tidak. Menurut Pasal 72 ayat (1) Undang-undang Hak Cipta bahwa perbuatan pengumuman atau perbanyakan suatu ciptaan dengan sengaja dan tanpa izin dari pencipta atau pemegang hak cipta merupakan perbuatan pelanggaran hak cipta. Berdasarkan Sertifikat Lisensi Pengumuman Musik (SLPM) tertulis bahwa: 1.
Lisensi Inul Vizta Karaoke Bogor yang beralamat di Ekalokasari Plaza berakhir pada 29 Maret 2012.
2.
Lisensi Inul Vizta Karaoke Gajah Mada yang beralamat di Plaza Gajah Mada berakhir pada 1 Oktober 2012.
3.
Lisensi Inul Vizta Karaoke Pluit I-Sing yang beralamat di Pluit Junction berakhir pada 1 November 2012. Universitas Indonesia Perjanjian lisensi..., Armita Wilanda, FH UI, 2013.
4.
Lisensi Inul Vizta Karaoke Taman Anggrek yang beralamat di Mall Taman Anggrek Tower 8 berakhir pada 1 Maret 2011.
5.
Lisensi Inul Vizta Karaoke Atrium yang beralamat di Atrium Senen Plaza berakhir pada 29 Maret 2012.
6.
Lisensi Inul Vizta Karaoke BSD yang beralamat di BSD Junction berakhir pada 30 Agustus 2012.
7.
Lisensi Inul Vizta Karaoke Tangerang City yang beralamat di Ruko Tangerang City berakhir pada 2 Oktober 2012.
8.
Lisensi Inul Vizta Karaoke Bekasi yang beralamat di Metropolitan Mall berakhir pada 2 Januari 2012.
9.
Lisensi Inul Vizta Karaoke Semanggi yang beralamat di Plaza Semanggi berakhir pada 29 Juni 2012. Setelah berakhirnya masa berlaku izin lisensi tersebut, outlet milik PT Vizta Pratama
di atas masih tetap menggunakan karya musik dan lagu yang menjadi repertoire KCI tanpa melakukan perpanjangan izin lisensi terlebih dahulu. Dengan demikian, sudah jelas bahwa outlet-outlet tersebut telah melakukan pelanggaran hak cipta yang tertuang dalam Pasal 45 ayat (1) dan (3) Jo. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Hak Cipta. Oleh karena terjadi pelanggaran hak cipta tersebut, maka sudah sepantasnya mereka dihukum untuk membayar royalti atas penggunaan karya musik dan lagu yang telah habis masa berlakunya. Perhitungan besarnya royalti yang harus dibayarkan sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (3) Undang-undang Hak Cipta adalah didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman kepada ketentuan perhitungan yang dikeluarkan oleh organisasi profesi. Dengan demikian, KCI sebagai wakil dari para pencipta atau pemegang hak cipta berhak menentukan besarnya royalti yang harus dibayarkan dengan didasarkan kesepakatan antara KCI dengan pengguna atau user. Kesepakatan tersebut tentunya berpedoman kepada ketentuan-ketentuan perhitungan dari organisasi profesi, yaitu KCI itu sendiri. Terkait tarif royalti yang ditetapkan oleh KCI, maka Penulis menilai hal tersebut telah wajar dan sesuai dengan praktek internasional. Prinsip dasar internasional dalam penentuan tarif lisensi pengumuman karya cipta musik dan lagu menganut asas keadilan dan kemampuan.17 Asas keadilan dikaitkan dengan besar atau kecilnya peran musik dan lagu, serta penting atau tidaknya unsur musik dan lagu terhadap kelangsungan usaha para pengguna 17
Keterangan Pengamat Hak Cipta, Candra N. Darusman, dalam Alat Bukti P-22 untuk persidangan dengan Nomor Perkara 70/HC/2012/PN.NIAGA.JKT.PST.
Universitas Indonesia Perjanjian lisensi..., Armita Wilanda, FH UI, 2013.
atau user. Asas kemampuan diartikan sesuai dengan tinggi atau rendahnya pendapatan ekonomi usaha pengguna musik. KCI sendiri menggunakan dasar perhitungan tarif sesuai dengan ketentuan CISAC. Apabila diformulakan, maka perhitungan tarif KCI terlihat sebagai berikut. Tarif Index = IUA x Occupancy Rate x Working Days x Audiobility x BEE IUA atau International Unquoted Acceptance adalah dasar persentase yang telah disetujui atau diterima secara internasional. Jika peran musik dan lagu 100% terhadap kegiatan usaha, maka penentuan besarnya IUA mencapai 6% hingga 10% dari pendapatan kotor usaha pengguna atau user (International Unquoted Acceptance – IUA). Dalam hal ini, usaha karaoke merupakan jenis usaha yang mengandalkan musik dan lagu secara mutlak atau 100% dalam kegiatan usahanya, sehingga penentuan besarnya IUA adalah 6% hingga 10%. KCI sendiri menggunakan standar IUA sebesar 6% untuk usaha karaoke yang menggunakan musik dan lagu milik KCI. Hal ini tentunya telah mencerminkan asas keadilan, di mana dalam penentuan besarnya IUA pihak KCI telah memperhatikan besar dan kecilnya peranan musik dan lagu terhadap kegiatan usaha pengguna atau user. Occupancy Rate sendiri merupakan jumlah tingkat pemakaian atau kunjungan atau jumlah penumpang selama satu tahun. Besarnya Occupancy Rate mengikuti standar CISAC, yaitu 40%. Working Days adalah perhitungan jumlah hari kerja dalam satu tahun, yaitu sebanyak 300 hari, sedangkan Audiobility adalah persentase penggunaan musik sebesar 10% hingga 40%. Dalam penentuan tarif untuk usaha karaoke KCI tidak memasukkan Audiobility. Basic Expenditure for Entertainment atau BEE adalah pengeluaran rata-rata seseorang satu kali ke tempat hiburan dalam satu tahun. BEE juga dianggap sebagai gross income pengelola tempat hiburan untuk satu pengunjung. BEE dapat diambil dari data Badan Pusat Statistik yang setiap tahunnya disesuaikan dengan tingkat inflasi. Untuk usaha karaoke, besarnya BEE mengikuti harga sewa kamar karaoke per minimum jam pemakaian, yaitu Rp 50.000 dikalikan dua jam. Penulis menilai bahwa besarnya nilai BEE yang digunakan KCI dalam memperhitungkan tarif royalti untuk usaha karaoke telah mencerminkan asas kemampuan. KCI telah menggunakan harga sewa minimum dan jam sewa minimum, sehingga Penulis menilai hal ini telah memperhatikan tinggi atau rendahnya pendapatan ekonomi usaha pengguna musik. Dari uraian tersebut, Penulis menyimpulkan bahwa dasar perhitungan tarif untuk usaha karaoke yang digunakan oleh KCI telah mengacu pada ketentuan internasional, sehingga besarnya tarif yang ditetapkan telah wajar dan sesuai dengan asas keadilan dan Universitas Indonesia Perjanjian lisensi..., Armita Wilanda, FH UI, 2013.
kemampuan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pihak PT Vizta Pratama melakukan pembayaran royalti sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan KCI.
Kesimpulan Berdasarkan uraian pembahasan mengenai penarikan royalti hak cipta musik dan lagu di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1.
Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan, tanpa mengurangi pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku. Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-undang Hak Cipta memberikan keleluasaan kepada pencipta atau pemegang hak cipta dalam menggunakan haknya, baik dilakukan sendiri maupun dengan menyerahkan kepada pihak lain melalui perjanjian lisensi. Pelaksanaan pemberian lisensi ini disertai dengan kewajiban pembayaran royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta. Pemungutan royalti atas penggunaan karya cipta musik dan lagu di Indonesia dapat dilakukan melalui suatu Lembaga Manajemen Kolektif di mana lembaga tersebut berperan untuk (1) mewakili atau menyajikan katalog daftar lagu nasional dan internasional dengan atau tanpa teks, (2) memberi lisensi pengumuman musik dan lagu tanpa diskriminasi kepada pengguna atau user yang memenuhi syarat, (3) mengontrol penggunaan yang sah, (4) mengalihkan uang dari penggunaan tersebut untuk kemudian didistribusikan kepada para pencipta atau pemegang hak cipta setelah dipotong biaya yang layak berdasarkan prinsip-prinsip yang disetujui di antara para pihak.
2.
Mekanisme pembayaran royalti atas pengumuman karya cipta musik dan lagu belum diatur dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Namun, dalam pelaksanaannya pembayaran royalti tersebut mengacu kepada standar baku yang dibuat oleh Lembaga Manajemen Kolektif. Yayasan Karya Cipta Indonesia (KCI) sebagai salah satu Lembaga Manajemen Kolektif di Indonesia berperan dalam mengelola pengadministrasian kolektif atas penggunaan karya cipta musik dan lagu. Mekanisme pembayaran royalti antara KCI dengan pengguna atau user adalah sebagai berikut.
Universitas Indonesia Perjanjian lisensi..., Armita Wilanda, FH UI, 2013.
1) Staf Licensing Executive mendatangi tempat yang menggunakan lagu dan musik yang menjadi repertoire KCI untuk kemudian melakukan pendataan dan survei terhadap pengguna atau user. 2) Setelah data mengenai pihak-pihak yang menggunakan karya musik dan lagu untuk kepentingan komersial didapatkan, staf Licensing Executive kemudian melakukan sosialiasi. Sosialisasi dilakukan dengan mengirim pemberitahuan yang bersifat informasi kepada pimpinan tempat tersebut untuk menjelaskan mengenai adanya perlindungan hukum atas sebuah karya cipta dan konsekuensi penggunaannya berupa suatu biaya yang harus dibayarkan. Pengiriman surat pemberitahuan ini disertai formulir aplikasi lisensi yang harus diisi oleh pengguna atau user. 3) Pengguna atau user yang telah mengisi formulir aplikasi lisensi kemudian menyerahkan kembali kepada KCI. 4) Data yang diterima akan dicek ulang oleh staf Licensing Executive. Data tersebut kemudian dibandingkan dengan data dari hasil survei yang telah dilakukan sebelumnya. Apabila tidak ada perbedaan pada kedua data atau setidaknya tidak berbeda jauh, staf Licensing Executive akan mengirimkan rincian berupa biaya lisensi yang harus dibayarkan oleh pengguna atau user. Pada tahap ini biasanya terjadi proses negosiasi mengenai data, tarif, dan pembayaran. 5) Apabila dalam tahap di atas telah tercapai kesepakatan, KCI akan mengeluarkan invoice. 6) Pengguna atau user kemudian membayarkan royalti melalui transfer bank dan mengirimkan bukti transfer ke KCI. 7) Jika pembayaran telah diterima, KCI akan mengeluarkan sertifikat lisensi pengumuman musik dan lagu beserta perjanjian lisensi dengan masa berlaku satu tahun. 8) Satu bulan sebelum masa lisensi berakhir, staf Licensing Executive akan menghubungi pengguna atau user. 9) Tahap selanjutnya akan dilakukan seperti semula. 3.
Penyelesaian sengketa pelanggaran hak cipta dapat muncul dalam berbagai bentuk. Undang-undang Hak Cipta menunjuk Pengadilan Niaga untuk menyelesaikan masalah pelanggaran di bidang hak cipta. Permasalahan terkait izin lisensi dan pembayaran royalti atas pengumuman karya cipta musik dan lagu yang dialami KCI dengan PT
Universitas Indonesia Perjanjian lisensi..., Armita Wilanda, FH UI, 2013.
Vizta Pratama telah diputus pada Pengadilan Niaga Makassar dan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. 1)
Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Makassar menyatakan bahwa Inul Vizta Karaoke Manado telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum Inul Vizta Karaoke Manado untuk membayar royalti sebesar Rp 15.840.000 kepada KCI. Dalam Sertifikat Lisensi Pengumuman Musik (SLPM) tertulis bahwa masa berlaku lisensi yang dimiliki Inul Vizta Karaoke Manado berakhir pada 29 Maret 2012 dan tidak diperpanjang. Namun, hingga gugatan dilayangkan Inul Vizta Karaoke Manado masih menggunakan karya cipta musik dan lagu yang menjadi repertoir KCI dalam usaha karaokenya. Dengan demikian, sudah jelas bahwa Inul Vizta Karaoke Manado telah melanggar Pasal 45 ayat (1) dan (3) Jo. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Hak Cipta, sehingga keputusan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa Inul Vizta Karaoke Manado telah melakukan perbuatan melawan hukum sudah tepat. Selain itu, besarnya nominal royalti yang ditetapkan oleh Majelis Hakim telah mengapresiasi kepentingan para pencipta atau pemegang hak cipta lagu dan musik, serta telah berpihak kepada kepentingan Inul Vizta Karaoke dalam menjalankan usahanya.
2)
Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyatakan bahwa gugatan KCI terhadap PT Vizta Pratama dan beberapa outlet karaokenya tidak dapat diterima karena adanya eksepsi error in persona dan gugatan yang kabur atau tidak jelas (exceptio obscuur libel). Di dalam gugatan, KCI telah salah dalam menentukan nama pemilik beberapa outlet yang digugat. Kesalahan dalam menentukan subjek hukum dan kesalahan dalam kepemilikan badan hukum akan menimbulkan kesulitan di dalam pelaksanaan eksekusi untuk proses berikutnya apabila putusan tersebut dikabulkan, sehingga keputusan Majelis Hakim untuk tidak menerima gugatan KCI sudahlah tepat. Selain itu, keputusan Majelis Hakim untuk tidak menerima gugatan KCI karena dianggap kabur dan tidak jelas juga sudah tepat. Dalam gugatannya KCI meminta agar putusan Majelis Hakim nantinya mengikat terhadap seluruh outlet Inul Vizta Karaoke yang berada di seluruh wilayah Indonesia. Perlu dipertimbangkan bahwa outlet-outlet Inul Vizta Karaoke yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia bisa saja dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum yang berbeda, yang dalam hal ini tidak ikut digugat oleh Penggugat.
Universitas Indonesia Perjanjian lisensi..., Armita Wilanda, FH UI, 2013.
Saran Adapaun saran yang dapat diberikan Penulis terkait pemungutan royalti atas pengumuman karya cipta musik dan lagu adalah sebagai berikut. 1.
Ketentuan besarnya royalti yang harus dibayarkan pengguna atau user kepada pencipta atau pemegang hak cipta sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (4) Undang-undang Hak Cipta, yaitu berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi sangatlah sulit dilaksanakan. Hal ini menimbulkan permasalahan terkait besarnya royalti yang ditetapkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif, sehingga Pemerintah perlu bertindak sebagai fasilitator apabila terjadi sengketa terkait pembayaran royalti atas penggunaan karya cipta lagu dan musik.
2.
Dalam hal Lembaga Manajemen Kolektif tidak diatur secara tegas di dalam Undangundang Hak Cipta, maka sering menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dan tergantung pada penafsiran pihak-pihak yang berkepentingan. Hal ini menimbulkan permasalahan terkait pemungutan royalti yang dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif menjadi suatu perdebatan yang tidak menggunakan suatu acuan atau dasar yang dapat memberikan kepastian hukum. Oleh karena itu, hal tersebut sebaiknya diatur secara tegas dan rinci, baik melalui undang-undang maupun peraturan di bawahnya.
Daftar Referensi A.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Undang-undang tentang Hak Cipta. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002, LN. No. 85 Tahun 2002, TLN. No. 4220. ________. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. (Burgelijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosoedibjio. Cet. 8. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976. B.
BUKU
Atmadja, Hendra Tanu. Hak Cipta Musik atau Lagu. Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003. Audah, Husain. Hak Cipta dan Karya Cipta Musik. Jakarta: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 2004. Universitas Indonesia Perjanjian lisensi..., Armita Wilanda, FH UI, 2013.
Azed, Abdul Bari. Kompilasi Internasional HKI yang Diratifikasi Indonesia. Cetakan I. Jakarta: Direktorat Jenderal HKI Departemen Hukum dan HAM bekerjasama dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006. Budi, Henry Soelistyo. Beberapa Aspek Hukum dalam Perlindungan Hak Cipta. Makalah disajikan pada Seminar Sehari Pekan Seni HUT Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Jakarta: 1997. Budiono, Herlien. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007. Balck’s, Henry Campell. Black’s Law Dictionary: Definitions of the Terms and Phrases of American and Englisg Jurisprudence Ancient and Modem, Sixth Edition. St. Paul Minn: West Publishing, Co., 1990. Damian, Eddy. Hukum Hak Cipta menurut Beberapa Konvensi Internasional, Undangundang Hak Cipta 1997, dan Perlindungannya terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitnya. Bandung: PT Alumni, 2002. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka, 1991. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Panduan Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Direktorat Jenderal HKI, 2004. Djumhana, Muhammad dan R. Jubaedillah. Hak Milik Intelektual, Sejarah, Teori, dan Prakteknya di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 1993. Gautama, Sudargo. Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional. Bandung: PT Alumni, 1985. Hartono, Sri Redjeki. Aspek Hukum Perdata Perlindugan Hak Milik Intelektual. Semarang: Bina Ilmu, 1993. Hasibuan, Otto. Hak Cipta di Indonesia: Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagum Neighbouring Rights, dan Collecting Society. Bandung: PT Alumni, 2008. Hozumi, Tamotsu. Asian Copyright Handbook Indonesian Version. Jakarta: Asia/Pasific Cultural Centre for UNESCO dan Ikatan Penerbit Indonesia, 2006. Indonesian Australia Specialised Training Project-Phase II Auasaid. Intellectual Property Rights Elementary. Conducted by Asian Law Group Pty, Ltd., 2001. Karya Cipta Indonesia. Introduksi Lisensi Hak Cipta Musik atau Lagu. Jakarta: Karya Cipta Indonesia, 2004. ___________________. Pedoman Singkat untuk Anggota. Jakarta: Karya Cipta Indonesia, 2004. ___________________. Kutipan Salinan Perjanjian Kuasa antara Pencipta dan YKCI: YKCI Lisensi Hak Cipta Sedunia. Jakarta: Karya Cipta Indonesia, 2004.
Universitas Indonesia Perjanjian lisensi..., Armita Wilanda, FH UI, 2013.
Lindsey, Tim dkk. Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar. Bandung: PT Alumni, 2005. Mamudji, Sri, et. al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2006. Mochtar, Dewi Astuty. Perjanjian Lisensi Alih Teknologu dalam Pengembangan Teknologi Indonesia. Bandung: PT Alumni, 2001. Panjaitan, Hutman dan Wetmen Sinaga. Performing Right Hak Cipta atas Karya Musik dan Lagu serta Aspek Hukumnnya. Jakarta: Ind Hill Co, 2011. Purba, Ahmad Zen Umar. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs. Bandung: PT Alumni, 2005. Roesono. Masalah Pungutan Royalti dan Perlindungan Karya Cipta. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Departemen Kehakiman, 1994. _______. Perlindungan Hukum terhadap Artis, Produser Rekaman, dan Organisasi Penyiaran. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Departemen Kehakiman, 1996. Saidin, OK. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Right). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Simorangkir, J. C. T. Hak Cipta Lanjutan. Jakarta: Penerbit Jembatan, 1973. Simorangkir, J. C. T. dan Masaud Panggabean. Undang-undang Hak Cipta 1987, Undangundang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-undang Hak Cipta Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta dengan Komentar. Jakarta: Djambatan, 1998. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Unoversitas Indonesia. 1984. Supramono, Gatot. Hak Cipta dan Aspek-aspek Hukumnya. Jakarta: Rineke Cipta, 2009. C.
TESIS
Pamela, Rina Sartika. “Perspektif Yuridis mengenai Mekanisme Pemungutan Royalti atas Lagu serta Kendala yang Dihadapi Oleh Yayasan Karya Cipta Indonesia”. Tesis Magister Universitas Indonesia. Jakarta, 2009. D.
MAKALAH
Jelen, Aline. “Copyrights, History, and Development of CMOs”. Makalah. Jakarta, 12 April 2007. E.
ARTIKEL
Panjaitan, Hulman. “Pemahaman Hak Cipta Kurang, Pembajakan Lagu Marak”. Universitas Indonesia Perjanjian lisensi..., Armita Wilanda, FH UI, 2013.