ANALISIS YURIDIS PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMAKAIAN TENAGA LISTRIK (P2TL) OLEH PT. PLN (PERSERO) TERHADAP KONSUMEN LISTRIK (STUDI KASUS: PUTUSAN ARBITRASE BPSK PEMPROV DKI JAKARTA NO. 026/A/BPSK-DKI/XI/2009) Harris Hartoyo Eddyanto (Penulis), Heri Tjandrasari dan Henny Marlyna (Pembimbing) Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
ABSTRAK P2TL dilakukan oleh PT. PLN (Persero) dalam rangka mengurangi adanya susut daya yang disebabkan faktor non teknis. Dalam pelaksanaannya, PT. PLN diduga sering kali melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku, terutama mengenai hak-hak konsumen yang terdapat dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Skripsi ini membahas mengenai ketentuan yang mengatur P2TL terkait dengan perlindungan konsumen. Salah satu contoh kasus pelanggaran pelaksanaan P2TL adalah sengketa konsumen yang melibatkan Drs. Wahidin Purba dan PT. PLN AJ Cempaka Putih yang diselesaikan melalui proses arbitrase di BPSK. Bagaimanakah sebenarnya dasar hukum pelaksanaan P2TL yang dilakukan oleh PLN? Apakah putusan Arbitase dalam kasus tersebut sudah sesuai dengan peraturan yang belaku? Skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif dengan metode penelitian analitis dekskriptif. Sebagai pelaku usaha dalam penyediaan listrik, sudah seharusnya PLN mentati peraturan-peraturan yang berlaku dan menghormati hak-hak yang dimiliki oleh konsumennya. Kata Kunci: Perlindungan konsumen, PLN, P2TL, BPSK ABSTRACT P2TL performed by PT. PLN (Persero) in order to reduce the power losses caused by nontechnical factors. In practice, PT. PLN frequently alleged for violating the regulations. Especially regarding the consumer rights which are contained in the Consumer Protection Act. This thesis discusses about the rules of P2TL related to consumer protection. An example case relating this problem is dispute between Drs. Wahidin Purba and PT. PLN AJ Cempaka Putih which took an arbitration process on BPSK to resolve this problem. How is the legal basis for implementation of P2TL which is executed by PLN? Is the arbitration decision of this case had complied with the regulations? This thesis is a juridical normative research with analytic descriptive research methods. As business operator in the electricity supplies, PLN should comply to the regulations and respects the rights possessed by the consumers. Key words: Consumer protection, PLN, P2TL, BPSK. 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tenaga listrik saat ini merupakan barang yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Hampir dalam semua aktivitas masyarakat, tenaga listrik mempunyai peran yang penting. Peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat serta upaya mendorong
Analisis Yuridis ..., Harris Hartoyo Eddyanto, FH UI, 2013
peningkatan kegiatan ekonomi, tidak dapat terlepas dari ketersediaan tenaga listrik. Sedemikian pentingnya tenaga listrik membuat negara Malaysia menempatkan ketersediaan tenaga lisrik sebagai infrastruktur vital yang mendapatkan dukungan politik dan ekonomi sebagai prioritas utama.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, sektor ketenagalistrikan di Indonesia berada di bawah penguasaan negara yang dikelola dan dijalankan oleh PT. PLN (Persero). Sebagai pelaku utama dalam penyediaan listrik, maka PT. PLN (Persero) dituntut untuk dapat bertindak secara profesional dan dapat diandalkan, mengingat dalam zaman yang modern seperti sekarang, alat elektronik digunakan masyarakat dalam setiap aspek kehidupan. Akan tetapi, dalam kenyataannya ekspektasi tersebut masih jauh dari kenyataan, karena masih banyak masalah ketenagalistrikan yang timbul. Salah satu di antaranya adalah pemadaman listrik yang sering terjadi. Terjadinya pemadaman listrik ini dilatarbelakangi karena berkurangnya pasokan energi listrik.
Berkurangnya pasokan energi listrik tersebut disebabkan oleh faktor teknis dan non-teknis. Penyebab faktor teknis antara lain seperti kerusakan dalam jaringan pembangkit dan distribusi listrik. Sedangkan faktor non-teknis disebabkan banyaknya sambungan listrik illegal, yang secara langsung mengurangi pasokan listrik kepada konsumen listrik. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka PT. PLN (Persero) melakukan upaya pencegahan dan penangkalan melalui program yang disebut Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik. Tapi dalam pelaksanaannya, program P2TL yang dilakukan oleh PT. PLN (Persero) ini malah menimbulkan keresahan dalam masyarakat akibat tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh PLN.
Kesewenang-wenangan yang berupa ancaman pemutusan dan tagihan susulan tentu yang sangat merugikan konsumen. Hal ini tentu akan bersinggungan secara langsung dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang mengatur tentang perlindugan terhadap konsumen. Secara umum keluhan pelayanan yang dilakukan oleh PT. PLN (Persero) selama sepuluh tahun terakhir menempati peringkat tiga besar yang diterima oleh YLKI, dan pelaksanaan P2TL menempati peringkat ketiga dari aduan-aduan tersebut. Kerugian yang yang dialami konsumen akibat
pelaksanaan P2TL dapat dikatakan telah
melanggar hak-hak konsumen. Konsumen dinyatakan bersalah melakukan suatu tindakan yang belum tentu dilakukannya, sehingga hak konsumen terbut harus dicabut dan dituntut
Analisis Yuridis ..., Harris Hartoyo Eddyanto, FH UI, 2013
untuk melakukan kewajiban berupa pembayaran denda administrasi, yang biasa disebut dengan tagihan susulan. Padahal untuk membuktikan suatu kesalahan seseorang, harus melalui suatu proses pembuktian di Pengadilan.
Pembuktian itu sendiri adalah suatu proses, baik dalam acara perdata maupun acara pidana, maupun acara-acara lainnya. Proses pembuktian dilakukan menggunakan alat-alat bukti yang sah dan dilakukan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu.
Berdasarkan hal tersebut, konsumen pengguna jasa ketenagalistrikan harus dilindungi dari perbuatan yang dilakukan oleh PT. PLN (Persero) sebagai pelaku usaha dalam pelaksanaan P2TL yang dinilai merugikan konsumen, terutama terhadap konsumen yang memiliki itikad baik. Salah satu contoh kasus sengketa konsumen mengenai P2TL adalah kasus yang melibatkan Drs. Wahidin Purba dan PT. PLN (Persero) Area Pelayanan Cempaka Putih. Dimana kasus tersebut harus menempuh upaya penyelesaian sengketa melalu arbitrase di BPSK DKI Jakarta dan menghasilkan amar putusan arbitrase No. 026/A/BPSK-DKI/XI/2009.
1.2 Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan penelitian, yaitu: 1.
Bagaimana dasar Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) yang dilakukan Oleh PT. PLN (Persero) terhadap konsumen pengguna jasa ketenagalistrikan?
2.
Bagaimanakah analisis terhadap Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta No. 026/A/BPSK-DKI/XI/2009 tentang Drs. Wahidin Purba melawan PT. PLN (Persero) Area Pelayanan Cempaka Putih?
1.3 Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan pokok permasalahan,
penelitian ini memiliki tujuan untuk
mengumpulkan data mengenai perlindungan konsumen di Indonesia khususnya perlindungan terhadap konsumen listrik, yang secara sepesifik antara lain:
Analisis Yuridis ..., Harris Hartoyo Eddyanto, FH UI, 2013
1.
Untuk mengetahui dan memahami dasar Penertiban Pemakaiaan Tenaga Listrik yang dilakukan oleh PT. PLN (Persero);
2.
Memberikan analisis yuridis secara deskriptif terhadap Putusan Arbitrase BPSK Pemerintah Provinsi DKI Jakarta No. 026/A/BPSK-DKI/XI/2009 tentang Drs. Wahidin Purba melawan PT. PLN (Persero) Area Pelayanan Cempaka Putih.
2. METODE PENELITIAN Penulisan ini merupakan penelitian yang menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dnegan pendekatan kualitatif. Sumber pengumpulan data berupa penelusuran kepustakaan dan wawancara. Jenis data penelusuran kepustakaan berupa sumber hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan P2TL; sumber hukum sekunder yang berupa buku dan artikel yang berhubungan dengan P2TL; dan sumber hukum tertier berupa kamus.
3. TINJAUAN TEORI 3.1 Hukum Perlindungan Konsumen Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum-hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Hukum perlindungan konsumen di Indonesia diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perlindungan konsumen menurut Pasal 1 angka 1 UUPK diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Berdasarkarn tujuan pembentuan hukum perlindungan konsumen yang tercantum dalam Pasal 3 UUPK, maka dapat disimpulkan bahwa rasio dibentuknya UUPK adalah: a.
Menyeimbangkan daya tawar konsumen dan pelaku usaha;
b.
Mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur, beritikad baik dan bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatannya.
Hak dan Kewajiban Para Pihak Konsumen dan pelaku usaha memiliki hubungan saling ketergantungan dan saling membutuhkan, sehingga sudah seharusnya kedudukan konsumen dan pelaku usaha berada pada kondisi yang seimbang. Namun dalam kenyataannya, kedudukan konsumen tidaklah seimbang, konsumen seringkali berada pada posisi atau kedudukan yang lemah bila dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha. Salah satu hal yang menyebabkan kedudukan
Analisis Yuridis ..., Harris Hartoyo Eddyanto, FH UI, 2013
konsumen lebih lemah bila dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha adalah konsumen pada umumnya kurang mendapatkan akses informasi dan/atau informasi yang benar dari suatu barang dan/atau jasa. Dalam Pasal 4 UUPK disebutkan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen, antara lain: a.
Hak atas kenyamanan, kemanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.
Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan beberapa kewajiban konsumen yang dimiliki konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK, antara lain: a.
Membaca atau mengikti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b.
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d.
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Sealain konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban yang diatur dalam UUPK. Adapun hak yang dimiliki pelaku usaha antara lain: a.
Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
Analisis Yuridis ..., Harris Hartoyo Eddyanto, FH UI, 2013
b.
Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c.
Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d.
Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan kewajiban pelaku usaha berdasarkan Pasal 7 UUPK antara lain adalah: a.
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.
Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi barang dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
c.
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.
Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang/dan atau jasa yang berlaku;
e.
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberikan jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau deperdagangkan;
f.
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang/dan atau jasa yang diterima dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Penyelesaian Sengketa Konsumen Setiap konsumen yang merasa dirugikan dan hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha dapat mengajukan gugatan sengketa konsumen melalui BPSK ataupun Pengadilan Negeri sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 45 ayat (1) berkenaaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen, yang ruang lingkupnya mencakup semua hukum, baik perdata, pidana maupun dalam lingkup administrasi negara. bahwa tata cara penyelesaian sengketa konsumen dapat diajukan melalui dua cara, yaitu: a.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yang berupa: 1. Penyelesaian sengketa secara damai, yang dilaksanakan oleh para wali pihak sendiri, yaitu konsumen dan pelaku usaha/produsen.
Analisis Yuridis ..., Harris Hartoyo Eddyanto, FH UI, 2013
2. Penyelesaian sengketa melalui BPSK, dengan menggunakan mekanisme alternative dispute resolution, yaitu konsiliasi, mediasi dan arbitrase. b.
Penyelesaian melalui pengadilan.
Salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan berupa penyelesaian sengketa melalui BPSK. BPSK dibentuk oleh pemerintah dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. Dengan kehadiran BPSK, maka penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah dan murah. Dalam hal ini, penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara cepat karena Pasal 55 UUPK menentukan bahwa dalam tenggang waktu 21 hari kerja, BPSK wajib memberikan putusannya. Selanjutnya, mudah karena prosedur administratif dan proses pengambilan putusan yang sangat sederhana, sedangkan murah terletak pada biaya perkara yang terjangkau.
Setiap konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha dapat mengadukan masalahnya kepada BPSK, baik secara langsung ataupun secara tidak langsung (dengan diwakili oleh kuasanya maupun ahli warisnya). Pengaduan dapat disampaikan secara lisan atau tertulis kepada sekretariat BPSK di kota/kabupaten tempat domisili konsumen atau di kota/kabupaten terdekat dengan domisili konsumen.
Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK diselenggarakan semata-mata untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Ukuran kerugian materi yang dialami konsumen ini didasarkan pada besarnya dampak dari penggunaan produk barang dan/atau jasa tersebut terhadap konsumen. Bentuk jaminan yang dimaksud berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut. Putusan BPSK itu sendiri dapat berupa: a.
Perdamaian;
b.
Gugatan ditolak; atau
c.
Gugatan dikabulkan.
3.2 Penertiban Penggunaan Tenaga Listrik Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik, merupakan langkah positif PT PLN (Persero) dalam menertibkan dan mengamankan energi listrik yang dimanfaatkan masyarakat (pelanggan) secara tidak sah (illegal). P2TL bukanlah hal yang baru dalam kegiatan yang dilakukan oleh
Analisis Yuridis ..., Harris Hartoyo Eddyanto, FH UI, 2013
PLN, karena pada dasarnya P2TL adalah pembaruan istilah dari Operasi Penertiban Aliran Listrik (OPAL) yang berlaku sebelum tahun 2000. Penggantian istilah OPAL dilakukan dengan dikeluarkannya Keputusan Direksi No. 068.K/010/DIR/2000 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik, Tagihan Susulan, dan Pemutusan Sambungan Tenaga Listrik. Pada tahun 2008 PT. PLN mengeluarkan aturan baru mengenai P2TL, yaitu Keputusan Direksi PT. PLN No. 234.K/DIR/2008 Tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik. Kemudian dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 9 Tahun 2011 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perusahaan Listrik Negara yang di dalamnya mengatur mengenai tagihan susulan, maka PT. PLN memandang perlu diadakan penyesuaian peraturan P2TL. Penyesuaian dilakukan dengan mengeluarkan Keputusan Direksi PT. PLN No. 1486.K/DIR/2011 Tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik.
Pengertian resmi dari P2TL adalah rangkaian kegiatan meliputi perencanaan, pemeriksaan, tindakan dan penyelesaian yang dilakukan oleh PLN terhadap instalasi PLN dan/atau instalasi pemakai tenaga listrik dari PLN. Penertiban Penggunaan Tenaga Listrik dilaksanakan dalam rangka menertibkan penyaluran tenaga listrik untuk menghindari bahaya listrik bagi masyarakat, meningkatkan pelayanan dan menekan susut.
Prosedur Pelaksanaan P2TL Dalam pelaksanaan P2TL terdapat suatu struktur organisasi. Dimana organisasi pelaksanaan P2TL terdiri dari Penanggung Jawab P2TL, yaitu pejabat PT. PLN (Persero) yang ditunjuk oleh pemberi tugas untuk mengkoordinasi pelaksanaan P2TL. Pejabat PT. PLN (Persero) yang dimaksud dapat merupakan pejabat struktural atau pejabat fungsional. Sedangkan pelaksana lapangan P2TL dan Petugas Administrasi P2TL adalah pejabat atau petugas PT. PLN (Persero) yang menyelesaikan administrasi tindak lanjut hasil temuan pemeriksaan P2TL di lapangan. Namun dalam Pelaksanaannya organisasi P2TL dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi setempat. Secara umum, prosedur atau tata cara pelaksanaan P2TL terdiri dari 3 (tiga) tahapan, yaitu meliputi: 1.
Tahap pra P2TL, merupakan tahapan persiapan yang dilakukan sebelum dilaksanakannya P2TL;
2.
Tahap pelaksanaan P2TL, merupakan kegiatan tahap pelaksanaan P2TL di lapangan;
Analisis Yuridis ..., Harris Hartoyo Eddyanto, FH UI, 2013
3.
Tahap pasca P2TL, merupakan kegiatan tahap tindak lanjut hasil temuan P2TL.
Tahap pra P2TL adalah suatu tahapan yang berisi persiapan yang dilakukan petugas PLN sebelum melakukan pelaksanaan lapangan. Pada tahap ini terdapat beberapa langkah persiapan yang perlu dilakukan oleh Pelaksana Tugas P2TL, yaitu: 1.
Menentukan Target Operasi (TO);
2.
Menyusun jadwal pelaksanaan;
3.
Melakukan koordinasi dengan penyidik;
4.
Melakukan koordinasi lapangan dengan pihak terkait; dan
5.
Menyiapkan perlengkapan P2TL yang berkaitan dengan pelaksanaan P2TL di lapangan.
Setelah persiapan tahap para P2TL selesai dilakukan, maka petugas pelaksana lapangan berangkat ke lokasi dilaksanakannya P2TL. Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh petugas pelaksana lapangan P2TL pada tahap pelaksanaan P2TL adalah: 1.
Memasuki persil Pemakai tenaga listrik dan melakukan pengamanan lokasi;
2.
Sebaiknya petugas P2TL tidak menyentuh atau mendekati APP sebelum disaksikan oleh penghuni atau saksi, untuk menghindari dugaan merusak segel sebelum dilaksanakan pemeriksaan;
3.
Melakukan pemeriksaan lapangan P2TL;
4.
Melakukan tindakan P2TL bagi Pemakai tenaga listrik;
5.
Melakukan pemberkasan hasil pemeriksaan P2TL;
6.
Meninggalkan lokasi Pemakai tenaga listrik; dan
Menyerahkan dokumen dan barang bukti kepada petugas administrasi P2TL dengan membuat berita acara serah terima dokumen dan barang bukti P2TL.
Pada Keputusan Direksi PLN No.1486.K/DIR/2011 disebutkan bahwa PLN dapat menggunakan jasa pihak rekanan (outsourcing) PLN dalam pelaksanaan P2TL jika terjadi keterbatasan jumlah petugas pelaksana P2TL. Pelaksanaan P2TL oleh pihak outsourcing dilakukan atas dasar adanya perjanjian kerjasama antara PT. PLN dan Perusahaan Outsourcing yang melakukan tugas P2TL. Pengalihan wewenang pelaksanaan P2TL ini dilakukan dengan pemberian kuasa melalui surat kuasa khusus kepada pihak perusahaan outsourcing oleh Pihak yang berwenang di PT. PLN yaitu General Manager atau Manajer.
Analisis Yuridis ..., Harris Hartoyo Eddyanto, FH UI, 2013
Tahap pasca P2TL adalah tahap tindak lanjut proses P2TL yang harus dilakukan oleh petugas administrasi P2TL setelah menerima laporan hasil pelaksanaan P2TL yang dilakukan oleh petugas pelaksana lapangan. Dalam tahap ini petugas administrasi harus melakukan langkahlangkah yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah P2TL. Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh petugas administrasi P2TL adalah: 1. Menerima dokumen dan barang bukti hasil pemeriksaan lapangan P2TL; 2. Menerima dan/atau membuat surat panggilan kepada pemakai tenaga listrik atau yang mewakili dalam rangka tindak lanjut hasil temuan P2TL; 3. Melakukan pemeriksaan administrasi dan hasil laboratorium hasil temuan P2TL; 4. Membuat analisa dan perhitungan serta usulan penyelesaian tindak lanjut hasil temuan P2TL; 5. Melaksanakan penetapan tindak lanjut hasil temuan P2TL sesuai penetapan pemberi tugas dan penanggung jawab P2TL; 6. Menyiapkan administrasi proses tindak lanjut hasil temuan P2TL; 7. Membuat laporan penyelesaian kasus P2TL. 8. Memproses tindak lanjut hasil keputusan General Manager Distribusi/Wilayah atau Manajer APJ/Area/Cabang atas keberatan P2TL yang diusulkan Tim Keberatan P2TL.
Pelaksanaan P2TL yang dilakukan oleh PT. PLN (Persero) akan menimbulkan akibat berupa sanksi bagi pemakai tenaga listrik yang terjaring dan terbukti melakukan penyimpangan pemakaian energi listrik. Sanksi P2TL akan dikenakan bagi pemakai listrik baik pelanggan atau bukan pelanggan yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Keputusan Direksi PLN tentang P2TL. Adapun sanksi tersebut dibedakan dalam 2 (dua) ketegori, yaitu: 1.
Sanksi bagi pelanggan. a. Pemutusan sementara; b. Pembongkaran rampung; c. Pembayaran tagihan susulan; d. Pembayaran biaya P2TL lainnya.
2.
Sanksi bagi bukan pelanggan. a. Pembongkaran rampung; b. Pembayaran TS4; dan c. Pembayaran biaya P2TL lainnya.
Analisis Yuridis ..., Harris Hartoyo Eddyanto, FH UI, 2013
Bagi pelanggan yang terbukti melakukan pelanggaran akan diberikan sanksi berupa pengenaan tagihan susulan. Tagihan susulan P2TL adalah tagihan yang dikenakan kepada pelanggan akibat pelanggaran atau kelainan pemakai tenaga listrik yang dipasok oleh PLN. Tagihan susulan merupakan kewenangan petugas administrasi P2TL yang menindaklanjuti laporan pemeriksaan lapangan petugas lapangan P2TL mengenai adanya pelanggaran atau kelainan pemakaian listrik pelanggan.
Bagi pelanggan yang merasa keberatan atas pengenaan P2TL oleh petugas P2TL, maka ia dapat mengajukan keberatan. Pengajuan keberatan dapat ditempuh pelanggan dengan cara mengajukan kebearatan kepada General Manager Distribusi/Wilayah atau Manajer APJ/Area/Cabang unit PLN yang mengeluarkan sanksi tersebut, dengan disertai alasan dan bukti-bukti. Keberatan diajukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah kejadian P2TL. Untuk menindaklanjuti masalah pengajuan keberatan oleh pelanggan, maka PLN membentuk
Tim
Keberatan
P2TL
yang
diketuai oleh
General
Manager
untuk
Wilayah/Distribusi atau Manajer untuk Cabang/APJ/Area. Dimana tim tersebut berjumlah ganjil dan minimal beranggotakan 5 (lima) orang, yang terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: 1. Teknik; 2. Niaga / Pelayanan Pelanggan; 3. Administrasi dan Kepegawaian; 4. Wakil Pemerintah di Bidang Ketenagalistrikan.
4. ANALISIS
PUTUSAN
ARBITRASE
BADAN
PENYELESAIAN
SENGKETA
KONSUMEN (BPSK) PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA NO.026/A/BPSKDKI/XI/2009 4.1 Kasus Posisi Para pihak dalam sengketa konsumen ini adalah Drs. Wahidin Purba yang berkedudukan hukum di Jalan Pulo Asem Utara V No. 17 RT. 10/01 Kelurahan Jati, Pulo Gadung, Jakarta Timur selaku Konsumen/Penggugat. Sedangkan pihak Tergugat adalah PT. PLN (Persero) Area Pelayanan (AP) Cempaka Putih yang berkedudukan hukum di Jalan Achmad Yani Kav.60 By Pass Jakarta. Pihak tergugat adalah perusahaan penyedia layanan listrik yang wilayah usahanya meliputi wilayah tempat tinggal Penggugat, di mana penggugat adalah salah pelanggan Pelaku Usaha/Tergugat.
Analisis Yuridis ..., Harris Hartoyo Eddyanto, FH UI, 2013
Pada hari Rabu tanggal 1 April 2009, seorang petugas PLN bernama Erik Sunandar melakukan pemeriksaan listrik di tempat tinggal Penggugat dalam rangka melaksanakan P2TL. Petugas PLN tersebut memasuki persil tanpa menunjukan surat tugas. Drs. Wahidin Purba selaku kepala keluarga dan pemilik rumah tidak berada di tempat. Di rumah tersebut hanya ada anak laki-laki Penggugat yang bernama Gideon Satria. Setelah pemeriksaan, petugas itu menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran pada instalasi rumah milik penggugat berupa 2 (dua) buah lubang pada bagian atas kepala (boks) meteran listrik rumah penggugat. Petugas PLN menyatakan bahwa lubang tersebut dapat dimasukan lidi sehingga dapat mempengaruhi/memperlambat jalannya putaran meteran.
Pada hari Kamis tanggal 2 April 2009 Drs. Wahidin Purba mendatangi Kantor PLN AP Cempaka Putih untuk mengklarifikasi dan menyelesaikan masalah dugaan pelanggaran tersebut. Petugas administrasi P2TL memperlihatkan kepada Drs. Wahidin Purba boks meteran listrik berlubang yang sebelumnya berasal dari rumahnya berikut juga potongan lidi. Menurut petugas administrasi apabila potongan lidi tersebut dimasukan kedalam lubang dapat mempengaruhi/menghambat jalannya putaran meteran listrik. Drs. Wahidin Purba sudah menjelaskan bahwa dirinya tidak mengetahui dan perihal lubang tersebut, dan menolak bahwa dirinya yang membuatnya.
Petugas Administrasi P2TL memerintahkan Drs. Wahidin Purba untuk membayar tagihan susulan sebesar Rp. 6.532.500,- ditambah dengan biaya penyesuaian UJL sebesar Rp.99.000,-. Karena Drs. Wahidin Purba tidak membawa uang sebesar itu, maka pihak PT. PLN (Persero) AJ Cempaka Putih memaksa Drs. Wahidin Purba untuk menandatangani surat pernyataan untuk melunasi tagihan dalam jangka waktu dua hari. Apabila ia tidak bersedia membayar, maka PT. PLN (Persero) AJ Cempaka Putih akan melakukan pemutusan sementara tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Karena merasa masih keberatan atas pembayaran denda yang dilakukannya, pada tanggal 23 April 2009 penggugat Drs. Wahidin Purba mengajukan gugatan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Provinsi DKI Jakarta dengan Nomor Register 236/Reg/BPSKDKI/IV/09. Drs. Wahidin Purba menuntut agar uang denda sebesar Rp.6.532.500,00 yang telah dibayarkannya untuk dikembalikan. BPSK melakukan upaya mediasi kepada kedua belah pihak. Pihak Tergugat diwakili oleh kuasanya Randi Rubianto, SH. dan Rhamses Hasibuan, SH, sedangkan Penggugat hadir sendiri tanpa kuasa. Tapi setelah beberapa kali
Analisis Yuridis ..., Harris Hartoyo Eddyanto, FH UI, 2013
dilakukan mediasi, para pihak tidak menemui kesepakatan. Akhirnya para pihak bersepakat untuk menyelesaikan kasus ini dengan cara Arbitrase.
Dalam perkara arbitrase bernomor register 236/Reg/BPSK-DKI/IV/09 tersebut Drs. Wahidin Purba mengajukan gugatan berupa tuntutan agar PT. PLN (Persero) AJ Cempaka Putih selaku pelaku usaha mengembalikan uang miliknya sebesar Rp. 6.532.500,- yang didalikan sebagai tagihan susulan oleh PT. PLN (Persero) AJ Cempaka Putih. Penggugat mendalilkan bahwa tagihan susulan yang telah dibayarkan penggugat tersebut adalah kerugian yang dideritanya atas kesalahan yang tidak pernah ia lakukan. Dalam Persidangan PT. PLN (Persero) AJ Cempaka Putih tidak bisa membuktikan kesalahan pelanggaran Drs. Wahidin Purba, dikarenakan tidak ada satu dokumenpun yang dikeluarkan oleh PT. PLN (Persero) AJ Cempaka Putih bisa membuktikan kesalahan ada pada pihak Drs. Wahdin Purba. Atas dasar tersebut, maka Mejelis Arbitrase mengabulkan permohonan
Drs. Wahdin Purba, dan
memerintahkan PT. PLN (Persero) AJ Cempaka Putih untuk membayar ganti rugi berupa pengembalian uang tagihan susulan yang sudah dibayarakan oleh Drs. Wahidin Purba sebesar Rp. 6.621.500,- (enam juta enam ratu dua puluh satu ribu lima ratus rupiah).
4.2 Analisis Kasus Drs. Wahidin Purba melawan PT. PLN (Persero) Area Pelayanan Cempaka Putih dari Sudut Pandang Hukum Perlindungan Konsumen Dalam kasus ini penulis berpendapat pihak tergugat PT. PLN (Persero) Area Pelayanan Cempaka Putih bersalah dan telah melanggar hak-hak dari Drs. Wahidin Purba selaku peggugat. Hal ini didasarkan adanya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pihak tergugat dalam melaksanakan P2TL. Adapun pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh PT. PLN (Persero) antara lain: Keputusan Direksi Tentang P2TL dikeluarkan untuk menekan susut non teknis yang disebabkan pemakaian tenaga listrik yang tidak sah. Keputusan Direksi Tentang P2TL ini juga dibuat dengan mempertimbangkan aspek perlindungan konsumen. Hal ini bisa dilihat dalam konsiderans Keputusan Direksi yang memasukan Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Oleh karena itu prosedur pelaksanaan P2TL telah diatur secara normatif dalam Keputusan Direksi PLN ini agar aspek perlindungan konsumen terjaga dengan baik. Akan tetapi secara empiris, pelaksanaan P2TL banyak menyimpang dari aturan normatifnya. Dalam kasus ini terdapat beberapa pelangaran yang dilakukan oleh pihak PLN, antara lain:
Analisis Yuridis ..., Harris Hartoyo Eddyanto, FH UI, 2013
1.
Pada Tahap Pelaksanaan P2TL. a. Tata cara memasuki persil. Berdasarkan Pasal 10 ayat (2) huruf (a) dinyatakan bahwa petugas pelaksana lapangan pada saat memasuki persil Pemakai tenaga listrik harus bersikap sopan, menunjukan surat tugas dan menjelaskan maksud serta tujuan Pelaksanaan P2TL kepada Pemakai tenaga listrik atau yang mewakili. Akan tetapi pada kasus ini petugas PLN yang bernama Erik Sunandar memasuki persil tanpa menunjukan surat tugas kepada anak dari Drs. Wahidin Purba yang bernama Gideon Satria. Hal ini tentu melanggar ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) huruf (a) tersebut. Dengan adanya hal tersebut, maka patut dipertanyakan legalitas petugas dan/atau pelaksanaan P2TL tersebut. b. Petugas melakukan P2TL seorang diri. Dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3) dinyatakan bahwa pelaksana tugas lapangan adalah regu yang terdiri dari pejabat/petugas-petugas PLN yang melakukan pemeriksaan P2TL di Lapangan. Dalam kasus petugas PLN yang bernama Erik Sunandar melakukan P2TL seorang diri tanpa rekan petugas yang lain. Hal ini tentu melanggar ketentuan Pasal tersebut yang menuntut petugas pelaksana lapangan berbentuk tim, sehingga patut dipertanyakan keresmian pelaksanaan P2TL tersebut. c. Pengisian berkas pemeriksaan. Berdasarkan kesaksian anaknya, Drs. Wahidin Purba menyatakan bahwa pada saat pengisian berita acara, petugas mengosongkan kolom identitas petugas. Hal ini melanggar ketentuan Pasal 5 (b) yang menyatakan bahwa berita acara pemeriksaan harus diisi selengkap mungkin untuk memenuhi pembuktian perkara P2TL. Tapi berdasarkan berita acara yang dijadikan alat bukti terdapat dua nama petugas dalam kolom identitas petugas. Hal ini tentu bertentangan dengan fakta persidangan arbitrase yang menyatakan bahwa petugas yang melaksanakan hanya satu orang yang bernama Erik Sunandar. Dengan adanya hal tersebut, maka patut diduga adanya rekayasa dari pihak PLN. Pada Pasal 10 ayat (5) huruf (d) dinyatakan bahwa dalam hal pelaksanaan P2TL tidak disertai oleh penyidik atau pemakai tenaga listrik tidak bersedia menandatangani berita acara pemeriksaan, maka penandatanganannya dapat dimintakan kepada Ketua RT/RW/Aparat Desa/Pemuka Masyarakat/Pihak yang mengenal Pemakai tenaga listrik sebagai saksi. Pada kasus pelaksanaan P2TL tidak dilakukan bersama penyidik, akan tetapi juga tidak terdapat saksi sebagaimana yang
Analisis Yuridis ..., Harris Hartoyo Eddyanto, FH UI, 2013
ditentukan dalam ketentuan pasal tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka seharusnya berita acara pemeriksaan yang dibuat tersebut menjadi tidak sah.
d. Pengambilan barang bukti. Dalam ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf (b) dinyatakan bahwa dalam hal P2TL dilaksanakan tidak bersama penyidik maka pengambilan dilakukan oleh petugas P2TL disaksikan oleh Ketua RT/RW/Aparat Desa/Pemuka Masyarakat/Pihak yang mengenal pemakai tenaga listrik kemudian disegel dan dilaporkan/diserahkan kepada penyidik. Kemudian atas pengambilan barang bukti tersebut dibuatkan berita acara pengambilan barang bukti yang ditandatangani oleh petugas P2TL, pemakai tenaga listrik atau yang mewakili, dan para saksi. Dalam kasus pengambilan barang bukti berupa kepala (boks) meteran dilakukan tidak bersama penyidik dan tidak disaksikan para oleh para saksi. Berita acara pengambilan barang bukti juga tidak ditandatangani baik oleh penyidik ataupun saksi-saksi. Sehingga karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf (b), maka pengambilan berang bukti dan berita acara yang dibuat adalah tidak sah.
2.
Tahap Pasca P2TL Pada tahap ini walaupun terdapat rangkaian pelanggaran, tetapi semuanya berpangkal mengenai penetapan tagihan susulan. Pada tahap ini pihak PLN secara sewenangwenang memaksa Drs. Wahidin Purba untuk membayar tagihan susulan sebesar Rp. 6.532.500,00 ditambah dengan biaya penyesuaian UJL sebesar Rp.99.000,00 atas pelanggaran yang dituduhkan PLN kepada Drs. Wahidin Purba berdasarkan hasil pemeriksaan P2TL sebelumnya. Kemudian Drs. Wahidin Purba secara terpaksa menyepakati membayar tagihan susulan tersebut dikarenakan adanya ancaman pemutusan sementara oleh PLN terhadap listrik di rumahnya. Besarnya tagihan susulan pun ditetapkan secara sepihak oleh PLN tanpa menjelaskan bagaimana perhitungannya. Dalam pasal 11 ayat (5) dinyatakan bahwa pembuatan analisis, perhitungan tagihan susulan, serta usulan penyelesaian P2TL berdasarkan pemeriksaan administrasi dan laboratorium yang disepakati bersama pemakai tenaga listrik atau yang mewakili. Disebutkan bahwa perhitungan tagihan susulan dan usulan penyelesaian dibutuhkan kesepakatan bersama oleh para pihak. Dalam kasus ini telah terjadi kesepakatan dengan membuat surat pernyataan
yang menyatakan bahwa Drs. Wahidin Purba bersedia
membayar tagihan susulan paling lama dua hari kerja sejak surat tersebut ditandatangani.
Analisis Yuridis ..., Harris Hartoyo Eddyanto, FH UI, 2013
Jika kita mengacu pada KUH Perdata, maka hal tersebut bisa digolongkan ke dalam suatu perjanjian. Jika mengacu pada Pasal 1320 KUH Perdata, maka sepakat merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian. Kesepakatan yang diperoleh berdasarkan paksaan adalah tidak sah dan merupakan suatu alasan batalnya perjanjian. Dalam Pasal 1324 KUH Perdata disebutkan bahwa paksaan telah terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seseorang yang berpikiran sehat, dan perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian. Dalam kasus, pihak PLN mengancam akan memutus sementara aliran listrik di rumah Drs. Wahidin Purba jika ia tidak membayar. Karena ancaman tersebut Drs. Wahidin Purba merasa takut dan terpaksa menyepakati pembayaran tagihan susulan.
Penetapan pelanggan sebagai pelanggar pemakaian tenaga listrik dan perhitungan besarnya tagihan susulan P2TL harus sesuai dengan Petunjuk Pelaksanaan (juklak) Pembayaran Tagihan Susulan Penertiban Penggunaan Tenaga Listrik (TS-P2TL) No. SAR-PP 011/DISJAYA/2004 Lampiran Keputusan General Manager PT. PLN (Persero) Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang No. 116.K/021/GM D IV/2004 tentang Proses Bisnis Area Pelayanan (APL) di Lingkungan PT. PLN (Persero) Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang. Dimana berdasarkan juklak tersebut, penetapan seharusnya dilakukan dengan menerbitkan Penetapan Jenis Pelanggaran dan Perhitungan Besarnya TS-P2TL dengan formulir TUL I-19. Sedangkan pada kasus ini Drs. Wahidin Purba sama sekali tidak pernah menerima penetapan seperti yang dimaksud. Oleh karena itu maka penetapan Drs. Wahidin Purba telah melakukan pelanggaran adalah tidak sah, sehingga Drs. Wahidin Purba tidak berkewajiban membayar tagihan susulan tersebut.
4.3.1 Pelanggaran Terhadap Undang-undang Perlindungan Konsumen Pelanggaran yang dilakukan oleh PT. PLN (Persero) Area Jaringan Cempaka Putih selaku pelaku usaha antara lain: 1.
Pelanggaran Terhadap Hak-Hak Konsumen Dalam kasus ini terdapat beberapa pelanggaran terhadap hak-hak konsumen berdasarkan UUPK, antara lain:
Analisis Yuridis ..., Harris Hartoyo Eddyanto, FH UI, 2013
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa Ancaman pemutusan sementara jika konsumen tidak membayar tagihan susulan juga menyebabkan kenyamanan konsumen dalam mengkonsumsi listrik juga terganggu. Berdasarkan hal ini, maka PLN sebagai pelaku usaha telah melanggar Pasal 4 huruf (a) UUPK. b. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa Pemeriksaan tersebut hanya disaksikan oleh Gideon Satria anak Drs. Wahidin Purba, padahal seharusnya pemeriksaan P2TL seharusnya disaksikan langsung oleh Wahidin Purba sebagai kepala keluarga dan pengambil keputusan. Selain itu, pihak PT. PLN (Persero) Area Jaringan Cempaka Putih yang tidak memberikan informasi mengenai asal besaran nilai tagihan susulan kepada Drs. Wahidin Purba juga merupakan suatu pelanggaran atas hak ini. Oleh karena itu, PT. PLN (Persero) Area Jaringan Cempaka Putih sebagai pelaku usaha telah melanggar Pasal 4 huruf (c) UUPK c. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Atas tuduhan pelanggaran P2TL, Drs. Wahidin Purba mengeluarkan pendapat dan keluhannya bahwa ia tidak pernah melakukan perbuatan melawan hukum yang dituduhkan tersebut. Drs. Wahidin Purba juga menyatakan bahwa ia hanyalah penyewa rumah, dan ia tidak mungkin melakukan pemeriksaan pada hal-hal kecil seperti adanya lubang tersebut pada saat awal menyewa rumah. Akan tetapi petugas Administrasi PT. PLN (Persero) Area Jaringan Cempaka Putih sama sekali tidak mendengarkan pendapat dan keluhan Drs. Wahidin Purba, dan tetap menuntut ia harus bertanggung jawab secara penuh. Berdasarkan hal itu, maka PLN sebagai pelaku usaha telah melanggar Pasal 4 huruf (d) UUPK. d. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa konsumen secara patut Drs. Wahidin Purba sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan dan dianggap bersalah melakukan pelanggaran dan dikenakan tagihan susulan. Pihak PT. PLN (Persero) Area Jaringan Cempaka Putih juga hanya memberikan satu solusi yaitu membayar tagihan susulan tersebut jika tidak ingin
Analisis Yuridis ..., Harris Hartoyo Eddyanto, FH UI, 2013
aliran listrik di rumahnya diputus sementara. Berdasarkan hal tersebut, PLN telah melanggar Pasal 4 huruf (e) UUPK e. Hak untuk diperlakukan serta dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Hak ini telah dilanggar oleh pihak PLN PT. PLN (Persero) Area Jaringan Cempaka Putih pada saat pelaksanaan P2TL di persil milik Drs. Wahidin Purba. Petugas Lapangan P2TL melakukan rangkaian tindakan P2TL dengan melanggar prosedur pelaksanaan yang telah ditentukan dalam Keputusan Direksi Tentang P2TL. Pihak PLN juga memiliki indikasi merekayasa P2TL tersebut, hal ini dilihat dari pengisian berita acara pemeriksaan, dimana menurut kesaksian Gideon Satria kolom identitas petugas pelaksana lapangan P2TL di berita acara pemeriksaan dibiarkan kosong, sedangkan ketika dijadikan alat bukti persidangan kolom tersebut telah diisi nama petugas sebanyak dua orang. Hal ini juga sangat bertentangan dengan fakta persidangan yang menyatakan pelaksanan P2TL di persil Drs. Wahidin Purba hanya dilakukan oleh satu orang petugas yang bernama Erik Sunandar. Berdasarkan hal tersebut, PLN telah melanggar Pasal 4 huruf (g) UUPK 2.
Pelanggaran Terhadap Kewajiban Pelaku Usaha a.
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Kewajiban ini telah dilanggar oleh pihak PT. PLN (Persero) Area Jaringan Cempaka Putih karena pada saat pelaksanaan P2TL terdapat banyak tindakan yang melanggar prosedur yang sudah ditentukan dalam Keputusan Direksi PLN Tentang P2TL., PT. PLN (Persero) Area Jaringan Cempaka Putih telah melanggar Pasal 7 huruf (a) UUPK.
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/dan atau jasa, serta memberikan penjelasan yang dianggap perlu. Kewajiban ini telah dilanggar oleh pihak PT. PLN (Persero) Area Jaringan Cempaka Putih, dimana saat petugas pelaksana lapangan melakukan P2TL tidak disaksikan langsung oleh Drs. Wahidin Purba sehingga tidak mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai pemeriksaan dan permasalahan tersebut. Selain itu, pihak PLN PT. PLN (Persero) Area Jaringan Cempaka Putih yang tidak memberikan informasi mengenai asal besaran nilai tagihan susulan kepada Drs. Wahidin Purba juga merupakan pelanggaran atas hak ini. Oleh karena itu, PT. PLN (Persero) Area Jaringan Cempaka Putih sebagai pelaku usaha telah melanggar Pasal 7 huruf (b) UUPK
Analisis Yuridis ..., Harris Hartoyo Eddyanto, FH UI, 2013
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif Kewajiban ini telah dilanggar oleh pihak PLN PT. PLN (Persero) Area Jaringan Cempaka Putih pada saat pelaksanaan P2TL di persil milik Drs. Wahidin Purba. Petugas Lapangan P2TL melakukan rangkaian tindakan P2TL dengan melanggar prosedur pelaksanaan yang telah ditentukan dalam Keputusan Direksi Tentang P2TL. Pihak PLN juga memiliki indikasi merekayasa P2TL tersebut, hal ini dilihat dari pengisian berita acara pemeriksaan, dimana menurut kesaksian Gideon Satria kolom identitas petugas pelaksana lapangan P2TL di berita acara pemeriksaan dibiarkan kosong, sedangkan ketika dijadikan alat bukti persidangan kolom tersebut telah diisi nama petugas sebanyak dua orang. Hal ini juga sangat bertentangan dengan fakta persidangan yang menyatakan pelaksanan P2TL di persil Drs. Wahidin Purba hanya dilakukan oleh satu orang petugas yang bernama Erik Sunandar. Berdasarkan hal tersebut, PLN telah melanggar Pasal 7 huruf (c) UUPK.
5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian bab-bab sebelumnya pada tulisan penelitian ini, maka Penulis dapat membuat kesimpulan yaitu: 1.
Dasar hukum Pelaksanaan P2TL adalah Keputusan Direksi PT. PLN No. 1486.K/DIR/2011 Tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik. Peraturan ini dibuat untuk menggantikan Keputusan Direksi PT. PLN No. 234.K/DIR/2008 Tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik karena dianggap sudah tidak sesuai dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 9 Tahun 2011 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perusahaan Listrik Negara.
2.
Putusan
Arbitrase
BPSK
Pemerintah
Provisi
Jakarta
Nomor
026/A/BPSK-
DKI/XI/2009) yang mengabulkan gugatan Penggugat Drs. Wahidin Purba untuk seluruhnya telah sesuai dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku. Dimana pihak PT. PLN (Persero) AJ Cempaka Putih selaku Tergugat terbukti bersalah karena melakukan pelanggaran terhadap, yaitu (1) hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan (Pasal 4 huruf (a) UUPK); (2) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa (Pasal 4 huruf (c) UUPK); (3)
Analisis Yuridis ..., Harris Hartoyo Eddyanto, FH UI, 2013
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan (Pasal 4 huruf (d) UUPK); (4) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa konsumen secara patut (Pasal 4 huruf (e) UUPK); (5) hak untuk diperlakukan serta dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif (Pasal 4 huruf (g) UUPK); (6) kewajiban beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya (Pasal 7 huruf (a) UUPK); (7) kewajiban memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/dan atau jasa, serta memberikan penjelasan yang dianggap perlu (Pasal 7 huruf (b) UUPK); kewajiban memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif (Pasal 7 huruf (c) UUPK).
5.2 Saran Beberapa saran yang dapat Penulis sampaikan dalam tulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Konsumen perlu bersifat kritis dan sadar akan hak-haknya yang dilanggar oleh PLN. Sikap kritis tersebut dapat berupa mencari informasi sebanyak mengkin mengenai hakhak konsumen, terutama dalam peraturan perundang-undangan.
2.
Lembaga-lembaga perlindungan konsumen secara aktif perlu mengadakan sosialisasi kepada masyarakat mengenai Keputusan Direksi PT. PLN Tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik. Karena selama ini keputusan direksi ini hanya beredar secara tertutup dalam lingkungan internal PT. PLN (Persero), sehingga jika adanya penyimpangan yang dilakukan petugas P2TL masyarakat tidak akan menyadarinya.
3.
PT. PLN Persero harus memberikan komitmen yang serius terhadap kepentingan konsumen. Hal ini bisa dilakukan dengan memperketat pengawasan internal PT. PLN (Persero) untuk mengawasi dan menindak petugas P2TL yang melakukan pelanggaran. 4. Pemerintah perlu untuk lebih mensosialisasikan peran dari lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), untuk melindungi konsumen terutama konsumen listrik yang selama ini miskin informasi dan berada dalam posisi yang lemah dalam menghadapi kesewenangan PT. PLN (Persero) dalam hal pelaksanaan P2TL.
Analisis Yuridis ..., Harris Hartoyo Eddyanto, FH UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA Abadi, Tulus dan Sudaryatmo. 2004. Memahami hak dan Kewajiban Anda Sebagai Konsumen Listrik. Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Perbaikan Pelayanan Listrik. Arijanto. 2008. Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik. Jakarta: Pustaka STT-PLN. Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/12/2001. Direktorat Perlindungan Konsumen Deperindag. 2000. Pedoman Standar Intepretasi UU Perlindungan Konsumen. Jakarta: Deperindag. Fuady, Munir. 2006. Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Indonesia, Undang-undang Ketenagalistrikan. UU No. 30 Tahun 2009. LN No.133 Tahun 2009. TLN No. 5052. Indonesia, Undang-undang Tentang Perlindungan Konsumen. UU. No. 8 Tahun 1999. LN No.42 Tahun 1999. TLN No. 3821. Mamudji, Sri et. al. 2005. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Nasuton, Az. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media. Nugroho, Susanti Adi. 2008. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari AcaraSerta Kendala Implementasinya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. PT. PLN (Persero). Keputusan Direksi tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL). Keputusan Direksi PT. PLN No. 1486.K/DIR/2011. ________, Keputusan Direksi tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL). Keputusan Direksi PT. PLN No. 234.K/DIR/2008. Shidarta. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT Grasindo. Shofie, Yusuf. 2003. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2004. Penelitian Hukum Normatif: Suatu tinjauan Singkat, cet VIII. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Susilo, Zumrotin K. 1996. Penyambung Lidah Konsumen, cet. I. Jakarta: Puspa Swara.
Analisis Yuridis ..., Harris Hartoyo Eddyanto, FH UI, 2013
Yayasan Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur, “PLN Selalu Masuk 3 Besar Untuk Keluhan Konsumen”, < http://ylpkjatim.com/berita/pln-selalu-masuk-3-besar-untukkeluhan-konsumen/>, diakses tanggal 17 Januri 2010.
Analisis Yuridis ..., Harris Hartoyo Eddyanto, FH UI, 2013