TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM KERUGIAN BARANG BAWAAN PENUMPANG ANGKUTAN UDARA (STUDI KASUS: PERKARA PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT NO. 278/PDT.G/2012/PN.JKT.PST ANTARA UMBU S. SAMAPATY MELAWAN PT. LION MENTARI) Vania Astrella dan Heri Tjandrasari Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Sarana transportasi sebagai sarana penghubung antar wilayah memiliki peran penting bagi masyarakat, khususnya di Indonesia. Seiring dengan peningkatan penggunaan jasa angkutan udara, muncul masalah perihal keamanan, keselamatan, dan kenyamanan pengguna jasa penerbangan sebagai konsumen yang merupakan akibat dari kurangnya perhatian perusahaan penyedia jasa penerbangan terhadap kualitas dari pelayanannya. Hal tersebut menimbulkan resiko-resiko dalam menggunakan angkutan udara yang mungkin akan diterima oleh konsumen. Kelalaian konsumen yang seringkali hanya menuntut hak dan lupa untuk menjalankan kewajibannya sebagai konsumen juga meningkatan probabilitas terjadinya resiko tersebut. Kurangnya kejelasan informasi mengenai tanggung jawab perusahaan penerbangan sebagai pelaku usaha serta perihal ganti rugi terhadap kerugian barang bawaan penumpang membuat konsumen dirugikan. Pelaku usaha penerbangan seharusnya bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh penumpang angkutan udara berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Penerbangan Kata kunci
: Penumpang Angkutan Udara, Barang Bawaan, Bagasi, Tanggung Jawab Pengangkut Udara
Judicial Review of Consumer Protection for Passangers’ Baggage Loss (Case Study: Central Jakarta Distric Court Case No. 278/Pdt.G/Pn.Jkt.Pst between Umbu S. Samapaty against PT. Lion Mentari) Abstract Transportation holds an important role in society for connecting the region in a country, especially in Indonesia. Along with the increasing number of air transportation services comsumption, some problem related with the security, safety and comfort for the passangers emerging as well. These issues occur since the flight company unconcern with their services quality. Hence, there are some risk in using air transportation for the cunsumers. In the other hand, the consumer neligence towards the regulation also the sourse of increasing risks. The lack of information about the corporate responsibility regarding reimbursement for lost passenger luggage harms the consumers. Supposedly, based on the consumerprotection law and legislation, the flight company must be responsible for any consumers’ losses. Keywords
: Passanger, Passanger Luggage, Baggage, Air Carrier Liability
Tinjauan yuridis..., Vania Astrella, FH UI, 2013
PENDAHULUAN Latar Belakang Di negara berkembang seperti Indonesia, dimana tingkat kepadatan penduduk tinggi, kegiatan ekonomi terus berkembang, serta wilayah negara yang cukup luas dan merupakan sebuah negara kepulauan membuat masyarakatnya sangat bergantung kepada sarana transportasi untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya. Tanpa adanya sarana transportasi sebagai sarana penunjang, tidak dapat diharapkan tercapainya hasil yang memuaskan dalam usaha pengembangan ekonomi dari suatu negara1. Salah satu jenis angkutan yakni angkutan udara kini memegang peran penting dalam berbagai kegiatan. Pertumbuhan industri penerbangan yang begitu pesat di tanah air ditandai dengan pertumbuhan jumlah angkutan udara niaga berjadwal dari 7,6 juta penumpang pada tahun 2000 menjadi lebih dari lima kalinya yaitu 39 juta penumpang pada akhir tahun 2007 yang dilayani oleh 206 armada2. Transportasi udara kian populer seiring dengan banyaknya perusahaan penerbangan yang mengusung format penerbangan dengan tarif murah atau Low Cost Carrier (LCC). Pada intinya product value yang ditawarkan oleh LCC senantiasa berprinsip low cost atau biaya rendah untuk menekan pengeluaran operasional dalam menjaring segmen pasar bawah yang lebih luas. Pemberlakuan tarif murah memberikan dampak positif, antara lain lebih dapat dijangkau oleh berbagai lapisan masyarakat sehingga menyebabkan kelancaran arus laju pergerakan masyarakat dan pengguna jasa transportasi udara akan memiliki banyak pilihan. Namun di sisi lain, pemberlakuan tarif murah diikuti dengan beberapa kompensasi yang menyertai pelayanan perusahaan penyedia jasa, biasanya dilakukan dengan menurunkan kualitas pelayanan. Diantaranya dengan menggunakan pesawat-pesawat dengan tahun pembuatan yang cukup tua, harga tiket yang tidak termasuk makanan yang biasa disajikan pada penerbangan lain, bahkan yang lebih mengkhawatirkan adalah berkurangnya kualitas pemeliharaan pesawat sehingga rawan terhadap keselamatan penerbangan dan akan berdampak kurang baik terhadap keamanan, kenyamanan dan perlindungan konsumen. Kurangnya perhatian perusahaan penyedia jasa penerbangan terhadap kualitas dari pelayanannya berdampak pada keamanan, kenyamanan, keselamatan dan perlindungan terhadap konsumen. Dampak tersebut menimbulkan resiko-resiko yakni resiko kecelakaan 1
H.A. Abbas Salim, Manajemen Transportasi (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1993), hal. 1.
2
Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan, Bunga Rampai Roundtable Discussion Badan Litbang Perhubungan (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan, 2010), hal. 169.
Tinjauan yuridis..., Vania Astrella, FH UI, 2013
pesawat yang dapat menyebabkan luka-luka atau bahkan kematian, kehilangan barang bawaan di dalam bagasi, serta pengaduan terhadap perusahaan jasa penerbangan atas hilang atau rusaknya barang di bagasi yang cenderung ditelantarkan dan tidak jelas penyelesaiannya. Pada dasarnya hubungan antara pelaku usaha dan konsumen merupakan hubungan yang bersifat ketergantungan3. Hal ini dikarenakan pada praktiknya konsumen sebagai penumpang membutuhkan jasa transportasi udara untuk menunjang aktivitas mereka, sedangkan penyelenggara jasa angkutan udara membutuhkan konsumen untuk jalannya usaha mereka. Oleh karenanya penumpang yang menggunakan jasa penerbangan perlu dilindungi haknya, seperti contohnya hak memperoleh ganti rugi apabila penumpang mengalami kerusakan atau kehilangan bagasi. Perihal tata cara serta nominal penggantian terhadap kehilangan atau kerusakan barang bawaan penumpang dalam bagasi memang telah diatur dalam Undang-Undang dan peraturan terkait, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih terjadi ketidakadilan yang dialami oleh konsumen dalam hal penggantian kerugian atas rusak atau hilangnya barang bawaan dalam bagasi tersebut. Hal tersebut mungkin terjadi karena lemahnya pengawasan dari pemerintah serta badan-badan hukum terkait atau kurangnya pengetahuan konsumen terhadap konsep perlindungan terhadap konsumen itu sendiri. Oleh karena itu penulis membuat penelitian yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Konsumen Dalam Kerugian Barang Bawaan Penumpang Angkutan Udara (Studi Kasus: Perkara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 278/Pdt.G/2012/Pn.Jkt.Pst Antara Umbu S. Samapaty Melawan Pt. Lion Mentari)”. Az. Nasution dalam bukunya menyatakan bahwa “konsumen dimana pun mereka berada, dari segala bangsa, mempunyai hak-hak dasar sosialnya”4. Begitu juga halnya penumpang sekaligus konsumen jasa penerbangan di Indonesia, mereka mempunyai hak-hak yang dilindungi oleh undang-undang, baik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UUP), Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (PM 77 Tahun 2011), maupun dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 49 Tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri (PM 49 Tahun 2012). 3
Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2000), hal.
4
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen : Suatu Pengantar (Jakarta: Diadit Media, 2002), hal.
81. vii.
Tinjauan yuridis..., Vania Astrella, FH UI, 2013
Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, telah disusun rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana hubungan hukum antara penumpang angkutan udara dan pengangkut sebagai konsumen dan pelaku usaha? 2. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pengangkut terhadap barang bawaan penumpang yang hilang, musnah atau rusak (studi kasus Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 278/Pdt.G/2012/Pn.Jkt.Pst.)? 3. Apakah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara Umbu S. Samapaty melawan PT. Lion Mentari sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan? Tujuan Penelitian Berdasarkan pada permasalahan-permasalahan tersebut, penelitian ini secara umum memiliki tujuan untuk dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen terhadap kehilangan, musnah atau rusaknya bagasi. Adapun tujuan khusus dari penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui hubungan hukum antara penumpang angkutan udara dan pengangkut sebagai konsumen dan pelaku usaha; 2. Untuk
memahami
bentuk
pertanggungjawaban
pengangkut
terhadap
bagasi
penumpang yang hilang, musnah atau rusak ditinjau dari peraturan perundangundangan terkait; 3. Untuk mengetahui apakah putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
TINJAUAN TEORITIS Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu Bandar udara ke Bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara5. Sedangkan angkutan udara niaga merupakan angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran6. 5
Indonesia (a), Undang-Undang Tentang Penerbangan, UU No. 1 Tahun 2009, LN No. 1 Tahun 2009, TLN No. 4956, Pasal 1 butir 13. 6
Ibid, Pasal 1 butir 14.
Tinjauan yuridis..., Vania Astrella, FH UI, 2013
Pada prinsipnya kegiatan pengangkutan udara merupakan hubungan hukum yang bersifat perdata, akan tetapi mengingat transportasi udara telah menjadi kebutuhan masyarakat secara luas maka diperlukan campur tangan pemerintah dalam kegiatan pengangkutan udara, yaitu dengan menentukan kebijakan-kebijakan atau regulasi yang berhubungan dengan kegiatan pengangkutan udara sehingga kepentingan konsumen pengguna jasa transportasi udara terlidungi. Meskipun perjanjian pengangkutan pada hakekatnya sudah harus tunduk pada pasal-pasal dari bagian umum dari hukum perjanjian KUHPerdata, akan tetapi oleh undang-undang telah ditetapkan berbagai peraturan khusus yang bertujuan untuk kepentingan umum membatasi kebebasan dalam hal membuat perjanjian pengangkutan yaitu meletakkan kewajiban khusus kepada pihaknya pengangkut yang tidak boleh disingkirkan dalam perjanjian7. Dalam menyelenggarakan pengangkutan niaga, terlebih dahulu harus diadakan perjanjian antara pengangkut dengan penumpang dan/atau pengirim barang. Perjanjian pengangkutan niaga merupakan persetujuan dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan penumpang atau pengirim barang mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan. Perjanjian pengangkutan selalu diadakan secara lisan tetapi didukung oleh dokumen-dokumen yang membuktikan bahwa perjanjian sudah terjadi8. Perjanjian pengangkutan tersebut dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen muatan9. Sama halnya dengan perjanjian pada umunya, perjanjian pengangkutan ini juga menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Apabila salah satu pihak lalai dalam memenuhi kewajibannya untuk memberikan sesuatu, berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai perjanjian tersebut maka dapat terjadi perbuatan ingkar-janji. Perbuatan ingkarjanji tersebut memberikan hak pada pihak yang lain untuk menggugat ganti rugi. Pengangkut memiliki tanggung jawab kepada penumpang, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga10. Perihal tanggung jawab pengangkut diatur lebih lanjut 7
R. Subekti, Aneka Perjanjian (Bandung: PT. Citra Aditya, 1995), hal. 71.
8
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1998), hal.
9
Indonesia (a), op.cit., Pasal 140 ayat (3).
35.
10
Indonesia (a), op.cit., Pasal 1 butir 22.
Tinjauan yuridis..., Vania Astrella, FH UI, 2013
dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Tanggung jawab pengangkut kepada penumpang dimulai sejak penumpang meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat udara sampai dengan penumpang memasuki terminal kedatangan di bandar udara tujuan. Sedangkan tanggung jawab pengangkut terhadap bagasi tercatat dimulai sejak pengangkut menerima bagasi tercatat pada saat pelaporan (check-in) sampai dengan diterimanya bagasi tercatat oleh penumpang11.
METODE PENELITIAN Bentuk penelitian yang digunakan ialah penelitian hukum yuridis normatif yang bertujuan untuk meneliti kepastian hukum berdasarkan studi kepustakaan dan hukum positif yang ada. Dilihat dari tipe penelitian yang dilakukan, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan atau mendeskripsikan masalah secara umum untuk kemudian dianalisis sesuai dengan konsep dan teori yang ada dalam ketentuan perundang-undangan. Dalam penelitian ini, penulis akan melakukan studi dokumen (library research)12 dan wawancara. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen yang bersumber dari data sekunder tersebut. Data sekunder yang ditelusuri mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer berupa UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, maupun dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 49 Tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri, serta peraturan lainnya yang terkait dengan penelitian. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku, artikel yang didapat dari surat kabar, majalah, serta internet. Selain itu digunakan pula bahan hukum tersier yang berupa kamus bahasa serta ensiklopedia. 11
Ibid., Pasal 18.
12
Studi dokumen yang dimaksud ialah proses penelaahan bahan – bahan pustaka yang tersedia. Adapun bahan pustaka ialah data dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai data sekunder Data sekunder yang akan digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma dasar, peraturan dasar, peraturan perundang – undangan, hukum adat, yurispudensi dan traktat. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, sedangkan bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: CV Rajawali, 1990), hal 15.
Tinjauan yuridis..., Vania Astrella, FH UI, 2013
HASIL PENELITIAN Dalam penelitian ini penulis membahas Perkara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 278/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Pst antara: 1. Umbu S. Samapaty, S.H., M.H., sebagai Penggugat. 2. PT. Lion Mentari, sebagai Tergugat. Gugatan diajukan oleh Penggugat berawal ketika Penggugat membeli tiket penerbangan jurusan Manado-Jakarta-Kupang untuk penerbangan tanggal 8 Oktober 2011. Dimana pada saat keberangkatan dari Manado, Penggugat menitipkan barang di bagasi tercatat berupa koper besar merek Polo yang diakuinya berisikan barang-barang berharga yang apabila dijumlahkan bernilai Rp. 2.959.000.000,- (dua milyar sembilan ratus lima puluh sembilan juta rupiah). Setibanya di Kupang, koper miliknya dengan nomor bagasi 0990 JT 862540 tidak dapat ditemukan atau hilang. Penggugat mengajukan laporan atas hilangnya koper di Kantor Cabang Tergugat di Bandar Udara Kupang dan diterima oleh pegawai Tergugat bernama Stanis yang menjanjikan bahwa koper tersebut beserta isinya akan dicari dan diurus dalam jangka waktu dua minggu. Setelah dua minggu berlalu Penggugat belum mendapatkan kabar perihal koper tersebut, Penggugat kemudian menanyakan kembali kepada pihak Tergugat namun hasilnya pun tetap nihil. Penggugat kemudian meminta pertanggungjawaban Tergugat untuk mengganti kerugian tersebut sebesar Rp. 2.959.000.000,-, namun ditolak. Pada tanggal 1 November 2011 dan 11 November 2011, kuasa hukum Penggugat membuat dan mengajukan Surat Somasi kepada Tergugat. Atas Surat Somasi tersebut, pada tanggal 14 November 2011 pihak Tergugat memberikan tanggapan dengan surat No. 170/ILG/XI/2011 yang menyatakan bahwa Tergugat hanya bertanggung jawab mengganti kehilangan koper tersebut dengan kompensasi maksimal sebesar Rp. 3.000.000,-. Berdasarkan kejadian tersebut, Penggugat melayangkan gugatannya kepada Tergugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas dasar tuduhan Perbuatan Melawan Hukum karena Tergugat telah lalai menghilangkan barang bawaan Penggugat yang tersimpan dalam bagasi pesawat dengan nomor bagasi 0990 JT 862540 dan tidak mempunyai itikad baik untuk mengganti seluruh kerugian Penggugat. Petitum Penggugat Dalam gugatannya, Penggugat memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara untuk memberikan putusan sebagai berikut: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
Tinjauan yuridis..., Vania Astrella, FH UI, 2013
2. Menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum; 3. Menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi materiil kepada Penggugat seketika dan sekaligus sebesar Rp. 2.959.000.000,-; 4. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan dalam perkara ini antara lain: sebidang tanah dan bangnan kantor berupa Lion Air Tower yang terletak dan setempat dikenal umum sebagai Jalan Gajah Mada No. 7, Jakarta Pusat; 5. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat berupa uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 2.500.000,- per hari apabila Tergugat lalai menjalankan isi putusan ini sejak putusan dalam perkara ini berkekuatan hukum tetap; 6. Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun ada perlawanan, banding dan kasasi; 7. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara. Jawaban Tergugat Dalam Konvensi Bahwa Tergugat menolak atau tidak mempercayai dalil gugatan Penggugat angka 4 sampai dengan 8 yang menyebutkan bahwa Penggugat telah kehilangan koper/bagasi pada penerbangan Manado-Jakarta-Kupang tanggal 8 Oktober 2011 yang didalamnya berisi barang-barang senilai Rp. 2.959.000.000,- karena Tergugat merasa tidak pernah menghilangkan koper/bagasi tersebut. Bahwa terhadap dalil gugatan angka 9 sampai dengan 12 benar bahwa Penggugat telah mensomir Tergugat perihal bagasinya yang hilang yang dituangkan dalam surat somasi. Tergugat menawarkan untuk mengganti kerugian Penggugat maksimal Rp. 3.000.000,kepada Penggugat yang didasari oleh ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (PM 77 Tahun 2011), tawaran tersebut dituangkan dalam Surat No. 170/ILG/XI/2011 tertanggal 14 November 2011. Tawaran tersebut bukan dikarenakan Tergugat mengakui bahwa telah menghilangkan bagasi Penggugat, akan tetapi karena itikad baik dan tanggung jawab selaku pengangkut angkutan udara. Bahwa Tergugat menolak dalil gugatan angka 13 sampai dengan 15 karena secara hukum Tergugat tidak melakukan perbuatan melawan hukum kepada Penggugat. Tergugat juga menolak dalil Penggugat angka 16 perihal sita jaminan karena tidak wajar dan terlalu berlebihan, juga dalil angka 17 dan 18 perihal uang paksa dan putusan serta merta dikarenakan tidak berdasar dan tidak relevan.
Tinjauan yuridis..., Vania Astrella, FH UI, 2013
Dalam Rekonvensi Bahwa Penggugat/Tergugat Rekonvensi tanpa bukti dan dasar hukum telah menuduh Tergugat/Penggugat Rekonvensi menghilangkan barang-barang milik Penggugat/Tergugat Rekonvensi senilai Rp. 2.959.000.000,- padahal Tergugat/Penggugat Rekonvensi tidak pernah menerima dan menghilangkan barang-barang tersebut. Perbuatan Penggugat/Tergugat Rekonvensi tersebut telah merugikan dan mencemarkan nama baik Tergugat/Penggugat Rekonvensi di mata seluruh konsumen dan/atau masyarakat Indonesia. Bahwa perbuatan pencemaran nama baik tersebut menimbulkan kerugian bagi Tergugat/Penggugat Rekonvensi yakni kerugian materiil sebesar Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) dan kerugian imateriil sebesar Rp. 500.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Berdasarkan dalil-dalil tersebut Tergugat/Penggugat Rekonvensi memohon kepada Mejelis Hakim untuk memberi putusan dengan amar sebagai berikut: Dalam Konvensi: 1. Menyatakan menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya atau setidaknya menyatakan gugatan tidak dapat diterima; 2. Menghukum Penggugat membayar biaya perkara. Dalam Rekonvensi: 1. Mengabulkan gugatan Tergugat/Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Penggugat/Tergugat Rekonvensi telah melakukan perbuatan melawan hukum; 3. Menghukum Penggugat/Tergugat Rekonvensi membayar ganti kerugian materiil sebesar Rp. 3.000.000.000,-; 4. Menghukum Penggugat/Tergugat Rekonvensi membayar ganti kerugian immateriil sebesar Rp. 500.000.000.000,-; 5. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah dimohonkan oleh Tergugat/Penggugat Rekonvensi atas harta benda milik Penggugat/Tergugat Rekonvensi; 6. Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun Penggugat/Tergugat Rekonvensi melakukan upaya hukum verzet, banding, dan kasasi. Dalam Konvensi dan Rekonvensi: Membebankan biaya perkara kepada Penggugat/Tergugat Rekonvensi untuk membayar biaya perkara aquo.
Tinjauan yuridis..., Vania Astrella, FH UI, 2013
Pertimbangan Hakim Dalam Konvensi Bahwa Penggugat dapat membuktikan telah membeli tiket penerbangan yang dijual oleh Tergugat untuk berangkat pada tanggal 8 Oktober 2011 jam 10.00 WITA dengan jurusan Manado ke Kupang. Selain itu Penggugat juga membuktikan telah kehilangan barang di bagasi berupa koper besar merek Polo dengan Nomor Bagasi 0990 JT 862540. Bahwa Penggugat dianggap belum dapat membuktikan dalil gugatannya perihal isi koper yang diakui berisikan pakaian dan barang berharga. Akan tetapi Tergugat dapat dianggap kurang hati-hati atau lalai dalam melaksanakan kewajibannya untuk mengangkut barang-barang bagasi dengan aman sampai pada tujuannya. Oleh karena itu Terguguat dianggap telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) PM 77 Tahun 2011, pengangkut dibebaskan dari tuntutan ganti kerugian terhadap hilangnya barang berharga milik penumpang yang disimpan dalam bagasi tercatat kecuali pada saat pelaporan keberangkatan penumpang telah menunjukkan bahwa didalam bagasi tercatat terdapat barang berharga dan pengangkut setuju untuk mengangangkutnya. Karena Penggugat tidak dapat membuktikan bahwa Tergugat telah menyetujui untuk membawa bagasi berisi barang berharga, maka tuntutan mengganti barang tersebut ditolak. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) huruf a PM 77 Tahun 2011, Majelis mengambil yang paling banyak yaitu Rp. 4.000.000,- per penumpang, oleh karenanya tuntutan pada angka 3 (tiga) yang dapat dikabulkan berbunyi: Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materiil kepada Penggugat seketika dan sekaligus yaitu sebesar Rp. 4.000.000,-. Bahwa tuntutan pada angka 4 (empat) ditolak karena Panitera PN Jakarta Pusat belum pernah melakukan penyitaan. Tuntutan pada angka 5 (lima) ditolak karena tuntutan uang paksa tidak bisa diberikan terhadap eksekusi pembayaran sejumlah uang. Tuntutan pada angka 6 (enam) juga harus ditolak karena belum memenuhi ketentuan dalam Pasal 180 HIR dan Surat Edaran Mahkamah Agung yang berkaitan dengan putusan serta merta. Dalam Rekonvensi Bahwa atas gugatan Rekonvensi, Tergugat Rekonvensi/Penggugat yang mengajukan gugatan kepada Penggugat Rekonvensi/Tergugat adalah dibenarkan dalam Hukum Acara Perdata dan bukan merupakan pencemaran nama baik, oleh karena itu beralasan untuk menolak seluruh tuntutan Penggugat Rekonvensi/Tergugat. Dalam Konvensi dan Rekonvensi
Tinjauan yuridis..., Vania Astrella, FH UI, 2013
Menimbang bahwa Tergugat/Penggugat Rekonvensi sebagai pihak yang kalah, maka harus dihukum untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini yang besarnya sebagaimana tercantum dalam amar putusan. Amar Putusan Dalam Konvensi: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian; 2. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum; 3. Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materiil kepada Penggugat seketika dan sekaligus yaitu sebesar Rp. 4.000.000,-; 4. Menolak gugatan Penggugat selebihnya; Dalam Rekonvensi: Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi untuk seluruhnya. Dalam Konvensi dan Rekonvensi: Menghukum Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi membayar biaya perkara ini yang hingga kini diperhitungkan sebesar Rp. 316.000,-.
PEMBAHASAN Hubungan Hukum Antara Pelaku Usaha Penerbangan Dengan Penumpang Hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha pada dasarnya merupakan hubungan perdata yang berlandaskan pada kesepakatan kedua belah pihak. Hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen tertuang pada suatu bentuk perikatan atau perjanjian. Demikian juga dengan hubungan hukum antara perlaku usaha penerbangan dengan penumpangnya, dimana terdapat perjanjian yang melatarbelakangi terjadinya hubungan hukum atara kedua pihak. Perjanjian pengangkutan udara merupakan perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pihak penumpang dan/atau pengirim kargo untuk mengangkut penumpang dan/atau kargo dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa yang lain13. Dengan kata lain, perusahaan penerbangan mengikatkan diri untuk mengangkut penumpang dan/atau barang, sedangkan penumpang dan/atau pengirim barang mengikatkan diri untuk membayar ongkos angkutan sebagai imbal jasa14. Perjanjian 13
Indonesia(a), op.cit., Pasal 1 butir 29
14
K. Martono dan Amad Sudiro, Hukum Angkutan Udara (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011),
hal. 199.
Tinjauan yuridis..., Vania Astrella, FH UI, 2013
pengangkutan dibuktikan dengan tiket penumpang apabila dalam bentuk pengangkutan orang dan airway bill apabila dalam bentuk pengangkutan barang atau kargo. Dengan adanya perjanjian pengangkutan, penumpang wajib membayar ongkos angkutan udara dan sebaliknya perusahaan penerbangan mempunyai kewajiban mengangkut penumpang serta barang bawaannya sampai di tempat tujuan dengan selamat. Oleh karena itu, apabila penumpang dan/atau barang bawaannya tidak sampai di tempat tujuan dengan selamat, maka perusahaan penerbangan bertanggung jawab memberikan ganti kerugian yang diderita oleh penumpang. Perusahaan penerbangan dapat digugat secara perdata di hadapan pengadilan oleh penumpang karenanya15. Dalam kasus Umbu S. Samapaty melawan PT. Lion Mentari perjanjian pengangkutan telah terjadi, dapat dibuktikan dari tiket penerbangan milik Umbu S. Samapaty yang dijual oleh PT. Lion Mentari melalui PT. Masindo Buana Wisata untuk jurusan Manado-JakartaKupang tanggal 8 Oktober 2011 seharga Rp. 3.736.800,- (tiga juta tujuh ratus tiga puluh enam ribu delapan ratus rupiah). Perjanjian pengangkutan ini kemudian melahirkan hak dan kewajiban, dimana Umbu S. Samapaty berkewajiban membayar ongkos angkutan udara yang merupakan hak bagi PT. Lion Mentari dan PT. Lion Mentari wajib mengangkut Umbu S. Samapaty dan barang bawaannya sampai di tujuan dengan selamat, serta memberikan pelayanan yang layak sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang telah disepakati. Umbu S. Samapaty telah memenuhi kewajibannya untuk membayarkan imbalan atau ongkos angkutan sebesar Rp. 3.736.800,-. Sebaliknya, kewajiban PT. Lion Mentari tidak terpenuhi, hal ini dapat dilihat dari hilangnya barang bawaan berupa koper milik Umbu S. Samapaty dalam penerbangan yang dilakukannya. Hilangnya koper tersebut merupakan akibat dari kegiatan angkutan udara dan koper tersebut yang merupakan bagasi tercatat masih berada dalam pengawasan pengangkut, maka PT. Lion Mentari bertanggung jawab atas kerugian dan wajib memberikan ganti kerugian yang diderita oleh penumpang yakni Umbu S. Samapaty sesuai dengan ketentuan Pasal 144 UUP dan Pasal 2 hufur c PM 77 Tahun 2011. Tanggung Jawab PT. Lion Mentari Sebagai Pelaku Usaha 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) UUPK mengatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha dalam Pasal 19, dalam ayat (1) dinyatakan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Berdasarkan 15
Ibid., hal 199.
Tinjauan yuridis..., Vania Astrella, FH UI, 2013
ketentuan ini, PT. Lion Mentari bertanggung jawab memberikan ganti kerugian kepada Umbu S. Samapaty yang mengalami kerugian berupa kehilangan barang bawaan yakni koper besar yang diakuinya berisikan pakaian dan barang berharga dengan total nilai sebesar Rp. 2.959.000.000,- akibat menggunakan jasa penerbangan. Pasal 19 ayat (2) UUPK menyatakan bahwa ganti rugi dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila dikaitkan dengan kasus, ganti rugi yang dapat dilakukan oleh PT Lion Mentari adalah dengan penggantian barang-barang milik Umbu S. Samapaty yang berada dalam koper miliknya dengan barang yang sejenis atau setara nilainya. Hal tersebut tentunya harus didukung oleh bukti-bukti. Umbu S. Samapaty dalam perkara ini berhasil membuktikan bahwa ia telah kehilangan barang di bagasi tercatat berupa koper besar, akan tetapi gagal dalam membuktikan perihal isi dari koper tersebut. Oleh karena itu penggantian terhadap isi koper senilai Rp. 2.959.000.000,- tidak dimungkinkan. Pasal 19 ayat (3) UUPK mengatur tentang pemberian ganti rugi yang dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Dalam kasus ini PT. Lion Mentari tidak memberikan ganti rugi kepada Umbu S. Samapaty terhadap hilangnya koper miliknya melebihi batas waktu tujuh hari yang ditetapkan dalam UUPK. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal 23 UUPK, pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Umbu S. Samapaty dalam gugatannya tidak mendalilkan PT. Lion Mentari bertanggung jawab melakukan ganti rugi berdasarkan Pasal 19 UUPK tetapi telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebagaimana diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Oleh karenanya gugatan diajukan di pengadilan tempat wilayah Tergugat berdiam yakni di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat,
sesuai
dengan
pasal
118
Herzien
Inlandsch
Reglement
(H.I.R)/Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (R.I.B.) dan bukan diajukan di tempat kedudukan konsumen yakni Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 UUPK.
Tinjauan yuridis..., Vania Astrella, FH UI, 2013
Pasal 28 UUPK menyebutkan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha (sistem pembuktian terbalik). Apabila Umbu S. Samapaty mendalilkan tanggung jawab PT. Lion Mentari berdasarkan UUPK maka beban pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan menjadi tanggung jawab dari PT. Lion Mentari sebagai pelaku usaha. Akan tetapi dikarenakan dalil yang ditujukan kepada PT. Lion Mentari adalah PMH maka beban pembuktian akan kesalahan ada pada Umbu S. Samapaty sesuai dengan ketentuan Pasal 163 H.I.R, bahwasannya siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia pula yang harus membuktikan. 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan (UUP) Pasal 144 UUP mengatur bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut. Yang dimaksud dalam pengawasan pengangkut adalah sejak barang diterima pengangkut pada saat pelaporan (check in) sampai dengan barang tersebut diambil oleh penumpang di bandar udara tujuan. Konsep tanggung jawab yang berlaku adalah tanggung jawab mutlak dengan pembatasan tanggung jawab (limitation of liability). Prinsip ini tidak mengenal adanya beban pembuktian dan unsur kesalahan tak perlu dipersoalkan, akan tetapi besaran pertanggung jawabannya dibatasi dalam UUP dan peraturan pelaksananya yakni PM 77 Tahun 2011. Barang bawaan milik Umbu S. Samapaty telah diserahkan kepada pengangkut untuk diangkut dengan pesawat udara yang sama atau dengan kata lain merupakan bagasi tercatat, dapat dibuktikan dengan bukti penitipan bagasi atas nama Umbu S. Samapaty. Kemudian bagasi tercatat tersebut hilang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara dan masih berada dalam pengawasan pengangkut. Berdasarkan ketentuan Pasal 174 ayat (3), bagasi tercatat dinyatakan hilang setelah 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak tiba di tempat tujuan. Barang bawaan Milik Umbu S. Samapaty seharusnya tiba di tempat tujuan (Kupang) pada tanggal 8 Oktober 2011 akan tetapi hingga tanggal 14 November koper tersebut belum juga diketemukan, sehingga koper dalam bagasi tercatat tersebut sudah dapat dinyatakan hilang. Oleh karenanya PT. Lion Mentari bertanggung jawab atas kehilangan barang bawaan milik Umbu S. Samapaty sesuai dengan ketentuan Pasal 144 UUP. 3. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (PM 77 Tahun 2011)
Tinjauan yuridis..., Vania Astrella, FH UI, 2013
PM 77 Tahun 2011 merupakan peraturan pelaksana dari UUP. Pasal 2 huruf c mengatur bahwa pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap hilang, musnah atau rusaknya bagasi tercatat. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) mengatur perihal besaran ganti kerugian sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 168 ayat (1) UUP. Jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang mengalami kehilangan, musnah atau rusaknya bagasi tercatat ditetapkan dalam sebagai berikut: a. kehilangan bagasi tercatat atau isi bagasi tercatat atau bagasi tercatat musnah diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per kg dan paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) per penumpang; dan b. kerusakan bagasi tercatat, diberikan ganti kerugian sesuai jenisnya bentuk, ukuran dan merk bagasi tercatat. Umbu S. Samapaty dalam gugatannya mendalilkan PMH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata dengan kerugian materiil sebesar Rp. 2.959.000.000,-. Hal tersebut mungkin dikarenakan Umbu S. Samapaty akan dirugikan apabila penggantian kerugian disesuaikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1), karena tidak sebanding dengan nilai kerugian yang dialami. Tindakan Umbu S. Samapaty untuk menuntut lebih dari nominal yang telah ditentukan dimungkinkan apabila melihat ketentuan dalam Pasal 23 PM 77 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa besaran ganti kerugian yang diatur dalam peraturan ini tidak menutup kesempatan kepada penumpang untuk menuntut pengangkut ke pengadilan negeri di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, Pasal 5 ayat (3) menyatakan bahwa pengangkut berkewajiban memberikan uang tunggu kepada penumpang atas bagasi tercatat yang belum ditemukan dan belum dapat dinyatakan hilang sebesar Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per hari paling lama untuk 3 (tiga) hari kalender. Dalam kasus ini tidak ditemukan pernyataan yang mengisyaratkan bahwa PT. Lion Mentari telah melaksanakan ketentuan pasal tersebut. Pasal 6 ayat (1) PM 77 Tahun 2011 menyebutkan bahwa Pengangkut dibebaskan dari tuntutan ganti kerugian terhadap hilangnya barang berharga atau barang yang berharga milik penumpang yang disimpan di dalam bagasi tercatat, kecuali pada saat pelaporan keberangkatan (check-in) penumpang telah menyatakan dan menunjukkan bahwa di dalam bagasi tercatat terdapat barang berharga atau barang
Tinjauan yuridis..., Vania Astrella, FH UI, 2013
yang berharga, dan pengangkut setuju untuk mengangkutnya. Dalam hal pengangkut menyetujui barang berharga atau barang yang berharga di dalam bagasi tercatat diangkut, pengangkut dapat meminta kepada penumpang untuk mengasuransikan barang tersebut. Apabila ketentuan pasal 6 ayat (1) dikaitkan dengan kasus, PT. Lion Mentari dibebaskan dari tuntutan ganti kerugian terhadap hilangnya barang berharga milik Umbu S. Samapaty yang disimpan di dalam bagasi tercatat, karena Umbu S. Samapaty tidak dapat membuktikan bahwa ia telah menunjukkan isi dari koper tersebut kepada pihak pengangkut. Selain itu tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa PT. Lion Mentari telah menyetujui untuk mengangkut barang berharga yang tersimpan dalam koper tersebut. Terakhir, perihal ketentuan wajib asuransi yang diatur dalam Pasal 179 dan Pasal 180 UUP serta Pasal 16 dan Pasal 17 PM 77 Tahun 2011 yang pada pokoknya mengatur bahwa pengangkut wajib mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap penumpang kepada perusahaan asuransi. Dalam kasus ini, tidak ditemukan adanya pertanggungan asuransi terhadap kerugian yang dialami oleh Umbu S. Samapaty, padahal ketentuan wajib asuransi sudah jelas diatur dalam pasal-pasal di atas. Oleh karena hal tersebut, PT. Lion Mentari dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 26 PM 77 Tahun 2011 yang berupa sanksi administratif. 4. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 49 Tahun 2012 Tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Berkaitan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) PM 77 Tahun 2011, PM 49 Tahun 2012 mengatur bahwa tiket harus memuat syarat dan ketentuan umum perjanjian pengangkutan bahwa penumpang wajib melaporkan barang berharga atau yang dianggap berharga yang dimuat dalam bagasi tercatat, kepada petugas check-in16. Dalam kasus ini, Umbu S. Samapaty sebagai konsumen juga memiliki kewajiban, salah satunya adalah membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan17. Ketentuan mengenai kewajiban pelaporan barang berharga yang dimuat dalam bagasi tercatat pada saat check-in telah diatur untuk dimuat pada tiket. 16
Departemen Perhubungan (a), Peraturan Menteri Perhubungan Tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri, Permen Perhubungan Nomor 49, Tahun 2012., Pasal 13 ayat (3). 17
Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, TLN No. 3821, Pasal 5 huruf a.
Tinjauan yuridis..., Vania Astrella, FH UI, 2013
Umbu S. Samapaty seharusnya menjalankan kewajibannya untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi mengenai pelaporan barang berharga yang telah tercantum dalam tiket yang dimilikinya. Sebaliknya pelaku usaha berkewajiban memberikan informasi bahwa badan usaha angkutan udara niaga berjadwal tidak bertanggung jawab terhadap barang berharga yang disimpan di dalam bagasi tercatat, kecuali terdapat perjanjian persetujuan pengangkutan secara tertulis dari pihak badan usaha angkutan udara niaga berjadwal yang bersangkutan. Dalam hal ini badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dapat meminta kepada penumpang untuk mengasuransikan barang tersebut18. Lebih lanjut pelaku usaha wajib melakukan olah informasi keamanan (security question) dan penimbangan terhadap bagasi tercatat, sebelum dilakukan penimbangan, petugas check in wajib mengajukan pertanyaan kepada penumpang tentang keamanan bagasi tercatat (security questions/baggage profiling), berkaitan dengan barang berharga atau yang dianggap berharga yang ditempatkan di bagasi tercatat. Apabila penumpang menyatakan bahwa tidak terdapat barang berharga atau yang dianggap berharga pada bagasi tercatat, maka petugas check in wajib menempelkan label bertanda "non valuable thing inside" pada bagasi tercatat tersebut dan pada tanda pengenal bagasi (claim tag)19. Umbu S. Samapaty sebagai konsumen memiliki hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Dalam kasus ini tidak ada kejelasan apakah PT. Lion Mentari telah memberikan informasi kepada Umbu S. Samapaty mengenai hal tersebut dan apakah PT. Lion Mentari telah melaksanakan kewajiban tersebut sebagaimana telah diatur dalam Pasal 20 PM 49 Tahun 2012. Dalam Pasal 55 diatur bahwa pengangkut menjamin ketersediaan petugas yang menangani pemberian ganti kerugian sebagai tanggung jawab pengangkut terhadap kehilangan, kerusakan atau keterlambatan bagasi, sesuai ketentuan yang berlaku, dengan mekanisme waktu penanganan selambat-Iambatnya 14 (empat belas) hari kalender sejak penumpang mengajukan keluhan. Dalam kasus ini Umbu S. Samapaty yang mengajukan keluhan atas hilangnya barang bagasi miliknya tidak mendapatkan penanganan yang baik karena beliau tidak mendapatkan jawaban atas keluhan yang 18
Departemen Perhubungan (a), op.cit., Pasal 20 ayat (2).
19
Ibid., Pasal 20 ayat (3).
Tinjauan yuridis..., Vania Astrella, FH UI, 2013
telah diajukannya kepada PT. Lion Mentari melebihi waktu 14 (empat belas) hari kalender sebagaimana yang telah ditentukan. Yang terakhir mengenai penanganan keluhan penumpang yang diatur dalam Pasal 56, dikatakan bahwa penanganan keluhan penumpang meliputi adanya informasi prosedur atau mekanisme yang jelas untuk penyampaian keluhan penumpang beserta batas waktu tindak lanjut yang selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender, dan informasi ganti kerugian sesuai ketentuan yang berlaku. Sama seperti permasalahan diatas bahwa Umbu S. Samapaty tidak mendapatkan informasi yang jelas dan tindak lanjut yang dilakukan oleh PT. Lion Mentari melebihi batas waktu yang ditentukan yakni 14 (empat belas) hari kalender. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam Kasus Umbu S. Samapaty melawan PT. Lion Mentari Dalam Konvensi, Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata dengan memintakan ganti kerugian meteriil sebesar Rp. 2.959.000.000,-. Perihal Perbuatan Melawan Hukum, pertama-tama harus dilihat unsur-unsur dari Perbuatan Melawan Hukum itu sendiri yaitu20: (1) Perbuatan tersebut melawan hukum; (2) Ada kesalahan pada pelaku; (3) Ada kerugian; dan (4) Ada hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberi pertimbangan berdasarkan alat bukti surat yang diajukan oleh Penggugat yaitu bukti P-4 (Penitipan bagasi Penggugat dengan kode PNR: KAWOWD, JT 696 KOE, JT 775 CGK, 0990 JT 862540), bukti P-5 (Laporan kehilangan bagasi milik Penggugat tertanggal 8 Oktober 2011) dan bukti P-9 (Surat dari Tergugat Nomor: 170/ILG/XI/2011) serta alat bukti keterangan saksi yakni Antonius F. Lumhu dan Heri Lumewu, sehingga dapat diketahui Penggugat telah kehilangan koper besar yang masih berada dalam batas tanggung jawab Tergugat sebagai pengangkut. Berdasarkan pertimbangan tersebut, terbukti adanya kesalahan Tergugat yang kurang hati-hati atau lalai dalam menjalankan atau melaksanakan kewajibannya untuk mengangkut atau membawa barang-barang dalam bagasi tercatat dengan aman sampai pada tujuannya. Perihal kerugian, jelas terlihat bahwa dengan hilangnya koper tersebut, Penggugat mengalami kerugian atas koper beserta isi didalamnya. Kemudian perihal hubungan kausalitas, kerugian yang dialami oleh Penggugat tersebut dialami akibat perbuatan dari Tergugat. Karena 20
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 117.
Tinjauan yuridis..., Vania Astrella, FH UI, 2013
kelalaiannya, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa Tergugat telah melakukan PMH yang menimbulkan kerugian bagi Penggugat. Penulis berpendapat bahwa Putusan Majelis Hakim terkait PMH telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana telah dijabarkan diatas. Perihal ganti kerugian meteriil sebesar Rp. 2.959.000.000,-. Majelis Hakim memberikan pertimbangannya dengan melihat ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) huruf a. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Pasal 6 membebaskan pengangkut dari tuntutan ganti rugi terhadap hilangnya barang berharga milik penumpang yang disimpan dalam bagasi kecuali telah dilaporkan pada saat pelaporan keberangkatan (check in) dan pengangkut telah menyetujui untuk mengangkutnya. Dalam kasus ini Tergugat dibebaskan untuk mengganti kerugian milik Penggugat yang berada dalam koper yang hilang tersebut karena Penggugat tidak dapat membuktikan bahwa Tergugat telah menyetujui untuk membawa bagasi milik Penggugat yang berisikan barang berharga tersebut. Oleh karenanya penggantian kerugian disesuaikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a PM 77 Tahun 2011, Majelis Hakim mengambil jumlah terbanyak yaitu Rp. 4.000.000,- per penumpang. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa penggunaan pasal tersebut sebenarnya sudah tepat dan sesuai. Akan tetapi, meskipun belum dapat dibuktikan secara jelas kebenarannya, ganti kerugian yang dikabulkan oleh Majelis Hakim jauh lebih rendah nominalnya dibandingkan dengan jumlah yang diminta oleh Penggugat. Penulis juga berpendapat bahwa Majelis Hakim tidak melihat hal lain yang tidak dilaksanakan oleh Tergugat, antara lain adalah pemberian uang tunggu sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3) PM 77 Tahun 2011. Selain itu Pasal 20 ayat (2) PM 49 Tahun 2012 mengatur bahwa Tergugat sebagai pengangkut berkewajiban untuk memberikan informasi bahwa pengangkut tidak bertanggung jawab terhadap barang berharga yang disimpan di dalam bagasi tercatat, kecuali apabila terdapat perjanjian persetujuan pengangkutan secara tertulis dari pihak badan usaha angkutan udara niaga berjadwal yang bersangkutan. Dalam putusan, Majelis Hakim tidak membahas apakah Tergugat sudah menjalankan kewajiban untuk memperingatkan dan memberikan informasi tersebut kepada Penggugat. Kemudian, dalam Pasal 20 ayat (3) PM 49 Tahun 2012, pengangkut berkewajiban untuk mengajukan pertanyaan kepada penumpang tentang keamanan bagasi tercatat (security questions/baggage profiling) pada saat check-in, berkaitan dengan barang berharga atau yang dianggap berharga yang ditempatkan di bagasi tercatat. Apabila penumpang menyatakan bahwa tidak terdapat barang berharga atau yang dianggap berharga pada bagasi tercatat, maka petugas check in wajib menempelkan label bertanda "non valuable thing inside" pada bagasi
Tinjauan yuridis..., Vania Astrella, FH UI, 2013
tercatat tersebut dan pada tanda pengenal bagasi (claim tag), hal ini juga tidak masuk dalam pertimbangan hakim apakah telah dilakukan oleh Tergugat atau belum. Dalam Rekonvensi, Tergugat/Penggugat Rekonvensi mendalilkan Penggugat/Tergugat Renkonvensi melakukan PMH atas dasar pencemaran nama baik. Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan yang diajukan oleh Penggugat/Tergugat Renkonvensi dibenarkan oleh Hukum Acara Perdata dan bukan merupakan pencemaran nama baik, dan menolak seluruh tuntutan Tergugat/Penggugat. Dalam hal ini penulis sependapat dengan Majelis Hakim. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya dan berhubungan dengan rumusan masalah, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha merupakan hubungan perdata yang berlandaskan pada kesepakatan kedua belah pihak yang tertuang pada suatu bentuk perikatan atau perjanjian. Demikian juga hubungan hukum antara perlaku usaha penerbangan dengan penumpangnya, dimana terdapat perjanjian yang melatarbelakangi terjadinya hubungan hukum atara kedua pihak. Perjanjian Pengangkutan Udara adalah perjanjian antara pengangkut dan pihak penumpang dan/atau pengirim kargo untuk mengangkut penumpang dan/atau kargo dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa yang lain. Perjanjian pengangkutan tersebut dibuktikan dengan tiket penumpang apabila dalam bentuk pengangkutan orang dan Airway Bill apabila dalam bentuk pengangkutan barang atau kargo. Berdasarkan perjanjian tersebut, perusahaan penerbangan bertanggung jawab memberikan ganti kerugian yang diderita oleh penumpang apabila pihak penumpang beserta barang bawaannya dan/atau kargo tidak diangkut atau tiba di tempat tujuan dengan selamat. 2. UUPK dalam Pasal 19 mengatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi tehadap konsumen yang menderita kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Sedangkan Pasal 144 UUP dan Pasal 2 huruf c PM 77 Tahun 2011 menyebutkan bahwa Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut. Dalam kasus Umbu S. Samapaty melawan PT. Lion Air, Umbu S. Samapaty merasa dirugikan karena telah kehilangan barang bawaan dalam bagasi tercatat yang berada
Tinjauan yuridis..., Vania Astrella, FH UI, 2013
dalam pengawasan PT. Lion Mentari. Oleh karenanya PT. Lion Air sebagai pelaku usaha dan pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh Umbu S. Samapaty selaku konsumen dan penumpang. 3. Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Pusat dalam putusannya menyatakan PT. Lion Mentari telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum dan dihukum membayar ganti kerugian materiil kepada Umbu S. Samapaty sebesar Rp. 4.000.000,- yang didasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a PM 77 Tahun 2011. Dalam hal ini Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada pokoknya sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku akan tetapi terdapat hal-hal dari ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang tidak diperhatikan dan dipertimbangan oleh majelis hakim sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
SARAN Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut: 1. Upaya pembinaan dan pendidikan konsumen angkutan udara perlu menjadi perhatian pemerintah maupun pihak penyelenggara jasa. Sosialisasi perihal pengaturan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan angkutan udara dapat dilakukan melalui penyuluhan atau iklan di media massa agar konsumen sebagai penumpang angkutan udara dapat mengerti dan memahami secara jelas pengaturan yang ada. 2. Perlunya memberikan edukasi kepada konsumen agar lebih berdaya dalam memperjuangkan haknya dalam hal terjadi pelanggaran. 3. Sesuai dengan kewajiban konsumen yang diamanatkan dalam UUPK, hendaknya konsumen membaca terlebih dahulu setiap informasi yang disediakan terkait jasa yang hendak digunakan, mengingat sangat pentingnya pengetahuan konsumen akan produk. 4. Apabila penumpang hendak membawa barang berharga di dalam bagasi pesawat, sebaiknya dilaporkan terlebih dahulu kepada perusahaan penerbangan yang bersangkutan dan diasuransikan guna meminimalisir resiko. 5. Sebaiknya diadakan evaluasi berkala terhadap pelaku usaha di bidang angkutan udara dan pemberian sanksi kepada pelaku usaha apabila sering didapati kasus kehilangan barang bagasi pesawat agar memberikan efek jera dan kejadian yang merugikan konsumen tidak terulang terus menerus.
Tinjauan yuridis..., Vania Astrella, FH UI, 2013
DAFTAR REFERENSI BUKU
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003. Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan. Bunga Rampai Roundtable Discussion Badan Litbang Perhubungan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan, 2010. Hartono, Sri Redjeki. Kapita Selekta Hukum Ekonomi. Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2000. Martono, K. dan Amad Sudiro. Hukum Angkutan Udara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011. Muhammad, Abdulkadir. Hukum Pengangkutan Niaga. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1998. Nasution, Az. Hukum Perlindungan Konsumen : Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media, 2002. Salim, H.A. Abbas. Manajemen Transportasi. Jakarta : PT RajaGrafindo, 1993. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: CV Rajawali, 1990. Subekti, R. Aneka Perjanjian. Bandung: PT. Citra Aditya, 1995. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Departemen Perhubungan. Peraturan Menteri Perhubungan Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Permen Perhubungan Nomor 77, Tahun 2011. Departemen Perhubungan. Peraturan Menteri Perhubungan Tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. Permen Perhubungan Nomor 49, Tahun 2012. Indonesia. Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen. UU No. 8 Tahun 1999. LN No. 42 Tahun 1999. TLN No. 3821. Indonesia, Undang-Undang Tentang Penerbangan, UU No. 1 Tahun 2009. LN No. 1 Tahun 2009. TLN No. 4958.
Tinjauan yuridis..., Vania Astrella, FH UI, 2013