KEDUDUKAN PEKERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 012/PUU-I/2003 SKRIPSI
OLEH : ANTON SUBEKTI
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2013
KEDUDUKAN PEKERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 012/PUU-I/2003 SKRIPSI
DI SUSUN OLEH : ANTON SUBEKTI NPM : 29120007
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2013
KEDUDUKAN PEKERJA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 012/PUU-I/2003 SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH : ANTON SUBEKTI NPM : 29120007
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2013
KEDUDUKAN PEKERJA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 012/PUU-I/2003
NAMA
: ANTON SUBEKTI
NPM
: 29120007
JURUSAN
: ILMU HUKUM
FAKULTAS
: HUKUM
DI SETUJUI dan DI TERIMA OLEH : PEMBIMBING
Dr. H. Taufiqurrahman, S.H., M.Hum
Telah diterima dan disetujui oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan LULUS. Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
Surabaya, 05 Agustus 2013
Tim Penguji Skripsi :
1. Ketua
: Tri Wahyu Andayani S.H., C.N., M.H (
)
( Dekan)
2. Sekretaris
: Dr. H. Taufiqurrahman S.H., M.Hum
(
)
: 1. Tri Wahyu Andayani S.H C.N., M.H(
)
(Pembimbing)
3. Anggota
(Dosen Penguji I)
2. H. Arief Syahrul Alam S.H., M.Hum ( (Dosen Penguji II)
)
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah SWT. Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul : “KEDUDUKAN PEKERJA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR
13
TAHUN
2003
PASCA
PUTUSAN
MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 012/PUU-I/2003 “ di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Kedua orang tua saya Bapak/Ibu yang sudah memberikan do’a restu dan dukungan baik moriil maupun sprituiil.
2.
Bapak Budi Endarto S.H., M.Hum. Selaku Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya.
3.
Bapak Dr. H. Taufiqurrahman S.H., M.Hum. Selaku Wakil Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya sekaligus dosen Pembimbing skripsi penulis.
4.
Bapak H. Arief Syahrul Alam SH., M.Hum Selaku sekretaris Rektor.
5.
Ibu Tri Wahyu Andayani S.H., C.N., M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
6.
Bapak Andy Usmina Wijaya S.H., M.H Selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
i
7.
Bapak Dr. Wahyu Kurniawan SH., LL.M Selaku pemberi saran untuk jadinya penulisan skripsi ini.
8.
Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
9.
Bapak/Ibu Dosen Penguji Skripsi Penulis banyak terima kasih.
10. Istri dan anak-anak ku yang telah memberikan do’a restu kepada saya untuk menulis skripsi. 11. Keluarga saya Adik-adikku sekalian yang telah memberikan semangat dan motivasi penuh kepada saya untuk menyelesaikan penulisan skripsi saya ini. 12. Teman-teman mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. “ Tetap semangat semua dan sukses selalu “. Semoga kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan berkat yang melimpah dari ALLAH S.W.T
Surabaya, 05 Agustus 2013 Terima kasih,
Penulis
ii
DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL LEMBAR PENGESAHAN….……………………………………………………….....i KATA PENGANTAR….……………………………………………………………....iii DAFTAR ISI ………………………………………………………………………...... .. vi BAB I
: PENDAHULUAN ............................................................................... .1 1.1. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1 1.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 7 1.3. Penjelasan Judul ........................................................................... 7 1.4. Alasan Pemilihan Judul ................................................................. 8 1.5. Tujuan Penelitian ........................................................................... 8 1.6. Manfaat Penelitian ......................................................................... 8 1.7. Metode Penelitian .......................................................................... 9 1.8. Sistematika Pertanggung Jawaban ............................................... 11
BAB II
: KEDUDUKAN HUBUNGAN KERJA ................................................. 12 2.1. Hubungan Kerja Menurut KUH Perdata ...................................... 12 2.1.1 Syarat-syarat Perjanjian Kerja Menurut KUH Perdata .................. 15 2.1.2 Kewajiban Pengusaha Menurut KUH Perdata .............................. 19 2.1.3 Kewajiban Pekerja Menurut KUH Perdata .................................... 22 2.2 . Hubungan Kerja Menurut UU Ketenagakerjaan ............................ 23 2.2.1 Ketentuan Upah Menurut UU Ketenagakerjaan ............................ 24 2.2.2 Syarat Sahnya Perjanjian Kerja Menurut UU Ketenagakerjaan .... 28 2.2.3 Beberapa Perjanjian Kerja Menurut UU Ketenagakerjaan ............ 29 2.3. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) .............................................. 35 2.3.1 Perselisihan Hubungan Industrial ................................................. 37 2.3.2 Penyelesaian Melalui Bipartit ........................................................ 38
2.3.3 Penyelesaian Melalui Mediasi ...................................................... 40 2.3.4 Penyelesaian Melalui Konsiliasi .................................................... 41 2.3.5 Penyelesaian Melalui Arbitrase..................................................... 42 BAB III : PENAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PUTUSAN NOMOR 012/PUU-I/2003 ...................................................................... 46 3.1. Terhadap pasal-pasal yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ........................................................................................ 46 3.2 UU Ketenagakerjaan Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 ................................................... 48
BAB IV : PENUTUP ............................................................................................ 56 4.1. KESIMPULAN ............................................................................... 56 4.2. SARAN .......................................................................................... 57
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia istilah buruh diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana yang diusulkan oleh pemerintah (Depnaker) Departemen Tenaga Kerja pada waktu kongres Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) II Tahun 1985. Alasan pemerintah karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan berada dibawah pihak lain yakni majikan. Berangkat dari sejarah penyebutan istilah buruh seperti tersebut
diatas,
menurut
penulis
istilah
buruh
kurang
sesuai
dengan
perkembangan sekarang, buruh sekarang ini tidak lagi sama dengan buruh masa lalu yang hanya bekerja pada sector non formal seperti kuli, tukang, dan sejenisnya, tetapi juga sektor formal, seperti Bank, hotel dan lain – lain. Karena itu lebih tepat jika menyebutkannya dengan istilah pekerja. Istilah pekerja juga sesuai dengan Penjelasan Pasal 28 UUD 1945 (setelah amandemen), “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Namun karena pada Orde Baru istilah pekerja khususnya yang banyak di intervensi oleh kepentingan pemerintah, maka kalangan buruh trauma dengan penggunaan istilah tersebut sehinga untuk mengakomodir kepentingan buruh dan pemerintah,maka istlah tersebut disandingkan. Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang selanjutnya disebut (UU Ketenagakerjaan) Pasal 1 angka (3) memberikan pengertian “Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja
menerima upah atau imbalan dalam bentuk apa pun”. Pengertian ini agak umum namun maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum atau badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Penegasan imbalan dalam bentuk apapun ini perlu karena upah selama ini diidentikkan dengan uang, padahal ada pula buruh/pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk barang.1 Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka (14) UU Ketenagakerjaan “hubungan
kerja
adalah
hubungan
antara
pengusaha
dengan
pekerja
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. Unsur-unsur perjanjian kerja yang menjadi dasar hubungan kerja sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka (4) UU Ketenagakerjaan adalah : 1. 2. 3.
Adanya pekerjaan (arbeid); Dibawah perintah pengusaha (gesag ver houding); Adanya upah tertentu yang sesuai peraturan perundangan yang ditentukan pemerintah daerah yang disebut UMK (Upah Minimum Kota) dalam provinsi, kotamadya/kabupaten; Dalam waktu (tijd) dapat tanpa batas waktu/pension atau berdasarkan waktu tertentu.
4.
Maksud dari unsur yang pertama adanya pekerjaan (arbeid) pekerjaan itu bebas sesuai dengan kesepakatan antara buruh dan majikan, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Unsur kedua dibawah perintah pengusaha (gesag ver houding) di dalam hubungan kerja kedudukan pengusaha adalah pemberi kerja, sehingga ia berhak dan sekaligus berkewajiban untuk memberikan perintah-perintah yang berkaitan dengan pekerjaannya, kedudukan buruh sebagai pihak yang menerima perintah untuk melaksanakan perintah untuk melaksanakan pekerjaan, hubungan pekerja 1
2010, hal 44.
Lalu Husni, Pengantar Hukkum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
dan pengusaha adalah hubungan yang dilakukan antara atasan dan bawahan sehingga bersifat subordinasi hubungan yang bersifat vertikal, yaitu atasan dan bawahan. Unsur ketiga adanya upah (loan) tertentu yang menjadi imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh buruh. Pengertian upah berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (30) UU Ketenagakerjaan adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan ditanyakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan pekerja. Unsur yang keempat adalah waktu (tijd) adalah pekerja/buruh bekerja untuk waktu yang ditentukan atau untuk waktu yang tidak ditentukan atau selama-lamanya. Waktu kerja pekerja dalam satu minggu atau tujuh (7) hari adalah 40 jam. untuk 6 hari kerja perminggu seharinya bekerja 7 jam dalam 5 hari dan 5 jam dalam 1 hari. Adapun untuk 5 hari kerja perminggu bekerja selama 8 jam sehari. Apabila kebutuhan proses produksi menghendaki adanya lembur, hanya diperbolehkan lembur maximal 3 jam perhari atau 14 jam perminggu. Kenyataannya lembur yang terjadi didalam praktik melebihi batas maximal tersebut. Selama bekerja setiap 4 jam pekerja yang bekerja harus diberikan istirahat selama setengah jam. Dalam satu minggu harus ada istirahat minimal 1 hari kerja. Dalam satu tahun pekerja harus diberikan istirahat 12 hari kerja/tahun.
Apabila pekerja telah telah bekerja selama 6 tahun maka wajib diberikan istirahat cuti besar selama satu bulan dengan menerima upah penuh.2 Hubungan kerja terjadi karena Perjanjian kerja dalam undang-undang ketenagakerjaan
perjanjian kerja dapat digolongkan dalam Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT), Perjajian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), dalam perjanjian kerja meski ada UU yang khusus mengaturnya tetapi ada pula peraturan perundangan yang umum untuk mengatur masalah perjanjian kerja yaitu perjanjian kerja pemborongan pekerjaan yang diatur dalam Pasal 1601 Huruf (b) KUH Perdata yang disebutkan bahwa “Pemborongan pekerjaan adalah perjanjian,
dimana
pihak
yang
satu
sipemborong,
mengikatkan
untuk
menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Mengenai pekerjaan waktu tertentu lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 57-66 UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan Pasal 57 Ayat (2) dinyatakan sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu, perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya ,masa kerja percobaan, dalam hal diisyaratkan masa percobaan kerja, masa percobaan kerja tersebut batal demi hukum karena bertentangan dengan Pasal 58 Ayat (2) UU ketenagakerjaan. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya bisa dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat kegiatan kerjaannya, perjanjian kerja waktu
2
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009,
hal 37.
tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap karena perjanjian kerja waktu tertentu dapat diperpanjang atau pun diperbaharui dalam arti perjanjian waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) Tahun, perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian waktu tertentu tersebut
berakhir
diberitahukan
kepada
pekerja
yang
bersangkutan,
pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari dari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama. Berdasarkan ketentuan pasal 62 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa perjajian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan. Sedangkan dalam UU Ketenagakerjaan yang disebut penyerahan pelaksanaan pekerjaan ke perusahaan lain atau yang beberapa waktu ini sering disebut Outsourcing. Dalam bidang ketenagakerjaan outsourcing diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan melalui perusahaan penyedia jasa /pengerah tenaga kerja. UU Ketenagakerjaan ini mengatur dan melegalkan outsourcing dan dalam pengikatan perjajian kesepakatan kerjanya adalah perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh, dalam Pasal 64 UU ketenagakerjaan disebutkan perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Perusahaan pemborong pekerjaan harus berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan, apabila persyaratan diatas tidak dipenuhi demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.3 Pada tahun 2003 ada sebanyak 37 orang menamakan para aktivis organisasi serikat buruh/pekerja yang tumbuh dan berkembang dengan swadaya atas kehendak dan keinginan sendiri ditengah masyarakat yang bergerak dan didirikan atas kepedulian untuk dapat memberikan perlindungan dan penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya bagi pekerja/buruh yang selama ini seringkali dipinggirkan nasibnya. Pemohon memenuhi kualifikasi sebagaimana yang dimaksud Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yaitu sebagai perorangan atau kelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama. Pemohon para aktivis organisasi serikat buruh ini menuangkan hak uji materi
terhadap
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945 dengan Nomor 012/PUU-I/2003 Judicial Review. Para pemohon mendalilkan UU Ketenagakerjaan adalah Undang-Undang Pokok Perburuhan yang mengatur mengenai perburuhan di Indonesia dan memiliki dampak langsung kepada semua buruh /pekerja yang ada di Indonesia karena mempunyai kepentingan langsung dengan UU Ketenagakerjaan, yang oleh para pemohon dipandang merugikan hak-hak buruh/pekerja yang diatur
3
2010, hal 190.
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
dalam UUD 1945 Pasal 28 antara lain hak untuk berserikat, hak mogok, dan hak untuk memperoleh perlindungan yang sama didepan hukum.4 Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas maka penulis membuat skripsi ini dengan judul “ KEDUDUKAN PEKERJA BERDASARKAN UNDANGUNDANG
NOMOR
KONSTITUSI
13
TAHUN
2003
PASCA
PUTUSAN
MAHKAMAH
NOMOR 012/PUU-I/2003 “ di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka, penulis dapat menarik suatu rumusan masalah yang akan menjadi pokok permasalahan dalam melakukan suatu penelitian antara lain rumusan masalah yaitu : 1.
Bagaimana kedudukan hubungan kerja menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan UU Ketenagakerjaan?
2.
Bagaimana penafsiran Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasalpasal pada putusan Judicial Review tidak
mempunyai
kekuatan
Nomor 012/PUU-I/2003 yang
hukum
mengikat
terkait
UU
ketenagakerjaan? 1.3. Penjelasan Judul Untuk menghindari pemultitafsiran dalam penelitian ini. Maka, diperlukan adanya suatu penjelasan istilah proposal skripsi ini berjudul : “ KEDUDUKAN PEKERJA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 012/PUU-I/2003 “
Ruang Lingkup Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di
4
Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 28 Oktober 2004, Hal 35.
Negara Republik Indonesia, terkait Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003. 1.4. Alasan Pemilihan Judul Dengan pemilihan judul pembuatan proposal skripsi tentang penelitian tersebut
penulis
mempunyai
alasan
dengan
adanya
uji
materi
UU
ketenagakerjaan terhadap UUD 1945 mengenai pasal-pasal yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan pasal-pasal yang mempunyai kekuatan hukum mengikat. 1.5. Tujuan Penelitian 1. Untuk menjelaskan kedudukan hubungan kerja berdasarkan KUHPerdata dan UU Ketenagakerjaan. 2. Meneliti substansi pasal-pasal UU Ketenagakerjaan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003. 1.6. Manfaat Penelitian Penulis berharap bawha kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan bermanfaat bagi penulis dan orang lain yang membacanya. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : a.
Manfaat Teoritis 1. Hasil penelitian ini dapat menambah literatur dan referensi dalam dunia pekerja tentang ketenagakerjaan dan memperluas substansi pasal-pasal yang mempunyai hukum mengikat. 2.
Hasil penelitian ini diharapkan untuk dapat memberikan manfaat pada pengembangan
ilmu
pengetahuan
dibidang
ilmu
hukum
ketenagakerjaan khususnya mengenai pelaksanaan terhadap UU ketenagakerjaan.
b.
Manfaat Praktis 1. Memberikan penjelasan dan pemahaman terhadap permasalahan yang diteliti. 2. Sebagai
sarana
penulis
mengembangkan
penalaran
hukum,
membentuk pola pikir ilmiah serta melatih soft skill berargumentasi dalam
menghadapi
suatu
permasalahan
hukum
yang
timbul
dimasyarakat dan mengukur kemampuan penulis terhadap ilmu pengetahuan yang diperoleh dalam perkulihaan. 1.7. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Jenis penelitian dari penulisan ini adalah menggunakan normatif dengan menelaah UU Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945. b. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah statuta approach, yaitu pendekatan dengan melihat dan menelaah suatu perundang-undangan dan regulasi yang ada di Indonesia terkait dengan isu hukum yang timbul dan dihadapi dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis pada saat ini. c. Langkah Penelitian Adapun dalam penelitian normatif ini langkah penelitian adalah dengan studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dan diperoleh dengan mencari dan memperoleh bahan hukum yang relevan. Bahan-bahan hukum tersebut yaitu: 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan yang mengikat. Seperti, UUD 1945 sesudah amandemen, UU No. 13
Tahun 2003, UU No. 2 Tahun 2004, UU No. 21 Tahun 2000, UU No. 24 Tahun 2003 serta peraturan perundang-undangan yang terkait, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer, seperti rancangan perundangundangan, literatur, jurnal, hasil penelitian, buku-buku, teks-teks tentang hukum. d. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Penyusunan penelitian ini menggunakan cara untuk mendapatkan bahan-bahan
hukum
yang
diperlukan
sesuai
dengan
pokok
pembahasan. Bahan hukum yang dikumpulkan sebagai sumber penelitian adalah: -
UUD 1945 original beserta Perubahannya. Adalah sebagai sumber hukum primer yaitu sebagai dasar
landasan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat secara yuridis dengan dasar UUD 1945 yang asli (original) dan perubahannya inilah sebagai dasar acuan penulis dalam pembuatan penelitian hukum. -
Buku dan artikel yang berkaitan dengan sistem ketatanegaraan
khususnya tentang pembagian dan pemisahan kekuasaan adalah sebagai sumber hukum sekunder yaitu menjelaskan dan memaparkan secara rinci mengenai bahan hukum primer yang diperoleh melalui sumber buku,literatur, hasil penelitian hukum, risalah rapat yang ada kaitannya dengan penulisan penelitian hukum ini. Dari kedua bahan hukum primer dan sekunder ini diperoleh dengan menggunakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap
bahan-bahan yang harus penulis kumpulkan untuk keperluan penelitian ini. Setelah bahan-bahan tersebut berhasil dikumpulkan dilanjutkan dengan
wilayah-wilayah
yang
menjadi
pembahasannya.
Adapun
penelitian ini dilakukan terhadap buku-buku, artikel, risalah-risalah, majalah-majalah, surat kabar-surat kabar serta peraturan perundangundangan yang mempunyai keterkaitan dengan penulisan ini. 1.8.
Sistematika Pertanggungjawaban Dalam pembuatan proposal penulisan hukum (skripsi) ini digunakan
sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I
adalah pendahuluan yang mencakup latar belakang permasalahan yang akan ditulis, rumusan masalah, penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika pertanggung jawaban.
BAB II
adalah menjelaskan bagaimana kedudukan hubungan kerja sesuai undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan KUHPerdata.
BAB III adalah menjelaskan dari hasil penelitian pendapat Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 mengenai pasal-pasal yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. BAB IV adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan penulis.
BAB II KEDUDUKAN HUBUNGAN KERJA
2.1. Hubungan Kerja Menurut KUHPerdata Kedudukan hukum ketenagakerjaan dibidang hukum perdata pada hakikatnya yang memegang peranan penting di dalam hubungan industrial adalah pihak-pihaknya yaitu buruh dan majikan saja. Hubungan antara pengusaha dan pekerja didasarkan pada hubungan hukum privat. Hubungan itu didasarkan pada hukum perikatan yang menjadi bagian dari hukum perdata dijelaskan dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat diantaranya : a.
Sepakat antara kedua belah pihak;
b.
Cakap;
c.
Suatu hal tertentu;
d.
Objek yang halal.
Sedangkan pemerintah hanya berlaku sebagai pengawas atau lebih tepatnya dapat menjalankan fungsinya sebagai fasilitator apabila ternyata dalam pelaksanaannya muncul suatu perselisihan yang tidak dapat mereka selesaikan secara musyawarah untuk mufakat dalam permasalahan antara buruh/pekerja dan pengusaha. Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengertian. Di dalam Pasal 1601 a KUH Perdata yaitu “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (si buruh/pekerja) mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah“. Imam Soepomo (53 : 1983 ) berpendapat bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh) mengikatkan diri untuk bekerja dengan
menerima upah dari pihak kedua yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.5 Dari pengertian perjanjian kerja menurut KUHPerdata seperti tersebut diatas tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah “ Dibawah perintah pihak lain “, di bawah perintah ini menunjukkan bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan (subordinasi). Pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial ekonomi mempunyai kedudukan yang lebih rendah untuk melakukan pekerjaan tertentu. Adanya wewenang perintah inilah yang membedakan antara perjanjian kerja KUHPerdata dengan perjanjian kerja yang lain. Berdasarkan pengertian perjanjian kerja diatas dapat ditarik beberapa unsur dari perjanjian kerja : a. Adanya unsur pekerjaan (Work) Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (obyek perjanjian) pekerjaan tersebut haruslah dilakukan oleh pekerja hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh orang lain. yang dalam hal ini dijelaskan dalam pasal 1603 huruf (a) yang berbunyi “ Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga dalam menggantikannya”. Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan keterampilan/keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus dan harus batal demi hukum.
5
2010, hal 33.
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
b. Adanya Unsur Perintah Manifestasi dari pekerjaan yang diberikankepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja wajibpada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Disinilah terjadi perbedaan hubungan kerja dengan bermacam-macam hubungan kerja dengan hubungan lainnya suatu missal hubungan antara pengacara dengan kliennya, hubungan dokter dengan pasiennya. Hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja karena dokter dan pengacara tidak tunduk pada perintah pasien atau kliennya. c. Adanya Bentuk Upah Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja) bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja yang bekerja pada pengusaha adalah untuk menerima upah. Sehinggga jika tidak ada unsur upah maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja. Seperti seorang narapidana yangdiharuskan untuk melakukan pekerjaan tertentu, seorang mahasiswa perhotelan yang sedang melakukan praktik dilapangan hotel.6 2.1.1. Syarat-syarat sahnya perjanjian kerja menurut KUH Perdata Didalam suatu perjanjian, baik itu perjanjian kerja menurut KUHPerdata maupun UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang harus memenuhi sebagaimana yang diamanatkan Pasal 1320 KUHPerdata yang wajib memenuhi empat syarat yaitu dengan penjelasan sebagai berikut :
6
2010, hal 67.
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Mengandung arti bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak adanya paksaan, kekeliruan, dan ataupun unsur penipuannya. Adanya kesepakatan dari pihakpihak yang membuat perjanjian yang dimaksud adalah dengan kesepakatan persetujuan secara bebas dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Kehendak satu pihak haruslah juga kehendak yang lainnya juga. Kesepakatan harus diberikan dalam keadaan sadar, bebas dan tanggung jawab. tiga hal yang dapat menyebabkan tidak tercapainya kesepakatan secara bebas yaitu paksaan, khilaf, dan unsur penipuan. 1. Paksaan, terjadi yang dimaksud adalah dengan paksaan dapat berupa fisik dan paksaan phisikis. Paksaan phisikis sudah terjadi apabila ada ancaman menakut-nakuti, ancaman yang dimaksud disini adalah ancaman yang melawan hukum. Apabila tidak melawan hukum seperti ancaman gugatan atas kelalaian, maka tidak dapat dikatakan paksaan sesuai Pasal 1323 s/d Pasal 1325 KUH Perdata. 2. Kekhilafan, terjadi yang dimaksud dengan khilaf apabila pihak yang membuat perjanjian keliru menenai sifat, harga, dan jenis obyek yang diperjanjikan yang sesuai Pasal 1322 KUH Perdata. Kekeliruan disini haruslah yang tidak diduga dan disadari serta adanya kecenderungan siapapun yang memberi persetujuan akan berada dalam kekeliruan. Atas hal ini dapat dimintakan pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat.
3. Penipuan, yang dimaksud dengan penipuan apabila salah satu pihak memberikan informasi yang tidak benar mengenai subyek maupun obyek yang diperjanjikan dengan tujuan untuk mempengaruhi pihak lain untuk memberikan persetujuan yang sesuai pasal 1328 KUH Perdata.7 Persetujuan mana dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam. Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian, harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Suatu perjanjian harus dianggap lahir pada waktu tercapainya kesepakatan kedua belah pihak. Orang yang membuat
perjanjian
harus
menyatakan
kehendaknya
dan
kesediaannya untuk mengikatkan dirinya. Pernyataan kedua belah pihak bertemu sepakat. b. Cakap dalam membuat suatu perjanjian Cakap merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu sesuai Pasal 1329 KUH Perdata. Dilihat dari sudut rasa keadilan memang benar-benar perlu mempunyai kemauan untuk menginsafi segala tanggung jawab yang akan dipikulnya karena perbuatannya.8 Dalam Pasal 1329 KUH Perdata dinyatakan bahwa “Tiap orang berwenang
7 8
untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap
R.Subekti, Pokok-Pokok hukum Perdata, PT.Internusa, Jakarta, 2003, hal 138 Ibid, hal 18.
untuk hal itu“. Pihak-pihak yang dianggap tidak mempunyai kemampuan (tidak cakap) dalam membuat perjanjian adalah orang-orang yang dinyatakan sesuai pasal 1330 KUH Perdata adalah berbunyi sebagai berikut : a)
Orang-orang yang belum dewasa;
b)
Mereka yang ditaruh dalam pengampuan;
c)
Orang-orang perempuan yang dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarangnya membuat perjanjian tertentu.
Orang-orang yang dikatakan belum dewasa adalah dibawah 21 tahun KUH Perdata. Didalam Pasal 1601 huruf (h) KUH Pwrdata dikatakan bahwa “Jika anak yang belum dewasa yang belum mampu membuat suatu perjanjian kerja, telah membuat perjanjian kerja dan karena itu selama enam minggu telah melakukanpekerjaan pada pengusaha/majikan tanpa rintangan dan walinya menurut undang-undang, maka ia dianggap telah diberi kuasa dengan lisan oleh walinya untuk membuat perjanjian kerja tersebut. Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan
yang disebut anak adalah
setiap orang yang berumur 18 tahun (delapan belas) tahun. Undang- undang ketenagakerjaan hanya mengatur ketentuan umur
saja yang tertuang dalam
Pasal 69 ayat (1), Pasal 70 ayat (2), Pasal 76 (ayat) 1. Orang-orang yang dibawah pengampuan adalah orang yang sakit ingatan dan apabila melakukan perbuatan hukum harus mengetahui walinya. Orang-orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarangnya membuat perjanjian tertentu. Undang-
undang ketenagakerjaan menyatakan perjanjian kerja dibuat atas dasar kemampuan atau kesepakatan melakukan perbuatan hukum yaitu sesuai dengan Pasal 52 huruf (b). yang berbunyi “ kemampuan atau kecakapan seseorang melakukan perbuatan hukum”. c. Suatu hal tertentu Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atas tertentu. Syarat ini perlu, untuk dapat menentukan kewajiban siberhutang jika terjadi perselisihan. menurut Pasal 1333 KUH Perdata barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya, tidak diharuskan oleh undang-undang bahwa barang itu harus ada atau sudah ada ditangan siberutang pada waktu perjanjian dibuat. Pasal 1338 KUH Perdata menetapkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang untuk mereka yang membuatnya. Hal ini dimaksudkan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah artinya tidak bertentangan dengan undang-undang mengikat kedua belah pihak, perjanjian itu pada umumnya tidak dapat ditarik kembali, kecuali dengan persetujuan kedua belah pihak atau berdasarkan alasan-alasan yang ditetapkan oleh
undang-undang.
Sedangkan
menurut
Pasal
52
huruf
(c)
UU
ketenagakerjaan bahwa perjanjian kerja dibuat berdasarkan atas dasar adanya pekerjaan yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak yang berkepentingan untuk melakukan perjanjian tersebut.
d. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat untuk sahnya suatu perjanjian. Mengenai syarat yang keempat ini Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum. Menurut Pasal 52 huruf (d) UU ketenagakerjaan menyatakan bahwa pekerjaan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-Undang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu sebab yang diperbolehkan atau apa yang dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan mengadakan perjanjian itu. sebab yang tidak diperbolehkan ialah yang bertentangan dengan undangundang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Perjanjian menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua pihak atau dengan perkataan lain perjanjian berisikan perikatan lain.9 2.1.2. Kewajiban pengusaha menurut KUH Perdata Kewajiban pokok dari pengusaha hubungan kerja adalah membayar upah kepada pekerja/buruh menurut Pasal 1602 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut “ Si majikan diwajibkan membayar kepada siburuh upahnya pada waktu yang telah ditentukan”, yang dalam hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 1602 huruf (a) “Upah yang ditetapkan menurut lamanya waktu harus dibayar sejak saat siburuh mulai bekerja hingga saat berakhirnya hubungan kerja. Selain membayar upah pekerja/buruh, pengusaha/majikan juga berkewajiban mengurus
9
J.Satrio, Hukum Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal 5.
pengobatan dan perawatan pekerja, dan juga memberikan surat keterangan sifat pekerjaan yang diperjanjikan. a. Kewajiban membayar upah Dalam hubungan kerja kewajiban utama bagi pengusaha adalah membayar upah sesuai Pasal 1602 KUH Perdata kepada pekerjanya tepat waktu. ketentuan tentang upah ini juga telah mengalami perubahan pengaturan kearah hukum publik. Hal ini terlihat dari campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya upah terendah yang harus dibayar oleh pengusaha yang dikenal dengan upah minimum. Campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya upah ini penting guna menjaga agar jangan sampai besarnya upah yang diterima oleh pekerja terlalu rendah sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup pekerja meskipun upah tersebut upah paling minimum sekalipun. b. Mengurus pengobatan dan perawatan pekerja Pengusaha wajib mengurus perawatan pengobatan bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan sesuai dengan Pasal 1602 huruf (x) yang berbunyi sebagai berikut “Si majikan diwajibkan, jika seorang buruh yang
bertinggal padanya sakit ataupun mendapat
kecelakaan, selama berlangsungnya perhubungan kerja’ tetapi paling lama untuk waktu enam minggu, menguruskan perawatan dan pengobatannya yang sepantasnya diterima oleh buruh, sekedar tentang itu tidak telah diadakanaturan atas dasar yang lain. Ia berhak menuntut kembali biayanya dari si buruh, tetapi yang mengenai biaya
selama empat minggu yang pertama hanyalah apabila sakit atau kecelakaan itu disebabkan kesengajaan atau tak susila siburuh atau akibat dari suatu cacat badan tentang dimana siburuh sewaktu membuat perjanjian dengan sengaja telah memberikan keteranganketerangan palsu kepada simajikan. Tiap janji yang kiranya akan mengakibatkan bahwa kewajibankewajiban si majikan ini dikecualikan atau dibatasi adalah batal demi hukum”. Dalam perkembangan hukum ketenagakerjaan kewajiban ini tidak hanya terbatas bagi pekerja yang bertempat tinggal di rumah majikan saja, tetapi juga pekerja yang tidak bertempat tinggal di rumahnya. Perlindungan bagi tenaga kerja yang sakit, kecelakaan, kematian, telah dijamin melalui perlindungan jamsostek sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jamsostek. c. Kewajiban memberikan surat keterangan Kewajiban ini didasarkan pada ketentuan pasal 1602 huruf (z) K UH Perdata yang menentukan bahwa majikan/pengusaha wajib memeberikan surat keterangan yang diberi tanggal dan dibubuhi tandatangan. Dalam surat keterangan tersebut dijelaskan mengenai sifat pekerjaan yang dilakukan, lamanya hubungan kerja (masa kerja), surat keterangan itu juga diberikan meskipun inisiatif pemutusan hubungan kerja datangnya dari pihak pekerja. Surat baru, sehingga ia diperlakukan sesuai dengan pengalaman kerjanya.
2.1.3. Kewajiban pekerja/buruh menurut KUH Perdata
Dalam KUH Perdata ketentuan mengenai kewajiban buruh/pekerja diatur dalam Pasal 1603, Pasal 1603 huruf (a,b,c) KUH Perdata yang
pada
intinya
adalah sebagai berikut : a. Buruh/pekerja wajib melakukan pekerjaan Melakukan pekerjaan adalah tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukannya sendiri, meskipun demikian dengan seijin pengusaha dapat diwakilkan. Untuk itulah mengingat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja yang sangat pribadi sifatnya karena berkaitan dengan keahliannya, maka berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan jika pekerja meninggal dunia, maka hubungan kerja berakhir dengan sendirinya (PHK demi hukum). b. Buruh/Pekerja
wajib
mentaati
aturan
atau
petunjuk
pengusaha/majikan Dalam melakukan pekerjaannya buruh/pekerja wajib mentaati peraturan atau petunjuk yang diberikan oleh pengusaha. Aturan yang wajib ditaati oleh pekerja sebaiknya dituangkan dalam peraturan perusahaan sehingga menjadi jelas ruang lingkup dari petunjuk tersebut. c. Kewajiban membayar ganti rugi dan denda Jika pekerja melakukan perbuatan yang merugikan perusahaan baik karena kesengajaan atau kelalaian maka sesuai dengan prinsip hukum Pasal 1365 KUH Perdata yaitu, “Perbuatan yang melanggar hukum dan
membawa
kerugian
kepada
orang
lain,
mewajibkan
orang
yang
menimbulkan kerugian itu karena kesalahan untuk mengganti kerugian tersebut
pekerja
wajib
membayar
ganti
rugi
dan
denda
kepada
majikan/pengusaha.10 2.2. Hubungan kerja menurut UU Ketenagakerjaan UU Ketenagakerjaan pasal 1 angka (4) memberikan pengertian pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Pengertian ini agak umum tetapi maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum, atau badan-badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Penegasan imbalan dalam bentuk apapun ini perlu dikaji karena upah selama ini diidentikan dengan uang, padahal ada pula yang menerima imbalan berbentuk barang Perjanjian kerja merupakan dasar dari terbentuknya hubungan kerja. Perjanjian kerja adalah sah apabila memenuhi syarat sahnya perjanjian. Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja sesuai Pasal 50 Undang-undang Ketenagakerjaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (14) UU Ketenagakerjaan , perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat sahnya perjanjian sebagai mana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata Hubungan kerja dilakukan oleh pekerja dalam rangka untuk mendapatkan upah. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (30) UU
10
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, op.cit Hal 74
Ketenagakerjaan Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau dilakukan oleh pekerja. 2.2.1. Ketentuan Upah Menurut UU Ketenagakerjaan Bagi pekerja khususnya yang bekerja diperusahan swata terdapat ketentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang telah ditetapkan oleh pemerintah, besarnya tidak sama setiap Kabupaten/Kota, yang menjadi petanyaan apakah UMK sudah sesuai dengan kebutuhan hidup pekerja? yang menjadi pemikiran selanjutnya apakah besarnya upah yang diterima pekerja itu sudah adil sesuai beban kerja yang diterima oleh pekerja tersebut? Dari kriteria yang diberikan UU Ketenagakerjaan besarnya upah amatlah jauh dari kehidupan yang layak karena itu marilah kita melihat ketentuan SK Menaker No.Kep81/M/BW/1995 tentang penetapan komponen kebutuhan hidup manusia, berdasarkan ketentuan itu upah didasarkan pada Komponen Hidup Minimum Pekerja (KHMP) dan bukan kebutuhan fisik dari informasi dalam kenyataan sesungguhnya lagi. Sebagai
bahan
perbandingan
adalah
besarnya
upah
minimum
tenagakerja Indonesia yang bekerja diluar negeri, berdasarkan ketentuan SKDirjen
P2TKLN
No.Kep-314/D.P2TKLN/X/2002
tentang
pedoman
pelaksanaan penempatan TKI dalam kendali lokasi minimal gaji netto (bersih) yang diterima TKI $ 160.00 (US Dollar) dengan satu Dollar = Rp
8000
maka
besarnya gaji adalah Rp 1.260.000 apabila dikaitkan dengan penetapan
besarnya UMK rata-rata di Indonesia pada saat itu Rp 430.000 bahwa UMK ratarata di Indonesia dibawah jauh upah standar Pekerja secara Internasional. Akibatnya Indonesia dituding sebagai suatu Negara yang melakukan kemiringan faktor upah berkaitan dengan rendahnya upah pekerja didalam dunia ketenagakerjaan Internasional. Berdasarkan Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dasar dari pemberian upah adalah waktu kerja dan dari ketentuan Pasal 77 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja yang diatur dalam pasal 77 ayat (2) UU Ketenagakerjaan : a. 7 (tujuh) jam, 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu, untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu ; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja kerja dalam 1(satu minggu). Adapun bentuk kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja diatur dalam Pasal 88 ayar (3) UU Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut : 1. Upah minimum; 2. Upah kerja lembur; 3. Upah tidak masuk kerja yang berhalangan; 4. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain diluar pekerjaannya; 5. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
6. Bentuk dan tata cara pembayaran upah; 7. Denda dan potongan upah; 8. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; 9. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional; 10. Upah untuk pembayaran pesangon; 11. Upah untuk penghitungan pajak penghasilan; Ketentuan upah minimum yang diatur dalam Pasal 88 ayat (3) huruf (a) UU Ketenagakerjaan terdiri atas : a. Upah
minimum
berdasarkan
atas
wilayah
provinsi
atau
kabupaten/kota; b. Upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota 11 Komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaiman dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) UU Ketenagakerjaan diatur dengan keputusan menteri dan pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 89 UU Ketenagakerjaan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagai mana Pasal 89 UU Ketenagakerjaan dapat dilakukan pengguhan, tata cara pengguhan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) UU Ketenagakerjaan diatur oleh keputusan menteri. Pemerintah menetapkan ketentuan upah minimum yang dujelaskan oleh Furqon Karim bahwa “Upah minimum yang diatur pemerintah yang ide awalnya merupakan jarring pengaman agar perusahaan minimal membayar upah dengan 11
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009,hal 109
harapan kebutuhan dasar bagi kehidupan pekerja relative mendekati terjangkau. Namun dalam kenyataanya upah minimum masih jauh dari kebutuhan dasar pekerja, sehingga kehidupan dalam hubungan industrial belum menciptakan keharmonisan hubungan antara pekerja dan pengusaha. Apabila berdasarkan
pengusaha ketentuan
mewajibkan Pasal
(6)
pekerja dan
untuk
Pasal
(7)
bekerja
lembur,
Kemenakertrans
No.KEP.102/MEN/VI/2004 tentang waktu kerja lembur dan upah kerja untuk melakukan kerja lembur harus ada
perintah
tertulis
dari
pengusaha
dan
persetujuan tertulis dari pekerja yang bersangkutan. Adapun cara penghitungan upah lembur diatur dalam Pasal (8) sampai dengan Pasal (11) Kepmenakertrans No.KEP.102/MEN/VI/2004. Selanjutnya sebagai upaya memberikan peningatan perlindungan hukum dibidang upah, berdasarkan Pasal 98 UU Ketenegakerjaan diatur mengenai Dewan Pengupahan yang berperan untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah serta untuk mengembangkan sistem pengupahan nasional dibentuk dewan pengupahan nasional. Keanggotaan
Dewan
Pengupahan
Nasional
sebagaimana
yang
dimaksud terdiri atas unsur Pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja, perguruan tinggi, dan pakar hokum. Keanggotaan dewan pengupahan sebagaiman yang dimaksud di tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh presiden sedangkan keanggotaan Dewan Kota
diangkat
Pengupahan
Provinsi
Kabupaten
dan diberhentikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota sedangkan
ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan,
serta tugas, dan tata kerja Dewan Pengupahan diatur dengan Keputusan Presiden. 12 2.2.2 Syarat sahnya perjanjian kerja menurut UU Ketenegakerjaan Dari ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan , perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Syarat-syarat perjanjian kerja pada dasarnya dibedakan menjadi dua yaitu syarat materiil dan syarat formil. Syarat materil diatur dalam Pasal 52 UU Ketenagakerjaan , sedangkan syarat formil diatur dalam Pasal 54 UU Ketenagakerjaan. Syarat
materil
dari
perjanjian
kerja
berdasarkan
Pasal
52
UU
Ketenagakerjaan dibuat atas dasar : a.
Kesepakatan kedua belah pihak;
b.
Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hokum;
c.
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
d.
Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau perundang-undangan yang berlaku.
Apabila kita kaji lebih jauh sebenarnya ketentuan Pasal 52 UU Ketenagakerjaan itu mengadopsi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata , perjanjian kerja adalah salah satu bentuk perjanjian, sehingga harus memenuhi ketentuan syarat sahnya perjanjian berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Selanjutnya berdasarkan Pasal 53 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa segala hal dan atau biaya yang diperlikan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha, perjanjian kerja harus memenuhi ketentuan syarat-syarat formil, berdasarkan ketentuan Pasal 54 UU Ketenagakerjaan yaitu : 12
ibid hal 119
1.
Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat : a. Nama,alamat perusahaan, dan jenis usaha b. Nama,jenis kelamin, umur dan alamat pekerja c. Jabatan atau jenis pekerjaan d. Tempat pekerjaan e. Besarnya upah dan cara pembayarannya f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja g. Mulai dan jangka waktu perjanjian kerja h. Tempat dan tangal perjanjian kerja dibuat i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja
2.
Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf (e) dan (f) tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan perundang-undangan yang berlaku.
3.
Perjanjian kerja sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya rangkap dua yang mempunyai hukum yang sama, serta pekerja dan pengusaha masing-masing mendapatkan (1) satu perjanjian kerja.
2.2.3
Beberapa perjanjian kerja menurut UU Ketenagakerjaan Di dalam melakukan hubungan kerja antara pengusaha atau majikan
dengan pekerja, pengusaha lebih senang memilih pekerja dengan sistem kontrak kerja dari pada pekerja tetap. Hubungan kerja yang didasarkan pada sistem kontrak kerja lebih efisien dibandingkan dengan menggunakan pekerja tetap. Hubungan kerja yang tidak dibatasi pada jangka waktu cenderung tidak efisien. Anggapan pengusaha menggunakan pekerja tetap tidak efisien karena harus memperhatikan banyak hal yang berkaitan dengan ketenangan kerja,
misalnya beberapa ketentuan dari peraturan yang mengatur mengenai upah, kesejahteraan, kenaikan upah berkala, tunjangan sosialnya, hari istirahat atau cuti, dan tidak mudah untuk memutuskan hubungan kerja secara sepihak apabila dikemudian hari ternyata pekerja yang bekerja pada pengusaha itu malas. Hubungan kerja yang didasarkan pada kontrak kerja lebih efisien, karena pengusaha bisa dengan sekehendak hati membuat atau menetapkan syaratsyarat kerja yang disepakati juga oleh pekerja. Dengan suatu misal disepakati hubungan kerja akan berlangsung selama dua (2) tahun dengan upah tertentu untuk jenis pekerjaan yang diberikan oleh pengusaha. Didalam kontrak kerja tersebut juga ditetapkan hal-hal yang berkaitan dengan tunjangan kesejahteraan dan hari istirahat. Sistem tersebut membawa dampak yang kurang baik didalam penerapan kontrak kerja, karena lamanya kontrak kerja relative dapat dilakukan dalam jangka pendek. misal kontrak kerja dengan satu bulan kontrak, apabila lolos bisa diperpanjang tiga bulan kontrak kerja, apabila lolos lagi bisa diperpanjang enam bulan, dan selanjutnya bisa ditetapkan kontrak kerja dalam masa satu tahun. Begitu seterusnya dapat diterapkan untuk masa kerja satu setengah tahun dan masa kontrak kerja selama dua tahun.13 Selanjutnya jenis perjanjian kerja berdasarkan ketentuan Pasal 56 UU Ketenagakerjaan dibedakan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu selanjutnya juga disebut (PKWTT).
13
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta 2009, hal 49.
1.
Lingkup PKWT dan PKWTT Mengenai perjanjian kerja PKWT lebih lanjut diatur dalam ketentuan
Pasal 57-66 UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu antara lain yaitu : a.
Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.
Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu tidak cukup lama dan paling lama (3) tiga tahun;
c.
Pekerjaan yang bersifat musiman dan atau;
d.
Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat di adakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat di perpanjang dan di perbaharui. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun, hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan ayat (1),ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum perjanjian kerja tersebut menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). 2.
PKWT untuk perjanjian yang bersifat musiman
Beberapa penjelasan mengenai PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman antara lain :
3.
a.
Pekerjaan yang pelaksanaanya tergantung pada musim atau cuaca
b.
Hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu
c.
Pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target dilakukan sebagai pekerjaan musiman
d.
Dilakukan untuk pekerja yang melakukan kegiatan tambahan
e.
Membuat daftar nama pekerja yang melakukan kegiatan tambahan
f.
Tidak dapat dilakukan pembaharuan.
Pencatatan PKWT PKWT dicatatkan pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab
dibidang ketenagakerjaan setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak penandatanganan. 4.
Akibat hukum kelalaian yang ditimbulkan dalam PKWT a.
PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi PKWTT
b.
PKWT untuk pekerja yang bersifat musiman dibuat untuk lebih satu musim berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja
c.
Pekerjaan yang terus menerus dibuat PKWT bukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja
d.
Pekerjaan untuk produk baru atau kegiatan baru tidak sesuai dengan jangka waktu atau dilakukan pembaharuan, berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan adanya penyimpangan
e.
Pembaharuan tidak melalui masa tenggang
waktu
dan tidak
diperjanjikan lain berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut f.
Pengusaha mengakhiri hubungan kerja, hak-hak pekerja dan prosedurt penyelesaiannya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangan bagi PKWT Berdasarkan ketentuan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa dalam hal Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan.14 Selain PKWT dan PKWTT Undang-undang 13 tahun 2003 mengenal bentuk
perjajian
kerja
64
pemborongan
pekerjaan,
berdasarkan
Pasal
UU
Ketenagakerjaan disebutkan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja yang dibuat secara tertulis atau yang disebut juga dengan outsourcing. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 65 UU Ketenagakerjaan harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut : a)
Dilakukan terpisah dari kegiatan utama
14
ibid hal 50
b)
Dilakukan dengan perintah langsung maupun tidak langsung dari pemberi pekerjaan
5.
c)
Merupakan kegiatan penunjang dari perusahaan secara keseluruhan
d)
Tidak menghambat proses produksi secara langsung
Ruang lingkup outsourcing Salah satu bentuk pelaksanaan outsourcing adalah melalui perjajian
pemborongan pekerjaan yang dijelaskan dalam sumber hukum undang-undang bersifat umum dalam Pasal 1601 Huruf (b). UU Ketenagakerjaan ini mengatur dan juga melegalkan outsorcing, istilah yang dipakai adalah perjanjian pemborongan penyediaan jasa pekerja yang disebutkan dalam Pasal 64 UU Ketenagakerjaan yang syarat-syaratnya sudah dijelaskan dalam Pasal 65 UU Ketenagakerjaan. Selain itu, perusahaan pemborong pekerjaan harus berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang berwenang dibidang ketenagakerjaan sesuai Pasal 66 angka (3) UU Ketenagakerjaan. Jika persyaratan tersebut diatas tidak terpenuhi , demi hukum perjajian kerja beralih status dari perusahaan penerima pekerjaan pemborongan kepada perusahaan pemberi pemborongan pekerjaan. 2.3. Pemutusan Hubungan Kerja disebut (PHK) Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (25) UU Ketenagakerjaan adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. PHK berarti suatu keadaan dimana pekerja berhenti bekerja dari pengusaha/majikannya. Pengusaha, serikat pekerja, dan pemerintah harus
mengusahakan agar jangan terjadi PHK terkait Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. PHK pada dasarnya harus ada izin, kecuali dalam hal tertentu berdasarkan Pasal 153 ayat (1) dan Pasal 154. Terjadinya PHK ada 4 (empat) macam yaitu antara lain PHK demi hukum, PHK oleh Pekerja, PHK oleh pengusaha, dan PHK atas dasar putusan pengadilan. a.
PHK demi hukum PHK demi hukum terjadi karena alasan batas waktu masa kerja yang disepakati telah habis atau apabila pekerja tersebut meninggal dunia, berdasarkan ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
b. PHK oleh Pekerja PHK oleh pekerja dapat terjadi apabila pekerja mengundurkan diri atau terdapat alasan mendesak yang mengakibatkan buruh meminta di PHK, pengunduran diri pekerja dapat dianggap terjadi apabila pekerja mangkir paling sedikit dalam waktu 5 (lima) hari kerja berturut-turut dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 kali secara tertulis, tetapi pekerja tidak dapat memberikan keterangan tertulis maupun alasan yang sah tidak hadir bekerja lagi dalam perusahaan. selain itu berdasarkan Pasal
169
UU
Ketenagakerjaan
pekerja
dapat
mengajukan
permohonan PHK kepada lembaga perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan penyimpangan dalan perjanjian kerja. c. PHK oleh Pengusaha PHK oleh pengusaha dapat terjadi karena alasan pekerja tidak lulus masa percobaan, perusahaan mengalami kerugian sehingga menutup
perusahaannya (lock out), atau pekerja melakukan kesalahan. Dalam pengusaha melakukan PHK kepada pekerja karena kesalahan didalam UU Ketenagakerjaan kesalahan dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu kesalahan berat dan kesalahan ringan, kesalahan ringan tidak diatur dalam UU Ketenagakerjaan tetapi diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Permenaker No.Per-4/Men/1986 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja. Sedang kesalahan berat diatur dalam Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. d. PHK karena putusan Pengadilan Cara terjadinya PHK yang terakhir adalah karena adanya putusan pengadilan, PHK sebagai akibat munculnya sebagai akibat dari adanya sengketa pekerja dengan pengusaha mengenai perselisihan hubungan industrial. Bentuknya dapat melalui ganti rugi ke Pengadila Negeri (PN) apabila diduga ada perbuatan yang melanggar hukum dari slah satu pihak atau dapat melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). e. Hak-hak pekerja yang di PHK Hak pekerja yang timbul akibat terkena PHK ada keterkaitannya antara status pekerja, upah pekerja dan alasan PHK yang berbentuk : 1.
Apakah pekerja berhak atas pesangon, uang masa penghargaan masa kerja, dan ganti rugi perumahan dan pengobatan?
2.
Apabila berhak, berapa besarnya?
Dari ketentuan diatas besarnya pesangon dan hak-hak pekerja dapat dilihat berdasarkan Pasal 156 UU Ketenagakerjaan.15 2.3.1 Perselisihan Hubungan Industrial Dari ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No.2 Tahun 2004 ada 4 (empat ) jenis Perselisihan Hubungan Industrial meliputi perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja. Dari ketentuan tersebut diatas dapat dijelaskan mengenai : a.
Perselisihan hak adalah perselisihanyang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
b.
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama.
c.
Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak antara pekerja dan pengusaha.
d.
Perselisihan antar serikat pekerja adalah perselisihan antara serikat pekerja dengan serikat pekerja lainnya dalam satu perusahaan karena
15
ibid hal 173
tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban antar keserikatan pekerja 16 Penyelesaian perselihan hubungan industrial dapat dilaksanakan melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan atau diluar Pengadilan Hubungan Industrial. Prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebelum ke PHI terlebih dahulu hendaknya diupayakan beberapa proses diantaranya dengan cara bipartite, mediasi, konsiliasi, maupun arbitrase. 2.3.2. Penyelesaian melalui Bipartit Sebelum penyelesaian diajukan ke lembaga penyelesaian perselisihan industrial setiap perselisihan wajib diupayakan penyelesaian secara bipartite yaitu penyelesaian musyawarah untuk mencapai mufakat antara pekerja dengan pengusaha. Berdasarkan Pasal 1 angka (10) Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) perundingan bipartite adalah perundingan antara pekerja, serikat pekerja dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Upaya bipartite diatur dalam Pasal 3 – 7 Undang-Undang No.2 Tahun 2004 (PPHI). Penyelesaian melalui bipartite harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan, apabila dalam jangka waktu tiga puluh hari tersebut salah satu pihak menolak berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak menemui kesepakatan maka perundingan bipartite dianggap telah gagal. Apabila perundingan bipartite gagal maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisiha ke instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan
16
ibid hal 180
bukti-bukti penyelesaian melalui bipartite, apabila bukti-bukti yang terlampir belum lengkap maka berkas tersebut akan dikembalikan kembali dan akan ditunggu paling lambat 7 (tujuh hari) dari tanggal diterimanya pengembalian berkas untuk segera dilengkapi. Setelah menerima berkas yang lengkap instanti yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan tersebut wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Dalam hal para pihak tidak memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase maka dalam 7 (tujuh hari) kerja instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian kepada mediator di instansi dibidang ketenagakerjan. Apabila perundingan dapat mencapai kesepakatan penyelesaian maka dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangi oleh para pihak serta perjanjian bersama tersebut mengikat ole para pihak, untuk selanjutnya perjanjian bersama itu wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diwilayah hukum para pihak yang melakukan perjanjian bersama. Perjanjian bersama yang telah didaftarkan akan diberikan akta bukti pendaftaran perjanjian bersama dan merupakan bukti bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian bersama. Pada kesepakatan perjanjian bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohohan eksekusi pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diwilayah perjanjian bersama di daftarkan untuk mendapatkan penetapan eksekusi. Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili diluar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran perjanjian bersama didaftarkan maka pemohon eksekusi dapat mengajukan
permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diwilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi. 2.3.3. Penyelesaian melalui mediasi Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka (11) Undang-Undang No.2 Tahun 2004 PPHI mediasi adalah perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara serikat pekerja yang hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Dari ketentuan Pasal 1 angka (12) Undang-Undang No.2 tahun 2004 PPHI mediator hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjan yang memenuhi syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri ditugaskan melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan. Upaya mediasi diatur dalam Pasal 8 -16 Undang-Undang No.2 Tahun 2004 PPHI, dalam hal tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka wajib dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diwilayah hukum pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Pada dasarnya lembaga mediasi ini sebagaimana yang kita kenal adalah pegawai perantara Disnaker dan petugas yang melakukan mediasi
disebut mediator yang bertugas memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih, setelah menerima pelimpahan berkas perselisihan maka mediator wajib menyelesaikan tugasnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung menerima pelimpahan berkas perselisihan apabila tidak mencapai kesepakatan untuk diberikan surat anjuran, supaya salah satu pihak dapat mengajukan
gugatan
kepada
Pengadilan
Hubungan
Industrial.
Hal
ini
dikarenakan Pengadilan Hubungan Industrial hanya dapat menerima gugatan perselisihan hak yang telah melalui proses mediasi Hubungan Industrial. Hal ini dikarenakan Pengadilan Hubungan Industrial hanya dapat menerima gugatan perselisihan hak yang telah melalui proses mediasi. 17 2.3.4. Penyelesaian Melalui Konsiliasi Konsiliasi diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 28 UndangUndang No.2 Tahun 2004.Penyelesaian konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan di
Kabupaten/Kota.
Penyelesaian
perselisihan
kepentingan,
perselisihan
pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja yang hanya dalam satu perusahaandilakukan oleh konsiliator yang wilayah kerjanya meliputi tempat bekerja pekerja tersebut. Penyelesaian oleh konsiliator dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian melalui konsiliator secara tertulis. Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan disepakati dari daftar nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan
17
ibid hal 188
setempat. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (13) Undang-Undang No.2 Tahun 2004 Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah
penyelesaian
perselisihan
kepentingan,
perselisihan
pemutusan
hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Dari ketentuan Pasal 1 angka (14) Undang-Undang No.2 Tahun 2004 konsiliator hubungan industrial yang selanjutnya konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator yang ditetapkan oleh menteri dan bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan. 2.3.5. Penyelesaian melalui arbitrase Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (5) Undang-Undang No.2 Tahun 2004 PPHI arbitrase hubungan industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja yang hanya dalam satu perusahaan,diluar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Selanjutnya dari ketentuan Pasal 1 angka (16) Undang-Undang No.2 Tahun 2004 PPHI Arbiter hubungan industrial adalah yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antara serikat pekerja hanya dalam
satu perusahaan yang penyelesaiannya diserahkan melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Penyelesaian arbitrase selanjutnya diatur dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 54 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 PPHI, perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih, kesepakatan para pihak yang berselisih dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase dibuat rangkap 3 (tiga) dan masing-masing para pihak mendapatka 1 (satu) berkas perjanjian arbitrase yang masing-masing mempunyai perselisihan
kekuatan hubungan
hukum
yang
industrial
sama,
dalam
arbiter waktu
wajib 30
hari
menyelesaikan kerja
sejak
penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter, pemeriksaan perselisihan oeleh arbiter atau majelis arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendaki lain. Para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus, apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir walaupun telah dipanggil secara patut maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai. Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu pihak maupun kuasanya tetap tidak hadir meskipun telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa perkara dan menjatuhkan putusannya tanpa kehadiran salah satu pihak atau kuasanya, dan apabila penyelesaian melalui hubungan industrial oleh arbiter dapat tercapai majelis arbiter wajib membuat akta perdamaian yang selanjutnya didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diwilayah arbiter
mengadakan perjanjian perdamaian. Akta perdamaian yang telah didaftarkan diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akta perdamaian serta mempunyai kekuatan hukum yang mengikat oleh para pihak yang berselisih. Apabila akta perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diwilayah akta perdamaian didaftarkan untuk mendapatkan penetapan eksekusi. Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili diluar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran akta perdamaian, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengdilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diwilayah domosili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi. Dengan tidak ditandatanganinya putusan arbiter oleh salah seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan arbitrase, putusan arbitrase ditetapkan selambat-lambatnya 14 (empat belas hari kerja harus sudah dilaksanakan karena telah mempunyai kekuatan hukum mengikat para pihak dan bersifat final. Apabila putusan arbitrase tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka pihak yang dirugikan dapat mengjukan permohonan fiat eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri didaerah hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan dan agar putusan diperintahkan untuk dijalankan.
Terhadap putusan arbitrase salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung (MA) dalam waktu selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkan putusan arbiter Pasal 52 Undang-Undang No.2 Tahun 2004 PPHI. Mahkamah Agung menetapkan akibat pembatalan
baik
sebagian
maupun
seluruhnya
putusan
arbitrase,
MA
memutuskan permohonan pembatalan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permohonan pembatalan.18
18
ibid hal 195
BAB III PENAFSIRAN ATAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 012/PUU-I/2003 3.1. Terhadap Pasal-Pasal yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 penafsiran Mahkamah Konstitusi atau yang selanjutnya diebut (MK) ada beberapa pasalpasal yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat diantaranya yaitu.: a.
Pasal 158, Pasal 159, pasal 160 ayat (1) sepajang mengenai anak kalimat bukan atas pengaduan pengusaha, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 158 undang-undang a quo bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa segala warganegara bersamaan kedudukannnya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, karena Pasal 158 memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial, melainkan cukup hanya dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku. Pasal 159 menentukan, apabila buruh/pekerja yang telah di-PHK karena melakukan kesalahan berat menurut Pasal158, tidak menerima pemutusan hubungan kerja, buruh/pekerja yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan industrial,
maka
di
ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan samping
ketentuan
tersebut
melahirkan
beban
pembuktian yang tidak adil dan berat bagi buruh/pekerja untuk membuktikan ketidaksalahannya, sebagai pihak yang secara ekonomis lebih lemah yang seharusnya memperoleh perlindungan hukum yang tidak sebanding pengusaha, Pasal 159 tentang hal tersebut juga menimbulkan kerancuan berpikir dengan memcampuradukkan proses perkara pidana dengan proses perkara perdata secara tidak pada tempatnya. b.
Pasal 170, Pasal 171, Pasal 186 sepanjang anak kalimat juga bukan atas pengaduan pengusaha, Mahkamah berpendapat dengan adanya putusan konstitusi nomor 012/PUU-I/2003 terhadap Pasal 170,171 khususnya tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan kesalahan berat yang memutuskan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikatHal tersebut mengakibatkan
bahwa
Undang-undang
Ketenagakerjaan,
khususnya
mengenai pemutusan hubungan kerja tidak mengenal adanya pemutusan hubungan kerja dengan alasan kesalahan berat. Atau dapat pula ditafsirkan berdasarkan penafsiran historis bahwa, pemutusan hubungan kerja dengan alasan kesalahan berat sebagaimana diatur Pasal 158 tetap ada. Namun untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja pengusaha tetap perlu mendapatkan ijin melalui permohonan kepada Pengadilan Hubungan Industrial dengan melampirkan bukti-bukti kesalahan berat tersebut. c.
Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan“mogok kerja sebagai hak dasar buruh/pekerja dan serikat buruh/pekerja dilakukan secara sah dan tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan”. Pasal
ini
melanggar
standar
perburuhan
internasional,
karena
membatasi alasan mogok hanya akibat “gagalnya suatu perundingan”,dan merupakan pembatasan terhadap hak mogok itu sendiri yang merupakan
hak fundamental buruh/pekerja dan serikat buruh/pekerja. Pembatasan hak mogok dalam Pasal 137 UU Ketenagakerjaan tersebut tidak saja membatasi kebebasan
buruh/pekerja
dan/atau
serikat
buruh/pekerja
untuk
menggunakanhak mogok sebagai bagian dari hak kebebasan berserikat dan berorganisasi serta menjalankan aktivitas serikat buruh dan organisasinya tetapi juga merupakan sebuah bentuk kontrol terhadap peran dan fungsi serikat buruh/serikat pekerja sebagai instrument resmi pekerja untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraan.19 3.2.
Undang-Undang
Ketenagakerjaan
setelah
Putusan
Mahkamah
Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 a.
Menurut penjelasan pasal 158 UU Ketenagakerjaan berbunyi sebagai berikut : 1.
Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja dengan alasan pekerja telah melakukan kesalahan berat, yang disebut kesalahan berat adalah sebagai berikut : a. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan, barang dan atau uang milik perusahaan. b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan.
19
Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 28 Oktober 2004 hal 42
c. Mabuk, meminum-minuman keras yang memabukkan, memakai atau memakai serta mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja. d. Melakukan perbuatan asusila atau perjuadian dilingkungan kerja. e. Menyerang, menganiyaya, mengancam, dan mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha dilingkungan kerja. f. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan. g. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan. h. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya ditempat kerja. i. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan perusahaan atau Negara. j. Melakukan perbuatan lainnya dilingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. 2.
Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) UU Ketenagakerjaan harus didukung dengan bukti sebagai berikut : a. Pekerja tertangkap tangan.
b. Ada pengakuan dari pekerja yang bersangkutan. c. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. 3.
Pekerja yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dapat memperoleh uang penggantian
hak
sebagaimana
yang
dimaksud
dalam
UU
Ketenagakerjaan Pasal 156 ayat (4). 4.
Bagi
pekerja
sebagaimana
Ketenagakerjaan
yang
tugas
dimaksud dan
dalam
ayat
(1)
UU
fungsinya
tidak
mewakili
kepentingan pengusaha secara langsung, diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaanya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Dari pengertian UU Ketenagakerjaan Pasal 158 ayat (3) harus ada pengaduan dari pihak pengusaha didukung bukti-bukti yang kuat, supaya untuk memperoleh kekuatan hukum mengikat dalam Pasal tersebut, meskipun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. b.
Menurut
penjelasan
pasal
159
Undang-Undang
Ketenagakerjaan
berbunyi sebagai berikut : Apabila pekerja tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, pekerja
yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dari pengertian Pasal 159 UU Ketenagakerjaan yang pengusaha dilarang
sewenang-wenang
memberikan
keputusan
pemutusan
hubungan kerja tanpa ada alasan cukup kuat yang termaksud didalam Pasal 158 UU Ketenagakerjaan. c.
Menurut penjelasan pasal 160 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan berbunyi sebagai berikut : Dalam hal pekerja ditahan pihak yang berwenang karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Untuk 1 (satu) orang tanggungan 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah. 2. Untuk 2 (dua) orang tanggungan 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah. 3. Untuk 3 (tiga) orang tanggungan 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah. 4. Untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih 50% (lima puluh perseratus) dari upah.
Dari pengertian Pasal 160 UU Ketenagakerjaan bantuan yang termaksud dalam ayat satu (1) diberikan paling lama 6 (enam) bulan takwin terhitung pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib, dan apabila pekerja terbukti divonis bersalah oleh majelis hakim pengadilan pidana maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.20 d.
Menurut penjelasan pasal 170 dan 171 Undang-Undang Ketenagakerjaan berbunyi sebagai berikut : Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan UU Ketenagakerjaan Pasal 151 ayat (3) dan Pasal 168, kecuali Pasal 159, Pasal 160 ayat (3), Pasal 162 dan Pasal 169 batal demi hukum, dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima sedangkan untuk Pasal 171 UU Ketenagakerjaan pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang
berwenang
sebagaimana maksud pada Pasal 159, Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162 UU Ketenagakerjaan pekerja yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan industrial dalam waktu paling lama satu (1) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.
20
Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003, Pustaka Mahardika, hal 66
Dari penjelasan kedua pasal tersebut diatas adalah didalam pekerja terbukti melakukan kesalahan berat sehingga diancam oleh majelis hakim pidana dan tanpa pengaduan dari pengusaha, maka pihak pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja tanpa harus mendapat persetujuan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial tetapi tidak harus mengesampingkan hak-hak pekerja yang dalam hal ini yang diatur dalam Pasal 160 UU Ketenagakerjaan. Kebenaran alasan yang berasal dari pengusaha dengan dasar adanya
kesalahan
pekerja,
harus
benar-benar
ditelusuri
apakah
kesalahan tersebut dalam kategori kesalahan berat atau ringan. Dalam praktik apabila pekerja melakukan kesalahan ringan dengan suatu misal tidak cakap melakukan pekerjaan maka pihak majikan dengan dasar alasan tersebut menjadi pekerja telah melakukan suatu kecerobohan sehingga
perusahaan
mengalami
kerugian,
hal
inilah
yang
mengakibatkan banyak terjadi PHK atas dasar kesalahan berat oleh karena itu harus jelas dan dapat diterima kedua belah belah pihak akan adanya kebenaran mengenai kesalahan berat tersebut sehingga tidak merugikan
buruh
dan
terjadi
sengketa
perdata
dalam
lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial. e.
Menurut penjelasan pasal 137 dan 138 ayat (1) UU Ketenagakerjaan berbunyi sebagai berikut : Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja dan serikat pekerja dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya suatu perundingan dan untuk Pasal 138 ayat (1) UU Ketenagakerjaan berbunyi
sebagai berikut Pekerja dan atau serikat pekerja yang bermaksud mengajak pekerja lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dengan tidak melanggar hukum. Penjelasan Pasal 137 UU Ketenagakerjaan adalah secara yuridis mogok kerja diakui sebagai hak dasar pekerja dan serikat pekerja yang dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan, menurut Pasal 1 angka (23) UU Ketenagakerjaan mogok kerja
(strike)
adalah
tindakan
pekerja
yang
direncanakan
dan
dilaksanakan secara bersama-sama atau oleh serikat pekerja untuk menghentikan dan atau memperlambat pekerjaan. Agar mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja itu legal tidak melanggar hukum, maka dalam UU Ketenagakerjaan mengaturnya dalam Pasal 140 dan Pasal 141 , siapa pun tidak dapat menghalang-halangi pekerja dan serikat pekerja demikian juga melakukan penangkapan, penahanan terhadap pekerja, dan atau serikat pekerja yang melakukan mogok secara sah, tertib dan damai sesuai peraturan perundangundangan yang termaktub didalam UU Ketenagakerjaan Pasal 143. Dengan demikian jelaslah bahwa penggunaan hak mogok kerja yang merupakan hak pekerja harus dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku yang seperti sudah diuraikan diatas, dengan pengaturan ini tidak berarti mengekang kebebasan para pihak tetapi semata-mata agar dalam penggunaannya tidak mengganggu hak orang lain dan ketertiban umum. Penggunaan hak ini tanpa aturan yang
mengendalikan akan dapat berakibat anarkis yang akan sangat merugikan para pihak maupun orang lain. 21
21
2010, hal 183
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan 1.
Untuk permasalahan yang berkaitan dengan rumusan permasalahan kedudukan hubungan kerja menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dan
Undang-Undang
13
Tahun
2003
tentang
ketenagakerjaan dalam perjanjian kerja yang selama ini, hendaknya hubungan kerja dibuat atas dasar kesepakatan antar pengusaha dengan pekerja, sayangnya itu masih jauh dari kita, khususnya mengenai pekerja yang bekerja dengan sistem kontrak atau
yang
disebut sebagai pekerja outsourcing yang sistem perjanjian kerjanya menggunakan Perjajian Kerja Waktu Tertentu , ketentuan mengenai outsourcing perlu dikaji kembali khususnya dibidang hubungan kerja. 2. Sedangkan dari permasalahan yang kedua mengenai penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap kedudukan pekerja dalam hubungan kerja pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 terkait Pasal 137 dan 138 ayat (1) tentang mogok kerja, dalam hal ini pemerintah dilarang menghalangi kebebasan kemandirian berserikat suatu pekerja yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yg dalam hal ini Undang-Undang No.21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja.
4.2.
Saran 1. Berdasakan hasil penelitian didalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Dari pernyatan diatas bahwa pemerintah Dinas
Ketenagakerjaan
lembaga
pengawas
(DISNAKER)
dilingkup
yang
hubungan
berperan
industrial
sebagai
hendaknya
berperan aktif dalam suatu pelaksanaan penerapan undang-undang ketenagakerjaan supaya didalam pelaksanaannya tidak menimbulkan pro dan kontra mengenai substansi undang-undang ketenagakerjaan, untuk
perlindungan
memaksimalkan
bagi
peraturan
pekerja yang
seharusnya
boleh
dilakukan
pemerintah perusahaan
penyedia jasa (outsourcing) yang tertuang dalam Pasal 59 UndangUndang Ketenagakerjaan agar dilaksanakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku dan tidak disimpangi oleh kedua belah pihak yaitu pekerja maupun pengusaha
supaya
dapat
timbul
hubungan
harmonis dalam perusahaan antara pakerja dan pengusaha tersebut di dalam hubungan industrial. 2. Sungguh disesalkan bahwa pembaharuan Undang-Undang di bidang Ketenagakerjaan melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan justru kurang ramah kemanusiaan dan kurang memberi pengayoman. Khususnya terhadap tenaga kerja, seperti ditunjukkan oleh berbagai kebijakan yang tercantum dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, dengan disebutkan beberapa pasal-pasal yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka akan memberi peluang bagi
pengusaha untuk sewenang-wenang melakukan PHK kepada pekerja, padahal didalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 151 ayat (3) pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial, tetapi dalam prakteknya banyak penyimpangan, untuk itu lembaga legislatif (DPR) sebelum membuat ataupun meresmikan suatu undang-undang hendaknya mempertimbangkan asas-asas hukum perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu dari ketentuan Undang-Undang Dasar 1945.
DAFTAR BACAAN
Husni Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010. J. Satrio, Hukum Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 28 Oktober 2004.
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Internusa, Jakarta, 2003. Wijayanti Asri, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Kep.Men No.KEP.102/MEN/VI/2004 Tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja. Permenaker No. Per-4/Men/1986 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja. SK Dirjen P2TKLN No.Kep-314/D.P2TKLN/X/2002 Tentang Pedoman Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia. SK Menaker No. Kep-81/M/BW/1995 Tentang Penetapan Komponen Kebutuhan Hidup Manusia. Peraturan perundang-undangan : Undang-Undang Dasar 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata UU No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial UU No.3 Tahun 1992 Tentang Jamsostek UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan UU No.21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja UU No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi