PERTANGGUNGJAWABAN PERUSAHAAN ATAS PELANGGARAN DALAM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU TERHADAP KARYAWAN MENURUT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
SKRIPSI
OLEH :
INGANAH NPM : 11120010
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2015
i
PERTANGGUNGJAWABAN PERUSAHAAN ATAS PELANGGARAN DALAM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU TERHADAP KARYAWAN MENURUT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya
OLEH :
INGANAH NPM : 11120010
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2015
i
PERTANGGUNGJAWABAN PERUSAHAAN ATAS PELANGGARAN DALAM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU TERHADAP KARYAWAN MENURUT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
NAMA
: INGANAH
FAKULTAS
: HUKUM
JURUSAN
: ILMU HUKUM
NPM
: 11120010
DISETUJUI dan DITERIMA OLEH : DOSEN PEMBIMBING,
Dr. H. TAUFIQURAHMAN, S.H.,M.Hum
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Telah diterima dan disetujui oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan LULUS. Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya
Tim Penguji Skripsi :
1. Ketua
: TRI WAHYU ANDAYANI, S.H.,C.N.,MH ( Dekan Fakultas Hukum )
2. Sekretaris
: Dr. H. TAUFIQURAHMAN, S.H,M.Hum ( Pembimbing )
3. Anggota
: Dr. Febria Nur Kasimon, SH, MH ( Dosen Penguji I )
Andy Usmina, SH., MH ( Dosen Penguji II )
iii
LEMBAR PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada :
Ayah Tercinta Alm. Ngainun dan Ibu Tercinta Sulami Isteriku Tersayang Siti Fatimah dan kedua anak-anakku yang ku banggakan Irfan Hidayat dan Siti Aniatul Zazilah
iv
MOTTO:
“ Oleh karena perpecahan itu, ajaklah mereka kepada kesatuan pendapat. Namun, tetaplah pada pendirian sebagaimana yang di perintahkan kepadamu dan janganlah di turuti hawa nafsumu. Dan katakanlah kepadanya : Aku beriman kepada kitab yang di turunkan Allah dan aku di perintahkan supaya berlaku adil di antaramu. Allah itu adalah Tuhan kami dan Tuhanmu juga. Amal kami untuk kami dan amalmu untuk kamu. Tiada gunanya permusuhan antara kami dan kamu. Allah kami akan mengumpulkan kita semua dan kepadanya tempat kembali “. (Al’Quran Surat As-Syuura 42 Ayat 15)
v
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan dan melimpahkan segala rahmat, hidayah dan segala sesuatunya kepada
penulis
sehingga
Pertanggungjawaban
penulisan
Perusahaan
Skripsi
Atas
dengan
judul
Pelanggaran
:
“
Dalam
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Terhadap Karyawan Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ” dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa tanpa bantuan dari semua pihak, baik dalam bentuk bantuan moril spritual maupun materiil, penulisan skripsi ini tidak akan dapat terselesaikan dengan baik dan sempurna. Dalam kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Bapak H. Budi Endarto, S.H.,M.Hum, selaku Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya ; 2. Bapak Dr. H. Universitas Pembimbing
Taufiqqurahman, S.H.,M.Hum, selaku Wakil Rektor
Wijaya
Putra
atas
bantuan
Surabaya dan
sekaligus
jasanya
juga
dengan
sebagai
penuh
Dosen
kesabaran
memberikan banyak ilmu pengetahuan, arahan, saran dan nasehat kepada
vi
penulis hingga bisa memahami ilmu hukum dan penulisan skripsi ini selesai tepat waktu ; 3. Ibu Tri Wahyu Andayani, S.H.,C.N.,M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. Kritik dan saran serta pelayanan akademik di Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya ; 4. Ibu Ani Purwati, S.H.,M.H, selaku Ketua Program Studi Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya yang memberikan bantuan kepada penulis dalam bentuk pelayanan akademik di Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya ; 5. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra yang telah banyak
memberikan
ilmu
pengetahuan
tentang
ilmu
hukum
dan
pengalamannya kepada penulis ; 6. Kepada Ayah Tercinta Alm. Ngainun dan Ibu Tercinta Sulami yang telah mendidik, merawat, membimbing dan berdoa untuk penulis agar senantiasa dalam keadaan sehat dan sukses hingga saat ini ; 7. Isteriku Tercinta Siti Fatimah yang telah mencintai, mengasihi, menyayangi dan menemani penulis dalam suka maupun duka dalam menempuh kehidupan rumah tangga selama ini ; 8. Anak-anakku Tersayang Irfan Hidayat dan Siti Aniatul Zazilah yang menjadi kebanggaanku dalam kehidupan ini ; 9. Kakak-kakak Alumni Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya : Sulton Sulaiman, S.H dan lain-lainnya ;
vii
10. Teman-teman Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya yang telah berjuang bersama dalam menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya ; 11. Kepada pihak-pihak lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah mendukung penulis dalam bentuk dukungan moril dan materiil hingga penulisan skripsi ini bisa selesai ; Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, segala bentuk kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat di harapkan sebagai bahan penelitian di masa yang akan datang nantinya. Akhir kata, semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya kepada penulis dalam pengembangan ilmu hukum.
Surabaya, 10 Juli 2015
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................................
i
HALAMAN PENGAJUAN .............................................................................
ii
HALAMAN TIM PENGUJI ............................................................................
iii
LEMBAR PERSEMBAHAN ..........................................................................
iv
MOTTO .........................................................................................................
v
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................
ix
BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................
1
1.
Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
2.
Rumusan Masalah ...................................................................
14
3.
Penjelasan Judul ......................................................................
14
4.
Alasan Pemilihan Judul ............................................................
15
5.
Tujuan Penelitian .....................................................................
17
6.
Manfaat Penelitian ...................................................................
18
7.
Metode Penelitian ....................................................................
19
8.
Sistematika Pertanggungjawaban ............................................
21
BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERJANJIAN KERJA ANTARA PIHAK PERUSAHAAN DAN TENAGA KERJA DI INDONESIA ...............................................................................
24
1.
Pengaturan Perjanjian Kerja Menurut Ketentuan Hukum Di Indonesia .................................................................
24
2.
Pengertian Perjanjian Kerja .....................................................
27
3.
Asas-Asas Hukum Dalam Perjanjian Kerja .............................
31
ix
4. 5.
Syarat-syarat Sahnya Suatu Perjanjian Kerja .......................... Jenis–Jenis Perjanjian Kerja .....................................................
34 36
6.
Isi Perjanjian Kerja ....................................................................
39
7.
Berakhirnya Perjanjian Kerja ....................................................
42
8.
Pelanggaran Pelaksanaan PKWT Oleh Perusahaan ..............
44
9.
Ketiadaan Pemenuhan Hak Tenaga Kerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Oleh Perusahaan ....................
46
10. Tindakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Sepihak Oleh Perusahaan ...........................................
50
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PERUSAHAAN TERHADAP TENAGA KERJA ATAS PELANGGARAN PERJANJIAN KERJA WAKTU KERJA TERTENTU DI INDONESIA .......................................................... 1.
55
Pemenuhan Hak-Hak Tenaga Kerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Sebagai Bentuk Pertanggungjawaban Perusahaan Kepada Tenaga Kerja Di Indonesia ....................................................................
55
Tanggung Jawab Perusahaan Atas Hak Upah Tenaga Kerja ............................................................................
60
Tanggung Jawab Perusahaan Atas Keselamatan Dan Kesehatan Tenaga Kerja ..................................................
64
Tanggung Jawab Perusahaan Atas Jaminan Sosial Tenaga Kerja ............................................................................
65
Tanggung Jawab Perusahaan Atas Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja .....................................................
68
Penyelesaian Perselisihan Dalam Pelanggaran Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Sebagai Wujud Pertanggungjawaban Perusahaan Terhadap Tenaga Kerja Di Indonesia ........................................................
72
7.
Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ..........
75
8.
Sanksi Hukum Terhadap Perusahaan Yang Melakukan Pelanggaran Perjanjian Kerja Waktu Tertentu .........................
86
2.
3.
4.
5.
6.
x
BAB IV PENUTUP .......................................................................................
98
1.
Kesimpulan ..............................................................................
98
2.
Saran .......................................................................................
100
DAFTAR BACAAN .....................................................................................
xi
103
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Pembangunan dalam bidang ketenagakerjaan sebagai bagian dari Integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, derajat dan martabat serta harga diri tenaga kerja serta tak lupa untuk turut ikut serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata baik materiil maupun spiritual. Sejalan dengan itu semua, pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia harus diatur dengan sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha di Indonesia. Jika hal ini diperhatikan secara menyeluruh, maka pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia mempunyai banyak dimensi dan ketekaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja sebelum, selama dan sesudah masa kerja saja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah dan masyarakat. Untuk itu, sangat diperlukan suatu pengaturan yang menyeluruh dan kompherensif, antara lain yang mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja dan pembinaan hubungan Industrial.
1
Pembinaan Industrial sebagai bagian dari pembangunan tenaga kerja harus diarahkan untuk terus mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan. Untuk itu lah, segala pengakuan, penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dalam pembangunan ketenagakerjaan serta penegakan demokrasi dalam bidang ketenagakerjaan diharapkan dapat mendorong partisipasi yang optimal dari seluruh tenaga kerja di Indonesia untuk membangun negara Indonesia yang di cita-citakan. Pembangunan nasional di Negara Indonesia dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata baik secara materiil maupun spiritual berdasarkan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Hal ini tentunya sangat ditunjang dan tidak terlepas dari adanya partisipasi dan kerjasama yang berkesinambungan antara Pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini masyarakat biasanya lebih merumuskan pembangunan nasional kearah yang multi kompleks yaitu mencari peradaban ekonomi yang sehat dan berkembang di dalam suatu pemerintahan yang ada. Salah satu yang dilakukan adalah dalam bidang pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia karena hal ini merupakan urat dan nafas dari perusahaan. Tidak bisa di pungkiri bahwa tenaga kerja di perusahaan sering kali mengalami hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang sengaja dan dirumuskan kedalam hal-hal yang bertentangan dengan hak asasi manusia. Kita ketahui bersama bahwa Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik Negara
2
yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sejalan dengan itu, pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional harus lah dipergunakan untuk meningkatkan harkat, martabat dan harga diri serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, merata baik materiil dan spiritual di Indonesia. Untuk itulah pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha di Indonesia. Pada saat ini, dalam era globalisasi pembangunan ketenagakerjaan sangat berperan penting karna pembangunan ketenagakerjaan memiliki banyak dimensi dan keterkaitan dalam pembangunan nasional. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan Negara akan tetapi juga kepentingan Pengusaha dan Pekerja serta masyarakat luas di Indonesia. Berkembangnya suatu Negara dapat dilihat dari proses pertumbuhan ekonominya yang pesat dari sektor mikro maupun makro, dalam mewujudkan kehidupan bangsa yang sejahtera. Negara Indonesia merupakan negara yang di golongkan kedalam negara berkembang di mana pertumbuhan ekonominya dalam tahap lepas landas. Banyak sektor yang sedang mengalami pertumbuhan baik dari segi pertanian, pertambangan, perikanan maupun industri. Dari berbagai macam kegiatan ekonomi yang ada di Indonesia, hingga saat ini memiliki cara tersendiri dalam mensejahterakan rakyatnya yang diatur dalam ketentuan Pasal 33 ayat 1 - 5 UUD 1945, di mana disebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
3
atas asas kekeluargaan. Upaya negara dalam mensejahterakan rakyat dapat dilakukan dengan berbagai macam kegiatan perekonomian di berbagai bidang salah satunya yaitu dibidang Industri/Ketenagakerjaan. Seperti kita ketahui, bahwa Industri merupakan ciri dari perekonomian negara berkembang yang menyerap banyak jumlah tenaga kerja. Dalam hal ini lah pemerintah berusaha untuk mengembangkan usaha industri dalam upaya meningkatkan perekonomian bangsa. Dari terlaksananya kegiatan ekonomi yang dilaksanakan dalam bidang industri, mengakibatkan pula terjadinya berbagai macam persoalan yang muncul seperti yang telah disebutkan di atas bahwa dengan adanya kegiatan industri maka para pihak yaitu pekerja/buruh, pengusaha dan pemerintah akan terjadi suatu bentuk perjanjian kerja untuk mengatur tentang hak-hak dan kewajiban para pihak dalam bidang ketenagakerjaan. Dalam sistem ketenagakerjaan yang terdapat di Indonesia selama ini, hubungan kerja dan perjanjian kerja yang dibuat tidak terlepas dari hal hubungan antara perikatan dan perjanjian di mana suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak untuk menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu sementara perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbul lah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan Perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu bentuk perikatan antara dua orang yang membuatnya dan dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau
4
kesanggupan yang di ucapkan atau ditulis. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan dengan kata lain bahwa perjanjian adalah sumber perikatan di samping sumber-sumber lainnya. Kesimpulannya, bahwa perjanjian itu merupakan sumber perikatan yang terpenting dan perikatan sesuatu yang abstrak sedangkan perjanjian adalah sesuatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa. Kita tidak dapat melihat dengan mata kepala kita suatu perikatan, kita hanya dapat membayangkannya dalam alam pikiran kita akan tetapi kita dapat melihat dan membaca dari suatu perjanjian ataupun mendengarkan perkataan-perkataannya. Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian (perjanjian kerja) sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undangundang diluar kemauan para pihak yang bersangkutan dengan kata lain bahwa apabila dua orang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Sungguhsungguh mereka itu terikat satu sama lain karena janji yang telah mereka berikan dan tali perikatan itu barulah putus kalau janji itu sudah dipenuhi. Hal ini sangatlah berkaitan dengan hubungan kerja dan perjanjian kerja yang terdapat di Indonesia yaitu dalam hal perjanjian kerja akan berakibat hukum yang
mengikat secara
pengusaha
dan
formil maupun materiil antara pekerja/buruh,
pemerintah
untuk
mencegah
terjadinya
pelanggaran
perjanjian (wanprestasi) dalam bidang ketenagakerjaan. Hal ini sangat menarik untuk di kaji lebih mendalam lagi agar ada suatu acuan dasar dalam pelaksanaan perlindungan hukum bagi para pekerja/buruh, pengusaha dan
5
pemerintah untuk memajukan kehidupan ekonomi di Negara Kesatuan Republik Indonesia dimasa kini dan dimasa yang akan datang. Di Indonesia, hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis maupun lisan dan perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis di persyaratkan dapat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam ketentuan Pasal 52 UUK disebutkan dengan jelas bahwa Perjanjian Kerja dibuat atas dasar : a. b. c. d.
Kesepakatan kedua belah pihak ; Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum ; Adanya pekerjaan yang diperjanjikan ; dan Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;
Sementara itu, mengenai Perjanjian Kerja tersebut dapat dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Hal ini termuat dalam ketentuan Pasal 56 ayat 2 UUK yaitu bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 didasarkan atas : a. Jangka waktu ; atau b. Selesainya suatu pekerjaan tertentu ; Jika hal ini di perhatikan, maka perjanjian kerja yang dibuat oleh pihak Pengusaha/Perusahan dengan Tenaga Kerja tentu saja tidak terlepas dari adanya macam-macam perikatan itu sendiri. Sebagaimana kita lihat, suatu perikatan merupakan suatu hubungan hukum antara dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Apabila di masing-masing pihak hanya ada satu orang, sedangkan sesuatu yang dapat dituntut hanya berupa satu hal, dan penuntutan ini dapat dilakukan seketika, maka perikatan ini merupakan bentuk yang paling
6
sederhana yang secara hukum hal yang sederhana seperti ini dapat disebut sebagai perikatan “bersahaja” atau “perikatan murni”. Dalam bukunya Subekti1, disamping bentuk yang paling sederhana itu, hukum Perdata mengenal pula berbagai macam-macam perikatan yang agak lebih rumit. Bentuk-bentuk yang lain itu adalah : a. Perikatan bersyarat ; b. Perikatan dengan ketetapan waktu ; c. Perikatan mana suka (alternatif) ; d. Perikatan tanggung-menanggung atau solider ; e. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi ; f. Perikatan dengan ancaman hukuman ; Di samping itu juga, semua perikatan-perikatan yang beraneka ragam di atas dalam hal perikatan-perikatan atau perjanjian kerja di Indonesia harus lah dengan menggunakan itikad baik agar ada suatu tanggung jawab dari semua pihak yang melakukan setiap perjanjian di Indonesia. Sampai saat ini, berbagai macam perusahaan yang bergerak dibidang Industri turut menyerap banyak tenaga kerja di mana di dalamnya terdapat hubungan
antara
pekerja
dengan
pengusaha
selaku
pihak
yang
memperkerjakan para tenaga kerja khususnya tenaga kerja Indonesia. Jika di perhatikan pada umumnya sebelum di terbitkannya UUK, istilah mengenai tenaga kerja dan pengusaha/perusahaan dikenal dengan istilah buruh dan majikan saja. Sedangkan hubungan kerja adalah hubungan seorang buruh dengan seorang majikan. Hubungan kerja hendak menunjukkan kedudukan
1
Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Kelima Belas, Intermasa, Jakarta, 1994, Hal. 4
7
kedua pihak itu yang pada dasarnya menggambarkan hak-hak dan kewajibankewajiban buruh terhadap majikan serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban majikan terhadap buruh. Adanya hubungan kerja ialah hanya bila ada buruh dan majikannya atau majikannya dengan buruhnya. Hubungan antara seorang bukan buruh dengan seorang bukan majikan, bukanlah hubungan kerja. Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara buruh dan majikan yaitu suatu perjanjian di mana pihak kesatu yaitu pihak buruh mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak kedua yaitu majikan dan pada pihak lainnya yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah. Pada pihak lainnya, mengandung arti bahwa pihak buruh dalam melakukan pekerjaan itu berada di bawah pimpinan pihak majikan. Di tengahtengah masyarakat Indonesia juga dikenal adanya bermacam-macam hubungan lain antara dua belah pihak yang dasarnya adalah juga melakukan pekerjaan dengan pembayaran sebagai balas jasa tetapi tidak dinamakan hubungan kerja. Dapat dipahami bahwa di Indonesia sendiri, pemerintah telah membuat dan mengadakan peraturan-peraturan mengenai hak dan kewajiban buruh dan majikan, baik yang harus dipatuhi dan dituruti oleh kedua belah pihak, maupun yang hanya akan berlaku, bila kedua belah pihak tidak mengaturnya sendiri dalam suatu bentuk perjanjian kerja. Menurut ketentuan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) disebutkan bahwa : “suatu perjanjian suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Demikian juga menurut pendapat para ahli hukum, salah satunya
8
yaitu pendapat R. Subekti2, undang-undang membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan dalam 3 (tiga) macam yaitu : 1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu ; 2. Perjanjian kerja/perburuhan ; dan 3. Perjanjian pemborongan pekerjaan ; Hal ini menunjukkan, adanya suatu perkembangan yang lebih baik mengenai sistem ketenagakerjaan di negara indonesia dalam hal pengaturan definisi maupun pengertian perjanjian kerja. Jika hal ini diperhatikan lebih mendalam lagi, salah satu undang-undang yang mengatur tentang perjanjian kerja di Indonesia yaitu UUK. Di dalamnya disebutkan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh, di mana perjanjian kerja tersebut dibuat secara tertulis ataupun secara lisan meskipun sebaiknya dibuat secara tertulis agar dapat menjadi kekuatan hukum yang mengikat para pihak yakni antar pengusaha dan pekerja/buruh. Hal ini dimaksudkan untuk dapat dijadikan alat bukti terhadap indikasi penyelewengan atau perbuatan pelanggaran-pelanggaran perjanjian (wanprestasi) terhadap perjanjian kerja yang telah dibuat sebelumnya antara pihak pengusaha/perusahaan dengan pihak tenaga kerja dan diawasi oleh pihak pemerintah Indonesia. Akan tetapi jika dilihat dengan seksama, bahwa dari pelaksanaan kegiatan hubungan kerja yang dilaksanakan oleh pengusaha selama ini di Indonesia juga telah secara langsung dan tidak langsung juga mengakibatkan berbagai macam persoalan-persoalan yang muncul pada saat ini, salah satunya adalah mengenai Perjanjian Kerja. Perjanjian kerja yang dibuat dan 2
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesembilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989,
Hal. 57
9
dilakukan oleh Pengusaha/Perusahaan dengan Tenaga Kerja selama ini di Indonesia pada kenyataannya dengan terang-terangan maupun diam-diam, di beberapa perusahaan-perusahaan adalah dengan menggunakan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) saja. Hal ini menunjukkan, telah jelas-jelas kerap menimbulkan permasalahan-permasalahan yang pada akhirnya berujung pada konflik-konflik yang berkepanjangan. Hal ini di perparah lagi karena permasalahan yang menyangkut PKWT tidak bisa tuntas dengan maksimal dan jelas penyelesaiannya selama ini. Setiap manusia dalam hal ini yaitu setiap Tenaga Kerja adalah merupakan mahkluk sosial dan sebagai mahkluk hidup yang berkodrat serta hanya dapat hidup di tengah-tengah masyarakat luas serta selalu harus berhubungan dengan satu sama lain. Di sadari atau tidak, untuk upaya mencukupkan dirinya baik kebutuhan hidupnya secara materiil seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal, serta kebutuhan azasi seperti kebebasan dalam mendapatkan/memperoleh agama, pendidikan, pelayanan publik, perlindungan hukum, kesetaraan gender dan kebutuhan lain sebagainya. Sebagai mahkluk yang bermasyarakat, setiap tenaga kerja di setiap perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia juga akan selalu berinteraksi dalam lingkungan sekitarnya di mana ia hidup dan bertempat tinggal. Saling membutuhkan untuk memenuhi keperluannya, tolong menolong, kerjasama dan lain sebagainya merupakan bagian dari implikasi adanya interaksi antar manusia khususnya tenaga kerja di Indonesia. Dalam hal ini, konsekuensi dari suatu kerjasama adalah timbul dan adanya suatu perjanjian yang harus dibuat oleh pihak pengusaha/perusahaan dengan tenaga kerja terlebih dahulu agar kerjasama hubungan kerja memiliki harapan-harapan dan
10
kiranya perjanjian kerja yang dibuat dapat berjalan dengan baik, kondusif dan bisa saling menguntungkan semua pihak baik. Akan tetapi, harapan tersebut pada saat ini tidak berjalan dan justru yang terjadi adalah berakhirnya kerjasama/perjanjian kerja sebagaimana yang dimaksud dengan cara-cara yang tidak saling menguntungkan khususnya pihak tenaga kerja dan upaya pemerintah Indonesia dalam mengatasi permasalahan-permasalahan akan hal ini selama ini hanyalah bersifat pasif dan menunggu penetapan dari pada setiap Putusan Pengadilan, karena menurut versi pemerintah, jika lebih mengutamakan dan membela pihak tenaga kerja, maka pemerintah akan rugi karna pihak Investor di setiap perusahaan yang ada di seluruh wilayah Indonesia akan meninggalkan wilayah Indonesia dan lebih memilih melakukan investasi di negara lainnya. Akan tetapi tidak terlepas dari itu semua, bahwa dari semua pengaturan hukum yang ada selama ini khususnya yang menyangkut ketenagakerjaan di Indonesia, bagaimanapun harmonisnya suatu hubungan kerja, kadangkadang terjadinya perselisihan merupakan sesuatu yang sukar untuk dihindarkan dan semakin berkembang karena hal-hal yang justru sifatnya hak asasi manusia dari setiap tenaga kerja di Indonesia banyak dilanggar oleh pihak pengusaha/perusahaan baik itu pelanggaran yang menyangkut tentang Peraturan Perusahaan, Upah, Jam Kerja, Masa Cuti, Hak Pesangon, Hak Penghargaan Atas Masa Kerja, Perjanjian Kerja Bersama, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan lain-lain sebagainya yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak-hak dasar para tenaga kerja di Indonesia yang seharusnya menjadi dasar fundamental untuk dapat di dahulukan di setiap perusahaan-perusahaan yang ada di wilayah Indonesia.
11
Jika di telaah secara hukum, berdasarkan ketentuan umum UUK yaitu dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 UUK, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Ketenagakerjaan adalah : “segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja”. Adapun yang dimaksud dengan tenaga kerja menurut undang-undang ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat 2 UUK bahwa Tenaga Kerja adalah : “setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Sedangkan pengertian Pekerja/Buruh dicantumkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat 3 UUK yaitu : “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain“. Sementara itu, mengenai tentang Pemberi Kerja ditentukan dalam ketentuan Pasal 1 ayat 4 UUK yaitu bahwa Pemberi Kerja adalah : “orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badanbadan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Dan baru lah kemudian pada ketentuan Pasal 1 ayat 4 UUK ditentukan mengenai Pengusaha yaitu bahwa Pengusaha adalah : a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri ; b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya ; c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia ; Melihat letak pasal ini, jelas-jelas bahwa pihak Tenaga Kerja di tempatkan pada ketentuan pasal yang pertama dan hal ini menunjukkan adanya suatu
12
realita bahwa cenderung pihak tenaga kerja yang terlebih dahulu di tuntut untuk memenuhi kewajibannya dibandingkan mendapatkan hak-haknya. Seperti kita ketahui bersama, bahwa beberapa peraturan perundangundangan yang ada di Indonesia khususnya yang mengatur dibidang ketenagakerjaan selama ini tidak terlepas dari unsur adanya suatu hubungan perikatan yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk suatu perjanjian kerja (PKWT) yang biasanya mampu mengikat semua pihak dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Jika dicermati lebih mendalam, perikatan yang terdapat dalam suatu perjanjian kerja terkadang lebih cenderung menitik-beratkan pada perikatan-perikatan yang tidak semua dapat di mengerti oleh para pihak yang membuatnya dan hal ini berkaitan dengan sistem hukum yang masih diterapkan dan dipergunakan dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia selama ini, jelas-jelas masih mempergunakan sistem peninggalan kolonial Belanda. Hal ini sejalan dan berhubungan dengan pendapat yang dikemukakan oleh R. Setiawan3, bahwa sekalipun dalam Buku III BW mempergunakan judul “Tentang Perikatan”, namun tidak ada satu pasal pun yang menguraikan apa sebenarnya yang dimaksud dengan perikatan dan hal ini adalah termasuk sebagian dari produk hukum peninggalan kolonial belanda yang jelas-jelas telah memojokkan posisi tenaga kerja di Indonesia pada posisi yang kurang begitu menguntungkan bahkan sangat jelas-jelas telah merugikan para tenaga kerja di Indonesia baik dalam pelayanan penempatan tenaga kerja, sistem upah, perjanjian kerja dan penyelesaian sengketa dalam perselisihan kerja dan sering hubungan industrial lebih menonjolkan kepada perbedaan kepentingan dan kedudukan serta tidak 3
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cetakan Kedua, Binacipta, Bandung, 1979,
Hal. 2
13
sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini dan tuntutan kebutuhan dimasamasa yang akan datang di Indonesia terlebih lagi di era globalisasi seperti yang telah terjadi saat ini. 2. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah diuraikan tersebut diatas, maka dapat di ambil rumusan masalah yaitu : a. Bagaimana pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dilakukan oleh pihak Pengusaha/Perusahaan dengan Tenaga Kerja di Indonesia ? b. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban Pengusaha/Perusahaan atas pelanggaran dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) terhadap Tenaga Kerja menurut ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ? 3. Penjelasan Judul Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan tenaga kerja yang dibuat berdasarkan suatu perjanjian kerja yang secara garis besar memuat tentang unsur pekerjaan upah dan perintah. Titik ukur dalam hubungan kerja adalah adanya perjanjian kerja yang saling mengikat/saling merelakan antar hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja/buruh untuk dapat saling menerima dan pemenuhan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak. Hubungan industrial adalah suatu sistem yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilainilai yang ada pada Pancasila dan UUD 1945.
14
Jika ini dikaitkan dengan hubungan kerja yang ada saat ini, hubungan kerja yang terjadi saat ini terdapat berbagai permasalahan yang timbul sebagai akibat
dari tidak
terlaksananya hak
dan kewajiban antara
pekerja/buruh dengan pengusaha. Oleh karena itu, perlu ada suatu ketentuanketentuan hukum yang mengatur dalam hal permasalahan ini terutama mengenai pertanggungjawaban pihak perusahaan atas berbagai pelanggaran perjanjian kerja (PKWT) yang dibuat dengan pihak tenaga kerja selama ini karena hubungan kerja pada dasarnya menitik-beratkan pada hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha saja. Akan tetapi, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang dibuat kedua belah pihak pada umumnya sebagaimana yang dimaksud di atas harus dapat di pertanggungjawabkan oleh semua pihak dan khususnya yang menyangkut sistem PKWT yang sarat dengan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat dapat memperoleh suatu kepastian hukum, keadilan hukum dan juga kemanfaatan hukum bagi dunia ketenagakerjaan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Alasan Pemilihan Judul Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan tenaga kerja, yang terjadi setelah diadakan perjanjian kerja oleh tenaga kerja dengan pengusaha, dalam hal ini tenaga kerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja
pada
pengusaha
dengan
menerima
upah,
dan
pengusaha
menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan tenaga kerja dengan menerima upah. Di Indonesia sendiri, biasanya sebelum melaksanakan suatu pekerjaan di suatu perusahaan pasti terdapat suatu perjanjian yang dibuat baik secara lisan maupun tulisan antara pihak perusahaan dengan pihak tenaga kerja dalam jangka waktu tertentu yang memuat berbagai klausula-
15
klausula yang dibuat agar dapat dilaksanakan oleh para pihak. Adapun perjanjian kerja sebagaimana yang dimaksud adalah perjanjian kerja sebagaimana yang dimaksud dan diatur dalam ketentuan UUK yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja adalah merupakan suatu perjanjian di mana pihak karyawan/pekerja/buruh mengikatkan diri untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah dan bentuk perjanjian kerja biasanya bebas dan dapat dibuat secara lisan dan tertulis. Dalam hal ini, untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan, seperti pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja di suatu perusahaan, maka pihak perusahaan berupaya untuk melakukan perjanjian tertulis demi menjamin adanya suatu kepastian hukum. Akan tetapi, justru kerap yang terjadi selama ini, justru pihak perusahaan lah yang dominan melakukan berbagai bentukbentuk pelanggaran terhadap perjanjian kerja (PKWT) yang telah disepakati bersama dengan cara tidak melaksanakan pertanggungjawaban atas pelanggaran perjanjian tersebut yaitu misalnya pelanggaran dalam hal pemutusan hubungan kerja secara sepihak, tidak memberikan upah sesuai ketentuan yang berlaku, tidak memberikan uang pesangon, penentuan upah dan waktu lembur kerja yang tidak tepat dan hal-hal lainnya yang merugikan pihak karyawan/pekerja/buruh serta pelanggaran-pelanggaran lainnya dalam setiap perusahaan-perusahaan. Dari uraian-uraian yang telah disebutkan di atas, masalah PKWT yang dibuat oleh Pengusaha/Perusahaan dengan Tenaga Kerja perlu mendapat perhatian lebih dan berimbang dalam sistem dunia ketenagakerjaan di Indonesia agar tercapai suatu sistem ketenagakerjaan yang kondusif dan saling menguntungkan semua pihak di Indonesia. Hal yang berkaitan dengan
16
PKWT sebaiknya dapat memperoleh suatu kepastian hukum yang sifatnya mengikat dan dapat di pertanggungjawabkan secara hukum pula oleh pihakpihak terkait khususnya oleh pihak pengusaha/perusahaan sendiri agar tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran atas sistem PKWT dan juga dapat mempertanggungjawabkan secara hukum jika melakukan pelanggaran yang sifatnya merugikan pihak tenaga kerja di Indonesia. Berangkat dari sini lah penulis mengambil judul yaitu : “Pertanggungjawaban Perusahaan Atas Pelanggaran Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Terhadap Tenaga Kerja Menurut Ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Di Indonesia”.
5. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Dapat memahami defenisi hubungan kerja dan pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang dibuat oleh Pengusaha/Perusahaan dengan Tenaga Kerja di Indonesia. b. Dapat mengetahui pertanggungjawaban Pengusaha/Perusahaan atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam sistem PKWT terhadap Tenaga Kerja dan perlindungan hukum terhadap Tenaga Kerja dapat terjaga, berkeadilan dan dapat di pertanggungjawabkan sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. c. Sebagai bahan masukan bagi mahasiswa/peneliti yang ingin melakukan penelitian yang berhubungan dengan masalah yang sama dan menambah pengetahuan
peneliti
tentang
proses
penegakan,
kepastian
dan
pelaksanaan/penerapan hukum yang berkaitan dengan hubungan kerja dalam dunia ketenagakerjaan, sistem perjanjian kerja yang terjadi saat ini
17
dan dapat memahami dan mengerti tentang bentuk pertanggungjawaban pihak Pengusaha/Perusahaan atas pelanggaran PKWT terhadap Tenaga Kerja di Indonesia. d. Sebagai pelengkap informasi dan bahan acuan bagi semua pihak yang sedang mengalami atau menghadapi permasalahan-permasalahan yang timbul sehubungan dengan pertanggungjawaban Pengusaha/Perusahaan atas pelanggaran PKWT terhadap Tenaga Kerja sesuai ketentuan menurut UUK di Indonesia. 6. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian dalam penulisan skripsi ini yaitu : a. Tujuan akademis yakni, untuk memenuhi salah satu persyaratan pada studi tahap akhir guna untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. b. Sedangkan tujuan praktis yakni, penulis berupaya untuk menggali dan menjelaskan mengenai hubungan kerja yang terdapat dalam pengertian ketenagakerjaan di Indonesia, memahami sistem perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha/perusahaan dengan tenaga kerja, mengerti atas bentuk-bentuk perjanjian kerja yang dibuat yaitu dengan menggunakan sistem PKWT serta mampu memberikan suatu bentuk pertangungjawaban yang seharusnya dilakukan oleh pihak pengusaha/perusahaan guna memberikan penghargaan atas hak-hak dasar para tenaga kerja di Indonesia dalam setiap perjanjian kerja yang dibuat khususnya bagi pihak pengusaha/perusahaan yang menggunakan sistem PKWT yaitu dalam suatu
bentuk
pertanggungjawaban
secara
hukum
oleh
pihak
pengusaha/perusahaan atas berbagai bentuk-bentuk pelanggaran PKWT
18
terhadap tenaga kerja yang selama ini terjadi sebagaimana menurut ketentuan UUK di Indonesia agar terdapat suatu keseimbangan yang baik, kondusif dan saling menguntungkan antara pihak pengusaha/perusahaan dengan tenaga kerja dalam setiap pelaksanaan hubungan kerja yang ada selama ini guna memajukan perekonomian di Indonesia pada umumnya yang berlandaskan pada rasa keadilan dan beradab secara hukum khususnya memberikan perlindungan hukum bagi pihak tenaga kerja atas sistem PKWT di Indonesia. 7. Metode Penelitian Ilmu Hukum merupakan satu cabang Ilmu Pengetahuan yang mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat presfiktif dan terapan. Sifat–sifat presfektif Ilmu Hukum merupakan suatu yang substansial dalam ilmu hukum. Hal ini tidak akan mungkin dapat dipelajari oleh ilmu–ilmu yang bukan ilmu hukum. Oleh sebab itu, jenis penelitian hukum pun jelas sangat berbeda dengan penelitian non–hukum lainnya. a. Tipe Penelitian Pemilihan metode penelitian disesuaikan dengan batasan ilmu hukum yang akan di cari jawabannya tentang pertanggungjawaban perusahaan atas pelanggaran PKWT terhadap tenaga kerja sesuai ketentuan yang berlaku di Indonesia. Untuk dapat memberikan jawaban dan mentelaah isu-isu hukum tersebut, digunakan tipe “Penelitian Hukum Normatif” yakni suatu penelitian yang bertumpu pada telaah penelitian yuridis normatif atas hukum positif dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
19
b. Pendekatan Masalah Dalam
penelitian
ini,
penulis
menggunakan
pendekatan
undang–
undang,yakni pendekatan dengan melakukan kajian terhadap peraturan perundang–undangan yang berlaku dan peraturan lain yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas. Di samping itu, dalam penelitian ini juga
menggunakan
pendekatan
doktrin/konsep
yakni
dengan
memperhatikan, mempelajari dan memahami pendapat para ahli hukum dalam karya–karya tulis ilmiah, misalnya buku–buku literatur, jurnal hukum, makalah–makalah dalam seminar dan sebagainya serta internet yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas dalam memberikan analisa atas peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut. c. Bahan Hukum Sebagai sumber dalam penelitian hukum normative terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri atas peraturan perundang–undangan dan peraturan–peraturan lainnya yang berlaku (Hukum Positif) yang pembahasannya terkait dengan pokok masalah yang dibahas dengan tidak membatasi peraturan hukum yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku literatur, karya-karya tulis ilmiah para ahli hukum, makalah, jurnal hukum, internet dan sebagainya yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas. d. Langkah-langkah Penelitian Langkah–langkah dalam penelitian ini, melalui beberapa tahap yaitu sebagai berikut :
20
1. Tahap Pertama Pada tahap pertama ini penulis memulai penelitian dengan mulai menggumpulkan bahan–bahan hukum dan mengiventarisasi bahan hukum yang terkait dengan menggunakan studi kepustakaan dan media lainnya seperti internet dan lain–lain. Kemudian bahan hukum di klasifikasikan dengan cara memilih bahan hukum, dan disusun secara sistematis agar mudah dibaca dan dipahami yang kemudian dilanjutkan dengan berbagai penyempurnaan. 2. Tahap Kedua Dalam tahap kedua ini dilakukan pemahaman dan mempelajari bahanbahan hukum dengan menggunakan metode deduksi yaitu suatu metode penelitian yang diawali dengan menemukan pemikiranpemikiran atau ketentuan yang bersifat umum, untuk diterapkan pada pokok masalah yang dibahas yang lebih bersifat khusus. 3. Tahap Ketiga Untuk sampai pada jawaban permasalahan digunakan penafsiran sistematis, yaitu penafsiran yang mendasarkan hubungan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainya, pasal yang satu dengan pasal yang lainnya dalam peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pokok bahasan.
8. Sistematika Pertanggung Jawaban Untuk dapat memberikan gambaran secara garis besar masalah– masalah dan penelitian, memudahkan pembahasan dan dapat memahami permasalahan secara jelas, maka skripsi ini ditulis secara sistematis yakni dibagi dalam 4 (empat) Bab dan Sub–Sub Bab yaitu sebagai berikut :
21
Bab I Pendahuluan. Bab ini merupakan gambaran tentang mengapa, bagaimana dan untuk apa penelitian ini disusun. Oleh karena itu dalam Bab ini di paparkan tentang latar belakang masalah yang menjadi alasan penting mengapa kajian ini dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan merumuskan permasalahan sebagai titik tolak kajian hukum ini, penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan penelitian, manfaat penelitian, uraian tentang metode penelitian
sebagai
instrument
kajian
apakah
langkah–langkah
dalam
penelitian ini dapat dan bisa di pertanggungjawabkan kebenarannya. Sistematika pertanggungjawaban memberikan gambaran secara utuh tentang penelitian. Bab II Pengertian Perjanjian Kerja, Syarat Sahnya Perjanjian Kerja, Asas-asas Perjanjian pada umumnya, Unsur-unsur Dalam Perjanjian Kerja, Bentuk Perjanjian Kerja, Jenis Perjanjian Kerja, Isi Perjanjian Kerja dan Berakhirnya Hubungan Kerja. Dalam Bab ini membahas tentang pengertian Perjanjian Kerja, Syarat-syarat sahnya Perjanjian Kerja, Unsurunsur dalam Perjanjian Kerja, Asas-asas Perjanjian Kerja pada umumnya, bentuk Perjanjian Kerja dan berakhirnya hubungan kerja yang dilakukan oleh perusahaan dan tenaga kerja di Indonesia. Bab III Pertanggungjawaban Perusahaan Atas Pelanggaran Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Terhadap Tenaga Kerja di Indonesia. Pada Bab ini membahas apa itu hukum, fungsi hukum, tujuan hukum serta bagaimana fungsi, tujuan hukum dan mamfaat hukum dalam hal pertanggungjawaban Pengusaha/Perusahaan atas berbagai bentuk-bentuk pelanggaran PKWT terhadap Tenaga Kerja yang selama ini kerap terjadi dalam dunia ketenagakerjaan menurut ketentuan UUK di Indonesia.
22
Bab IV Penutup. Merupakan bagian akhir dari penelitian yang terdiri atas bagian kesimpulan, kritik dan saran sebagai jawaban singkat dan lengkap atas rumusan masalah serta bagian saran sebagai suatu sumbangan pemikiran dan masukan dalam khasanah hukum, sehingga melalui ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan kedepan atau wacana yang positif terhadap penjelasan tentang masalah hubungan kerja, sistem perjanjian kerja yang terdapat di Indonesia, pemahaman yang benar atas sistem PKWT dan pertanggungjawaban secara hukum yang seharusnya dilakukan oleh pihak pengusaha/perusahaan atas pelanggaran PKWT terhadap tenaga kerja di Indonesia.
23
BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERJANJIAN KERJA ANTARA PIHAK PERUSAHAAN DAN TENAGA KERJA DI INDONESIA 1. Pengaturan Perjanjian Kerja Menurut Ketentuan Hukum Di Indonesia Hubungan kerja yang terjadi di Indonesia pada masa sekarang ini secara umum dapat disebut hubungan kerja yang fleksibel. Hal ini di artikan bahwa hubungan kerja yang terjadi selama ini tidak bisa memberikan jaminan kepastian apakah seseorang dapat bekerja secara terus menerus dan hal-hal lain yang berkaitan dengan haknya dapat terpenuhi sesuai ketentuan yang ada. Fleksibel disini dapat menyangkut waktu melakukan pekerjaan yang tidak selalu terikat pada jam kerja yang telah ditentukan oleh perusahaan selaku pemberi kerja juga ditentukan oleh pekerja itu sendiri. Dalam praktik pada mulanya di temukan ada 4 (empat) jenis hubungan kerja fleksibel yaitu sebagai berikut : 1. Hubungan kerja berdasarkan perjanjian pengiriman atau peminjaman pekerja ; 2. Hubungan kerja yang dilaksanakan di rumah ; 3. Hubungan kerja bebas ; 4. Hubungan kerja berdasarkan panggilan ; Dari keempat hubungan kerja yang fleksibel tersebut di atas, jika dikaitkan dengan terbitnya UUK yang berlaku hingga saat sekarang ini, fenomena baru mengenai perusahaan sendiri telah sedemikian rupa berkembang yaitu bahwa perusahaan-perusahaan yang menjalankan usahanya di Indonesia terkesan lebih fokus untuk mendapatakan keuntungan semata. Pengertian perusahaan dalam ketentuan Pasal 1 ayat 5 UUK disebutkan bahwa :
24
“Pengusaha adalah : a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri ; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya ; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia ;” Sedangkan pengertian perusahaan menurut ketentuan Pasal 6 UUK, menyebutkan bahwa : “Perusahaan adalah : a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain ; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain ;” Dari pengertian tersebut, perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia yang selanjutnya disebut sebagai perusahaan semula (perusahaan pengguna jasa tenaga kerja) dalam menjalankan usahanya dapat dan bisa saja melakukan suatu perbuatan hukum dengan cara penyerahan baik seluruh maupun sebagian pekerjaan di perusahaannya kepada pihak lain (perusahaan jasa) yang sering disebut sebagai perusahaan “outsourching” dengan cara melakukan hubungan kerja dengan menerapkan perjanjian kerja tertulis tersendiri. Pengertian
dari
“outsourching”
dalam
setiap
hubungan
kerja
sebenarnya tidak di temukan secara umum baik dalam UUK maupun peraturan-peraturan yang menyangkut ketenagakerjaan di Indonesia. Akan tetapi, dapat di artikan bahwa perusahaan outsourching adalah merupakan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Adapun dasar perusahaan pengguna
25
menyerahkan
pekerjaan
kepada
perusahaan
outsourching
tersebut
didasarkan pada ketentuan Pasal 64 UUK dinyatakan bahwa : “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 65 ayat 1 UUK menyebutkan bahwa : Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Hal ini berarti telah menunjukkan bahwa sistem outsourching adalah hubungan kerja yang fleksibel di mana tugas dan tanggung jawab perusahaan outsourching kepada perusahaan pengguna adalah hanya berdasarkan pada penyediaan, pengiriman, penyewaan atau peminjaman tenaga kerja semata dengan mendapatkan suatu imbalan jasa dari perusahaan pengguna dan hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 65 ayat 2 UUK yang mengatur bahwa : “Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama ; b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan ; c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan ; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung”. Dari hal ini terlihat jelas bahwa, meskipun tenaga kerja tidak mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan pengguna, akan tetapi undang-undang sebenarnya telah mengatur perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi pekerja dari perusahaan penyedia jasa (outsourching) sekurang-kurangnya sama dengan pekerja yang berstatus pekerja tetap di perusahaan pengguna sebagaimana yang termuat dalam ketentuan Pasal 65 ayat 4 UUK dan tak lupa bahwa perusahaan penyedia jasa (outsourching) tersebut harus lah berbentuk Badan Hukum (Pasal 65 ayat 3 UUK).
26
Penerapan dan pelaksanaan PKWT terhadap para tenaga kerja di Indonesia yang terjadi selama ini yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan di Indonesia, telah sangat menyimpang bahkan melanggar tentang ketentuan dasar perjanjian khususnya mengenai perjanjian kerja sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang menyangkut mengenai pengertian perjanjian kerja, asas perjanjian kerja, syarat-syarat pada perjanjian kerja, ketentuan sahnya suatu perjanjian kerja, subyek dan obyek yang diperjanjikan dalam pekerjaan serta hak dan kewajiban para pihak yang melakukan perjanjian kerja yang seharusnya wajib dipenuhi oleh para pihak. Suatu perjanjian kerja pada dasarnya harus memuat ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja itu, terutama mengenai hak dan kewajiban tenaga kerja maupun hak dan kewajiban perusahaan dan harus lah bersumber pada dasar hukum perjanjian yang lazim dan berlaku pada umumnya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
2. Pengertian Perjanjian Kerja Di Indonesia, mengenai pengertian perjanjian tidak terlepas dari ketentuan yang telah diatur dalam ketentuan Buku III KUHPerdata tentang Perikatan. Kata perikatan mempunyai arti yang lebih luas dari kata perjanjian. Sebab, kata perikatan tidak hanya mengandung pengertian hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari undang-undang saja akan tetapi juga berkaitan dengan subjek dan obyek yang akan diperjanjikan harus sesuai dengan perkembangan hukum yang ada.
27
Secara umum, adapun yang dimaksud dengan perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa : “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Melihat hal ini, hubungan antara perikatan dengan perjanjian dapat di rumuskan bahwa perjanjian merupakan sumber utama dari suatu perikatan, sehingga perikatan itu ada bilamana terdapat suatu perjanjian. Dengan demikian, antara perjanjian dengan perikatan terdapat hubungan sebab akibat, yaitu perjanjian sebagai sebab yang merupakan suatu peristiwa hukum, sedangkan perikatan sebagai akibat hukumnya. Kata Perjanjian sendiri dalam bahasa Belanda disebut dengan Overeenkomsten yaitu Persetujuan. Kata “Overeenkomsten” tersebut lazim di terjemahkan juga dengan kata perjanjian maupun persetujuan. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan suatu perikatan dan memang perikatan itu paling banyak di terbitkan oleh suatu perjanjian. Akan tetapi sebagaimana sudah dikatakan di atas, ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber-sumber lain tersebut tercakup dengan nama undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan ada perikatan yang lahir dari undang-undang di mana perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian sedangkan perikatan yang lahir dari undangundang diluar kemauan para pihak yang bersangkutan.
28
Perjanjian kerja merupakan salah satu turunan dari perjanjian pada umumnya, di mana masing-masing perjanjian memiliki ciri khusus yang membedakannya dengan perjanjian yang lain. Namun, harus di tegaskan bahwa seluruh jenis perjanjian memiliki ketentuan yang umum yang dimiliki secara universal oleh segala jenis perjanjian, yaitu mengenai asas hukum, sahnya perjanjian, subyek serta obyek yang diperjanjikan. Ketentuan dan syarat-syarat pada perjanjian yang dibuat oleh para pihak berisi hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang harus dipenuhi. Dalam hal ini, tercantum asas “kebebasan berkontrak” (idea of freedom of contract) yaitu seberapa jauh pihak-pihak dapat mengadakan perjanjian, hubunganhubungan apa yang terjadi antara mereka dalam perjanjian itu serta seberapa jauh hukum mengatur hubungan antara para pihak. Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Bagas Pratama, Yose Rizal Sidi Marajo dan Endang Sugriati4, surat perjanjian dan kontrak mempunyai fungsi data autentik yang kuat hitam di atas putih sekaligus dapat merupakan bukti dan saksi yang kuat, karena di tanda tangani oleh kedua belah pihak yang berjanji atau yang mengadakan kontrak serta saksi-saksi yang memperkuatnya di atas materai. Setiap orang yang terlibat dalam perjanjian sebaiknya perjanjian itu dibuat secara tertulis dalam surat perjanjian yang berkekuatan hukum, dan saling mengikat kedua pihak yang terlibat. Guna surat perjanjian dibuat adalah untuk saling mengingatkan tentang hak dan kewajiban pihak-pihak yang berikrar atau berjanji. Dibuat tertulis ialah untuk menghindarkan perselisihan agar kerjasama atau kontrak bisnis mereka berjalan lancar. 4
Bagas Pratama, Dkk., Aneka Konsep Surat Perjanjian Dan Kontrak Di Lengkapi Dengan Tuntunan Bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah, Cetakan Kedua, Pustaka Setia, Bandung, 1999, Hal. 8
29
Perjanjian kerja mengakibatkan hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha/pemberi kerja, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan, di mana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk memperkerjakan buruh dengan membayar upah hal ini sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 50 UUK yang menyatakan bahwa : ”hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh”. Selanjutnya
perihal
pengertian
mengenai
perjanjian
kerja
yang
dikemukakan oleh R. Subekti5, menyatakan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, perjanjian mana di tandai oleh ciri-ciri : adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu “hubungan diperatas” (bahasa belanda “dienstverhouding”) yaitu suatu hubungan berdasarkan pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah–perintah yang harus di taati oleh orang lain. Dalam ketentuan yang terdapat pada ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, disebutkan bahwa : “perjanjian perburuhan adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah”. Sementara itu, jika dibandingkan dengan ketentuan Pasal 1 ayat 14 UUK, memberikan pengertian tentang perjanjian kerja yaitu bahwa : “perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha/pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”.
5
R. Subekti, Op.Cit., Hal. 58
30
Karena adanya suatu perjanjian kerja, tentunya pasti masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban perusahaan dengan tenaga kerja muncul karena kedua belah pihak terikat dalam suatu perjanjian kerja, perjanjian kerja antara perusahaan dengan tenaga kerja mengakibatkan hubungan hukum sehingga masing-masing memiliki hak dan kewajiban.
3. Asas-Asas Hukum Dalam Perjanjian Kerja Di dalam hukum perikatan pada umumnya, hanya dikenal 3 (tiga) macam jenis asas-asas hukum perikatan yang sangat penting yaitu sebagai berikut : 1) Asas Konsensualisme Asas ini dapat disimpulkan dalam ketentuan Pasal 1320 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi ; ”lahirnya perjanjian adalah pada saat tercapainya kesepakatan dan saat itulah adanya hak dan kewajiban para pihak”. 2) Asas Pacta Sunt Servanda Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Hal ini dapat disimpulkan dalam ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi : “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. 3) Asas Kebebasan Berkontrak Asas ini berupa hal yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, persyaratannya dan menentukan bentuk perjanjian baik itu secara tertulis atau tidak tertulis. Melihat perkembangan hukum di Indonesia, di mana baik itu dalam hal membuat mengenai suatu kontrak, perikatan maupun perjanjian kerja sangat
31
penting memperhatikan asas hukum. Adapun ketiga asas sebagaimana disebutkan di atas, dirasakan sudah tidak relevan dan memadai lagi dan perlu ada penambahan asas yang harus diperhatikan dalam membuat suatu perjanjian khususnya PKWT agar tercapai suatu bentuk perjanjian yang tepat dan tentunya memiliki kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum dibidang ketenagakerjaan di Indonesia. Salim H.S6, di dalam hukum kontrak (perjanjian) dikenal 5 (lima) asas penting, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum), asas itikad baik dan asas kepribadian. Kelima asas itu di sajikan sebagai berikut : 1) Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk : a. Membuat atau tidak membuat perjanjian b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya, dan d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. 2) Asas Konsensualisme Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam ketentuan Pasal 1320 ayat 1 KUHPerdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian,
yaitu
adanya
kesepakatan
kedua
belah
pihak.
Asas
konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya
6
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hal. 9
32
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. 3) Asas Pacta Sunt Servanda Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa Hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. 4) Asas Itikad Baik (Goede Trouw) Asas itikad baik dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata yang berbunyi : “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut normanorma obyektif. 5) Asas Kepribadian (Personalitas) Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1315 dan
33
Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata berbunyi : “pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi : “perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun, ketentuan itu ada pengecualiannya, sebagaimana yang di introdusir (dimasukkan) dalam ketentuan Pasal 1317 KUHPerdata, yang berbunyi : “dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu”.
4. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perjanjian Kerja Sebagaimana diketahui, hukum perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan KUHPerdata (BW), menganut asas konsensualisme yang artinya ialah bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu sudah di lahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus (sepakat) dan pada detik tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat. Asas konsensualisme merupakan suatu tuntutan kepastian hukum contohnya adalah bahwa orang yang hidup di masyarakat yang teratur harus dapat dipegang perkataan atau ucapannya. Apabila 2 (dua) orang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum, sungguhsungguh mereka itu terikat satu sama lain karena janji yang telah mereka berikan dan tali perikatan itu baru lah putus kalau janji itu sudah dipenuhi. Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut sistem hukum eropa
34
kontinental, menurut pendapat yang dikemukakan oleh Salim H.S7 dalam bukunya, syarat sahnya perjanjian diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata atau Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata menentukan 4 (empat) syarat sahnya perjanjian, yaitu : 1) Adanya kesepakatan kedua belah pihak ; 2) Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum ; 3) Adanya obyek, dan ; 4) Adanya kausa yang halal ; Keempat hal itu dikemukakan sebagai berikut : a) Kesepakatan (Toesteming) izin kedua belah pihak Yang dimaksud kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. b) Kecakapan Bertindak Kecakapan
bertindak
adalah
kecakapan
atau
kemampuan
untuk
melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian harus lah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum yaitu : 1) Anak di bawah umur (minderjarigheid) ;
7
Salim H.S., Ibid., Hal. 33
35
2) Orang yang di taruh di bawah pengampuan, dan ; 3) Istri (Pasal 1330 KUHPerdata). Akan tetapi, dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 Juntco SEMA Nomor 3 Tahun 1963. c) Adanya Obyek Perjanjian Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi obyek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Prestasi terdiri dari : 1) Memberikan sesuatu 2) Berbuat sesuatu, dan 3) Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata). 4) Adanya Causa Yang Halal (Geoorloofde Oorzaak) Dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak dijelaskan pengertian “Oorzaak” (causa yang halal). Di dalam ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
5. Jenis-Jenis Perjanjian Kerja Jenis-jenis perjanjian kerja dapat dibedakan atas lamanya waktu yang disepakati dalam perjanjian kerja, dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). 1) Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu (PKWT) Perlindungan pekerja/buruh melalui pengaturan PKWT ini adalah untuk memberikan kepastian bagi mereka yang melakukan pekerjaan yang
36
sifatnya terus-menerus tidak akan dibatasi waktu perjanjian kerjanya. Sedangkan untuk pengusaha yang menggunakan melalui pengaturan PKWT
ini,
pihak
pengusaha
diberikan
suatu
kesempatan
untuk
menerapkannya pekerjaan yang sifatnya terbatas waktu pengerjaannya, sehingga pengusaha juga dapat terhindar dari kewajiban mengangkat pekerja/buruh tetap untuk pekerjaan yang terbatas waktunya. Untuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 56 ayat (2) UUK hanya didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu dan tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Selain itu perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Di samping ketentuan tersebut, PKWT sebenarnya juga diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No : KEP.100/MEN/VI/2004, di mana yang dimaksud dengan perjanjian kerja untuk waktu tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. Dengan demikian yang dinamakan sifat PKWT yaitu sebagai berikut : a) Pekerja yang sekali selesai atau sifatnya sementara Pola hubungan kerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu dapat dilakukan untuk pekerja yang didasarkan atas selesainya pekerja tertentu untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun. Diperkirakan penyelesaianya dalam waktu tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun. Pola hubungan kerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu
37
dapat dilakukan untuk pekerja yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu tidak terlalu lama dan paling lama 3 tiga (tahun). Dalam hal perkerjaan tertentu yang diperjanjikan telah berakhir, maka perjanjian kerja waktu tertentu tersebut putus demi hukum. b) Bersifat musiman Pekerja yang bersifat musiman adalah pekerja yang pelaksanaanya tergantung pada musim atau cuaca. PKWT yang dilakukan untuk pekerja yang musiman hanya dapat dilakukan satu jenis pekerjaan waktu tertentu, berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Untuk ini perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun dan tidak dapat dilakukan perubahan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetbok van Koophandel) dalam Bab ke IV dari Buku II (Pasal 395 dan selanjutnya) memberikan suatu perantara tersendiri mengenai “perjanjian kerja laut”, yang disamping menyatakan berlakunya hampir semua ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian perburuhan dari BW, memberikan banyak sekali ketentuanketentuan khusus untuk buruh yang bekerja di kapal. 2) Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan, dan dimasa percobaan ini pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku. Apabila masa percobaan telah di lewati, maka pekerja/buruh langsung menjadi berstatus pekerja tetap. Dengan status tersebut pekerja memiliki hak sebagaimana diatur dalam
38
peraturan perundang-undangan, peraturan perusahaan maupun perjanjian kerja bersama. 6. Isi Perjanjian Kerja Isi perjanjian kerja merupakan inti dari perjanjian kerja. Ini berkaitan dengan pekerjaan yang diperjanjikan dan ada kalanya isi perjanjian kerja tersebut dirinci dalam perjanjian tetapi sering juga hanya dicantumkan pokokpokoknya saja. Isi dalam perjanjian kerja harus lah sebagaimana isi perjanjian pada umumnya, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang ada, kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian kerja pada dasarnya memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan. Ketentuan ini dapat pula ditetapkan dengan peraturan majikan, yaitu peraturan yang secara sepihak ditetapkan oleh majikan yang disebut dengan peraturan perusahaan dan dapat pula diatur dalam suatu bentuk perjanjian kerja bersama (PKB). Dalam ketentuan UUK, mengatur syarat-syarat pembuatan perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagai berikut : 1) Dibuat secara tertulis ; Dalam UUK pasal 57 ayat (1) disebutkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Oleh karena itu bila dibuat secara lisan, atau bukan dalam bahasa Indonesia dan bukan dalam huruf latin, maka kesepakatan tersebut adalah tidak sah atau batal demi hukum. Konsekuensinya pekerja tersebut harus lah dianggap sebagai pekerja tetap.
39
2) Tidak boleh ada masa percobaan ; Pada pasal 58 ayat (1) UUK disebutkan bahwa dalam PKWT tidak dapat mempersyaratkan
adanya
masa
percobaan
kerja.
Apabila
dalam
kesepakatan kerja tersebut disyaratkan masa percobaan kerja, maka perjanjian kerja untuk waktu tertentu tersebut batal demi hukum. Dalam hal perjanjian kerja dilakukan oleh calon pekerja sebagai pihak pekerja dan perusahaan biasanya merupakan perjanjian baku karena perjanjian tersebut telah dibuat sepihak oleh perusahaan dan pihak pekerja tidak di ikut sertakan dalam pembuatan kesepakatan kerja waktu tertentu, tetapi pekerja wajib mempelajari isi kesepakatan kerja waktu tertentu sebelum mendatangani “blanko” kesepakatan waktu tertentu. Walaupun perjanjian itu disebut perjanjian baku namun perjanjian tersebut sudah mempunyai persyaratan syarat sah perjanjian sebagaimana disebutkan dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu : a. Sepakat dalam hal ini di tinjau dari adanya perjanjian kerja yang berupa syarat persyaratan yang berupa blanko kesepakatan perjanjian kerja waktu tertentu yang di tanda tangani oleh kedua belah pihak ; b. Kecakapan membuat sesuatu perjanjian, cakap yang dimaksud disini adalah para pihak yang membuat perjanjian kerja yaitu antara pekerja dengan perusahaan. Pekerja yang dimaksud disini orang yang sudah mempunyai umur 21 tahun dan wanita sudah menikah 18 tahun ; c. Sesuatu hal yang dimaksud disini adalah obyek perjanjian tertentu dan dapat ditentukan dalam hal ini adalah pekerjaan yang diberikan kepada pekerja waktu tertentu kebanyakan dibidang produksi ;
40
d. Suatu sebab yang hal adalah isi kesepakatan kerja waktu tertentu antara perusahaan dengan tenaga kerja tidak dilarang oleh ketentuan undang-undang dan tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum ; Berdasarkan ketentuan Pasal 54 UUK menyebutkan bahwa : “perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat : a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha ; b. nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja atau buruh ; c. jabatan atau jenis pekerjaan ; d. tempat pekerjaan ; e. besarnya upah dan cara pembayarannya ; f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh ; g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja ; h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat ; dan i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja “. Dari ketentuan pasal ini, terlihat jelas bahwa kewajiban masing-masing pihak harus lah seimbang dan diatur terlebih dahulu dibandingkan mengenai hak-hak dari para pihak dalam setiap isi perjanjian kerja (PKWT). Oleh sebab itu, hakikat kewajiban tenaga kerja merupakan hak pengusaha dan sebaliknya kewajiban pengusaha merupakan hak tenaga kerja. Adapun mengenai kewajiban-kewajiban dari masing-masing pihak dapat diuraikan yaitu sebagai berikut : a. Kewajiban Pekerja : 1) Melaksanakan tugas/pekerjaan sesuai yang diperjanjikan dengan sebaik-baiknya (Pasal 1603 KUH Perdata) ; 2) Melaksanakan pekerjaannya sendiri, tidak dapat digantikan oleh orang lain tanpa izin dari pengusaha (Pasal 1603 a KUHPerdata) ; 3) Mematuhi peraturan dalam melaksankan pekerjaan (Pasal 1603 b KUH Perdata) ;
41
4) Mematuhi peraturan tata tertib dan tata cara yang berlaku di rumah/tempat majikan bila pekerja tinggal di sana (Pasal 1603 c KUH Perdata) ; 5) Melaksanakan tugas dan segala kewajibannya secara layak (Pasal 1603 d KUH Perdata) ; b. Kewajiban Pengusaha : 1) Memberikan upah (Pasal 88-98 UUK) ; 2) Memberikan perlindungan hukum (Pasal 67-76 UUK) ; 3) Memberikan istirahat kerja (Pasal 79-85 UU K) ; 4) Memberikan dan pelatihan, keterampilan kerja, magang (Pasal 9-30 UUK) ; 5) Memberikan, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak (Pasal 31 UUK) ; 6) Memberikan Jaminan sosial (Pasal 99 UUK) ; 7) Memberikan perlindungan pada waktu di PHK (Pasal 150-172 UUK) ; 8) Memberikan hak untuk menjadi anggota Serikat Pekerja (Pasal 104 UUK) ;
7. Berakhirnya Perjanjian Kerja Dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia, diketahui bahwa hubungan kerja harus tetap dilandasi oleh falsafah ideologi pancasila, berjalan asas kekeluargaan dan gotong royong yaitu bahwa buruh dan majikan merupakan kesatuan dalam memproduksi barang dan jasa dan hal ini juga sangat berkaitan dengan ketentuan berakhirnya suatu perjanjian kerja karena jika ada suatu kesepakatan dimulainya suatu perjanjian kerja tentunya akan ada pula diatur mengenai ketentuan mengenai berakhirnya suatu perjanjian kerja
42
(PKWT). Berakhirnya perjanjian atau hapusnya perjanjian tertuang dalam Pasal 1381 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa : “perikatan-perikatan hapus karena : karena pembayaran ; karena penawaran pembayaran tunai, di ikuti dengan penyimpanan atau penitipan ; karena pembaharuan utang ; karena perjumpaan utang ; karena pembebasan utangnya ; karena musnahnya barang yang terutang ; karena kebatalan atau pembatalan ; karena berlakunya suatu syarat batal ; karena liwatnya waktu ;” Sementara itu, dalam ketentuan Pasal 61 ayat 1 UUK, menyebutkan bahwa : “Perjanjian kerja berakhir apabila : a. pekerja meninggal dunia ; b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja ; c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ; dan d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian kerja ;” Dalam hal ini, ada pengecualian bahwa suatu perjanjian kerja (PKWT) tidak akan berakhir jika yang meninggal dunia pihak pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah sebagaimana dalam ketentuan Pasal 61 ayat 2 UUK. Sedangkan khusus mengenai PKWT, dapat dibuat suatu kesimpulkan bahwa perjanjian kerja dapat berakhir dikarenakan hal-hal yaitu sebagai berikut : a. Batal Demi Hukum PKWT dapat berakhir demi hukum karena disyaratkannya masa percobaan kerja (Pasal 58 UUK) atau dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum.
43
b. Hubungan Kerja Putus Oleh Pengusaha (PHK) Suatu hubungan kerja dapat dilakukan pemutusan oleh pengusaha dengan alasan-alasan dan bukti yang cukup hal ini sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 158 ayat 1 UUK bahwa : “Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut : a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan ; b. memberikan keterangan palsu atau yang di palsukan sehingga merugikan perusahaan ; c. mabuk, meminum-minuman keras yang memabukkan, memakai dan atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja ; d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja ; e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja ; f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ; g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan ; h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja ; i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara ; atau j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancamr pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih ;”
8. Pelanggaran Pelaksanaan PKWT Oleh Perusahaan Di era perkembangan globalisasi yang terjadi saat ini, serta mengingat bahwa persaingan bisnis yang semakin ketat, setiap perusahaan di tuntut untuk dapat meningkatkan kinerja usahanya. Salah satu usaha yang dilakukan oleh pihak perusahaan adalah dengan cara mempekerjakan para pekerja dengan memberikan upah seminimal/semurah mungkin akan tetapi pekerja harus memberikan kontribusi yang maksimal bagi perusahaan. Dalam hal ini, muncul fenomena untuk mengikat pihak pekerja/buruh dengan
44
membuat perjanjian kerja yang berupa perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang mana biasanya pihak perusahaan beralasan bahwa hal tersebut sangat menguntungkan karena upah yang diberikan lebih rendah jumlahnya dibandingkan dengan pekerja tetap dan perusahaan tidak memberikan uang pesangon di akhir jabatannya dan mungkin masih banyak alasan lainnya yang bisa menguntungkan pihak perusahaan di Indonesia. Di sisi lain, ternyata hingga saat ini, masih banyak para tenaga kerja di Indonesia yang melakukan pekerjaan di berbagai perusahaan yang sama sekali tidak mengetahui dan memahami akan hak dan kewajibannya dalam peraturan ketenagakerjaan yang ada, sehingga
para tenaga kerja tidak
menyadari atau di sadari sekali pun bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pengusaha. Meski pun sebagian pihak pekerja ada yang mengetahui, mengerti dan memahaminya, akan tetapi karena faktor langkanya lowongan pekerjaan membuat mereka bertahan dan tidak berani menuntut meskipun hak-haknya telah jelas-jelas dilanggar oleh pihak pengusaha dan hanya berani melakukan bentuk protes “cukup disimpan dalam hati saja dan pasrah akan nasib” dan membiarkannya atau pun melalui usulan organisasi Serikat Pekerja. Salah satu contoh nyata adanya penyimpangan maupun pelanggaran yang sering dilakukan oleh pihak perusahaan yaitu mengenai jangka waktu masa pekerja PKWT. Di mana sebenarnya dalam ketentuan Pasal 59 ayat 1 UUK, menyebutkan bahwa : “tentang perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu yaitu : 1) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya ; 2) Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun ;
45
3) Pekerjaan yang bersifat musiman ; atau 4) Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan ;” Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelas lah bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Dalam kenyataannya, banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia sama sekali tidak mengindahkannya dan parahnya lagi perusahaan hanya membuat PKWT untuk jangka waktu setiap 3 (tiga) bulan sekali, 6 (enam) bulan sekali maupun 1 (satu) tahun sekali saja dan hal tersebut telah dilakukan oleh perusahaan berkali-kali belum lagi berbagai pelanggaranpelanggaran lainnya yang jelas-jelas sangat merugikan hak-hak pekerja di Indonesia. Seperti kita ketahui pada kenyataannya, bahwa dalam setiap hubungan antara tenaga kerja dengan pengusaha apabila dikaitkan dengan tujuan ketenagakerjaan di Indonesia akan sangat sulit tercapai karena pengusaha sebagai pihak yang lebih kuat akan selalu berupaya untuk menekan pihak pekerja yang berada pada posisi yang lebih rendah atau lemah. Oleh sebab itu, pemerintah dianggap perlu untuk menangani masalah ketenagakerjaan yang ada yaitu dengan membuat peraturan-peraturan yang diharapkan mampu memberikan kepastian hukum terhadap hak
dan kewajiban
pengusaha maupun pekerja di Indonesia.
9. Ketiadaan Pemenuhan Hak Tenaga Kerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Oleh Perusahaan Pemenuhan hak tenaga kerja di berbagai perusahaan-perusahaan yang menggunakan PKWT adalah merupakan suatu kewajiban perusahaan baik itu oleh
perusahaan
pengguna
maupun
46
perusahaan
penyedia
jasa
(outsourching). Adapun yang merupakan hak-hak dari tenaga kerja jika bekerja di suatu perusahaan menurut ketentuan dalam peraturan perundangundangan di Indonesia diatur dalam bentuk perlindungan hukum terhadap tenaga kerja di Indonesia tanpa ada pengecualian. Perlindungan hukum tersebut di jamin dalam ketentuan Bab X tentang perlindungan, pengupahan dan kesejahteraan yang tercantum dalam ketentuan Pasal 67 sampai Pasal 101 UUK, yaitu sebagai berikut : 1) Perlindungan terhadap Tenaga Kerja Penyandang Cacat Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya (Pasal 67 ayat 1 UUK). 2) Perlindungan terhadap Tenaga Kerja Anak Pengusaha
dilarang
mempekerjakan
anak.
Akan
tetapi,
terdapat
pengecualian yaitu bahwa anak dapat dipekerjakan oleh pengusaha untuk jenis pekerjaan yang ringan dan syarat-syarat khusus lainnya (Pasal 69 ayat 1 dan ayat 2 UUK). 3) Perlindungan terhadap Tenaga Kerja Perempuan Tenaga kerja perempuan yang berumur kurang 18 Tahun, dilarang di perkerjakan oleh pengusaha antara pukul 23.00 Wib sampai pukul 07.00 Wib dan pengusaha dilarang mempekerjakan perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 Wib sampai dengan pukul 07.00 Wib. Terdapat pengecualian yaitu apabila pengusaha mempekerjakan perempuan antara pukul 23.00 Wib sampai dengan pukul 07.00 Wib wajib untuk memberikan makanan dan minuman
47
bergizi, menjaga kesusilaan dan keamanan di tempat kerja serta pengusaha wajib menyediakan fasilitas antar jemput bagi tenaga kerja perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 Wib sampai dengan pukul 05.00 Wib (Pasal 76 ayat 1-4 UUK). 4) Perlindungan dalam Waktu Kerja Ketentuan waktu kerja untuk tenaga kerja meliputi : a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu ; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu ( Pasal 77 ayat 2 UUK). Di samping itu, pengusaha juga wajib memberikan waktu istirahat atau cuti kepada tenaga kerja. Waktu istirahat atau cuti sebagaimana yang dimaksud meliputi : a. Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja. b. Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. c. Cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus. d. Istirahat panjang sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama dengan
48
ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun (Pasal 79 ayat 2 UUK). e. Setiap tenaga kerja juga mendapatkan hak untuk melakukan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya (Pasal 80 UUK) serta ada istirahat cuti Haid dan melahirkan khususnya bagi tenaga kerja perempuan (Pasal 81 dan Pasal 82 UUK). 5) Keselamatan dan Kesehatan Kerja Setiap tenaga kerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas : keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama (Pasal 86 ayat 1 UUK). 6) Pengupahan Menurut ketentuan Pasal 1 ayat 30 UUK, upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan
termasuk
tunjangan
bagi
pekerja/buruh
dan
keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah dan/atau akan dilakukan. Dalam hal pengupahan diatur dalam ketentuan Pasal 88 sampai dengan Pasal 98 UUK. Kebijakan pengupahan yang melindungi tenaga kerja sebagaimana yang dimaksud meliputi : a. Upah minimum ; b. Upah kerja lembur ;
49
c. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan ; d. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain diluar pekerjaannya ; e. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya ; f. Bentuk dan cara pembayaran upah ; g. Denda dan potongan upah ; h. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah ; i. Struktur dan skala pengupahan yang proporsianal ; j. Upah untuk pembayaran pesangon ; k. Upah untuk penghitungan pajak penghasilan (Pasal 88 ayat 3 UUK) ; 7) Kesejahteraan Adapun mengenai kesejahteraan, setiap tenaga kerja berhak untuk Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) yaitu merupakan jaminan perlindungan santunan berupa uang jaminan kecelakaan kerja, kematian dan tabungan hari tua dan pelayanan kesehatan dan pemeliharaan kesehatan (Pasal 99 UUK Jo PP. Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaran Jamsostek). Di samping itu juga, untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dibentuk koperasi tenaga kerja dan usahausaha produktif di perusahaan (Pasal 101 ayat 1 UUK). 10. Tindakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Sepihak Oleh Perusahaan Pada umumnya, dalam beberapa kasus yang berkaitan dan menyangkut ketenagakerjaan di Indonesia, pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak adalah merupakan suatu hal yang sering terjadi hingga saat ini. Perlakuan PHK oleh perusahaan secara sepihak adalah merupakan suatu
50
kejahatan terselubung dan jelas-jelas adalah merupakan bentuk dari pelanggaran UUK yang sangat merugikan tenaga kerja karena tidak sesuai dengan PKWT yang sebelumnya diperjanjikan sebagai undang-undang bagi pihak pengusaha dan tenaga kerja. Akan tetapi, PHK secara sepihak oleh pihak perusahaan tetap saja sering terjadi. Padahal, dalam ketentuan dalam Pasal 151 UUK menyebutkan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/buruh dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja dan wajib untuk dirundingkan terlebih dahulu dan jika tidak bisa menghasilkan persetujuan, maka pengusaha hanya dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan tenaga kerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sejalan dengan itu, menyangkut pemutusan hubungan kerja sebenarnya bisa juga dilakukan oleh tenaga kerja sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Soepomo8 dalam bukunya, bagi buruh (tenaga kerja) dipandang sebagai alasan mendesak adalah keadaan yang sedemikian rupa sehingga mengakibatkan bahwa dari pihak buruh adalah tidak layak mengharapkan untuk meneruskan hubungan kerja. Alasan mendesak itu dipandang antara lain : 1)
Apabila majikan menganiaya, menghina secara kasar atau melakukan ancaman yang membahayakan pihak buruh, anggota keluarga atau anggota rumah tangga buruh atau membiarkan perbuatan semacam itu dilakukan anggota rumah tangga atau buruh bawahan majikan ;
8
Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Cetakan Keempat, Djambatan, Jakarta, 1982, Hal. 123
51
2)
Apabila majikan membujuk atau mencoba membujuk buruh, anggota keluarga atau anggota rumah tangga buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang atau tata susila atau membiarkan pembujukan atau percobaan pembujukan semacam itu dilakukan oleh anggota keluarga atau anggota rumah tangga atau buruh bawahan majikan ;
3)
Apabila majikan tidak membayar upah pada waktunya ;
4)
Apabila majikan, uang makan dan pemondokan yang diperjanjikan tidak memenuhinya secara layak ;
5)
Apabila majikan tidak memberikan cukup pekerjaan kepada pihak buruh, yang upahnya ditetapkan berdasarkan hasil pekerjaan yang dilakukan ;
6)
Apabila majikan tidak memberi atau tidak cukup memberi bantuan yang diperjanjikan kepada buruh yang upahnya ditetapkan berdasarkan hasil pekerjaan yang dilakukan ;
7)
Apabila majikan dengan jalan lain secara keterlaluan, melalaikan kewajiban yang di bebankan kepadanya oleh perjanjian ;
8)
Apabila majikan dalam hal sifat hubungan kerja tidak mencakupnya, menyuruh buruh meskipun telah di tolak, untuk melakukan pekerjaan di perusahaan majikan lain ;
9)
Apabila terus berlangsungnya hubungan kerja bagi buruh dapat menimbulkan
bahaya
besar
yang
mengancam
jiwa,
kesehatan,
kesusilaan atau nama baiknya, yang tidak terlihat pada waktu pembuatan perjanjian ; 10) Apabila buruh karena sakit atau alasan lain diluar kesalahannya menjadi tidak mampu melakukan pekerjaan yang diperjanjikan ;
52
Menurut ketentuan dalam Pasal 153 ayat 1 UUK, menyebutkan bahwa : “Pengusaha dilarang untuk melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan : a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus ; b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku ; c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang di perintahkan agamanya ; d. pekerja/buruh menikah ; e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya ; f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama ; g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh diluar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. h. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan ; i. Karena perbedaan agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan ; j. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan ; Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha dengan alasan sebagaimana yang disebutkan di atas, batal demi hukum dan pengusaha diwajibkan mempekerjakan kembali tenaga kerja yang bersangkutan (Pasal 153 ayat 2 UUK). Menilai ketentuan ini, walaupun PKWT sah dan berlaku mengikat bagi para pihak, secara prakteknya di bawah kendali perusahaan outsourching, masih banyak pihak perusahaan yang terang-terangan maupun sembunyisembunyi sering melakukan PHK dengan alasan-alasan sebagaimana yang telah disebutkan di atas dan cenderung tidak jelas alasan terjadinya PHK
53
tersebut dilakukan terhadap tenaga kerja di Indonesia. Ironisnya, lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan peradilan umum tidak dapat memenangkan kepentingan hukum para tenaga kerja outsourching yang meminta dipekerjakan kembali di perusahaan pengguna maupun apabila diputus hubungan kerjanya (PHK) seperti yang telah diatur dalam UUK, karena pada dasarnya secara hukum, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan tenaga kerja saja dan bukan dengan perusahaan pengguna sebagaimana seharusnya. Walaupun dalam ketentuan UUK, diatur pula bahwa apabila ternyata pekerja outsourching tidak di jamin hak-haknya oleh perusahaan penyedia jasa, maka kedudukannya dapat beralih menjadi pekerja di perusahaan pengguna jasa akan tetapi pada prakteknya hal ini tidak serta merta menyebabkan kedudukan mereka secara yuridis dapat berubah dengan mudah sesuai harapan para pekerja di Indonesia.
54
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PERUSAHAAN TERHADAP TENAGA KERJA ATAS PELANGGARAN PERJANJIAN KERJA WAKTU KERJA TERTENTU DI INDONESIA 1. Pemenuhan Hak-Hak Tenaga Kerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Sebagai Bentuk Pertanggungjawaban Perusahaan Kepada Tenaga Kerja Di Indonesia Adanya jaminan perlindungan hukum atas hak-hak tenaga kerja di Indonesia yang di jamin secara konstitusi dalam ketentuan Pasal 28 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa : “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Dan juga dalam ketentuan Pasal 28 ayat 2 UUD 1945 juga menyebutkan bahwa : “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” dan secara spesifik hal yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara perusahaan dengan tenaga kerja telah diatur dalam UUK. Hal ini merupakan bentuk kewajiban Negara dalam hal pengaturan hukum ketenagakerjaan kepada setiap warga negara di Indonesia dalam rangka memberikan kehidupan yang layak dan berkeadilan. Sejak di legalkan di Indonesia mengenai penyerahan pekerja kepada perusahaan lain yang bisa menyediakan tenaga kerja yang disebut dengan istilah perusahaan oursourching sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 64 UUK, maka hampir semua sektor usaha yang ada di berbagai wilayah Indonesia menerapkan dan menempatkan tenaga kerja dengan melakukan perekrutan
tenaga
kerja
melalui
perusahaan
penyedia
jasa
pekerja
(outsourching). Hal ini terlihat dengan jelas, dengan banyaknya pendirian perusahaan-perusahaan penyedia jasa pekerja (outsourching) tersebut yang
55
mana disebabkan banyaknya jumlah permintaan terhadap tenaga kerja dari perusahaan pemberi kerja kepada perusahaan outsourching yang mempunyai izin operasional resmi maupun yang tidak mempunyai izin operasional resmi dari Instansi terkait yang diberikan wewenang oleh pemerintah. Pada umumnya di Indonesia, bentuk pendirian badan usaha yang selama ini di kenal baik yang sifatnya masih belum berbentuk badan hukum maupun telah berbentuk badan hukum yaitu berupa Usaha Dagang (UD), Commanditer Vennontschap (CV) maupun Perseroan Terbatas (PT) di mana khusus untuk badan usaha yang berbentuk PT, pendiriannya haruslah berdasarkan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Menurut pendapat Wahyu Kurniawan9 dalam bukunya, prinsip dasar dari perusahaan sebagai Badan Hukum adalah adanya hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya. Masing-masing para pelaku usaha pada badan usaha tersebut dalam menjalankan usahanya pada prinsipnya adalah untuk mendapatkan laba/keuntungan dari usaha yang di jalankan dengan melakukan strategi-strategi dan kebijakan manajemen yang berbeda-beda dalam hal meraih tujuannya. Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan hubungan kerja yang diterapkan dalam suatu perusahaan, di mana kebanyakan perusahaan yang ada di Indonesia saat ini berpedoman pada prinsip ekonomi yaitu dengan modal yang sekecil-kecilnya berusaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, perusahaan lebih cenderung melakukan penyerahan kepada
pihak
perusahaan
outsourching
dalam
hal
perekrutan
dan
pengelolaan tenaga kerja agar perusahaan dapat berjalan fokus pada 9
Wahyu Kurniawan, Corporate Governance Dalam Aspek Hukum Perusahaan, Grafiti, Surabaya, 2012, Hal. 3
56
tujuannya yaitu mencari laba/keuntungan semata dan selanjutnya perusahaan outsourching akan menerapkan suatu bentuk perjanjian kerja dengan tenaga kerja yang di kenal dengan istilah PKWT agar perusahaan outsourching juga bisa mendapatkan laba/keuntungan sesuai kesepakatan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan outsourching dan sejak itu lah tenaga kerja di Indonesia banyak disebut istilah “tenaga kerja kontrak” yang berdasarkan ketentuan baik itu PKWT maupun PKWTT. Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Much. Nurahmad10, peraturan perusahaan minimal harus sama dengan UUK atau aturan peraturan ketenagakerjaan yang lain seperti Keputusan Menteri Tenaga Kerja, Peraturan Menteri, Surat Keputusan Dirjen dan lain-lain. Keberadaan ketentuan istilah “tenaga kerja kontrak” ini, sebenarnya di satu sisi
bisa menguntungkan pihak tenga kerja, karena
tenaga kerja tidak terikat untuk bekerja secara terus menerus di satu perusahaan saja. Akan tetapi, antusiasme investor (perusahaan) biasanya berbanding terbalik dengan tenaga kerja pada umumnya dan hal tersebut disebabkan karena kurangnya penghargaan terhadap tenaga kerja kontrak pada prakteknya. Secara umum, menurut penilaian perusahaan pemberi kerja keuntungan yang di peroleh dengan melakukan penyerahan kepada perusahaan outsourching yaitu antara lain karena : 1) Perusahaan pemberi kerja tidak ada kewajiban untuk membayar pesangon saat jangka waktu perjanjian kerja telah berakhir karena telah menjadi tanggung jawab perusahaan outsourching ; 2) Perusahaan pemberi kerja akan dapat menekan labour cost (biaya upah) ; 10
Much. Nurachmad, Panduan Membuat Peraturan Dan Perjanjian Dalam Perusahaan, Cetakan Pertama, Pustaka Yustisia, Jogyakarta, 2011, Hal. 5
57
3) Lebih praktis yaitu tidak perlu memberikan uang pensiun karena itu menjadi urusan belakangan oleh perusahaan outsourching ; 4) Tidak ada kewajiban perusahaan pemberi kerja untuk memberikan pelatihan kepada tenaga kerja ; 5) Perusahaan pemberi kerja tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk merekrut calon pekerja baru karena sudah menjadi tanggung jawab perusahaan outsourching bagaimana pun caranya ; Sedangkan yang menjadi kewajiban perusahaan outsourching pada umumnya kepada perusahaan pemberi kerja adalah sebagai berikut : 1) Menyediakan tenaga kerja sesuai dengan permintaan perusahaan pemberi kerja ; 2) Memberikan tenaga kerja yang berkualitas dan biaya yang murah ; 3) Mengajukan surat perpanjangan kontrak perjanjian kerja ; 4) Menyediakan absensi bagi tenaga kerja ; 5) Menjaga kerahasiaan pihak pemberi kerja ; 6) Menghitung dan membayar upah, pajak, transport, dan lain-lain terkait dengan tenaga kerja yang dipekerjakan ; Melihat kenyataan ini, maka kesimpulannya adalah bahwa perusahaan outsourching lah yang justru menjadi pihak yang berhubungan langsung dengan tenaga kerja dalam berbagai hal termasuk membuat PKWT dan melaksanakannya. Penerapan PKWT memang sangat lah beralasan karena dengan memakai pekerja dengan sistem PKWT, maka akan jauh lebih efisien dibandingkan dengan memakai tenaga kerja dengan sistem PKWTT. Dengan sistem PKWT, maka pihak perusahaan tidak perlu lagi memikirkan berbagai tunjangan, fasilitas, jaminan sosial dan keselamatan, kegiatan pelatihan atau
58
pendidikan dan sebagainya. Dengan kata lain, perusahaan hanya perlu mengeluarkan biaya untuk upah saja dan apabila masa kontrak tenaga kerja telah selesai, maka tenaga kerja tidak akan mendapatkan uang pesangon dari pihak perusahaan. Hal ini, sangat berbeda jika dibandingkan dengan memakai tenaga kerja dengan sistem PKWTT, maka pihak perusahaan harus menyediakan berbagai tunjangan-tunjangan, fasilitas dan jaminan kesehatan dan keselamatan termasuk uang pesangon seandainya diberhentikan oleh pihak perusahaan sebagaimana yang telah ditentukan dalam UUK. Pada dasarnya, pelaksanaan perlindungan hukum terhadap para tenaga kerja menyangkut hak-hak dan kewajiban tenaga kerja dengan menggunakan sistem perjanjian yang bentuknya PKWT sebenarnya telah diatur dalam ketentuan UUK dan peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya. Akan tetapi, PKWT tidak selamanya selalu bisa berjalan dengan baik sesuai dengan yang diharapkan dan diinginkan pada saat ini khususnya lebih cenderung sangat merugikan pihak tenaga kerja karena adanya berbagai bentuk pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaan PKWT yang telah disepakati para pihak sebelumnya dan parahnya lagi hal ini justru dilakukan oleh pihak perusahaan pemberi kerja terutama perusahaan outsourching padahal PKWT pada dasarnya adalah merupakan undang-undang yang mengikat bagi para pihak. Jika di perhatikan, pada saat ini perusahaan outsourching telah dengan sengaja memanfaatkan sistem PKWT yang berlaku di Indonesia untuk menghindari kewajibannya kepada tenaga kerja. Tentunya keadaan ini yang kemudian akan menimbulkan keresahan di kalangan para tenaga kerja dengan sistem PKWT yaitu tidak adanya jaminan kepastian untuk terus dapat
59
bekerja dan dapat dengan mudah untuk diberhentikan dengan berbagai alasan. Adanya keadaan tersebut jelas tidak memberikan perlindungan terhadap para tenaga kerja yang bekerja dengan sistem PKWT karna seperti yang diketahui, bahwa salah satu tujuan pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia adalah untuk memberikan perlindungan hukum mengenai hak-hak tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 4 huruf c UUK dan bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak yang harus dipenuhi dan menjadi tanggung jawab perusahaan terhadap tenaga kerja tanpa ada pengecualian apapun untuk menciptakan kondisi hubungan ketenagakerjaan yang kondusif, dinamis, harmonis dan berkeadilan.
2. Tanggung Jawab Perusahaan Atas Hak Upah Tenaga Kerja Pada dasarnya, tujuan seseorang bekerja kepada pihak lain adalah untuk mendapatkan suatu penghasilan, gaji dan/atau upah guna untuk memenuhi setiap kebutuhan-kebutuhan dalam
kehidupannya.
Dengan
demikian, adanya proses pengupahan oleh perusahaan terhadap tenaga kerja adalah
merupakan
aspek
yang
sangat
penting
dalam
memberikan
perlindungan hukum terhadap hak para tenaga kerja oleh pihak perusahaan di Indonesia. Mengingat pentingnya peran upah terhadap bentuk perlindungan hukum tenaga kerja yang menjadi tanggung jawab perusahaan, maka hal ini secara tegas telah disebutkan dalam ketentuan Pasal 88 ayat 1 UUK yang berbunyi bahwa : “setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
60
Pada penjelasan dari ketentuan Pasal 88 ayat 1 UUK tersebut, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya, sehingga mampu memenuhi segala kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua. Dari hal tersebut di atas, maka dapat terlihat dengan jelas dan tegas bahwa bentuk perlindungan terhadap kesejahteraan para tenaga kerja di Indonesia sebenarnya telah diberikan dengan baik dan diatur dalam ketentuan UUK di mana ketentuan upah ini berlaku secara umum yaitu baik terhadap tenaga kerja yang diperkerjakan oleh suatu perusahaan yang memakai sistem PKWT maupun PKWTT. Oleh karena itu, secara umum prinsip-prinsip proses pengupahan tenaga kerja yang dipergunakan dalam ketentuan UUK adalah sebagai berikut : 1) Hak menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada saat hubungan kerja putus ; 2) Pengusaha tidak boleh mengadakan diskriminasi upah bagi pekerja/buruh laki-laki dan pekerja/buruh wanita untuk jenis pekerjaan yang sama ; 3) Upah tidak dibayarkan oleh perusahaan apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan (Pasal 93 ayat 1 UUK) ; 4) Komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap dengan formulasi upah pokok minimal 75% dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap (Pasal 94 UUK) ;
61
5) Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak (Pasal 96 UUK). Di samping itu, dalam upaya pemerintah untuk lebih memberikan upah yang layak sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 88 ayat 1 UUK, maka pemerintah telah menetapkan adanya ketentuan mengenai Upah Minimum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 88 ayat 3 dan ayat 4 UUK. Adapun mengenai Upah Minimum yang diterapkan dalam ketentuan Pasal 89 ayat 1 UUK yang berbunyi : “upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat 3 huruf a dapat terdiri dari : a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota ; b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota :”. Ketentuan tentang Upah Minimum tersebut lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-01/Men/1999 Tentang Upah Minimum yaitu : “yang dimaksud dengan upah minimum adalah upah bulanan yang terendah, terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap”. Adanya pengaturan komponen mengenai upah yaitu terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap di mana tunjangan tetap adalah suatu pembayaran yang dibayarkan secara teratur berkaitan dengan pekerjaan yang diberikan secara tetap untuk tenaga kerja dan keluarganya yang dibayarkan dalam satuan waktu yang sama dengan pembayaran upah pokok dan tidak dikaitkan dengan pembayaran upah pokok atau tidak dikaitkan dengan kehadiran. Sedangkan untuk tunjangan jabatan adalah konsekuensi adanya tenaga kerja yang menduduki suatu jabatan tertentu yang diturunkan dari jabatannya
62
(demosi). Pada ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-01/Men/1999 Tentang Upah Minimum diterangkan bahwa : “dalam menetapkan upah minimum harus lah mempertimbangkan : 1) Kebutuhan hidup minimum ; 2) Indeks harga konsumen ; 3) Kemampuan, perkembangan dan kelangsungan perusahaan ; 4) Upah pada umumnya berlaku di daerah tertentu dan antar daerah ; 5) Kondisi pasar kerja ; 6) Tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan perkapita ;” Di samping itu, sesuai ketentuan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan Upah menyebutkan bahwa : ”apabila upah terlambat dibayar, maka mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung dari hari di mana seharusnya upah dibayar, upah tersebut di tambah dengan 5% untuk tiap hari keterlambatan”. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, tambahan upah atas adanya keterlambatan pembayaran upah pada hari keempat sampai hari kedelapan di tambah sebesar 5% dari upah untuk hari keempat sampai hari kedelapan. Sehingga, seandainya keterlambatan tersebut berlangsung pada hari keempat sampai hari kedelapan, maka besarnya tambahan sebesar 25% dan sesudah hari kedelapan tambahan akan menjadi sebesar 1% untuk tiap hari keterlambatan dengan ketentuan tambahan untuk 1 bulan tidak boleh melebihi 50% dari upah yang seharusnya dibayarkan. Sesudah sebulan upah masih belum dibayarkan oleh perusahaan, di samping kewajiban untuk membayar tambahan sebagaimana disebut di atas, pengusaha diwajibkan untuk membayar bunga sebesar bunga yang telah ditetapkan oleh Bank untuk kredit perusahaan yang bersangkutan. Dalam hal ini apabila perusahaan tersebut terdapat beberapa jenis kredit, maka yang dipakai untuk menentukan besarnya, diambil dari bunga kredit yang paling menguntungkan pihak tenaga kerja (Surat Edaran Menkertrans Nomor :SE-01/MEN/1982 Tentang Petunjuk
63
Pelaksanaan Perlindungan Upah). Berdasarkan semua keterangan yang telah dikemukakan di atas terlihat, bahwa jika dilihat terhadap pengaturan yang ada, perlindungan yang diberikan terhadap semua tenaga kerja dalam hal pengaturan pengupahan sebenarnya adalah sama.
3. Tanggung Jawab Perusahaan Atas Keselamatan Dan Kesehatan Tenaga Kerja Perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu hak dari tenaga kerja seperti yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 86 ayat 1 huruf a UUK yaitu dalam rangka untuk melindungi keselamatan tenaga kerja guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal. Untuk itu, setiap perusahaan wajib melaksanakan secara sistematis dan terintegrasi dengan sistem manajemen yang ada dalam perusahaan dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit yang disebabkan akibat kerja temasuk juga tentang pengendalian cahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi. Keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu kondisi dalam pekerjaan yang sehat dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan maupun bagi masyarakat dan lingkungan di sekitar pabrik atau tempat kerja (perusahaan). Keselamatan dan kesehatan kerja juga merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh perusahaan untuk mencegah terjadinya setiap perbuatan atau kondisi tidak selamat yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja. Tanggung jawab perusahaan atas keselamatan dan kesehatan tenaga kerja di Indonesia diharapkan dapat mampu mencegah dan melindungi tenaga kerja pada saat melakukan aktivitasnya. Hal ini karena resiko kecelakaan kerja bisa
64
terjadi kapan saja. Untuk itu kesadaran mengenai keselamatan dan kesehatan menjadi sangat diperlukan. Sementara itu, dalam ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja telah mengatur dengan jelas mengenai kewajiban pimpinan tempat kerja dan pekerja dalam melaksanakan keselamatan kerja. Selain itu juga, ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, mengatur banyak hal tentang keselamatan dan kesehatan tenaga kerja (K3) dan secara khusus perusahaan wajib memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik tenaga kerja yang baru maupun yang akan dipindahkan ke tempat kerja yang baru, sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan kepada tenaga kerja dan pemeriksaan kesehatan secara berkala.
4. Tanggung Jawab Perusahaan Atas Jaminan Sosial Tenaga Kerja Adapun pengertian tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana diatur pada ketentuan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (UU Jamsostek) adalah suatu perlindungan bagi pekerja/buruh dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang di alami oleh pekerja/buruh berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia. Perlindungan ini merupakan suatu bentuk perlindungan ekonomis dan perlindungan sosial sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat 2, Pasal 4 ayat 1, Pasal 8 ayat 2, Pasal 12 ayat 1, Pasal 14 dan Pasal 15 serta Pasal 16 UU Jamsostek.
65
Perusahaan baik itu perusahaan pemberi kerja atau perusahaan outsourching
sebagai
penyedia
jasa
tenaga
kerja
disamping
harus
mendaftarkan para pekerjanya kepada Badan Penyelenggara Jasa Sosial (BPJS) sebagai perlindungan terhadap pekerja alih daya juga bila terjadi PHK di perusahaan tersebut tidak menghapuskan terhadap pengusaha untuk memberikan hak-haknya termasuk uang pesangon kepada pekerja yang harus diterima, dengan didaftarkannya pekerja alih daya kepada BPJS tentu para pekerja alih daya sangat terbantu untuk melindungi diri pribadi pekerja dan keluarganya sambil menunggu hak-haknya sebagai pekerja sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 155 - 157 UUK harus dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa pekerja (outsourching). Dalam ketentuan Pasal 65 ayat 4 UUK, mengatur syarat-syarat kerja yang diberikan kepada tenaga kerja dan kemudian diatur dalam ketentuan Pasal 3 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat 2 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, juga dinyatakan suatu perjanjian pemborongan harus memuat sekurang-kurangnya hak
dan
kewajiban
masing
masing
pihak,
menjamin
terpenuhinya
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja buruh, dan memiliki tenaga kerja yang mempunyai kompetensi dibidangnya. Dalam ketentuan Pasal 65 ayat 4 UUK, juga mensyaratkan bahwa perlindungan tenaga kerja alih daya (outsourching) termasuk keselamatan kerja,
pengupahan
yang
diatur
dengan
66
semaksimal
mungkin
dan
kesejahteraan yang juga harus disarankan oleh tenaga kerja. Sistem Jaminan Sosial Nasional telah memberikan perlindungan lebih luas bukan hanya kepada tenaga kerja saja tetapi kepada seluruh warga Negara Indonesia harus diberikan perlindungan kesehatan, tidak terkecuali bagi perusahaan penyedia jasa pekerja (outsourching) juga harus memberikan perlindungan kepada pekerjanya dalam hal program kematian dan hari tua. Namun dengan di berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sifat perlindungan kepada tenaga kerja saat ini lebih luas lagi karena sudah ada pengelolaannya dan pelaksanaannya pada lembaga negara yang menangani dan bertanggungjawab secara langsung kepada Presiden dan sangat berbeda dengan perlindungan kepada pekerja yang diatur dalam ketentuan UU Jamsostek sebelumnya seperti : 1) Secara kelembagaan pengelolaan Jamsostek dilakukan oleh perusahaan negara yakni PT. Jamsostek. Bentuk ini memiliki kelemahan karena PT. Jamsostek bermotif mencari keuntungan (provit oriented), padahal jaminan sosial tenaga kerja merupan bentuk perlindungan sosial melalui sistem asuransi sosial ; 2) Saat ini saham PT. Jamsostek 100% dikuasai oleh pemerintah. Padahal, sumber keuangan berasal dari iuran pekerja dan pengusaha. Akibatnya semua keuntungan perusahaan (deviden) dinikmati oleh pemerintah, bukan oleh tenaga sebagai sumber keuangannya. Keuntungan Jamsostek yang sangat besar semestinya dikembalikan kepada tenaga kerja melalui tunjangan PHK, perumahan, dan pinjaman lunak untuk modal usaha istri atau suami tenaga kerja.
67
5. Tanggung Jawab Perusahaan Atas Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. Pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan oleh pihak tenaga kerja maupun pihak perusahaan. Secara umum, adapun mengenai terjadinya pemutusan hubungan kerja ada bermacam-macam yaitu dari mulai adanya tenaga kerja yang mengundurkan diri (resign), tidak diperpanjang kontrak PKWT, pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh perusahaan hingga perusahaan yang mengalami keadaan bangkrut (pailit). Farianto & Darmanto Law Firm11 dalam bukunya mengemukakan bahwa, permasalahan yang kerap timbul dalam PKWT adalah pada saat perjanjian masih berjalan, ternyata salah satu pihak mengakhirinya sehingga merugikan pihak lain. Dalam praktik, perjanjian kerja memuat klausulaklausula tentang hal-hal yang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian sehingga pada saat salah satu pihak merasa ada pelanggaran dari perjanjian tersebut, maka secara sepihak melakukan pengakhiran hubungan kerja dengan dasar klausula perjanjian tersebut. Selain itu, juga ada beberapa alasan dan sebab terjadinya pemutusan hubungan kerja yaitu antara lain sebagai berikut : 1)
Berakhirnya kontrak perjanjian kerjasama antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan outsourching ;
2)
Selesai dan berakhirnya jangka waktu PKWT antara perusahaan outsourching dengan tenaga kerja ; 11
Farianto & Darmanto Law Firm, Himpunan Putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara PHI Tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Disertai Ulasan Hukum, Cetakan Kedua, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, Hal. 5
68
3)
Tenaga kerja melakukan kesalahan berat yaitu tindakan pidana ;
4)
Tenaga kerja melanggar perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan ;
5)
Tenaga kerja mengajukan pemutusan hubungan kerja karena adanya pelanggaran PKWT yang dilakukan oleh pihak perusahaan ;
6)
Tenaga kerja menerima pemutusan hubungan kerja meski bukan karena adanya kesalahannya ;
7)
Adanya pernikahan antar tenaga kerja pada 1 (satu) perusahaan (jika diatur oleh perusahaan) ;
8)
Pemutusan hubungan kerja secara Massal karena pihak perusahaan sedang mengalami kerugian, force majeure atau melakukan upaya efisiensi tenaga kerja ;
9)
Adanya peleburan, penggabungan dan perubahan status hukum perusahaan ;
10) Perusahaan mengalami bangkrut (pailit) ; 11) Tenaga kerja meninggal dunia ; 12) Tenaga kerja mangkir 5 (lima) hari atau lebih dan telah dipanggil oleh pihak perusahaan 3 (tiga) kali secara layak dan patut ; 13) Tenaga kerja mengalami sakit yang berkepanjangan ; 14) Tenaga kerja memasuki masa usia Pensiun ; Khusus untuk pemutusan hubungan kerja karena adanya pengunduran diri (resign) yang dilakukan tenaga kerja kepada perusahaan dilakukan dengan cara sukarela dan atas kemauan sendiri dengan cara tenaga kerja mengajukan pengunduran diri kepada perusahaan secara tertulis.
69
Dalam ketentuan UUK, telah mengatur alasan-alasan pemutusan hubungan kerja beserta hak-haknya dan mengenai pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan diri sendiri, sesuai ketentuan dalam Pasal 162 UUK tenaga kerja yang bersangkutan berhak untuk memperoleh uang penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat 4 dan uang pisah yang besarnya dan pemberiannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Berdasarkan hal tersebut, secara yuridis berarti bahwa tenaga kerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, tidak berhak atas pemberian uang penghargaan masa kerja. Namun, apabila pengusaha hendak mengatur pemberian uang penghargaan masa kerja bagi tenaga kerja yang mengundurkan diri sebagai bagian dari syarat kerja, dapat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan dan Peraturan Kerja Bersama. Kenyataan yang terjadi pada prakteknya, justru sering kali tenaga kerja di intimidasi, di takut-takuti dan di paksa dengan berbagai tekanan atau di bawah ancaman untuk mengundurkan diri yang merupakan salah satu tipu muslihat dari pihak perusahaan untuk menghindari kewajibannya atas hak-hak tenaga kerja apabila tenaga kerja tersebut diberhentikan dan yang parahnya lagi, tenaga kerja ada yang dituntut oleh perusahaan untuk melakukan kewajiban
membayar
ganti
rugi
sebagaimana
diatur
dalam
PKWT
sebelumnya. Hal ini tentunya secara hukum, akan menjadi masalah yang serius karena posisi tenaga kerja akan mengalami kesulitan dan mustahil untuk bisa membayar ganti rugi yang telah disebutkan dalam klausula PKWT. Sedangkan, untuk tenaga kerja yang dilakukan pemutusan hubungan kerja secara tidak sukarela atau sepihak, pada saat ini mengenai ketentuan
70
Pasal 158 UUK, telah di cabut oleh Mahkamah Konstitusi di mana disebutkan bahwa hak tenaga kerja seperti gaji pokok, tunjangan dan lain-lainnya harus tetap dibayarkan oleh pihak perusahaan sebelum terbukti/mempunyai keputusan tetap dari Pengadilan yang menyatakan bersalah atau tidaknya tenaga kerja dan jika pun sudah di putus bersalah, tenaga kerja tetap berhak juga atas pembayaran uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak dan hal ini berangkat dari penerapan asas “praduga tak bersalah” yang di junjung tingi oleh hukum yang berlaku di Indonesia. Adapun mengenai kompensasi tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 156 ayat 1 UUK, yaitu hak-hak tenaga harus diberikan oleh perusahaan akibat adanya pemutusan hubungan kerja, perusahaan diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima dan di hitung berdasarkan jumlah upah tenaga kerja dan masa kerjanya. Perhitungan uang pesangon tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 156 ayat 2 UUK yang menyebutkan bahwa : “perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 paling sedikit sebagai berikut : a. Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah ; b. Masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah ; c. Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah ; d. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah ; e. Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah ; f. Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah ; g. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah ; h. Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah ; i. Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah ;
71
Sedangkan untuk perhitungan uang penghargaan masa kerja ditetapkan dalam ketentuan Pasal 156 ayat 3 UUK, yang menyebutkan bahwa : “perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditetapkan sebagai berikut : a. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah ; b. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah ; c. Masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah ; d. Masa kerja 12 (dua belas tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah ; e. Masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah ; f. Masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21(dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah ; g. Masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah ; h. Masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih,10 bulan upah ; Uang penggantian hak yang seharusnya diterima tenaga kerja tersebut di atas meliputi : 1) Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur ; 2) Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja ; 3) Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat ; 4) Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama ;
6. Penyelesaian Perselisihan Dalam Pelanggaran Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Sebagai Wujud Pertanggungjawaban Perusahaan Terhadap Tenaga Kerja Di Indonesia Sebagaimana telah disebutkan dalam ketentuan Pasal 59, Pasal 64 dan Pasal 66 UUK yang banyak mengatur mengenai PKWT, perusahaan pemberi
72
kerja melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya (outsourching) melalui perjanjian pemborongan maka untuk
memperjelas
terhadap
batasan
regulasi
penyerahan
sebagian
pekerjaan terhadap perusahaan lain tersebut, kemudian Kementerian Tenaga Kerja telah menindak lanjuti dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Kepada Perusahaan Lain. Praktek penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari perusahaan pemberi kerja kepada perusahaan outsourching yang menitik-beratkan pada perjanjian kontrak baik secara langsung ataupun tidak langsung. Sedangkan pelaksanaan pekerjaan oleh perusahaan outsourching menitik-beratkan pada perjanjian hubungan kerja berupa PKWT terhadap tenaga kerja baik itu menyangkut
tentang
pelaksanaannya.
jenis,
Perlindungan
jangka hukum
waktu,
dan
terhadap
skema
tenaga
terhadap
kerja
adalah
merupakan tanggung jawab perusahaan outsourching meskipun tenaga kerja ditempatkan di perusahaan pemberi kerja. Dalam ketentuan UUK telah menegaskan bahwa perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja sekurang-kurangnya harus sama dengan tenaga kerja di perusahaan pemberi kerja tidak terkecuali tenaga kerja yang diperkerjakan oleh
perusahaan
outsourching
sehingga
dalam
keadaan
seperti
itu
pelaksanaan tenaga kerja dapat menyebabkan kerugian dan kesengsaraan kepada tenaga kerja dan membuat kaburnya hubungan industrial antara tenaga kerja dengan perusahaan serta untuk mendapatkan perlindungan hukum yang sama dengan tenaga kerja yang berada di perusahaan pemberi kerja agar tidak hanya menjadi isapan jempol belaka.
73
Dengan adanya ketentuan UUK yang menjadi pedoman dalam bidang hukum ketenagakerjaan di Indonesia, pelaksanaan PKWT lebih cenderung kepada paksaan dan akhirnya berujung pada konflik realita sosial yang berkepanjangan di tengah-tengah masyarakat dan keharusan yuridis (kewajiban dan hak) antara perusahaan dengan tenaga kerja sebagai salah satu unsur dari realita sosial ketentuan mengenai pelaksanaan UUK yang berlaku saat ini adalah sebagai hukum dan norma-norma kebiasaan yang diharapkan akan mengikat dan bersifat paksaan dari Negara terhadap perusahaan dalam memberikan kewajiban-kewajiban perusahaan terhadap hak-hak tenaga kerja yang ada di Indonesia. Akan tetapi, kewajiban perusahaan terhadap tenaga kerja sebagaimana yang dimaksud dalam UUK hingga saat ini masih sangat banyak dilanggar oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Timbulnya hukum di masyarakat adalah menjadi sebuah kewajiban sebagaimana yang dikemukakan oleh Ross dalam buku Antonius Cahyadi dan Fernando M. Manullang12 dapat diterangkan dalam 4 (empat) tahap yaitu : 1) Tahap Pertama adalah tahap paksaan. Masyarakat di paksa untuk menaati aturan. 2) Tahap Kedua, ada ketakutan akan paksaan sehingga anggota komunitas mengembangkan cara berlaku yang sesuai dengan kecenderungan umum. 3) Tahap Ketiga adalah tahap terbiasa. Orang-orang sudah mulai terbiasa untuk melaksanakan yang sesuai dengan aturan. Ada efek sugestif sosial
12
Antonius Cahyadi, Fernando M. Manulllang, Pengantar Ke Filsafat Hukum, Cetakan Keempat,Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, Hal. 178
74
dari paksaan yang telah terinternalisasi. Muncul konsepsi kewajiban dalam tatanan masyarakat. 4) Tahap Keempat adalah tahap pelembagaan. Aturan-aturan tersebut telah menjadi norma-norma dan ada aparat pengawas dan penjaga yang kemudian menjamin pelaksanaan norma-norma itu. Muncul konsepsi “Instansi” yang mempunyai kompetensi dalam penegakan norma. Oleh karena itu, Instansi pemerintah yang berkaitan dengan hubungan ketenagakerjaan di Indonesia yaitu Dinas Ketenagakerjaan harus melakukan pengawasan dan penegakan hukum atas setiap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perusahaan dan melakukan sanksi hukum secara tegas terhadap berbagai pelanggaran dalam pelaksanaan PKWT agar tercapai suatu hubungan kerja yang kondusif, harmonis, dinamis dan berkeadilan bagi semua pihak tanpa ada diskriminasi. 7. Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pada umumnya, apabila muncul akibat hukum dari suatu pelanggaran, maka
akan
dilakukan
pencarian
jalan
keluar
atau
solusi
untuk
menyelesaikannya. Dan hal ini sangat berkaitan dengan adanya perselisihan tentang hak dan kepentingan dalam ketenagakerjaan di Indonesia khususnya mengenai masalah pelanggaran PKWT oleh perusahaan dan untuk penyelesaiannya bisa di tempuh dengan cara mufakat/musyawarah secara kekeluargaan
atau
menyelesaikan
masalah
tersebut
melalui
proses
persidangan di Pengadilan. Berbagai bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan pemberi kerja dan perusahaan outsourching terhadap tenaga kerja di Indonesia baik itu berupa pelanggaran dalam hal pemenuhan hak-hak tenaga kerja yang
75
terabaikan
dalam
PKWT,
juga
mengenai
penyimpangan
terhadap
pelaksanaan PKWT akibat adanya kepentingan-kepentingan perusahaan yang terselubung yaitu berupa penyimpangan jenis dan sifat dan kegiatan pekerjaannya akan selesai yaitu pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun, pekerjaan yang bersifat musimam dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 59 ayat 1 UUK dan bahkan saat ini banyak terjadi jenis pekerjaan yang disamakan dengan jenis pekerjaan tenaga kerja tetap oleh perusahaan agar perusahaan mendapatkan keuntungan. Meskipun pengaturan tentang perlindungan hak-hak tenaga kerja telah diatur sedemikian rupa dalam ketentuan UUK sebagaimana yang telah diuraikan dan dibahas di atas, pada praktek pelaksanaannya masih saja ada perselisihan dan konflik yang muncul antara pihak perusahaan dengan tenaga kerja khususnya menyangkut tentang pelanggaran dalam PKWT baik perselisihan mengenai hak dan kepentingan para pihak dan umumnya di selesaikan pada Pengadilan Hubungan Industrial karena baik perselisihan hak dan perselisihan kepentingan adalah merupakan bagian dari perselisihan hubungan industrial. Untuk itu, khusus mengenai perselisihan hak dan kepentingan dalam UUK kemudian pemerintah menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) yang diharapkan akan dapat menyelesaikan perselisihan dan konflik yang terjadi dibidang ketenagakerjaan di Indonesia.
76
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) disebutkan bahwa : 1) Perselelisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh karena adanya kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan. 2) Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan atau perjanjian kerja.bersama. 3) Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 4) Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. 5) Perselisihan antar serikat pekerja/buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/buruh dengan serikat pekerja/buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak ada persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat pekerjaan”. Sesuai ketentuan hukum yang ada dalam UU PPHI tersebut, maka apabila terjadi perselisihan hubungan industrial, maka ada 2 (dua) cara untuk menyelesaikannya yang dapat dilakukan oleh pihak tenaga kerja yaitu dengan cara melalui cara Non Litigasi (diluar pengadilan) dan Litigasi (di dalam pengadilan). Adapun mengenai penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan
cara
Perundingan
Non
Litigasi
Tripartit,
yaitu
Mediasi
dengan cara
Konsiliasi
dan
Perundingan Arbitrase.
Bipartit,
Sedangkan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan cara Litigasi yaitu melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Jika diuraikan, penyelesaian
77
perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan dengan cara yaitu sebagai berikut : 1) Perundingan Bipartit Perundingan Bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial (Pasal 1 angka 10 UU PPHI). Hal ini berarti bahwa perundingan Bipartit merupakan suatu forum perundingan dua kaki antara pihak pengusaha dan pihak tenaga kerja atau pihak tenaga kerja di wakili oleh serikat pekerja di mana kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam penyelesaian perselisihan dengan cara musyawarah untuk mufakat dan di selesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan tersebut. Dalam perundingan ini, harus dibuatkan suatu risalah (surat hasil perundingan) yang ditanda tangani oleh para pihak sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 6 Ayat 1 UU PPHI. Apabila tercapai kesepakatan, maka para pihak membuat Perjanjian Bersama yang di tanda tangani oleh kedua belah pihak dan kemudian perjanjian bersama tersebut di daftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah domisi hukum oleh para pihak di tempat perjanjian bersama dilakukan. Perlunya mendaftarkan perjanjian bersama, adalah untuk menghindari kemungkinan salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi) di mana bila hal ini terjadi, maka pihak yang merasa di rugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pihak Pengadilan.
78
2) Perundingan Tripartit Perundingan Tripartit disebut juga sebagai Mediasi yaitu penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang di tengahi oleh seorang atau lebih Mediator yang netral (Pasal 1 angka 11 UU PPHI). Mediator adalah pegawai Instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan
oleh
Menteri
untuk
bertugas
melakukan
mediasi
dan
mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan (Pasal 1 angka 12 UU PPHI). 3) Konsiliasi Konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antara serikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang di tengahi oleh seorang atau lebih Konsiliator yang netral (Pasal 1 angka 13 UU PPHI). Selanjutnya pengertian Konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antara serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan (Pasal 1 angka 14 UU
79
PPHI). Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan dan konsiliator berhak untuk mendapatkan honorarium/imbalan jasa berdasarkan penyelesaian perselisihan yang di bebankan kepada Negara dan besarnya honorarium/imbalan jasa tersebut ditetapkan oleh Menteri. 4) Arbitrase Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan diluar pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis
dari
para
pihak
yang
berselisih
untuk
menyerahkan
penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final (Pasal 1 angka 15 UU PPHI). Sedangkan mengenai Arbiter adalah seorang atau lebih yang di pilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang di serahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final (Pasal 1 angka 16 UU PPHI). 5) Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial (Pasal 1 angka 17 UU PPHI). Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perselisihan hubungan industrial adalah merupakan Hakim karier
80
pengadilan negeri yang di tugaskan pada Pengadilan Hubungan Industrial dan adanya Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya atas usul serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha serta dalam tingkat Kasasi adalah Hakim Agung dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung (Pasal 1 angka 19 UU PPHI). Pada prinsipnya, penyelesaian hubungan ketenagekerjaan harus lah mengutamakan musyawarah dan mufakat di mana para pihak yang bersengketa harus dapat memposisikan diri dan memiliki kemampuan dalam hal melakukan Negosiasi (tawar menawar) sehingga menjadikan permasalahan ketenagakerjaan dapat di selesaikan tanpa harus melalui mekanisme melalui Pengadilan Hubungan Industrial karena mengingat akan menimbulkan pemborosan terhadap waktu dan biaya yang akan di keluarkan oleh kedua belah pihak. Adapun mengenai upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang sering dilakukan pada umumnya adalah melalui cara Mediasi dibandingkan penyelesaian Konsiliasi maupun Arbitrase. Mediasi terlihat lebih yang merupakan bersifat wajib (mandatory) apabila cara penyelesaian melalui Konsiliasi atau Arbitrase tidak disepakati oleh para pihak dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Adapun mengenai langkah-langkah proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan ketentuan dalam Pasal 10 UU PPHI, diatur bahwa dalam selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan, mediator harus sudah
mengadakan
penelitian
tentang
mengadakan sidang mediasi.
81
duduk
perkara
dan
segera
Menurut
pendapat
yang
disampaikan
oleh
Mohd.
Syaufii
Syamsuddin13, dalam hal perundingan Bipartit oleh para pihak yang berselisih gagal, salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya pada kantor instansi ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Adapun tata cara dan prosedurnya adalah sebagai berikut : 1) Pihak tenaga kerja yang merasa dirugikan hak-haknya oleh pihak perusahaan melakukan Pengaduan dan Konsultasi kepada Kantor Dinas Ketenagakerjaan
setempat
dan
kemudian
melakukan
pendaftaran
perundingan Tripartit (Mediasi) ; 2) Penyelesaian melalui Mediasi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh hari) kerja terhitung sejak Kantor Dinas Ketenagakerjaan menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan ; 3) Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir pada sidang mediasi guna diminta dan didengar keterangannya ; 4) Bila mana ternyata dalam sidang mediasi tercapai kesepakatan, akan dibuat Perjanjian Bersama yang ditanda tangani oleh para pihak, dengan di saksikan oleh Mediator untuk kemudian dilakukan pendaftaran di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak yang berselisih ; 5) Bila ternyata dalam mediasi tidak tercapai kesepakatan, mediator akan membuat suatu bentuk anjuran tertulis ;
13
Mohd. Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian Hubungan Kerja, Cetakan Kedua, Sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2005, Hal. 201
82
6) Mediator harus sudah mengeluarkan anjuran tertulis selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah sidang mediasi dilaksanakan ; 7) Pihak-pihak yang berselisih harus sudah menyampaikan tanggapan atau jawaban secara tertulis atas anjuran tertulis Mediator selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah adanya anjuran tertulis Mediator diterima oleh para pihak ; 8) Bila ternyata pihak-pihak yang berselisih tidak memberikan tanggapan atau jawaban secara tertulis, maka akan dianggap menolak anjuran tertulis Mediator ; 9) Dalam hal pihak-pihak yang berselisih dapat menerima anjuran Mediator, selambat-lambatnya 3 (tiga) hari harus dibuatkan Perjanjian Bersama untuk kemudian di daftarkan di Pengadian Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili hukum pihak-pihak yang berselisih untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan dan/atau pihak–pihak menolak anjuran Mediator, salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak tenaga kerja ; Bila dibandingkan antara penyelesaian perselisihan dengan cara Bipartit dan Mediasi, yang membedakannya adalah terletak pada masuknya pihak luar sebagai pihak ketiga yang masuk sebagai penengah untuk mencoba menyelesaikan perselisihan sebagaimana yang dimaksud. Selanjutnya adalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat dilakukan oleh pihak tenaga kerja adalah melalui lembaga peradilan (litigasi) bilamana penyelesaian perselisihan melalui Bipartit, Tripartit (Mediasi,
83
Konsiliasi dan Arbitrase) gagal, maka dalam hal ini yang memiliki kompetensi absolut adalah Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian PerselisihanHubungan Industrial dan tata caranya adalah hampir mirip dengan ketentuan peradilan umum lainnya yaitu menggunakan hukum acara yang berlaku dan langkah-langkah proses penyelesaiannya adalah sebagai berikut : 1) Mengajukan Gugatan Pihak tenaga kerja sebagai pihak Penggugat yang ingin mengajukan permohonan gugatannya ke Pengadilan Hubungan Industrial harus membuat surat gugatan terlebih dahulu dan didaftarkan perkaranya. Pembuatan surat gugatan dalam sengketa perdata di pengadilan harus dilakukan secara jelas dan cermat mengenai alasan-alasan mendasar, fakta-fakta dan tujuan yang dimintakan yang menjadi tuntutan tenaga kerja. Sebab jika tidak, maka dapat mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima atau gugatan kabur. 2) Melalui Proses Pemeriksaan Perkara Proses selanjutnya adalah pemeriksaan prapersidangan yaitu pemeriksaan yang dilakukan oleh Hakim sebelum pemeriksaan terhadap pokok perkara. Apabila dalam pemeriksaan prapersidangan terdapat kekurangan, maka Hakim meminta penggugat untuk menyempurnakan gugatannya. Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permohonan gugatan tersebut, maka pengadilan akan mengeluarkan suatu penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan mengenai pengajuan gugatan tersebut.
84
Terhadap penetapan ini tidak dapat digunakan upaya hukum atau bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat. Apabila dikabulkan, dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak dikabulkannya permohonan pengajuan gugatan, maka selanjutnya pengadilan akan menetapkan nama Majelis Hakim, hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan. Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja. Jumlah keseluruhan waktu pemeriksaan acara cepat selama 28 (dua puluh delapan) hari mulai dari penetapan Majelis Hakim untuk sidang pertama sampai dengan jawaban dan pembuktian. 3) Pembuktian Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara, guna memberikan suatu kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan. Menurut ketentuan dalam Pasal 1886 KUHPerdata, alat-alat bukti terdiri atas : a. Bukti tulisan ; b. Bukti dengan saksi-saksi ; c. Persangkaan-persangkaan ; d. Pengakuan ; e. Sumpah ; 4) Kesimpulan Pengajuan kesimpulan oleh para pihak setelah selesai acara pembuktian tidak ada sebenarnya diatur dalam ketentuan HIR maupun dalam ketentuan Rbg. Akan tetapi, mengajukan kesimpulan hanya timbul dalam praktek persidangan. Hal ini bertujuan untuk memberikan suatu tanggapan
85
untuk
memperkuat
dalil-dalil
dalam
gugatan,
jawab-jinawab
dan
pembuktian dari kedua belah pihak untuk menjadi bahan pertimbangan Majelis Hakim. 5) Keputusan Hakim Keputusan Hakim atas penyelesaian perselisihan hubungan industrial sifatnya adalah mengikat bagi kedua belah pihak dan bentuk putusannya harus di bacakan oleh Majelis Hakim yang berupa permohonan gugatan diterima dan dikabulkan atau ditolak seluruhnya maupun sebagian serta ketentuan bagi pihak yang kalah, tidak dapat mengajukan upaya hukum Banding dan hanya dapat mengajukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam hal ini, selama proses sengketa/proses perdamaian musyawarah/proses hukum berjalan maka sebelum adanya kepastian hukum tetap dari pengadilan, maka tenaga kerja wajib menerima upah dari perusahaannya. 8. Sanksi Hukum Terhadap Perusahaan Yang Melakukan Pelanggaran Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Adanya keadaan perusahaan baik perusahaan pemberi kerja maupun perusahaan outsourching yang mengalami keadaan bangkrut (pailit), dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau di likuidasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja atau buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya dan perlindungan hukum bagi tenaga kerja outsourching sepenuhnya berada dalam naungan perusahaan penyedia jasa pekerja disebabkan tenaga kerja hanya melakukan perjanjian
kerja dengan
perusahaan outsourching dan tenaga kerja tetap mendapatkan perlindungan
86
hukum untuk menerima seluruh hak-hak yang diatur dalam ketentuan UUK dan nasib para tenaga kerja harus tetap menjadi tanggung jawab perusahaan outsourching. Mengenai status hubungan kerja sebagaimana temuat dalam ketentuan Pasal 66 ayat 4 UUK, yang menyebutkan bahwa : “dalam hal ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan”. Selain itu, berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : SE.04/MEN/VIII/2013 sebagai Pedoman Pelaksana dari Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat
Penyerahan
Sebagian
Pelaksanaan
Pekerjaan
Kepada
Perusahaan Lain ada juga sanksi pencabutan izin operasional perusahaan outsourching yaitu bagi perusahaan outsourching yang tidak mendaftarkan perjanjian kerjasama dengan perusahaan pengguna outsourching juga terhadap perusahaan outsourching yang tidak mencatatkan perjanjian kerja tenaga kerjanya ke Kantor Dinas Ketenagakerjaan setempat. Di samping itu, dengan adanya Yurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 27/PUU-IX/2011 tertanggal 17 Januari 2012, di mana dalam
pertimbangannya,
Mahkamah
Konstitusi
menegaskan
bahwa
outsourching adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Akan tetapi, pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourching tidak boleh kehilangan hak-haknya yang di lindungi secara konstitusi. Hal ini bertujuan agar para tenaga kerja
87
tidak dieksploitasi. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menawarkan 2 (dua) model outsourching yaitu : 1) Dengan
mensyaratkan
agar
perjanjian
kerja
antara
pekerja
dan
perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourching tidak berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). 2) Menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi tenaga kerja yang
bekerja
pada
perusahaan-perusahaan
yang
melaksanakan
pekerjaan outsourching. Dari kedua model ini, terlihat dengan jelas bahwa melalui model yang pertama yaitu hubungan kerja antara pihak tenaga kerja dan pihak perusahaan outsourching dianggap
konstitusional
sepanjang
dilakukan
berdasarkan
ketentuan PKWTT secara tertulis. Sementara model yang kedua yaitu dalam hal hubungan kerja antara pihak tenaga kerja dan pihak perusahaan outsourching berdasarkan PKWT, tenaga kerja harus tetap mendapatkan perlindungan hak-haknya dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan. Meski demikian, adanya Putusan Mahkamah Konstitusi ini bagi kalangan tenaga kerja telah dianggap melegalkan praktek outsourching di Indonesia dan hal ini mengakibatkan kesimpang siuran bagi banyak kalangan di tengah-tengah masyarakat. Untuk menghindari kesimpang siuran tersebut lebih jauh, maka Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah menindak lanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 27/PUU-IX/2011 tersebut melalui
adanya
Surat
Pelaksanaan Putusan
Edaran
Nomor
Mahkamah
88
B.31/PHIJSK/I/2012
Konstitusi Nomor
Tentang
27/PUU-IX/2011
tertanggal 17 Januari 2012 untuk mengatur dengan lebih tepat lagi mekanisme yang selama ini sudah berjalan, sehingga hak-hak para tenaga kerja outsourching benar-benar terjamin. Kesimpulannya adalah bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sebenarnya tidak lah mencabut pasal UUK yang mengatur mengenai outsourching tetapi sifatnya hanya membatasi praktek outsourching di Indonesia diadakan dengan cara PKWT dan seharusnya dengan cara PKWTT. Sebagai hukum publik hukum, hukum ketenagakerjaan mengatur ancaman sanksi, bagi pihak-pihak yang melanggar ketentuan-ketentuan tertentu.
Menurut
pendapat
yang
disampaikan
oleh
Mohd.
Syaufii
Syamsuddin14 dalam bukunya, sanksi ada yang berupa sanksi Perdata sebagai bagian dari hukum perjanjian (privat), sanksi Administratif yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap penyelenggaraan administratif negara dan sanksi Pidana untuk perlindungan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik. Berikut ini disajikan beberapa ketentuan sanksi yang diatur dalam UUK yang erat kaitannya dengan hukum perjanjian baik perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan/atau perjanjian kerja bersama yaitu : A. Sanksi Administratif Mengenai sanksi administratif, UUK antara lain memberi mandat kepada Menteri atau Pejabat yang di tunjuk untuk mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagai berikut : a) Barang siapa yang tidak memberikan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan kepada tenaga kerja ;
14
Mohd. Syaufii Syamsuddin,. Ibid., Hal 217
89
b) Pengusaha yang tidak memperlakukan setiap tenaga kerja perlakuan yang sama tanpa diskriminasi ; c) Pemberi Tenaga Kerja Asing yang tidak menunjuk tenaga kerja WNI sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing dan tidak melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja WNI dimaksud yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki tenaga kerja asing ; d) Pengusaha yang tidak mencetak dan tidak membagikan naskah PKB kepada setiap tenaga kerja atas biaya perusahaan ; e) Pengusaha yang tidak memberikan bantuan untuk paling lama 6 (enam) bulan “Takwim” terhitung sejak hari pertama tenaga kerja ditahan oleh pihak yang berwajib, kepada keluarga tenaga kerja yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan untuk 1 (satu) orang tanggungan 25 % dari Upah, untuk 2 (dua) orang tanggungan 35 % dari Upah, untuk 3 (tiga) orang tanggungan 45 % dari Upah dan untuk 4 (empat) orang tanggungan 50 % dari Upah ; Sanksi
administratif
dimaksud
sebagaimana
ketentuan Pasal 190 UUK, dapat berupa : a. Teguran ; b. Peringatan tertulis ‘ c. Pembatasan kegiatan usaha ; d. Pembekuan kegiatan usaha ; e. Pembatalan persetujuan ; f. Pembatalan pendaftaran ;
90
yang
terdapat
dalam
g. Penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi ; h. Pencabutan Ijin ; B. Sanksi Perdata Terhadap perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak dalam PKWT yang dibuat atas dasar kesepakatan kedua pihak dan kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, sanksinya adalah perjanjian kerja tersebut dapat di batalkan. Sedangkan perjanjian kerja (PKWT) yang dibuat dengan tidak adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan/atau pekerjaan yang diperjanjikan bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka perjanjian kerja tersebut batal demi hukum. Demi hukum, status hubungan kerja yang didasarkan pada PKWT oleh perusahaan pemberi kerja kepada perusahaan outsourching dengan tidak memenuhi syarat-syarat yaitu dilakukannya secara terpisah dari kegiatan utama, dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi kerja, merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan dan perusahaan outsourching tersebut tidak berbadan hukum, maka demi hukum batal dan pengalihan tenaga kerja harus kembali kepada perusahaan pemberi kerja dengan perjanjian kerja berupa PKWTT dan tidak lagi berupa PKWT (Pasal 65 ayat 8 dan 9 UUK). C. Sanksi Pidana Ketentuan mengenai sanksi pidana dalam yang termuat dalam ketentuan UUK antara lain yaitu sebagai berikut : a. Perusahaan pemberi kerja tenaga kerja asing yang tidak menunjuk tenaga kerja WNI sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang
91
dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian serta tidak melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja WNI yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang di duduki tenaga kerja asing, dapat di kenakan sanksi pidana sebagai tindak pidana pelanggaran dengan ancaman hukuman kurungan paling sedikit 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) di samping itu pula di kenakan sanksi administratif (Pasal 45 ayat 1 UUK). b. Diancam pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan tindakan tersebut merupakan tindakan pidana kejahatan, barang siapa yang tidak mengikut-sertakan tenaga kerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena usian pensiun pada program pensiun dan tidak memberikan kepada tenaga kerja uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sesuai ketentuan hukum (Pasal 184 UUK). c. Merupakan tindak pidana kejahatan dan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) bagi : 1) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan yang tidak memunuhi persyaratan antara lain : Izin tertulis dari orang tua
92
atau wali, perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali, waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam, dilakukan pada siang hari dan tidak menganggu waktu sekolah, keselamatan dan kesehatan kerja, adanya hubungan kerja yang jelas dan menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku ; 2) Pengusaha kesempatan
yang yang
tidak
memenuhi
secukupnya
kewajibannya
kepada
tenaga
memberikan kerja
untuk
melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya ; 3) Pengusaha yang tidak memberikan kepada tenaga kerja perempuan istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan atau yang mengalami keguguran kandungan istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dari dokter kandungan atau bidan ; 4) Pengusaha yang membayarkan upah lebih rendah dari upah minimum ; 5) Barang
siapa
menghalang-halangi
tenaga
kerja
dan
serikat
pekerja/serikat buruh untuk menggunakan Hak Mogok Kerja yang dilakukan secara sah, tertib dan damai ; 6) Barang
siapa
melakukan
penangkapan
dan/atau
penahanan
terhadap tenaga kerja dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib dan damai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku ; 7) Pengusaha yang tidak mempekerjakan tenaga kerja kembali yang oleh putusan pengadilan sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir tenaga kerja dinyatakan tidak bersalah secara hukum ;
93
8) Pengusaha yang tidak membayar kepada tenaga kerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dan uang penggantian hak sesuai ketentuan yang berlaku (Pasal 185 UUK) ; d. Dikenakan sanksi pidana sebagai tindak pidana pelanggaran dengan ancaman penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,- (empat ratud juta rupiah) terhadap pengusaha yang tidak membayar upah dalam hal tenaga kerja tidak masuk kerja karena alasan yang sah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau perjanjian ; e. Dikenakan sanksi pidana sebagai tindak pidana pelanggaran dengan ancaman hukuman kurungan paling sedikit 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,(seratus juta rupiah) terhadap : 1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat yang tidak memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya ; 2) Pengusaha yang mempekerjakan anak untuk mengembangkan bakat dan minatnya yang tidak memenuhi syarat : di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali, waktu kerja kurang dari 3 (tiga) jam
94
sehari dan kondisi lingkungan kerja tidak menggangu perkembangan fisik, mental, sosial dan waktu sekolahnya ; 3) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun antara pukul 23.00 s/d 07.00, mempekerjakan tenaga kerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apa bila bekerja antara pukul 23.00 s/d 07.00, mempekerjakan tenaga kerja perempuan antara pukul 23.00 s/d 07.00 yang tidak memberikan makanan dan minuman dan tidak menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja dan tidak menyediakan angkutan antar jemput bagi tenaga kerja perempuan yang berangkat dan pulang kerja antara pukul 23.00 s/d 05.00 ; 4) Pengusaha yang tidak membayar upah lembur yang mempekerjakan tenaga kerja melebihi waktu kerja ; 5) Pengusaha yang tidak memberikan waktu istirahat dan cuti kepada tenaga kerja yang telah berhak cuti dan istirahat ; 6) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi yang tidak membayar upah kerja lembur ; 7) Pengusaha melakukan tindakan mengganti pekerja yang mogok kerja dengan tenaga kerja lain dari luar perusahaan atau memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada tenaga kerja dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh dan sesudah
95
melakukan mogok kerja terhadap tenaga kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada berlaku (Pasal 187 UUK) ; f. Dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan merupakan tindak pidana pelanggaran, barang siapa melanggar ketentuan sebagai berikut : 1) Pengusaha yang membuat PKWTT secara lisan yang tidak membuat surat pengangkatan bagi tenaga kerja yang bersangkutan ; 2) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja melebihi waktu kerja yang tidak memenuhi syarat : ada persetujuan tenaga kerja yang bersangkutan dan waktu kerja lembur dilakukan lebih dari 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam 1 (satu) minggu ; 3) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja lebih dari 10 (sepuluh) orang yang tidak membuat Peraturan Perusahaan ; 4) Pengusaha yang tidak memperbaharui peraturan perusahaan setelah habis masa berlakunya 2 (dua) tahun ; 5) Pengusaha yang tidak memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan dan perubahannya kepada tenaga kerja ; 6) Pengusaha yang tidak memberitahukan secara tertulis kepada tenaga kerja atau serikat pekerja/serikat buruh serta Instansi ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum melakukan penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan. Pemberitahuan dimaksud sekurang-kurangnya memuat tentang : waktu (hari, tanggal dan jam) dimulai dan diakhirinya penutupan
96
perusahaan dan alasan atau sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (Pasal 188 UUK). Dengan demikian, dari hal ini terlihat jelas bahwa dalam ketentuan UUK, perlindungan hukum terhadap hak-hak tenaga kerja yang harus menjadi tanggung jawab perusahaan telah diatur sedemikian rupa sebagaimana disebutkan di atas. Semua sanksi pidana penjara, kurungan dan/atau denda
tersebut
juga
tidak
menghilangkan
kewajiban
pengusaha
(perusahaan) untuk membayar hak-hak dan/atau ganti rugi kepada tenaga kerja.
97
BAB IV PENUTUP
1. Kesimpulan Dari adanya hasil analisa, uraian dan pembahasan mengenai pertanggungjawaban perusahaan atas pelanggaran perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menurut ketentuan UUK yang telah dilakukan, maka dapat di peroleh suatu kesimpulan yaitu sebagai berikut : a. Pengertian perjanjian kerja waktu kerja tertentu (PKWT) adalah merupakan suatu perjanjian bersyarat dalam perjanjian kerja yang mengatur tentang hak-hak dan kewajiban pihak pengusaha/perusahaan baik itu perusahaan pengguna jasa maupun perusahaan penyedia jasa (outsourching) dengan pihak tenaga kerja dalam suatu hubungan kerja yang dipersyaratkan bahwa harus dibuat secara tertulis dan dibuat dalam bahasa Indonesia dan/atau huruf latin sesuai dengan ketentuan UUK. Apabila tidak dibuat secara tertulis dan tidak dibuat dengan bahasa Indonesia dan/atau huruf latin, maka dinyatakan dan dianggap sebagai PKWTT sesuai ketentuan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 57 ayat 2 UUK. Pelaksanaan PKWT harus berdasarkan pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun, pekerjaan yang bersifat musiman atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan.
98
Selain itu, praktek PKWT harus sesuai dengan ketentuan Pasal 66 ayat 2 UUK, tidak dapat dipersyaratkan tentang adanya masa percobaan (probation), dan apabila dalam perjanjiannya terdapat dan diadakan mengenai klausula masa percobaan dalam PKWT tersebut, maka klausula tersebut dianggap sebagai tidak pernah ada dan batal demi hukum. Apabila dilakukan pengakhiran hubungan kerja pada PKWT karena alasan mengenai masa percobaan, maka pengusaha dianggap telah memutuskan hubungan kerja sebelum berakhirnya perjanjian kerja. Pada prakteknya, pelaksanaan PKWT harus sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain yaitu apa bila praktek PKWT melakukan sistem alih daya/outsourching, maka mengenai jenis pekerjaan yang bisa dilakukan adalah antara lain meliputi : usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang dibidang pertambangan dan perminyakan serta usaha penyediaan angkutan tenaga kerja. b. Adapun
bentuk
pertanggungjawaban
pengusaha/perusahaan
atas
pelanggaran dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) terhadap tenaga kerja menurut ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
13 Tahun
2003
Tentang
Ketenagakerjaan
adalah
bahwa
perusahaan harus memberikan secara keseluruhan hak-hak tenaga kerja termasuk tenaga kerja perempuan, anak dan penyandang cacat yang meliputi pemenuhan hak-hak tenaga kerja yaitu memberikan upah yang
99
layak sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 88 ayat 1 UUK yang telah ditetapkan oleh pemerintah mengenai Upah Minimum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 89 ayat 1 UUK, memberikan jaminan keselamatan dan kesehatan kepada tenaga kerja sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 86 ayat 1 huruf a UUK, memberikan Jaminan Sosial sesuai ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan pemenuhan hak tenaga kerja atas kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK) berupa uang pesangon dan uang penghargaan sebagai bentuk wujud pertanggungjawaban perusahaan dalam memenuhi kewajibannya terhadap tenaga kerja di Indonesia. Apa bila terjadi perselisihan antara pihak tenaga kerja dengan pihak perusahaan, dapat dilakukan upaya penyelesaian dengan cara Non Litigasi yaitu dengan cara Perundingan Bipartit, Perundingan Tripartit, Mediasi Konsiliasi dan Arbitrase dan dengan cara Litigasi yaitu melalui Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan UU PPHI. Jika dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial dinyatakan pihak perusahaan melakukan kesalahan dan/atau pelanggaran, maka pihak perusahaan dapat dikenakan sanksi secara Administratif, Perdata dan Pidana.
2. Saran Bertolak belakang dari kesimpulan yang telah disebutkan di atas, maka dalam kesempatan ini, penulis merumuskan saran-saran yang berhubungan dengan pokok permasalahan tersebut yaitu sebagai berikut :
100
a. Pemerintah sebaiknya melakukan revisi atau perubahan terhadap UndangUndang
Republik
Indonesia
Nomor
13
Tahun
2003
Tentang
Ketenagakerjaan, melakukan penghapusan izin dan praktek usaha penyediaan
jasa
tenaga
kerja
(perusahaan
perusahaan
outsourching
lebih
dominan
outsourching)
melakukan
karena
pelanggaran-
pelanggaran terhadap hak-hak tenaga kerja di Indonesia bahkan telah mengarah kepada praktek perdagangan manusia (human trafficking), membuat format perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) secara baku agar semua perusahaan-perusahaan bisa mengikuti dan menerapkan PKWT dengan dasar yang telah ada yaitu PKWT yang telah dibuat oleh pemerintah
sebelumnya
dan
melaui
instansi
terkait
dibidang
ketenagakerjaan dengan segala kekuatan sumber daya manusia di pusat dan daerah harus melakukan pengawasan terhadap perusahaan yang ada di Indonesia dan apabila ada praktek pelanggaran PKWT harus segera melakukan penindakan langsung dengan cara menutup perusahaan untuk sementara dan mencabut izin operasional perusahaan. b. Perselisihan hubungan kerja sebaiknya di selesaikan di Pengadilan Hubungan
Industrial
saja
(Litigasi)
saja
sebagai
bentuk
pertanggungjawaban perusahaan kepada tenaga kerja di Indonesia dan tidak melalui cara-cara Non Litigasi (Bipartit, Tripartit/Mediasi dan Arbitrase) karena penyelesaian dengan cara-cara ini justru lebih cenderung menimbulkan adanya ketidak-netralan yang dilakukan oleh pihak ketiga (lebih memihak pada pihak perusahaan) misalnya disuap dengan uang atau dijanjikan sesuatu oleh pihak perusahaan dan para Hakim yang ada pada Pengadilan Hubungan Industrial harus lah merupakan hakim yang
101
memiliki
pengetahuan
dibidang
ketenagakerjaan
(spesialis)
serta
pemerintah harus selalu melakukan pelatihan dan pendidikan secara berkelanjutan kepada para hakim untuk meningkatkan pemahaman dan fungsi hakim dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Indonesia.
102
DAFTAR BACAAN
Antonius Cahyadi, Fernando M. Manullang, Pengantar Ke Filsafat Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007. Bagas Pratama, Yose Rizal Sidi Marajo dan Endang Sugriati, Aneka Konsep Surat Perjanjian Dan Kontrak Dilengkapi Dengan Tuntunan Bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pustaka Setia, Bandung, 1999. Farianto & Darmanto Law Firm, Himpunan Putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara PHI Tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Disertai Ulasan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2010. Guus Heerma Van Voss, Surya Tjandra, Bab-Bab Hukum Perburuhan Indonesia, Pustaka Larasan, Denpasar, 2012. Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta, 1974. Mohd. Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian Dalam Hubungan Kerja, Sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2005. Much. Nurachmad, Panduan Membuat Peraturan Dan Perjanjian Dalam Perusahaan, Pustaka Yustisia, Jogyakarta, 2011. R. Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989. R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1994. Salim. H.S, Hukum Kontrak Teori & Tehnik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1994. Wahyu Kurniawan, Corporate Governance Dalam Aspek Hukum Perusahaan, Gratifi, Surabaya, 2012. Undang-Undang : Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Undang-Undang Republik Ketenagakerjaan.
Indonesia
Nomor
103
13
Tahun
2003
Tentang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Penyelesaian PerselisihanHubungan Industrial
Tahun
2004
Tentang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroaan Terbatas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Jaminan Sosial
Badan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan Upah Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-01/Men/1999 Tentang Upah Minimum Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 27/PUU-IX/2011 Tertanggal 17 Januari 2012 Surat Edaran Menkertrans Nomor : SE-01/MEN/1982 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Perlindungan Upah Surat
Edaran Nomor B.31/PHIJSK/I/2012 Tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tertanggal 17 Januari 2012
Surat
Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : SE.04/MEN/VIII/2013 Sebagai Pedoman Pelaksana dari Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 Tentang SyaratSyarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain
Internet : www.legalakses.com www.hukumonline.com
104