PEMBUKTIAN TITIP SIDANG DALAM PERKARA TILANG PELANGGARAN LALULINTAS DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI SKRIPSI
OLEH : AGUNG HENDRA SAPUTRO
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2014
PEMBUKTIAN TITIP SIDANG DALAM PERKARA TILANG PELANGGARAN LALULINTAS DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI SKRIPSI
OLEH : AGUNG HENDRA SAPUTRO NPM : 10120046
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2014
PEMBUKTIAN TITIP SIDANG DALAM PERKARA TILANG PELANGGARAN LALULINTAS DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH : AGUNG HENDRA SAPUTRO NPM : 10120046
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2014
PEMBUKTIAN TITIP SIDANG DALAM PERKARA TILANG PELANGGARAN LALULINTAS DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI
NAMA
: AGUNG HENDRA SAPUTRO
FAKULTAS
: HUKUM
JURUSAN
: ILMU HUKUM
NPM
: 10120046
DISETUJUI dan DITERIMA OLEH : PEMBIMBING
ANDY USMINA WIJAYA, S.H.,M.H.
Telah diterima bdan disetujui oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan LULUS.Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi syarat-syarat Mencapai gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
Surabaya,
Maret 2014
Tim Penguji Skripsi : 1. Ketua
: Tri Wahyu Andayani, SH., CN., MH
(
)
(
)
(
)
(
)
(Dekan Fakultas Hukum)
2. Sekretaris
: Andy Usmina Wijaya, SH., MH. (Dosen Pembimbing)
3. Anggota
: 1. Dr. Taufiqurrahman.SH.,Mhum (Dosen Penguji I)
2. H. Arief Syahrul Alam.SH.,Mhum (Dosen Penguji II)
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur kehadirat tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan karunianya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat –syarat untuk mencapai gelar Sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra. Keterbatasan yang ada pada diri saya merupakan salah satu hambatan, namun dengan niat yang besar ternyata hambatan itu dapat teratasi. Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dapat dikatakan sempurna, tetapi saya telah berusaha mengemukakan suatu harapan baru dengan maksud sebagai sumbangan pemikiran bagi alma mater saya. Tanpa bimbingan dan bantuan serta tersedianya fasilitas dan juga wakttu yang diberikan saya yakin skripsi ini tidak akan tersusun sebagaimana yang saya harapkan. Untuk itu pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih dan rasa hormat saya kepada Bpk Andy Usmina Wijaya, SH.,MH selaku dosen pembimbing dan kepada Para Dosen penguci tidak terkecuali kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Ibu Tri Wahyu Andayani, SH,. CN., MH. Terimakasih kepada Bapak dan Ibu saya tercinta yang selama ini banyak memberikan dorongan dan biaya kepada saya. Terimakasih kepada segenap
segala dosen yang telah memberikan bekal ilmu
Pengetahuan kepada saya selama studi di Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra.
i
Akhirnya semoga segala kelemahan dan kekurangan saya dalam menyusun skripsi ini dapat dimaklumi dan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat, baik bagi diri saya maupun bagi para mahasiswa lain.
Surabaya
Agung Hendra Saputro
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.................................................................................
i
DAFTAR ISI .............................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.........................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah................................................................
6
1.3 Penjelasan Judul.....................................................................
6
1.4 Alasan Pemilian Judul..............................................................
8
1.5 Tujuan Penelitian.....................................................................
10
1.6 Manfaat Penulisan..................................................................
10
1.7 Metodelogi Penelitian...............................................................
11
1.8 Sistematika Penulisan .............................................................
13
BAB II PENGATURAN TITIP SIDANG DALAM PERKARA TILANG PELANGGARAN LALULINTAS DI INDONESIA 2.1 Pengaturan Titip Sidang Di Indonesia.....................................
14
2.1.1 Acara pemeriksaan tindak pidana ringan.................
14
2.1.2 Acara pemeriksaan pelanggaran lalulintas..............
23
2.1.3 Prosedur titip sidang tilang di Indonesia..........
32
2.1.3.1 Prosedur acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalulintas..............................................
ii
35
2.1.3.2 Pemidanaan dalam sidang acara tilang
39
2.1.3.3 Teknik pemeriksaan tilang di Persidangan
41
2.1.3.4 Proses persidangan....................................
42
2.2 Pengaturan tindak pidana korupsi...............................
43
2.3 Asas pembuktian.........................................................
60
2.3.1 Prinsip-prinsip pembuktian............................
61
2.3.2 Teori-teori atau sistem pembuktian...............
63
2.3.3 Tinjauan umum tentang alat bukti keterangan Terdakwa.......................................................
67
BAB III PEMBUKTIAN 3.1 Asas pembuktian.................................................................
79
3.1.1 Prinsip-prinsip pembuktian...................................
80
3.1.2 Teori-teori atau sistem pembuktian......................
82
3.1.3 Tinjauan umum tentang alat bukti keterangan Terdakwa..............................................................
86
3.2 Beban pembuktian...............................................................
96
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................
110
B. Saran ..........................................................................................
111
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
112
LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Aktivitas hukum sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah tindakan disebut perbuatan hukum jika mempunyai akibat yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atau diakui oleh negara. Hukum atau ilmu hukum sendiri adalah suatu sistem aturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas melalui lembaga atau institusi hukum. Banyak sekali dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan pelanggaran hukum, mulai dari yang ringan hingga yang berat.1 Pelanggaran ringan yang kerap terjadi salah satunya adalah tentang pelanggaran lalu lintas dan bukti pelanggaran atau disebut dengan tilang berasal dari pelanggar lalu lintas dapat berupa SIM (Surat ijin mengemudi), STNK (Surat tanda nomor kendaraan), atau kendaraan. Permasalahan ini sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat. Pelanggaran lalu lintas dan tilang sudah membudaya di kalangan masyarakat, sehingga setiap kali dilakukan operasi tertib lalu lintas di jalan raya yang dilakukan oleh Polantas, pasti banyak terjaring kasus pelanggaran lalu lintas dan tilang. Menurut pihak kepolisian, tidak sedikit pengendara yang mengabaikan keselamatan dan kenyamanan saat di jalan raya serta tidak menyadari bahwa kecelakaan bermula dari pelanggaran lalu lintas.2 Pelanggaran lalu lintas dan tilang merupakan kasus dalam ruang lingkup hukum pidana yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2009. Hukum pidana mengatur perbuatan 1
Ruli, “Macam-macam perbuatan hukum dan pelanggaran”, www.id.wikipedia.org 2013 Sudiastoro,”kasus pelanggaran lalulintas dan tilang”, detik.com 2013
2
1
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi barang siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana. Tujuan hukum pidana adalah untuk menakut-nakuti orang agar tidak melakukan perbuatan yang tidak baik dan mendidik seseorang yang pernah melakukan perbuatan yang tidak baik menjadi baik dan dapat diterima.3 Pelanggaran lalu lintas dan tilang merupakan kasus dalam ruang lingkup hukum pidana yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2009. Hukum pidana mengatur perbuatan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi barang siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana. Tujuan hukum pidana adalah untuk menakut-nakuti orang agar tidak melakukan perbuatan yang tidak baik dan mendidik seseorang yang pernah melakukan perbuatan yang tidak baik menjadi baik dan dapat diterima Hukum pidana juga dikenal dua jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran, kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat, contohnya mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya. Sedangkan pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh undang-undang, seperti tidak memakai helm, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam berkendara. Pelanggaran terhadap aturan hukum pidana segera diambil tindakan oleh aparat hukum tanpa ada pengaduan atau laporan dari pihak yang dirugikan, kecuali tindak pidana yang termasuk delik aduan seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga dan pencurian oleh keluarga. Sedangkan hukuman terdakwa yang terbukti kesalahannya dapat dipidana mati/ dipenjara/ kurungan atau denda bisa juga dengan pidana tambahan seperti dicabut hak-hak tertentu. Pelanggaran lalu lintas
3
Irawan,”Tujuan hukum pidana”,Transparasi.or.id, 2013
2
atau tilang yang sering biasanya adalah pelanggaran terhadap Pasal 57 ayat 3 mengenai kelengkapan surat kendaraan SIM dan STNK .4 Namun seringkali dalam penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Banyak kasus pelanggaran lalu lintas yang diselesaikan di tempat oleh oknum aparat penegak hukum atau Polantas, dengan kata lain perkara pelanggaran tersebut tidak sampai diproses menurut hukum (Anonymous, 2009). Pemberian suap kepada Polantas dapat dikenakan tindak pidana terhadap penguasa umum dengan pidana penjara paling lama 2 tahun delapan bulan (Pasal 209 KUHP). Bahkan usaha atau percobaan untuk melakukan kegiatan tersebut juga dapat dipidana penjara (Pasal 53 (1) (2) jo Pasal 209 KHUP). Sedangkan bagi Polantas yang menerima suap dapat dikenakan tindak pidana dengan ancaman penjara paling lama lima tahun (Pasal 419 KUHP).5 Dalam Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Ancaman pidana yang dapat dikenakan adalah penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Untuk Pelanggar yang karena kesibukannya tidak mungkin bisa hadir di Pengadilan untuk sidang dimaksud diberikan Surat TILANG (bukti tilang) warna Biru, kemudian datang ke BRI membayar Denda Tilang seperti yg tercantum di Surat TILANG, lalu kembali pada Petugas yang Menindak tadi dengan membawa resi Pembayaran Denda TILANG dari BRI, kemudian Barang Bukti yang disita bisa diambil lagi, dan berkas Tilang yang tadi diserahkan ke Bagian TILANG di Kantor Satlantas untuk dicatat di buku Besar Pelanggaran dan
4
http://eprints.undip.ac.id/3162/1/BAB_I.pdf
5
Ibid., 3
didistribusikan, berawal dari 3 opsi titip sidang ini banyak oknum petugas polisi lalulintas memanfaatkan kesempatan untuk menerima suap dan korupsi terhadap uang hasil tilang yang seharusnya masuk kas Negara karena lemahnya system controlling (pengawasan) terhadap pelaksanaan SK Kapolri No.Pol: SKEP/443/IV/1998, tanggal 17 April 1998. Berdasar pada Surat Keputusan Kepala Kapolri No.Pol: SKEP/443/IV/1998, tanggal 17 April 1998 tentang buku petunjuk teknis tentang penggunaan blanko tilang. Sistem tilang yang berlaku saat ini memberi tiga opsi bagi pelanggar. Seseorang bisa minta disidang di pengadilan, atau langsung bayar ke Bank Rakyat Indonesia, atau pilihan lain dititipkan kepada kuasa untuk sidang. Kuasa untuk sidang itu tidak lain adalah polisi. Pilihan-pilihan ini sudah berlangsung lama. Apabila Pelanggar menghendaki untuk Datang sendiri ke Pengadilan untuk sidang maka kepadanya diberikan Surat TILANG (bukti tilang) warna Merah untuk menghadiri sidang di Pengadilan Negeri. Untuk Pelanggar yang karena kesibukannya tidak mungkin bisa hadir di Pengadilan untuk sidang dimaksud diberikan Surat TILANG (bukti tilang) warna Biru, kemudian datang ke BRI membayar Denda Tilang seperti yg tercantum di Surat TILANG, lalu kembali pada Petugas yang Menindak tadi dengan membawa resi Pembayaran Denda TILANG dari BRI, kemudian Barang Bukti yang disita bisa diambil lagi, dan berkas Tilang yang tadi diserahkan ke Bagian TILANG di Kantor Satlantas untuk dicatat di buku Besar Pelanggaran dan didistribusikan, berawal dari 3 opsi titip sidang ini banyak oknum petugas polisi lalulintas memanfaatkan kesempatan untuk menerima suap dan korupsi terhadap uang hasil tilang yang seharusnya masuk kas Negara karena lemahnya system controlling (pengawasan) terhadap pelaksanaan SK Kapolri No.Pol: SKEP/443/IV/1998, tanggal 17 April 1998.
4
Termasuk pada saat pemberian surat tilang (bukti pelanggaran) para oknum polisi lalulintas terkesan langsung memberi surat merah yang hanya diberikan pada pelanggar lalulintas yang berprilaku kurang baik pada petugas kepolisian serta memberikan sanksi denda yang maksimal dengan Berdasarkan Pasal 287 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UULLAJ”).6
Dan ketika pelanggar
menitipkan denda maksimal kepada petugas yang kemudian akan disetorkan ke pengadilan negeri yang ternyata pengadilan negeri memberlakukan denda minimal bagi pelanggar berdasar Pasal 287 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UULLAJ”).7 Dalam hal ini juga diperlukan sistem controlling (pengawasan) agar tidak terjadi tindak pidana korupsi oleh oknum anggota kepolisian. Dalam hal pembuktian di persidangan pengadilan Negeri mengenai tilang (bukti pelanggaran) dirasa kurang karena bukti pelanggaran sudah di kembalikan kepada pelanggar lalulintas serta petugas kepolisian hanya menyetor buku besar catatan bukti pelanggaran dan surat tilang warna biru sehingga sulit membuktikan bahwa oknum petugas kepolisian melakukan korupsi atas manipulasi data penerimaan denda dari pelanggar lalulintas yang dititipkan kepada petugas kepolisian terhadap selisih antara denda maksimal yang dilakukan pihak kepolisian dengan denda minimal yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri. Berdasarkan
uaraian
diatas,
maka
penulis
merasa
perlu
untuk
mengkaji
problematika yang ada melalui sebuah karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul “PEMBUKTIAN TITIP SIDANG DALAM PERKARA TILANG PELANGGARAN LALU LINTAS DI PENGADILAN NEGERI DIKAITKAN DENGAN UNDANG – UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI”
6 7
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50e0c615bcc54/prosedur-penitipan-uang-denda-tilang Ibid..,
5
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan selanjutnya akan dikaji dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimana pengaturan titip sidang dalam perkara tilang pelanggaran lalulintas di Indonesia ? 2. Bagaimana pembuktian titip sidang dalam perkara tilang pelanggaran lalulintas di tinjau dari undang – undang tindak pidana korupsi ?
1.3 Penjelasan Judul Penulisan skripsi ini berjudul “Pembuktian Titip sidang Dalam Perkara Tilang Lalulintas Di Pengadilan Negeri Dikaitkan Dengan Tindak Pidana Korupsi”.Keterkaitan antara pembuktian Titip sidang dalam perkara tilang lalulintas erat hubungannya dengan tindak pidana korupsi mengandung konsekuensi logis yuridis untuk menjadi alasan mengkaji aturan titip sidang dalam perkara tilang pelanggaran lalulintas serta ditinjau dari tindak pidana korupsi (uu no 20 tahun 2001 pasal 5 dan pasal 11). berdasar pada Surat Keputusan Kepala Kapolri No.Pol: SKEP/443/IV/1998, tanggal 17 April 1998 (SK 1998). Sistem tilang yang berlaku saat ini memberi tiga opsi bagi pelanggar. Seseorang bisa minta disidang di pengadilan, atau langsung bayar ke Bank Rakyat Indonesia, atau pilihan lain dititipkan kepada kuasa untuk sidang. Kuasa untuk sidang itu tidak lain adalah polisi. Pilihan-pilihan ini memunculkan celah hukum bagi oknum anggota polisi untuk melakukan tindak pidana korupsi terhadap uang hasil tilang yang seharusnya masuk ke dalam kas Negara. Termasuk pada saat pemberian surat tilang (bukti pelanggaran) para oknum polisi lalulintas terkesan langsung memberi surat merah yang
6
hanya diberikan pada pelanggar lalulintas yang berprilaku kurang baik pada petugas kepolisian serta memberikan sanksi denda yang maksimal dengan Berdasarkan Pasal 287 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UULLAJ”).8 Dan ketika pelanggar menitipkan denda maksimal kepada petugas yang kemudian akan disetorkan ke pengadilan negeri yang ternyata pengadilan negeri memberlakukan denda minimal bagi pelanggar berdasar Pasal 287 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UULLAJ”).9 Dalam hal ini juga diperlukan sistem controlling (pengawasan) agar tidak terjadi tindak pidana korupsi oleh oknum anggota kepolisian. Dalam hal pembuktian di persidangan pengadilan Negeri mengenai tilang (bukti pelanggaran) dirasa kurang karena bukti pelanggaran sudah di kembalikan kepada pelanggar lalulintas serta petugas kepolisian hanya menyetor buku besar catatan bukti pelanggaran dan surat tilang warna biru sehingga sulit membuktikan bahwa oknum petugas kepolisian melakukan korupsi atas manipulasi data penerimaan denda dari pelanggar lalulintas yang dititipkan kepada petugas kepolisian terhadap selisih antara denda maksimal yang dilakukan pihak kepolisian dengan denda minimal yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri.
8 9
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50e0c615bcc54/prosedur-penitipan-uang-denda-tilang Ibid..,
7
1.4 Alasan Pemilihan Judul seringkali dalam penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Banyak kasus pelanggaran lalu lintas yang diselesaikan di tempat oleh oknum aparat penegak hukum atau Polantas, dengan kata lain perkara pelanggaran tersebut tidak sampai diproses menurut hukum (Anonymous, 2009). Pemberian suap kepada Polantas dapat dikenakan tindak pidana terhadap penguasa umum dengan pidana penjara paling lama 2 tahun delapan bulan (Pasal 209 KUHP). Bahkan usaha atau percobaan untuk melakukan kegiatan tersebut juga dapat dipidana penjara (Pasal 53 (1) (2) jo Pasal 209 KHUP). Sedangkan bagi Polantas yang menerima suap dapat dikenakan tindak pidana dengan ancaman penjara paling lama lima tahun (Pasal 419 KUHP). Dalam Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Ancaman pidana yang dapat dikenakan adalah penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Termasuk pada saat pemberian surat tilang (bukti pelanggaran) para oknum polisi lalulintas terkesan langsung memberi surat merah yang hanya diberikan pada pelanggar lalulintas yang berprilaku kurang baik pada petugas kepolisian serta memberikan sanksi denda yang maksimal dengan Berdasarkan Pasal 287 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UULLAJ”).10
Dan ketika pelanggar
menitipkan denda maksimal kepada petugas yang kemudian akan disetorkan ke pengadilan negeri yang ternyata pengadilan negeri memberlakukan denda minimal bagi pelanggar berdasar Pasal 287 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan 10
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50e0c615bcc54/prosedur-penitipan-uang-denda-tilang
8
Angkutan Jalan (“UULLAJ”).11 Dalam hal ini juga diperlukan sistem controlling (pengawasan) agar tidak terjadi tindak pidana korupsi oleh oknum anggota kepolisian. Dalam hal pembuktian di persidangan pengadilan Negeri mengenai tilang (bukti pelanggaran) dirasa kurang karena bukti pelanggaran sudah di kembalikan kepada pelanggar lalulintas serta petugas kepolisian hanya menyetor buku besar catatan bukti pelanggaran dan surat tilang warna biru sehingga sulit membuktikan bahwa oknum petugas kepolisian melakukan korupsi atas manipulasi data penerimaan denda dari pelanggar lalulintas yang dititipkan kepada petugas kepolisian terhadap selisih antara denda maksimal yang dilakukan pihak kepolisian dengan denda minimal yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri.
11
Ibid..,
9
1.5 Manfaat Penelitian Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi manfaatnya menjadi tiga hal pokok, yaitu manfaat bagi : a. Mahasiswa Diharapkan dengan penelitian ini mahasiswa mampu lebih jauh memahami hukum yang mengatur tentang titip sidang dalam perkara tilang lalulintas dan tindak pidana korupsi yang berlaku di Indonesia. b. Lembaga Bagi pihak lembaga dalam hal ini Universitas Wijaya Putra, Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan literature, yang nantinya dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya oleh pihak-pihak yang memang membutuhkannya. c. Masyarakat Masyarakat dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai informasi yang mungkin dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari yang berkenaan dengan peraturan titip sidang dalam perkara tilang lalulintas dan tindak pidana korupsi.
1.6 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
10
a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas wijaya Putra Surabaya. b. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan mengenai titip sidang dalam perkara tilang lalulintas dan tindak pidana korupsi.
1.7 Metode Penelitian a. Tipe Penelitian Tipe penelitian dalam penyusunan skripsi ini adalah nyuridis normatif, yaitu penelitian terhadap bahan kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. b. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah dalam skripsi ini menggunakan statue approach. statue approach yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasi serta membahas peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan materi yang dibahas c. Bahan Hukum Bahan hukum apabila ditinjau dari segi yang mengikatnya, terdiri dari : -
Bahan hukum premier, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, dalam hal ini peraturan perundang-undangan yaitu KUHP dan Undang-undang no 31 tahun 1999.
-
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum formil dan dapat membantu menganalisis serta memahaminya yaitu literature maupun karya illmiah para sarjana.
11
d. Langkah Penelitian Bahan hukum berupa bahan pustaka tersebut diinventarisasi dengan menggunakan metode deduktif, dalam arti menginventarisasi, kemudian mengklasifikasi bahanbahan bacaan tersebut, akhirnya disusun secara sistematis dengan mengaitkan pengertian dari peraturan-peraturan yang ada hubungan dengan karya ilmiah para sarjana yang dapat diartikan melalui penafsiran sisitematis.
12
1.8 Sistematika Penulisan Berdasarkan rumusan permasalahan dalam penulisan ini maka penulisan dibagi dalam 4 (empat) Bab, sebagai tersebut di bawah ini. Bab I Pendahuluan, yang mendeskripsikan latar belakang masalah yang menjadi alasan penting mengapa kajian hukum ini dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan merumuskan permasalahan sebagai titik tolak kajian hukum ini, serta tujuan dan manfaat penelitian. Muraian tentang metode penelitian sebagai instrument kajian apakah langkahlangkah kajian dalam penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bab II Pengaturan Titip Sidang Dalam Perkara Tilang Pelanggaran Lalulintas Di Indonesia, yang berisikan mengenai pengaturan titip sidang dalam perkara tilang pelanggaran lalulintas di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bab III Pembuktian titip sidang dalam perkara tilang pelanggaran lalulintas di tinjau dari undang–undang no 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi, penjelasan mengenai penegakan hukum jika terjadi titip sidang dalam perkara tilang pelanggaran lalulintas di tinjau dari undang–undang no 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bab IV Penutup, merupakan bagian akhir dari penelitian yang terdiri dari bagian kesimpulan sebagai jawaban singkat atas rumusan masalah dan bagian saran sebagai sumbangan pemikiran masukan dalam khasanah hukum.
13
BAB II PENGATURAN TITIP SIDANG DALAM PERKARA TILANG PELANGGARAN LALU LINTAS DI INDONESIA
2.1. Pengaturan Titip Sidang Di Indonesia Pemeriksaan dengan acara cepat diatur dalam bagian keenam Bab XVI Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP).12 Ketentuan tentang acara pemeriksaan biasa berlaku pula pada pemeriksaan cepat dengan kekecualian tertentu, hal ini berdasarkan pasal 210 KUHAP yang menyatakan bahwa ” ketentuan dalam Bagian kesatu, Bagian kedua, dan Bagian ketiga ini ( bab 16) tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan paragraf ini “ Pemeriksaan cepat terbagi dalam dua paragraf : 1. Acara pemeriksaan tindak pidana ringan, termasuk delik yang diancam dengan pidana 2.
penjara atau kurungan lima ratus dan penghinaan ringan.
Acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan, termasuk perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang – undangan lalu lintas. 2.1.1. Acara pemeriksaan tindak pidana ringan. Undang – undang tidak menjelaskan mengenai tindak pidana yang termasuk dalam pemeriksaan secara ringan, melainkan hanya menentukan ” patokan ” dari segi ancamannya. Jadi, untuk menentukan suatu tindak pidana diperiksa dengan acara ringan bertitik tolak dari ancaman tindak pidana yang didakwakan. Adapun
12
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, 2000.
14
ancaman pidana yang menjadi ukuran acara pemeriksaan tindak pidana ringan diatur dalam pasal 205 ayat (1) yakni : a. Tindak pidana yang ancaman pidananya paling lama 3 bulan penjara atau kurungan, atau b. Denda sebanyak – banyaknya Rp. 7.500,00, dan c. Penghinaan ringan yang dirumuskan dalam pasal 315 KUHP Ancaman hukuman penghinaan ringan yang dirumuskan dalam pasal 315 KUHP adalah paling lama 4 bulan, Namun, Penghinaan ringan tetap termasuk ke dalam kelompok perkara yang diperiksa dengan acara pidana ringan, hal ini merupakan pengecualian dari ketentuan dalam pasal 205 ayat (1). Hal ini dapat dilihat dalam Penjelasan pasal 205 ayat (1) yang menyebutkan ; Tindak Pidana ringan ikut digolongkan perkara yang diperiksa dengan acara pidana ringan karena sifatnya ringan sekalipun ancaman pidana paling empat bulan. Dalam pemeriksaan perkara dengan acara ringan, Pengadilan Negeri menetukan hari – hari tertentu yang khusus untuk melayani pemeriksaan tindak pidana ringan. Mengenai hal ini diatur dalam pasal 206 KUHAP yakni hari tertentu dalam tujuh hari, hari – hari tersebut diberitahukan pengadilan kepada penyidik supaya mengetahui dan dapat mempersiapkan pelimpahan berkas perkara tindak pidana ringan. Penetapan hari ini dimaksudkan agar pemeriksaan dan penyelesaian tidak mengalami hambatan. Tata Cara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan Pada pemeriksaan tindak pidana ringan Penyidik langsung menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli, dan atau juru bahasa ke pengadilan atas
15
kuasa penuntut umum. Pelimpahan yang demikian merupakan penyimpangan dari ketentuan umum yang mengharuskan penyidik melimpahkan hasil pemeriksaan penyidikan kepada penuntut umum, dan untuk seterusnya penuntut umum yang berwenang melimpahkan ke pengadilan dalam kedudukannya sebagai aparat penuntut. Dengan adanya pasal 205 ayat (2) KUHAP, prosedur ketentuan umum ini dikesampingkan dalam perkara pemeriksaan tindak pidana ringan. Dengan kata lain, Penyidik mengambil alih wewenang penuntut umum, atau wewenang penuntut sebagai aparat penuntut umum dilimpahkan undang – undang kepada penyidik. Pelimpahan ini adalah ” Demi Hukum “, yang ditegaskan dalam penjelasan pasal 205 ayat (2) alinea 1 ; ” yang dimaksud dengan ‘ atas kuasa ‘ dari penuntut umum kepada penyidik adalah demi hukum “. Oleh karena itu pelimpahan ini berdasar ketentuan undang – undang, dengan demikian penyidik dalam hal ini bertindak atas ” kuasa undang – undang ” dan tidak memerlukan surat kuasa khusus lagi dari penuntut umum. Namun hal ini tidak mengurangi hak penuntut umum untuk menghadiri pemeriksaan sidang, berdasar penjelasan pasal 205 ayat (2) alinea 2 ; ” dalam hal penuntut umum hadir, tidak mengurangi nilai atas kuasa tersebut “. Dengan kata lain, tidak ada larangan oleh undang – undang penuntut umum menghadiri proses pemeriksaan, namun kehadirannya tidak mempunyai arti apa – apa, seperti pengunjung biasa tanpa wewenang apapun mencampuri jalannya pemeriksaan.13 Pasal 205 ayat (2)4 menegaskan dalam waktu tiga hari, terhitung sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat oleh penyidik, maka terdakwa, barang bukti, saksi ahli, dan juru bahasa dihadapkan ke pengadilan. Apakah tenggang waktu 3 hari ini merupakan batas minimum ?, undang – undang tidak menegaskan hal ini. Namun,
13
Soerodibroto, Soenarto. KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta ,2003.
16
berdasarkan pasal 146 ayat (2)5 dan penjelasan pasal 152 ayat (2)6; menegaskan bahwa panggilan terhadap terdakwa dan saksi harus diterima dalam jangka waktu sekurang – kurangnya 3 hari sebelum sidang dimulai. Dengan demikian tenggang waktu menghadapkan terdakwa dan saksi yang disebut dalam pasal 205 ayat (2) adalah batas minimum. Penyidik tidak dibenarkan menghadapkan terdakwa dan saksi dalam pemeriksaan dengan acara tindak pidana ringan kurang dari 3 hari sebelum sidang dimulai. Menghadapkan terdakwa dan saksi dalam waktu 1 atau 2 hari sebelum sidang dimulai, adalah bertentangan dengan jiwa yang terkandung dalam ketiga pasal diatas { pasal 205 ayat (2), jo pasal 146 ayat (2), jo penjelasan pasal 152 ayat (2). Dalam pasal 207 ayat (1) huruf b, ditegaskan bahwa semua perkara tindak pidana ringan yang diterima pengadilan hari itu, segera disidangkan pada hari itu juga. Ketentuan ini bersifat imperatif, karena dalam ketentuan ini terdapat kalimat ” harus segera ” disidangkan pada hari itu. Akan tetapi, dalam pasal ini tidak menyebut sanksi dan tidak mengatur tata cara penyelesaian tindak pidana ringan yang tidak disidangkan atau yang kebetulan tidak dapat disidangkan pada hari itu juga. Dalam hal kemungkinan tindak pidana ringan tidak dapat disidangkan pada hari itu juga, terdapat dua alternatif yang dapat ditempuh,14 yakni : 1. Perkara lengkap dan memenuhi syarat formal, maka hakim harus melaksanakan ketentuan pasal 207 ayat (1) huruf b, hakim harus menyidangkan pada hari itu juga, jika tidak maka kelalaian ini menjadi kesalahan dan tanggung jawab hakim. Dalam hal seperti ini hakim tidak dibenarkan mengembalikan berkas perkara kepada penyidik. Meskipun dengan alasan ketidakcukupan waktu. Hal yang dapat 14
Ibid.,
17
dilakukan oleh hakim adalah adalah ” mengundurkan ” atau ” menunda ” pemeriksaan secara resmi di sidang pengadilan, dan memerintahkan terdakwa dan saksi untuk menghadap pada hari sidang yang akan datang, walaupun cara ini sangat bertentangan dengan jiwa dan tujuan lembaga acara pemeriksaan tindak pidana ringan, yang harus diperiksa dan diputus dengan acara cepat. 2. Perkaranya tidak lengkap dan tidak memenuhi syarat formal, misalnya terdakwa dan saksi – saksi tidak lengkap atau panggilan tidak sah, maka ; (i) tanggungjawab berkas selama belum diregister masih tetap berada ditangan penyidik, (ii) untuk selanjutnya diajukan pada hari sidang yang akan datang. 3. Jika terdakwa tidak hadir tanpa alasan yang sah, putusan dijatuhkan secara verstek; berdasarkan pasal 214 ayat (2)7. Demikian penggarisan SEMA No. 9/1985 4. Jika saksi tidak hadir, tidak menghalangi pemeriksaan dan putusan dijatuhkan, keterangan saksi cukup dibacakan ( sejalan dengan jiwa pasal 2088 KUHAP ) Mengenai cara pemberitahuan sidang kepada terdakwa diatur dalam pasal 207 ayat (1) huruf a, yakni dilakukan : 1. Dengan pemberitahuan secara tertulis 2.
Pemberitahuan tertulis itu memuat tentang: hari, tanggal, jam, dan tempat sidang pengadilan
3. Catatan pemberitahuan bersama berkas dikirim ke pengadilan.
18
Hal ini berarti catatan pemberitahuan sidang dan berita acara pemeriksaan penyidik disatukan sebagai berkas yang dikirimkan ke pengadilan. Pemberitahuan dimaksudkan agar terdakwa dapat memenuhi kewajiban untuk datang ke sidang pengadilan pada hari, tanggal, jam, dan tempat yang ditentukan. Sedangkan mengenai cara pemanggilan saksi atau ahli yang tidak disebutkan dalam pasal ini, menurut Prof. Yahya Harahap berpedoman pada pasal 145 ayat (1), jo pasal 146 ayat (2) yang berarti pemanggilan saksi atau ahli berlaku aturan umum tentang tata cara pemanggilan menghadap ke sidang pengadilan sebagaimana yang diatur dalam bagian kesatu Bab XVI. Setelah pengadilan menerima perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan, hakim yang bertugas memeriksa perkara memerintahkan panitera mencatat dalam buku register. Berdasarkan penjelasan pasal 207 ayat (2) huruf a KUHAP ; ” oleh karena penyelesaiannya yang cepat maka perkara yang diadili menurut acara pemeriksaan cepat sekaligus dimuat dalam buku register dengan masing – masing diberi nomor untuk dapat diselesaikan secara berurutan “, maka untuk perkara – perkara yang tidak dapat disidangkan pada hari itu juga karena alasan perkaranya belum memenuhi syarat formal atau perkaranya tidak lengkap, sebaiknya jangan di register agar dapat dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi.
Akan tetapi,
jika menganut
pandangan
yang
memperbolehkan
pemeriksaan tindak pidana ringan dapat diputus dengan verstek ( pemeriksaan acara tindak pidana ringan dapat diputus di luar hadirnya terdakwa ), maka bisa langsung di register, karena hadir atau tidaknya terdakwa perkaranya dapat diputus. Sesuai dengan pasal 207 ayat (2) huruf b KUHAP, buku register perkara dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan memuat : nama lengkap, tempat lahir, umur ( tanggal lahir ), jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan
19
terdakwa, tindak pidana yang didakwakan. Karenanya pengajuan dan pemeriksaan perkara dengan cara tindak pidana ringan tanpa surat dakwaan, dalam hal ini surat dakwaan dianggap tercakup dalam catatan buku register. Alasan pembuat undang – undang mencukupkan register sebagai pengganti surat dakwaan, dapat dibaca dalam penjelasan pasal 207 ayat (2) huruf b yang berbunyi ; ” ketentuan ini memberikan kepastian di dalam mengadili menurut acara pemeriksaan cepat tersebut tidak diperlakukan surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum seperti untuk pemeriksaan dengan acara biasa, melainkan tindak pidana yang didakwakan cukup ditulis dalam buku register tersebut pada huruf a “ Untuk pemeriksaan dengan acara biasa Pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding { pasal 205 ayat (3) KUHAP }. Hal ini berarti jika tidak dijatuhkan pidana penjara atau kurungan, maka terpidana tidak dapat melakukan upaya hukum berikutnya yakni banding. Selain itu, saksi dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali hakim menganggap perlu ( pasal 208 KUHAP ) Pasal 209 ayat (2) KUHAP menyebutkan ; ” Berita acara pemeriksaan sidang tidak dibuat kecuali jika dalam pemeriksaan tersebut ternyata ada hal yang tidak sesuai dengan berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik “. Dengan demikian panitera tidak diwajibkan membuat berita acara sidang. Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan tanpa membuat berita acara sidang. Hal ini mungkin didasarkan pada tata cara pemeriksaan yang sifatnya adalah cepat atau expedited procedure, disamping perkaranya hanya tindak pidana ringan. Putusan dalam acara tindak pidana ringan tidak dibuat secara khusus dan tersendiri seperti putusan perkara dengan acara biasa. Putusan tersebut tidak dicatat
20
dan disatukan dalam berita acara sidang seperti yang berlaku dalam perkara pemeriksaan dengan acara singkat. Putusannya cukup berupa bentuk ‘ catatan ‘, yang sekaligus berisi amar putusan berbentuk ” catatan dalam daftar catatan perkara “. Adapun tata cara membuat putusan : 1. Hakim mencatat putusan dalam daftar catatan putusan, ini berarti dalam berkas perkara yang dikirimkan penyidik, telah tersedia daftar catatan perkara. Dalam daftar catatan itulah isi putusan dimuat, berupa catatan bunyi amar yang dijatuhkan 2. Panitera memuat catatan putusan dalam buku register, oleh panitera catatan putusan hakim yang dicatat dalam daftar catatan perkara, dicatat dalam buku register 3. Pencatatan putusan dalam buku register ditandatangani oleh hakim dan panitera, Menurut penjelasan pasal 209, pembuat undang – undang sengaja mengatur pembuatan berita acara dan bentuk putusan sedemikian rupa dalam pemeriksaan perkara dengan acara tindak pidana ringan, dimaksudkan untuk mempercepat penyelesaian perkara. Penjelasan ini pula memperingatkan agar jangan sampai mengurangi ‘ ketelitian ‘ hakim memeriksa dan memutus perkara yang diperiksa dengan acara tindak pidana ringan. Sedangkan mengenai sifat putusan dalam acara ini, disebutkan dalam pasal 205 ayat (3), yang menegaskan antara lain: ” pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir “, yang berarti : 1. Putusan pengadilan negeri bersifat putusan ” tingkat terakhir “
21
2. Karena itu putusan tersebut tidak dapat diajukan permintaan banding. Oleh karena sifat putusan merupakan putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir maka : 1. Upaya hukum banding dengan sendirinya tertutup 2. Upaya hukum yang dapat ditempuh terdakwamengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung, sebagai instansi yang berwenang memeriksa perkara putusan pidana yang dijatuhkan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung Namun sifat diatas tidak mencakup semua putusan, sesuai dengan ketentuan pasal 205 ayat (3): dalam hal dijatuhkan ” pidana perampasan kemerdekaan “, terdakwa dapat meminta banding, dengan demikian UU membedakan dua putusan dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan dalam dua kelompok ; 1. Putusan yang bersifat tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat diajukan permintaan banding; putusan yang bukan perampasan kemerdekaan,
misalnya
hanya
berupa
denda,
maka
tidak
diperkenankan mengajukan banding, Upaya hukum yang dapat ditempuh adalah kasasi 2. Putusan yang tidak bersifat tingkat pertama dan terakhir dan dapat diminta banding; putusan yang berupa perampasan kemerdekaan.
22
2.1.2. Acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas. Acara pemeriksaan ini diatur dalam paragraf 2 bagian keenam Bab XVI, sehingga dapat dikatakan acara ini merupakan lanjutan dari acara tindak pidana ringan. Walaupun keduanya diatur dalam bagian yang sama, namun terdapat ciri dan perbedaan diantara keduanya, a.n pada acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan; 1. Jenis perkara yang diperiksa tertentu, yakni khusus pelanggaran lalu lintas jalan 2. Terdakwa ” dapat diwakili “ 3. Putusan dapat dijatuhkan ” di luar hadirnya terdakwa “, dan terhadap putusan itu terdakwa dapat melakukan perlawanan dalam tenggang waktu 7 hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa Berdasarkan pasal 211 KUHAP, yang diperiksa menurut acara pemeriksaan ini ialah perkara tertentu terhadap peraturan perundang – undangan lalu lintas jalan. Maka , Perkara lalu lintas jalan adalah perkara tertentu terhadap pelanggaran peraturan perundang – undangan lalu lintas jalan “. Sedangkan ‘ perkara pelanggaran tertentu ‘ terhadap peraturan perundang – undangan lalu lintas jalan, diperjelas dengan penjelasan pasal 211 itu sendiri, sbb : a. Mempergunakan
jalan
dengan
cara
yang
dapat
merintangi,
membahayakan ketertiban atau keamanan lalu lintas, atau yang mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan
23
b. Mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan surat izin mengemudi ( SIM ), surat tanda nomor kendaraan, surat tanda uji kendaraan yang sah, atau tanda bukti lainnya yang diwajibkan menurut ketentuan peraturan perundang – undangan lalu lintas jalan atau ia dapat memperlihatkannya tetapi masa berlakunya sudah kedaluarsa c. Membiarkan atau memperkenankan kendaraan bermotor dikemudikan oleh orang yang tidak memiliki surat izin mengemudi d. Tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang – undangan lalu lintas jalan tentang penomoran, penerangan, peralatan, perlengkapan, pemuatan kendaraan, dan syarat penggandengan dengan kendara lain e. Membiarkan kendaraan bermotor yang ada di jalan tanpa dilengkapi plat tanda nomor kendaraan yang sah, sesuai dengan surat tanda nomor kendaraan yang bersangkutan f.
Pelanggaran terhadap perintah yang diberikan oleh petugas pengatur lalu lintas jalan, rambu – rambu atau tanda yang ada dipermukaan jalan
g. Pelanggaran terhadap ketentuan tentang ukuran dan muatan yang dizinkan, cara menaikkan dan menurunkan penumpang, dan atau cara memuat dan membongkar barang h. Pelanggaran terhadap izin trayek, jenis kendaraan yang diperbolehkan beroperasi di jalan yang ditentukan
24
Jika dala pemeriksaan perkara dengan acara ringan, penyidik membuat berita acara sekalipun berupa berita acara ringkas dalam perkara pelanggaran lalu lintas jalan, penyidik tidak perlu membuat berita acara pemeriksaan. Adapun proses pemeriksaan dan pemanggilan menghadap persidangan pengadilan : 1. Dibuat berupa catatan, bisa merupakan model formulir yang sudah disiapkan demikian oleh penyidik 2. Dalam formulir catatan itu penyidik memuat : a) pelanggaran lalu lintas yang didakwakan kepada terdakwa, b) sekaligus dalam catatan itu berisi pemberitahuan hari, tanggal, jam, tempat sidang pengadilan yang akan dihadiri terdakwa tanpa adanya hal – hal diatas maka pemberitahuan itu ” tidak sah “ Berdasarkan pasal 213 KUHAP, terdakwa dapat menunjuk seseorang untuk mewakilinya menghadap pemeriksaan sidang pengadilan. Ketentuan ini seolah – olah memperlihatkan corak pelanggaran lalu lintas jalan sama dengan proses pemeriksaan perkara perdata. Terdapat suatu ‘ quasi ‘ yang bercorak perdata dalam pemeriksaan perkara pidana, karena menurut tata hukum dan ilmu hukum umum, perwakilan menghadapi pemeriksaan sidang pengadilan, hanya dijumpai dalam pemeriksaan yang bercorak keperdataan. Ada beberapa hal yang terkandung dalam pasal 213 yang memperbolehkan terdakwa diwakili menghadap dan menghadiri sidang : 1. Undang – undang tidak mewajibkan terdakwa menghadap in person di sidang pengadilan ( selain sebagai Quasi perdata juga sebagai pengecualian terhadap asas in absentia ) 2. Terdakwa dapat menunjuk seseorang yang mewakilinya
25
3. Penunjukan wakil dengan surat. Ketentuan pasal 214 KUHAP, membenarkan pemeriksaan perkara dan putusan dapat diucapkan ” di luar hadirnya terdakwa “, ketentuan ini menunjukkan quasi perdata dalam perkara pidana serta merupakan penyimpangan dari asas in absensia. Adapun Proses pemeriksaan dan putusan di luar hadirnya terdakwa dalam pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan adalah sbb : apabila terdakwa atau wakilnya tidak datang, maka : 1. Pemeriksaan perkara dilanjutkan; tida perlu ditunda dan dimundurkan pada hari sidang yang akan datang. ketentuan ini bersifat imperatif dan bukan fakultatif. 2. Setelah pemeriksaan dilanjutkan putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa yang merupakan rangkaian yang tak terpisah dalam pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera disampaikan kepada terdakwa ( bunyi pasal 214 ayat 2 ). Hal ini berarti bahwa setelah putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa : 1. Panitera segera menyampaikan surat amar putusan kepada penyidik 2. Penyidik memberitahukan surat amar putusan kepada terpidana sesuai dengan tata cara pemberitahuan putusan yang diatur dan berpedoman pada pasal 227 ayat (2)9 3. Penyidik mengembalikan surat amar putusan yang telah diberitahukan itu kepada panitera
26
4. Kalau pemberitahuan amar surat putusan telah terbukti sah dan sempurna, panitera mencatat hal itu dalam buku register, jika belum sah panitera belum dapat mencatatnya dalam buku register, tetapi mengirimkan kembali surat amar putusan kepada penyidik, untuk diberitahukan kepada terpidana sebagaimana mestinya. Dalam proses perkara perdata, perlawanan terhadap putusan verstek disebut verzet, verzet dalam perdata hampir sama dengan proses perlawanan yang diatur dalam pasal 214 ayat (4); 1. Perlawanan diajukan ke pengadilan, tidak ditujukan kepada penyidik, melainkan langsung ke pengadilan yang menjatuhkan putusan verstek. 2. Verzet hanya dilakukan atas permapasan kemerdekaan, perlawanan tidak dapat diajukan untuk semua jenis putusan verstek, undang – undang membedakan dua jenis putusan diluar hadirnya terdakwa ; a) jenis putusan yang dapat diajukan perlawanan terhadapnya; hanya terhadap putusan ” perampasan kemerdekaan ” , b) jenis putusan tak boleh diajukan perlawanan ; semua jenis putusan diluar putusan “perampasan kemerdekaan “ Pasal 214 ayat (5) mengatur tentang waktu mengajukan perlawanan yakni 7 hari terhitung sejak putusan diberitahukan penyidik kepadanya. Apabila tenggang waktu tersebut lewat, maka dengan sendirinya ‘gugur’ hak terpidana mengajukan perlawanan. Apabila terpidana mengajukan perlawanan dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam pasal 214 ayat (5) maka menurut ketentuan pasal 214 ayat (6)
27
dengan sendirinya mengakibatkan putusan verstek menjadi gugur, dan perkara kembali kepada keadaan semula, seolah – olah perkara tersebut belum pernah diperiksa di sidang pengadilan. Status tedakwa sebagai terpidana pulih kembali menjadi terdakwa. Pada prinsipnya terhadap putusan perkara lalu lintas tidak dapat diajukan upaya banding. Hal ini ditegaskan dalam pasal 67 bahwa ” terhadap putusan pengadilan dalam acara cepat tidak dapat dimintakan banding “, inilah prinsip umum yang diatur dalam UU, namun terdapat pengecualian walaupun hanya terbatas untuk hal – hal yang sangat tertentu saja. bertitik tolak dari pasal 214 ayat (8), putusan yang dapat dibanding dalam pelanggaran lalu lintas hanya terhadap putusan yang : 1. Semula putusan dijatuhkan ” diluar hadirnya ” terdakwa, dan putusan itu berupa ” perampasan kemerdekaan ” terdakwa 2. Lantas atas putusan tersebut terdakwa mengajukan perlawanan sesuai dengan tenggang dan tata cara yang diatur dalam pasal 214 ayat (5) dan (6), 3. Akan tetapi dalam pemeriksaan kembali perkara tersebut, pengadilan tetap menjatuhkan putusan pidana perampasan kemerdekaan, terhadap putusan yang melalui proses verstek dan verzet ini terdakwa dapat mengajukan permintaan banding Berdasarkan ketentuan pasal 38 ayat (1), penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri, jika tidak penyitaan tersebut merupakan tindakan penyitaan yang tidak sah. Masalahnya adalah ketentuan ini menghambat tugas penegakan hukum bagi aparat penyidik dilapangan, sebab mereka harus bolak – balik ke pengadilan untuk meminta surat izin kepada ketua
28
PN. Namun berdasarka pedoman angka 10 lampiran keputusan Menteri Kehakiman No. 14-PW.07.03 tahun 1983, dihubungkan dengan pasal 4010 dan pasal 4111 KUHAP , dapat dikonstruksi tindakan penyitaan yang sah; 1. Apabila penyidik menemukan peristiwa pelanggaran lalu lintas di lapangan berarti penyidik berhadapan dengan peristiwa ” dalam keadaan tertangkap tangan “ 2. Dalam keadaan tertangkap tangan, dikategorikan ” dalam keadaan sangat perlu dan mendesak “, sehingga menurut rumusan pasal 38 ayat (2), sehingga memaksa penyidik harus segera bertindak sedemikian rupa mendesaknya sehingga penyidik tak mungkin lebih dahulu mendapat surat izin dari ketua PN. 3. Berpedoman pada ketentuan pasal 38 ayat (2), maka penyitaan wajib segera dilaporkan kepada ketua PN, jika tidak penyitaan tersebut tidak sah, Jika yang disita berupa SIM dan STNK maupun surat kendaraaan bermotor yang lain, pelaporan penyitaan cukup dilakukan pada surat pengantar pengiriman berkas – berkas perkara pelanggaran lalu lintas, sedangkan laporannya dalam bentuk laporan penyitaan kolektif, jadi tidak perlu dibuat laporan satu per satu. Mengenai pengembalian benda sitaan dalam acara pelanggaran lalu lintas jalan, di atur dalam pasal 215 KUHAP, dengan ketentuan sbb : 1. Pengembalian barang bukti segera dilakukan setelah putusan dijatuhkan
29
2. Dengan ketentuan, pengembalian barang sitaan baru dilakukan setelah terpidana ,memenuhi isi amar putusan, selama belum memenuhi amar putusan maka benda tersebut masih ditahan di pengadilan 3. Pengembalian benda sitaan dilakukan tanpa syarat 4. Yang dianggap paling berhak menerima pengembalian benda sitaan ialah pemilik yang sebenarnya 5. Dapat juga ditafsirkan, yang paling berhak adalah orang ” dari siapa benda itu disita “ 6. Bisa juga, orang yang dianggap paling berhak ialah ” pemegang terakhir ” atau orang terakhir menguasai benda tersebut. Dengan SEMA No. 22 tahun 1983,15 Mahkamah Agung memberi petunjuk tentang pengertian perkataan harus segera dilunasi : 1. Apabila terdakwa atas kuasanya hadir pada waktu putusan diucapkan, pelunasan harus dilakukan pada saat putusan diucapkan 2. Apabila terdakwa atas kuasanya tidak hadir pada waktu putusan diucapkan pelunasan dilakukan pada saat jaksa memberitahukan putusan kepada terpidana adapun bentuk putusan lalu lintas jalan adalah : 1. Berupa catatan yang dibuat hakim pada catatan atau formulir pemeriksaan yang disampaikan penyidik kepada pengadilan
15
Ibid.,h.43
30
2. Catatan putusan yang yang dijatuhkan itulah yang disebut ” surat amar putusan “ 3. Panitera mencatat isi amar putusan ke dalam register.
31
2.1.3. Prosedur Titip Sidang Tilang Di Indonesia Lalu lintas di dalam Undang-undang No 22 tahun 2009 (1) didefinisikan sebagai gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan, sedang yang dimaksud dengan Ruang Lalu Lintas Jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang yang berupa Jalan dan fasilitas pendukung. Tilang, singkatan dari Bukti Pelanggaran merupakan tindakan langsung terhadap pelanggaran lalu lintas yang menjadi salah satu bentuk penindakan pelanggaran lalu lintas yang dilakukan Polri. Penyelesaian atas pelanggaran itu berada dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang melibatkan kejaksaan dan pengadilan. Pelanggaran lalu lintas (tilang) merupakan kasus dalam ruang lingkup hukum pidana yang diatur dalam UU Nomor 22 tahun 2009 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas. Mengacu pada Pasal 211 KUHAP dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993, terdapat 28 jenis pelanggaran yang dapat dikenakan tilang.16 Termasuk wewenang peradilan dengan acara pemeriksaan lalu lintas adalah perkara-perkara lalu lintas yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 1992 yang sesuai dengan Penjelasan Umum KUHAP Pasal 211 dari huruf a s/d h, yaitu: a. Mempergunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi, membahayakan ketertiban atau keamanan lalu lintas atau yang mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan; b. Mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan Surat Izin mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Surat Tanda 16
Ibid.,h.78.
32
Uji Kendaraan yang sah atau tanda bukti yang diwajibkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan atau ia dapat memperlihatkan tetapi masa berlakunya sudah daluwarsa; c. Membiarkan atau memperkenankan kendaraan bermotor dikemudikan oleh orang yang tidak memilki SIM; d. Tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan lalu lintas jalan tentang penomoran,penerangan, peralatan, perlengkapan, pemuatan kendaraan, dan syarat penggandengan dengan kendaraan lain; e. Membiarkan kendaraan bermotor yang ada di jalan tanpa dilengkapi plat tanda nomor kendaraan yang sah, sesuai dengan STNK ybs; f.
Pelanggaran terhadap perintah yang diberikan oleh petugab pengatur lalu lintas jalan dan/ atau isyarat alat pengatur lalu lintas jalan, rambu-rambu atau tanda yang ada di permukaan jalan;
g. Pelanggaran terhadap ketentuan tentang ukuran dan muatan yang izinkan, cara menaikkan dan menurunkan penumpang, dan atau cara memuat dan membongkar barang; h. Pelanggaran terhadap izin trayek, jenis kendaraan yang diperbolehkan beroperasi di jalan yang ditentukan; Setelah Pelanggar dinyatakan bersalah karena melanggar Peraturan Lalu Lintas, oleh Petugas ( POLISI/POLANTAS) pelanggaran tersebut dicatat dalam Berita Acara Singkat yang namanya TILANG (BUKTI PELANGGARAN). Dalam Surat Tilang No. Reg. 6015171, pasal yang dilanggar oleh Togia. FSH. R adalah pasal 289 UU No. 22 Tahun 2009 tentang LLAJ, yang berbunyi “Setiap orang yang mengemudikan
33
Kendaraan Bermotor atau Penumpang yang duduk di samping Pengemudi yang tidak mengenakan sabuk keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (6) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah)”. Surat tilang yang menjadi objek analisis adalah kopian surat yang berwarna biru. Surat TILANG semuanya ada 5 ( lima) rangkap : a. Lembar 1 warna MERAH diperuntukan untuk pelanggar ( sidang di Pengadilan Negeri ) b. Lembar 2 warna BIRU diperuntukan untuk pelanggar ( bukti untuk bayar denda TILANG di Bank ). c. Lembar 3 warna HIJAU untuk arsip di Pengadilan Negeri. d. Lembar 4 warna KUNING untuk arsip di Kepolisian. e. Lembar 5 warna PUTIH untuk arsip di Kejaksaan Negeri Sistem tilang yang berlaku saat ini memberi tiga opsi bagi pelanggar. Seseorang bisa minta disidang di pengadilan, atau langsung bayar ke Bank Rakyat Indonesia, atau pilihan lain dititipkan kepada kuasa untuk sidang. Kuasa untuk sidang itu tidak lain adalah polisi. Pilihan-pilihan ini sudah berlangsung sama, sesuai Surat Keputusan Kepala Kapolri No.Pol: SKEP/443/IV/ 1998, tanggal 17 April 1998 (SK 1998).17
17
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50e0c615bcc54/prosedur-penitipan-uang-denda-
tilang
34
Apabila Pelanggar menghendaki untuk Datang sendiri ke Pengadilan untuk sidang maka kepadanya diberikan Surat TILANG warna Merah untuk menghadiri sidang di Pengadilan Negeri. Untuk Pelanggar yang karena kesibukannya tidak mungkin bisa hadir di Pengadilan untuk sidang dimaksud diberikan Surat TILANG warna Biru, kemudian datang ke BRI membayar Denda Tilang seperti yg tercantum di Surat TILANG, lalu kembali pada Petugas yang Menindak tadi dengan membawa resi Pembayaran Denda TILANG dari BRI, kemudian Barang Bukti yang disita bisa diambil lagi, dan berkas Tilang yang tadi diserahkan ke Bagian TILANG di Kantor Satlantas untuk dicatat di buku Besar Pelanggaran dan didistribusikan sesuai dengan peruntukannya tadi. Pada kasus ini, pelanggar bernama Togia. FSH. R menghadiri sendiri sidangnya, sehingga kepadanya diberikan surat yang berwarna merah.
35
2.1.3.1
Prosedur Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas
a. Penyidik/polisi tidak perlu membuat berta acara pemeriksaan (BAP), pelanggaran hanya dicatat sebagaimana dimaksud dalam pasal 207 Ayat (1) huruf a KUHAP dalam lembar kertas bukti pelanggaran/TILANG dan harus segera dilimpahkan kepada pengadilan negeri setempat selambat-lambatnya pada kesempatan hari sidang pertama berikutnya. Biasanya satu minggu setelah penangkapan tilang; b. Pelanggar/Terdakwa dapat hadir sendiri di persidangan atau dapat menunjuk seorang dengan surat kuasa mewakilinya (Pasal 213 KUHAP); c. Jika pelanggar/terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang yang telah ditentukan, maka perkaranya tetap diperiksa dan diputuskan tanpa hadirnya pelanggar (VERSTEK) (Pasal 214 Ayat (1) KUHAP); d. Dalam hal dijatuhkan putusan tanpa hadirnya terdakwa (verstek), surat amar putusan segera disampaikan oleh penyidik kepada terpidana, diserahkan kepada panitera untuk dicatat dalam buku register (Pasal 214 Ayat (3) KUHAP); e. Dalam hal putusan verstek berupa pidana penjara atau kurungan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan terhadap verstek (verzet), yang diajukan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan tersebut, dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa (Pasal 214 Ayat (4) (5) KUHAP); f.
Setelah
panitera
memberitahukan
kepada
penyidik
adanya
perlawanan/verzet, hakim menetapkan hari sidang untuk memeriksa kembali perkara
itu,
jika
putusan
36
setelah
verzet
tetap
berupa
pidana
penjara/kurungan, terhadap putusan itu dapat diajukan banding (Pasal 214 Ayat (8) KUHAP); Disudut kiri atas surat tilang terdapat kata “Pro Justitia”, arti dari “pro justitia” ini adalah demi hukum, dengan kata lain juga adalah demi Undang-Undang untuk menegakkan keadilan. Secara umum, surat tilang memuat : 1. Identitas pelanggar, yang terdiri dari : Nama, Jenis Kelamin,Alamat ,Pekerjaan, Pendidikan, Umur, Tempat tanggal Lahir. 2. Identitas mengenai surat – surat kelengkapan serta ciri – ciri kendaraan, terdiri dari : No. KTP, SIM Golongan, No. SIM, Sat Pas, Tanggal, Kendaraan nomor Polisi, Jenis, Merek, Nomor Rangka , Nomor Mesin 3. Tanggal serta tempat wilayah terjadinya pelanggaran 4. Identitas petugas 5. Pasal yang dilanggar 6. Denda sesuai pasal 7. Tanda tangan petugas dan pelanggar 8. Keberatan. 9. Barang Bukti Pada surat tilang yang menjadi objek analisis, hampir semua hal yang ada di surat tilang telah diisi. Hanya saja ada beberapa kolom yang tidak diisi. mengakibatkan surat tilang tersebut menjadi kurang sempurna.
37
Ini
Sementara itu, sesuai dengan pasal 16 Sub a dan e UU no. 2/2002 dan pasal 38 ayat (2) UU no. 8/1981 serta pasal 260 UU no. 22 tahun 2009 tentang LLAJ, barang yang dititipkan (ditahan sebagai jaminan) adalah surat ijin mengemudi (SIM). Dalam surat tilang ini, SIM A milik Togia. FSH. R adalah barang bukti yang hanya bisa diambil kembali setelah persidangan. Hal selanjutnya yang timbul adalah mengenai siapa yang akan hadir di persidangan. Sidang tilang Togia. FSH. R dilaksanakan tanggal 17 Februari 2012, dan ia tidak menguasakan kepada orang lain. Padahal, bisa saja ia menguasakan pada petugas khusus polantas karena surat tilang dapat berkedudukan sebagai surat kuasa. Hal ini sesuai dengan kesepakatan Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Polisi (Mahkejapol) . Menurut Buku Petunjuk Teknis Tentang Penggunaan Blanko Tilang (Lampiran SKEP KAPOLRI Skep/443/IV/ 1998)18, terdakwa berkewajiban untuk : 1. Menandatangani Surat Tilang (Lembar Merah dan Biru) pada kolom yang telah disediakan apabila menunjuk wakil di sidang dan sanggup menyetor uang titipan di Bank yang ditunjuk. 2. Menyetor uang titipan ke petugas khusus bila kantor Bank (BRI) yang ditunjuk untuk menerima penyetoran uang titipan terdakwa (pelanggar-red) tutup, karena hari raya/libur, dan sebagainya. 3. Menyerahkan lembar tilang warna biru yang telah ditandatangani/ dicap petugas kepada penyidik yang mengelola barang titipan tersebut. 4. Menerima tanda bukti setor dari petugas khusus (Polri) apabila peneyetor uang tititpan terpaksa dilakukan diluar jam kerja Bank (BRI). 18
Ibid.,
38
5. Menerima penyerahan kembali barang titipannya dari penyidik/petugas barang bukti/pengirim berkas perkara berdasarkan bukti setor dari petugas khusus atau lembaran tilang warna biru yang telah disyahkan oleh petugas Bank (BRI). 6.
Menerima penyerahan barang sitaannya dari petugas barang bukti setelah selesai
melaksanakan
vonis
hakim
(dengan
bukti
eksekusi
dari
Eksekutor/Jaksa dan melengkapi kekurangan-kekurangan lainnya (SIM, STNK/kelengkapan kendaraan) (bila memilih sidang).
2.1.3.2.
Pemidanaan dalam Sidang Acara Cepat Tilang
Pidana Denda, pasal 273 Ayat (1) KUHAP “jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan untuk membayar denda tersebut, kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat (Tipiring dan Lantas) yang harus seketika dilunasi”19, yang dalam SEMA No.22 Tahun 1983 disebutkan harus diartikan: 1. Apabila terdakwa atau kuasanya hadir, maka pada waktu putusan diucapkan, maka pelunasannya harus dilakukan pada saat putusan diucapkan; 2. Apabila terdakwa atau kuasanya tidak hadir pada waktu putusan diucapkan, maka pelunasannya harus dilakukan pada saat putusan diberitahukan oleh jaksa kepada terpidana;
19
Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan (Buku II), Cet.
II, 1997.
39
Pidana Kurungan, guna mendukung usaha POLRI menekan kecelakaan lalu lintas yang umumnya berawal dari pelanggaran lalu lintas, memberikan dampak yang lebih nyata terhadap kebutuhan masyarakat, dan timbulnya efek jera, SEMA No.3 Tahun
1989
mengamanatkan
untuk
memperhatikan
dan
memperhitungkan
penjatuhan pidana kurungan sebagaiman diatur dalam Pasal 32 Ayat (1) UU No.3 Tahun 1965 tentang LLAJR, terhadap pelanggaran lalu lintas tertentu, yaitu: 1. Pelanggaran berulang, yaitu pelanggaran yang dilakukan pengemudi dimana saat melanggar masih memegang formulir tilang atau form L.101/L.102 (menunggu proses peradilan); 2. Pelanggaran yang berbahaya, yang mengancam keamanan dan meresahkan pemakai jalan lainnya; 3. Pelanggaran oleh pengemudi angkutan umum, kendaraan bermotor yang membahayakan keselamatan penumpang dan barang; 4. Pelanggaran lalu lintas lain yang menurut pertimbangan hakim patut dijatuhi kurungan. Untuk mencegah kesulitan dalam eksekusi, setiap putusan mencantumkan pidana denda hendaknya selalu disertai dengan alternatif pidana kurungan penganti denda.
40
2.1.3.3.
Teknik Pemeriksaan Tilang di Persidangan
1. Sidang dipimpin oleh hakim tunggal dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum tanpa dihadiri Jaksa; 2. Terdakwa dipanggil masuk satu persatu, lalu diperiksa identitasnya; 3. Beritahukan/ jelaskan perbuatan pidan yang didakwakan kepda terdakwa dan pasal undang-undang yang dilanggarnya (dapat dilihat dari bunyi surat pengantar pelimpahan perkara Penyidik maupun dalam lembar surat tilang); 4. Hakim setelah menanyakan pelanggaran apa yang dilakukan terdakwa lalu mencocokkan dan memperlihatkan barang bukti (berupa SIM, STNK, atau ranmor) keada pelanggar; 5. Sesudah selesai, hakim memberitahukan ancaman pidana atas tindak pidana yang didakwakan kepda terdakwa; (hali ini dilakukan karena tidak ada acara tuntutan/ Requisitoir dari Jaksa Penuntut Umum) 6. Hakim harus memberi kesempatan bagi terdakwa untuk mengajukan pembelaan (atau permohonan) sebelum menjatuhkan putusan; 7. Selanjutnya hakim menjatuhkan putusannya berupa pidana denda atau kurungan yang besarnya ditetapkan pada hari sidang hari itu juga. Jika dihukum denda, maka harus dibayar seketika itu juga disertai pembayaran biaya perkara yang langsung dapat diterima oleh petugas yang mewakili kejaksaan sebagai eksekutor. Karena sesuai dengan Pasal 1 butir 6, Pasal 215, dan 270 KUHAP, pelaksanaan putusan dilaksanakan oleh Jaksa;
41
1. Pengembalian barang bukti dalam sidang acara cepat dapat dilakukan dalam sidang oleh hakim seketika setelah diucapkan putusan setelah pidana denda dan ongkos perkara dilunasi/dibayar. 2. Semua denda maupun ongkos perkara yang telah diputusakan oleh Hakim seluruhnya wajib segera disetorkan ke kas Negara oleh Kejaksaan selaku eksekutor.20
2.1.3.4. Proses Persidangan Sidang tilang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit. Daftarkan diri sebagai peserta sidang dengan menyerahkan kartu tilang ke loket panitia tilang. Setelah memberikan surat tilang ke loket dan memilih untuk ikut sidang, maka setelah itu akan mendapat kartu nomor urut. Ketika persidangan dimulai, setiap surat tilang yang dikumpulkan petugas dipanggil satu per satu. Kemudian didudukan dibangku terdakwa, dibacakan jumlah denda oleh hakim dan persidangan pun selesai. Di luar ruang sidang hanya tinggal membayar denda di loket pembayaran.
20
Soerodibroto, Soenarto, Op.cit., h.84
42
2.2. Pengaturan Tindak Pidana Korupsi Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam Bahasa Indonesia disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dan dalam Bahasa Sansekerta yang tertuang dalam Naskah Kuno Negara Kertagama arti harfiah corrupt menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang disangkut pautkan dengan keuangan.21 Korupsi di dalam Black’s Law Dictionary adalah “suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain”.22 Dalam pengertian lain, korupsi dapat pula dilihat sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip, artinya dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi, baik dilakukan oleh perorangan di sektor swasta maupun pejabat publik, menyimpang dari aturan yang berlaku.23 Hakekat korupsi berdasarkan hasil penelitian World Bank adalah ”An Abuse Of Public Power For Private Gains”24, penyalahgunaan kewenangan / kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Pengertian korupsi secara yuridis, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan, di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan undang-undang sebelumnya, yaitu
21 22 23 24
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, Cetakan Keempat, 1996, hlm. 115. Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, West Publishing, St. Paul Minesota, 1990. Vito Tanzi, Corruption, Governmental Activities, and Markets, IMF Working Paper, Agustus 1994. World Bank, World Development Report – The State in Changing World, Washington, DC, World
Bank,1997.
43
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negaara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan. Oleh karena itu, rumusannya dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, (sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). 2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang disuap) serta gratifikasi. (sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat(1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat(1) dan ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c, dan d, serta Pasal 12B ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Piddana Korupsi). 3. Kelompok delik penggelapan. (sebagaimana diatur dalam Pasal 8, Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). 4. Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij, extortion). (sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e dan huruf f Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). 5. Kelompok delik pemalsuan. (sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi).
44
6. Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan. (sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 12 huruf g dan huruf i Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Dari 6 (enam) kelompok delik di atas, hanya 1 (satu) kelompok saja yang memuat unsur merugikan negara diatur di dalam 2 pasal yaitu pasal 2 dan 3, sedangkan 5 kelompok lainnya yang terdiri dari 28 pasal terkait dengan perilaku menyimpang dari penyelenggara negara atau pegawai negeri dan pihak swasta. A. Sejarah Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui bebrapa masa perubahan perundang- undangan. Istilah korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan tahun 1957, yaitu dengan adanya Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angakatan Darat (Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut: 1. Masa Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari: a. Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat. Rumusan korupsi menurut perundang- undangan ini ada dua yaitu, tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk kepentingan
sendiri,
kepentingan
suatu
untuk badan
kepentingan yang
orang
langsung
atau
lain,
atau
tidak
untuk
langsung
menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian.25 Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari
25
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999). Penerbit Mandar Maju, Bandung 2001, halaman 13
45
suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan material baginya.26 b. Peraturan Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor 42/58). Peraturan tersebut diberlakukan untuk wilayah hukum Angkatan Laut.27 c. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang pembentukan badan yang berwenang mewakili negara untuk menggugat secara perdata orang- orang yang dituduh melakukan berbagai bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta Benda (PHB). c. Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan penyitaan harta benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil menunggu putusan dari Pengadilan Tinggi. d. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan darat Nomor PRT/PEPERPU/031/1958 serta peraturan pelaksananya. 2. Masa Undang- Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan,
dan
Pemeriksaan
Tindak
Pidana
Korupsi.28
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang- Undang Anti Korupsi, yang merupakan peningkatan dari berbagai peraturan. Sifat Undang- Undang ini masih 26
Ibid., h. 13-14 Jur. Andi Hamzah, Pemerantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005 28 Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit, halaman 15 27
46
melekat sifat kedaruratan, menurut pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS 1949.Undang- Undang ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1961.29 Dasar hukum dari munculnya peraturan di luar Kitab Undang- Undang hukum Pidana (KUHP) di atas adalah Pasal 103 KUHP. Di dalam pasal tersebut dinyatakan, “ Ketentuan- ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini 3. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4. Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387), tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150), tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137. TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga berlaku bagi perbuatan- perbuatan yang oleh ketentuan perundang- undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali oleh UndangUndang ditentukan lain.”30 Jadi, dalam hal ketentuan dalam peraturan perundang- undangan mengatur lain daripada yang telah diatur dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu bentuk aturan khusus telah mengesampingkan aturan umum (Lex Specialis Derogat Legi Generali). Dengan kata lain Pasal 103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan perundang- undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam
29
30
Evi Hartanti, op. Cit, halaman 22-23 Ibid, halaman 23
47
KUHP. Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya terdapat ketentuan- ketentuan yang mengancam dengan pidana orang yang melakukan delik jabatan, pada khususnya delik- delik yang dilakukan oleh pejabat yang terkait dengan korupsi.
Ketentuan- ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dibentuklah suatu peraturan perundang-undangan guna memberantas masalah korupsi, dengan harapan dapat mengisis serta menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada KUHP. Dengan berlakunya Undang- Undang 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan tindak Pidana korupsi, maka ketentuan Pasal 209 KUHP, Pasal 210 KUHP, Pasal 387 KUHP, Pasal 388 KUHP, Pasal 415, Pasal 416 KUHP, Pasal 417 KUHP, Pasal 418 KUHP, Pasal 419 KUHP, Pasal 420 KUHP, Pasal 423 KUHP, Pasal 425 KUHP, Pasal 434 KUHP dinyatakan tidak berlaku.31 Perumusan tindak pidana korupsi menutur pasal 2 ayat 1 Undang- undang Nomor 31 tahun 1999 adalah setiap orang (orang-perorangan atau korporasi) yang memenuhi unsur/elemen dari pasal tersebut. Dengan demikian, pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal ini adalah “Setiap Orang”, tidak ada keharusan Pegawai Negeri. Jadi, juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau korporasi, yang dapat berbentuk badan hukum atau perkumpulan. Adapun perbuatan yang dilakukan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi adalah sebagai berikut:32 1. Memperkaya diri sendiri, artinya bahwa perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri. 31
32
Ibid, Halaman 25 Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung, 2002, halaman 31.
48
2. Memperkaya orang lain, maksudnya akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya. Jadi, di sini yang diuntungkan bukan pelaku langsung. 3. Memperkaya korporasi, atau mungkin juga yang mendapat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka 1 undang- undang Nomor 31 Tahun 1999). Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak peraturan perundang- undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi. Diantaranya ada KUHP, Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi beserta revisinya melalui Undang- Undang Nomor 20 tahun 2001, bahkan sudah ada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002. Secara substansi Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur berbagai aspek yang kiranya dapat menjerat berbagai modus operandi tindak pidana korupsi yang semakin rumit. Dalam Undang- Undang ini tindak pidana korupsi telah dirumuskan sebagai tindak pidana formil, pengertian pegawai negeri telah diperluas, pelaku korupsi tidak didefenisikan hanya kepada orang perorang tetapi juga pada korporasi, sanksi yang dipergunakan adalah sanksi minimum sampai pidana mati, seperti yang tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 undang- undang tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah pula dilengkapi dengan pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut umumnya hingga hakim yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam segi pembuktian telah diterapkan pembuktian tebalik secara berimbang dan sebagai kontrol, undang- undang ini dilengkapi dengan Pasal 41 pengaturan mengenai peran serta masyarakat, kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 71 Tahun
49
2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu pengaturan tindak pidana korupsi dilakukan melalui kerja sama dengan dunia Internasioanal. Hal ini dilakukan dengan cara menandatangani konvensi PBB tentang anti korupsi yang memberikan peluang untuk mengembalikan aset- aset para koruptor yang di bawa lari ke luar negeri. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia akan diuntungkan dengan penanda tangan jonvensi ini. Salah satu yang penting dalam konvensi inia adalah adanya pengaturan tentang pembekuan, penyitaan dari harta benda hasil korupsi yang ada di luar negeri.33
B. Bentuk Tindak Pidana Korupsi, Subyek, dan Pertanggungjawaban dalam Delik Korupsi
Dalam praktek kita mengenal dua bentuk korupsi diantaranya Administrative Coruption, di mana segala sesuatu yang dijalankan adalah sesuai dengan hukum/ peraturan yang berlaku. Akan tetapi, individu- individu tertentu memperkaya dirinya sendiri. Misalnya dalam hal proses rekruitmen pegawai negeri, di mana dilakukan ujian seleksi mulai dari seleksi administratif sampai ujian pengetahuan atau kemampuan. Akan tetapi. Yang harus diluluskan sudah tertentu orangnya. Selain itu ada juga yang disebut dengan Against the rule corruption, artinya korupsi yang dilakukan adalah sepenuhnya bertentangan dengan hukum. Misalnya penyuapan, penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Di masa orde lama masalah korupsi ini diperangi dengan Peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958, yang diumumkan pada tanggal 16 April 1958 dan disiarkan dalam Berita Negara nomor 40 Tahun 1958. 33
Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Penerbit Penaku bekerjasama dengan Maharini Press, Jakarta 2008, halaman 49-50.
50
Subjek delik korupsi menurut Martiman Prodjohamidjojo dalam Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999, terbagi dalam dua kelompok, yang kedua-duanya jika melakukan perbuatan pidana diancam sanksi. Pelaku ataupun subjek delik tersebut adalah manusia, korporasi, pegawai negeri, dan setiap orang.34 Ada beberapa perumusan delik dalam tindak pidana korupsi diantaranya adalah:35 Perumusan tindak pidana korupsi menurut pasal 2 ayat 1 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah setiap orang (orang- perorangan atau korporasi) yang memenuhi unsur/ elemen dari pasal tersebut.dengan demikian, pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal ini adalah “Setiap orang”, tidak ada keharusan Pegawai Negeri. Jadi, juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau korporasi, yang dapat berbentuk badan hukum atau perkumpulan. Adapun perbuatan yang dilakukan menurut elemen ini adalah:36 1. Memperkaya Diri atau Orang Lain Secara Melawan Hukum 2. Melakukan Perbuatan Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau Korporasi a. Memperkaya diri sendiri, artinya dengan perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri. b. Memperkaya orang lain, yaitu akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku ada
orang
lain
yang
menikmati
bertambahnya
kekayaannya
atau
bertambahnya harta bendanya. Jadi yang diuntungkan bukan pelaku langsung. c. Memperkaya korporasi, atau mungkin juga mendapat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporsi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekeyaan yang terorganisasi, 34
Evi Hartanti, op.cit halaman 21 Darwan Prinst, Op. Cit, halaman 29-32 36 Darwan Prinst, op.cit halaman 10-11 35
51
baik merupakan badan hukum maupun badan hukum (pasal 1 angka 1 Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999).
3. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
52
Apabila perbuatan itu dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, perbuatan pidana sudah selesai dan sempurna dilakukan. Adapun yang dimaksud dengan keugangan neagar adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat, lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Hukumannya adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,- dan paling banyak Rp.1.000.000.000,Delik dalam pasal 3 (penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana), yang pertama sekali perlu dipahami, bahwa pelaku tindak pidana menurut pasal 3 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 ini adalah setiap orang, yakni orang perorangan dan korporasi yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya.37 Pertanggungjawaban pidana dalam delik korupsi lebih luas dari hukum pidana umum. Hal itu nyata dalam hal, kemungkinan penjatuhan pidana secara in absentia (pasal 23 ayat 1 sampai ayat 4 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1971, pasal 38 ayat 1,2,3 dan 4 UU Tindak Pidana Korupsi 1990). Perampasan barang- barang yang telah disita bagi terdakwa yang telah meninggal dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi (pasal 23 ayat 5 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1971, pasal 38 ayat 5 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1999), bahkan kesempatan banding tidak ada. Perumusan delik dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1971 yang sangat luas 37
Ibid, halaman 33
53
ruang lingkupnya, terutama unsur ketiga pada pasal 1 ayat 1 sub a dan b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1971, pasal 2 dan 3 UU pemberantasan tindak pidana Korupsi 1999. Penafsiran kata “menggelapkan” pada delik penggelapan (pasal 415 KUHP) oleh Yurisprudensi baik di Belanda maupun di Indonesia sangat luas. Uraian mengenai perluasan pertanggungjawaban pidana tersebut di atas dilanjutkan di bawah ini, pasal ini diadopsi menjadi pasal 8 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2001).38
C. Jenis Penjatuhan Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi Menurut UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 Berdasarkan ketentuan Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut: a. Terhadap orang yang melakukan tindak pidana korupsi 1. Pidana Mati, baik berdasarkan pasal 69 KUHP, UU PTPK maupun berdasarkan hak tertinggi manusia pidana mati adalah pidana terberat karena pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup manusia yang merupakan hak asasi manusia yang utama. Selain itu, tidak dapat dikoreksi atau diperbaiki eksekusi yang telah terjadi apabila dikemudian hari ditemukan kekeliruan. Untuk itu hanya perbuatan pidana yang benar- benar berat yang diancam oleh pidana mati. Dan setiap pasal yang mencantumkan pidana mati selalu disertai alternatif pidana lainnya sehingga hakim tidak disertai merta pasti menjatuhkan hukuman mati kepada pelanggar pasal yang diancam pidana mati. Misalnya pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana
38
Jur. Andi hamzah, op.cit, halaman 93 31
54
sementara paling lama 20 tahun sebagaimana tercantum dalam pasal 340 KUHP, prinsip ini juga diikuti UU lain termasuk UU PTPK.39 Di dalam UU No.31 Tahun 1999 hanya terdapat tindak pidana yang diancam mati yaitu pasal 2 ayat 2. Pidana mati di sini “dapat diancam apabila tindak pidana yang diatur pada ayat 2 beserta penjelasannya. Keadaan tertentu dijelaskan dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku, pada waktu terjadi bencana nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi atau moneter. 2. Pidana Penjara, merupakan perampasan kemerdekaan yang merupakan hak dasar diambil secara paksa. Mereka tidak bebas pergi ke mana saja dan tidak dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial sesuai yang ia kehendaki. Namun, waktu
pemidanaannya
dipergunkan
demi
kepentingan
reclassering
(Pemasyarakatan atau pembinaan). Pengaturan pidana penjara menurut KUHP adalah sebagai berikut: - Seumur hidup (tanpa minimal atau maksimal). Sementara dengan waktu paling pendek satu hari dan paling lama 15 tahun sesuai pasal 12 ayat 2 KUHP. Pidana penjara dapat melewati batas maksimum umum yaitu 15 tahun menjadi hingga 20 tahun dalam hal: - Hakim boleh memilih antara pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau penjara sementara 20 tahun. - Hakim boleh memilih antara pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara 20 tahun. Universitas Sumatera Utara - Ada pemberatan umum yaitu, concursus / pembarengan yang diatur dalam pasal 65 hingga pasal 70, reseidve / pengulangan yang diatur dalam pasal 486 hingga pasal 488, pasal 39
Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi, Penerbit Solusi Publishing, Jakarta 2010,
halaman 7.
55
52 mengenai pengalahgunaan wewenang jabatan, dan pasal 52a tentang menyalahgunakan bendera RI. - Ada pemberatan khusus, seperti pasal 355 jo pasal 356 mengenai penganiayaan seorang anak terhadap ibu kandungnya. Semua tindak pidana yang diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diancam dengan pidana penjara baik penjara seumur hidup maupun sementara. Pidana penjara seumur hidup terdapat dalam pasal 2 ayat 1,3,12,12B ayat 2. Pidana penjara sementara diancam dengan batas maksimum dan batas minimum. Batas minimum ditentukan dalam pasal- pasal dalam UU ini sebagai salah satu upaya dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Pidana penjara sementara berkisar antara 1 tahun hingga 20 tahun. Pidana 20 tahun sebagai alternatif penjara seumur hidup.40 3. Pidana Tambahan41 a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barangbarang tersebut. b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak- banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. c. Penuntupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 tahun. d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak- hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. 40 41
Ibid, halaman 7- 9 Evi Hartantai, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta 2008, halaman 14-15
56
e. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. f.
Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1999 dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
4. Gugatan Perdata kepada ahli warisnya, dalam hal ini terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan disidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya.42 5. Terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh atas nama suatu korporasi, di mana pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimum ditambah 1/3. Penjatuhan pidana ini melalui prosedural ketentuan pasal 20 ayat 1-66 Undang- Undang Nomor 31 tahun 1999 adalah sebagai berikut:43 a. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi atau pengurusnya. b. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang- orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama- sama. 42 43
Ibid.,h.15 Ibid., h.15
57
c. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain. d. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan. e. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka pengadilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.Tindak pidana korupsi dapat digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu tindak pidana korupsi murni dan tindak pidana tidak murni. Tindak pidana murni dalam perumusanya memuat norma dan sanksi sekaligus. Adapun tindak pidana tidak murni dalam perumusannya hanya memuat sanksi saja, sedangkan normanya terdapat dalam KUHP. Adanya pembedaan ancaman pidana baik penjara maupun denda sesuai bobot delik termasuk kualifikasinya dalam UU Pemberantasan Tindak pidana Korupsi Tahun 1999. Dengan demikian, ada yang diancam dengan pidana penjara maksimum seumur hidup (pasal 2), dan denda maksimum satu milyar.44 Berdasarkan ketentuan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, maka penjatuhan hukuman menurut beberapa pasal yaitu, pada pasal 5 yang rumusannya diadopsi dari pasal 209 KUHP, ancaman penjaranya turun menjadi maksimum lima tahun, tetapi dendanya masih menjadi 250 juta rupiah. Pada pasal 6 rumusannya diadopsi dari pasal 210 KUHP (menyuap hakim, pidana penjaranya turun menjadi maksimum lima belas tahun, tetapi dendanya naik menjadi 750 juta rupiah. Pada pasal 7 yang rumusan deliknya diadopsi dari pasal 387 dan 44
Jur. Andi Hamzah, Op.cit, halaman 111
58
388, ancaman pidana penjaranya juga turun menjadi maksimum tujuh tahun, tetapi dendanya naik manjadi maksimum 350 juta rupiah.45 Pada pasal 8 UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, “ dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit 150 juta rupiah dan paling banyak 750 juta rupiah, pidana denda pada pasal 11sama hal nya dengan pasal 8 yang membedakannya hanya denda pidanya yaitu 1 tahun dan paling lama 5 tahun. Dalam pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan pidana denda paling sedikit 50 juta rupiah dan paling banyak 250 juta rupiah. Pemidanaan
pada
pasal
10
UU
Nomor
21
Tahun
2001
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah pidana penjara paling sedkit 2 tahun dan paling lama 7 tahun dengan denda paling sedikit 100 juta rupiah dan paling banyak 350 juta rupiah. Pada pasal 12 dapat dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak satu milyar.
45
Ibid, halaman 111-112
59
2.3. Asas Pembuktian
Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian, akan tetapi banyak ahli hukum yang berusaha menjelaskan tentang arti dari pembuktian. Membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa.46
Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.47 Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.48 Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alatalat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.49
46
Subekti. (2001). Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramitha, hal. 1
47
Martiman Prodjohamidjojo. (1984). Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Pradnya Paramitha, hal. 11 48 Darwan Prinst. (1998). Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta: Djambatan, hal. 133 49 M.Yahya Harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 273
60
Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.50 2.3.1. Prinsip-Prinsip Pembuktian a. Hal-hal yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau disebut dengan istilah notoire feiten. Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi dua golongan, yaitu: 1. Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian.Yang dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal dari perak. yang dimaksud dengan peristiwa misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari Kemerdekaan Indonesia. Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk.51
b. Kewajiban seorang saksi Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: “Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke
10
50
Hari Sasangka dan Lily Rosita. (2003). Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju , hal.
51
Hari Sasangka dan Lily Rosita, op.cit.,hal.20
61
suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku, demikian pula dengan ahli. c. Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis) Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Menurut KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: “Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”. Jadi, ini berarti satu saksi, satu keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk, atau keterangan terdakwa disertai keyakinan hakim cukup sebagai alat bukti untuk memidana terdakwa dalam perkara cepat.52 d. Pengakuan
terdakwa
tidak
menghapuskan
kewajiban
penuntut
umum
membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip “pembuktian terbalik” yang tidak dikenal oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”. e. Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”. Ini berarti apa yang
52
M. Yahya Harahap, op.cit.,hal. 267
62
diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri. Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya.53
2.3.2. Teori-Teori atau Sistem Pembuktian Ada beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu antara lain: a. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time) Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian “keyakinan” hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada. Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali. Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan
kepercayaan
kepada
hakim,
kepada
kesan-kesan
perseorangan sehingga sulit untuk melakukan pengawasan. Hal ini terjadi
53
Ibid., hal. 321
63
di praktik Peradilan Prancis yang membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak mengakibatkan putusan bebas yang aneh.54 b. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (Conviction In Raisone)
Sistem
pembuktian
Conviction
In
Raisone
masih
juga
mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis. Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus dilandasi oleh “reasoning” atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus “reasonable” yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas. c. Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk Bewijstheori) Sistem
ini
ditempatkan
berhadap-hadapan
dengan
sistem
pembuktian conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa 54
A. Minkenhof, hal. 219, dikutip Andi Hamzah. (1985). Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 241
64
bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa. Teori positif wetteljik sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan. Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benarbenar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang kelemahannya terletak bahwa dalam sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formal, oleh karena itu sistem pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Positief wettelijk bewijstheori systeem di benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka; dalam hal ini hakim hanya merupakan alat perlengkapan saja.55 d. Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel) 55
D. Simons. (1952). Beknopte handleiding tot het wetboek van strafvordering, Haarlem, de Erven F. Bohn,
hal.114
65
Sistem pembuktian negatief wettelijk terletak antara dua sistem yang berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan sistem pembuktian conviction intime. Artinya hakim hanya boleh menyatakan
terdakwa
bersalah
melakukan
tindak
pidana
yang
didakwakan apabila ia yakin dan keyakinannya tersebut didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam sistem negatif wetteljik ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni: pertama, Wettelijk yaitu adanya alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang dan kedua, Negatif, yaitu adanya keyakinan (nurani) dari hakim, sehingga berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa. Antara alat-alat bukti dengan keyakinan diharuskan adanya hubungan causal (sebab akibat). Meskipun terdakwa telah terbukti menurut cara dan dengan alatalat bukti sah menurut undang-undang, akan tetapi bila hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, maka ia dapat saja membebaskan terdakwa. Sebaliknya
bila
hakim
yakin
akan
kesalahan
terdakwa,
tetapi
keyakinannya tidak didasarkan atas alat-alat bukti sah menurut undangundang, maka hakim harus menyatakan kesalahan terdakwa tidak terbukti. Sistem inilah yang dipakai dalam sistem pembuktian peradilan pidana di Indonesia.
66
2.3.3. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti Keterangan Terdakwa 1. Dasar Hukum Alat Bukti Keterangan terdakwa a. Keterangan terdakwa (Pasal 184 huruf e dan Pasal 189 KUHAP). Alat bukti keterangan terdakwa diatur secara tegas oleh Pasal 189 KUHAP, sebagai berikut: 1) Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. 2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. 3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. 4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
b. Pemeriksaan terdakwa Pemeriksaan
terdakwa
diatur
dalam
pasal
175-178
KUHAP, antara lain: Pasal 175 berbunyi: “Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepaadanya, hakim ketua 67
sidang
menganjurkan
untuk
menjawab
dan
setelah
itu
pemeriksaan dilanjutkan.” Pasal 176 berbunyi: “Jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patutsehingga menggangu ketertiban sidang, hakim ketua sidang menegurnya dan jika teguran itu tidak diindakan ia memerintahkan suapaya terdakwa dikeluarkan dari sidang, kemudian pemeriksaan sidang dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa. Dalam hal terdakwa secara terus-menerus
bertingkahlaku
mengganggu
ketertiban
yang
sidang,
tidak hakim
patut ketua
sehingga sidang,
mengusahakan upaya sedemikian rupa sehingga putusan tetap dapat dijatuhkan dengan hadirnya terdakwa.”
Pasal 177 berbunyi: “jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, haki ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan. Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara ia tidak boleh pula menjadi juru bahasa dalam perkara itu.” Pasal 178 berbunyi: “Jika terdakwa atau saksi bisu dan/atau tuli serta tidak dapat
menulis,
hakim
ketua
sidang
mengangkat
sebagai
penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu. Jika terdakwa atau saksi bisu dan /atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan
68
atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepadanya terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan.”
2. Pengertian Terdakwa dan Tersangka. Menurut Pasal 1 butir 15 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terdakwa adalah seorang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. Terdakwa adalah orang yang karena perbuatan atau keadaannya berdasarkan alat bukti minimal didakwa melakukan tindak pidana kemudian dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.56Dari rumusan di atas dapat disimpulkan, bahwa unsurunsur dari terdakwa adalah: a. Diduga sebagai pelaku suatu tindak pidana; b. Cukup alasan untuk melakukan pemeriksaan atas dirinya di depan sidang pengadilan; c. orang yang sedang dituntut, ataupun d. Sedang diadili di sidang pengadilan.57
Tersangka akan berubah tingkatannya menjadi terdakwa setelah ada bukti lebih lanjut yang memberatkan dirinya dan perkaranya sudah mulai disidangkan di Pengadilan. Kedudukannya harus dipandang sebagai subjek dan tidak boleh diperlakukan sekehendak hati oleh aparat penegak hukum karena ia dilindungi oleh serangkaian hak yang diatur dalam KUHAP. Tersangka sendiri 56 57
Adnan Paslyadja. (1997). Hukum Pembuktian, Jakarta: Pusat Diktat Kejaksaan Republik Indonesia, hal. 69 Darwan Prinst, op.cit., hal.14-15
69
menurut Pasal 1 butir 14 KUHAP adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
3. Pengertian Alat Bukti Keterangan Terdakwa
Alat bukti keterangan terdakwa diatur secara tegas oleh Pasal 189 KUHAP, sebagai berikut: a. Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. b. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri c. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP di atas, keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Sehingga secara garis besar keterangan terdakwa adalah: 1. apa yang terdakwa "nyatakan" atau "jelaskan" di sidang pengadilan, 2. apa yang dinyatakan atau dijelaskan itu ialah tentang perbuatan yang terdakwa lakukan atau mengenai yang ia ketahui atau yang
70
berhubungan dengan apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang sedang diperiksa.58
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat sah keterangan terdakwa harus meliputi: a. Apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan. b. Pernyataan terdakwa meliputi:
(1) Yang terdakwa lakukan sendiri, (2) Yang terdakwa ketahui sendiri, (3) Yang terdakwa alami sendiri.
Pasal 184 ayat (1) KUHAP mencantumkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang kelima atau terakhir setelah alat bukti petunjuk. Hal ini berbeda dengan HIR yang menempatkan keterangan terdakwa pada urutan ketiga di atas petunjuk, hanya saja dalam HIR "keterangan terdakwa" seperti dimuat pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, menurut Pasal 295 butir 3 HIR disebut "pengakuan tertuduh". Perbedaan kedua istilah ini ditinjau secara yuridis, terletak pada pengertian "keterangan terdakwa" yang sedikit lebih luas dari istilah "pengakuan tertuduh", karena pada istilah "keterangan terdakwa" sekaligus meliputi "pengakuan" dan "pengingkaran", sedangkan dalam istilah "pengakuan tertuduh", hanya terbatas pada pernyataan pengakuan itu sendiri tanpa mencakup pengertian pengingkaran. 59 Sehingga dapat dilihat dengan jelas bahwa “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti 58
M. Yahya Harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 319 59 Ibid, hal.318
71
tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan.60
sedangkan alasan
ditempatkannya keterangan terdakwa pada urutan ketiga diatas petunjuk dalam HIR, karena suatu petunjuk dapat diperoleh dari keterangan terdakwa, maka dalam hal yang demikian petunjuk hanya bisa diperoleh setelah lebih dahulu memeriksa terdakwa.
4. Asas Penilaian Keterangan Terdakwa Sudah tentu tidak semua keterangan terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang sah. Untuk menentukan sejauh mana keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, diperlukan beberapa asas sebagai landasan berpijak, antara lain: a. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan Keterangan yang diberikan di persidangan adalah pernyataan berupa penjelasan yang diutarakan sendiri oleh terdakwa dan pernyataan yang berupa penjelasan atau jawaban terdakwa atas pertanyaan dari ketua sidang, hakim anggota, dan penuntut umum atau penasihat hukum. b. Tentang perbuatan yang terdakwa lakukan, ketahui, atau alami sendiri Pernyataan terdakwa meliputi: 1) Tentang perbuatan yang terdakwa lakukan sendiri. Terdakwa sendirilah yang melakukan perbuatan itu, dan bukan orang lain selain terdakwa. 2) Tentang apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa. 60
Andi Hamzah. (1997). Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 69
72
Terdakwa
sendirilah
yang
mengetahui
kejadian
itu.
Mengetahui disini berarti ia tahu tentang cara melakukan perbuatan itu atau bagaimana tindak pidana tersebut dilakukan. Bukan berarti mengetahui dalam arti keilmuan yang bersifat pendapat, tetapi semata-mata pengetahuan sehubungan dengan peristiwa pidana yang didakwakan kepadanya. 3) Tentang apa yang dialami sendiri oleh terdakwa. Terdakwa sendirilah yang mengalami kejadian itu, yaitu pengalaman dalam hubungannya dengan perbuatan yang didakwakan. Namun apabila terdakwa menyangkal mengalami kejadian itu, maka penyangkalan demikian tetap merupakan keterangan terdakwa. 4)
Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya sendiri.
Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan dalam kedudukannya sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan terdakwa hanya mengikat kepada dirinya sendiri. Dengan kata lain keterangan terdakwa yang satu tidak boleh dijadikan alat bukti bagi terdakwa lainnya.61 5. Keterangan Terdakwa Saja Tidak Cukup Membuktikan Kesalahannya Asas ini ditegaskan dalam Pasal 189 ayat (4); "Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain". 61
Op. Cit., hal. 320-321
73
Pada hakikatnya asas ini hanya merupakan penegasan kembali prinsip batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pasal 183 KUHAP telah menentukan asas pembuktian bahwa untuk menjatuhkan hukuman pidana terhadap seorang terdakwa, kesalahannya harus dapat dibuktikan; “dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah”.62 6. Keterangan Terdakwa di Luar Sidang (The Confession Outside the Court) Salah satu asas penilaian yang menentukan sah atau tidaknya keterangan terdakwa sebagai alat bukti adalah bahwa keterangan itu harus diberikan di sidang pengadilan. Dengan asas ini dapat disimpulkan, bahwa keterangan terdakwa yang dinyatakan di luar sidang pengadilan sama sekali tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti sah. Walaupun keterangan terdakwa yang dinyatakan di luar sidang pengadilan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti, namun menurut ketentuan Pasal 189 ayat (2) KUHAP, keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat dipergunakan untuk "membantu" menemukan alat bukti di sidang pengadilan, dengan syarat keterangan di luar sidang didukung oleh suatu alat bukti yang sah, dan keterangan yang dinyatakan di luar sidang sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepada terdakwa.63Bentuk keterangan yang dapat dikualifikasi sebagai keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang ialah: a. keterangan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan, b. dan keterangan itu itu dicatat dalam berita acara penyidikan, c. serta berita acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa.
62 63
Op.Cit., hal. 322 Op.Cit., hal. 323
74
Kualifikasi di atas sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat (1) huruf a jo. Ayat (3) KUHAP. 7. Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Terdakwa
Secara umum dapat dikatakan bahwa undang-undang tidak dapat menilai keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang memiliki nilai pembuktian yang sempurna, mengikat, dan menentukan. Namun demikian, keterangan terdakwa tetap memiliki pengaruh terhadap proses persidangan. Adapun nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan terdakwa dapat dirumuskan sebagai berikut: a) Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan terdakwa, dan hakim bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung di dalam keterangan terdakwa. Hakim dapat menerima atau menyingkirkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan
alasan-alasan
disertai
dengan
argumentasi
yang
proporsional dan akomodatif. b) Harus memenuhi batas minimum pembuktian "Sebagaimana ketentuan Pasal 189 ayat (4) yang menyebutkan, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain". Dari ketentuan ini jelas dapat disimak keharusan mencukupkan alat bukti keterangan terdakwa dengan sekurang-kurangnya satu lagi alat bukti yang lain, sehingga mempunyai nilai pembuktian yang cukup. Penegasan Pasal 189 ayat (4) KUHAP, sejalan dan mempertegas asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, yang
75
menegaskan, bahwa tidak seorang terdakwa pun dapat dijatuhi pidana kecuali jika kesalahan yang didakwakan kepadanya telah dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. c) Harus memenuhi asas keyakinan hakim Sekalipun kesalahan terdakwa telah terbukti sesuai dengan asas batas minimum pembuktian, tetapi masih perlu dibarengi dengan "keyakinan hakim", bahwa memang terdakwa yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Asas keyakinan hakim harus melekat pada putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 KUHAP yaitu "pembuktian menurut undang-undang secara negatif". Artinya, di samping dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah, maka dalam pembuktian yang cukup tersebut harus dibarengi dengan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.64 Ketentuan yang terkait dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa sebagaimana yang diutarakan di atas masih dapat ditambah dengan rumusan sebagai berikut: 1) Keterangan terdakwa yang diberikan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri, merupakan alat bukti keterangan terdakwa yang sah menurut undangundang. 2) Keterangan terdakwa sekalipun bersifat pengakuan atas perbuatan pidana yang didakwakan, tetapi tidak didukung dengan alat bukti sah lainnya, tidak cukup untuk menyatakan terdakwa telah bersalah
64
Op.cit., hal. 332-333.
76
melakukan perbuatan yang didakwakan karena tidak memenuhi batas minimumnya pembuktian. 3) Penyangkalan terdakwa melalui alat bukti lain dapat dibuktikan sebagai kebohongan dapat diterima sebagai alat bukti petunjuk. 4) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang mengenai hal yang didakwakan sepanjang bersesuaian dengan alat bukti sah lainnya dapat berupa alat bukti petunjuk, setidak-tidaknya dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang.
77
78
BAB III PEMBUKTIAN TITIP SIDANG DALAM PERKARA TILANG LALU LINTAS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI
3.1. Asas Pembuktian
Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian, akan tetapi banyak ahli hukum yang berusaha menjelaskan tentang arti dari pembuktian. Membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa.65
Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.66 Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.67 Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang
65
Subekti. (2001). Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramitha, hal. 1
66
Martiman Prodjohamidjojo. (1984). Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Pradnya Paramitha, hal. 11 67 Darwan Prinst. (1998). Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta: Djambatan, hal. 133
79
didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alatalat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.68 Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.69 3.1.1. Prinsip-Prinsip Pembuktian b. Hal-hal yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau disebut dengan istilah notoire feiten. Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi dua golongan, yaitu: 2. Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian.Yang dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal dari perak. yang dimaksud dengan peristiwa misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari Kemerdekaan Indonesia.
68
M.Yahya Harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 273 69 Hari Sasangka dan Lily Rosita. (2003). Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju , hal. 10
80
Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk.70
e. Kewajiban seorang saksi Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: “Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku, demikian pula dengan ahli. f.
Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis) Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Menurut KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: “Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”. Jadi, ini berarti satu saksi, satu keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk, atau keterangan terdakwa disertai keyakinan hakim cukup sebagai alat bukti untuk memidana terdakwa dalam perkara cepat.71
g. Pengakuan
terdakwa
tidak
menghapuskan
kewajiban
penuntut
umum
membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip “pembuktian terbalik” yang tidak dikenal oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 70 71
Hari Sasangka dan Lily Rosita, op.cit.,hal.20 M. Yahya Harahap, op.cit.,hal. 267
81
189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”. h. Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”. Ini berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri. Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya.72
3.1.2. Teori-Teori atau Sistem Pembuktian Ada beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu antara lain: e. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time) Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian “keyakinan” hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada.
72
Ibid., hal. 321
82
Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali. Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan
kepercayaan
kepada
hakim,
kepada
kesan-kesan
perseorangan sehingga sulit untuk melakukan pengawasan. Hal ini terjadi di praktik Peradilan Prancis yang membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak mengakibatkan putusan bebas yang aneh.73 f.
Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (Conviction In Raisone)
Sistem
pembuktian
Conviction
In
Raisone
masih
juga
mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis. Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus dilandasi oleh “reasoning” atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus “reasonable” yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima 73
A. Minkenhof, hal. 219, dikutip Andi Hamzah. (1985). Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 241
83
oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas. g. Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk Bewijstheori) Sistem
ini
ditempatkan
berhadap-hadapan
dengan
sistem
pembuktian conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa. Teori positif wetteljik sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan. Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benarbenar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang kelemahannya terletak bahwa dalam sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formal, oleh karena itu sistem pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Positief
84
wettelijk bewijstheori systeem di benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka; dalam hal ini hakim hanya merupakan alat perlengkapan saja.74 h. Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel) Sistem pembuktian negatief wettelijk terletak antara dua sistem yang berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan sistem pembuktian conviction intime. Artinya hakim hanya boleh menyatakan
terdakwa
bersalah
melakukan
tindak
pidana
yang
didakwakan apabila ia yakin dan keyakinannya tersebut didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam sistem negatif wetteljik ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni: pertama, Wettelijk yaitu adanya alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang dan kedua, Negatif, yaitu adanya keyakinan (nurani) dari hakim, sehingga berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa. Antara alat-alat bukti dengan keyakinan diharuskan adanya hubungan causal (sebab akibat). Meskipun terdakwa telah terbukti menurut cara dan dengan alatalat bukti sah menurut undang-undang, akan tetapi bila hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, maka ia dapat saja membebaskan terdakwa. Sebaliknya
bila
hakim
yakin
akan
kesalahan
terdakwa,
tetapi
keyakinannya tidak didasarkan atas alat-alat bukti sah menurut undangundang, maka hakim harus menyatakan kesalahan terdakwa tidak
74
D. Simons. (1952). Beknopte handleiding tot het wetboek van strafvordering, Haarlem, de Erven F. Bohn,
hal.114
85
terbukti. Sistem inilah yang dipakai dalam sistem pembuktian peradilan pidana di Indonesia. 3.1.3. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti Keterangan Terdakwa 2. Dasar Hukum Alat Bukti Keterangan terdakwa c. Keterangan terdakwa (Pasal 184 huruf e dan Pasal 189 KUHAP). Alat bukti keterangan terdakwa diatur secara tegas oleh Pasal 189 KUHAP, sebagai berikut: 5) Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. 6) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. 7) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. 8) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
d. Pemeriksaan terdakwa Pemeriksaan KUHAP, antara lain:
86
terdakwa
diatur
dalam
pasal
175-178
Pasal 175 berbunyi: “Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepaadanya, hakim ketua sidang
menganjurkan
untuk
menjawab
dan
setelah
itu
pemeriksaan dilanjutkan.” Pasal 176 berbunyi: “Jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patutsehingga menggangu ketertiban sidang, hakim ketua sidang menegurnya dan jika teguran itu tidak diindakan ia memerintahkan suapaya terdakwa dikeluarkan dari sidang, kemudian pemeriksaan sidang dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa. Dalam hal terdakwa secara terus-menerus
bertingkahlaku
mengganggu
ketertiban
yang
sidang,
tidak hakim
patut ketua
sehingga sidang,
mengusahakan upaya sedemikian rupa sehingga putusan tetap dapat dijatuhkan dengan hadirnya terdakwa.”
Pasal 177 berbunyi: “jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, haki ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan. Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara ia tidak boleh pula menjadi juru bahasa dalam perkara itu.” Pasal 178 berbunyi: “Jika terdakwa atau saksi bisu dan/atau tuli serta tidak dapat
menulis,
hakim
87
ketua
sidang
mengangkat
sebagai
penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu. Jika terdakwa atau saksi bisu dan /atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepadanya terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan.”
2. Pengertian Terdakwa dan Tersangka. Menurut Pasal 1 butir 15 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terdakwa adalah seorang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. Terdakwa adalah orang yang karena perbuatan atau keadaannya berdasarkan alat bukti minimal didakwa melakukan tindak pidana kemudian dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.75Dari rumusan di atas dapat disimpulkan, bahwa unsurunsur dari terdakwa adalah: e. Diduga sebagai pelaku suatu tindak pidana; f.
Cukup alasan untuk melakukan pemeriksaan atas dirinya di depan sidang pengadilan;
g. orang yang sedang dituntut, ataupun h. Sedang diadili di sidang pengadilan.76
Tersangka akan berubah tingkatannya menjadi terdakwa setelah ada bukti lebih lanjut yang memberatkan dirinya dan perkaranya sudah mulai 75 76
Adnan Paslyadja. (1997). Hukum Pembuktian, Jakarta: Pusat Diktat Kejaksaan Republik Indonesia, hal. 69 Darwan Prinst, op.cit., hal.14-15
88
disidangkan di Pengadilan. Kedudukannya harus dipandang sebagai subjek dan tidak boleh diperlakukan sekehendak hati oleh aparat penegak hukum karena ia dilindungi oleh serangkaian hak yang diatur dalam KUHAP. Tersangka sendiri menurut Pasal 1 butir 14 KUHAP adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
4. Pengertian Alat Bukti Keterangan Terdakwa
Alat bukti keterangan terdakwa diatur secara tegas oleh Pasal 189 KUHAP, sebagai berikut: c. Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. d. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri c. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP di atas, keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Sehingga secara garis besar keterangan terdakwa adalah: 3. apa yang terdakwa "nyatakan" atau "jelaskan" di sidang pengadilan,
89
4. apa yang dinyatakan atau dijelaskan itu ialah tentang perbuatan yang terdakwa lakukan atau mengenai yang ia ketahui atau yang berhubungan dengan apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang sedang diperiksa.77
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat sah keterangan terdakwa harus meliputi: a. Apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan. b. Pernyataan terdakwa meliputi:
(1) Yang terdakwa lakukan sendiri, (2) Yang terdakwa ketahui sendiri, (3) Yang terdakwa alami sendiri.
Pasal 184 ayat (1) KUHAP mencantumkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang kelima atau terakhir setelah alat bukti petunjuk. Hal ini berbeda dengan HIR yang menempatkan keterangan terdakwa pada urutan ketiga di atas petunjuk, hanya saja dalam HIR "keterangan terdakwa" seperti dimuat pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, menurut Pasal 295 butir 3 HIR disebut "pengakuan tertuduh". Perbedaan kedua istilah ini ditinjau secara yuridis, terletak pada pengertian "keterangan terdakwa" yang sedikit lebih luas dari istilah "pengakuan tertuduh", karena pada istilah "keterangan terdakwa" sekaligus meliputi "pengakuan" dan "pengingkaran", sedangkan dalam istilah "pengakuan tertuduh", hanya terbatas pada
77
M. Yahya Harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 319
90
pernyataan pengakuan itu sendiri tanpa mencakup pengertian pengingkaran. 78 Sehingga dapat dilihat dengan jelas bahwa “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan.79
sedangkan alasan
ditempatkannya keterangan terdakwa pada urutan ketiga diatas petunjuk dalam HIR, karena suatu petunjuk dapat diperoleh dari keterangan terdakwa, maka dalam hal yang demikian petunjuk hanya bisa diperoleh setelah lebih dahulu memeriksa terdakwa.
4. Asas Penilaian Keterangan Terdakwa Sudah tentu tidak semua keterangan terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang sah. Untuk menentukan sejauh mana keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, diperlukan beberapa asas sebagai landasan berpijak, antara lain: c. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan Keterangan yang diberikan di persidangan adalah pernyataan berupa penjelasan yang diutarakan sendiri oleh terdakwa dan pernyataan yang berupa penjelasan atau jawaban terdakwa atas pertanyaan dari ketua sidang, hakim anggota, dan penuntut umum atau penasihat hukum. d. Tentang perbuatan yang terdakwa lakukan, ketahui, atau alami sendiri Pernyataan terdakwa meliputi: 5) Tentang perbuatan yang terdakwa lakukan sendiri.
78 79
Ibid, hal.318 Andi Hamzah. (1997). Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 69
91
Terdakwa sendirilah yang melakukan perbuatan itu, dan bukan orang lain selain terdakwa. 6) Tentang apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa. Terdakwa
sendirilah
yang
mengetahui
kejadian
itu.
Mengetahui disini berarti ia tahu tentang cara melakukan perbuatan itu atau bagaimana tindak pidana tersebut dilakukan. Bukan berarti mengetahui dalam arti keilmuan yang bersifat pendapat, tetapi semata-mata pengetahuan sehubungan dengan peristiwa pidana yang didakwakan kepadanya. 7) Tentang apa yang dialami sendiri oleh terdakwa. Terdakwa sendirilah yang mengalami kejadian itu, yaitu pengalaman dalam hubungannya dengan perbuatan yang didakwakan. Namun apabila terdakwa menyangkal mengalami kejadian itu, maka penyangkalan demikian tetap merupakan keterangan terdakwa. 8)
Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya sendiri.
Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan dalam kedudukannya sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan terdakwa hanya mengikat kepada dirinya sendiri. Dengan kata lain keterangan terdakwa yang satu tidak boleh dijadikan alat bukti bagi terdakwa lainnya.80 5. Keterangan Terdakwa Saja Tidak Cukup Membuktikan Kesalahannya 80
Op. Cit., hal. 320-321
92
Asas ini ditegaskan dalam Pasal 189 ayat (4); "Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain". Pada hakikatnya asas ini hanya merupakan penegasan kembali prinsip batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pasal 183 KUHAP telah menentukan asas pembuktian bahwa untuk menjatuhkan hukuman pidana terhadap seorang terdakwa, kesalahannya harus dapat dibuktikan; “dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah”.81 6. Keterangan Terdakwa di Luar Sidang (The Confession Outside the Court) Salah satu asas penilaian yang menentukan sah atau tidaknya keterangan terdakwa sebagai alat bukti adalah bahwa keterangan itu harus diberikan di sidang pengadilan. Dengan asas ini dapat disimpulkan, bahwa keterangan terdakwa yang dinyatakan di luar sidang pengadilan sama sekali tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti sah. Walaupun keterangan terdakwa yang dinyatakan di luar sidang pengadilan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti, namun menurut ketentuan Pasal 189 ayat (2) KUHAP, keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat dipergunakan untuk "membantu" menemukan alat bukti di sidang pengadilan, dengan syarat keterangan di luar sidang didukung oleh suatu alat bukti yang sah, dan keterangan yang dinyatakan di luar sidang sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepada terdakwa.82Bentuk keterangan yang dapat dikualifikasi sebagai keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang ialah: d. keterangan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan, e. dan keterangan itu itu dicatat dalam berita acara penyidikan,
81 82
Op.Cit., hal. 322 Op.Cit., hal. 323
93
f.
serta berita acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa. Kualifikasi di atas sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat (1) huruf a jo.
Ayat (3) KUHAP. 7. Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Terdakwa
Secara umum dapat dikatakan bahwa undang-undang tidak dapat menilai keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang memiliki nilai pembuktian yang sempurna, mengikat, dan menentukan. Namun demikian, keterangan terdakwa tetap memiliki pengaruh terhadap proses persidangan. Adapun nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan terdakwa dapat dirumuskan sebagai berikut: d) Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan terdakwa, dan hakim bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung di dalam keterangan terdakwa. Hakim dapat menerima atau menyingkirkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan
alasan-alasan
disertai
dengan
argumentasi
yang
proporsional dan akomodatif. e) Harus memenuhi batas minimum pembuktian "Sebagaimana ketentuan Pasal 189 ayat (4) yang menyebutkan, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain". Dari ketentuan ini jelas dapat disimak keharusan mencukupkan alat bukti keterangan terdakwa dengan sekurang-kurangnya satu lagi alat bukti yang lain, sehingga mempunyai nilai pembuktian yang cukup.
94
Penegasan Pasal 189 ayat (4) KUHAP, sejalan dan mempertegas asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, yang menegaskan, bahwa tidak seorang terdakwa pun dapat dijatuhi pidana kecuali jika kesalahan yang didakwakan kepadanya telah dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. f)
Harus memenuhi asas keyakinan hakim Sekalipun kesalahan terdakwa telah terbukti sesuai dengan asas batas minimum pembuktian, tetapi masih perlu dibarengi dengan "keyakinan hakim", bahwa memang terdakwa yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Asas keyakinan hakim harus melekat pada putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 KUHAP yaitu "pembuktian menurut undang-undang secara negatif". Artinya, di samping dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah, maka dalam pembuktian yang cukup tersebut harus dibarengi dengan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.83 Ketentuan yang terkait dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa sebagaimana yang diutarakan di atas masih dapat ditambah dengan rumusan sebagai berikut: 5) Keterangan terdakwa yang diberikan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri, merupakan alat bukti keterangan terdakwa yang sah menurut undangundang. 6) Keterangan terdakwa sekalipun bersifat pengakuan atas perbuatan pidana yang didakwakan, tetapi tidak didukung dengan alat bukti sah
83
Op.cit., hal. 332-333.
95
lainnya, tidak cukup untuk menyatakan terdakwa telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan karena tidak memenuhi batas minimumnya pembuktian. 7) Penyangkalan terdakwa melalui alat bukti lain dapat dibuktikan sebagai kebohongan dapat diterima sebagai alat bukti petunjuk. 8) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang mengenai hal yang didakwakan sepanjang bersesuaian dengan alat bukti sah lainnya dapat berupa alat bukti petunjuk, setidak-tidaknya dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang.
3.2.
Beban Pembuktian Beban pembuktian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk memberikan suatu fakta di depan sidang pengadilan untuk membuktikan kebenaran atas suatu pernyataan atau tuduhan. Macam-macam beban pembuktian: a. Beban Pembuktian Biasa Yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan suatu pernyataan atau tuduhan adalah Jaksa Penuntut Umum, hal ini ditegaskan dalam Pasal 66 KUHAP yang meyebutkan “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.”92 b. Beban Pembuktian Terbalik terbatas dan berimbang Terdakwa juga dibebani kewajiban untuk membuktikan, tetapi peranan penuntut umum tetap aktif dalam membuktikan dakwaannya. Pada beban pembuktian ini jika terdakwa mempunyai alibi dan ia dapat
96
membuktikan kebenaran alibinya maka beban pembuktian akan berpindah ke penuntut umum untuk membuktikan sebaliknya. c. Beban Pembuktian Terbalik (Omkering Van bewijslaat) Dalam beban pembuktian ini yang mempunyai beban pembuktian adalah terdakwa, sedangkan penuntut umum akan bersikap pasif, bila terdakwa gagal melakukan pembuktian maka dia akan dinyatakan kalah, sistem ini merupakan penyimpangan dari asas pembuktian itu sendiri. Dari system beban pembuktian diatas maka Beban Pembuktian terbalik (Omkering Van bewijslaat) sangat tepat untuk dilaksanakan dalam mengungkap kasus korupsi titip sidang dalam perkara tilang lalulintas.
3.3 Pembuktian terbalik dalam undang-undang tindak pidana korupsi.
Mengenai pembalikan beban pembuktian sudah juga diatur di dalam Undangundang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001. Ketentuan tersebut diatur pada Pasal 37 yang berbunyi sebagai berikut: 1. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. 2. Dalam terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukantindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Analisis hukum terhadap ketentuan Pasal 37 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 menunjukkan bahwa terhadap pembalikan beban pembuktian, terdakwa
97
mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi sehingga jikalau terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.84Sistem pembebanan pembuktian terbalik dalam pasal 37 berlaku sepenuhnya pada tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi, khususnya yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih (pasal 12B ayat (1) huruf a), yakni kewajiban untuk membuktika bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka berlakulah pasal 37 ayat 2 yakni hasil pembuktian bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.85 Jika dipandang dari semata-mata hak, maka ketentuan Pasal 37 ayat (1) tidaklah mempunyai arti apa-apa. Hak tersebut adalah hak dasar terdakwa yang demi hukum telah melekat sejak ia diangkat statusnya menjadi tersangka atau terdakwa. Ketentuan pada ayat (1) merupakan penegasan belaka atas sesuatu hak terdakwa yang memang sudah ada. Justru, Pasal 37 ayat (2) lah yang memiliki arti penting dalam hukum pembuktian. Inilah yang menunjukkan inti sistem terbalik, walaupun tidak tuntas. Karena pada ayat (2) dicantumkan akibat hukumnya bila terdakwa berhasil membuktikan, ialah hasil pembuktian terdakwa tersebut dipergunakan oleh pengadilan untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Namun, tidak mencantumkan seperti hal bagaimana cara terdakwa membuktikan, dan apa standar pengukurnya
hasil
pembuktian
terdakwa
untuk
dinyatakan
sebagai
hasil
membuktikan dan tidak berhasil membuktikan.Ketentuan Pasal 37 ayat (2) inilah sebagai dasar hukum beban pembuktian terbalik hukum acara pidana korupsi. 84 85
Ibid., hal. 197. Adami Chazawi, op.cit., hal. 406.
98
Penerapan dari ketentuan ini, harus dihubungkan atau ada hubungannya dengan Pasal 12 B dan Pasal 37 A ayat (3). Hubungannya dengan Pasal 12 B, ialah bahwa sistem terbalik pada Pasal 37 berlaku pada tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih (Pasal 12 B ayat (1) huruf (a). Sedangkan hubungannya dengan Pasal 37 A khususnya ayat (3), bahwa sistem terbalik menurut Pasal 37 berlaku dalam hal pembuktian tentang sumber (asal) harta benda terdakwa dan lain-lain di luar perkara pokok pasal-pasal yang disebutkan dalam Pasal 37 A in casu hanyalah Tindak Pidana Korupsi suap gratifikasi yang tidak disebut dalam Pasal 37 A ayat (3) tersebut. Apabila dianalisis berdasarkan penjelasan otentik pasal tersebut, ketentuan Pasal 37 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001
sebagai
konsekuensi
berimbang
atas
penerapan
pembalikan
beban
pembuktian terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah dan menyalahkan diri sendiri (nonself-incrimmination), kemudian penjelasan ayat (2) menyatakan ketentuan tersebut tidak menganut sistem pembuktian secara negative menurut undang-undang.86 Sistem pembuktian terbalik menurut pasal 37 ini diterapkan pada tindak pidana selain yang dirumuskan dalam pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15, 16 UU No. 31/ 1999 dan pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 UU No.20/ 2001,karena bagi tindak pidana menurut pasal-pasal yang disebutkan tadi pembuktiannya berlaku sistem semi terbalik. Dalam UU No. 31 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 37 yang merupakan hak terdakwa dengan melakukan pembalikan beban pembuktian dengan sifat terbatas dan berimbang. Hal ini secara eksplisit diterangkan dalam Penjelasan Umum UU No. 31 Tahun 1999 yang berbunyi: “Undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk 86
Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 200.
99
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.
” Sedangkan ketentuan Pasal 37 A dengan
tegasnya menyebutkan bahwa: a. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. b. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. c. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga Penuntut Umum berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
100
Mengenai kewajiban terdakwa untuk memberikan keterangan tentang harta kekayaannya tidak lagi menggunakan sistem pembuktian terbalik murni sebagaimana dirumuskan dalam pasal 37.87 Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan
penghasilannya,
maka ketidakdapatan
membuktikan
itu digunakan
untuk
memperkuat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Sedangkan, jika terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi atau perkara pokoknya sebagaimana dimaksud pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15, dan 16 UU No.31/1999 dan pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 UU No. 20/2001, maka penuntut umum tetap wajib membuktikan dakwaannya atau membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Sistem pembuktian demikian biasa disebut dengan sistem semi terbalik, tetapi tidak tepat jika disebut sistem terbalik murni. Karena dalam hal tindak pidana korupsi tersebut terdakwa dibebani kewajiban untuk membuktikan tidak melakukan korupsi yang apabila tidak berhasil justru akan memberatkannya. Namun begitu, jaksa juga tetap berkewajiban untuk membuktikan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana korupsi.88 Tindak Pidana korupsi selain suap menerima gratifikasi,penerapan pembuktian tentang harta benda terdakwa yang telah didakwakan dilakukan dengan cara yang dirumuskan dalam Pasal 37 A yang jika dihubungkan dengan tindak pidana korupsi dalam perkara pokok, dapat disebut dengan sistem pembuktian semi terbalik atau berimbang terbalik. Karena dalam hal terdakwa didakwa melakukan tindak pidana korupsi (selain suap menerima gratifikasi) yang sekaligus didakwa pula mengenai harta bendanya sebagai hasil korupsi atau ada hubungannya dengan korupsi yang didakwakan, maka beban pembuktian mengenai tindak pidana dan harta benda terdakwa yang didakwakan tersebut, diletakkan masing-masing pada jaksa penuntut umum dan terdakwa secara berlawanan dan berimbang. Karena beban pembuktian diletakkan secara berimbang dengan objek 87 88
Adami Chazawi, op.cit., hal. 408. Ibid., hal. 409.
101
pembuktian yang berbeda secara terbalik, maka sistem pembuktian yang demikian dapat pula disebut dengan sistem pembuktian berimbang terbalik.89 Dikaji dari hukum pembuktian, UU No. 31 Tahun 1999 pada asasnya tetap mempergunakan teori pembuktian negatif. Selain itu, dikaji dari beban pembuktian, UU tersebut tetap mengacu adanya kewajiban Penuntut Umum untuk tetap membuktikan dakwaannya di samping juga terdakwa mempunyai hak membuktikan pembalikan beban pembuktian (Pasal 37 ayat (1), (2), UU No. 31 Tahun 1999).90 Dalam undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 ditambahkan delik baru yaitu delik pemberian atau dikenal dalam undang-undang tersebut sebagai delik gratifikasi dalam Sistem Pembuktian Terbalik (Pembalikan Beban Pembuktian) yang terdapat dalam Pasal 12 B dan 12 C. Menurut penjelasan Pasal 12 B (1) yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang , barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan bahwa: a. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: i.
Yang nilainya Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
89 90
Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 198. Ibid., hal. 146.
102
ii.
Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah), pemberian gratifikasi tersebut siap dilakukan oleh penuntut umum.
3. Pidana
bagi
pegawai
negeri
atau
penyelenggara
Negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah tindak pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dilihat dari formulanya, “gratifikasi” bukan merupakan jenis maupun kualifikasi delik. Yang dijadikan delik (“perbuatan yang dapat dipidana” atau “tindak pidana”) menurut Pasal 12 B ayat (2), bukan “gratifikasi”-nya, melainkan perbuatan “menerima gratifikasi “itu.91 Perlu diperhatikan bahwa untuk tindak pidana suap menerima grafikasi yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), sistem pembebanan pembuktian pasal 37 tidak berlaku. Karena menurut pasal 12B ayat (1) huruf b beban pembuktiannya ada pada jaksa PU untuk membuktikan bahwa terdakwa melakukan tindak
pidana
korupsi
suap
menerima
grafikasi,
padahal
pasal
37
membebankanpembuktian kepada terdakwa. Untuk korupsi suap menerima grafikasi yang nilainya kurang dari 10 juta rupiah berlaku sistem pembuktian biasa dalam KUHAP dan tidak berlaku sistem yang ditentukan dalam pasal 37A maupun 38B, karena pasal 12B ayat (1) huruf b tidak disebutkan dalam pasal 37A maupun pasal 38B tersebut.
91 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 109.
103
Dapat disimpulkan bahwa apabila semata-mata dilihat dari ketentuan pembebanan pembuktian menurut pasal 37 yang dapat dihubungkan juga dengan pasal 12B ayat (1) huruf a, maka system pembuktian disana menganut sistem pembebanan pembuktian terbalik murni. Akan tetapi, apabila sistem pembebanan pembuktian semata-mata dilihat dari pasal 12B ayat (1 huruf a dan b) tidak dipisahkan, maka sistem pembuktian seperti itu dapat disebut sistem pembuktian berimbang bersyarat, bergantung pada syarat-syarat tertentusiapa yang memenuhi syarat itulah yang dibebani kewajiban untuk membuktikan. Sistem seperti itu hanya ada pada tindak pidana korupsi.92 Syarat ini berupa nilai penerimaan gratifikasi antara kurang dan atau di atas Rp 10 juta. Jika nilai penerimaan gratifikasi yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut nilainya kurang dari Rp 10 juta, untuk membuktikan kebenaran bahwa penerimaan itu sebagai suap yang dilarang oleh undang-undang, maka digunakan system pembuktian biasa sebagaimana adanya dalam KUHAP. Menurut Pasal 12 C ayat (1), apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KP-TPK), maka gratifikasi itu tidak dianggap sebagai pemberian suap. Berarti juga, tidak dapat dipidana. Baru dapat dipidana apabila si penerima tidak melapor. Perumusan Pasal 12 C ayat (1) ini terkesan sebagai alasan penghapusan pidana. Dilihat secara substansial, hal ini dirasakan janggal, karena seolah-olah sifat melawan hukumnya perbuatan atau sifat patut dipidananya si penerima ditergantungkan pada ada/ tidaknya laporan (yang bersifat administratif procedural).93 Didalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 pada Pasal 38 dibagi menjadi: Pasal 38 A “Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan.” 92 93
Adami Chazawi, op.cit., hal. 407. Barda Nawawi, op.cit., hal. 111.
104
Pasal 38 B 1. Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. 2. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta bendanya sebagaimana dimaksud ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk Negara. 3. Tujuan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok. 4. Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi. 5. Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4). 6. Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dan perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta
105
benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.
Pasal 38 C “Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka Negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.”
Mengenai harta benda milik terdakwa yang belum didakwakan Mengenai harta benda milik terdakwa yang belum didakwakan bila perkara yang didakwakan itu adalah tindak pidana sebagaimana dimuat dalam pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15, dan 16 UU No.31 /1999 atau pasal 5 sampai dengan pasal 12 UU No.21/2001, maka terdakwa dibebani pembuktian bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan dari tindak pidana korupsi yang diajukan pada saat membacakan pembelaannya. Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda itu diperoleh bukan dari hasil korupsi dan harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari korupsi, maka hakim berwenang untuk memutuskan bahwa seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk Negara (pasal 38B ayat 2). Dalam hal yang demikian tidak ditentukan adanya kewajiban jaksa penuntut umum untuk membuktikan bahwa harta benda itu diperoleh dari tindak pidana korupsi seperti pada ketentuan pasal 37A ayat (3).94 Tuntutan perampasan harta benda milik terdakwa yang belum dimasukkan dalam dakwaan ini dapat diajukan oleh jaksa penuntut umum pada saat membacakan surat tuntutan pada pokok perkara (pasal 38B ayat 3). Dalam hal terdakwa membuktikan bahwa harta bendanya bukan diperoleh dari korupsi diperiksa dalam sidang yang khusus memeriksa pembuktian 94
Adami Chazawi, op.cit., hal. 409-410
106
terdakwa tersebut dan diucapkan dalam pembelaannya dalampokok perkara, serta dapat diulang dalam memori banding maupun memori kasasinya (pasal 38B ayat 4dan 5). Pada hakikatnya, ketentuan pasal 38 B merupakan pembalikan beban pembuktian yang dikhususkan pada perampasan harta benda yang diduga keras berasal dari tindak pidana korupsi. Akan tetapi, perampasan harta ini tidak berlaku bagi ketentuan Pasal 12B ayat (1) huruf a UU No. 20 Tahun 2001, malainkan terhadap pelaku yang didakwa melakukan tindak pidana pokok. Ternyata hanya tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi Pasal 12 B saja yang tidak disebut dalam Pasal 38 B ayat (1). Artinya, dalam hal terdakwa dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi (Pasal 12 B ayat (1) huruf a), jaksa penuntut umum tidak diperkenankan untuk menuntut pula agar terdakwa dipidana perampasan barang in casu harta benda terdakwa yang belum didakwakan. Oleh karena itu, terdakwa tidak diwajibkan untuk membuktikan tentang harta benda yang belum didakwakan sebagai bukan hasil korupsi, dalam hal terdakwa didakwa jaksa melakukan tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi. Walaupun Pasal 37 merupakan dasar hukum pembuktian terbalik, tetapi khusus mengenai objek harta benda terdakwa yang belum didakwakan (termasuk juga yang didakwakan dalam surat dakwaan), tidaklah dapat menggunakan Pasal 37, karena Pasal 37 adalah khusus diperuntukkan bagi pembuktian terdakwa mengenai dakwaan tindak pidana (khususnya suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih), dan bukan dakwaan mengenai harta benda terdakwa.
Ternyata hanya tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi Pasal 12 B saja yang tidak disebut dalam Pasal 38 B ayat (1). Artinya, dalam hal terdakwa dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi (Pasal 12 B ayat (1) huruf a), jaksa penuntut umum tidak diperkenankan untuk menuntut pula agar terdakwa dipidana
107
perampasan barang in casu harta benda terdakwa yang belum didakwakan. Oleh karena itu, terdakwa tidak diwajibkan untuk membuktikan tentang harta benda yang belum didakwakan sebagai bukan hasil korupsi, dalam hal terdakwa didakwa jaksa melakukan tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi. Walaupun Pasal 37 merupakan dasar hukum pembuktian terbalik, tetapi khusus mengenai objek harta benda terdakwa yang belum didakwakan (termasuk juga yang didakwakan dalam surat dakwaan), tidaklah dapat menggunakan Pasal 37, karena Pasal 37 adalah khusus diperuntukkan bagi pembuktian terdakwa mengenai dakwaan tindak pidana (khususnya suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih), dan bukan dakwaan mengenai harta benda terdakwa. Untuk membuktikan harta benda terdakwa yang didakwakan dengan menggunakan sistem semi terbalik (Pasal 37 A), sedangkan untuk membuktikan harta benda yang belum didakwakan adalah menggunakan sistem pembebanan pembuktian terbalik (Pasal 38 B).95 Pembalikan beban pembuktian sebagaimana dalam ketentuan UU No. 20 Tahun 2001 dapat dideskripsikan dikenal terhadap kesalahan orang yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana ketentuan Pasal 12B dan Pasal 37 UU No. 20 Tahun 2001. Kemudian terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku yang diduga keras merupakan hasil tindak pidana korupsi diatur dalam ketentuan Pasal 37A dan Pasal 38B ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001. Tegasnya, politik hukum kebijakan legislasi terhadap delik korupsi ditujukan terhadap kesalahan pelaku maupun terhadap harta benda pelaku yang diduga berasal dari korupsi. Eksistensi pembalikan beban pembuktian esensial dalam rangka untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Aspek ini ditegaskan dalam Penjelasan Umum UU No. 20 Tahun 2001, dengan redaksional bahwa :
95
Ibid., hal. 141
108
“Ketentuan mengenai “pembuktian terbalik” perlu ditambahkan dalam Undangundang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat “premium remidium” dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini”96
96 Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
109
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan Tilang, singkatan dari Bukti Pelanggaran merupakan tindakan langsung terhadap pelanggaran lalu lintas yang menjadi salah satu bentuk penindakan pelanggaran lalu lintas yang dilakukan Polri. Pelanggaran lalu lintas (tilang) merupakan kasus dalam ruang lingkup hukum pidana yang diatur dalam UU Nomor 22 tahun 2009 sebagai pengganti Undangundang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas. Titip sidang dalam perkara tilang pelanggaran lalulintas di Indonesia diperbolehkan dalam system hukum di Indonesia. Pengaturan titip sidang dalam perkara tilang pelanggaran lalulintas di Indonesia diatur dalam pasal 213 Kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) serta Surat Keputusan Kepala Kapolri No.Pol: SKEP/443/IV/1998 buku petunjuk teknis tentang penggunaan blanko tilang Dalam hal pembuktian titip sidang dalam perkara tilang pelanggaran lalulintas ditinjau dari undang-undang tindak pidana korupsi maka system pembuktian terbalik sangat relevan untuk digunakan.
110
4.2. Saran Dalam pelaksanaan titip sidang dalam perkara tilang pelanggaran lalulintas seyogyanya lebih diperhatikan mengenai pengawasan (system controling) atau dibuat peraturan tentang pengawasan terhadap pelaksanaan titip sidang tilang. Serta dalam pelaksanaan system pembuktian sidang dalam perkara korupsi atas titip sidang tilang pelanggaran lalulintas seyogyanya menggunakan system pembuktian terbalik meskipun jumlah nominal rupiah yang dikorupsi kurang dari 10 juta.
111
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, 2000.
Soerodibroto, Soenarto. KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta ,2003. Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan (Buku II), Cet. II, 1997. Jur. Andi Hamzah, Pemerantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005 Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Penerbit Penaku bekerjasama dengan Maharini Press, Jakarta 2008 Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi, Penerbit Solusi Publishing, Jakarta 2010 Evi Hartantai, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta 2008 Subekti. (2001). Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramitha Martiman Prodjohamidjojo. (1984). Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Pradnya Paramitha Darwan Prinst. (1998). Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta: Djambatan Minkenhof, hal. 219, dikutip Andi Hamzah. (1985). Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia D. Simons. (1952). Beknopte handleiding tot het wetboek van strafvordering, Haarlem de Erven F. Bohn, Darwan Prinst. (1998). Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta: Djambatan
112
M.Yahya Harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika Hari Sasangka dan Lily Rosita. (2003). Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju A. Minkenhof, hal. 219, dikutip Andi Hamzah. (1985). Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia
113