ANALISIS YURIDIS TERHADAP HARTA BERSAMA SETELAH TERJADINYA PERCERAIAN DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BOGOR NO. 261/PDT.G/2011/PA. BGR DAN PENGADILAN TINGGI AGAMA BANDUNG NO. 11/PDT.G/2011/PTA. BDG) Fahmi Fadillah, Farida Prihatini Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Hukum Tentang Hubungan Sesama Fakultas Hukum ABSTRAK Perkawinan menurut Hukum Islam itu dapat dikatakan sah apabila sudah memenuhi rukun dan syarat. Salah satu akibat dari Perkawinan tersebut adalah dengan timbulnya Harta Bersama. Harta bersama adalah harta yang diperoleh pasangan suami istri secara bersama-sama selama dalam ikatan perkawinan. Skripsi ini membahas mengenai pengaturan Harta Bersama menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap pengaturan Harta Bersama ini. Untuk menjawab permasalahan tersebut diatas, diadakan penelitian dengan didukung oleh wawancara kepada pihak yang berkompeten terhadap permasalahan skripsi ini. Bentuk penelitian yang dilakukan adalah yuridis normatif, yang menekankan pada penggunaan data primer dan data sekunder. Dari penelitian yang dilakukan, dapat penulis simpulkan bahwa Hukum Islam tidak mengenal konsep Harta Bersama, namun para pihak yang bersengketa dapat melakukan Syirkah Inan. Sedangkan di dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur dengan jelas dalam Pasal 29 yang menjelaskan bahwa Para Pihak yang membuat Perjanjian Perkawinan harus dilakukan secara tertulis secara sah dan selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah kecuali dengan persetujuan kedua pihak. Oleh karena itu, dengan adanya perjanjian perkawinan akan lebih mudah mengatur harta masing-masing. Apabila terjadi perceraian, maka Harta Bersama menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut dapat dibagi dua sesuai dengan keputusan Pengadilan, walaupun pada kenyataannya Penetapan Pengadilan tidak selalu membagi dua harta tersebut. Kata Kunci: Perkawinan, Perceraian, Harta Bersama, Hukum Islam.
1 Analisis yuridis..., Fahmi Fadilah, FH-UI, 2013
ABSTRACT According to the Islamic Law, a marriage is considered legal when it has fulfil the prequisites of “rukun” and “syarat”. One of the cosequences of a marriage is the existence of a common asset. Common asset is asset(s) acquired both by husband and wife together throughout the period of their marriage. The thesis discuss the arrangement of common asset in accordance with Law no 1 year 1974 on Marriage and how common asset is managed under the Islamic Law. Competent party was interviewed, in order to answer the issue at hand. Normative judicial research is used in this research where it emphasizes the use of primary and secondary data. The research concludes that Islamic Law does not identify with the concept of a common asset, however, conflicting parties can conduct Syirkah Inan. Meanwhile, the Law no 1 year 1974 on Mariage stated clearly in article 29 that a prenuptual agreement should be done in writing, legally andit can not be changed during a marriage unless agreement is reached by both party. Consequently, a prenuptual agreement would make asset management far less complicated. According to Islamic Law Complilation and Law no 1 year 1975 when a divorce takes place, any common asset would be divided equally in accordance with a court’s decision, eventhough, in reality, the court’s decision does not always divide the assets equally. Key words: Marriage, Divorce, Common Asset, Islamic Law.
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1974 No. 1 dan Penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran negara no. 3019 maka dimulailah masa baru dalam hukum Perkawinan di Indonesia. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatakan bahwa, Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang berperan sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk suatu ikatan keluarga (rumah tangga)
2 Analisis yuridis..., Fahmi Fadilah, FH-UI, 2013
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan mempergunakan berbagai teori terhadap perkawinan itu, maka dapat pula dimengerti bahwa Perkawinan itu ialah perjanjian suci untuk membentuk suatu keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Unsur perjanjian disini untuk memperlihatkan segi kesengajaan dari suatu perkawinan. Sedangkan sebutan suci untuk pernyataan segi religius dari suatu perkawinan. Salah satu faktor yang penting dalam perkawinan adalah harta kekayaan. Faktor ini dapat dikatakan yang dapat menggerakan suatu kehidupan perkawinan. Dalam perkawinan, memang selayaknyalah suami yang memberikan nafkah bagi kehidupan rumah tangga, dalam arti harta kekayaan dalam perkawinan ditentukan oleh kondisi dan tanggung jawab suami. Namun di zaman modern ini, dimana wanita telah hampir sama berkesempatannya dalam pergaulan sosial, wanita juga sering berperan dalam kehidupan ekonomi rumah tangga. Hal ini tentunya membawa pengaruh bagi harta kekayaan suatu perkawinan, baik selama perkawinan berlangsung maupun jika terjadi perceraian. Pokok Permasalahan Dengan melihat latar belakang permasalahan yang telah diutarakan diatas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah: 1.
Bagaimana Hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mengatur mengenai Harta Bersama setelah perceraian?
2.
Apakah Putusan Pengadilan Agama Bogor No. 261/Pdt.G/2011/PA.Bgr dan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung No. 11/Pdt.G/2011/PTA.Bdg sudah sesuai dengan Hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam?
Tujuan Penelitian Suatu penelitian supaya terdapat sasaran yang jelas dan sesuai dengan apa yang dikehendaki, maka perlu ditetapkan tujuan penelitian. Adapun tujuan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Untuk memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa dengan dalam suatu perkawinan itu tidak hanya Perjanjian Perkawinan saja yang diatur, tetapi juga ada pengaturan mengenai adanya Harta Bersama setelah berakhirnya suatu perkawinan. 2. Memberikan gambaran bagaimana pembahasan mengenai harta bersama dalam suatu ikatan perkawinan yang telah berakhir apabila ditinjau dari sudut pandang Hukum Islam.
3 Analisis yuridis..., Fahmi Fadilah, FH-UI, 2013
Kerangka Konsep Kerangka Konsepsional berisikan definisi-definisi operasional yang digunakan dalam penelitian guna menyamakan persepsi. Berikut ini ditegaskan kembali definisi-definisi yang digunakan dalam tulisan ini sebagai berikut: 1. Perkawinan menurut Sayuti Thalib adalah suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang pria dengan seorang wanita membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia. 2. Perceraian atau putusnya perkawinan adalah berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang selama ini hidup sebagai suami isteri. 3. Harta adalah barang-barang yang dapat berupa uang dan sebagainya yang menjadi kekayaan dan dapat berarti kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai. 4. Harta Benda Milik Bersama atau Harta Bersama adalah harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan. Dapat diambil kesimpulan bahwa Harta Bersama itu hanyalah harta yang diperoleh atas usaha bersama atau sendiri-sendiri selama dalam ikatan perkawinan. Metode Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu memahami data dengan cara mengumpulkan, menyaring, menganalisa, dan menyimpulkan data-data yang diperoleh selama penelitian secara sistematis. Penulis pilih pendekatan ini dengan melihat bahwa penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif sehingga pendekatan secara kualitatif lebih memudahkan penulis dalam mengkonstruksi, menganalisa, serta menyimpulkan data yang diperoleh. PEMBAHASAN Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
4 Analisis yuridis..., Fahmi Fadilah, FH-UI, 2013
Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam ajaran ajaran Agama Islam mempunyai nilai ibadah. Adapun yang dimaksud dengan nikah dalam konteks syar’i seperti diformulasikan para ulama fiqih, terdapat berbagai rumusan yang satu dan lainnya berbeda-beda. Jangankan antara mazhab fiqih yang berbeda aliran politik dan mazhab teologisnya, antara mazhab fiqih yang sama aliran teologis dan aliran politiknya pun tidak jarang diwarnai perbedaan. Misalnya ta’rif nikah yang diberikan oleh empat mazhab (Hanafiah, Malikiah, Syafi’iah, dan Hanabilah), yang aliran politiknya lazim dianggap sama-sama Sunni dan aliran mazhab teologisnya sama-sama dalam lingkungan Ahlus-sunnah Wal Jama’ah, yang berlainan hanya definisi dalam memberikan definisi Pernikahan. Perkawinan Menurut Hukum Positif Indonesia (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Masih dalam kaitan dengan definisi perkawinan (pernikahan) kita juga bisa melihat peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dalam kaitan ini, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, yang merumuskan demikian: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari al-Quran dan al-Hadits, yang kemudian dituangkan dalam garis-garis hukum melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tahun 1991 mengandung 7 (tujuh) asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut: 1.
Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Suami dan istri perlu saling membantu
dan
melengkapi
agar
masing-masing
dapat
mengembangkan
kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spritual dan material. 2.
Asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan, dan harus dicatat oleh petugas yang berwenang.
5 Analisis yuridis..., Fahmi Fadilah, FH-UI, 2013
3.
Asas monogami terbuka. Artinya, jika suami tidak mampu berlaku adil terhadap hakhak istri bila lebih dari seorang, maka cukup satu orang istri saja.
4.
Asas calon suami dan calon sistri telah matang jiwa raganya dapat melangsungkan perkawinan, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat keturunan yang baik dan sehat, sehingga tidak berpikir kepada perceraian.
5.
Asas mempersulit terjadinya perceraian.
6.
Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Oleh karena itu, segala sesuatu dalam keluarga dapat dimusyawarahkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.
7.
Asas pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan mempermudah mengetahui manusia yang sudah menikah atau melakukan ikatan perkawinan.
Fungsi dari UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah mengesahkan tindak perkawinan baik yang dilaksanakan secara agama tertentu maupun secara adat, sesuai dengan yang diungkapkan pada pasal 1, dimana perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa; juga sebagaimana yang diungkapkan pada pasal 2 ayat (1) yang menyatakan Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Jadi fungsi UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah memberikan pengesahan terhadap tindak perkawinan tersebut. Pengertian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam Dalam garis hukum Kompilasi Hukum Islam diungkapkan bahwa pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 5 dan 6. Oleh karena itu, diungkapkan kutipan keabsahan dan tujuan perkawinan sebagai berikut: Pasal 2 KHI: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan atau akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan Ibadah”.
6 Analisis yuridis..., Fahmi Fadilah, FH-UI, 2013
Pasal 3 KHI: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”. Kompilasi Hukum Islam menggunakan istilah khusus yang tercantum di dalam al-Quran. Misalnya; mitsaqan ghalidhzan, ibadah, sakinah, mawaddah, dan rahmah. Pasal 4 KHI: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”. Jika kedua rumusan perkawinan dalam peraturan perundang-undangan diatas dicermati dengan seksama, terdapat garis perbedaan yang cukup signifikan meskipun tidak bersifat konfrontatif. Perbedaan-perbedaan yang dimaksud ialah; Pertama, dalam rumusan undang-undang, tercermin keharusan ada ijab-kabul (akad nikah) pada sebuah perkawinan seperti tersurat dalam kalimat “Ikatan lahir batin”. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam meskipun di dalamnya disebutkan kata “akad yang sangat kuat”, lebih mengisyaratkan pada terjemahan kata-kata Mitsaqan Ghalidzan yang terdapat sesudahnya yang tidak menggambarkan pengertian pernikahan, akan tetapi lebih menunjukkan kepada sebutan atau julukan lain dari sebutan akad nikah. Kedua, kata-kata “Antara seorang pria dan wanita”, menafikan kemungkinan ada perkawinan antara sesama pria (gay) atau antara sesama wanita (lesbi) di negara hukum Indonesia, seperti yang terjadi di beberapa negara lain beberapa tahun terakhir ini. Diantaranya adalah negara Belanda, Belgia, dan sebagian negara bagian Kanada dan Amerika Serikat. Sedangkan KHI sama sekali tidak menyebutkan dua pihak yang berakad ini sungguhpun dapat diyakini bahwa KHI sangat mendukung peniadaan kemungkinan menikah antara sesama jenis yang dilarang oleh Undang-Undang Perkawinan. Ketiga, Undang-Undang Perkawinan menyebutkan tujuan perkawinan yakni “membentuk keluarga bahagia dan kekal”, sementara KHI – yang memuat tujuan perkawinan secara tersendiri
7 Analisis yuridis..., Fahmi Fadilah, FH-UI, 2013
dalam Pasal 3 – lebih menginformasikan nilai-nilai ritual dari perkawinan seperti terdapat dalam kalimat, “untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Padahal ratarata kitab hadits hukum dan fiqih memasukkan bahasan munakahat (perkawinan) dalam kitab (bab) muammalah tidak dalam kitab (bab) ibadah. Ini menunjukkan bahwa aspek muamalah dalam perkawinan jauh lebih menonjol daripada aspek ibadah, sungguhpun di dalamnya memang terkandung pula nilai-nilai ibadah yang cukup sakral dalam perkawinan. Dengan lahirnya kompilasi hukum Islam, telah jelas dan pasti nilai-nilai tata hukum Islam di bidang perkawinan, wasiat, waqaf, warisan sebagian dari keseluruhan tata hukum islam, sudah dapat ditegakkan dan dipaksakan nilai-nilainya bagi masyarakat Islam Indonesia melalui kewenangan Peradilan Agama. Peran kitab-kitab fiqih dalam penegakkan hukum dan keadilan lambat laun akan ditinggalkan. Perannya hanya sebagai orientasi dan kajian doktrin. Semua hakim yang berfungsi di lingkungan Peradilan agama, diarahkan ke dalam persepsi penegakkan hukum yang sama, pegangan dan rujukan hukum yang mesti mereka pedomani adalah Kompilasi Hukum Islam sebagai satu-satunya kitab hukum yang memiliki keabsahan dan otoritas. Pengertian Harta Bersama Harta bersama adalah harta yang diperoleh pasangan suami istri secara bersama sama selama masa dalam ikatan perkawinan. Perkara perceraian yang menjadi pokok perkara justru akan semakin rumit dan berbelit-belit, bahkan sering memanas dalam sidang-sidang perceraian di pengadilan bila dikumulasi dengan tuntutan pembagian harta bersama, atau apabila ada rekonvensi pembagian harta bersama dalam perkara perceraian. Oleh karena itu, Mahkamah Agung RI dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, mewanti-wanti agar gugatan pembagian harta bersama sedapat mungkin diajukan setelah terjadi perceraian. Ketentuan tentang harta bersama, sudah jelas dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, bahwa harta yang boleh dibagi secara bersama bagi pasangan suami istri yang bercerai adalah hanya terbatas pada harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Di dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, harta bersama diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 119 KHUPerdata, dan Pasal 85 dan 86 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pengaturan harta bersama ini diakui secara hukum, termasuk dalam pengurusan, penggunaan, dan pembagiannya. Ketentuan tentang harta bersama
8 Analisis yuridis..., Fahmi Fadilah, FH-UI, 2013
juga diatur dalam hukum Islam meskipun hanya bersifat umum dan tidak diakuinya percampuran harta kekayaan suami istri, namun ternyata setelah dicermati dan dianalisis yang tidak bisa dicampur adalah harta bawaan dan harta perolehan. Hal ini sama dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum positif, bahwa kedua macam harta itu (harta bawaan dan harta peroleh) harus terpisah dari harta bersama itu sendiri. Pengertian Harta Bersama Menurut Hukum Islam Ketentuan harta bersama juga diatur dalam hukum Islam. Meskipun secara umum dan mendasar tidak diakuinya pencampuran harta kekayaan suami istri (dalam hukum Islam), ternyata setelah dianalisis yang tidak bisa dicampur adalah harta bawaan dan harta perolehan. Hal ini sama halnya dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum positif, bahwa kedua macam harta itu harus terpisah dengan dari harta bersama itu sendiri. Dalam perspektif hukum Islam, harta bersama dapat ditelusuri melalui pendekatan qiyas dan ijtihad. Harta bersama merupakan salah satu bentuk sumber kekayaan yang diusahakan suami-isteri dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hukum Islam, Hukum Adat dan Hukum Perdata Barat (BW) mempunyai perbedaan dalam mengatur sumber pembiayaan bagi penyelenggaraan kehidupan keluarga. Perbedaan ini menyangkut tentang ada-tidaknya harta bersama, proses pembentukan harta bersama, unsur-unsur yang membentuk harta bersama, pola pengelolaan harta bersama dan pembagian harta bersama karena perceraian. Makna maal (harta) secara umum ialah segala sesuatu yang disukai manusia, seperti hasil pertanian, perak atau emas, ternak, atau barang-barang lain yang termasuk perhiasan dunia. Adapun tujuan pokok dari harta itu ialah membantu untuk memakmurkan bumi dan mengabdi pada Allah. Menurut madzhab Hanafi adalah sesuatu yang layak dimiliki menurut syarat dapat dimanfaatkan, disimpan/dikuasai dan bersifat konkret. Madzhab Maliki mendefinisikan hak milik menjadi dua macam. Pertama, adalah hak yang melekat pada seseorang yang menghalangi orang lain untuk menguasainya. Kedua, sesuatu yang diakui sebagai hak milik secara ‘urf (adat). Madzab Syafi’i mendefinisikan hak milik juga menjadi dua macam. Pertama, adalah sesuatu yang bermanfaat bagi pemiliknya. Kedua, bernilai harta. Hambali juga mendefinisikan hak milik menjadi dua macam. Pertama, sesuatu yangmempunyai nilai ekonomi, kedua, dilindungi undang-undang. Dari 4 madzhab tersebut dapat disimpulkan tentang pengertian harta/hak milik:
9 Analisis yuridis..., Fahmi Fadilah, FH-UI, 2013
1.
Sesuatu itu dapat diambil manfaat.
2.
Sesuatu itu mempunyai nilai ekonomi.
3.
Sesuatu itu secara ‘urf (adat yang benar) diakui sebagai hak milik.
4.
Adanya perlindungan undang-undang yang mengaturnya.
Harta secara sederhana mengandung arti sesuatu yang dapat dimiliki. Ia termasuk salah satu sendi bagi kehidupan manusia di dunia, karena tanpa harta atau secara khusus adalah makanan, manusia tidak akan dapat bertahan hidup. Oleh karena itu Allah SWT menyuruh manusia memperolehnya, memilikinya, dan memanfaatkannya bagi kehidupan manusia dan Allah SWT melarang berbuat sesuatu yang akan merusak dan meniadakan harta itu. Ia dapat berwujud bukan materi seperti hak-hak dan dapat pula berwujud materi. Yang berwujud materi ini ada yang bergerak dan ada pula yang tidak bergerak. Menurut Hukum Islam, dengan perkawinan menjadikan sang istri syarikatur rajuli filhayati = Kongsi sekutu seorang suami dalam menjalani bahtera hidup, maka antara suami istri dapat terjadi Syirkah Abdan (perkongsian tidak terbatas). Dalam hal ini, harta kekayaan bersatu karena Syirkah seakan-akan merupakan harta kekayaan tambahan karena usaha bersama suami istri selama perkawinan menjadi hak milik bersama, karena itu apabila kelak perjanjian perkawinan itu terputus karena perceraian atau talak, maka Harta Syirkah tersebut dibagi antara suami istri menurut pertimbangan sejauh mana usaha suami istri tersebut turut berusaha dalam syirkah. Secara bahasa, Syirkah artinya penggabungan, percampuran, atau serikat. Sedangkan secara istilah, syirkah berarti akad (perjanjian) antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan. Penggunaan kata modal dan keuntungan menunjukkan bahwa pembahasan mengenai syirkah ini biasanya diletakkan pada bagian usaha, khususnya usaha bersama. Dan memang demikian adanya, meskipun ada beberapa bentuk persekutuan yang tidak dimaksudkan sebagai persekutuan usaha, seperti pemilikan bersama terhadap harta. Dengan demikian tidak mudah mendapatkan definisi Syirkah yang terkait secara langsung dengan Harta Bersama dalam kitab-kitab fiqih yang klasik dan kontemporer karena pada dasarnya tidak ada keterkaitan antara pernikahan dengan syirkah harta.
10 Analisis yuridis..., Fahmi Fadilah, FH-UI, 2013
Pengertian Harta Bersama Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) menerangkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan pengertian bahwa harta bersama atau syirkah yaitu harta yang diperoleh sendirisendiri atau bersama-sama suami isteri selama perkawinan tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun. Pengertian harta bersama menurut para ahli hukum mempunyai kesamaan satu sama lain. Menurut Sayuti Thalib, harta perolehan selama ikatan perkawinan yang didapat atas usaha masing-masing secara sendiri-sendiri atau didapat secara usaha bersama merupakan harta bersama bagi suami isteri tersebut. Menurut Hazairin, harta yang diperoleh suami dan isteri karena usahanya adalah harta bersama, baik mereka bekerja bersama-sama ataupun suami saja yang bekerja sedangkan isteri hanya mengurus rumah tangga dan anak-anak di rumah, sekali mereka itu terikat dalam suatu perjanjian perkawinan sebagai suami isteri maka semuanya menjadi bersatu baik harta maupun anakanaknya. Pengertian Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam Harta bersama merupakan masalah ijtihadiyyah dan di dalam kitab-kitab fiqih belum ada pembahasannya, begitu pula nas-nya tidak ditemukan dalam al-Quran dan sunnah. Padahal apa yang terjadi di lingkungan masyarakat Indonesia tentang harta bersama telah lama berkenbang dan berlaku dalam kehidupan kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itu adanya ketentuan hukum tentang harta bersama dalam KHI banyak dipengaruhi berbagai faktor yang berkembang dan berlaku di dalam masyarakat. Al Quran dan Hadits tidak memberikan ketentuan yang jelas bahwa harta benda yang diperoleh suami selama berlangsungnya perkawinan sepenuhnya menjadi hak suami. Al Quran juga tidak menerangkan secara jelas bahwa harta yang diperoleh suami dalam perkawinan, maka secara tidak langsung istri juga berhak terhadap harta tersebut. Atas dasar itulah, maka bisa dikatakan bahwa masalah harta bersama ini tidak secara jelas disinggung dalam rujukan Hukum Islam, baik
11 Analisis yuridis..., Fahmi Fadilah, FH-UI, 2013
itu berdasarkan Al Quran maupun hadis|. Atau dengan kata lain, masalah ini merupakan wilayah yang belum terpikirkan (gairu mufakkar fiqh) dalam Hukum Islam karena memang belum disinggung secara jelas dalam sumber-sumber atau teks-teks keislaman. Pembagian Harta Bersama Menurut Hukum Islam Pada dasarnya harta suami dan harta istri itu terpisah, baik harta bawaannya masing-masing atau harta yang diperoleh oleh salah seorang suami atau istri atas usahanya sendiri, maupun harta yang diperoleh oleh salah seorang mereka karena hadiah atau hibah atau warisan sesudah mereka terikat dalam hubungan perkawinan. Terpisahnya harta suami istri itu memberikan hak yang sama bagi istri dan suami dalam hal mengatur hartanya sesuai dengan kebijaksanaannya masing-masing. Walaupun demikian telah dibuka kemungkinan syirkah atas harta kekayaan suami istri itu secara resmi dan menurut cara-cara tertentu. Suami istri dapat mengadakan syirkah yang berarti itu adalah percampuran harta kekayaan yang diperoleh suami dan/atau istri selama masa adanya perkawinan atas usaha suami atau istri secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Begitupun mengenai harta kekayaan usaha sendiri-sendiri, sebelum perkawinan dan harta yang berasal bukan dari usaha salah satu dari mereka atau bukan dari usaha mereka berdua, tetapi berasal dari pemberian atau warisan atau lainnya yang khusus teruntuk mereka masing-masing, dapat tetap menjadi milik masing-masing
baik yang diperolehnya sebelum perkawinan, maupun yang
diperolehnya setelah mereka berada dalam satu ikatan perkawinan tetap dapat pula mereka syirkah-kan. Pembagian Harta Bersama Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam setiap Perkawinan tidak terlepas oleh adanya harta benda, baik yang diperoleh sebelum perkawinan, pada saat perkawinan berlangsung maupun yang diperoleh selama menjadi suamiistri dalam suatu ikatan perkawinan. Undang-Undang Perkawinan membedakan harta benda dalam perkawinan, yang diatur pada Pasal 35 bahwa:
12 Analisis yuridis..., Fahmi Fadilah, FH-UI, 2013
1.
Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2.
Harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pembagian Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam Konsep harta bersama dalam KHI dijelaskan secara rinci dalam Bab XIII mulai dari Pasal 85 sampai Pasal 97. Dari KHI dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya keberadaan harta bersama tidak menutup kemungkinan adanya harta masing-masing. Bahkan lebih ditegas dinyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran harta yang diakibatkan karena adanya perkawinan dan ketentuan mengenai harta bersama ditentukan berdasarkan perjanjian. Apabila terjadi perselisihan, maka diselesaikan di pengadilan. Inovasi pembagian harta warisan yang ditawarkan oleh KHI dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, karena solusi yang ditawarkan tidak berlawanan dengan adat kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, harta bersama didefenisikan lebih luas. Suami yang melakukan usaha di luar rumah untuk mencari nafkah dan istri yang berada di rumah juga dikagorikan bekerja, sehingga di antara keduanya terdapat kesamaan dan kesetaraan. Beberapa Sudut Pandang Terhadap Harta Bersama Pada tataran yang sangat dasar, al-Qur`an dan Hadits tidak membicarakan harta bersama. Oleh karena itu, persoalan tersebut diserahkan kepada lembaga ijtihad atau kepada hukum adat, sejalan dengan kaidah al-adat muhkamah atau al-adat muhakkamah (kebiasaan dapat dipakai dan punya otoritas untuk menentukan hukum atau kebiasaan dipandang sebagai hukum). Para ahli Hukum Islam berbeda pendapat dalam memandang hukum harta bersama. Kelompok pertama berpendapat bahwa pada asasnya dalam Hukum Islam tidak ada harta bersama. Seluruh biaya pemenuhan penyelenggaraan kehidupan rumah tangga menjadi kewajiban dan tanggung jawab suami. Walaupun isteri memiliki harta baik berasal dari warisan, hibah maupun hasil usahanya sendiri, ia tidak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Penggunaan harta benda isteri oleh suami untuk memenuhi kebutuhan keluarga, hukumnya sebagai pinjaman atau hutang yang harus dikembalikan.
13 Analisis yuridis..., Fahmi Fadilah, FH-UI, 2013
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA (Analisis Putusan Pengadilan Agama Bogor Nomor: 261/Pdt. G/2011/PA. Bgr) Duduk Perkara Kasus posisi berikut memaparkan peristiwa yang terjadi secara umum dan selebihnya Penulis memfokuskan kepada permasalahan mengenai Pembagian Harta Bersama. Hal ini karena didasarkan kepada pembahasan dalam penelitian ini menitikberatkan kepada permasalahan pembagian Harta Bersama. Di dalam kasus ini, Penggugat (istri) menggugat cerai Tergugat (suami), dikarenakan dalam perkawinan mereka sudah tidak terdapatnya kecocokan antara satu sama lain yang disebabkan oleh banyak faktor. Dengan diajukannya gugatan cerai oleh Penggugat, hal tersebut juga menyinggung mengenai Harta Bersama yang dihasilkan selama perkawinan berlangsung dan pembagian diantara kedua belah pihak. Menurut putusan Pengadilan Agam Bogor, Hakim mempertimbangkan pembagian Harta Bersama ini dengan melihat pada kewajiban suami berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, bahwa suami wajib melindungi dan memberikan segala sesuatu kebutuhan atau keperluan hidup rumah tangganya sesuai dengan kemampuannya. Dikaitkan dengan perkara diatas, Hakim mempertimbangkan adanya keterangan dari saksi-saksi beserta bukti-bukti yang ada, bahwa Tergugat sudah tidak melaksanakan kewajibannya lagi sebagai suami. Dari segi Hukum Islam, pihak suami (Tergugat) dapat dikatakan tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana seharusnya. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari Perkawinan. Selanjutnya, analisis mengenai kedudukan dan pembagian Harta Bersama. Pengaturan mengenai harta bersama tidak diatur di dalam al-Qur’an, namun melalui sumber hukum Islam seperti hadits dan ijtihad, dan sebagainya, kedudukan harta bersama menjadi dimungkinkan. Adanya harta bersama dimungkinkan sebagaimana konsep syirkah di dalam hukum Islam. Menurut hukum Islam dengan adanya perkawinan, sang istri menjadi syiarikatul-rajuli filhayati (kongsi sekutu seorang suami dalam melayani bahtera hidup), maka antara suami istri tersebut terjadilah syirkah abdan (perkongsian tenaga) dan syirkah mufawadhah (perkongsian tidak terbatas).
14 Analisis yuridis..., Fahmi Fadilah, FH-UI, 2013
Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor: 11/Pdt. G/2011/PTA. Bdg. Duduk Perkara Pada putusan Pengadilan Agama Tinggi Bandung dengan Nomor 11/Pdt. G/2011/PTA. Bdg, Pengadilan Tinggi Agama Bandung memeriksa dan mengadili Perkara Perdata dalam Pengadilan tingkat kedua atas permohonan Penggugat Asli yang kemudian disebut sebagai Pembanding (Suami) yang berwarga Indonesia, pekerjaannya sebagai Pegawai Negeri Sipil dan Tergugat Asli yang kemudian disebut sebagai Terbanding (Istri) yang berwarga negara Indonesia, yang pekerjaannya sebagai Pegawai Negeri Sipil juga. Para Pihak bertempat tinggal dan berdomisili di Kota Bogor. Dalam duduk perkara, Para Pihak mengajukan permohonan tanggal 26 Oktober 2010 dan terdaftar pada register perdata permohonan Nomor 460/Pdt.G/2010/PA.Bgr. yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Bogor pada tanggal 1 November 2010 dan 8 November 2010 yang menyatakan bahwa Penggugat/Pembanding/Terbanding dan Tergugat/Terbanding/Pembanding telah mengajukan upaya hukum banding atas putusan Pengadilan Agama tersebut. Para Pihak sama-sama bekerja dan mempunyai penghasilan masing-masing yang cukup menopang kehidupan baik untuk kepentingan pribadinya maupun keluarga sehingga baik Penggugat dan Tergugat tidak memerlukan bantuan dibidang ekonomi atau keuangan antara satu dengan lainnya, namun demikian dalam urusan keluarga Penggugat tetap bertanggung jawab sepenuhnya atas kesejahteraan keluarganya sesuai dengan kedudukannya sebagai kepala keluarga. Dalam pertimbangan hukumnya, untuk memperkuat dalil-dalil permohonan, Para Pihak mengajukan bukti-bukti surat dan saksi-saksi yang disebut diatas. Berdasarkan bukti surat dan keterangan saksi-saksi yang dikaitkan satu sama lain, terungkap fakta yuridis bahwa Para Pihak merupakan suami isteri dan keduanya bekerja. Dalam putusan diatas, seperti pada Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor: 11/Pdt. G/2011/PTA. Bdg, Hakim tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
15 Analisis yuridis..., Fahmi Fadilah, FH-UI, 2013
Tentang Perkawinan karena Hakim tersebut mengeluarkan Penetapan pemisahan harta bersama setelah berlangsungnya perkawinan. Selanjutnya, disebutkan dengan jelas bahwa pekerjaan Para Pihak masing-masing adalah sebagai Pegawai Negeri Sipil. Alasan yang diutarakan oleh Para Pihak adalah karena Para Pihak sama-sama mempunyai pekerjaan dan penghasilan masingmasing yang cukup menopang kehidupan baik untuk kepentingan pribadinya maupun keluarga, sehingga baik Tergugat dan Penggugat tidak memerlukan bantuan dibidang ekonomi atau keuangan antara satu dengan lainnya, kemudian pekerjaan Penggugat mempunyai resiko dan konsekuensi terhadap harta bersama dan harta pribadi, dan karena kealpaan dan ketidaktahuan maka tidak dibuatkan perjanjian perkawinan sebelum atau pada saat berlangsungnya perkawinan. Seharusnya Para Pemohon mengetahui adanya perjanjian perkawinan yang dilakukan sebelum atau pada saat berlangsungnya perkawinan. Apabila kita melihat kepada kedua Putusan tersebut diatas, mayoritas Harta Bersama yang disengketakan dalam kedua kasus tersebut adalah atas nama Tergugat dan menyatakan hal-hal tersebut termasuk ke dalam Harta Bersama. Menurut aturan KHI Pasal 1 huruf f sebagaimana disebutkan sebelumnya, tidak dipermasalahkan terdaftar atas nama siapakah harta tersebut, apakah itu terdafar atas nama suami atau terdaftar atas nama istri, selama harta tersebut merupakan hasil usaha bersama-sama suami dan istri ataupun masing-masing suami atau istri yang dihasilkan pada saat perkawinan, maka harta tersebut dapat dikategorikan sebagai harta bersama. Pengaturan mengenai harta bersama dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Islam Sengketa pembagian harta bersama sebagai akibat dari perceraian suami isteri tidak terjadi di setiap negara Islam. Sengketa seperti ini hanya terjadi dalam masyarakat yang mengenal adanya harta bersama. Adanya apa yang disebut harta bersama dalam suatu rumah tangga, pada awalnya didasarkan atas adat istiadat dalam suatu wilayah yang tidak memisahkan adanya hak milik, yaitu hak milik dari masing-masing pasangan. Dalam masyarakat Islam yang adat istiadatnya memisahkan antara harta suami dan harta isteri tidak mengenal adanya harta bersama. Dalam masyarakat Islam seperti ini harta pencarian suami selama dalam masa perkawinan tetap
16 Analisis yuridis..., Fahmi Fadilah, FH-UI, 2013
dianggap sebagai harta suami, bukan dianggap sebagai harta bersama isteri. Isteri berkewajiban menjaga serta memelihara harta suami yang berada dalam rumah. Bila isteri mempunyai penghasilan sendiri maka hasil usahanya tidak dicampurbaurkan dengan harta suami. Jika suatu saat suami mendapat kesulitan dalam pembiayaan, maka jika suami menggunakan harta isteri, berarti suami telah berhutang kepada isteri yang wajib dibayar kemudian hari. Bila salah seorang meninggal dunia, maka tidak ada masalah tentang pembagian harta bersama karena harta masingmasing telah terpisah sejak semula. Kelemahannya jika isteri tidak mempunyai penghasilan sendiri maka isteri tidak mempunyai harta, dan jika suami meninggal dunia, isteri hanya mendapat pembagian harta warisan dari harta peninggalan suami. Demikian juga jika terjadi perceraian, masalah yang berhubungan dengan harta yang menjadi masalah adalah apakah isteri berhak menerima nafkah selama dalam masa iddah. Kesimpulan dan Saran 1.
Dalam permasalahan harta bersama, meskipun dalam produk ulama-ulama fiqih tidak pernah dibahas, namun ini berperan penting dalam kaitannya dengan hak-hak seseorang atas harta benda yang dimilikinya. Jadi sebisa mungkin untuk penguasaan harta bersama ataupun harta bawaan dari salah satu pihak dalam bentuk bagaimanapun jangan sampai merugikan pihak lain dan menimbulkan tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, ada baiknya kita sebagai masyarakat maupun instansi penegak hukum yang ada di Indonesia, lebih memahami bagaimana seluk-beluk dan pengaturan mengenai Harta Bersama ini, agar di masa yang akan datang tidak ada perselisihan paham antar sesama masyarakat maupun para penegak hukum dan pembuat peraturan atau Undang-Undang.
2.
Permasalahan mengenai harta bersama hendaknya jangan sampai masuk pada proses Pengadilan. Masalah harta benda merupakan masalah yang sangat rawan bagai pisau bermata dua, bisa menyatukan juga bisa menimbulkan pertikaian dan permusuhan. Masalah seperti ini, sebaiknya diselesaikan secara kekeluargaan melalui musyawarah keluarga.
3.
Ada baiknya sengketa mengenai Harta Bersama ini diselesaikan dengan cara kekeluargaan terlebih dahulu sebelum memasuki ranah Pengadilan. Karena dengan
17 Analisis yuridis..., Fahmi Fadilah, FH-UI, 2013
pilihan penyelesaian secara kekeluargaan, masyarakat maupun pasangan suami istri yang sedang bersengketa akan tetap mengedepankan kepentingan anak-anak di masa depan. DAFTAR PUSTAKA BUKU Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta. Penerbit: Sinar Grafika, 2006. Daud Ali, Mohammad. Hukum Islam – Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta. Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada, 2006. Djubaedah, Neng, Sulaikin Lubis dan Farida Prihatini. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta. Penerbit: PT. Hecca Mitra Utama, 2005. Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan Dan Keluarga Di Indonesia. Jakarta. Penerbit: Badan Penerbit FHUI, 2004. Gautama, Sudargo. Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran. Jakarta. Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, 1996. Mas’adi, Gufron. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta. Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta. Penerbit: PT. Lentera Basritama, 1999. Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Kiqih, Undang-Undang No. 1/1974 sampai dengan Kompilasi Hukum Islam). Jakarta. Penerbit: Prenada Media, 2004. Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam. Jakarta. Penerbit: Sinar Grafika, 1995. Sumiarni, Endang. Kedudukan Suami Istri Dalam Hukum Perkawinan (Kajian Kesetaraan Gender melalui Perjanjian Kawin). Jakarta. Penerbit: Wonderful Publishing Company, 2004. Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta. Penerbit: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, 2002.
18 Analisis yuridis..., Fahmi Fadilah, FH-UI, 2013
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam. Jakarta. Penerbit: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, 2004. Susanto, Dedi. Kupas Tuntas Masalah Harta Gono-Gini. Jakarta. Penerbit: PT. Buku Seru, 2011. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan). Jakarta. Penerbit: Prenada Media, 2006. __________. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta. Penerbit: Prenada Media, 2003. Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta. Penerbit: Penerbit Universitas Indonesia, 1986. Zein, Satria Effendi M. Problematika Hukum Keluarga Islam kontemporer – Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah. Jakarta. Penerbit: Kencana - Prenada Media, 2004. Z. Djuher. Hukum Perkawinan Islam Dan Relevansinya Dengan Kesadaran Hukum Masyarakat (Suatu Studi Mengenai UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Jakarta. Penerbit: Dewa Ruci, 1983. II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Undang-Undang Tentang Perkawinan. Nomor 1 Tahun 1974, Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974, Tambahan Lemabaran Negara Nomor 3019. ________. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). III. INTERNET Aza, Habib. Pembagian Harta Gono-Gini Menurut Islam, http://wisata.kompasiana.com/jalanjalan/2012/12/12/bpembagianharta-gono-gini-menurut-islam-515393.html, diakses pada tanggal 3 Juli 2013, pukul 08.15 WIB. Lucas,
Vany.
Masalah
Harta
Bersama
Dalam
Perkawinan,
http://vanylucas92.blogspot.com/2013/02/masalah-harta-bersama-dalam-proses.html, diakses pada tanggal 3 Juli 2013, pukul 10.41 WIB. Manan, Abdul. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Cara Di Peradilan Agama,
19 Analisis yuridis..., Fahmi Fadilah, FH-UI, 2013
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/PENEMUAN%20HUKUMOLEH%20HAKIMAM.pdf, diakses Tanggal 29 Desember 2012, Pukul 00:30 WIB . Misliranti, Yunthia. Kedudukan Dan Bagian Isteri Atas Harta Bersama Bagi Isteri Yang Dicerai Dari
Pernikahan
Sirri,
http://eprints.undip.ac.id/17762/1/Yunthia_Misliranti.pdf
,
diunduh pada tanggal 10 September 2012, pukul 12.29 WIB. Nafi, Muhammad. Harta Bersama Dalam Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif, http://pa-barabai.pta-banjarmasin.go.id/index.php?content=mod_artikel&id=37,
diakses
pada tanggal 25 Oktober 2012. Pukul 14.42 WIB. Nafi’ah, Siti. Pembagian Harta Bersama Suami Isteri Menurut Fiqh Dan Perundang-undangan Di Indonesia, (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2000 dan 2004). http://idb4.wikispaces.com/file/view/ws4003.pdf. Diunduh tanggal , Pukul
WIB.
Nasution, Ismi Syafriani. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5515/1/09E02299.pdf,
Diakses
pada
tanggal 2 Juli 2013, pukul 11.44 WIB. Panistik,
Egidius.
http://internasional.kompas.com/read/2012/05/10/09323017/Obama.Dukung.Perkawinan. Sesama.Jenis, Diakses pada 8 November 2012. Pukul 11.30 WIB. Putusnya Perkawinan Akibat Cerai Talak Dalam Prespektif Hukum Islam Dan Hukum Positif. http://www.negarahukum.com/hukum/putusnya-perkawinan-akibat-cerai-talak-dalamprespektif-hukum-islam-dan-hukum-positif.html, diakses pada tanggal 9 Januari 2013, pukul 00.36 WIB.
20 Analisis yuridis..., Fahmi Fadilah, FH-UI, 2013
Sadja,
Masrokhin.
Harta
Bersama
Menurut
Hukum
Islam,
http://masrokhinsadja.blogspot.com/2008/07/harta-bersama.html, diakses pada tanggal 25 Okktober 2012. Pukul 14.44 WIB. Sulastri,
Ai.
Harta
(Pemilikan
dan
http://www.scribd.com/doc/55946621/Pengertian-Harta,
Diakses
Pemanfaatan), pada
tanggal
04
November 2012. Pukul 22.23 WIB. Yunani, Elti. Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama (Gono Gini) Dalam Praktek Di Pengadilan
Agama
Bandar
Lampung
–
Lampung.
http://eprints.undip.ac.id/17368/1/Elti_Yunani.pdf, diakses pada tanggal 13 Oktober 2012. Pukul 18.03 WIB. IV. WAWANCARA Wawancara dengan H. Anshori, S.H., S.Ag., Mantan Hakim Pengadilan Agama Cibinong, Bogor, pada tanggal 29 Desember 2012. V. LAIN-LAIN Proyek Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama. Himpunan Fatwa Pengadilan Agama. Jakarta 1980/1981.
21 Analisis yuridis..., Fahmi Fadilah, FH-UI, 2013