PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) DALAM UU NO.20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN (SUATU KAJIAN DARI SEGI HUKUM PERJANJIAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN): ANALISIS PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) TERHADAP UNIT SATUAN CONDOTEL X IGA Santi Santosa Suharnoko SH., MLI Henny Marlyna SH., MH., MLI
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG HUBUNGAN SESAMA ABSTRAK
Nama
: IGA Santi Santosa
Program Studi
: Ilmu Hukum
Departemen Judul Skripsi
: Hukum Tentang Hubungan Sesama : Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Dalam UU No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun ( Suatu Kajian Dari Segi Hukum Perjanjian Dan Hukum Perlindungan Konsumen ): Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Terhadap Unit Satuan Condotel X.
Skripsi ini membahas tentang Perjanjian Pengikatan Jual Beli menurut UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun khususnya Pasal 43 ayat (2) huruf c, dimana dalam pasal ini lebih menekankan secara jelas dan tegas akibat hukum yang akan dihadapi oleh pihak pengembang atau developer bila dalam melakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam pasal tersebut diatas maka dikenakan sanksi pidana dan admistratif bagi pihak yang melanggar ketentuan tersebut. Walaupun dalam PPJB tersebut pihak pengembang (developer) membuat suatu klausula atau pasal pengabaian untuk menghindarkan pasal 43 ayat (2) huruf c maka Perjanjian Pengikatan Jual Beli tersebut melanggar UU Rumah Susun No. 20 Tahun 2011 karena UU ini bersifat Imperatif atau bersifat memaksa sehingga akibat hukum yang timbul adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam hal ini pihak developer dengan pembeli satuan rumah susun batal demi hukum yang memiliki akibat tidak adanya hak dan kewajiban yang timbul dari para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Sehingga secara otomatis para pihak yang merasa dirugikan tidak dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan. Selain itu dalam Pasal 18 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memberikan akibat hukum yang sama dengan UU No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun apabila klausula baku yang melanggar Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
Perjanjian pengikatan..., Iga Santi Santosa, FH UI, 2013
Kata kunci: Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Pengembang, Konsumen, Rumah Susun, Batal Demi Hukum. ABSTRACT
Name
: IGA Santi Santosa
Study Program
: Law
Judul Skripsi
: Conditional Sale and Purchase Agreement (PPJB) as defined by Law No.20 of 2011 on Apartment (Study from Perspective of Contractual Law and Consumer Protection Law) : The Anaysis of Conditional Sale and Purchase Agreement (PPJB) Condotel X Unit
This paper discusses about Conditional Sale and Purchase Agreement as defined by Law No. 20 of 2011 on Apartment specifically Article 43 paragraph (2) letter c, upon which it focuses clearly and strictly on the legal consequences to the developer which may arise from non-compliance with the provisions of the article which include criminal and administrative penalty against the defaulting party. Although Conditional Sale and Purchase Agreement allows the developer to make a clause or article on waiver of Article 43 paragraph (2) letter c, the Conditional Sale and Purchase Agreement is contrary to the Apartmen Law No. 20 of 2011 as it is imperative or coercive, thus, as a legal consequence, agreement entered into by the parties, the developer and purchaser of apartment unit, will be rendered null and void, thus depriving the rights and obligations of the parties to the agreement. The affected parties may consequently institute claims to the court. In addition, Article 18 paragraph (3) UU No. 8 of 1999 on Consumer Protection provides the same legal consequence as those imposed by Law No. 20 of 2011 on Apartmen Law if the standard clause which is in conflict with Article 18 paragraph (1) and paragraph (2) is rendered null and void.
Keywords: Conditional Sale and Purchase Agreement, Consumer, Apartement, Null and Void.
Pendahuluan Latar Belakang Masalah Dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan dan pemukiman, serta mengefektifkan penggunaan tanah terutama di daerahdaerah yang berpenduduk padat, maka perlu dilakukan penataan atas tanah sehingga
Perjanjian pengikatan..., Iga Santi Santosa, FH UI, 2013
pemanfaatannya betul-betul dapat dirasakan oleh masyarakat banyak.1 Oleh karena itu, salah satu cara untuk mengefektifkan penggunaan tanah terutama di daerah-daerah yang jumlah penduduknya padat maka dilakukan pembangunan rumah susun. Pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama di daerah perkotaan yang jumlah penduduknya terus meningkat, karena pembangunan rumah susun dapat mengurangi penggunaan tanah, membuat ruang-ruang terbuka kota yang lebih lega dan dapat digunakan sebagai suatu cara untuk peremajaan kota bagi daerah yang kumuh.2 Dalam rangka mewujudkan pembangunan rumah susun maka dibutuhkan peranan pengembang (developer) untuk mewujudkan pembangunan rumuh susun yang sesuai dengan keinginan pemerintah dan masyarakat. Ternyata keinginan dari pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan pembangunan rumah susun mendapatkan sambutan yang antusias dari pihak pengembang.3 Oleh karena itu, dengan semakin tingginya permintaan akan
rumah susun dalam
masyarakat khususnya di pemukiman penduduk yang padat maka dibutuhkan aturan-aturan yang jelas antara pihak penjual dalam hal ini pengembang dengan pihak pembeli yaitu konsumen yang membeli rumah susun yang mana untuk memberikan kepastian hukum diantara mereka. Dengan demikian, Pemerintah mendukung dengan serius pembangunan rumah susun, dengan mengeluarkan Undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (UU No. 16/1985). Walaupun demikian, rumah susun yang dibangun oleh pemerintah untuk menyediakan tempat hunian bagi masyarakat ditujukan bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah. Hal tersebut dapat dilihat pada ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU No. 16/1985 yang menyebutkan bahwa “Rumah Susun dibangun sesuai dengan tingkat keperluan dan kemampuan masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah.”4 Namun Kebijakan pemerintah tersebut tidak menutup kemungkinan penggunaan ketentuan–ketentuan UU No. 16/1985 untuk pembangunan rumah susun bagi golongan menengah dan golongan atas. Selain itu, UU No. 16/1985 ini mengatur hubungan antara 1
Arie S Hutagalung, Kondominium dan Permasalahan, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia), hal.1. 2
Ibid.
3
Ibid.
4
Arie S Hutagalung, op. cit., hal. 7.
Perjanjian pengikatan..., Iga Santi Santosa, FH UI, 2013
pihak penjual rumah susun dalam hal ini pengembang (developer) dan pihak pembeli rumah susun. Salah satu bentuk dari hubungan di antara ke dua belah pihak ini diwujudkan dalam perjanjian jual beli. Dalam Perjanjian Jual Beli itu sendiri adalah suatu perjanjian timbal balik yang dalam hal ini pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang kan pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.5 Unsur-unsur pokok perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian Kitab Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), perjanjian jual beli itu sudah lahir pada detik tercapainya sepakat mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah.6 Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang berbunyi “Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum di serahkan maupun harganya belum dibayar.7 Asas konsensualisme yang dianut dalam hukum perjanjian KUHPerdata tersebut adalah berasal dari Pasal 1320 KUHPerdata, dimana sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, antara lain: 1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal8 Selain itu, dengan adanya asas konsensulisme maka Perjanjian Jual beli yang dibuat diantara para pihak dalam hal ini pihak penjual yaitu pihak pengembang (developer) dengan pihak konsumen dalam hal ini pembeli rumah susun adalah bersifat mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak. Namun, dengan berjalannya waktu ditemukan kelemahan dalam UU No. 16/1985 yang mana menimbulkan masalah yang sangat besar khususnya bagi pihak konsumen atau pembeli rumah susun. Masalah tersebut adalah tidak adanya kepastian
5
Richard Eddy, Aspek Legal Properti Teori, Contoh, dan Aplikasi, (Yogyakarta: C.V Andi Offset), hal.
6
Subekti (a), Aneka Perjanjian, (Bandung: Penerbit Alumni), hal. 2.
7
Ibid., hal. 2.
8
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1320 hal. 339.
55.
Perjanjian pengikatan..., Iga Santi Santosa, FH UI, 2013
hukum dan perlindungan hukum bagi konsumen atau pembeli rumah susun dari pihak pengembang (developer). Masalah yang timbul dari UU No. 16/1985 adalah tidak adanya pengaturan mengenai sanksi pidana dari tidak dilaksanakannya Perjanjian Pengikatan Jual Beli oleh para pihak serta tidak adanya
ketegasan dari pemerintah untuk memberikan batasan yang jelas
mengenai besarnya modal yang dimilki oleh pihak penngembang (developer)
dalam
membuat rumah susun. Oleh Karena itu UU No. 16/1985 tidak memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pihak konsumen atau pembeli rumah susun khususnya dalam hal besarnya modal yang harus dimilki oleh pihak penjual dalam hal ini pihak pengembang (developer), sehingga memudahkan pihak developer untuk melepaskan diri dari kewajibannya setelah dilakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan pihak pembeli. Oleh karena itu dilakukan perubahan terhadap UU No. 16/1985 yang diganti dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU No. 20/2011) khususnya yang berhubungan dengan syarat untuk memenuhi kepastian atas status kepemilikan tanah Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Perubahan signifikan yang dapat dilihat dalam Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011 yaitu : 1.
Kepemilikan IMB;
2.
Ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;
3.
Keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan
4.
Hal yang diperjanjikan
Dalam Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011 adanya penambahan syarat dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) pada huruf c yaitu pihak pengembang (developer) dapat melakukan PPJB dengan pihak konsumen atau pihak pembeli rumah susun apabila pihak pengembang telah melakukan keterbangunan 20% (dua puluh persen). Jelaslah dalam UU No. 20/2011 telah memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pihak konsumen atau pembeli rumah susun khususnya dalam hal besarnya modal yang harus dimilki oleh pihak penjual dalam hal ini pihak pengembang (developer). Selain itu, adanya sanksi pidana bagi para pihak yang tidak memenuhi isi dari UU No. 20/2011 terssebut, yang mana diatur dalam Pasal 109 – 117 UU No. 20/2011. Timbul permasalahan bagi pihak pengembang (developer) khususnya dalam Pasal 43 Ayat (2) huruf c UU No. 20/2011 dimana pihak pengembang (developer) merasa berat dengan syarat keterbangunan 20% (dua puluh persen) untuk terjadinya PPJB dengan pihak konsumen karena dalam hal ini pihak pengembang (developer) harus mempunyai modal yang
Perjanjian pengikatan..., Iga Santi Santosa, FH UI, 2013
besar, sehingga akan menyulitkan bagi pihak developer atau pengembang yang tidak mempunyai modal yang terlalu besar. Bila pihak developer atau pengembang mengenyampingkan isi dari Pasal ini khususnya huruf c maka akan dikenakan sanksi pidana karena UU No. 20/2011 ini bersifat imperatif atau memaksa dimana adanya sanksi pidana bagi pihak yang melanggar UU tersebut. Dengan demikian, yang menjadi pokok permasalahan dari penelitian ini adalah apakah Pasal 43 Ayat (2 ) huruf c UU No. 20/2011 dapat dikatakan sah jika para pihak dalam hal ini pihak pengembang (developer) dengan konsumen dalam hal ini pihak pembeli rumah susun melakukan kesepakatan dengan mengenyampingkan dari isi Pasal tersebut dengan membuat suatu klausula diantara mereka.
Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut: 1.
Apakah latar belakang pengaturan Pasal 43 Ayat (2) huruf c UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun dan sanksi pidana pada Pasal 110 UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun ?
2. Apakah Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Unit Satuan Condotel X bertentangan dengan Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun? 3. Bagaimana akibat hukum apabila perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat oleh developer dan konsumen bertentangan dengan Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun?
Pembahasan 1. ketentuan Pasal 43 UU No. 20/2011, maka ketentuan tersebut telah menuliskan secara jelas:
"Pasal 43 1. Proses jual beli sarusun sebelum pembangunan rumah susun selesai dapat dilakukan melalui PPJB yang dibuat di hadapan notaris. 2. PPJB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas: a. status kepemilikan tanah; b. kepemilikan IMB; c. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; d. keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan
Perjanjian pengikatan..., Iga Santi Santosa, FH UI, 2013
e. hal yang diperjanjikan." Ketentuan tersebut secara tegas menyatakan bahwa telah dipersyaratkan 5 (lima) hal yang harus dipenuhi secara formalitas pembuatan PPJB. Dalam hal ini PPJB unit satuan Condotel X harus memenuhi 4 (empat) komponen utama dan 1 (satu) komponen pelengkap. Keempat persyaratan tersebut yang telah diatur adalah sebagai berikut: Status Kepemilikan Tanah; Kepemilikan IMB; Ketersediaan Prasarana, Sarana, Dan Utilitas Umum; dan Keterbangunan Paling Sedikit 20% (Dua Puluh Persen).
Perihal status kepemilikan tanah, maka dapat dilihat berdasarkan Pasal 1 huruf i PPJB X maka status tanah Condotel X adalah Sertifikat Hak Guna Bangunan atas nama PT. Y yang nantinya akan dipecah atas nama pemiliknya berdasarkan Pasal 11 Ayat (1) huruf c jo. Pasal 12 Poin 4 PPJB unit satuan Condotel X yang menuliskan status kepemilikan dari pemiliknya adalah Sertipikat Hak Milik Satuan Rumah Susun (Unit Satuan Condotel). Dengan demikian, mengenai status kepemilikannya tidak menjadi masalah antara konsumen dan developer. Perihal kepemilikan IMB maka telah diatur secara tegas dalam Pasal 3 Ayat (2) PPJB dimana IMB merupakan persyaratan yang diperlukan dalam pembangunan proyek Condotel X. Sedangkan perihal ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum, maka telah diatur lebih lanjut dalam Pasal 1 Ayat (1) huruf c - f . Penulis tidak menemukan satu hal yang mengatur mengenai Keterbangunan Paling Sedikit 20% (Dua Puluh Persen) dalam PPJB unit satuan Condotel X. Penulis hanya menemukan adanya pengabaian atau pengecualian yang dalam Pasal 21 PPJB unit satuan Condotel X, dimana ketentuan tersebut menyatakan sebagai berikut:
"Pasal 21 Pengabaian 1. Para Pihak dengan iktikad baik tanpa bermaksud merugikan satu sama lain, dengan ini menyatakan secara tegas menyetujui mengabaikan ketentuanketentuan sebagai berikut: a. Pasal 1266 dan 1267 Kitab Undang-undang Hukum Perdata; b. Pasal 43 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun; 2. Para Pihak dengan iktikad baik tanpa bermaksud merugikan satu sama lain, dengan ini menyatakan secara tegas menyetujui untuk tidak saling
Perjanjian pengikatan..., Iga Santi Santosa, FH UI, 2013
menuntut/menggugat PAILIT diantara Para Pihak, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1998 tentang Kepailitan." Ketentuan tersebut telah memberikan pengecualian dalam dibuatnya PPJB unit satuan Condotel X, dimana Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011 tidak diikutsertakan dalam kesepakatan para pihak. Hal ini tentunya dapat merugikan salah satu pihak, karena ketentuan dalam PPJB unit satuan Condotel X tersebut tidak menjamin kepastian hukum calon pembeli (konsumen). Selain itu, lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011 secara tegas mengatur bahwa penentuan nilai 20% (dua puluh persen) harus dinilai dari 20% (dua puluh persen) dari volume konstruksi bangunan rumah susun yang sedang dipasarkan. Dalam prakteknya Condotel X hanya memasarkan gambar lokasi (site plan) dan denah maupun desain yang telah dibuat, sehingga dapat dikatakan bahwa developer PT Y melakukan transaksi terhadap barang yang belum ada. Konteks ini menjadi penting karena developer PT Y telah menghimpun dana dari konsumen untuk membangun Condotel X, sedangkan pihak developer PT Y tidak memberikan kepastian dari 20% (dua puluh persen) dari volume konstruksi Condotel X dengan cara mengabaikan ketentuan Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun, dimana Ir. Akbar Tandjung selaku Menteri Negara Perumahan Rakyat membuat kebijakan mengenai PPJB dengan tujuan utama agar mengamankan kepentingan para perusahaan pembangunan perumahan (developer) dan permukiman serta para calon pembeli rumah susun dari kemungkinan terjadinya ingkar janji dari para pihak. Hal inilah yang telah dituangkan dalam ketentuan Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011. Oleh karena itu dengan adanya pengecualian ini maka Penulis merasa perlu untuk membahas konsekuensi (akibat) hukum atas pengecualian yang secara tegas dibuat oleh developer dalam PPJB sebagai ketentuan klausula baku yang tidak dapat diubah oleh konsumen.
Analisis Akibat Hukum Dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli Unit Satuan Condotel X 1. Dari UU No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun Dalam PPJB unit satuan Condotel X terdapat klausula yang mengecualikan Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011, oleh karena itu bagi konsumen terdapat beberapa aspek yang perlu dibahas. Aspek yang dapat di analisis dari segi sanksi perdata dan pidana, maupun perlindungan hak konsumen.
Perjanjian pengikatan..., Iga Santi Santosa, FH UI, 2013
Apabila melihat ketentuan Pasal 105 Ayat (2) UU No. 20/2011 telah jelas menyatakan bahwa:
"(2) Dalam hal penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, pihak yang dirugikan dapat menggugat melalui pengadilan yang berada di lingkungan pengadilan umum atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan yang disepakati para pihak yang bersengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa." Lebih lanjut dalam Pasal 106 UU No. 20/2011 mengatur ketentuan sebagai berikut:
"Pasal 106 Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) dapat dilakukan oleh: a. orang perseorangan; b. badan hukum; c. masyarakat; dan/atau d. pemerintah atau instansi terkait." Artinya, dari ketentuan di atas maka pihak yang merasa dirugikan, dalam hal ini konsumen yang telah melakukan PPJB dengan pihak developer PT. Y tidak menutup kemungkinan dapat mengajukan gugatan perdata kepada developer PT. Y. Hal ini disebabkan karena perjanjian mengikat kedua belah pihak berdasarkan pada terpenuhinya semua syarat yang telah diatur dalam peraturan, dalam hal ini telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Selain itu adanya akibat hukum dari PPJB unit satuan
Condotel X yang tidak
memenuhi ketentuan dalam Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011, telah diberikan sanksi secara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 110 UU No. 20/2011, yang menuliskan sebagai berikut:
"Pasal 110 Pelaku pembangunan yang membuat PPJB: a. yang tidak sesuai dengan yang dipasarkan; atau b. sebelum memenuhi persyaratan kepastian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2); sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)." Dari ketentuan di atas telah mengatur konsekuensi hukum secara pidana apabila developer membuat PPJB unit satuan Condotel X yang belum memenuhi Pasal 43 Ayat (2) UU No.
Perjanjian pengikatan..., Iga Santi Santosa, FH UI, 2013
20/2011. Hal ini menjadi sangat mutlak bagi kesalahan developer PT Y, dimana dalam PPJB unit satuan Condotel X telah secara tegas mengakui dan membuat ketentuan pada awal konsideran huruf f PPJB unit satuan Condotel X yang berbunyi:
"Bahwa mengingat beberapa persyaratan sebagaimana diatur didalam Peraturan Rumah Susun belum dapat dipenuhi dan pembangunan sedang dalam tahap penyelesaian, maka Jual Beli Satuan Unit Condotel Somerset Kencana sebagaimana disyaratkan Peraturan Rumah Susun dengan akta yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah belum dapat dilakukan." Dikatakan mutlak karena secara jelas bahwa PT. Y selaku developer Condotel X telah mengakui secara tegas bahwa dalam proses pembangunan Condotel X belum dapat memenuhi ketentuan sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Rumah Susun, dalam hal ini adalah UU No. 20/2011 tentang Rumah Susun. Akan tetapi, sanksi yang diberikan oleh UU No. 20/2011 sangatlah mengikat dan berlaku secara umum tanpa melihat adanya kesepakatan para pihak. Hal ini disebabkan ketentuan pidana dibuat oleh pemerintah bersama dengan legislatif bertujuan melindungi konsumen dalam melakukan transaksi awal atas pembelian rumah susun. Selain itu, karakteristik ketentuan pidana di Indonesia hanya melihat dari pemenuhan unsur pidana yang dilanggar, maka siapapun dapat dilaporkan pidana. Dengan adanya ketentuan pidana ini, maka diharapkan adanya perlindungan dari konsumen dan juga kepastian dari developer dalam membangun Condotel X.
2. Dari Hukum Perdata Apabila kita berbicara mengenai syarat sahnya perjanjian, maka berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata khususnya untuk syarat dalam suatu sebab yang halal ditemukan adanya pelanggaran mengenai syarat sahnya perjanjian. Namun, perlu dicatat bahwa perjanjian akan mengikat kedua belah pihak berdasarkan kesepakatan yang yang dibuat sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
"Pasal 1320 KUHPerdata Syarat sahnya perjanjian, perlu dipenuhi empat syarat: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal."
Perjanjian pengikatan..., Iga Santi Santosa, FH UI, 2013
Dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat yaitu:
a. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya Kesepakatan antara para pihak yang membuat perjanjian yang mana terjadinya pertemuan atau kesesuaian kehendak diantara para pihak, dan kesepakatan tersebut harus diberikan secara bebas, artinya bebas dari paksaaan dan kekhilafan, dan penipuan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1321 KUHPerdata. Dalam hal ini para pihak yang terlibat dalam kesepakatan ini adalah Pihak Condotel X yang diwakili oleh pihak developer (PT Y) dengan pihak pembeli Condotel X (konsumen). Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dilakukan adalah sah karena adanya kesepakatan yang dibuat diantara mereka yaitu Pihak Condotel X yang diwakili oleh Developer dalam hal ini PT Y dengan pihak pembeli Condotel X (konsumen) tanpa ada paksaan, kehilafan dan penipuan.
b. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan Diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata dimana
kecakapan dari sahnya suatu
perjanjian yang dibuat oleh para pihak yaitu pihak Condotel X yang diwakili oleh PT Y dengan pihak konsumen adalah sah, tidak melanggar dari syarat kecakapan dalam sahnya suatu perjanjian.
c. Suatu Hal Tertentu Hal tertentu maksudnya adalah objek perjanjian atau prestasi yang diperjanjikan harus jelas, dapat dihitung dan dapat ditentukan jenisnya. Dalam hal ini jelas yang menjadi objek perjanjian adalah Condotel X. Ditinjau dari Pasal 1332 – 1334 KUHPerdata objek perjanjian yag dibuat oleh pihak Developer PT Y dengan Pembeli Condotel X
yang menjadi barang
diperdagangkan, mempunyai pokok berupa suatu barang paling sedikit ditentukan jenisnya dan barang yang baru ada pada waktu yang akan datang adalah Hak Milik Atas Satuan Rumah Susuh (HMSRS) Condotel X dikawasan Kebayoran Lama Jakarta Selatan, DKI Jakarta dengan luas 12.240 M2 (dua belas ribu dua ratus empat puluh meter persegi).
d. Suatu Sebab yang Halal
Perjanjian pengikatan..., Iga Santi Santosa, FH UI, 2013
Dalam pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dilihat dari PPJB yang dilakukan pihak Condotel X yang dilakukan oleh Pihak PT Y dengan pihak pembeli Condotel X (konsumen) adalah tidak sah karena isi PPJB yang dibuat adalah tidak memenuhi Pasal 43 Ayat (2) huruf d yang menyatakan bahwa dalam hal melakukan PPJB sebagaimana dimaksud Pasal 1 dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen), namun pihak Condotel X dalan hal ini diwakili oleh developer PT Y dalam PPJB yang dibuat diantara mereka memuat suatu pasal pengabaian yang di atur dalam Pasal 21 Ayat (1) huruf b yaitu mengabaikan Pasal 43 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Padahal secara jelas dan tegas dalam UU No. 20 Tahun 2011 menyatakan bahwa dalam Pasal 98 huruf b dimana Pelaku Pembangunan dalam hal ini PT Y sebagai pihak developer dilarang membuat PPJB sebelum memenuhi persyaratan kepastian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 Ayat (2) yaitu adanya kepastian keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen). Selain itu, UU No. 20 Tahun 2011 memiliki sifat imperatif dimana dalam Pasal 110 huruf b menyatkan bahwa Pelaku Pembangunan bila tidak memenuhi persyaratan kepastian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp 4.000.000.000 (empat miliar).
Maka berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yang mempunyai 4 (empat) unsur dalam sahnya suatu perjanjian, PPJB unit satuan Condotel X yang mana dalam hal ini diwakili oleh PT Y dengan pihak Pembeli unit satuan Condotel X (konsumen) tidak memenuhi salah satu unsur sahnya suatu perjanjian yaitu unsur sebab yang halal yang mana unsur tersebut sangat memegang peran penting dalam menentukan sahnya suatu perjanjian dari segi hukum perjanjian. Selain itu didukung juga oleh UURS yang baru yaitu UU No. 20 Tahun 2011 dimana dalam UU ini dengan jelas mengatur secara tegas bila terjadi pelanggaran yang dilarang dalam pasal dalam UU ini maka akan dikenakan sanksi pidana dan administratif (UU No. 20 Tahun 2011 bersifat imperatif atau memaksa). Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka PPJB unit satuan Condotel X dengan diwakili oleh PT Y dengan pihak Pembeli unit satuan Condotel X (konsumen) dapat batal demi hukum (null and void). Dengan batalnya demi hukumnya suatu perjanjian para pihak
Perjanjian pengikatan..., Iga Santi Santosa, FH UI, 2013
yang tidak dapat mengajukan tuntutan melalui pengadilan untuk melaksanakan perjanjian atau meminta ganti rugi, karena perjanjian tersebut tidak melahirkan hak dan kewajiban yang mempunyai akibat hukum. Selain itu, secara jelas telah diatur juga dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang isi lengkapnya adalah sebagai berikut:
"Pasal 1338 KUHPerdata Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau. karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik." Lebih lanjut bahwa perjanjian tersebut harus dilandaskan oleh itikad baik dari masingmasing pihak. Selain itu, berdasarkan Pasal 1339 KUHPerdata juga menjelaskan lebih lanjut, yaitu
"Pasal 1339 KUHPerdata Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang." Ketentuan pasal di atas mengatur bahwa perjanjian harus didasarkan pada nilai keadilan, kebiasaan, dan undang-undang. Jadi sangatlah jelas bahwa tidak cukup dengan kata sepakat saja dapat membuat perjanjian menjadi sah dan mengikat, tetapi harus dibuat sesuai dengan undang-undang yang berlaku, keadilan, dan kebiasaan dalam masyarakat. Dalam hal ini pembangunan Condotel X yang telah dituangkan dalam PPJB tidak dapat mengikat secara hukum antara para pihak, karena melanggar Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUHPerdata. Konsekuensi hukum yang terjadi adalah perjanjian tidak dapat mengikat secara hukum (batal demi hukum) karena terdapat pengaturan dalam PPJB unit satuan Condotel X yang mengecualikan ketentuan Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011. Oleh karena itu, apabila ada pihak yang merasa dirugikan tidak dapat mengajukan tuntutan hak ke pengadilan negeri atas Pasal 21 PPJB unit satuan Condotel X. Walaupun demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 105 Ayat (4) UU UU No. 20/2011 menyatakan bahwa "Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana." Oleh karena itu, konsekuensi hukum yang dapat dikenakan terhadap PT. Y selaku developer bukan terbatas pada hak keperdataan saja, tetapi dapat dituntut berdasarkan ranah hukum pidana.
Perjanjian pengikatan..., Iga Santi Santosa, FH UI, 2013
3. Dari Hukum Perlindungan Konsumen Dari sisi perlindungan konsumen, maka berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999), telah diatur dalam Pasal 1 Angka 10 yang menyatakan sebagai berikut:
"Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen." Kontrak baku adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan sering kali kontrak tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam berntuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausulanya, dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Pihak yang disodorkan kontrak baku tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya pada posisi “take it or leave it”. Dengan demikian, oleh hukum diragukan apakah benar-benar ada elemen “kata sepakat” yang merupakan syarat sahnya kontrak dalam kontrak baku tersebut. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa klausula baku ini diterapkan pada pembuatan PPJB unit satuan Condotel X, dimana fokus analisis ini mengacu kepada Pasal 21 PPJB unit satuan Condotel X mengenai pengabaian atau pengecualian Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011. Dikatakan klausula baku karena konsumen harus menandatangani PPJB unit stauan Condotel X sebagai bentuk persetujuan atas tindak lanjut pemesanan unit Condotel X. Apabila konsumen memiliki kesempatan untuk mengubah ketentuan dalam PPJB maka konsumen akan dengan leluasa menghilangkan atau menambahkan klausula agar menguntungkan juga pihaknya. Hal ini menjadi mustahil karena konsumen tidak dilibatkan sebagai pihak yang dapat membuat PPJB unit satuan Condotel X sehingga konsumen "wajib" secara terpaksa untuk menyepakati PPJB unit satuan Condotel X. Konsekuensi hukum dengan perlindungan terhadap konsumen ini telah diatur dalam Pasal 18 UU No. 8/1999 yang mengatur hal sebagai berikut:
Perjanjian pengikatan..., Iga Santi Santosa, FH UI, 2013
1.
2.
3.
4.
"Pasal 18 UU No. 8/1999 Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undangundang ini." Ketentuan di atas secara jelas telah mengatur bahwa pelaku usaha dalam hal ini PT. Y
selaku developer Condotel X dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada perjanjian agar konsumen tunduk pada aturan baru, dimana konsumen tidak berhak untuk mengubah ketentuan Pasal 21 PPJB Condotel X yang berisi pengecualian dalam Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011. Sedangkan dalam Pasal 18 Ayat (2) UU No. 8/1999 juga melarang bagi PT. Y selaku developer Condotel X untuk membuat klausula baku yang pengungkapannya sulit dimengerti. Pengertian sulit dimengerti ini berarti bahwa konsumen tidak dapat memahami ketentuan yang diatur dalam Pasal 21 PPJB unit satuan Condotel X mengenai pengecualian Pasal 43 (2) UU No. 20/2011. Dikatakan sulit dimengerti karena dalam PPJB unit satuan Condotel X tidak menjelaskan isi Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011. Apabila konsumen mengetahui adanya konsep penulisan detail dari Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011 sebagaimana diatur dalam Pasal 21 PPJB unit satuan Condotel X, mungkin konsumen akan berpikir lain atau setidak-tidaknya mempertimbangkan aspek kepastian
Perjanjian pengikatan..., Iga Santi Santosa, FH UI, 2013
hukum dari transaksi PPJB unit satuan Condotel X tersebut. Dengan tidak disebutkan secara terang hal ini dapat dikategorikan bahwa PT. Y selaku developer Condotel X telah mencantumkan klausula baku dalam PPJB unit satuan Condotel X yang telah dilarang secara tegas dalam UU No. 20/2011. Dari hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab klausula baku menjadi sangat berat sebelah dalam pembuatan PPJB Faktor-faktor penyebab sehingga seringkali kontrak baku menjadi sangat berat sebelah adalah sebagai berikut: 1. Kurang adanya atau bahkan tidak adanya kesempatan bagi konsumen untuk melakukan tawar-menawar, sehingga pihak konsumen tidak memiliki banyak kesempatan untuk mengetahui isi kontrak tersebut; 2. Pihak developer memiliki cukup banyak waktu untuk memikirkan mengenai klausula-klausula
dalam
dokumen
tersebut,
bahkan
mungkin
saja
sudah
berkonsultasi dengan para ahli atau bahkan dibuat oleh para ahli. Sedangkan pihak konsumen tidak banyak kesempatan dan seringkali tidak familiar dengan klausulaklausula hukum dalam PPJB; 3. Pihak konsumen menempati kedudukan yang tidak seimbang, sehingga hanya dapat bersikap “take it or leave it”. Sebenarnya, kontrak baku itu sendiri tidak begitu menjadi persoalan secara hukum, mengingat kontrak baku sudah merupakan kebutuhan dalam praktek dan sudah merupakan kebiasaan sehari-hari. Hal yang menjadi persoalan adalah manakala kontrak baku tersebut mengandung unsur-unsur yang tidak adil (berat sebelah) bagi para pihak. Dengan demikian, konsekuensi hukum berdasarkan Pasal 18 Ayat (3) UU No. 8/1999 telah memberikan akibat hukum apabila terdapat klausula baku yang melanggar Pasal 18 Ayat (1) dan (2) dinyatakan batal demi hukum. Oleh karena itu, PT. Y selaku developer Condotel X dengan membuat PPJB unit satuan Condotel X yang tidak sesuai dengan UU No. 20/2011 maka PPJB memiliki konsekuensi hukum batal demi hukum.
Kesimpulan Dari uraian yang terkait mengenai Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai hubungan kontraktual antara pengembang dan pembeli satuan rumah susun dalam pembangunan Condotel X, antara lain: 1. Latar belakang pengaturan Pasal 43 Ayat (2) huruf c berasal dari Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli
Perjanjian pengikatan..., Iga Santi Santosa, FH UI, 2013
Satuan Rumah Susun untuk melindungi dan memberikan kepastian hukum pada pihak pengembang
(developer)/pihak
penyelenggara
pembangunan
perumahan
dan
pemukiman dengan konsumen agar terhindar dari kemungkinan terjadinya ingkar janji dari para pihak yang terkait. Sedangkan sanksi pidana yang diatur pada Pasal 110 UU No. 20/2011 telah menentukan adanya pelanggaran terhadap Pasal 43 Ayat (2) huruf c UU No. 20/2011 yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah); 2. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) terhadap unit satuan Condotel X bertentangan dengan isi Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011 dimana dalam hal ini pihak Condotel X yang diwakili oleh pihak developer atau PT Y tidak memenuhi keseluruhan komponen yang diatur dalam Pasal 43 Ayat (2). Keseluruhan komponen yang diatur dalam Pasal 43 ayat (2) UU No. 20/2011 adalah 5 (lima) komponen yang terdiri dari 4 (empat) komponen utama dan 1 (satu) komponen lengkap yaitu : -
Status kepemilikan IMB
-
Kepemilikan IMB
-
Ketersediaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum; dan
-
Keterbangunan Paling Sedikit 20% (dua puluh persen)
-
Hal yang diperjanjikan
Namun dalam kenyataan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) terhadap unit satuan Condotel X hanya memenuhi 4 (empat) komponen saja sedangkan 1 (satu) komponen yang mengatur mengenai Keterbangunan Paling Sedikit 20% (dua puluh persen) tidak ada atau tidak dipenuhi oleh pihak Condotel X yang dalam hal ini diwakili oleh PT Y sebagai developer . Ini terlihat dari tidak adanya kepastian yang diberikan oleh PT Y mengenai volume konstruksi dari Condotel X sebesar 20% (dua puluh persen) dari keterbangunan. 3. Akibat hukum apabila perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat oleh developer PT Y bertentangan dengan Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, antara lain: - PPJB unit satuan Condotel X dinyatakan batal demi hukum karena ketentuan dalam Pasal 21 PPJB unit satuan Condotel X mengandung cacat hukum karena tidak sesuai dengan syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 dalam hal sebab yang halal , Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUHPerdata yang didasarkan pada Pasal 110 UU No. 20/2011 jo. Pasal 43 Ayat (2) huruf c UU No. 20/2011;
Perjanjian pengikatan..., Iga Santi Santosa, FH UI, 2013
- Selain itu, ketentuan Pasal 21 PPJB unit satuan Condotel X mengandung klausula baku sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (3) UU No. 8/1999 jo. Pasal 18 Ayat (2) dan Ayat (3) UU No. 8/1999; - Terdapat sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 110 UU No. 20/2011 atas pelanggaran Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011.
Saran Berdasarkan
pembahasan
pada
bab-bab
terdahulu,
maka
penulis
mencoba
mengemukakan beberapa saran yang kiranya akan bermanfaat sebagai upaya mengatasi permasalahan pada Jual Beli Satuan Rumah Susun, adalah sebagai berikut: 1. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat selaku calon pembeli (konsumen) mengenai ketentuan Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011 yang mengatur pengembangan (developer) harus menyelesaikan 20% (dua puluh persen) dari volume total konstruksi bangunan. 2. Perlu ada lembaga independen yang mengawasi dan menilai volume total konstruksi keterbangunan sebesar 20% (dua puluh persen) sebelum melakukan PPJB.
Perjanjian pengikatan..., Iga Santi Santosa, FH UI, 2013