PERUBAHAN REGULASI SEBAGAI KEADAAN MEMAKSA TERHADAP PERJANJIAN: STUDI KASUS PEMUTUSAN PERJANJIAN KARENA PERUBAHAN REGULASI (PUTUSAN NO. 04/PDT.G/2004/PN.BTG) Mir’ atul Latifah, Rosa Agustina dan Suharnoko Program Kekhususan Hukum tentang Hubungan Sesama Anggota Masyarakat, Fakultas Hukum, Depok, 16424
Abstrak Skripsi ini membahas mengenai permasalahan perubahan regulasi terhadap perjanjian yang merupakan keadaan memaksa bagi pelaksanaan prestasi dari perjanjian. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan data sekunder melalui studi dokumen dan penelitian ini bersifat deskriptifanalitis. Berdasarkan analisis dalam pembahasan, perubahan regulasi yang dijadikan dasar pembelaan oleh Tergugat atau Pemerintah Kabupaten Batang atas Perjanjian Kerjasama Peningkatan dan Pengelolaan Pangkalan Barang di Kabupaten Batang telah menyebabkan pelaksanaan prestasi menurut perjanjian menjadi tidak mungkin secara hukum. Dengan demikian, pihak Penggugat yaitu CV. Usaha Putra Indonesia tidak dapat menuntut pertanggungjawaban atas ganti rugi terhadap ketidakterlaksanaan dan pemutusan perjanjian. Abstract This minithesis analyzes the issues arising from the change of regulation and its impacts to the existing contract. Under such circumstances caused by the change of regulation which then qualified as force majeur, it is used for the Respondent to defend himself from the compensation suits due to the loss of profits and other damages. This minithesis is written using research method of legal-normative research approach and secondary datas through literature study which then this minithesis is classified as descriptive-analitical research. Based on the analysis, the change of regulation affecting the contract of improvement and operation of cargo base in the Regency of Batang, had become the Respondent ground to defend himself from the accusation of breach of contract as accused by the Plaintiff, CV. Usaha Putra Indonesia. Such ground of force majeur had made the performance of the contract become legally imposibble due to the change of regulation which prohibits the collection of retribution in cargo base by the contractor. Therefore, the Plaintiff was no longer be able to claim for compensation of the loss of profits and damages due to the impossibility of performing the contract and the contract had become annulled. Keywords: change of regulation, force majeur, contracts
Pendahuluan Indonesia belum dapat memberikan kenyamanan berinvestasi dalam kepastian hukum dan birokrasi. Kebingungan terhadap ketidakjelasan peraturan, keruwetan birokrasi dan perizinan hingga peraturan yang berubah-ubah menjadi masalah ketidakpastian hukum bagi
Perubahan regulasi..., Mir'Atul Latifah, FH UI, 2013.
para pelaku usaha yang membutuhkan jaminan keamanan atas investasi mereka. Reputasi investasi di Indonesia dapat dilihat dari laporan World Bank Doing Business 2013, yang menempatkan Indonesia di peringkat 128 dari 185 negara.1 Dalam hubungan bisnis dan investasi, para pelaku usaha erat berkaitan dengan perjanjian untuk saling mengikatkan diri. Masalah yang mungkin atau berpotensi muncul terhadap perjanjian sebenarnya banyak karena perjanjian tersebut terpapar risiko terhadap hal-hal yang belum diperhitungkan atau tidak diharapkan, yang mungkin terjadi di luar kehendak para pihak. Secara khusus, yang menjadi fokus dalam pembahasan dalam skripsi ini adalah perjanjian-perjanjian dalam bidang usaha yang menghadapi masalah ketidakpastian hukum sebagai akibat perubahan regulasi. Perjanjian bisnis dalam kondisi kepastian hukum yang lemah menjadi rentan terpapar risiko atas perubahan regulasi yang mengharuskan penyesuaian perjanjian yang telah dibuat agar sesuai dengan peraturan baru. Hal ini tentu berdampak langsung terhadap kegiatan usaha tersebut sehingga dapat menimbulkan biaya maupun kerugian dalam penyesuaian kontrak yang telah disepakati agar sesuai dengan peraturan yang baru. Perubahan regulasi merupakan salah satu risiko dalam bisnis yang harus diantisipasi oleh pelaku usaha. Risiko ini disebut dengan risiko hukum, yaitu risiko yang disebabkan oleh perubahan regulasi hukum atau regulasi yang berdampak pada kegiatan usaha. Peraturan ini kemudian membawa implikasi yang lebih luas mempengaruhi isi perjanjian, yaitu akibat hukum dan aspek-aspek teknis lainnya sebagai dampak dari perubahan tersebut. Sebagai contoh, muncul larangan oleh hukum dalam peraturan yang baru yang menyebabkan ketidakmungkinan untuk melaksanakan perjanjian. Munculnya peraturan baru atau perubahan regulasi tersebut merupakan hal yang terjadi di luar kehendak dan kendali dari para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian karena peraturan tersebut dikeluarkan oleh Pemerintah, sehingga hal tersebut dapat dikategorikan sebagai force majeur. Contoh kasus perjanjian jual beli secara impor, setelah perjanjian jual beli ditandatangani tetapi sebelum barang dikirim, keluar peraturan yang melarang impor barang yang bersangkutan atau mengenakan bea impor yang luar biasa tinggi sehingga pelaksanaan impor tersebut secara bisnis sudah tidak lagi ekonomis. Dalam hal yang demikian, force majeur dapat dianggap terjadi.2 1
Investor Daily, Prioritaskan Kepastian Hukum, http://www.investor.co.id/home/prioritaskan-kepastianhukum/47979 diakses 27 Februari 2013. 2
Munir Fuady, Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 129
Perubahan regulasi..., Mir'Atul Latifah, FH UI, 2013.
Tinjauan Teoritis Verbintenis merupakan istilah dalam bahasa Belanda yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi perikatan. Dalam konteks hukum, verbintenis diartikan sebagai suatu hubungan hukum yang bersifat kekayaan (harta).3 Dalam kaitannya dengan hukum perikatan, hubungan hukum antara para pihak tersebut melahirkan hak dan kewajiban yang termasuk dalam bidang hukum kekayaan. Hubungan hukum tersebut bersifat relatif karena hanya bisa dituntut dan dipertahankan terhadap orang-orang tertentu yaitu para pihak yang terikat baik karena ketentuan undang-undang maupun karena perjanjian.4 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak memberikan definisi khusus mengenai perikatan (verbintenis). Namun pemahaman mengenai perikatan dapat merujuk pada Pasal 1233 KUHPerdata yang mengatur bahwa: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, baik karena perjanjian, baik karena undang-undang.”5 Kemudian dalam Pasal 1234 KUHPerdata diatur bahwa perikatan ini ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu. Untuk melengkapi pemahaman mengenai pengertian perikatan yang tidak didefinisikan secara khusus dalam peraturan perundang-undangan, perlu disitir pendapat-pendapat para ahli hukum mengenai perikatan, yaitu sebagai berikut: Van der Burght menyatakan “Perikatan adalah suatu hubungan hukum harta kekayaan antara dua orang atau lebih, yang menurut ketentuan seseorang atau lebih berhak atas sesuatu, sedangkan yang seorang lagi atau lebih berkewajiban untuk itu.”6 Hoffman menyatakan bahwa “Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subyek-subyek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau para debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap yang demikian itu.”7
3
Moch. Chidir Ali, et al, Pengertian-Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1993), hal.12. 4
Sri Soesilowati Mahdi, et al, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), (Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005), hal. 129. 5
Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1992), hal. 269. 6
Van der Burght, Buku Tentang Perikatan dalam Teori dan Yurisprudensi, Penyadur F. Tengker, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1999), hal. 1. 7
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1987), hal. 2.
Perubahan regulasi..., Mir'Atul Latifah, FH UI, 2013.
Pitlo menyatakan bahwa “Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.”8 Subekti memberikan pengertian tentang perikatan yaitu :”Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”9 Dari berbagai pendapat ahli hukum di atas dapat disimpulkan bahwa perikatan merupakan hubungan hukum dalam bidang hukum harta kekayaan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak dalam pelaksanaan suatu prestasi yang tercakup dalam hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan. Sementara itu, pengertian perjanjian (overeenkomst) diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yaitu: “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Berdasarkan rumusan pasal tersebut dapat diketahui bahwa perjanjian merupakan suatu perbuatan. Agar tidak menyebabkan pengertian yang terlalu luas mengenai yang dimaksud dengan “perbuatan”, dalam konteks hukum perjanjian, perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang ditujukan untuk menimbulkan hubungan perikatan sehingga menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Perikatan dapat terlahir dari perjanjian atau undang-undang. Perikatan yang lahir dari perjanjian berarti memang dikehendaki oleh para pihak yang mengikatkan diri. Sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang, secara hukum dapat terjadi di luar kemauan dari para pihak yang terikat.10 Kesimpulan dari hubungan antara perikatan dengan perjanjian sebagaimana diuraikan di atas yaitu bahwa perikatan memiliki pengertian yang abstrak, yaitu merupakan hubungan hukum yang mengikat para pihak. Sedangkan perjanjian bersifat konkrit karena merupakan perbuatan atau peristiwa yang dilakukan untuk mengadakan hubungan perikatan. Singkatnya, perjanjian melahirkan hubungan perikatan yang mengikat para pihak untuk tunduk melaksanaan hal-hal yang diperjanjikan (isi perjanjian). Pada suatu peristiwa atau keadaan-keadaan tertentu yang tidak terduga yang dapat menyebabkan suatu perjanjian tidak dapat dilaksanakan maka kejadian tersebut dapat 8
Ibid.
9
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2004), hal. 1.
10
Subekti, op. cit, hal. 3.
Perubahan regulasi..., Mir'Atul Latifah, FH UI, 2013.
digolongkan sebagai keadaan memaksa (force majeur atau overmacht). Dalam KUHPerdata, pengaturan mengenai keadaan memaksa dapat dilihat dari Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, dengan menyitir Vollmar, mendefinisikan overmacht sebagai keadaan dimana debitur sama sekali tidak mungkin memenuhi perutangan (absolute overmacht) atau masih memungkinkan memenuhi perutangan tetapi memerlukan pengorbanan yang besar yang tidak seimbang atau kekuatan jiwa di luar kemampuan atau dan menimbulkan kerugian yang sangat besar (relative overmacht).11 Dari berbagai pendapat ahli, Rahmat S.S. Soemadipraja menyimpulkan bahwa pengertian keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana salah satu pihak dalam suatu perikatan tidak dapat memenuhi seluruh atau sebagian kewajibannya sesuai apa yang diperjanjikan, disebabkan adanya suatu peristiwa di luar kendali salah satu pihak yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan, dimana pihak yang tidak memenuhi kewajibannya ini tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko.12 Meskipun tidak diatur secara khusus, dari Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata tersebut dapat ditarik unsur-unsur keadaan memaksa (force majeur) yang harus dipenuhi13, yaitu: 1. Tidak memenuhi prestasi; 2. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur; 3. Faktor
penyebab
itu
tidak
diduga
sebelumnya
dan
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur. J. Satrio menyatakan bahwa pembuat undang-undang dalam Pasal 1244 memberikan ketentuan tentang: adanya kerugian karena tidak dilaksanakannya atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan, dikarenakan adanya hal yang tidak terduga dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, dengan tanpa ada itikad buruk dari debitur. Sementara itu, dalam Pasal 1245 menentukan bahwa kerugian yang muncul karena adanya halangan bagi debitur untuk melaksanakan prestasinya karena adanya keadaan memaksa.14 11
Rahmat S. S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa (Syarat-Syarat Pembatalan Perjanjian yang Disebabkan Keadaan Memaksa / Force Majeur), hal. 8. 12
Ibid.
13
Mariam Darus Badrulzaman, et al., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 25. 14
J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan pada Umumnya, (Bandung: Penerbit Alumni, 1999), hal. 249.
Perubahan regulasi..., Mir'Atul Latifah, FH UI, 2013.
Sehingga berdasarkan penjelasan J. Satrio tersebut, keadaan memaksa memiliki unsur-unsur sebagai berikut15: 1. Ada peristiwa yang menghalangi prestasi debitur yang diterima sebagai halangan yang dapat membenarkan debitur untuk tidak berprestasi atau tidak berprestasi sebagaimana mestinya; 2. Tidak ada unsur salah pada debitur atas timbulnya peristiwa halangan itu; 3. Tidak dapat diduga sebelumnya oleh debitur pada waktu menutup perjanjian. Selain dari unsur-unsur utama yang harus dipenuhi dalam membuktikan adanya keadaan memaksa tersebut, Munir Fuady juga menambahkan bahwa peristiwa yang merupakan force majeur tersebut tidak termasuk dalam asumsi dasar (basic assumption) ketika kontrak tersebut dibuat.16 Menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H., untuk membuktikan adanya keadaan memaksa harus dipenuhi tiga syarat17, yaitu: 1. Ia harus membuktikan bahwa ia tidak salah. 2. Ia tidak dapat memenuhi kewajibannya secara lain. 3. Ia tidak menanggung risiko baik menurut ketentuan undang-undang maupun ketentuan perjanjian atau karena ajaran itikad baik harus menanggung risiko. Pengertian atas risiko regulasi yang diterima secara umum dan luas memang belum ada karena, berdasarkan analisis dari berbagai perspektif, para ahli memiliki pendapat masingmasing mengenai pengertian risiko regulasi. Namun secara garis besar, para ahli setuju bahwa risiko regulasi memiliki keterkaitan yang erat dengan teori ekonomi dan hubungannya dengan regulasi.18 Menurut Wright et al (2003, hal. 118), risiko regulasi yaitu bahwa risiko regulasi muncul ketika regulasi mempengaruhi atau berdampak pada biaya modal dalam kegiatan usaha yang terkena dampak peraturan tersebut. Pendapat lainnya yaitu menurut Ergas et al
15
Ibid, hal. 253.
16
Munir Fuady, op. cit., hal. 113.
17
Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H.Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung: PT. Alumni, 2005), hal. 39. 18
Prof. Dr. Gunter Knieps dan Dr. Hans-Jorg Wiess, Reduction of Regulatory Risk: A Network Economic Approach, Makalah Diskusi Intitut Fur Verkehrswissenschaft und Regionalpolitik, diunduh dari http://www.vwl.uni-freiburg.de/fakultaet/vw/publikationen/diskussionspapiere/Disk117.pdf pada 6 Maret 2013.
Perubahan regulasi..., Mir'Atul Latifah, FH UI, 2013.
(2001, hal. 6): “Regulatory risk arises when the interaction of uncertainty and regulation changes the cost of financing the operations of a firm.”19 Dari pendapat-pendapat di atas, perlu dibedakan antara risiko regulasi sebagai dampak dari pemberlakuan peraturan dan risiko regulasi sebagai akibat dari ketidakjelasan peraturan yang menyebabkan para pihak yang berkontrak harus memberikan interpretasi sendiri atas peraturan yang kurang jelas atau kabur tersebut. Sedangkan yang menjadi fokus bahasan utama dalam skripsi ini yaitu risiko regulasi yang disebabkan oleh adanya perubahan peraturan atau hukum. Perubahan hukum yaitu terjadinya hal-hal berikut di bawah ini, setelah perjanjian ditandatangani, yang memiliki dampak merugikan terhadap kegiatan usaha, yaitu sebagai berikut: a. Terbitnya suatu peraturan perundang-undangan yang terbaru atau pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan pada wilayah hukum yang baru; b. Pencabutan, perubahan atau pemberlakuan kembali suatu peraturan perundangundangan; c. Pemberlakuan suatu perundang-undangan Indonesia yang belum berlaku efektif sampai dengan penandatanganan perjanjian; d. Perubahan pengertian atau pemberlakuan dari suatu peraturan perundang-undangan dibandingkan dengan interpretasi atau pemberlakuan oleh Mahkamah Konstitusi dan/atau Mahkamah Agung setelah penandatanganan atau kesepakatan secara nyata telah disetujui para pihak.20 Secara sederhana, dapat disimpulkan bahwa perubahan hukum yang dimaksud adalah perubahan regulasi atau peraturan perundang-undangan. Perubahan ini dapat berupa pelarangan, penambahan maupun pembolehan yang merupakan peraturan yang berbeda atau baru dari peraturan yang lama. Dalam kaitannya dengan perubahan peraturan dan hubungannya dengan perjanjian, Munir Fuady menyatakan bahwa munculnya larangan oleh hukum atau peraturan baru yang melarang sesuatu dilaksanakan sedangkan perjanjian telah disepakati atau ditandatangani, yang menyebabkan ketidakmungkinan untuk pelaksanaan perjanjian, maka keadaan tersebut termasuk sebagai force majeur atau overmacht. Contoh kasus perjanjian jual beli secara 19
Ibid.
20
Iwan E. Joesoef, S.H., Sp. N., M.Kn., Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) Sebagai Kontrak Bisnis Berdimensi Publik antara Pemerintah dengan Investor (Swasta) dalam Proyek Infrastruktur, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hal. 379.
Perubahan regulasi..., Mir'Atul Latifah, FH UI, 2013.
impor, setelah perjanjian ditandatangani namun barang belum dikirim, suatu peraturan diterbitkan oleh pemerintah yang melarang impor barang yang bersangkutan atau mengenakan bea impor yang tinggi sehingga pelaksanaan impor tersebut tidak lagi ekonomis. Dengan keluarnya peraturan baru setelah ditandatanganinya perjanjian yang kemudian berdampak pada ketidakmungkinan dalam pelaksanaan perjanjian maka dapat dianggap sebagai force majeur.21 Masalah benda atau barang yang menjadi pokok perjanjian “dikeluarkan dari peredaran” maksudnya yaitu bahwa setelah perjanjian ditutup atau disepakati, muncul larangan untuk memperdagangkan benda yang menjadi obyek prestasi yang bersangkutan. Berdasarkan teori overmacht yang obyektif, larangan tersebut—yang termasuk dalam ketidakmungkinan yuridis—disamakan dengan “hilang atau musnahnya” barang yang menjadi obyek prestasi, yang mana hal ini termasuk ketidakmungkinan alamiah. Larangan yuridis yang menyebabkan halangan bagi pelaksanaan prestasi tersebut harus merupakan ketentuan hukum yang sah dan adanya kewajiban untuk menaatinya.22 Adanya larangan untuk memperdagangkan obyek yang diperjanjikan bukannya berarti bahwa debitur tidak bisa menyerahkan barang tersebut. Namun, sebagai warga yang baik, tidak berani melanggar hukum atau undang-undang dengan mematuhi larangan untuk tidak memperdagangkan barang tersebut dijadikan alasan dalam keadaan memaksa yang termasuk dalam teori overmacht obyektif.23 Dengan demikian, seorang debitur dapat mengemukakan alasan keadaan memaksa atau overmacht, jika ada halangan untuk memenuhi kewajiban perikatannya. Halangan ini tidak dapat dipersalahkan kepadanya dan menurut undang-undang kerugian yang muncul daripadanya bukan risiko yang harus ditanggung debitur.24 Metode Penelitian Penelitian mengenai risiko hukum pada perjanjian ini merupakan penelitian yuridisnormatif, atau lebih dikenal dengan penelitian hukum kepustakaan.25 Penelitian yuridisnormatif mengacu kepada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan 21
Munir Fuady, op. cit, hal. 129.
22
J. Satrio, op. cit, hal. 256.
23
Ibid, hal. 257.
24
Ibid, hal. 259.
25
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat,” (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hal 13.
Perubahan regulasi..., Mir'Atul Latifah, FH UI, 2013.
dan putusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku dan mengikat masyarakat, atau yang menyangkut kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Penelitian ini disebut sebagai penelitian yang bersifat deskriptif analitis dengan cara menjelaskan aspek-aspek hukum perjanjian berdasarkan konsep hukum perjanjian menurut hukum perdata Indonesia dan peraturan perundang-undangan sektoral yang mengatur mengenai obyek yang diteliti. Hasil Penelitian Terbitnya peraturan baru yang mencabut peraturan lama yang menjadi dasar keabsahan / kehalalan pelaksanaan prestasi yaitu pemungutan retribusi pangkalan mobil barang merupakan bentuk keadaan memaksa. Hal ini lantaran diterbitkannya larangan oleh undangundang tersebut terjadi secara tidak terduga sebelumnya oleh para pihak dan penerbitan peraturan baru tersebut berada di luar kesalahan para pihak. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menjadi sumber hukum atas pelarangan hukum dan pencabutan hak pengelolaan pangkalan mobil barang, dikeluarkan oleh lembaga legislasi yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berada di luar kendali dari para pihak. Sehingga sebenarnya overmacht yang terjadi tidak hanya menimpa debitur, tetapi juga kreditur karena keduanya terkena dampak dari pelaksanaan perjanjian secara timbal balik ini. Pembahasan Alasan bahwa adanya kekuatan hukum yang memaksa, yaitu undang-undang, menjadi syarat yang membatalkan perikatan berdasarkan Pasal 1381 KUHPerdata yang dimaksud Tergugat yaitu mengenai “musnahnya barang yang terutang” yang mana hal ini berkaitan dengan keadaan memaksa atau overmacht yaitu musnahnya barang yang terutang sebagai akibat dilarang oleh undang-undang. Sehingga pelaksanaan perjanjian menjadi tidak mungkin secara yuridis (juridische onmogelijkheid).26 Dalam dalil pembelaan atas keadaan memaksa yang disebabkan oleh adanya perubahan regulasi yang didalilkan Tergugat, termasuk dalam bentuk perubahan hukum berupa terbitnya suatu peraturan perundang-undangan yang terbaru, dalam hal ini yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1997 tentang Retribusi Daerah juncto Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1998 tentang Pencabutan Peraturan Daerah Tingkat I dan Tingkat II tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah juncto Instruksi Gubernur Kepala Daerah Tingkat 26
J. Satrio, op. cit, hal. 255.
Perubahan regulasi..., Mir'Atul Latifah, FH UI, 2013.
I Jawa Tengah Nomor 188.3/42.B/1998 tentang Penyusunan dan Penetapan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kabupaten / Kotamadya Daerah Tingkat II sesuai dengan UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan penyebabnya, keadaan memaksa yang disebabkan oleh kebijakan atau peraturan pemerintah merupakan suatu keadaan dimana terjadi perubahan kebijakan pemerintah atau hapus atau dikeluarkannya kebijakan baru yang berdampak pada kegiatan yang sedang berlangsung atau pelaksanaan prestasi.27 Bentuk keadaan memaksa yang diakibatkan oleh perubahan regulasi mengenai adanya larangan oleh undang-undang untuk melakukan suatu prestasi termasuk dalam overmacht obyektif. Bahwa adanya larangan tersebut bukan berarti debitur tidak mampu melaksanakan prestasi, namun sebagai warga yang baik untuk mematuhi hukum atau undang-undang— sehingga juga mematuhi larangan hukum yang secara sah dan terdapat kewajiban untuk menaatinya—untuk tidak melaksanakan prestasi tersebut. Sebagai alasan pembelaan, pembuktian atas keadaan memaksa yang terjadi ini berada pada pihak debitur. Bahwa dengan terjadinya suatu keadaan memaksa berupa perubahan regulasi tersebut telah menyebabkan adanya halangan dalam pelaksanaan prestasi, yaitu larangan undang-undang. Dalam pembuktian ini juga harus dibuktikan bahwa debitur tidak memiliki itikad buruk atau selalu beritikad baik dalam melaksanakan perjanjian. Debitur atau Tergugat juga harus mampu membuktikan bahwa seandainya prestasi yang diperjanjikan tersebut dilaksanakan dengan baik, maka prestasi tersebut akan musnah juga dalam tangan kreditur atau Penggugat (Pasal 1444 ayat 2 KUHPerdata), yaitu bahwa dengan adanya perubahan regulasi ini menjadikan pelaksanaan prestasi oleh siapapun yang berposisi sebagai debitur tetap tidak akan mampu melaksanakan prestasi. Dengan terjadinya suatu keadaan memaksa yang diakibatkan oleh perubahan regulasi berdampak terhadap perjanjian, sebagai berikut: 1. Pelaksanaan prestasi terhalang atau tidak mungkin dilaksanakan Perubahan regulasi yang merupakan peraturan baru telah menyebabkan pelaksanaan prestasi atas pemungutan retribusi pangkalan mobil menjadi tidak mungkin dilaksanakan secara yuridis (juridische onmogelijkheid). Pemungutan retribusi tersebut merupakan bagian yang substansial dalam perjanjian, sehingga dengan adanya pelarangan oleh hukum atas pelaksanaan pemungutan retribusi, hal ini menyebabkan prestasi tidak lagi dapat dilaksanakan. 27
Rahmat S.S. Soemadipradja, op. cit., hal. 9-10.
Perubahan regulasi..., Mir'Atul Latifah, FH UI, 2013.
2. Perjanjian tidak lagi mengikat Dalam pertimbangan Hakim disebutkan bahwa “karena terbitnya peraturan baru yang lebih tinggi telah dengan jelas mencabut peraturan lama yang menjadi dasar diadakannya perjanjian a quo, maka dengan demikian isi perjanjian a quo tidak dapat dilaksanakan lagi, sehingga perjanjian menjadi tidak berlaku dan tidak lagi mengikat kedua belah pihak”. Keadaan memaksa telah menyebabkan perikatan tersebut tidak lagi dapat dilaksanakan prestasinya karena adanya halangan dalam pelaksanaan prestasi tersebut. Yang menjadi hilang adalah daya kerja atau pelaksanaan dari prestasi sebagai akibat halangan yang ditimbulkan oleh keadaan memaksa. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Abdulkadir Muhammad, untuk perikatan yang bersifat obyektif dan bersifat tetap (permanen), secara otomatis mengakhiri perikatan dalam arti perikatan itu batal (the agreement would be void from the outset).28 Dengan demikian, bahwa perjanjian tidak lagi dapat dilaksanakan karena adanya keadaan memaksa adalah dibenarkan dan oleh karena sifat keadaan memaksa yang disebabkan oleh adanya larangan regulasi merupakan larangan yang bersifat tetap atau permanen maka perikatan menjadi berakhir. Meskipun demikian, dengan merujuk kembali pada pertimbangan Hakim dalam putusannya, Hakim melihat bahwa dengan tidak dapat dilaksanakannya prestasi yang secara substansial mempengaruhi eksistensi perjanjian maka perjanjian menjadi tidak berlaku dan tidak lagi mengikat kedua belah pihak. 3. Debitur tidak dapat dinyatakan lalai (wanprestasi) dan karenanya dibebaskan dari pertanggungjawaban ganti rugi Keadaan memaksa digunakan debitur untuk membela diri atas kejadian yang tidak terduga dan di luar kesalahannya yang menghalangi pelaksanaan prestasi. Dengan terbukti bahwa suatu keadaan memaksa telah secara nyata terjadi, tidak terduga dan di luar kesalahan debitur, maka debitur dibebaskan dari pertanggungjawaban ganti rugi karena pada dasarnya debitur tidak bertanggung jawab atas hal di luar tindakannya. 28
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Penerbit Alumni, 1982), hal. 28-31.
Perubahan regulasi..., Mir'Atul Latifah, FH UI, 2013.
Dalam konteks perjanjian a quo, Hakim menerima alasan pembelaan Tergugat bahwa telah terjadi suatu keadaan memaksa denga terbitnya peraturan yang melarang pelaksanaan pemungutan retribusi pangkalan mobil barang. Terbitnya peraturan ini adalah tidak terduga pada saat para pihak menutup perjanjian dan terbitnya peraturan ini juga di luar kesalahan dan kuasa dari debitur. Perubahan regulasi ini telah mengakibatkan pelaksanaan prestasi menjadi terlarang oleh hukum, karenanya pelaksanaannya menjadi tidak mungkin halal dilakukan. Oleh karena itu, kerugian yang diderita oleh kreditur dalam hal tidak terlaksananya prestasi, tidak dapat dibebankan kepada debitur untuk bertanggung jawab atas ganti rugi. Prof. Mariam Darus Badrulzaman menyatakan bahwa penyelesaian atas pengaturan mengenai risiko pada perjanjian timbal balik menggunakan asas kepatutan (billijkheid) yang dimuat dalam Pasal 1545 dan 1553 KUHPerdata. Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila terjadi keadaan memaksa dalam perjanjian timbal balik yang menyebabkan salah satu pihak tidak dapat memenuhi prestasinya, maka risiko ditanggung oleh pemilik.
29
Berdasarkan asas keadilan dan kepatutan, pihak yang lain dibebaskan dari
kewajibannya untuk menyerahkan barang. Perjanjian Kerjasama Peningkatan dan Pengelolaan Pangkalan Mobil Barang di Kabupaten Batang tersebut telah mengalami keadaan memaksa (overmacht) sehingga pelaksanaan pelaksanaan prestasi menjadi terhalang. Halangan tersebut terjadi lantaran adanya larangan hukum yang ditimbulkan oleh diterbitkannya peraturan yang baru atau perubahan regulasi yang melarang pemungutan retribusi pada pangkalan mobil barang. Perubahan regulasi ini berdampak secara substansial terhadap pelaksanaan prestasi karena tujuan dari pelaksanaan perjanjian tersebut adalah untuk memungut retribusi melalui pengelolaan pangkalan mobil barang. Dengan diterimanya alasan pembelaan Tergugat bahwa keadaan memaksa telah terjadi, maka Tergugat dibebaskan dari tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi atas ketidakterlaksanaan perjanjian. Selanjutnya, keadaan memaksa yang telah menyebabkan terhalanginya pelaksanaan prestasi telah menyebabkan haftung atau tanggung jawab yuridis untuk membayar prestasi dan mengganti kerugian menjadi tidak dapat dituntut lagi. Hal ini didasari pada pertimbangan bahwa terjadinya keadaan memaksa merupakan kejadian yang terjadi di luar kesalahan para pihak, sehingga tiada pihak yang dapat dituntut untuk menanggung ganti rugi. Selain itu, 29
Mariam Darus Barulzaman, op. cit, hal. 41.
Perubahan regulasi..., Mir'Atul Latifah, FH UI, 2013.
keadaan memaksa terjadi secara tiba-tiba atau di luar dugaan para pihak serta tidak termasuk dalam asumsi dasar ketika para pihak menutup perjanjan. Dengan demikian, risiko atas terjadinya keadaan memaksa tidak dapat dibebankan kepada pihak debitur karena ia tidak memiliki tanggung jawab atas hal yang berada di luar dugaan dan di luar kesalahannya. Dalam Perjanjian Peningkatan dan Pengelolaan Pangkalan Mobil Barang antara CV. Usaha Putra Indonesia dengan Pemerintah Kabupaten Batang, obyek perjanjian di antaranya yaitu pangkalan mobil barang. Pembiayaan atas peningkatan fasilitas pangkalan mobil barang tersebut diadakan dengan pembiayaan yang ditanggung oleh kontraktor yaitu CV. Usaha Putra Indonesia. Fasilitas berupa bangunan tersebut didirikan di atas tanah milik Pemerintah Kabupaten Batang. Menurut perjanjian tersebut, setelah jangka waktu perjanjian yaitu 15 (lima belas) tahun selesai, maka fasilitas atau aset bangunan yang dibangun dengan pembiayaan dari pihak kontraktor akan dialihkan kepada Pemerintah Kabupaten Batang. Namun persoalan pengambilalihan aset bangunan kemudian muncul setelah perjanjian putus atau berakhir karena adanya overmacht berupa pelarangan pemungutan retribusi pangkalan mobil oleh pihak pemborong (kontraktor) sebagaimana diputuskan oleh hakim. Apabila ditilik dari hukum agraria, Indonesia menganut asas pemisahan horizontal antara tanah dengan bangunan di atasnya. Kepemilikan atas tanah dengan bangunan di atasnya dapat terpisah pada dua pihak yang berbeda. Dalam hal kasus ini, kepemilikan atas tanah pangkalan mobil barang terdapat pada Pemerintah Daerah Kabupaten Batang, sementara kepemilikan atas aset bangunan pangkalan mobil masih menjadi milik CV. Usaha Putra Indonesia karena pembangunannya menggunakan pembiayaan dari pihaknya sendiri. Akibat hukum dari putusan hakim menyebabkan putusnya perjanjian di antara para pihak. Dengan demikian prestasi dari para pihak tidak dapat dilaksanakan kembali dan pengembalian aset bagi masing-masing pihak. Tanah yang merupakan milik Pemerintah Kabupaten Batang yang sebelumnya dikuasai oleh kontraktor untuk dikelola dikembalikan kepemilikan dan penguasaannya kepada Pemerintah Kabupaten Batang. Sedangkan bangunan yang dibiayai oleh CV. Usaha Putra Indonesia melekat pada tanah milik Pemerintah Kabupaten Batang, dengan status kepemilikan masih berada pada pihak kontraktor. Oleh karena itu, dengan adanya asas pemisahan horizontal atas tanah dan bangunan di atasnya ini menyebabkan CV. Usaha Putra Indonesia meskipun memiliki hak kepemilikan atas bangunan pangkalan mobil namun melekat pada tanah milik pihak lain yaitu Pemerintah Kabupaten Batang. Sementara, dengan putusan hakim yang mutuskan perjanjian, aset bangunan milik kontraktor di atas tanah pemerintah ini tidak serta merta beralih ke Pemerintah Kabupaten Batang karena yang demikian itu termasuk perbuatan unjust
Perubahan regulasi..., Mir'Atul Latifah, FH UI, 2013.
enrichment yang memberikan keuntungan bagi pihak Pemerintah Kabupaten Batang atas aset bangunan milik CV. Usaha Putra Indonesia. Dualisme kepemilikan atas tanah dan bangunan yang saling melekat ini menjadi potensi masalah yang harus diselesaikan pasca diputusnya sengketa ini. Yang demikian itu, Pemerintah Kabupaten Batang dapat memberikan kompensasi atau penggantian aset bangunan di atas tanah pangkalan mobil barang tersebut sehingga keadilan dapat dirasakan bagi para pihak. Kesimpulan 1. Perubahan regulasi termasuk dalam keadaan memaksa (overmacht) yang dapat dijadikan dasar pembelaan bagi debitur. Pembelaan ini harus dibuktikan oleh debitur bahwa keadaan memaksa terjadi di luar dugaannya dan di luar kesalahannya sehingga prestasi yang terhalang untuk dilaksanakan tidak dapat dipertanggungjawabkan olehnya. Selain itu, berdasarkan Pasal 1244 KUHPerdata, debitur juga harus mampu membuktikan bahwa tidak terdapat itikad buruk padanya mengenai kejadian overmacht tersebut. Terbitnya peraturan baru yang mencabut peraturan lama yang menjadi dasar keabsahan / kehalalan pelaksanaan prestasi yaitu pemungutan retribusi pangkalan mobil barang merupakan bentuk keadaan memaksa. Hal ini lantaran diterbitkannya larangan oleh undang-undang tersebut terjadi secara tidak terduga sebelumnya oleh para pihak dan penerbitan peraturan baru tersebut berada di luar kesalahan para pihak. 2. Akibat hukum dari perubahan regulasi dalam studi kasus Perjanjian Kerjasama Peningkatan dan Pengelolaan Mobil Barang di Kabupaten Batang (Putusan No. 04/Pdt.G/2004/PN.Btg) yaitu muncul halangan hukum untuk melaksanakan prestasi atau pelaksanaan perjanjian karena terdapat ketidakmungkinan secara yuridis (jurisdische onmogelijkheid). Dalam hal terjadi keadaan memaksa, hal yang muncul menjadi halangan dalam pelaksanaan prestasi merupakan hal yang tidak terduga dan di luar kesalahan para pihak, oleh karena itu faktor kesalahan atau schuld tidak terdapat pada debitur sehingga karenanya pula haftung atau tanggung jawab yuridis atas pelaksanaan prestasi dari debitur menjadi hapus. Dengan demikian, hubungan perikatan menjadi hapus karena perikatan tidak dapat dilaksanakan dan debitur dibebaskan dari kewajiban dan tanggung jawab (schuld dan haftung) dalam mengganti kerugian yang diderita kreditur sebagai akibat dari
Perubahan regulasi..., Mir'Atul Latifah, FH UI, 2013.
keadaan memaksa, yaitu karena debitur tidak memiliki tanggung jawab atas hal yang berada di luar dugaan dan di luar kesalahannya. Saran Berikut adalah saran yang Penulis rekomendasikan berdasarkan analisis masalah dan pembahasan dalam penjabaran bab-bab sebelumnya: 1. Memberikan kompensasi biaya atas pengambilalihan aset bangunan yang melekat di atas tanah milik Kabupaten Batang. Putusan hakim yang menyatakan bahwa perjanjian tidak memiliki kekuatan hukum lagi semenjak berlakunya peraturan yang melarang pemungutan retribusi berdampak pada operasional usaha yang dijalankan oleh pihak CV. Usaha Putra Mandiri. Dalam perjanjian awal disepakati bahwa biaya peningkatan fasilitas terminal dibebankan pada kontraktor dengan memberikan hak pemungutan retribusi dan pengelolaan selama lima belas tahun dan setoran bulanan kepada Pemerintah Kabupaten Batang. Dengan demikian, sebenarnya fasilitas berupa aset bangunan yang telah ditingkatkan oleh kontraktor sebenarnya merupakan milik kontraktor karena dengan pembiayaan kontraktor dan penyerahan aset bangunan baru dilaksanakan setelah masa konsesi 15 tahun selesai. Dengan berakhirnya kontrak sebelum masa konsesi selesai, maka sebenarnya aset bangunan tersebut masih berstatus milik kontraktor. Oleh karena itu, putusnya kontrak di antara kedua belah pihak yang disebabkan oleh larangan pemungutan retribusi secara pemborongan maka sebaiknya Pemerintah Kabupaten Batang mengambilalih aset bangunan yang melekat di atas tanah Terminal Pangkalan Mobil Barang tersebut dengan memberikan kompensasi atas fasilitas yang dibangun dengan pembiayaan dari pihak kontraktor tersebut. Dengan demikian adalah untuk keadilan bagi para pihak yang terkena dampak dari force majeur yang terjadi di luar kehendak dan di luar kesalahan para pihak. 2. Memasukkan klausul keadaan memaksa (force majeur atau overmacht) dalam perjanjian untuk memitigasi kerugian yang mungkin ditimbulkan. Dari pembahasan di atas diketahui bahwa menurut hukum Indonesia, doktrin keadaan memaksa dilaksanakan demi hukum, pelaksanaannya tidak didasarkan atas kesepakatan dalam perjanjian (contractual obligation). Artinya, walaupun para pihak tidak secara spesifik mengatur keberlakuan doktrin keadaan memaksa
Perubahan regulasi..., Mir'Atul Latifah, FH UI, 2013.
tersebut dapat berlaku sebagai alasan hukum bagi salah satu pihak yang tidak dapat melakukan kewajiban untuk melakukan prestasi sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, para pihak dapat dengan bebas menentukan isi perjanjian sesuai dengan kehendak mereka tetapi harus tetap menghormati batasan undang-undang, kesusilaan yang baik dan ketertiban umum. Dalam perjanjian yang mengikat para pihak tersebut, sebaiknya memasukkan klausul keadaan memaksa dalam perjanjian sebagai upaya memitigasi kerugian yang mungkin ditimbulkan. Misalnya jika terjadi suatu keadaan memaksa karena bencana alam yang merusak obyek perjanjian maka para pihak dapat bertanggung jawab secara tanggung menanggung untuk membangun kembali obyek perjanjian yang rusak. Cara-cara untuk menanggulangi risiko yang disebabkan oleh keadaan memaksa ini tetap harus mempertimbangkan kesepakatan para pihak dalam perjanjian tersebut. Kepustakaan Ali, Moch. Chidir, et al. Pengertian-Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata. Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1993. Badrulzaman, Mariam Darus et al. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001. Badrulzaman, Mariam Darus. K.U.H.Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan. Bandung: PT. Alumni, 2005. Burght, Van der. Buku Tentang Perikatan dalam Teori dan Yurisprudensi. Penyadur F. Tengker. Bandung: CV. Mandar Maju, 1999. Ergas, Henry et al. Regulatory Risk. Makalah the ACCC Regulation and Investment Conference 26-27 Maret 2001. Manly: Draft Version, 2001. Fuady, Munir. Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis. Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2001. H.S., Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2001. Harahap, M. Yahya. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Penerbit Alumni, 1986. Investor Daily, Prioritaskan Kepastian Hukum, http://www.investor.co.id/home/prioritaskankepastian-hukum/47979 diakses 27 Februari 2013. Joesoef, S.H., Sp. N., M.Kn., Iwan E. Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) Sebagai Kontrak Bisnis Berdimensi Publik antara Pemerintah dengan Investor (Swasta) dalam Proyek Infrastruktur. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006.
Perubahan regulasi..., Mir'Atul Latifah, FH UI, 2013.
Kansil, Cst. dan Christine Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2000. Knieps, Prof. Dr. Gunter dan Dr. Hans-Jorg Wiess. Reduction of Regulatory Risk: A Network Economic Approach. Makalah Diskusi Intitut Fur Verkehrswissenschaft und Regionalpolitik, diunduh dari http://www.vwl.unifreiburg.de/fakultaet/vw/publikationen/diskussionspapiere/Disk117.pdf pada 6 Maret 2013. Mahdi, Sri Soesilowati, et al. Hukum Perdata (Suatu Pengantar). Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005. Mamudji, Sri. et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Prasetya, Rudhi. Maatschap, Firma dan Persekutuan Komanditer. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. Radjagukguk, Erman. Kuliah Hukum Investasi. Depok: Tanpa Penerbit, 2001. Satrio, J. Hukum Perikatan (Perikatan pada Umumnya). Bandung: Penerbit Alumni, 1993. Setiawan, R. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Binacipta, 1987. Simanjuntak, Ricardo. Teknik Perancangan Kontrak Bisnis. Cet 1. Jakarta: Mingguan Ekonomi & Bisnis KONTAN, 2006. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2008. Soemadipradja, Rahmat S. S. Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa (Syarat-Syarat Pembatalan Perjanjian yang Disebabkan Keadaan Memaksa / Force Majeur). Jakarta: PT. Gramedia, 2010. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1992. Subekti. Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa, 2004. Suryodiningrat. Azas-Azas Hukum Perikatan. Bandung: Penerbit Tarsito, 1982. Waelde, Thomas dan Abba Kolo, Renegotiation and Contract Adaptation in the International Investment Projects: Applicable Legal Principles and Industry Practices, (CEPMLP Journal, Vol. 5-3a), diakses dari http://www.dundee.ac.uk/cepmlp/journal/html/vol5/article5-3a.html pada 6 Maret 2013. Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi. Hapusnya Perikatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Widjaja, S.H., M.A., I.G. Rai. Merancang Suatu Kontrak. Jakarta: Megapoin, 2007.
Perubahan regulasi..., Mir'Atul Latifah, FH UI, 2013.
Wright, Stephen et al. A Study into Certain Aspects of the Cost of Capital for Regulated Utilities in the UK. Report commissioned by the UK Economic Regulators and the Office of Fair Trading. London: -, 2003. WRITENET. Indonesia: Economic, Social and Political Dimensions of the Current Crisis, 1 April 1998, http://www.unhcr.org/refworld/docid/3ae6a6c50.html diakses 27 Februari 2013
Perubahan regulasi..., Mir'Atul Latifah, FH UI, 2013.