TINJAUAN YURIDIS PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA TIDAK TERPENUHINYA JANGKA WAKTU TUNGGU (MASA ‘IDDAH) MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN UNDANGUNDANG PERKAWINAN NO. 1 TAHUN 1974 (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 41 K/AG/2009)
Yudith Ika Pratama, Farida Prihatini, Endah Hartati
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
[email protected]
ABSTRAK Pada skripsi ini dibahas mengenai gugatan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh seorang suami terhadap istrinya yang diduga belum memenuhi masa „iddah atas perkawinan sebelumnya. Dalam skripsi ini dijelaskan mengenai definisi perkawinan, definisi pembatalan perkawinan serta definisi masa „iddah yang dihubungkan dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Aspek pembatalan perkawinan yang diteliti adalah apakah suatu perkawinan yang dilaksanakan tanpa memenuhi masa „iddah mempelai perempuan atas perkawinan terdahulunya dapat dibatalkan oleh Pengadilan dan bagaimanakah putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung terkait dengan perkara ini dilihat dari Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif dan didukung wawancara dengan instansi terkait. Hasil analisis ini
Tinjauan yuridis..., Yudith Ika Pratama, FH UI, 2014
menyatakan bahwa (1) Perkawinan yang dilaksanakan tanpa memenuhi masa „iddah dapat diajukan pembatalan namun dengan pembuktian yang jelas, (2) Putusan Mahkamah Agung sudah tepat dalam membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung namun dalam putusannya belum dapat memenuhi idealnya suatu putusan dimana putusan yang sesuai adalah putusan yang dilahirkan oleh Pengadilan Agama Bandung. Kata Kunci
:
Perkawinan, Pembatalan Perkawinan, Masa Iddah.
Juridical Review of Marriage Nullification Regarding the Waiting Period (Masa ‘Iddah) from the Perspective of Compilations of Islamic Law and Law No. 1 Year 1974 (Case Study: The Ruling of Supreme Court No. 41 K/AG/2009) ABSTRACT
In this thesis are discussed regarding the nullification of marriage lawsuit filed by a husband against his wife who allegedly has not finished her waiting period of previous marriage. In this thesis are described as to the definition of marriage, the definition of marriage nullification as well as the definition of the masa „iddah associated with the conditions set forth in the regulations of Islamic law, Islamic Law and the compilation of law No. 1 of 1974. Aspects of the marriage cancellation examined is whether a marriage which was carried out without fulfilling the masa 'iddah of the bride from her previous marriage may be cancelled by the Court and how the ruling issued by the Supreme Court related to this matter is viewed from a Compilation of Islamic law, Islamic law and Law No. 1 of 1974. This research uses the juridical-normative methods and supported the interview with relevant agencies. The results of this analysis revealed that (1) the Marriage was carried out without fulfilling the cancellation may be filed masa „iddah but with a clear proof, (2) the decision of the Supreme Court had quashed the verdict in the Superior Court of Bandung but the award has not been able to meet an award where ideally corresponding verdict is a verdict by Religion Court of Bandung were made.
Keyword: Marriage, Marriage Nullification, Waiting Period.
Tinjauan yuridis..., Yudith Ika Pratama, FH UI, 2014
Pendahuluan Perkawinan adalah salah satu momen sakral yang umumnya akan dilalui oleh setiap manusia. Sebagai makhluk sosial manusia mempunyai naluri untuk selalu ingin hidup bersama dan saling berinteraksi dengan sesamanya. Perkawinan terjadi karena adanya dorongan dari dalam diri setiap manusia untuk hidup bersama dengan manusia lainnya. Sudah menjadi kodrat alam dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan memiliki daya tarik-menarik antara satu sama lainnya untuk hidup bersama, atau secara logis dapat dikatakan untuk membentuk suatu ikatan lahir dan bathin dengan tujuan menciptakan suatu keluarga/rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera dan abadi.1 Perkawinan menurut agama Islam adalah sunnah nabi. Oleh karena itu bagi pengikut yang baik, mereka dianjurkan untuk kawin. Selain mencontoh tindak-laku Nabi Muhammad, perkawinan juga merupakan kehendak manusia, kebutuhan rohani dan jasmani. Menikah adalah salah satu ajaran Allah SWT yang tercantum dalam Al-Qur‟an untuk mencapai kesenangan, percintaan dan kasih sayang dan juga untuk menyambung keturunan serta untuk menjaga kesucian diri dari godaan nafsu. Menikah atau hidup berumah tangga itu sama saja dengan menunaikan Sunnah Rasul bagi yang sudah mampu.2 Begitu pentingnya arti dan tujuan perkawinan maka segala sesuatu yang berkenaan dengan perkawinan diatur oleh Negara dan hukum Islam dengan terperinci dan lengkap. Pada undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa suatu perkawinan adalah sah baik menurut hukum Negara maupun hukum agama apabila dilakukan dengan memenuhi segala rukun dan syarat-syarat serta tidak melanggar larangan perkawinan. Apabila terjadi perkawinan yang melanggar larangan-larangan perkawinan atau tidak memenuhi salah satu rukun dan syarat-syarat perkawinan, maka perkawinan tersebut tidak sah dan untuknya dapat dibatalkan atau diputuskan. 1
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: PT. BINA AKSARA, 1987), hlm. 1 2
Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, berkata: Bahwa Nabi Shallallahu‟alaihi wasallam bersabda: “Menikah adalah sunnahku. Siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, ia bukan termasuk ummatku. Menikahlah karena aku akan senang atas jumlah besar kalian di hadapan umat-umat lain. Siapa yang telah memiliki kesanggupan, menikahlah. Jika tidak, berpuasalah karena puasa itu bisa menjadi kendali” (Riwayat Ibn Majah, lihat: Kasyf al-Khafa, II/324, no. hadis: 2833).
Tinjauan yuridis..., Yudith Ika Pratama, FH UI, 2014
Berdasar pada Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pengertian “dapat” dalam pasal ini dapat diartikan batal atau tidak batal bilamana ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. R. Soetojo Prawirohamidjojo mengatakan bahwa kata “dapat” disini tidak dapat dipisahkan dari kata dibatalkan yang berarti bahwa perkawinan itu semula adalah sah kemudian baru menjadi batal karena adanya putusan pengadilan (vernietigbar) sebagai lawan daripada batal demi hukum.3 Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis merasa perlu kiranya dilakukan pengkajian tentang ketentuan pembatalan perkawinan dimana terhadap perkawinan ada dua aturan yang harus dipedomani, yakni antara lain Undang-Undang Perkawinan pada satu sisi serta hukum agama pada sisi lainnya. Pada pembahasan kali ini, selain melihat pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, penulis akan mengkaji perkawinan dalam Islam dimana permasalahan yang menyangkut dengan perkawinan Islam juga harus melihat pada Kompilasi Hukum Islam. Pengkajian yang akan penulis lakukan akan menyorot pada pembatalan perkawinan yang disebabkan karena tidak terpenuhinya syarat jangka waktu tunggu atau dalam agama Islam dikenal dengan Masa „Iddah, hal ini dilatar belakangi oleh masih sedikitnya pembahasan mengenai betapa pentingnya menaati masa „iddah sebelum dilakukannya suatu perkawinan baru. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan dapat memaparkan mengenai perkawinan yang dilakukan dengan melanggar beberapa ketentuan perkawinan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan mengetahui dan dapat memaparkan mengenai pembatalan perkawinan karena pelanggaran ketentuan perkawinan terutama pelanggaran terhadap jangka waktu tunggu (masa „iddah) yang seharusnya dijalani seorang wanita setelah putus perkawinannya. Kerangka Teori Pembatalan Perkawinan Salah satu jenis putusnya perkawinan adalah dengan cara pembatalan perkawinan. Batalnya perkawinan disebut juga dengan fasakh yang berarti putus atau batal. Kata-kata fasakh ba‟i berarti pembatalan akad jual beli karena ada suatu sebab atau illat atau cela. 3
Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, cet. 1, (Jakarta: Gitama Jaya,2005), hlm. 18.
Tinjauan yuridis..., Yudith Ika Pratama, FH UI, 2014
Sedangkan fasakh nikah adalah pembatalan perkawinan karena antara suami istri terdapat cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau si suami tidak dapat membeli belanja atau nafkah, menganiaya, murtad dan sebagainya. Maksud dari fasakh nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami istri.4 Fasakh berasal dari bahasa arab dari akar kata fa-sa-kha yang secara termonilogi berarti membatalkan. Apabila dihubungkan dengan perkawinan berarti fasakh adalah membatalkan suatu perkawinan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, fasakh didefinisikan sebagai pembatalan ikatan perkawinan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.5 Batal adalah rusaknya hukum yang ditetapkan suatu amalan seseorang, karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya yang telah ditetapkan oleh syara‟, dimana perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi syarat dan rukun adalah dilarang atau diharamkan oleh agama. Sesuai dengan artinya yakni menghapus atau membatalkan, maka pemutusan ikatan perkawinan dengan cara fasakh melibatkan tidak hanya dua pihak pengakad, yakni suami dan istri saja, melainkan termasuk juga pihak ketiga. Sehingga suatu fasakh dimungkinkan terjadi karena kehendak suami, kehendak istri atau kehendak orang ketiga yang berhak. Sedangkan hal-hal yang bisa dijadikan sebab orang memfasakh „aqad nikah berkisar pada dua kelompok sebab, antara lain ada sebab yang diketahui setelah aqad terjadi padahal sebenarnya telah terjadi sebelum aqad dan ada sebab yang terjadi kemudian setelah aqad dilakukan.6 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pembatalan Perkawinan adalah pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.7 Pembatalan perkawinan berarti menganggap perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau dianggap tidak pernah ada.8 Pada umumnya, pengertian pembatalan perkawinan adalah suatu upaya hukum untuk membatalkan suatu perkawinan 4
Sohari Sahrani Tihami, Fikih Mufakat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 195.
5
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm. 242. Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 141. 7 Ibid, hlm. 242. 6
8
YLBH Apik, Pembatalan Perkawinan, (Jakarta: lbh-apik.or.id, 2012), hlm. 1.
Tinjauan yuridis..., Yudith Ika Pratama, FH UI, 2014
melalui pengadilan yang dikarenakan perkawinan yang telah dilangsungkan itu tidak sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan tentang pembatalan perkawinan diatur dalam BAB IV Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 Undang-undang Perkawinan, serta dalam BAB VI Pasal 37 dan Pasal 38 PP No. 9 Tahun 1975. Ketentuan ini mengatur tentang syarat-syarat, alasan-alasan untuk pembatalan perkawinan, para pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan dan tata cara pembatalan perkawinan. Pasal 22 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyebutkan: “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan.” Pengertian “dapat” pada pasal ini bisa diartikan dua hal, yakni bisa dibatalkan dan bisa tidak dibatalkan apabila menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. R. Soetojo Prawirohamidjojo mengatakan bahwa kata “dapat” disini tidak bisa dipisahkan dari kata dibatalkan yang berarti bahwa perkawinan itu semula adalah sah kemudian baru menjadi batal karena adanya putusan pengadilan sebagai lawan dari pada batal demi hukum.9 Dalam ketentuan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan yang tidak sah menurut hukum agama dapat dibatalkan melalui proses pengadilan sebagaimana sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 38 PP No. 9 Tahun 1975. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku surut sejak berlangsungnya perkawinan (Pasal 28 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974) dengan adanya keputusan yang berkekuatan tetap perkawinan kembali kepada keadaan semula seperti sebelum diadakannya perkawinan dalam Pasal 22 sampai 28 Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Setiap orang yang hendak mengajukan pembatalan perkawinan mereka harus mengajukan permohonan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan. Undang-undang menganut prinsip tidak ada suatu perkawinan yang dianggap dengan
9
Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, cet. 1, (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm. 67.
Tinjauan yuridis..., Yudith Ika Pratama, FH UI, 2014
sendirinya batal menurut hukum.10 Batalnya suatu perkawinan yang dianggap dengan sendirinya batal menurut hukum. Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan.11 Prof. Wirjono Prodjodikoro mengutip pendapat Mr. Asser Scholten mengenai pembatalan perkawinan, beliau berpendapat bahwa ada beberapa kejadian perkawinan yang dapat batal dengan sendirinya atau batal demi hukum. Contoh yang dikemukakannya adalah apabila pengantin yang dikawinkan oleh catatan sipil ternyata jenis kelaminnya sama. Dalam kejadian ini menurut Asser perkawinan tersebut dengan sendirinya batal menurut hukum tanpa adanya putusan pengadilan tetapi dalam hal ini sekalipun dalam kenyataannya perkawinan tersebut bukanlah perkawinan namun karena pelaksanaannya telah dilakukan melalui formalitas yuridis maka untuk menghilangkan legalitas yuridisnya haruslah tetap melalui pembatalan.12 Pengaturan mengenai tata cara memajukan pembatalan perkawinan dan pemanggilan untuk pemeriksaan pembatalan perkawinan diatur dalam Bab VI Pasal 38 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang menentukan bahwa tata cara pengajuan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan perceraian. Hal-hal yang berhubungan dengan pengadilan, pemeriksaan pembatalan perkawinan dan pemutusan oleh pengadilan dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam Pasal 20 – Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Maka, berdasar pada hal-hal yang dipaparkan di atas, M.M. Pasaribu dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Indonesia menyimpulkan tata cara permohonan pembatalan perkawinan, yakni:13 1. Permohonan pembatalan perkawinan oleh pemohon atau kuasanya diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kediaman termohon, yang isinya memberitahukan niatnya untuk membatalkan perkawinan tersebut disertai dengan alasan-alasan yang dipergunakan untuk menuntut pembatalan perkawinan tersebut (Pasal 38 ayat (2) Undang-undang Perkawinan jo. Pasal 20 PP No 9 Tahun 1975);
10
Subekti dan Soesilowati, Loc.cit, hlm. 68.
11
Ibid.
12
Subekti dan Soesilowati, Loc.cit, hlm. 69.
13
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, cet. 2 (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 59.
Tinjauan yuridis..., Yudith Ika Pratama, FH UI, 2014
2. Pengadilan memanggil termohon secara tertulis dengan melampirkan permohonan mengenai pembatalan perkawinan, yang mana harus disampaikan selambat-lambatnya 3 hari sebelum persidangan pemeriksaan dilakukan (Pasal 38 PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 26 ayat (4) PP No. 9 Tahun 1975); 3. Pengadilan memeriksa permohonan pembatalan perkawinan tersebut selambatlambatnya 30 hari sejak permohonan diajukan (Pasal 38 ayat (2) jo. Pasal 29 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975; 4. Pengadilan berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan jika perdamaian tidak dapat dilakukan maka pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup, sedangkan Keputusan diucapkan dalam sidang terbuka; 5. Apabila Keputusan Pengadilan telah mempunyai keputusan tetap, Panitera Pengadilan menyampaikan satu lembar dari keputusan itu kepada Pegawai Pencatat Perkawinan, untuk selanjutnya oleh Pegawai Pencatat dicatat pada daftar yang diperuntukkan untuk itu. Jika pembatalan perkawinan dilakukan oleh Pengadilan Agama, Panitera Pengadilan Agama itu berkeharusan meminta dikukuhkannya putusan tersebut oleh Panitera Pengadilan Umum selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak putusan itu mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan Pengadilan tersebut berkewajiban untuk mengembalikan putusan tersebut ke Pengadilan Agama yang bersangkutan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya putusan tersebut untuk dikukuhkan, dengan menyebut “dikukuhkan”, serta keputusan yang dikukuhkan itu ditandatangani oleh Hakim serta cap dengan cap jabatan.
Metode Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.14 Sistematis artinya menggunakan sistem tertentu, sedangkan
14
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004),
hlm. 2.
Tinjauan yuridis..., Yudith Ika Pratama, FH UI, 2014
metodologis artinya menggunakan metode atau cara tertentu dan konsistensi berarti tidak ada hal yang bertentangan dalam kerangka tertentu.15 Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Bentuk Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yang bersifat yuridis-normatif yang artinya penelitian ini mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama beserta perubahannya yaitu Undang-undang no. 3 tahun 2006, Ilmu Fikih, putusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat. 2. Tipologi Penelitian Penelitian yang dilakukan penulis mengenai pembatalan perkawinan ini memiliki sifat penelitian deskriptif-eksplanatoris, yaitu penelitian yang dilakukan dengan memaparkan secara jelas dan sistematis yang bertujuan untuk menggambarkan atau menjelaskan lebih dalam suatu gejala, dengan kata lain mempertegas hipotesa yang ada. 16 3. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu bahanbahan kepustakaan yang mencakup perundang-undangan, antara lain Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan, buku, tesis, artikel ilmiah serta artikel-artikel dari internet yang berhubungan dengan perkawinan khususnya mengenai pembatalan perkawinan. 4. Jenis Bahan Hukum Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang secara tidak langsung memberi kajian terhadap permasalahan penelitian dari bahan-bahan hukum berupa dokumen, arsip, peraturan perundang-
15
Ibid.
16
Sri Mamudji, Metodologi Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbitan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm 4.
Tinjauan yuridis..., Yudith Ika Pratama, FH UI, 2014
undangan serta skripsi dan tesis. Data sekunder ini diperoleh dari bahan hukum primer dan sekunder yang meliputi:17 a. Bahan hukum primer, antara lain Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan dan Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan tentang hukum di luar dokumendokumen resmi yang meliputi buku teks, jurnal hukum, serta pendapatpendapat terkait dengan putusan pengadilan. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan literatur mengenai perkawinan, artikel ilmiah serta artikel dan bahan-bahan dari internet. 5. Alat Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, alat pengumpulan data yang digunakan adalah melalui penelitian kepustakaan (library research)18, yaitu suatu cara memperoleh data melalui penelitian kepustakaan dimana dalam penulisan ini penulis mencari data dengan membaca putusan pengadilan, buku-buku mengenai perkawinan, bahan kuliah dan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan topik yang sedang diteliti. Selain itu, alat pengumpulan data yang digunakan penulis adalah melalui wawancara terhadap instansi terkait, salah satunya Pengadilan Agama Depok.
Pembahasan
Perkawinan Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 bukan hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan sehingga oleh karenanya sah atau tidaknya suatu perkawinan digantungkan sepenuhnya pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut. Definisi yang mengandung unsur agama tersebut tidak dengan sendirinya, melainkan tentu dilatarbelakangi oleh bermacam-macam alasan dan dengan tujuan tertentu.
17 18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press. 1986), hlm. 51-52. Ibid, hlm. 66-67.
Tinjauan yuridis..., Yudith Ika Pratama, FH UI, 2014
Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dari bunyi Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tersebut di atas, tersimpul suatu rumusan arti dan tujuan dari perkawinan. Dimana arti dari perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri, dan tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.19 Indonesia adalah Negara yang berdasarkan Pancasila dimana sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka antara perkawinan dengan agama atau kerohanian mempunyai hubungan yang sangat erat, karena perkawinan bukan saja mempunyai unsur jasmani tetapi juga mempunyai unsur rohani yang memegang peranan penting. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya masingmasing. Salah satu syarat sahnya perkawinan adalah dipenuhinya syarat jangka waktu tunggu. Jangka waktu tunggu atau dalam hukum Islam disebut masa „iddah adalah masa menunggu atau tenggang waktu sesudah jatuh talak, dalam waktu mana si suami boleh merujuk kembali istrinya, sehingga pada masa „iddah ini si istri belum boleh melangsungkan perkawinan baru dengan laki-laki lain.20 Masa „iddah adalah masa menunggu dan dalam kasus wanita yang ditalak raj`i (talak satu dan dua) oleh suaminya, masa iddah itu menjadi sebuah peluang untuk kembali menyambung tali pernikahan tanpa perlu mengulangi proses akad nikah dari awal, cukup dengan melakukan rujuk saja. Sedangkan untuk mereka yang ditalak ba‟in (talak tiga) atau ditinggal mati suaminya, maka masa „iddah itu menjadi semacam jarak waktu untuk memastikan tidak adanya janin di dalam kandungannya bila dia berniat menikah lagi dengan laki-laki lain.21
19
Djoko Prakoso, dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: PT BINA AKSARA, 1987), hlm. 3. 20
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan), cet. 2, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm. 120. 21
http://www.syariahonline.com/v2/fiqih-wanita/2425-fiqh-wanita-dalam-masa-iddah.pdf pada hari Sabtu, 19 April 2014.
Tinjauan yuridis..., Yudith Ika Pratama, FH UI, 2014
,
diunduh
Dalam agama Islam sendiri, Pasal 71 KHI mengatur bahwa suatu perkawinan dapat batal dan dibatalkan, salah satu kondisi dimana perkawinan dapat dibatalkan adalah ketika perempuan yang dikawini ternyata masih berada dalam masa „iddah dari suami terdahulunya. Salah satu jenis putusnya perkawinan adalah dengan cara pembatalan perkawinan. Batalnya perkawinan disebut juga dengan fasakh yang berarti putus atau batal. Kata-kata fasakh ba‟i berarti pembatalan akad jual beli karena ada suatu sebab atau illat atau cela. Sedangkan fasakh nikah adalah pembatalan perkawinan karena antara suami istri terdapat cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau si suami tidak dapat membeli belanja atau nafkah, menganiaya, murtad dan sebagainya. Maksud dari fasakh nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami istri.22
Pembatalan Perkawinan Fasakh berasal dari bahasa arab dari akar kata fa-sa-kha yang secara termonilogi berarti membatalkan. Apabila dihubungkan dengan perkawinan berarti fasakh adalah membatalkan suatu perkawinan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, fasakh didefinisikan sebagai pembatalan ikatan perkawinan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.23 Batal adalah rusaknya hukum yang ditetapkan suatu amalan seseorang, karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya yang telah ditetapkan oleh syara‟, dimana perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi syarat dan rukun adalah dilarang atau diharamkan oleh agama. Sesuai dengan artinya yakni menghapus atau membatalkan, maka pemutusan ikatan perkawinan dengan cara fasakh melibatkan tidak hanya dua pihak pengakad, yakni suami dan istri saja, melainkan termasuk juga pihak ketiga. Sehingga suatu fasakh dimungkinkan terjadi karena kehendak suami, kehendak istri atau kehendak orang ketiga yang berhak. Sedangkan hal-hal yang bisa dijadikan sebab orang memfasakh „aqad nikah berkisar pada dua kelompok sebab, antara lain ada sebab yang diketahui setelah aqad terjadi padahal sebenarnya telah terjadi sebelum aqad dan ada sebab yang terjadi kemudian setelah aqad dilakukan.24
22
Sohari Sahrani Tihami, Fikih Mufakat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 195.
23
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm. 242. Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 141.
24
Tinjauan yuridis..., Yudith Ika Pratama, FH UI, 2014
Dasar pembatalan perkawinan berdasarkan pada firman Allah berbunyi:25 Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir „iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma‟ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma‟ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan. Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukumhukum Allah suatu permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Alkitab dan Alhikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Dari segi alasan terjadinya fasakh, maka secara garis besar terdapat dua sebab, antara lain: 1. Perkawinan yang sebelumnya telah berlangsung ternyata kemudian tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan, baik dari rukun maupun dari syaratnya. Atau pada perkawinan tersebut terdapat halangan yang tidak membenarkan terjadinya perkawinan. Bentuk seperti ini yang dalam kitab fiqh disebut dengan fasakh. Bentuk ini pun dari segi cara penyelesaiannya oleh pengadilan dibagi menjadi dua macam, yakni: a. Tidak memerlukan pengaduan dari pihak suami maupun istri, dalam artian hakim dapat memutuskan setelah diketahuinya kesalahan perkawinan sebelumnya melalui pemberitahuan oleh siapa saja. Misalnya, akad nikah tidak dilakukan di hadapan saksi, sedangkan hukum yang berlaku menyatakan bahwa kehadiran saksi merupakan rukun dalam perkawinan. Hal ini tentu menyalahi ketentuan hukum.26 b. Memerlukan adanya pengaduan dari pihak suami atau istri atas dasar masingmasing pihak tidak menginginkan kelangsungan perkawinan tersebut. Dalam artian apabila keduanya setuju atau rela untuk melanjutkan perkawinan, maka perkawinan tidak perlu dibatalkan. Contohnya adalah perkawinan yang dilangsungkan atas dasar adanya ancaman yang tidak dapat dihindarkan. Perkawinan dengan dasar tersebut tentu menyalahi persyaratan kerelaan dari pihak yang melangsungkan perkawinan, namun apabila keduanya setuju untuk melanjutkan perkawinan, maka perkawinan tersebut tidak perlu dibatalkan.
25 26
Q.S. Al-Baqarah, ayat terjemahan Departemen Agama, hlm. 56. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm. 243.
Tinjauan yuridis..., Yudith Ika Pratama, FH UI, 2014
2. Fasakh yang terjadi karena pada diri suami atau istri terdapat suatu yang menyebabkan perkawinan tidak mungkin dilanjutkan karena apabila dilanjutkan akan menyebabkan kerusakan pada suami atau istri atau keduanya sekaligus. Fasakh dalam bentuk ini dalam fiqh disebut dengan Khiyar Fasakh.27 Pembatalan perkawinan berarti menganggap perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau dianggap tidak pernah ada.28 Pada umumnya, pengertian pembatalan perkawinan adalah suatu upaya hukum untuk membatalkan suatu perkawinan melalui pengadilan yang dikarenakan perkawinan yang telah dilangsungkan itu tidak sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Kesimpulan Dalam setiap perceraian suatu masa „iddah wajib hukumnya untuk dilaksanakan yakni sebagai tujuan kepastian bersihnya rahim si perempuan. Suatu perkawinan yang dilaksanakan tanpa memenuhi masa „iddah terlebih dahulu (bagi calon istri yang telah menikah sebelumnya) dapat dilakukan pembatalan perkawinan, hal ini diatur baik dari segi Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam maupun Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dengan Peraturan Pelaksanaannya. Pada dasarnya dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan sudah dipaparkan dengan jelas bahwa suatu perkawinan akan dikatakan sah apabila dilaksanakan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing, sehingga secara tidak langsung suatu perkawinan akan mengacu pada aturan agamanya langsung tanpa perlu memperhatikan lagi Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Dalam Kompilasi Hukum Islam sendiri pengaturan mengenai masa „iddah diatur dalam Pasal 12 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa „iddah, haram dan dilarang hukumnya untuk dipinang”, selain itu dalam Pasal 40 KHI juga dikatakan bahwa “Seorang wanita yang masih dalam masa „iddah dengan pria lain dilarang untuk dikawini”. Pengaturan ini cukup jelas mengatur bahwa perempuan dalam masa „iddah tidak dapat dikawini oleh pria lain. Adapun terhadap perkawinan yang dilakukan dengan masa „iddah mempelai istri yang belum selesai maka dapat diajukan pembatalan perkawinan. Hal ini diatur dalam Pasal 71 poin (c) KHI yang mengatakan bahwa “Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila perempuan yang dikawini ternyata masih dalam „iddah suami lain”. Pengajuan pembatalan perkawinan juga dapat diajukan oleh suami atau istri, 27
Ibid.
28
YLBH Apik, Pembatalan Perkawinan, (Jakarta: lbh-apik.or.id, 2012), hlm. 1.
Tinjauan yuridis..., Yudith Ika Pratama, FH UI, 2014
dimana lalainya informasi mengenai masa „iddah ini masuk ke dalam kategori salah sangka mengenai diri suami/istri. Namun apabila suami/istri menyadari salah sangka tersebut tetapi dalam 6 bulan setelahnya masih tetap hidup bersama, maka suami/istri tersebut tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, dalam artian haknya tersebut gugur. Menurut penulis, Putusan Mahkamah Agung No. 41 K/AG/2009 yang membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung sudah cukup tepat karena pertimbanganpertimbangan yang digunakan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama yang menyatakan tidak ada perkawinan antara Penggugat dan Tergugat tidak jelas dan terkesan mengada-ada, karena nyatanya perkawinan antara keduanya telah ada dan terlaksana. Terlebih, pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama ini nyatanya tidak dibarengi dengan alas hukum yang dapat mendukung pertimbangannya tersebut. Pada dasarnya secara umum penulis telah sepakat terhadap putusan yang dikeluarkan Pengadilan Agama Bandung dimana dalam putusannya tersebut Majelis Hakim menolak gugatan Penggugat dikarenakan Penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya dan tidak dapat meyakini hakim. Karena bagaimanapun suatu gugatan pembatalan perkawinan dapat saja diajukan asalkan dalam proses pembuktiannya pihak yang mendalilkan dapat membuktikan dalil-dalilnya serta dapat meyakinkan Majelis Hakim dengan pernyataannya tersebut. Namun dalam hal ini Hakim sebenarnya juga dapat meminta Penggugat untuk menghadirkan saksi dengan tujuan mencari keadilan, dan tindakan ini tidak melanggar asas hukum acara perdata mengenai hakim bersifat pasif, karena pada dasarnya sikap pasif yang dimaksud adalah yang berkenaan dengan ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diperiksa yang pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim, dimana hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan.29
Saran Bagi para pihak yang akan melakukan perkawinan, dalam proses perkawinan hendaknya baik calon istri maupun calon suami mengurus dokumen-dokumen serta perizinan dan prosedurnya sendiri dan tidak diwakili, dengan begitu keduanya akan tahu dan paham persis
29
Indonesia, Undang-undang No. 48 tahun 2009, Ps. 4 ayat (2).
Tinjauan yuridis..., Yudith Ika Pratama, FH UI, 2014
apa-apa saja yang telah keduanya lakukan dalam proses persiapan perkawinan, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman mengenai tanggal perkawinan. Bagi masyarakat, melihat pada kasus yang ada, dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia pada saat ini masih belum memahami secara jelas mengenai tata cara perkawinan terutama mengenai keharusan menaati masa „iddah bagi janda-janda yang akan menikah lagi. Untuk itu, perlu adanya penyuluhan hukum kepada masyarakat luas tentang tata-cara melaksanakan perkawinan serta pentingnya memperhatikan dokumen-dokumen milik calon pasangan agar kelak perkara yang sama tidak terulang lagi di kemudian hari. Bagi Penggugat, apabila tidak memiliki cukup bukti untuk menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan bersama dengan Tergugat tersebut memenuhi unsur yang dapat membatalkan perkawinannya, maka alternatif lain yang dapat dipilih Penggugat adalah dengan gugatan perceraian karena pada dasarnya alasan-alasan yang diajukan Penggugat adalah alasan-alasan perceraian diluar perihal adanya ketidakcocokan penanggalan dalam Akta Nikah. Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak harmonis bahkan sebelum Penggugat menyadari ada kekeliruan dalam Akta Nikahnya tersebut. Bagi KUA, Sebagai instansi Departemen Agama yang memegang peranan penting dalam urusan Agama Islam salah satunya sebagai lembaga pernikahan, pemeriksaan nikah yang merupakan kewajiban KUA dalam hal legalitas perkawinan tentunya harus dilaksanakan dengan baik dan merinci, agar tidak terjadi manipulasi-manipulasi yang berakibat fatal terhadap pencatatan pernikahan. Berkenaan dengan tempat pelaksanaan perkawinan yang dilaksanakan oleh kedua pihak di rumah Tergugat, menurut penulis ada baiknya perkawinan dilaksanakan di KUA dan bukan pihak KUA, dalam hal ini penghulu, yang didatangkan ke rumah para pihak. Dengan perkawinan dilakukan langsung di Kantor Urusan Agama, tentu akan meminimalisir adanya kecurangan atau kelalaian pendataan dari pihak KUA terhadap perkawinan yang dilaksanakan. Bagi Pengadilan Agama, menurut penulis ada baiknya untuk lebih selektif dalam memilih Majelis Hakim, terutama Ketua Majelis Hakim, dimana persyaratan utama seorang Hakim tentunya memiliki dasar pendidikan sebagai sarjana hukum. Dengan begitu putusan-putusan yang dilahirkan akan memiliki konten dan dasar hukum yang jelas.
Tinjauan yuridis..., Yudith Ika Pratama, FH UI, 2014
Daftar Referensi A. BUKU Abdurrahman dan Riduan Syahrani. Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Alumni, 1978. Adlany, Nazri, Hanafie Tamam dan Faruq Nasution. Al-Qur‟an Terjemah Indonesia. Jakarta: PT. Sari Agung, 1999. Ali, Mohammed Daud. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Efek Unifikasi dalam Bidang-bidang Hukum Keluarga (Perkawinan). Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1991. Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press,1999. Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ickhtiar Baru Van Hoeve, 1996 Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004. Departemen Agama. Alqur‟an dan Tafsirnya. Semarang: Wicaksana, 1993. Djubaedah, Neng. Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2010 Ekelaar, John. Family Security and Family Breakdown. United States: Penguins, 1971. Habsyi, al, Muhammad Baqir. Fikih Praktis Menurut Al-Qur‟an dan Hadits. Bandung: Mizan, 2002). Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju, 2003. Harahap, M. Yahya. Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Medan: CV. Zahir Trading Co., 1975. Hazairin. Tinjauan mengenai Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Jakarta: Tintamas, 1986. Kuzari, Achmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Mamudji, Sri. Metodologi Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbitan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Tinjauan yuridis..., Yudith Ika Pratama, FH UI, 2014
Mubarak, al, Syaikh Faishal bin „Abdul „Aziz. Nilul Authar. Diterjemahkan oleh A. Qadir Hassan. Surabaya: Bina Ilmu, 1984. Muchtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang,, 1974. Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab, Ja‟fari Hanafi, Maliki, Syafi‟I, Hanbali. Jakarta: Lentera Basritama, 1996. Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Nawawiy, Al. al-Majmu‟ Syarh al-Muhazzab. Diterjemahkan oleh Amir Syarifuddin. Jakarta: Prenada Media, 2007. Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2004. Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: PT. BINA AKSARA, 1987. Prodjohamidjodjo, Martiman . Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2002. Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur‟an Departemen Agama Republik Indonesia. AlQur‟an dan Terjemahannya (Jakarta: Pelita III, 1980). Qudamah, Ibnu. al-Mghniy. Diterjemahkan oleh Amir Syarifuddin. Jakarta: Prenada Media, 2007. Rafiq, A. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1998. Rasjidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya, 1991. Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2005. Rusyd, Ibn. Bidayah al-Mujtahid, Juz II. Semarang: Usaha Keluarga, t.t. Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Bandung: PT Alma‟arif, 1983. San‟any, As. Subul as Salam. Diterjemahkan oleh Roihan A. Rasyid. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2005. Sholeh, Asroun Ni‟am. Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta: Elsas, 2008. Sidik, Abdullah. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Tintamas Indonesia, 1983. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Pers, 2010.
Tinjauan yuridis..., Yudith Ika Pratama, FH UI, 2014
Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty, 1986. Sofwan, Sri Soedewi M. Hukum Badan Pribadi. Jogjakarta: Badan Penerbit Gajah Mada, 1970. Sostroatmodjo, Arso. Hukum Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Subekti, R. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2003. Subekti, Wienarsih Imam dan Sri Soesilowati Mahdi. Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat. Jakarta: Gitama Jaya, 2005. Syarifuddin, Amir . Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2007. Tanjung, Nadiman . Islam dan Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, tt. Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Penerbit UI
Press,
1982. Tihami, Sohari Sahrani. Fikih Mufakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009. Tutik, Titik Triwulan . Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana, 2008. YLBH Apik. Pembatalan Perkawinan. Jakarta: lbh-apik.or.id, 2012.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Kompilasi Hukum Islam. Indonesia. Undang-undang tentang Perkawinan.UU No. 1 Tahun 1974. LN No. 1/1974. TLN No. 3019) Indonesia. Undang-undang Peradilan Agama. UU No. 7 Tahun 1989. LN No. 73/1989. Indonesia. Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman. UU No. 48 Tahun 2009. TLN No. 5076. Indonesia. Undang-undang tentang Mahkamah Agung. UU No. 14 Tahun 1985. LN No. 73/1985. TLN No. 3316. Indonesia. Reglemen Indonesia yang Diperbaharui. Indonesia. Peraturan Pemerimtah tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan UU No. 9 Tahun 1975. Ln No. 12/1975. TLN No. 3250. Indonesia. UNdang-undang Pencatatan Nikah. UU No. 11 Tahun 2007.
Tinjauan yuridis..., Yudith Ika Pratama, FH UI, 2014
C. WAWANCARA Mumu, S.H., M.H., Panitera Pengadilan Agama Depok, hari Rabu, 4 Juni 2014. Pukul 14.45 WIB.
D. INTERNET http://www.syariahonline.com/v2/fiqih-wanita/2425-fiqh-wanita-dalam-masaiddah.pdf , diunduh pada hari Sabtu, 19 April 2014. Shihab,
Quraish,
“Wawasan
http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Nikah1.html.
Al-Qur‟an” Diunduh
pada
hari Sabtu, 17 Mei 2014. digilib.uinsby.ac.id, diakses pada 11 Juni 2014. http://www.islamcendekia.com/2014/01/pembuktian-dalam-hukum-acara-perdata, diakses pada 11 Juni 2014. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e34bffad92e1/batalkah-perkawinanjika-ada-kesalahan-dalam-akta-nikah, diakses pada tanggal 10 Juni 2014
Tinjauan yuridis..., Yudith Ika Pratama, FH UI, 2014