ANALISIS YURIDIS MENGENAI PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DALAM HAL TERJADI PERCERAIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Kasus : Putusan No. 02/PDT.G/2010/PN.JKT.TIM) Dwi Refyanto Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia e-mail :
[email protected] Abstrak Hal Terjadi Perceraian Mcnurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor I· Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Kasus Putusan No.02/PDT.GI20 1 O/PN .JKT.T1M) Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wan ita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dapat disimpulkan bahwa pada dasamya suatu ikatan perkawinan dimaksudkan untuk membentuk suatu ikatan kekal yang berlangsung untuk seumur hidup, akan tetapi dalam kenyataannya suatu perkawinan dapat putus karena beberapa sebab, yaitu selain karena perceraian dan kematian, putusnya perkawinan juga dapat disebabkan karena putusan pengadilan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 38 UndangUn dang No. 1 tahun 1974. Apabila terjadi suatu perceraian, maka akan timbul akibat-akibat hukum dari perceraian tersebut. Akibat hukum yang pertama adalah akibat hukum terhadap hubungan suami istri, kemudian hubungan hukum antara orang tua dan anak-anak mereka, selain itu juga menimbulkan akibat hukum terhadap harta benda yang mereka miliki selama perkawinan tersebut berlangsung. Undang-Undang No. I Tahun 1974 tidak mengatur secara khusus tentang harta benda perkawinan akibat perceraian atau putusnya perkawinan tetapi mengenai hal tersebut Pasal 37 menyebutkan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Pasal ini memiliki pengertian bahwaapabila terjadi perceraian maka para pihak berhak memilih aturan hukum yang akan digunakan untuk men gurus pembagian harta bersama diantara keduanya, baik hukum adat masing-masing, aturan agama masing-masing, maupun hukum perdata barat. Hal ini kemudian seringkali menimbulkan konflik dimana masing-masing pihak tidak setuju atas pembagian harta bersama karena masing-masing pihak merasa berhak. atas bagian yang lebih besar dari pasangannya. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder, sedangkan dalam metode analisis data mempergunakan metode pendekatan kualitatif. Penelitian ini memberikan hasil sifat deskriptif analitis yang memberikan gambaran secara luas terhadap fakta yang melatarbelakangi pennasalahan kemudian dengan cara menganalisis fakta dengan data yang diperoleh untuk dapat memberikan alternatif pemecahan masalah melalui analisis yang telah dilakukan.
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
Abstract
It Happened Divorce According to the Book of lhe Law and the Civil Law Act No. I of 1974 About Marriage (Case Study: Decision No.02lPDT.GI2010IPN.JKT.TIM) Article I of Law No. 1 of 1974 states that marriage is a bond between the inner and outer man with one woman as husband and wife with the intention of forming families (households) are happy and eternal based on God. It can be concluded that in essence a marriage is intended to form an eternal bond that lasts for a lifetime, but in reality, a marriage can break up for many reasons, which in addition to divorce and death, rupture of marriage can also be caused due to a court decision as contained in Article 38 of Law No. 1 of 1974. In the event of a divorce, then there will be legal consequences of divorce. As a result of the rust law is the legal effect of the marital relationship, then the legal relationship between parents and their children, but it also raises legal consequences to their property during the marriage takes place Law No. 1 of 1974 does not specifically regulate marital property due to divorce or the breakdown of a marriage, but on the subject of Article 37 states that if the marriage broke up because of divorce, community property is set according to its own laws. This article has the sense that ifthere is a divorce the parties are entitled to choose the law that will be used to take care of the division of matrimonial property between them, both their respective customary laws, the rules of their religion, or civil law west. This then . often leads to conflicts in which each of the parties do not agree on the division of matrimonial property because each party was entitled to a larger share of their partner. The method used in this paper is the method of normative legal research using secondary data, whereas the methods of data analysis using a qualitative approach. This study provides descriptive nature of the analytical results provide broad overview of the facts underlying the issue then by analyzing the data obtained with the facts to be able to provide alternative solutions to problems . through the analysis that has been done.
.
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
I.
Pendahuluan
Manusia adalah mahluk sosial dimana setiap manusia pasti membutuhkan manusia lain dalam segala aspek kehidupannya. Sekumpulan manusia yang saling membutuhkan tersebut kemudian membentuk suatu kehidupan bersama yang disebut sebagai masyarakat. Hidup bersama merupakan gejala yang biasa bagi manusia. Dalam bentuk yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya keluarga. Manusia sebagai individu pada dasarnya bebas dalam perbuatannya, tetapi dalam perbuatannya itu ia dibatasi oleh masyarakat.. Di dalam masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia selalu berhubungan satu sama lain, baik itu hubungan yang menyenangkan atau hubungan yang dapat menimbulkan pertentangan atau konflik. Isi kaedah hukum ditunjukkan kepada sikap lahir manusia. Kaedah hukum mengutamakan perbuatan lahir. Pada hakekatnya apa yang dibatin, apa yang dipikirkan manusia tidak menjadi soal, asal lahirnya ia tidak melanggar kaedah hukum. Secara umum yang dimaksud dengan hukum adalah keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Hukum berurusan dengan hak dan kewajiban. Keseluruhan bangunan hukum disusun dari kedua hal itu. Semua jaringan hubungan yang diwadahi oleh hukum senantiasa berkisar pada hak dan kewajiban tersebut. Dalam hukum pada dasarnya hanya dikenal dua stereotif tingkah laku, yaitu menuntut yang berhubungan dengan hak dan berutang yang berhubungan dengan kewajiban. Hak dan kewajiban ini timbul kalau hukum diterapkan terhadap peristiwa konkret. Akan tetapi, keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai dua segi yang isinya di satu pihak berupa hak, sedangkan di pihak lain kewajiban, sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak. Manusia adalah subjek hukum, pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Salah satu hal yang sangat mempengaruhi kedudukan seseorang sebagai subjek hukum adalah perkawinan, yang menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban dibidang hukum keluarga. Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam perjalanan hidup manusia. Dari perkawinan akan timbul hubungan hukum antara suami-istri dan kemudian dengan lahirnya anak-anak, menimbulkan hubungan hukum antara orangtua dan anak-anak mereka. Kemudian dari perkawinan mereka memiliki harta kekayaan dan timbulah hubungan hukum antara mereka dengan harta kekayaan tersebut. Melihat luasnya dampak yang dapat ditimbulkan oleh suatu perkawinan, maka dibutuhkan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai masalah perkawinan tersebut. Dengan demikian maka dapat ditafsirkan bahwa antara tujuan UU No. 1 Tahun 1974 yang menghendaki terjadinya unifikasi hukum dalam bidang hukum perkawinan dengan hakekat pengaturan materinya dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya, ternyata belum sepenuhnya dapat terwujudkan. Dengan lain perkataan dapat dikatakan bahwa masih terdapat kemungkinan penafsiran bahwa bidang hukum perkawinan pada hakekatnya masih terdapat pluralisme hukum.
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
Dari definisi perkawinan yang terdapat pada Pasal 1 tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya suatu ikatan perkawinan dimaksudkan untuk membentuk suatu ikatan kekal yang berlangsung untuk seumur hidup, akan tetapi dalam kenyataannya suatu perkawinan dapat putus karena beberapa sebab, yaitu selain karena perceraian dan kematian, putusnya perkawinan juga dapat disebabkan karena putusan pengadilan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974. Jika terjadi suatu perceraian, maka akan timbul akibat-akibat hukum dari perceraian tersebut. Akibat hukum yang pertama adalah akibat hukum terhadap hubungan suami istri, kemudian hubungan hukum antara orang tua dan anak-anak mereka, selain itu juga terhadap terhadap harta benda yang mereka miliki selama perkawinan tersebut berlangsung. 2.
Metode Penelitian
Pada dasarnya penulisan suatu karya ilmiah harus disusun berdasarkan data-data yang bersifat obyektif dan faktual serta secara sistematis dan rasional sehingga karya ilmiah tersebut dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Suatu kegiatan atau usaha untuk mendapatkan dan mengumpulkan data-data serta untuk menganalisa dan mengadakan konstruksi data-data tersebut secara metodologis, sistematis dan konsisten disebut penelitian (research). Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Dalam suatu penelitian perlu adanya metode penelitian yang akan mencerminkan segala gerak dan aktivitas penelitian sehingga hasil yang akan didapat pun sesuai dengan apa yang ingin dicapai. Pengertian metode disini adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari suatu ilmu pengetahuan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. 3. Hasil dan Pembahasan Perkawinan merupakan bentuk kerjasama dalam kehidupan antara seorang pria dan seorang wanita di dalam masyarakat dibawah suatu peraturan khusus atau dan hal ini diperhatikan oleh agama, negara dan juga adat. Peraturan tersebut bertujuan untuk mengumumkan status baru kepada orang lain sehingga pasangan suami istri ini diterima dan diakui statusnya sebagai pasangan yang sah menurut hukum, agama, negara, dan juga adat. Status tersebut menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipikul oleh pasangan suami istri dalam menjalankan kehidupan berumah tangga. Dalam perkawinan terdapat unsur perjanjian, yaitu para pihak yang akan melangsungkan perkawinan harus mencapai persetujuan atau kata sepakat. Kata sepakat disini seolah-olah menunjukkan bahwa perkawinan itu sama dengan persetujuan. Persetujuan disini adalah berbeda dengan persetujuan seperti yang diatur dalam Buku III KUHPerdata. Dalam Buku III KUHPerdata, persetujuan itu biasanya berlangsung antara kreditur dan debitur sedangkan persetujuan dalam perkawinan para pihaknya adalah calon suami dan calon istri dan isi dari suatu perkawinan ditentukan atau berdasarkan undang-undang, sedangkan persetujuan dalam Buku III
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
KUHPerdata terdapat asas kebebasan berkontrak dimana para pihak diberi kebebasan untuk menentukan isi perjanjian. Dengan demikian mau tidak mau orang yang akan atau telah menikah harus mengikuti ketentuan undang-undang. KUHPerdata tidak menyebutkan definisi perceraian secara jelas, tetapi dalam pasal 199 KUHPerdata menyebutkan tentang pembubaran perkawinan, yaitu perkawinan bubar karena : 1. Karena kematian; Putusnya perkawinan karena kematian merupakan putusnya perkawinan secara alamiah karena kematian merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dihindari dan akan terjadi pada setiap manusia. 2. Keadaan tidak hadir suami atau istri; Keadaan tidak hadir terdapat dalam Pasal 493-495 KUHPerdata, harus memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain : a. Salah satu pihak ditinggalkan pihak lain selama 10 tahun dihitung pada saat pihak yang meninggalkan tidak mengirim berita sedikitpun juga. b. Harus ada izin dari Pengadilan Negeri dari tempat kediaman bersama dan melakukan panggilan umum kepada salah satu pihak yang meninggalkan tempat tinggalnya selama 3 kali berturut-turut yaitu setiap 3 bulan sekali. c. Jika atas pemanggilan tersebut tetap tidak ada kabar, maka Pengadilan member izin menikah kepada salah satu pihak untuk melaksanakan perkawinan baru. d. Bila salah satu pihak yang tidak hadir, muncul sebelum perkawinan baru dilaksanakan, maka putusan Hakim yang telah diberikan itu batal. e. Namun bila pihak yang tidak hadir itu muncul setelah perkawinan dilangsungkan, maka si yang tidak hadir itu dapat hadir dan dapat kawin lagi dengan orang lain. 3. Perpisahan meja dan ranjang; Perpisahan meja dan ranjang terdapat dalam Pasal 200 sampai dengan Pasal 206 KUHPerdata, alasan-alasan untuk minta pisah meja dan ranjang, diatur dalam Pasal 233 dan Pasal 236 KUHPerdata, sebagai berikut : a. Alasan-alasan seperti terdapat untuk perceraian (Pasal 209 KUHPerdata). b. Atas dasar perbuatan yang melampaui batas kewajaran, penganiayaan, dan penghinaan kasar yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain. c. Tanpa alasan (Pasal 236 KUHPerdata). Dengan pisah meja dan ranjang, perkawinan tidak dibubarkan, tetapi suami-istri tidak wajib untuk tinggal bersama. Suami atau istri dapat meminta perceraian (putus perkawinan) setelah 5 tahun pisah meja dan ranjang. 4. Karena Perceraian. Karena Perceraian terdapat dalam (Pasal 207-232 KUHPerdata), Pasal 209 KUHPerdata, menyebutkan 4 alasan perceraian yaitu : a. Zinah b. Meninggalkan pihak lain tanpa alas an yang sah dari salah satu pihak selama 5 tahun berturut-turut. c. Dihukum penjara selama 5 tahun atau lebih sesudah perkawinan terjadi. d. Menimbulkan luka berat atau melakukan penganiayaan yang membahayakan hidup pihak yang lain.
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
Menurut ketentuan pasal tersebut di atas, maka perceraian merupakan salah satu bentuk pembubaran perkawinan. Sedangkan perceraian menurut pasal 207 KUHPerdata harus dilakukan dengan jalan melakukan penuntutan oleh suami atau istri, yang diajukan ke Pengadilan Negeri. Apabila ditarik kesimpulan pasal 199 jo. Pasal 207 KUHPerdata, maka perceraian adalah penuntutan yang dilakukan oleh suami istri kepada pengadilan agar perkawinannya dibubarkan. Menurut Mr. Kwee Oen Goan, perceraian adalah pembubaran perkawinan yang dilakukan dengan putusan hakim atas permintaan salah satu pihak teman kawin, berdasarkan hal-hal yang telah ditentukan oleh undang-undang. Pada dasarnya pembubaran perkawinan ada dua macam, yaitu pembubaran karena kematian dan pembubaran karena putusan pengadilan, karena pembubaran perkawinan karena keadaan tidak hadir, perpisahan meja dan tempat tidur, dank arena perceraian, ketiga bentuk pembubaran tersebut sama-sama harus melalui mekanisme pengadilan, perbedaannya hanya dalam alasanalasan yang mendasarinya. KUHPerdata berusaha untuk menegakkan prinsip kekal abadinya perkawinan, sangat tidak menghendaki adanya perceraian dengan mengatur sedikit mungkin kemungkinan putusnya perkawinan karena perceraian dengan membuat peraturan-peraturan yang rigid. Menurut pasal 208 KUHPerdata perceraian tidak dapat dilaksanakan atas dasar kesepakatan suami istri. Suami istri tidak dapat menentukan, apakah suatu perkawinan karena tingkah laku teman kawinnya dapat diteruskan atau tidak. Hal ini yang menentukan adalah undang-undang. Undang-undang merumuskan secara limitatif dalam hal-hal apa suami atau istri dapat menuntut perceraian. Adapun alasan-alasan yang dapat mengkibatkan perceraian menurut pasal 209 KUHPerdata, yaitu : 1. Zinah; KUHPerdata tidak memberikan definisi pengertian zinah. Sedangkan menurut Hoge Raad Belanda dalam putusannya tanggal 23 Juni 1950, NJ. 1950 No. 600 memberikan perumusan yaitu pengertian perzinahan diperlukan adanya persetubuhan dengan orang lain dari pada suami atau istrinya, bahwa persetubuhan itu harus diartikan adanya penyatuan alat kelamin dari pria dan wanita yang bersangkutan. Jadi perzinahan itu berarti persetubuhan dengan orang lain dari pada suami atau istrinya, antara seorang pria dengan seorang wanita, dimana salah seorang atau keduanya terikat dalam perkawinan. Zinah harus dilakukan dengan sengaja, dan dalam keadaan sadar telah melakukan hubungan kelamin dengan orang lain yang bukan istrinya atau suaminya. Apabila seorang istri dengan ancaman kekerasan telah diperkosa laki-laki lain tidak dapat dikatakan berbuat zinah, karena ia berada dalam ancaman dan keterpaksaan. Dengan sengaja berarti bahwa orang yang berbut zinah mengetahui dan menyadari atas apa yang dilakukannya. Tidak termasuk perzinahan apabila perbuatan tersebut disetujui oleh suami atau istri, karena dalam hal tersebut tidak terdapat pelanggaran setia kawin. Menurut Scholten dalam bukunya “asser-
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
2.
3.
4.
Scholten I,” hal 629 bahwa barang siapa menyetujui perzinahan oleh suami atau istrinya dengan seorang pihak ketiga, adalah bertanggung jawab pula atas perzinahan itu, maka adalah bertentangan dengan kesusilaan, apabila ia kemudian minta perceraian perkawinan berdasar perzinahan itu. Alasan kenapa zinah dilarang adalah karena merupakan perbuatan tercela yang bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan, dan agama. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat; Tuntutan perceraian berdasarkan meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat dapat dikabulkan apabila suami atau istri yang telah meninggalkan tempat tinggal bersama tanpa alasan yang sah itu, tetap menolak kembali kepada suami atau istrinya. Tuntutan itu tak boleh dimulai sebelum waktu lima tahun lamanya, terhitung mulai saat rumah kediaman bersama ditinggalkan. Apabila pihak yang meninggalkan, sebelum perceraian dinyatakan dengan putusan, pulang kembali dalam rumah tinggal suami istri bersama, maka hak menuntut menjadi gugur. Apabila dalam hal tersebut suami istri pergi kembali tanpa alasan yang sah maka dalam jangka enam bulan setelah kejadian tersebut, dapat membuat tuntutan baru. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan; Sebenarnya hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat tersebut adalah hukuman yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, setelah perkawinan dilangsungkan. Ini merupakan prinsip dalam hukum acara pidana yang menganggap bahwa seseorang tidak dapat dikatakan bersalah selama belum dijatuhi hukuman yang berkekuatan hukum tetap. Tujuan perceraian karena hukuman lima tahun atau lebih merupakan bentuk perlindungan bagi pihak yang tidak terhukum (suami atau istri) agar jangan sampai penghidupannya dan kehidupannya menderita lantaran ditinggalkan suami atau istrinya selama lima tahun atau lebih dipenjara. Tuntutan atas dasr hukuman lima tahun atau lebih, cukup dengan melampirkan putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Salinan putusan tersebut bagi hakim merupakan suatu bukti yang cukup untuk mengabulkan permohonan perceraian. Penganiayaan berat. Bahwa memang pantaslah apabila salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain, baik terhdap jiwa maupun kesempurnaan anggota tubuh. Dalam praktek, untuk menilai penganiayaan berat atau tidak, hakim perlu ada visum et revertum dari dokter atau berupa keterangan ahli jiwa tentang bagaimana perasaan dalam diri pihak yang melakukan kekejaman maupun pihak lain yang diperlukan, juga keterangan saksi
tujuan perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 ialah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada dasarnya suatu perkawinan itu harus berlangsung kekal dan hanya putus karena kematian, akan tetapi pada kenyataannya putusnya perkawinan itu bukan hanya disebabkan oleh adanya kematian dari salah satu pihak tetapi ada hal-hal atau alasan-alasan lain yang menyebabkannya.
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan pengadilan berdasarkan syaratsyarat yang ditentukan undang-undang. Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan perkawinan putus karena : 1. Kematian; 2. Perceraian; 3. Putusan pengadilan. Di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai putusnya perkawinan karena kematian, dan akibat hukum putusnya perkawinan karena kematian tersebut. Undang-undang hanya menyinggung mengenai putusnya perkawinan karena kematian pada Pasal 28 UU No. 1 Tahun 1974 dimana disebutkan bahwa perkawinan putus karena kematian. Perkawinan antara suami istri putus, yang dimaksud ialah “apabila perkawinan tersebut berakhir”, dan berakhirnya perkawinan itu bias karena perceraian, demikian pula bias karena kematian salah seorang suami atau istri, atau karena keputusan pengadilan. Putusnya perkawinan karena kematian adalah putusnya perkawinan yang ternyata secara wajar atau alamiah karena kematian adalah suatu hal yang tidak dapat dihindarkan, oleh karena itu putusnya perkawinan tersebut dapat dikatakan karena keadaan atau yang terjadi diluar kemampuan suami istri yang bersangkutan. Kematian seseorang merupakan gejala alam sebagai kodrat makhluk hidup karena kematian itu tidak dapat dihindarkan dan merupakan suatu hal yang menyebabkan putusnya perkawinan suami istri yang bersangkutan. Selain pengertian tersebut diatas, putusnya perkawinan karena kematian adalah putusnya perkawinan karena matinya salah satu pihak (suami/istri). Sejak saat matinya salah satu pihak itulah putusnya perkawinan itu terjadi. Putusnya hubungan perkawinan karena kematian salah satu pihak tidak banyak menimbulkan persoalan, sebab putusnya perkawinan disini bukan atas kehendak bersama ataupun kehendak salah satu pihak, tetapi karena kehendak Tuhan, sehingga akibat putusnya perkawinan seperti ini tidak banyak menimbulkan masalah. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak diatur akibat hukum putusnya perkawinan karena kematian, maka dapat diartikan bahwa pengaturan mengenai hal ini tunduk pada ketentuan-ketentuan yang ada sebelum UU No. 1 Tahun 1974 sepanjang untuk itu belum diadakan Undang-Undang yang baru, hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974. Dengan demikian mereka yang tunduk kepada KUHPerdata, mengenai akibat hukum karena kematian ini diatur menurut KUHPerdata, dan mereka yang tunduk kepada Hukum Islam diatur menurut Hukum Islam, selanjutnya mereka yang tunduk pada hukum adat diatur menurut hukum adat. Putusnya perkawinan karena perceraian adalah putusnya perkawinan karena dinyatakan talak oleh seorang suami pada perkawinan yang diselengarakan menurut agama Islam. Putusnya perkawinan karena perceraian dapat juga disebut karena cerai talak diatur dalam Pasal 14 PP No. 9 Tahun 1975. Cerai ini hanya khusus untuk yang beragama Islam. Putusnya perkawinan atas putusan pengadilan adalah putusnya perkawinan karena gugatan seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, atau karena gugatan seorang suami/istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan bukan Islam, dan gugatan mana dikabulkan Pengadilan dengan suatu keputusan (Pasal 40 UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 PP No. 9 Tahun 1975) Perceraian ini harus dilakukan di Pengadilan Agama.
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan adalah putusnya perkawinan karena gugatan seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, atau karena gugatan suami atau istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan diluar Islam. Jadi putusnya perkawinan karena perceraian dan putusnya perkawinan karena putusan pengadilan, sama-sama melalui mekanisme pengadilan, yang membedakan adalah para pihak dan kopetensi pengadilan. Dalam UU No. 1 Tahun 1974, dicantumkan suatu asas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga bahagia, kekal dan sejahtera, dengan pengertian bahwa untuk itu perlu dipersukar terjadinya perceraian. Oleh karena itu, perceraian hanya mungkin dilakukan berdasarkan alasan yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksananya. Pasal 39 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasara untuk perceraian menurut penjelasan Pasal 39 ayat 2 UU No. Tahun 1974 dan pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, adalah : 1. Salah satu pihak berbuat atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain di luar kemampuannya; 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahu atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; 4. Salah satu pihak mendapat cacad badan, atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri; 5. Salah satu pihak melakukan kekjaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain; 6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga. Apabila alasan-alasan tersebut diatas telah terpenuhi, namun suami-istri tersebut masih dimungkinkan untuk rukun kembali, maka perceraian tidak dapat dilakukan. Tata cara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Gugatan perceraiannya dapat diajukan kepada Pengadilan. Akibat putusnya perkawinan dapat dijelaskan menurut KUHPerdata dan UU No. 1 Tahun 1974, dimana akibat terjadinya putusnya perkawinan tersebut mempunyai dampak terhadap suami isteri, terhadap harta kekayaan dan terhadap anak. Dihubungkannya dengan sifat kekal abadinya perkawinan maka putusnya perkawinan selain dari pada kematian merupakan suatu pengecualian dan terpaksa harus dilakukan. Seorang hakim yang dihadapkan pada persoalan pemutusan perkawinan maka sebelum hakim tersebut menjatuhkan putusan akan menjadi suatu kewajiban baginya untuk berusaha mencoba mendamaikan kedua belah pihak. Menurut Pasal 199 KUHPerdata perkawinan putus karena : 1. Kematian salah seorang dari suami atau isteri;
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
2. 3. 4. 5.
Perkawinan baru yang dilaksanakan oleh suami atau isteri yang ditinggalkan berdasarkan izin pengadilan dalam keadaan tidak hadirnya pihak lain dalam perkawinan; Putusan pengadilan setelah berlangsungnya perpisahan meja dan tempat tidur; Karena perceraian yang oleh Undang-undang telah ditentukan alasannya secara limitatif yaitu adanya zina, meninggalkan tempat kediaman bersama; Penghukuman dengan hukuman penjara lebih dari lima tahun serta penganiayaan berat oleh suami atau isteri terhadap pihak yang lain dalam perkawinan yang menimbulkan bahaya bagi jiwa si korban.
Bilamana terjadi perceraian atau salah satu meninggal dunia, maka harta perkawinan dibagi menjadi dua sama rata, sebagian menjadi milik istri dan sebagian milik suami. Seandainya salah seorang diantaranya meninggal, maka yang menjadi harta warisan adalah bagian si meninggal dan harta warisan ini jatuh ke tangan ahli waris yang berhak. Prinsip-prinsip yang dianut KUHPerdata tersebut masih dapat diadakan penyimpangan, sebagaimana diutarakan diatas. Penyimpangan ini dapat dilakukan apabila suami atau istri tidak menghendaki adanya percampuran harta kekayaan setelah perkawinan berlangsung dengan cara membuat suatu perjanjian nikah. Perjanjian nikah adalah persetujuan yang dibuat pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, yang isinya dimaksudkan untuk mengatur penyimpangan dari ketentuan undang-undang, khususnya mengenai persatuan harta kekayaan. Berdasarkan prinsip yang dianut dalam KUHPerdata itu, maka barang atau harta warisan tidak hanya berupa harta benda saja, tetapi juga hak-hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Jadi tidak hanya barang-barang nyata saja, tapi juga barang-barang yang tidak nyata. Dengan demikian dalam sistem KHUPerdata harta warisan merupakan kesatuan yang sebagai keseluruhan beralih dari si perwaris kepada ahli waris dan tidak ada perbedaan mengenai macam atau asal barang yang ditinggalkan (Pasal 849 KUHPerdata). Bahkan pada Pasal 833 KUHPerdata yang menyatakan bahwa para ahli waris dengan sendirinya memiliki segala barang, hak dan piutang dari si pewaris. Jadi berbeda dari sistem hukum adat. Perceraian merupakan salah satu sebab dari putusnya perkawinan, maka dari itu hubungan/ikatan yang ada antara suami istri setelah bercerai pun putus. Namun terdapat perbedaan pengaturan mengenai akibat perceraian terhadap hubungan suami isteri di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu : 1. Menurut KUHPerdata meskipun hak dan kewajiban sebagai suami isteri, menjadi hapus, namun menurut Pasal 225 jo Pasal 227 KUHPerdata, pihak yang tidak mempunyai penghasilan yang cukup wajib diberikan tunjangan nafkah sampai salah satu pihak meninggal. 2. Menurut UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban diantara suami isteri itu sendiri. Pada saat terjadi hak dan kewajiban yang timbul dalam perkawinan diatur berbeda, seperti pada pasal 32 ayat (1) yang menyatakan bahwa suami isteri harus hidup bersama dalam rumah yang tetap. Ketentuan tersebut tidak perlu lagi dilakukan ketika mereka bercerai, karena tidak mungkin dua orang yang sudah merasa tidak cocok kembali hidup bersama.
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
Oleh karena itu jika terjadi perceraian tidak ada kewajiban untuk hidup bersama lagi. Meskipun hak dan kewajiban sebagai suami istri, menjadi hapus, namun menurut Pasal 225 jo Pasal 227 KUHPerdata, pihak yang tidak mempunyai penghasilam yang cuku wajib diberikan tunjangan nafkah sampai salah satu pihak meninggal. Sama halnya dengan hubungan/ikatan antara suami isteri perceraian juga menimbulkan akibat yakni putusnya ikatan dalam hal harta benda suami isteri, dimana terdapat perbedaan pengaturan dalam UU No.1 Tahun 1974, yaitu : 1. KUHPerdata sejak terjadinya perkawinan maka dengan sendirinya menurut hukum terjadinya percampuran harta kekayaan bulat tanpa mempersalahkan bawaan masing-masing kecuali diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan (Pasal 119 KUHPerdata). 2. Segala utang kematian yang setelah meninggalnya salah satu pihak, harus dipikul oleh ahli waris dari si yang meninggal itu sehingga pihak lainnya tidak perlu memikul beban utang pihak lainnya (Pasal 123 KUHPerdata). Semua bawaan baik yang berasal dari bawaan suami isteri dengan sendirinya satu kekayaan bersama dalam keluarga selaku milik bersama dari suami isteri, kecuali sebelum perkawinan mereka mengadakan perjanjian perkawinan yang memuat. Suami dan isteri, adalah orang tua dari anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan mereka, dimana keduanya memiliki kewajiban terhadap anak-anak yang dilahirkan. Namun dengan putusnya perkawinan, terjadi akibat-akibat terkait kedudukan anak dan hubungan orang tua dengan anaknya, dalam hal ini berbeda jika dilihat dari KUHPerdata dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu: 1. KUHPerdata kekuasaan orang tua hapus dan beralih menjadi perwalian. Menurut Pasal 229 KUHPerdata, pengadilan menentukan wali anak dibawah umur. Apabila pihak yang diserahkan sebagai wali kurang mampu membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak, maka menurut Pasal 230b KUHPerdata hakim dapat menentukan sejumlah uang yang harus dibayar pihak lain untuk membiayai anak dibawah umur. 2. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 41, antara lain: a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusan. b. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab pihak bapak kecuali dalam pelaksanaan pihak bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 apabila putus perkawinan karena perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak, bekas suami/isteri dan harta bersama. Akibat hukum terhadap anak ialah, apabila terjadi perceraian, maka baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberikan keputusannya, jadi bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak.
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
Bilamana bapak kenyataannya tidak dapat member kewajiban tersebut maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Akibat hukum terhadap bekas suami Pengadilan dapat mewajibkan kepadanya untuk memberikan biaya penghidupan atau juga menentukan suatu kewajiban kepada bekas isteri. Meskipun diantara suami isteri yang telah menjalin perjanjian suci, namun tidak menutup kemungkinan bagi suami isteri tersebut mengalami pertikaian yang menyebabkan perceraian dalam sebuah rumah tangga. Hubungan suami isteri terputus jika terjadi putusnya hubungan perkawinan. Seorang isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, tidak boleh melaksanakan atau melangsungkan perkawinan seblum masa iddahnya habis atau berakhir, yakni 4 bulan 10 hari atau 130 hari ( pasal 39 ayat (1) huruf a), apabila perkawinan karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari (Pasal 39 ayat (1) huruf b). serta apabila pada saat isterinya sedang hamil, maka jangka waktu bagi isteri untuk dapat kawin lagi adalah sampai dengan melahirkan anaknya (pasal 39 ayat (1) huruf c). Hal tersebut dilakukan untuk memastikan apakah si isteri itu sedang hamil atau tidak. Seorang suami yang telah bercerai dengan isterinyadan menikah lagi dengan wanita lain ia boleh menikah, karena laki-laki tidak mempunyai masa iddah. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Akibat lain dari perceraian adalah menyangkut masalah harta benda perkawinan khususnya mengenai harta bersama seperti yang ditentukan dalam Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974, bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masingmasing. Menurut penjelasan resmi pasal tersebut, yang dimaksud dengan hukumnya masingmasing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 35 sampai Pasal 37 yang menetapkan sebagai berikut : 1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami atau istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang tidak ditentukan lain oleh suami istri. Apabila ditentukam oleh suami istri, maka harta bawaan suami istri tersebut menjadi harta bersama. untuk menentukan agar harta bawaan suami dan istri menjadi harta bersama, maka suami dan istri tersebut harus membuat perjanjian kawin. Perjanjian kawin harus dibuat secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan Perjanjian kawin adalah perjanjian-perjanjian yang dibuat calon suami dan istri untuk mengatur akibat-akibat perkawinannya terhadap harta kekayaan mereka. Perjanjian kawin diatur dalam Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974, yang menetapkan :
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
a.
2.
3.
Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian kawin yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. b. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan. c. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. d. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan masing-masing, suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Adapun hak suami dan istri untuk mempergunakan atau memakai harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik, menurut Ridwan Syahrani adalah sewajarnya, mengingat hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, dimana masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. Apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Menurut penjelasan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu hukum agama (kaidah agama), hukum adat dan hukum-hukum lainya.
Pada Pasal 37 dan penjelasan resmi atas pasal tersebut undang-undang ini tidak memberikan keseragaman hukum positif tentang bagaimana harta bersama apabila terjadi perceraian. Tentang yang dimaksud pasal ini dengan kata “Diatur”, tiada lain dari pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian. Maka sesuai dengan cara pembagian, undang-undang menyerahkannya kepada hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat dimana perkawinan dan rumah tangga itu berada. Kalau kita kembali pada Penjelasan pasal 37 maka Undang-Undang memberi jalan pembagian : 1. Dilakukan berdasar hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian; 2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan; 3. Atau hukum-hukum lainnya. Harta bawaan atau harta asal dari suami atau isteri tetap berada ditangan pihak masing-masing. Apabila bekas suami atau bekas isteri tidak melaksanakan hal tersebut diatas, maka mereka dapat digugat melalui pengadilan negeri ditempat kediaman tergugat, agar hal tersebut dapat dilaksanakan. Suami yang menjatuhkan talak pada isterinya wajib membayar nafkah untuk anak-anaknya, yaitu belanja untuk memelihara dan keperluan pendidikan anak-anaknya itu, sesuai dengan kedudukan suami. Kewajiban memberi nafkah anak harus terus menerus dilakukan sampai anak-anak tersebut baliq dan berakal serta mempunyai penghasilan sendiri.
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
Baik bekas suami maupun bekas isteri tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak_anaknya berdasarkan kepentingan anak. Suami dan isteri bersama bertanggung jawab atas segala biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya. Apabila suami tidak mampu, maka pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu yang memikul biaya anak-anak. Makna kata “harta” menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah barang-barang yang dapat berupa uang dan sebagainya yang menjadi kekayaan dan dapat berarti kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai. Harta bersama berarti harta yang dipergunakan (dimanfaatkan) bersama-sama. Harta benda perkawinan atau harta bersama merupakan salah satu macam dari sekian banyak harta yang dimiliki seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari, harta mempunyai arti penting bagi seseorang karena dengan memiliki harta dia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar dan memperoleh status sosial yang baik dalam masyarakat. Bagian harta bersama dalam hal terjadinya perceraian diatur secara rinci sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku, pembagian harta bersama tersebut dapat dijelaskan menurut KUHPerdata dan menurut UU No. 1 Tahun 1974, adapun penjelasannya sebagai berikut. Pengertian mengenai harta benda perkawinan yang dimaksud dalam KUHPerdata berbeda dengan harta benda perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974.
Hukum harta benda perkawinan menurut KUHPerdata diatur dalam Bab VI Buku I KUHPerdata yang mengatur tentang persatuan harta kekayaan menurut undang-undang dan pengurusannya. Disebutkan dalam Pasal 119 KUHPerdata, bahwa : “Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri.” Dari isi pasal tersebut di atas, terlihat bahwa menurut KUHPerdata sejak dimulainya perkawinan, terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri (algehele gemeenschap van goederen). Ketentuan ini bersifat memaksa dan harus dipatuhi oleh suami istri tersebut, akan tetapi undang-undang memberikan kesempatan untuk dapat disimpangi dengan adanya suatu perjanjian perkawinan. Dalam hal suami istri melangsungkan perkawinan tanpa membuat perjanjian perkawinan maka menurut KUHPerdata, semua aktiva dan pasiva yang dimiliki oleh kedua suami istri pada saat pelangsungan perkawinan dan semua aktiva dan pasiva yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan menjadi satu harta campuran bulat. Dalam hal ini masing-masing suami istri sudah tidak dapat lagi mengatakan suatu barang adalah miliknya dan apabila perkawinan putus maka harta campuran tersebut dibagi dua sama besar antara suami istri. hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 128 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa : “Setelah bubarnya persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka masing-masing, dengan tak memperdulikan soal dari pihak yang manakah barang-barang itu diperolehnya.”
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
Pengaturan mengenai segala sesuatu atau hal-hal dalam harta kekayaan yang dianggap termasuk dalam harta campuran bulat terdapat pada Pasal 120 sampai dengan Pasal 123 KUHPerdata. Pasal-pasal tersebut mengatur bahwa : “Sekadar mengenai laba-labanya, persatuan itu meliputi harta kekayaan suami dan istri, bergerak dan tak bergerak, baik yang sekarang, maupun yang kemudian, maupun pula, yang mereka peroleh dengan cuma-cuma, kecuali dalam hal terakhir ini si yang mewariskan atau yang menghibahkan dengan tegas menentukan sebaliknya.” “Sekadar mengenai beban-bebannya, persatuan itu meliputi segala utang suami-istri masing-masing, yang terjadi baik sebelum, maupun sepanjang perkawinan.” “Segala hasil dan pendapatan, seperti pun segala untung dan rugi sepanjang perkawinan harus diperhitungkan atas mujur malang persatuan.” “Segala utang kematian, terjadi setelah matinya, harus dipikul oleh ahli waris dari si yang meninggal sendiri.” Berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas, yang dimaksud dengan harta campuran bulat menurut KUHPerdata adalah : 1. aktiva, pengertian aktiva disini yaitu segala benda-benda bergerak dan benda tidak bergerak, baik yang telah dimiliki sebelum perkawinan dilangsungkan maupun yang akan dimiliki selama perkawinan berlangsung ; 2. pasiva, pengertian pasiva disini yaitu segala hutang-hutang yang dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan segala hutang-hutang yang dibuat selama perkawinan berlangsung. Aktiva dan pasiva tersebut di atas merupakan harta campuran bulat atau sering disebut juga sebagai harta bersama suami istri. Akan tetapi, undang-undang membuat pengecualian terhadap aktiva yang secara tegas diperuntukkan untuk salah satu pihak saja. Aktiva tersebut dapat berupa warisan atau hibah yang diterima oleh salah satu pihak, baik sebelum atau selama perkawinan berlangsung. Selama pewaris atau pemberi hibah mencantumkan secara tegas bahwa yang ia wariskan atau hibahkan tersebut tidak akan termasuk dalam harta campuran bulat, maka bendabenda warisan atau hibah tersebut tetap merupakan harta pribadi salah satu pihak. Selanjutnya, undang-undang juga mengecualikan segala utang kematian sebagai harta campuran bulat. Yang dimaksud dengan segala utang kematian adalah biaya-biaya penguburan dan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan sakitnya yang terakhir. Menurut undang-undang, segala utang kematian tersebut merupakan kewajiban dari ahli waris si pewaris. Sepanjang mengenai hutang bersama maka bagi pertanggung jawab suami dan istri berlaku asasasas sebagai berikut : 1. Suami istri masing-masing bertanggung jawab terhadap perlunasan hutang-hutang yang dibuat masing-masing yang dibuat sebelum maupun yang dibuat sesudah berlangsungnya perkawinan. Pasal 130 KUHPerdata menentukan bahwa setelah bubarnya persatuan, suami boleh karena hutang-hutang persatuan seluruhnya, dan yang demikian itu tak akan mengurangi hak suami, utnuk menuntut kembali
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
2.
3.
setengah bagian dari hutang-hutang itu kepada istri, atau kepada para ahli warisnya. Dalam hal ini istri dapat melepaskan bagian dari harta campuran sebagaimana diatur dalam pasal 132 KUHPerdata; Suami bertanggung jawab sepenuhnya bagi pelunasan hutang-hutang bersama yang dibuat oleh pihak istri, dikecualikam dari pertanggungan jawab tersebut ialah hal plunasan hutang-hutang yang dibuat sebelum perkawinan oleh si sitri, pertanggungan jawab mana berakhir dengan dilaksanakannya pembagian dan pemisahan harta campuran (pasal 130, 131 KUHPerdata); Pasal 131 KUHPerdata menentukan bahwa : Setelah persatuan dibubarkan dan seluruh harta bendanya dibagi-bagikan, pihak yang satu diantara suami istri, oleh para berpiutang tidak boleh ditagih karena utang-utang yang oleh pihak yang lain dibuat sebelum adanya perkawinan, dan utang-utang ini tetap membebani pihak inilah diantara suami istri yang telah membuatnya atau ahli warisnya. Istri bertanggung jawab hanya untuk separuh bagian dari hutang bersama yang dibuat oleh pihak suami (pasal 128, 132 KUHPerdata) akan tetapi bertanggung jawab penuh untuk hutang bersama yang dibuat olehnya sendiri dalam perkawinan.
Pertanggungan jawab suami istri yang disinggung dalam asas sub 1 di atas merupakan pertanggungan jawab terhadap pihak ketiga yang disebut dengan istilah obligation bagi pelunasan hutang-hutang bersama yang dibuat masing-masing baik yang dibuat sebelum maupun yang dibuat selama berlangsungnya perkawinan. Masing-masing memikul sepenuhnya pertanggungan jawab tersbut dan tidak ada alasan sedikitpun yang menghilangkan hak dari pihak ketiga atas dilunasinya hutang-hutang tersebut berhubung dengan telah bubarnya harta campuran. Sepanjang mengenai pertanggung jawab yang disebut dalam asas sub 2 dan sub 3, dapat dikatakan bahwa obligation dari pihak suami mengenai pelunasan hutang bersama yang dibuat oleh istri adalah penuh, sebab hutang-hutang yang dibuat oleh istri dalam perkawinan dianggap juga sebagai hutang-hutangnya (pasal 113 KUHPerdata), hal mana didasarkan atas kedudukan suami itu sebagai kepala persatuan suami istri dan kepala rumah tangga. Pasal 113 KUHPerdata menentukan bahwa seorang istri yang dengan izin yang tegas, atau secara diam-diam dari suaminya, atas usaha sendiri melakukan sesuatu mata pencaharian, boleh mengikat dirinya, dalam segala perjanjian berkenaan dengan usaha itu, tanpa bantuan si suami. Jika istri itu kawin denag suaminya dengan persatuan harta kekayaan, maka si suamipun terikatlah dengan perjanjian-perjanjian itu. Apabila si suami menarik kembali izinnya, maka ia harus terang-terangan mengumumkan penarikan kembali itu. Pasal 130 KUHPerdata berbunyi suami boleh ditagih karena hutang-hutang persatuan seluruhnya, dan yang demikian itu tak akan mengurangi hak suami, untuk menuntut kembali setengah bagian dari hutang-hutang kepada istri atau kepada ahli warisnya.
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
Seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat perbedaan atas apa yang dimaksud dengan harta benda perkawinan menurut KUHPerdata dengan apa yang dimaksud dengan harta benda perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974. Perbedaan tersebut timbul dikarenakan sifat hubungan hukum antara suami istri yang berbeda menurut KUHPerdata dan UU No. 1 Tahun 1974. Menurut UU No. 1 Tahun 1974, kedudukan istri dengan suami adalah seimbang, dimana perempuan meskipun sudah menikah adalah tetap cakap, secara individu masing-masing dapat dipertanggungjawabkan. Hukum harta benda perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974. Masing-masing pasal itu menyebutkan bahwa : “1. 2.
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah, atau warisan, adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.”
Dalam penjelasan Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing. “1. 2.
Mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.”
“Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.” Dalam penjelasan Pasal 37 UU No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut UU No. 1 Tahun 1974, harta benda dalam perkawinan dibedakan menjadi dua, yaitu harta bersama dan harta bawaan atau harta pribadi. Harta bersama ialah harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Harta tersebut dapat merupakan harta yang diperoleh suami istri sebagai hasil jerih payahnya, namun juga dapat diperoleh karena pemberian atau warisan. Harta bersama meliputi : 1. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung ; 2. Harta yang diperoleh sebagai hadiah/pemberian atau warisan apabila ditentukan demikian ; 3. Hutang-hutang yang timbul, selama perkawinan berlangsung, kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami istri. Sedangkan, harta bawaan atau harta pribadi adalah harta yang dibawa ke dalam perkawinan oleh masing-masing suami istri, yang telah mereka miliki sebelum perkawinan dilangsungkan. Harta tersebut dapat merupakan harta yang benar-benar milik pribadi suami istri, tetapi dapat juga
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
meliputi harta pusaka atau harta keluarga suami istri yang bersangkutan. Harta bawaan atau harta pribadi meliputi : 1. Harta yang dibawa masing-masing suami istri ke dalam perkawinan, termasuk di dalamnya hutang-hutang yang dibuat sebelum perkawinan yang belum dilunasi; 2. Harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau pemberian, kecuali kalau ditentukan lain ; 3. Harta yang diperoleh masing-masing karena warisan, kecuali ditentukan lain ; 4. Hasil-hasil dari harta milik pribadi masing-masing suami istri sepanjang perkawinan berlangsung, termasuk hutang-hutang yang ditimbulkan dalam melakukan pengurusan harta milik pribadi tersebut. Perlu dicatat adalah dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 maka terhadap perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 apabila sudah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan tidak berlaku. Kemudian Pasal 67 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, akan tetapi harus diingat bahwa pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 secara efektif baru mulai berlaku dengan adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tersebut, yaitu PP No. 9 Tahun 1975 yang berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975. Sehingga, berdasarkan Pasal 67 UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 49 PP No. 9 Tahun 1975, UU No. 1 Tahun 1974 berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975. Selanjutnya, hal tersebut ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 726 K/SIP/1976 tanggal 15 Februari 1976, dimana diputuskan bahwa : “Karena perkawinan dilangsungkan sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berlaku secara efektif, maka berlaku ketentuan hukum sebelumnya yang dalam hal ini adalah ketentuan-ketentuan BW, sekalipun yang bersangkutan beragama Islam sehingga gugatan ini masuk yurisprudensi peradilan umum (Pengadilan Tinggi Semarang 24 September 1975 Nomor 162/1975/Pdt/PT Smg. PN Semarang 5 April 1975 Nomor 37/1975/Pdt/Smg).” Sehingga dapat disimpulkan bahwa berdasarkan ketentuan pada Pasal 67 UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 49 PP No. 9 Tahun 1975 perkawinan yang dilangsungkan sebelum tanggal 1 Oktober 1975 akan berlaku ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata, sedangkan terhadap perkawinan yang dilangsungkan setelah tanggal 1 Oktober 1975 akan berlaku ketentuanketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974. Putusan ini merupakan putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur mengenai pembagian harta bersama antara Nyonya Telly Gredora Tatuhas sebagai Penggugat dengan Tuan Minton Marbun sebagai Tergugat. Nyonya Telly Gredora Tatuhas, yang untuk selanjutnya disebut sebagai Penggugat, mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan surat gugatannya tertanggal 2 Februari 2010 dan telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Timur tertanggal 2 Februari 2010 dengan Nomor Register
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
02/Pdt.G./2010/PN.Jkt.Tim terhadap Tuan Minton Marbun, yang untuk selanjutnya disebut sebagai Tergugat. Adapun kasus posisinya adalah sebagai berikut : Bahwa pada tanggal 1 November 1997 telah terjadi perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat dan telah dicatatkan di Kantor Catatan Sipil sesuai akta perkawinan Nomor 583/JT/2001 tanggal 6 Juli 2001 dan dari perkawinan tersebut telah dilahirkan seorang anak lakilaki bernama Billy Satrio, sesuai kutipan akta kelahiran Nomor 2104/DISP/JT/2001 tanggal 4 September 2001. Bahwa selama perkawinan tersebut telah diperoleh harta kekayaan sebagai berikut : - Satu buah kendaraan mobil Kijang kapsul yang dibeli Tahun 2002 dengan Nomor Polisi B-1654-QM atas nama Minton Marbun; - Sebidang tanah dengan luas 324 meter yang diatasnya berdiri sebuah bangunan permanen yang terletak di daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kotamadya Jakarta Timur, Kecamatan Pasar Rebo, Kelurahan Pekayon, Jalan Haji Balok XII/147, Rukun Tetangga 015, Rukun Warga 08 sesuai sertifikat Hak Milik dengan Nomor 05614 tanggal 2 Desember 2004 atas nama Telly Gredora Tatuhas. Bahwa pada tanggal 7 Juli 2008, Penggugat telah menerima salinan Putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Tim dicatatkan perceraian tersebut sesuai Kutipan Perceraian di Kantor Catatan Sipil Jakarta Timur dengan Nomor 46/JT/PC/2008 tanggal 11 Juli 2008. Bahwa sebelum proses perceraian didaftarkan Penggugat, Tergugat sudah terlebih dahulu pergi dengan membawa serta sebuah mobil Kijang kapsul dengan Nomor Polisi B-1654-QM tanpa seijin dari Penggugat. Bahwa Penggugat dan anak Penggugat dan Tergugat memerlukan biaya hidup dan biaya sekolah untuk kelangsungan masa depan anak Penggugat dan Tergugat yang selama ini sudah tidak pernah dibiayai oleh Tergugat. Dalam gugatannya Penggugat mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat, yaitu : Menyatakan kiranya harta kekayaan yang diperoleh berupa sebidang tanah yang diatasnya berdiri sebuah bangunan permanen yang terletak di daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kotamadya Jakarta Timur, Kecamatan Pasar Rebo, Kelurahan Pekayon, Jalan Haji Balok XII/147, Rukun Tetangga 015, Rukun Warga 08 sesuai sertifikat Hak Milik dengan Nomor 05614 tanggal 2 Desember 2004 dan satu buah kendaraan mobil Kijang kapsul yang dibeli Tahun 2002 dengan Nomor Polisi B-1654-QM adalah harta bersama; Memberi ijin kepada Penggugat untuk menjual dan atau menjaminkan ke bank sebidang tanah dengan luas 324 meter persegi berikut bangunan rumah yang berdiri di atasnya yang terletak di daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kotamadya Jakarta Timur, Kecamatan Pasar Rebo, Kelurahan Pekayon, Jalan Haji Balok XII/147, Rukun Tetangga 015, Rukun Warga 08 sesuai sertifikat Hak Milik dengan Nomor 05614 tanggal 2 Desember 2004 yang hasil penjualannya sangat
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
diperlukan Penggugat untuk membiayai hidup Penggugat dan anak Penggugat dan Tergugat dan juga membiayai sekolah anak Penggugat dan Tergugat tersebut; Menghukum Tergugat untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini atau apabila Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya. Bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan, Penggugat hadir dan datang meghadap sendiri dipersidangan, sedangkan Tergugat tidak hadir dipersidangan dan juga tidak menyuruh orang lain untuk bertindak sebagai kuasanya, sekalipun Tergugat telah dipanggil secara sah dan patut, yaitu melalui Kelurahan setempat dan dua kali berturut-turut melalui pengumuman, dan ketidak hadirannya tersebut tanpa ada alasan yang sah. Bahwa sebelum pemeriksaan dilanjutkan, Penggugat telah mengajukan perubahan gugatan sebagai berikut : Dalam gugatan tercatat Nomor Polisi mobil Kijang kapsul dengan Nomor Polisi B-1654-QM yang benar adalah Nomor Polisi B-1546-QM; Penambahan kalimat “maka adalah adil apabila tanah sertifikat nomor 05614 tanggal 2 Desember 2004 atas nama Telly Gredora Tatuhas, merupakan bagian hak untuk Penggugat; Permintaan isi gugatan dirubah sebagai berikut : 1. Mengabulkan gugatan Penggugat; 2. Menyatakan mobil Kijang kapsul dengan Nomor Polisi B-1546-QM atas nama Minton Marbun, yang sudah dikuasai dan dibawa pergi Tergugat merupakan harta bersama dan bagian hak untuk Tergugat; 3. Menyatakan sebidang tanah dengan luas 324 meter persegi berikut bangunan rumah yang berdiri di atasnya yang terletak di daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kotamadya Jakarta Timur, Kecamatan Pasar Rebo, Kelurahan Pekayon, Jalan Haji Balok XII/147, Rukun Tetangga 015, Rukun Warga 08 sesuai sertifikat Hak Milik dengan Nomor 05614 tanggal 2 Desember 2004 atas nama Telly Gredora Tatuhas adalah bagian hak untuk Penggugat; 4. Menghukum Tergugat untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini. Bahwa untuk membuktikan dalil gugatannya Penggugat dipersidangan telah menyerahkan fotocopy surat-surat bukti bermeterai cukup dan telah dicocokkan sesuai dengan aslinya yaitu berupa : 1. Fotocopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) Nomor 09.5405.480569.8504 tanggal 08 Mei 2009 atas nama Telly Gredora Tatuhas; 2. Fotocopi Kartu Keluarga (KK) Nomor 5605.051444 tanggal 09 Februari 2006 atas nama Kepala Keluarga Telly Gredora Tatuhas; 3. Fotocopi Kutipan Akta Perceraian; 4. Fotocopi Sertifikat Hak Milik; 5. Foto mobil Toyota Kijang Nomor Polisi B-1546-QM Bahwa selain surat-surat bukti tersebut, Penggugat juga telah menghadapkan saksi-saksi yang dipersidangan memberikan keterangan di bawah sumpah yang pada pokoknya keterangannya sebagai berikut :
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
1.
2.
Saksi : Stephen Tatuhas; di persidangan memberikan keterangan di bawah sumpah yang pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut : - Bahwa saksi kenal dengan Penggugat maupun mantan suami Penggugat yang bernama Marbun (Tergugat); - Bahwa saksi mengetahui Penggugat dengan Tergugat adalah pasangan suamiistri yang telah bercerai pada Tahun 2008 yang dalam perkawinan mereka telah dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Billy satrio yang pada saat ini berumur kurang lebih 10 tahun dan masih sekolah di Sekolah Dasar; - Bahwa saksi sudah lama tidak bertemu dengan Marbun, mantan suami Penggugat tersebut, dan sampai sekarang pun saksi juga tidak mengetahui dimana Tergugat bertempat tinggal; - Bahwa saksi mengetahui ketika Penggugat dn Tergugat masih hidup bersama sebagai suami-istri, telah memiliki harta bersama yaitu sebidang tanah seluas 300 meter persegi berikut bangunan rumah yang ada di atasnya, yang ditempati sebagai tempat tinggal mereka dan juga memiliki sebuah mobil yang masih baru yaitu Toyota Kijang Nomor Polisi B-1546-QM yang dibeli tahun 2002; - Bahwa setahu saksi tanah yang diatasnya berdiri bangunan rumah yang ditempati Penggugat tersebut, dahulunya berupa tanah kosong dan bersertifikat atas nama Penggugat yang kemudian dibangun sebuah rumah yang dibangunnya sendiri; - Bahwa saksi tahu, Tergugat memiliki usaha dan kerja sebagai Kontraktor sedangkan Tergugat setahu saksi kerjanya sebagai sale vacum cleaner; - Bahwa kemudian rumah tangga mereka tidak harmonis, Tergugat pergi meninggalkan istri dan anaknya dengan membawa mobilnya tersebut, sedangkan Penggugat bersama anaknya tetap tinggal diatas tanah dan rumahnya sendiri. Saksi : Nontah Tatuhas; di persidangan memberikan keterangan di bawah sumpah yang pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut : - Bahwa saksi kenl baik dengan Penggugat maupun Tergugat, mereka adalah pasangan suami istri yang telah bercerai; - Bahwa saksi tidak mengetahui dimana sekarang Tergugat bertempat tinggal karena memang sudah lama tidak bertemu; - Bahwa ketika Penggugat dan Tergugat masih hidup bersama sebagai suamiistri, pernah tanahnya yang telah bersertifikat Hak Milik atas nama Penggugat digunakan sebagai jaminan hutang di Bank; - Bahwa selain tanah tersebut, saksi juga mengetahui Penggugat dan Tergugat memiliki sebuah mobil baru Toyota Kijang kapsul harganya di atas seratus juta; - Bahwa Tergugat telah lama pergi meninggalkan istri dan anaknya dengan membawa mobil Toyota Kijang kapsul tersebut, yang kemudian Penggugat bercerai dengan Tergugat pada tahun 2008.
Selanjutnya Hakim untuk memutus gugatan tersebut di dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan :
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
-
-
-
-
-
-
bahwa oleh karena pada hari sidang yang telah ditentukan Penggugat hadir dan datang menghadap sendiri dipersidangan, sedangkan Tergugat tidak hadir dipersidangan dan juga tidak ada menyuruh orang lain untuk bertindak sebagai kuasanya, sekalipun Tergugat telah dipanggil secara sah dan patut, melalui kelurahan setempat dan dua kali berturut-turut melalui pengumuman, dan ketidakhadirannya tersebut tanpa ada alasan yang sah, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dan akan diputuskan dengan tanpa hadirnya Tergugat (putusan verstek); untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya, Penggugat dipersidangan telah menyerahkan surat-surat bukti dan dua orang saksi; bahwa di dalam gugatan, Penggugat mendalilkan yang pada pokoknya perkawinan Penggugat dn Tergugat telah putus karena perceraian pada tahun 2008; bahwa berdasarkan surat bukti yang berupa Akta Perceraian tertanggal 11 Juli 2008, dan keterangan dari dua orang saksi yang mengetahui bahwa benar Penggugat dan Tergugat telah bercerai, maka berarti Penggugat dapat membuktikan bahwa Penggugat dan Tergugat adalah pasangan suami istri yang telah bercerai atau dengan kata lain perkawinannya telah diputus karena perceraian pada tahun 2008; bahwa di dalam gugatan, Penggugat juga mendalilkan bahwa selama dalam perkawinannya dengan Tergugat telah dikaruniai seorang anak yang saat ini masih berumur 10 tahun dan tinggal bersama Penggugat dan juga teah memperoleh harta bersama yaitu sebidang tanah bersertifikat hak milik atas nama Penggugat dan sebuah mobil Toyota Kijang kapsul Nomor Polisi B-1546-QM; bahwa dari surat bukti yang berupa sertifikat hak milik atas nama Telly Gredora Tatuhas dan keterangan dua orang saksi yang mengetahui benar bahwa Penggugat dan Tergugat selama dalam perkawinannya telah memiliki harta bersama berupa sebidang tanah berikut rumah yang berdiri di atasnya dan juga memiliki sebuah mobil Toyota Kijang kapsul Nomor Polisi B-1546-QM, maka menurut Majelis Hakim, hal ini berarti Penggugat telah dapat membuktikan dalilnya tentang kebenaran adanya harta bersama tersebut; bahwa karena berdasarkan keterangan dari dua orang saksi diketahui Tergugat telah pergi meninggalkan istri dan anaknya dengn membawa harta bersama berupa mobil Toyota Kijang kapsul Nomor Polisi B-1546-QM yag harganya setara dengan harga tanah yang bersertifikat atas nama Penggugat, maka dengan telah bercerainya Penggugat dan Tergugat tersebut, menurut Majelis Hakim adalah cukup adil apabila dinyatakan harta bersama berupa mobil Toyota Kijang kapsul Nomor Polisi B-1546-QM yang telah dibawa pergi oleh Tergugat adalah erupkan bagian hak untuk Tergugat sedang sebidang tanah yang telah bersertifikat atas nama Penggugat berikut bangunan rumah yang ada di atasnya adalah merupakan bagian hak untuk Penggugat; bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, oleh karena Penggugat telah dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya maka sudah sepatutnya semua petitu gugatan Penggugat dapat dikabulkan;
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
-
bahwa oleh karena gugatan Penggugat dikabulkan yang berarti Tergugat adalah sebagai pihak yang kalah maka sudah semestinya Tergugat dihukum untuk membayar semua biaya yang timbul dalam perkara ini.
Kemudian Majelis Hakim dengan mengingat Pasal 127 HIR dan peraturan lain yang bersangkutan memutuskan gugatan yang pada pokokknya adalah sebagai berikut : 1. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan Verstek; 2. Menyatakan mobil Toyota Kijang kapsul dengan Nomor Polisi B-1546-QM atas nama Minton Marbun, yang sudah dikuasai dan dibawa pergi Tergugat, merupakan harta bersama dan bagian hak untuk Tergugat; 3. Menyatakan sebidang tanah dengan luas 324 meter persegi yang diatasnya berdiri sebuah bangunan permanen yang terletak didaerah Khusus Ibukota Jakarta, Kotamadya Jakarta Timur, Kecamatan Pasar Rebo, Kelurahan Pekayon, Jalan Haji Balok XII/147, Rukun Tetangga 015, Rukun Warga 08 sesuai sertifikat Hak Milik dengan Nomor 05614 tanggal 2 Desember 2004 atas nama Telly Gredora Tatuhas adalah bagian hak untuk Penggugat; 4. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp. 281.000,-- (dua ratus delapan puluh satu ribu rupiah). Keterangan dari 2 (dua) orang saksi yang mengetahui bahwa benar Penggugat dan Tergugat telah bercerai, maka berarti Penggugat dapat membuktikan bahwa Penggugat dan Tergugat adalah pasangan suami istri yang telah bercerai, Penggugat juga mendalilkan bahwa selama dalam perkawinannya dengan Tergugat telah dikaruniai seorang anak yang saat ini masih berumur 10 tahun yang tinggal bersama Penggugat. Dalam keterangan kedua saksi tersebut maka Majelis Hakim, dalam hal ini berarti Penggugat telah dapat membuktikan dalilnya tentang kebenaran adanya harta bersama tersebut, dan dari keterangan saksi-saksi tersebut, Tergugat telah meninggalkan istri dan anaknya dengan membawa harta bersama berupa mobil Kijang yang harganya setara dengan harga tanah yang bersertifikat atas nama Penggugat, maka dengan telah bercerainya Penggugat dan Tergugat tersebut, menurut majelis Hakim adalah cukup adil apabila dinyatakan harta bersama berupa mobil Toyota Kijang yang telah dibawa pergi oleh Tergugat adalah merupakan bagian dari hak untuk Tergugat, sedangkan sebidang tanah yang telah bersertifikat atas nama Penggugat berikut bangunan rumah yang ada diatasnya adalah merupakan bagian hak untuk Penggugat. Oleh karena gugatan Penggugat dikabulkan, yang berarti Tergugat adalah sebagai pihak yang kalah, maka Toyota Kijang Kapsul dengan Nomor Pol : B 1546 QM atas nama Minton Marbun, yang sudah dikuasai dan dibawa pergi Tergugat, merupakan harta bersama dan bagian hak untuk Tergugat, sedangkan sebidang tanah dengan luas 324Meter yang diatasnya berdiri sebuah bangunan permanen yang terletak didaerah Ibukota Jakarta, Kotamadya Jakarta Timur, Kecamatan Pasar Rebo yang sesuai dengan sertifikat Hak Milik atas nama Telly Gredora Tatuhas adalah bagian hak untuk Penggugat, dan dalam hal ini Tergugat dihukum untuk membayar semua biaya yang timbul dalam perkara ini, dengan membayar perkara sebesar Rp. 281.000,- (dua ratus delapan puluh satu ribu rupiah) Merujuk pada Pasal 128 KUHPerdata, apabila terjadi perceraian, maka harta kekayaan dibagi dua bagi suami dan istri tanpa memperdulikan darimana asal datangnya harta tersebut. Hal ini
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
pulalah yang sering dijadikan pedoman dalam pembagian harta bersama oleh hakim-hakim di Pengadilan. Berdasarkan keterangan saksi-saksi yang ada, mobil kijang kapsul dan tanah serta rumah di Pasar Rebo milik kedua pihak merupakan harta yang didapat selama perkawinan. Mereka juga berpendapat bahwa kedua benda tersebut memiliki nilai yang sama, sehingga wajarlah jika pembagiannya, istri mendapat tanah & rumah yang bersertifikat atas nama dirinya, dan suami mendapat mobil atas nama dirinya pula. Hal ini pulalah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus pembagian harta bersama tersebut, sehingga kemudian Majelis Hakim menjatuhkan putusan secara verstek dengan amar sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) jo. Pasal 36 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, harta Telly Gredora Tatuhas dengan Minton Marbun yang didapat selama perkawinan menjadi harta bersama, dan mereka berdua (suami-istri) dapat bertindak atas harta tersebut berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Sementara Pasal 37 Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa apabila terjadi perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing.
1.
Harta bawaan atau harta asal dari suami atau isteri tetap berada ditangan pihak masingmasing. Apabila bekas suami atau bekas isteri tidak melaksanakan hal tersebut diatas, maka mereka dapat digugat melalui pengadilan negeri ditempat kediaman tergugat, agar hal tersebut dapat dilaksanakan. Mengenai pengaturan pembagian harta bersama dalam hal terjadi perceraian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pembagian harta bersama dalam hal terjadi perceraian menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata pada Pasal 128 KUHPerdata, apabila terjadi perceraian, maka harta kekayaan dibagi dua bagi suami dan istri tanpa memperdulikan darimana asal datangnya harta tersebut. hal ini pulalah yang sering dijadikan pedoman dalam pembagian harta bersama oleh hakim-hakim di Pengadilan. Dan mengenai pembagian harta bersama menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) jo. Pasal 36 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, harta yang didapat selama perkawinan menjadi harta bersama, dan mereka berdua (suami-istri) dapat bertindak atas harta tersebut berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Sementara Pasal 37 Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa apabila terjadi perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing. 2. Dalam Putusan No. 02/PDT.G/2010/PN.JKT.TIM, putusan diatas merupakan putusan mengenai harta bersama, yang digugat oleh istri terhadap suami yaitu Ny. Telly Gredora Tahutus (Penggugat) dengan Mintin Marbun (Tergugat). Putusan tersebut berdasarkan hukum yang berlaku. Menurut KUHPerdata jika merujuk pada Pasal 128 KUHPerdata apabila terjadi perceraian, maka harta kekayaan dibagi dua bagi suami dan istri tanpa memperdulikan
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
darimana asal datangnya harta tersebut. Hal ini pulalah yang sering dijadikan pedoman dalam pembagian harta bersama oleh Hakim-hakim di Pengadilan. Berdasarkan keterangan saksi-saksi yang ada, mobil kijang kapsul dan tanah serta rumah di Pasar Rebo milik kedua pihak merupakan harta yang didapat selama perkawinan. Mereka juga berpendapat bahwa kedua benda tersebut memiliki nilai yang sama, sehingga wajarlah jika pembagiannya, istri mendapat tanah dan rumah yang bersertifikat atas nama dirinya, dan suami mendapat mobil atas nama dirinya pula. Hal ini pulalah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus pembagian harta bersama tersebut, sehingga kemudian Majelis Hakim menjatuhkan putusan secara Verstek dengan amar sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, berdasarkan Pasal 35 ayat (1) jo. Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, harta Ny. Telly Gredora Tatuhas dengan Minton Marbun yang didapat selama perkawinan menjadi harta bersama, dan mereka berdua dapat bertindak atas harta tersebut berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Sementara Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa apabila terjadi perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masung-masing
Analisis yuridis..., Dwi Refyanto, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA