KEKUATAN HUKUM ALAT BUKTI PETUNJUK DIDASARKAN PADA PERSESUAIAN KETERANGAN SAKSI DENGAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM HAL MINIMNYA ALAT BUKTI KASUS TINDAK PIDANA PERKOSAAN (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG No. 979/K/Pid.Sus/2011) Debby Naztty Pratiwi Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424 E-mail :
[email protected]
Abstrak Skripsi ini membahas bagaimana kekuatan hukum alat bukti petunjuk yang dihasilkan dari persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti surat dalam pembuktian di persidangan pidana Indonesia, pengaruh alat bukti petunjuk bagi Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa serta bagaimana hakim agung menyikapi alat bukti yang minim dan pengaruhnya terhadap putusan melalui studi putusan Mahkamah Agung No. 979 K/PID.SUS/2011. Penelitian ini merupakan penelitian berbentuk yuridis normatif yang menggunakan data-data sekunder berupa peraturan perundang-undangan dan literatur terkait serta data primer berupa hasil wawancara dengan beberapa narasumber dari kalangan akademisi maupun praktisi yang diolah dengan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Alat bukti petunjuk memiliki kekuatan hukum yang bebas sehingga peran aktif hakim dalam menggali persesuaian antara alat bukti lainnya sangat besar. Persesuaian tersebut terjadi apabila korelasi antara alat bukti mengaruh pada suatu kondisi tertentu bahwa benar terdakwa yang melakukan tindak pidana. (2) Hakim Agung menjalankan kewenangannya sebagai judex juris sehingga dalam menyikapi alat bukti yang minim, hakim melihat pada penerapan hukum pembuktian di tingkat judex factie (3) Majelis Hakim yang menangani perkara dalam putusan No. 979 K/PID.SUS/2011 telah menggunakan alat bukti petunjuk sebagai salah satu dasar memutus pidana terdakwa, tetapi proses diperolehnya alat bukti petunjuk kurang tepat. Kata Kunci: Pembuktian, Alat bukti petunjuk, keterangan saksi, visum et repertum, pertimbangan hakim, hakim agung LEGAL STRENGTH OF JUDICIAL EVIDENCE BASED ON CORRESPONDENCE BETWEEN STATEMENTS OF WITNESSES AND VISUM ET REPERTUM AS LEGAL EVIDENCE IN RAPE CASE THAT LACK OF EVIDENCE (CRIMINAL CASE No. 979 K/Pid.Sus/2011)
Kekuatan hukum alat ..., Debby Naztty Pratiwi, FH UI, 2014
Abstract This thesis is discussing about how the judicial evidence that based on correspondence between stetements of witnesses and visum et repertum has legal strength in verication process of Indonesian Criminal Justice System, how judicial evidence influences the judge in giving verdict for the defendant and how the court judge addressing the lack of evidence in rape case and what is the impact of on the judge’s decision through Supreme Court decision No. 979 K/PID.SUS/2011. This reseach formed in juridicial normative reseach that using secondary data such as national regulation and related literature, also using primary data such as result of interview with related informants, both academics and practicioners, which the data were processed by qualitative method. The result of this research explained that (1) Judicial Evidence has free legal strength so that the judge should actively take a role in finding correspondence between other legal evidences. That correspondence occurs when there is correlation between legal evidences which leads into a certain condition telling the truth that the defendant the only one who commit a crime. (2) The court judges execute their authotity as judex juris so that in addressing the lack of evidence they will take a look at the use of law of evidence in judex factie. (3) The court judges who handle the criminal case in Supreme Court’s decision No. 979 K/PID.SUS/2011 has used judicial evidence as one basic requirement in making verdict to the defendant, but the process in obtaining that judicial evidence is not suitable with the national regulation.
Key words: Verification Process, Judicial Evidence, Statement of Witnesses, Visum et Repertum, Judge’s Consideration, The Court Judge
Pendahuluan Korban kejahatan seperti perkosaan mengalami berbagai penderitaan tidak hanya fisik tetapi psikis, misalnya trauma yang berkepanjangan, menjalani prosedur pemeriksaan yang sedemikian berlarut-larut sampai pada tahap pembuktian bahwa posisi korban hanyalah pelengkap atau sebagian dari alat bukti, bukan pencari keadilan 1 . Bahkan Geis berpendapat: “Tend to be treated like pieces of evidence than like human beings.”2. Dalam pembuktian di persidangan, peran korban lebih sebagai bagian dari 1
Syarif Fadillah dan Chaerudin, Korban Kejahatan Dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum
Pidana Islam, (Jakarta: Ghalia Press, 2004), hlm, 49. 2
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisartis Gultom, Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma
dan Realita, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007), hlm.28.
Kekuatan hukum alat ..., Debby Naztty Pratiwi, FH UI, 2014
pencarian kebenaran materil, yaitu sebagai saksi, 3 sementara pada tahap penjatuhan putusan hakim, korban kerap dikecewakan dengan vonis pidana yang relatif ringan dijatuhkan Majelis Hakim pada pelaku atau bahkan dalam beberapa kasus pelaku dibebaskan karena dianggap tidak cukup bukti, hal ini tidak sebanding dengan penderitaan yang harus ditanggung korban akibat ulah pelaku kejahatan. Tidak banyak perkara perkosaan sampai ke tingkat persidangan di pengadilan karena bermacam hambatan yang dialami korban perkosaan khususnya jika dikaitkan dengan proses pembuktian hukum acara pidana yang mencari kebenaran materiil berbeda dengan tujuan hukum acara perdata yang lebih menitikberatkan pada kebenaran formil. Sehingga hakim harus benar-benar tidak boleh puas dengan kebenaran formal. Untuk memperkuat keyakinannya, hakim dapat meminta bukti-bukti dari kedua pihak, yaitu terdakwa dan penuntut umum, begitu pula saksi-saksi yang diajukan kedua pihak4. Oleh karenanya, sangat disayangkan ketika tindak pidana perkosaan yang penanganannya berlarut dan melelahkan ketika sudah di tahap persidangan terdakwa diputus bebas hanya karena alat bukti dianggap tidak mencukupi padahal di sisi lain jaksa telah mengajukan keterangan saksi serta visum et repertum sebagai alat bukti surat yang mendukung satu dengan lainnya. Dengan adanya kedua alat bukti ini seyogyanya Hakim dapat menilai adanya persesuaian yang walau tidak secara eksplisit diperlihatkan tetapi disinilah tugas hakim mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan yang arif dan bijaksana semata demi menjunjung keadilan hukum. Dalam praktek persidangan, kepada hakimlah diletakkan kepercayaan untuk menetapkan apakah suatu perbuatan, kejadian atau keadaan merupakan petunjuk yang kesemuanya harus dipertimbangkan secara cermat dan teliti.5 Kenyataan yang terjadi di beberapa kasus menggambarkan bahwa keberadaan visum et repertum sebagai alat bukti surat kerap tidak diperhitungkan sehingga pada akhirnya menyulitkan pembuktian kasus perkosaan karena pembuktian yang hanya mengedepankan keterangan korban sebagai 3
Syarif Fadillah dan Chaerudin, op.cit, hlm. 47-48.
4
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 8.
5
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, (Bandung: Mandar
Maju, 2003), hlm. 79.
Kekuatan hukum alat ..., Debby Naztty Pratiwi, FH UI, 2014
saksi. Dengan hanya adanya seorang saksi saja yaitu saksi korban maka proses pembuktian kembali lagi terbentur pada asas Unus Testis Nullus Testis. Padahal jika ditelaah lebih mendalam, adanya keterangan seorang saksi korban dan diterimanya visum et repertum sebagai alat bukti surat dapat menjadi dasar suatu petunjuk menjadi alat bukti yang sah. Pada dasarnya Pasal 188 ayat (1) KUHAP telah memuat rumusan terkait pengertian alat bukti petunjuk secara tersurat yakni perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Merujuk pada rumusan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa petunjuk merupakan alat pembuktian tidak langsung, karena dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian hakim harus menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti lainnya dan memilih yang ada persesuaiannya satu sama lain6. Penggunaan alat bukti petunjuk ini seakan tidak populer dikarenakan dalam proses pembuktian penegak hukum termasuk Hakim lebih mengedepankan dan mengutamakan mencari keterangan saksi yang tidak mudah ditemui dalam tindak pidana perkosaan. Selain saksi korban seorang, saksi-saksi yang dihadirkan mayoritas saksi yang sifatnya testimonium de auditu (hearsay). Senyatanya jika keterangan para saksi dalam pembuktian tindak pidana perkosaan, umumnya kerabat korban atau relasi dekat, yang pertama kali mendapat laporan korban dapat diterima keterangannya sebagai alat bukti, maka persesuaian antar keterangan saksi dihubungkan dengan visum et repertum yang ada dapat ditarik dan dihitung sebagai satu alat bukti petunjuk. Sehingga keberadaan alat bukti petunjuk tersebut dapat memenuhi minimum syarat sekurang-kurangnya dua alat bukti sah sebagai dasar Hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa tindak pidana perkosaan. Penulis tertarik menganalisa pertimbangan Majelis Hakim menggunakan alat bukti petunjuk dalam mengadili tindak pidana perkosaan dan pengaruhnya terhadap putusan akhir dalam Putusan Mahkamah Agung No. 979 K/Pid.Sus/2011 yang pada akhirnya 6 Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 95.
Kekuatan hukum alat ..., Debby Naztty Pratiwi, FH UI, 2014
menjatuhkan pidana penjara selama 5 (lima) tahun pada Terdakwa H. Kamaludin Bin Umar. Permasalahan yang diangkat diantaranya sebagai berikut; 1) Bagaimana dasar penentuan adanya persesuaian yang menghasilkan alat bukti petunjuk dan kekuatan hukumnya dalam sistem peradilan pidana Indonesia? 2) Bagaimanakah Hakim Agung menyikapi alat bukti yang minim dalam perkara tindak pidana perkosaan? dan 3) Bagaimana penerapan alat bukti petunjuk dan pengaruhnya terhadap pertimbangan hakim dalam mengadili perkara pidana Putusan Mahkamah Agung No. 979 K/Pid.Sus/2011? Diharapkan dengan tinjauan ini diperoleh suatu kesimpulan bagaimana dalam teori dan prakteknya kekuatan hukum alat bukti petunjuk dalam sistem peradilan pidana Indonesia dan apakah alat bukti petunjuk telah dipertimbangkan keberadaannya sebagai alat bukti yang diperhitungkan dalam proses pembuktian sehingga pada akhirnya mempengaruhi Majelis Hakim dalam menyusun putusan bagi Terdakwa tindak pidana perkosaan. Tinjauan Teoritis Dalam tulisan ini, Penulis memberikan pengertian terhadap istilah-istilah yang digunakan sebagai berikut 1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya7. 2. Alat Bukti yang Sah adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa8. Mengacu pada ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP bahwa alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
7 7
Indonesia (a), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang No. 8
Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209, Ps. 188 ayat (1). 8
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, (Jakarta: Djambatan, 1998), hlm. 98.
Kekuatan hukum alat ..., Debby Naztty Pratiwi, FH UI, 2014
3. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.9 4. Hakim Agung adalah Hakim pada Mahkamah Agung10. 5. Perkosaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh laki-laki dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan11. 6. Saksi Korban adalah termasuk Saksi A Charge atau saksi yang memberatkan, saksi korban merupakan salah satu alat bukti yang utama di dalam pembuktian peradilan pidana. Dalam proses pemeriksaan perkara tindak pidana alat bukti yang pertama kali di periksa adalah saksi A Charge. 7. Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan12. 8. Alat Bukti Surat adalah surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah yang terdiri atas ; a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum berwenang atau yang dibuat dihadapannya b) Surat yang dibentuk menurut ketentuan perundang-undangan c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya dan d) Surat lainnya yang hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi alat pembuktian lainnya13. 9. Visum et Repertum adalah hasil pemeriksaan seorang dokter, tentang apa yang dilihatnya, apa yang diketemukannya, dan apa yang ia dengar, sehubungan dengan 9
M. Yahya Harahap (a), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Cetakan Kedelapan ( Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 273. 10
Indonesia (b), Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No. 48 Tahun 2009, LN
No. 157 Tahun 2009, TLN No. 5076, ps. 1 angka 6. 11
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht), diterjemahkan oleh R. Soesilo,
(Bogor: Politeia, 1994), Ps. 235. 12
Indonesia (a), Op.Cit., Ps. 1 angka 28.
13
Ibid., Ps. 187.
Kekuatan hukum alat ..., Debby Naztty Pratiwi, FH UI, 2014
seseorang yang luka, seseorang yang terganggu kesehatannya, dan seseorang yang mati. Dari pemeriksaan tersebut diharapkan akan terungkap sebab-sebab terjadinya kesemuanya itu dalam kaitannya dengan kemungkinan telah terjadinya tindak pidana.14 Metode Penelitian Metode penelitian adalah bagaimana penelitian akan dilakukan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran yang konsisten, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. 15 Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang dilakukan dengan menarik asas-asas hukum, baik hukum positif tertulis maupun hukum tidak tertulis.16 Penelitian yuridis normatif merupakan suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika ilmu hukum dari sisi normatifnya (Menelaah norma hukum tertulis), dimana penelitian ini menekankan pada penggunaan data sekunder atau studi kepustakaan17. Penelitian ini melihat pada asas-asas hukum yang terdapat dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, HIR (Herzien Inlandsch Reglement) dan peraturanperaturan terkait lainnya. Data yang digunakan dalam penulisan penelitian ini merupakan data primer berupa hasil wawancara dengan pihak terkait seperti hakim, hakim agung, jaksa, akademisi, 14
Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman: dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum Praktik
Kedokteran, (Jakarta: Djambatan,2005), hlm. 37. 15
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3., (Jakarta : UI Press, 2010),, hlm. 43.
16 Sri
Mamudji, et.al, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta : Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005). hlm. 5 17
Ibid., hlm.3.
Kekuatan hukum alat ..., Debby Naztty Pratiwi, FH UI, 2014
psikolog dan dokter forensik. Selain itu penelitian juga menggunakan data sekunder, yakni data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan dan buku harian lainnya dengan ciri merupakan data siap untuk dipergunakan dengan segera yang telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu dan tidak terbatas pada waktu maupun tempat18. Data sekunder tersebut terdiri dari : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang isinya memiliki kekuatan mengikat
kepada
masyarakat
meliputi
peraturan
perundang-undangan,
yurisprudensi, perjanjian internasional dan konvensi diantaranya seperti ; UndangUndang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undangundang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, HIR (Herzien Inlandsch Reglement), Undang-undang No. 4 Tahun 1985 jo. Undang-undang No. 5 Tahun 2004 jo. Undang-undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan peraturan-peraturan terkait lainnya. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan isi bahan hukum primer misalnya buku-buku pustaka, penelusuran internet, jurnal, tesis, disertasi, artikel ilmiah, surat kabar, makalah, doktrin para sarjana, laporan penelitian dan lain sebagainya. c. Bahan hukum tersier, yakni bahan-bahan yang memberikan petunjuk, penjelasan maupun keterangan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dalam hal ini kamus, ensiklopedi dan lain-lain. Hasil Penelitian Alat bukti petunjuk (aanwijzing) merupakan alat bukti tidak langsung yang hanya dapat diperoleh dari persesuaian antara alat bukti lainnya. Di antara alat-alat bukti lain yang dirumuskan Pasal 184 KUHAP, alat bukti petunjuk adalah satu-satunya alat bukti yang bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan sifat asesor yang melekat pada alat bukti petunjuk sehingga tidak memungkinkan baginya untuk berdiri sendiri tanpa adanya alat bukti lain. 18 Soekanto, Op.cit. hlm. 12.
Kekuatan hukum alat ..., Debby Naztty Pratiwi, FH UI, 2014
Karena sifatnya yang hanya dapat digunakan dalam keadaan mendesak19, maka penggunaan alat bukti petunjuk ini dapat dikatakan jalan terakhir ketika alat bukti lainnya tidak dapat diperoleh oleh penuntut umum (ultimum remedium). Definisi perihal keadaan mendesak itu sendiri adalah suatu keadaan yang terjadi dengan tidak ada alternatif pilihan secara rasional. Penggunaan alat bukti petunjuk dalam hal situasi atau kondisi mendesak tersebut tergantung fakta dan relevansinya dengan perbuatan terdakwa.20 Secara singkat, Imron Anwari memaparkan keadaan mendesak adalah ketika pembuktian tidak terpenuhi dengan alat bukti lainnya.21 Apabila alat bukti lainnya kurang, barulah hakim merujuk pada ada atau tidaknya alat bukti petunjuk. Walaupun keyakinan hakim akan adanya persesuaian berperan besar dalam menentukan ada atau tidaknya alat bukti petunjuk dalam perkara, Andi Abu Ayyub Saleh menyatakan unsur obyektivitas tetap ada yakni terpenuhi atau tidaknya persyaratan yuridis formil yang diatur pada Pasal 188 ayat (2) KUHAP, sementara unsur subyektivitasnya adalah bagaimana hakim melakukan penilaian terhadap alat bukti lain yang menjadi sumber alat bukti petunjuk. 22 Hal ini selaras dengan pendapat yang dikemukakan Chudry Sitompul bahwa ketentuan bahwa alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa adalah bentuk pembatasan pembuat undang-undang agar hakim tidak semata-mata menentukan alat bukti petunjuk atas kehendaknya sendiri.23 Dalam menentukan adanya persesuaian antara alat bukti, faktor keyakinan hakim memiliki peranan yang begitu penting. Selain sebagai salah satu syarat dalam memenuhi batas minimum pembuktian, Sapto Supriyono memaparkan apabila keyakinan hakim 19
Harahap (a), Op.Cit, hlm. 296.
20
Pengertian keadaan mendesak ini dipaparkan oleh Andi Abu Ayyub Saleh, hakim agung
Mahkamah Agung Republik Indonesia, dalam wawancaranya dengan Penulis pada Senin, 10 November 2014. 21
Wawancara penulis dengan Imron Anwari, hakim agung Mahkamah Agung Republik Indonesia,
pada Selasa, 11 November 2014. 22
Wawancara penulis dengan Andi Abu Ayyub Saleh, hakim agung Mahkamah Agung Republik
Indonesia, pada Selasa, 11 November 2014. 23
Wawancara penulis dengan Chudry Sitompul, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pada
Senin, 24 November 2014.
Kekuatan hukum alat ..., Debby Naztty Pratiwi, FH UI, 2014
telah terpenuhi dengan adanya keterangan saksi korban dan visum et repertum sebagai alat bukti surat, maka kedua hal tersebut telah cukup sebagai dasar memutus pidana terhadap terdakwa. Apabila keyakinan hakim tersebut belum terpenuhi maka hakim harus aktif menggali persesuaian antara keterangan saksi yang ada dihubungkan dengan visum et repertum untuk mencari ada tidaknya alat bukti petunjuk. 24 Hal ini sesuai dengan sifat dari hakim pada persidangan pidana yang lebih aktif menggali fakta persidangan dan menemukan adanya persesuaian agar fakta tersebut dapat menjadi fakta hukum. Hakim melihat adanya persesuaian jika diantara alat-alat bukti yang dihadirkan terdapat korelasi yang mengarah pada terdakwalah yang melakukan tindak pidana. Dalam pertimbangannya, hakim di tingkat judex factie tidak mempertimbangkan persesuaian keterangan saksi korban dengan adanya visum et repertum sebagai alat bukti surat. Kendatipun Majelis Hakim tidak mempertimbangkan saksi lain yang diajukan penuntut umum selain saksi korban itu sendiri, dengan adanya alat bukti visum et repertum Nomor 376/02/RSUD/VI/2010 sebagai alat bukti surat yang sah maka keterangan saksi korban tidak dapat dikatakan Unus Testis Nullus Testis. Adanya persesuaian diantara kedua alat bukti tersebut pun seyogyanya dapat menimbulkan adanya alat bukti petunjuk bahwa benar telah terjadi tindak pidana perkosaan terhadap saksi korban dan terdakwa adalah pelakunya. Sementara itu, alat bukti petunjuk memiliki kekuatan pembuktian yang sifatnya bebas. Terlebih Pasal 188 ayat (3) KUHAP menegaskan bahwa penilaian alat bukti petunjuk dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.25 Pada hakikatnya, perkara yang diperiksa dan diadili oleh hakim agung di tingkat kasasi dilakukan dengan pemeriksaan judex juris, yakni bahwa Majelis Hakim pada Mahkamah Agung hanya akan memeriksa penerapan hukum dalam putusan yang dimohonkan kasasi, bukan pemeriksaan judex factie sebagaimana pengadilan di tingkat sebelumnya. Apabila di Pengadilan Negeri pemeriksaan perkara dilakukan secara lisan, lain halnya dengan pemeriksaan perkara di tingkat kasasi yang mayoritas dilakukan tanpa 24
Penulis melakukan wawancara dengan Sapto Supriyono, hakim Pengadilan Negeri Depok, pada
Rabu, 3 Desember 2014. 25
Indonesia (a), Op.Cit, Ps. 188 ayat (3).
Kekuatan hukum alat ..., Debby Naztty Pratiwi, FH UI, 2014
dihadiri terdakwa, saksi dan penuntut umum. Hal ini dikarenakan obyek dari pemeriksaan pada tingkat kasasi menitikberatkan pada pemeriksaan surat-surat yang berdasarkan Pasal 253 ayat (2) KUHAP meliputi ; a) Berita acara pemeriksaan dari penyidik (berkas perkara); b) berita acara pemeriksaan sidang; c) semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu; d) putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat terakhir (putusan tingkat banding).26 Di luar surat-surat yang telah disebutkan satu persatu dalam putusan itu, yang penting bagi keperluan pemeriksaan kasasi ialah surat-surat yang berhubungan dengan pengajuan upaya hukum kasasi seperti; Permohonan kasasi, memori kasasi, tambahan memori kasasi, kontra memori/tambahan memori kasasi dan bila ada, risalah pendapat tekhnis hukum Jaksa Agung.27 Kendati pemeriksaan perkara di tingkat kasasi bersifat judex juris, melalui Pasal 253 ayat (3) KUHAP, pembuat undang-undang membuka kemungkinan dilakukannya pemeriksaan tambahan yang dilakukan apabila Majelis Hakim pada tingkat kasasi menjumpai adanya kekurangan pemeriksaan yang dianggap sangat penting dan menentukan dalam mengambil putusan. Pemeriksaan tambahan bertujuan untuk menambah dan melengkapi pemeriksaan tersebut dengan melakukan pemeriksaan langsung mendengar keterangan saksi dan/atau terdakwa dalam ruang sidang yang lengkap dihadiri terdakwa, penuntut umum dan saksi-saksi seperti jalannya pemeriksaan di sidang Pengadilan Negeri. Namun menurut Yahya Harahap, pemeriksaan demikian di tingkat kasasi sifatnya sangat kasuistik dan jarang terjadi dalam praktek.28 Jarangnya
Mahkamah
Agung
melakukan
pemeriksaan
tambahan
dengan
memanggil langsung terdakwa, saksi atau penuntut umum dikarenakan situasi dan kondisi masyarakat yang belum memungkinkan, dimana berbagai hambatan dihadapi Mahkamah Agung untuk melakukan pemeriksaan secara langsung salah satunya transportasi. Misalnya permasalahan yang timbul ketika menghadirkan terdakwa, saksisaksi dan penuntut umum dari Irian Jaya ke Jakarta. Disini timbul masalah tekhnis pemanggilan, transportasi dan biaya yang tidak sedikit.29 Untuk menyiasati dilakukannya 26
Indonesia (a), Op.Cit, Ps. 253 ayat (2).
27
Harun M. Husein, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hlm. 168.
28
Harahap (a), Op.Cit, Hlm. 574.
29
Husein, Op.Cit, hlm. 170.
Kekuatan hukum alat ..., Debby Naztty Pratiwi, FH UI, 2014
pemeriksaan tambahan ini, dalam prakteknya Majelis Hakim di tingkat kasasi mengeluarkan putusan sela yang pada pokoknya memerintahkan Pengadilan Negeri yang memutus perkara pertama kali untuk melengkapi keterangan dalam perkara yang dirasa Hakim Agung belum cukup, setelah pemeriksaan tambahan di lakukan di Pengadilan tingkat pertama, maka hasil pemeriksaan tambahan tersebut dikirimkan lagi kepada Mahkamah Agung sebagai bahan pertimbangan Majelis Hakim di tingkat kasasi dalam menyusun putusan akhir. Pemeriksaan di tingkat kasasi terhadap Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor: 208/Pid.B/2010/PN.Mgl adalah termasuk pemeriksaan kasasi terhadap perkara yang minim alat bukti. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, di tingkat judex factie hanya ada tiga kelompok alat bukti yang dapat dihadirkan yakni; Keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Pembuktian terhadap perkara ini semakin sulit karena dari Sembilan orang saksi yang diajukan oleh penuntut umum, hanya keterangan saksi korban Siti Mujayanah yang dipertimbangkan keterangannya oleh Hakim. Hal ini dikarenakan Hakim memandang saksi lainnya tidak memiliki kapabilitas sebagai saksi yakni tidak memenuhi syarat saksi yang termaktub dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP dimana saksi harus melihat, mendengar serta mengalami sendiri tindak pidana tersebut.30 Hakim pada Mahkamah Agung melakukan pemeriksaan terhadap penerapan hukum yang dalam pertimbangannya menyimpulkan bahwa telah terjadi salah penerapan hukum yang dilakukan oleh Majelis Hakim di tingkat judex factie dalam hal sebagai berikut; a. Membuktikan unsur dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan; b. Bukti-bukti tentang petunjuk berupa keterangan para saksi hanya didapatkan dari keterangan saksi korban, tidak karena sepengetahuan ataupun yang dialami sendiri oleh para saksi (Testimonium de auditu); c. Demikian juga yang didengarkan hanyalah keterangan saksi korban sebagai satu kesaksian (Unus Testis Nullus Testis). Majelis Hakim pada Mahkamah Agung berpendapat bahwa pertimbangan di tingkat judex factie tersebut adalah pertimbangan yang kurang cermat (Onvoldoende 30
Indonesia (a), Op.Cit, Ps. 1 angka 26.
Kekuatan hukum alat ..., Debby Naztty Pratiwi, FH UI, 2014
gemotiveerd).31 Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa alat bukti petunjuk merupakan salah satu alat bukti yang dapat dijadikan pertimbangan bagi Hakim Agung di tingkat kasasi. Hakim Agung akan melihat persesuaian diantara alat bukti lainnya yang diajukan di tingkat judex factie untuk kemudian merumuskan apakah persesuaian tersebut dapat menjadi dasar alat bukti petunjuk. Hal ini tentunya merupakan upaya yang dilakukan oleh Hakim Agung untuk memenuhi asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim di tingkat kasasi menggunakan alat bukti petunjuk sebagai salah satu dasar memutus pidana terhadap terdakwa. Karena alat bukti petunjuk memiliki kekuatan pembuktian yang bebas dan terkait erat dengan keyakinan hakim, maka apabila keyakinan hakim telah terbentuk atas alat-alat bukti yang ada, alat bukti petunjuk tersebut dapat berpengaruh kuat terhadap putusan akhir hakim. Namun jika ditelaah lebih mendalam, penggunaan alat bukti petunjuk yang dimaksud oleh Hakim tidak sesuai dengan syarat diperolehnya alat bukti petunjuk yang diatur oleh Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Hal tersebut dapat dicermati dari pernyataan Hakim dalam pertimbangan sebagai berikut: “…..Bahwa dalam hal kasus seperti kasus a quo memang tidak akan mungkin secara sempurna atau lengkap pendukung pembuktian seperti keterangan saksi yang telah melihat, mengetahui atau mengalami sendiri, hal tersebut tidak akan mungkin terjadi seperti demikian adanya namun dengan adanya keterangan saksi korban dengan dibantu petunjuk seperti Visum et Repertum Nomor 376/02/RSUD/IV/2010…..”32
Penulis memberikan huruf tebal dan menggaris bawahi kalimat terakhir karena disinilah letak ambiguitas penerapan alat bukti petunjuk dalam perkara tersebut. Hakim menyatakan bahwa keterangan saksi korban dibantu dengan petunjuk seperti Visum et repertum, hal ini menimbulkan dualisme makna apakah yang dimaksud hakim adalah persesuaian antara keterangan saksi korban dengan visum et repertum sehingga 31
Sebagaimana terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 979 K/Pid.Sus/2011, hlm. 15.
32
Pertimbangan Mahkamah Agung pada Putusan No. 979 K/Pid.Sus/2011, hlm. 15.
Kekuatan hukum alat ..., Debby Naztty Pratiwi, FH UI, 2014
menimbulkan alat bukti petunjuk sebagaimana yang disyaratkan Pasal 188 ayat (2) KUHAP atau hakim memposisikan visum et repertum tersebut sebagai alat bukti petunjuk. Mengacu pada putusan pengadilan di tingkat judex factie, penuntut umum pada Kejaksaan
Negeri
Menggala
mengajukan
Visum
et
Repertum
Nomor
376/02/RSUD/IV/2010 adalah sebagai alat bukti surat.33 Pasal 187 ayat (1) huruf c KUHAP merupakan dasar hukum diterimanya Visum et Repertum sebagai alat bukti di persidangan pidana, yakni tergolong dalam alat bukti surat. Dalam prakteknya, tujuan pembuatan visum et repertum adalah semata-mata agar suatu perkara pidana menjadi jelas dan hanya berguna bagi kepentingan pemeriksaan, untuk keadilan serta diperuntukan bagi kepentingan peradilan.34 Sebagai alat bukti surat, visum et repertum dapat digunakan untuk melengkapi alat-alat bukti yang lainnya seperti; keterangan saksi, keterangan ahli, petunjuk atau keterangan terdakwa.35 Oleh karena Visum et Repertum Nomor 376/02/RSUD/IV/2010 dihitung sebagai alat bukti surat, maka ia termasuk alat bukti langsung yang tidak bergantung pada alat bukti lainnya. Apabila kemudian Hakim menganggap visum tersebut sebagai petunjuk, tentunya hal ini tidak sesuai dengan alat bukti petunjuk yang dimaksud pembuat undang-undang dalam Pasal 188 KUHAP sehingga termasuk pertimbangan yang keliru sehingga perlu diluruskan. Bahwa petunjuk dihasilkan dari persesuaian antara keterangan saksi, alat bukti surat atau keterangan terdakwa, bukan kemudian diartikan alat bukti surat sebagai petunjuk dalam pembuktian di persidangan. Kendati demikian, pertimbangan Majelis Hakim pada Mahkamah Agung yang menggunakan alat bukti petunjuk berperan besar dalam penjatuhan putusan akhir (vonis) pada terdakwa H. Kamaludin bin Umar. Dengan dipertimbangkannya alat bukti petunjuk yang dihitung sebagai satu alat bukti untuk memenuhi asas batas minimum pembuktian, maka syarat penjatuhan pidana terhadap terdakwa sebagaimana diatur Pasal 183 KUHAP 33
Sebagaimana
terdapat
dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Menggala
Nomor
208/Pid.B/2010/PN.Mgl, hlm.22-23. 34
R. Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana,
(Bandung: Mandar Maju, 2002), hlm. 98. 35
Ibid., hlm. 148.
Kekuatan hukum alat ..., Debby Naztty Pratiwi, FH UI, 2014
terpenuhi sehingga Majelis Hakim pada Mahkamah Agung menjatuhkan putusan pidana selama 5 (lima) tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dituangkan dalam bab-bab sebelumnya, adapun kesimpulan yang penulis dapatkan dalam penelitian ini adalah; 1. Syarat diperolehnya alat bukti petunjuk adalah adanya persesuaian antara keterangan saksi, surat atau terdakwa. Kendatipun Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberikan penjelasan secara lengkap mengenai definisi “persesuaian” yang dimaksud, pada hakikatnya baik akademisi maupun praktisi memberikan pengertian terhadap “persesuaian” yakni apabila antara keterangan saksi dikaitkan dengan alat bukti lain yaitu surat atau keterangan terdakwa saling memiliki keterkaitan yang pada akhirnya mengarah pada suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Misalnya apabila antara keterangan yang diberikan saksi korban sesuai dengan visum et repertum yang menguatkan, keterangan saksi lainnya juga mengarah pada kronologis sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum, maka persesuaian antar alat bukti tersebut dapat menjadi dasar diperolehnya alat bukti petunjuk. Dalam pembuktian persidangan pidana, alat bukti petunjuk memiliki kekuatan hukum yang bebas. Hal ini tidak lepas dari sifat alat bukti petunjuk itu sendiri sebagai alat bukti tidak langsung yang tidak dapat berdiri sendiri tetapi harus diperoleh dari persesuaian antara alat bukti lainnya. Oleh karenanya, hakim bebas memberikan penilaian berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan dalam tahap pembuktian, selain itu hakim juga memiliki kebebasan untuk mempergunakan alat bukti petunjuk tersebut sebagai upaya memenuhi batas minimum pembuktian. 2. Sikap Hakim Agung dalam melakukan pemeriksaan terhadap perkara tindak pidana perkosaan yang minim alat bukti berkaitan erat dengan kewenangan mengadili perkara di tingkat kasasi. Hakim Agung pada Mahkamah Agung
Kekuatan hukum alat ..., Debby Naztty Pratiwi, FH UI, 2014
berwenang melakukan pemeriksaan mengenai kesalahan penerapan hukum suatu perkara (judex juris), tidak seperti pengadilan di tingkat pertama yang melakukan pemeriksaan terhadap fakta (judex factie). Hakim Agung akan terlebih dahulu memeriksa alat-alat bukti yang diajukan di persidangan tingkat judex factie sekaligus memeriksa penerapan hukum Majelis Hakim tersebut. Untuk perkara tindak pidana perkosaan, Hakim Agung menitikberatkan pemeriksaan pada tahap pembuktian yakni terkait dengan pengajuan alat-alat bukti dan pemenuhan asas batas minimum pembuktian. Alat bukti petunjuk merupakan salah satu alat bukti yang kerap dipertimbangan Hakim Agung pada Mahkamah Agung untuk menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap terdakwa apabila hakim agung melihat adanya persesuaian antara alat bukti lainnya yang tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim di tingkat judex factie. Selain itu, berdasarkan Pasal 253 ayat (3) KUHAP dimungkinkan juga dilakukan pemeriksaan tambahan bagi perkara yang alat buktinya dirasa kurang, dengan tekhnis pemeriksaan baik oleh Mahkamah Agung sendiri ataupun diperiksa di pengadilan asalnya. 3. Pada Putusan Mahkamah Agung No. 1979 K/Pid.Sus/2011, Hakim Agung yang mengadili perkara di tingkat kasasi atas nama Terdakwa H. Kamaludin bin Umar telah menggunakan alat bukti petunjuk sebagai upaya memenuhi batas minimum pembuktian yang pada akhirnya menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap terdakwa.
Dalam
pertimbangannya,
Majelis
Hakim
berpendapat
bahwa
keterangan saksi korban Siti Mujayanah didukung oleh alat bukti petunjuk berupa visum et repertum telah menguatkan keyakinan hakim bahwa benar terdakwa telah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Meskipun demikian, alat bukti petunjuk yang digunakan oleh Majelis Hakim tidak sesuai dengan syarat diperolehnya alat bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Selain itu, visum et repertum No. 376/02/RSUD/IV/2010 yang dimaksud diajukan sebagai alat bukti surat dan telah memenuhi syarat sebagai alat bukti surat Pasal 187 huruf c KUHAP. Oleh karenanya, apabila Majelis Hakim memandang visum et repertum sebagai alat bukti petunjuk hal ini keliru dengan apa yang diatur di dalam KUHAP maupun peruntukkan dibuatnya visum et repertum itu sendiri.
Kekuatan hukum alat ..., Debby Naztty Pratiwi, FH UI, 2014
Seyogyanya Majelis Hakim mempertimbangkan alat bukti petunjuk sebagai hasil dari persesuaian antara keterangan saksi korban Siti Mujayanah dengan visum et repertum
No.
376/02/RSUD/IV/2010
sebagai
alat
bukti
surat,
bukan
mendefinisikan visum et repertum sebagai alat bukti petunjuk. Karena kedua alat bukti tersebut tidak bisa dipersamakan. Sebagai alat bukti surat, visum et repertum bersifat alat bukti langsung yang secara nyata dapat dihadirkan ke pembuktian di persidangan, sedangkan alat bukti petunjuk merupakan alat bukti tidak langsung yang hanya dapat diperoleh dari persesuaian antara alat bukti lainnya. Alat bukti petunjuk yang digunakan Majelis Hakim dalam perkara ini berpengaruh besar terhadap pertimbangan dalam menjatuhkan putusan akhir terhadap terdakwa. Alat bukti petunjuk yang mendukung keterangan saksi korban Siti Mujayanah dianggap memenuhi batas minimum pembuktian serta menguatkan keyakinan hakim. Oleh karenanya minimum dua alat bukti dan keyakinan hakim terpenuhi sehingga Majelis Hakim dapat menjatuhkan putusan yang bersifat pemidanaan terhadap terdakwa H. Kamaludin bin Umar.
Saran Adapun saran yang ingin penulis sampaikan dalam penelitian ini ialah: 1. Meskipun dalam Rancangan Kitab Undang-Undang KUHAP (R-KUHAP), tidak ada lagi istilah alat bukti petunjuk sebagai salah satu alat bukti yang sah, namun keberadaannya mirip dengan alat bukti pengamatan hakim. Agar tidak terjadi pembuktian yang sewenang-wenang, maka penting untuk diatur secara jelas bagaimana pengamatan hakim tersebut dapat diperoleh di persidangan. 2. Dilihat dari sifatnya, alat bukti petunjuk merupakan alat bukti tidak langsung. Kendati demikian, dalam kondisi atau situasi tertentu yang bersifat mendesak, misalnya apabila perkara yang diajukan minim pembuktian, alat bukti ini menjadi salah satu alternatif yang dapat digunakan penegak hukum dalam upaya memenuhi batas minimum pembuktian yang ditentukan Pasal 183 KUHAP. Dalam beberapa kasus seperti tindak pidana perkosaan, sulit menghadirkan saksi lain selain saksi korban itu sendiri sehingga agar batas minimum pembuktian
Kekuatan hukum alat ..., Debby Naztty Pratiwi, FH UI, 2014
tetap terpenuhi, penegak hukum khususnya Hakim dapat menggunakan alat bukti petunjuk sesuai Pasal 188 KUHAP. Penggunaan alat bukti petunjuk sebagai salah satu dasar memutus pidana bagi terdakwa juga seyogyanya disertai dengan pertimbangan hukum yang jelas dan lengkap darimana alat bukti petunjuk itu diperoleh dan persesuaian seperti apa yang menimbulkan keyakinan bagi hakim, sehingga penerapan alat bukti petunjuk tidak menimbulkan dualisme makna. 3. Semakin merebaknya kejahatan kekerasan seksual dan menyadari dampak buruknya yang masif membuat Presiden Keenam Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak (GN-AKSA). Produk hukum ini selaras dengan semangat memerangi kejahatan seksual, termasuk perkosaan, melalui Rancangan Undang-undang Kekerasan Seksual. Sembari menunggu pembahasan dan pengesahan RUU Kekerasan Seksual di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Penulis menyarankan bagi aparat penegak hukum terkait untuk membuat peraturan internal dalam menangani kejahatan seksual seperti perkosaan yang pembuktiannya sulit. Misalnya dengan menggagas Peraturan Mahkamah Agung untuk kalangan hakim agung dan hakim, Peraturan Jaksa Agung untuk kalangan jaksa dan Peraturan Kapolri untuk kalangan kepolisian. Peraturan-peraturan internal ini mengatur mengenai aturan pembuktian khusus untuk menangani kejahatan seksual seperti perkosaan dengan tujuan agar persoalan pembuktian tidak menghambat korban perkosaan dalam mengakses keadilannya melalui proses persidangan pidana. Salah satu contoh terobosan hukum pembuktian untuk tindak pidana yang minim alat bukti terdapat dalam Pasal 55 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang mengatur bahwa keterangan seorang saksi korban disertai satu alat bukti sah lainnya cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah. 4. Adanya pelatihan khusus bagi aparat penegak hukum dalam menangani kasus tindak pidana perkosaan, baik dalam memperlakukan korban di setiap proses hukum maupun dalam upaya pembuktian tindak pidana dipersidangan. Pelatihan
Kekuatan hukum alat ..., Debby Naztty Pratiwi, FH UI, 2014
berkala tersebut hendaknya dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan para hakim, jaksa dan polisi yang tekhnisnya diatur sesuai dengan instansinya masing-masing. Dengan adanya pelatihan secara berkala diharapkan menambah wawasan, keahlian, serta memperkaya perspektif aparat penegak hukum dalam menangani kasus tindak pidana perkosaan. 5. Majelis Hakim khususnya di tingkat judex factie mempertimbangkan alat bukti yang dihadirkan oleh kedua belah pihak, terlebih apabila keterangan saksi lain mendukung keterangan saksi korban. Korban tindak pidana perkosaan telah menjadi korban dari suatu kejahatan, jangan sampai proses hukum yang menjadi harapannya mencari keadilan justru melakukan reviktimisasi terhadap korban. 6. Dalam menyusun pertimbangan hukum sebagai dasar menjatuhkan putusan terhadap terdakwa, hendaknya hakim tidak serta merta menjadi corong undangundang tetapi melakukan terobosan demi kepentingan keadilan. Misalnya dengan menggunakan kewenangannya melakukan penafsiran dalam peraturan perundang-undangan apabila ketentuan dalam undang-undang tidak mengatur dengan jelas. Hakim yang menangani perkara pidana diharapkan dapat bersikap aktif dengan mencari, menggali dan menemukan hukum tidak hanya dari undang-undang tetapi juga dari yurisprudensi, literatur terkait, perjanjian internasional, serta kebiasaan yang hidup di dalam masyarakat.
Daftar Referensi Bakhri, H. Syaiful. Hukum Pembuktian dalam Praktik Peradilan Pidana. Jakarta : P3IH FH UMJ dan Total Media, 2009. Fadillah, Syarif dan Chaerudin. Korban Kejahatan Dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Ghalia Press, 2004.
Kekuatan hukum alat ..., Debby Naztty Pratiwi, FH UI, 2014
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Jakarta : Sinar Grafika, 2008.
Husein, Harun. Kasasi Sebagai Upaya Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 1992.
Mamudji, Sri, et.al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisartis Gultom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007. Novrianti, Dewi, et.al. Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia. Jakarta : The
Prakoso, Djoko. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana. Yogyakarta : Liberty, 1988.
Prinst, Darwan. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta: Djambatan, 1998. R. Soeparmono. Keterangan Ahli dan Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana. Bandung : Mandar Maju, 2002. Santoso, Topo. Seksualitas dan Hukum Pidana. Jakarta : IND-HILL-CO, 1997. Sasangka, Hari dan Lily Rosita. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Bandung: Mandar Maju, 2003.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3. Jakarta: UI Press, 2010.
Kekuatan hukum alat ..., Debby Naztty Pratiwi, FH UI, 2014
Waluyadi. Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum Praktik Kedokteran. Jakarta: Djambatan, 2005. Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Undang-undang Dasar 1945. ___. Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. LN Nomor 76 Tahun 1981. TLN Nomor 3209. ___. Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009. LN No. 157.
Kementerian Kehakiman Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1982. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht), diterjemahkan oleh R. Soesilo. Bogor: Politeia, 1994.
Kekuatan hukum alat ..., Debby Naztty Pratiwi, FH UI, 2014