Pertanggungjawaban atas Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Tubuh dan Jiwa Manusia dalam Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Kasus Putusan Nomor: 04/Pdt.G/2013/PN/Psr) Rayhana S dan Abdul Salam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424 Email:
[email protected]
Abstrak Skripsi ini membahas tiga hal utama: lingkup tanggung jawab perusahaan angkutan umum, pemilik kendaraan bermotor, dan pengemudi dalam perbuatan melawan hukum berupa kecelakaan lalu lintas, implikasi perjanjian pengalihan risiko yang membatasi tanggung jawab perusahaan angkutan umum terhadap pekerjanya dalam kecelakaan lalu lintas, dan analisis mengenai kesesuaian pertimbagan hakim dengan peraturan yang berlaku (studi kasus Putusan No: 04/Pdt.G/2013/PN.Psr). Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan analisis kualitatif atas data sekunder. Hasil penelitian ini adalah: (1) perusahaan angkutan umum, pemilik kendaraan, dan pengemudi bertanggung jawab secara tanggung renteng dalam kecelakaan lalu lintas menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, (2) suatu perjanjian pengalihan risiko tidak dapat menghilangkan tanggung jawab perusahaan angkutan umum atas kerugian pihak ketiga yang diakibatkan oleh pekerjanya menurut hukum Indonesia serta sistem hukum Common Law, (3) Pertimbangan majelis hakim dalam perkara ini sesuai dengan hukum yang berlaku, meskipun belum mempertimbangkan seluruh permasalahan.
Liability for The Torts Against Personal Injury and Death caused by the Traffic Accidents (Study decision No: 04/Pdt.G/2013/PN.Psr)
Abstract This thesis reviews about three main things: liability of public transport company, owner of the vehicle, and driver for traffic accidents in tort law, the implication of exemption clause aim to restrict the employer liability for the torts of his employee regarding traffic accidents, and analysis on the judge decision and its compliance with the prevailing regulation (study on decision No: 04/Pdt.G/2013/PN.Psr). This research is normative legal research with qualitative analysis on secondary data. The results of this research are: (1) public transport company, owner of the vehicle, and driver are vicarious liable for damages in traffic accidents under the Indonesian Civil Code and Law Number 22 Year 2009 regarding Road Traffic, (2) an agreement aim to limit the risk can not release the employer liability in respect for the injury to a third party caused by the torts of his employee under the Indonesian Law and Common Law system, (3) Judge decision has shown the compliance with the prevailing regulation, even though has not yet consider all the issues. Key words: torts, traffic accidents, vicarious liability, exemption clause, damage
Pertanggungjawaban atas perbuatan ..., Rayhana S., FH UI, 2014
Pendahuluan Transportasi memiliki peran strategis dalam mendukung pembangunan dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Transportasi juga merupakan urat nadi dalam pembangunan ekonomi suatu negara.1 Hal ini terkait fungsi adanya pelaksanaan transportasi sendiri di antaranya berkaitan dengan distribusi penduduk, distribusi barang atau hewan, pembangunan wilayah, meningkatkan nilai ekonomi suatu wilayah, dan pembangunan ekonomi. Kebutuhan akan transportasi juga meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk untuk mendukung mobilitas penduduk. Jumlah pengguna transportasi darat saat ini terus mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari tingginya jumlah angka kendaraan bermotor beberapa tahun belakangan. Pada tahun 2011, jumlah kendaraan bermotor mencapai 85.601.351 dengan mayoritas jenis sepeda motor sejumlah 68.839.341.2 Angka ini mengalami peningkatan pada tahun 2012 dan tahun 2013. Jumlah kendaraan bermotor yang beroperasi di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 94.373.324 dan mengalami peningkatan pada tahun 2013 menjadi 104.118.969 unit.3 Menurut Kasubdit Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, pada tahun 2014 jumlah kendaraan diprediksi mengalami peningkatan dari tahun 2013.4 Namun di sisi lain, peningkatan dan kemajuan transportasi tersebut juga diikuti oleh beberapa permasalahan. Salah satunya adalah tingginya angka kecelakaan lalu lintas, khususnya pada angkutan darat. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), kecelakaan lalu lintas dan angkutan jalan tahun 2007 – 2013 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 tercatat jumlah kecelakaan lalu lintas jalan sebanyak 100.106 dengan korban meninggal dunia sebanyak 26.416, luka berat 28.438,
1
Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Barat, “Manfaat Transportasi http://www.dishub.jabarprov.go.id/content.php?id=221, diakses 10 September 2014.
Secara
Ekonomi”,
2
Badan Pusat Statistik, “Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis Tahun 1987-2012”, http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=17¬ab=12, diakses 10 September 2014. 3
Ibid.,
4
Mei Amelia R, “Jumlah Kendaraan di Jakarta Tahun ini Diperkirakan Terus Meningkat”, http://news.detik.com/read/2014/01/02/145715/2456741/10/1/jumlah-kendaraan-di-jakarta-tahun-inidiperkirakan-terus-meningkat, diakses 10 September 2014.
Pertanggungjawaban atas perbuatan ..., Rayhana S., FH UI, 2014
dan luka ringan 110.448.5 Dari jumlah angka kecelakaan pada periode 2007 – 2013 tersebut, sebanyak 73% faktor penyebab kecelakaan tersebut adalah faktor manusia atau Sumber Daya Manusia (SDM).6 Kecelakaan lalu lintas selalu membawa kerugian baik pada manusia maupun pada harta benda. Pelaku yang menimbulkan kerugian tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana dan/atau perdata. Kerugian yang ditimbulkan tersebut merupakan aspek perdata dari kecelakaan lalu lintas. Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana tanggung jawab perdata dalam bidang lalu lintas dan ketika terjadinya kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan korban jiwa. Terjadinya suatu kecelakaan karena kelalaian atau kesengajaan seseorang yang menimbulkan kerugian akan melahirkan suatu akibat hukum. Dalam bidang hukum perdata, hal ini dikenal sebagai perbuatan melawan hukum yang diatur di dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ketentuan perbuatan melawan hukum lahir karena adanya prinsip moralitas yang menentukan bahwa barang siapa yang melakukan perbuatan yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian untuk mengganti kerugian tersebut.7 Berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perbuatan melawan hukum menimbulkan kewajiban untuk mengganti kerugian. Dalam perbuatan melawan hukum berupa kecelakaan lalu lintas, pelanggar juga memiliki kewajiban mengganti kerugian sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Namun, tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai ganti kerugian tersebut di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.8 Pasal 1371 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan sedikit pedoman yang menyatakan bahwa “juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan menurut keadaan.” 9
5
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, “Perhubungan Darat dalam Angka 2013”, hlm. KTD-3, http://hubdat.dephub.go.id/data-a-informasi/pdda/tahun-2014, diakses 10 September 2014. 6
Komite Nasional Keselamatan Transportasi, “Media Release KNKT Akhir Tahun 2013”, http://www.dephub.go.id/knkt/ntsc_home/Media_Release/Media_Release_KNKT_2013.pdf, hlm. 29, diakses 10 September 2014. 7
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, cet. 1, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm. 24. 8
Ibid., hlm.51.
9
Ibid.,
Pertanggungjawaban atas perbuatan ..., Rayhana S., FH UI, 2014
Selain itu, ukuran apa yang menjadi dasar pemberian ganti kerugian dalam perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan korban jiwa juga sulit ditentukan. Perbuatan melawan hukum terhadap tubuh dan jiwa manusia pada dasarnya telah diatur di dalam Pasal 1370 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Apabila perbuatan tersebut mengakibatkan korban meninggal dunia maka terdapat hak bagi ahli waris untuk menuntut ganti rugi. Namun, hak atas ganti rugi yang telah diakomodir ini sayangnya tidak dapat dijelaskan ukurannya karena pasal ini berpatokan pada ahli waris yang sewajarnya mendapatkan nafkah dari korban. Akan menjadi suatu permasalahan apabila korban tersebut belum memiliki pekerjaan atau masih anak-anak yang belum dapat dikatakan telah memberikan nafkah pada keluarganya atau ahli waris. Hal tersebut berusaha diperjelas dalam undang-undang melalui Pasal 234 dan 235 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya disebut UULLAJ). Kedua pasal ini mengatur mengenai kewajiban dan tanggung jawab pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan dalam suatu kecelakaan lalu lintas. Pasal 234 UULLAJ mengatur kewajiban pertanggungjawaban kepada pihak yang dirugikan karena kelalaian pengemudi. Sedangkan Pasal 235 UULLAJ, mengatur hak ahli waris korban meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas yaitu bantuan berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman. Namun, pada praktiknya dalam beberapa putusan perdata tentang perbuatan melawan hukum berupa kecelakaan lalu lintas, hakim tidak selalu mempertimbangkan ketentuan hukum ini dalam pemberian ganti kerugian. Jumlah ganti rugi yang dikabulkan tidak selalu sesuai, bahkan lebih rendah dibandingkan dengan biaya pengobatan dan/atau pemakaman disebabkan beberapa alasan dan pertimbangan. Belum lagi dalam hal ahli waris memohonkan ganti kerugian immateril yang sulit ditentukan secara nyata berapa jumlahnya. Permasalahan selanjutnya dalam pertanggungjawaban hukum kecelakaan lalu lintas adalah terkait pihak yang bertanggung jawab. Di dalam Pasal 235 UULLAJ tidak diatur lebih lanjut batasan pertanggungjawaban masing-masing pihak baik pengemudi kendaraan, pemilik, maupun perusahaan dalam kecelakaan lalu lintas. Hal ini dijadikan sebagai celah oleh perusahaan angkutan umum untuk menghindari tanggung jawabnya dalam suatu kecelakaan lalu lintas. Dalam
praktiknya,
terjadi
pembatasan
secara
kontraktual
mengenai
pertanggungjawaban perusahaan atas suatu perbuatan-perbuatan tertentu berikut risiko yang ditimbulkan oleh pekerjanya. Klausula ini ditemukan pada perjanjian kerja antara supir dan perusahaan jasa angkutan umum yang memuat ketentuan pembebasan tanggung jawab
Pertanggungjawaban atas perbuatan ..., Rayhana S., FH UI, 2014
perusahaan ketika terjadi kecelakaan di jalan. Hal ini berimplikasi pada ketidakpastian penyelesaian gugatan perdata atas perbuatan melawan hukum kecelakaan lalu lintas. Perusahaan menghindari mengganti kerugian yang dialami korban, sedangkan pengemudi kendaraan juga di satu sisi menghadapi tuntutan pidana dan biasanya tidak memiliki kondisi ekonomi yang cukup baik untuk membiayai seluruh jumlah ganti rugi. Beberapa persoalan di atas ditemukan dalam putusan perdata dengan nomor perkara 04/Pdt.G/2013/PN.Psr tahun 2013 di Pengadilan Negeri Pasuruan, Jawa Timur. Putusan ini memutus perkara perbuatan melawan hukum dalam kecelakaan lalu lintas antara PO Bus LADJU dan sepeda motor yang menyebabkan korban meninggal dunia. Putusan pengadilan ini memberikan gambaran atas pertimbangan hakim dalam menilai pertanggungjawaban perdata para pihak dalam kecelakaan lalu lintas secara in concreto. Peristiwa kematian seseorang tentu bukan hal yang dapat diukur dengan pertanggungjawaban materi semata. Namun, ketika dalam kenyataannya terjadi peristiwa tersebut, dibutuhkan mekanisme hukum yang adil sebagai penyelesaiannya yang menjamin hak-hak korban. Penting bagi para pihak untuk mengetahui posisi dan tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan lalu lintas. Pada akhirnya bertujuan agar seluruh pihak terkait selalu berusaha sebaik mungkin menghindari kecelakaan lalu lintas dan tidak meremehkan akibat yang timbul. Artikel ini membahas mengenai tiga hal utama yakni: 1) Lingkup pertanggungjawaban yang dimiliki oleh pemilik kendaraan, pengemudi, dan perusahaan angkutan umum dalam perbuatan melawan hukum berupa kecelakaan lalu lintas menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ; 2) Kedudukan hukum suatu perjanjian pengalihan risiko yang dimaksudkan untuk menghilangkan tanggung jawab perusahaan terhadap pekerjanya dalam perbuatan melawan hukum berupa kecelakaan lalu lintas ; serta 3) Pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara perdata Nomor 04/Pdt.G/2013/PN.Psr dan kesesuaiannya dengan peraturan yang berlaku.
Tinjauan Teoritis Perbuatan melawan hukum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat di dalam Buku III tentang Perikatan yaitu pada Pasal 1365 sampai dengan Pasal 1380. Oleh karena itu, suatu perbuatan melawan hukum adalah salah satu bentuk perikatan. Pasal 1233
Pertanggungjawaban atas perbuatan ..., Rayhana S., FH UI, 2014
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang.” Lebih jauh, Pasal 1352 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang, timbul dari undang-undang saja, atau dari undang-undang akibat perbuatan orang.” Selanjutnya Pasal 1353 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memperjelas bahwa “perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum.” Pengertian Perbuatan Melawan Hukum terdapat dalam buku III tentang Perikatan, yaitu Pasal 1365 KUH Perdata : “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”10 Lebih lanjut, ketentuan ini diatur dalam Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai berikut : “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.”11 Menurut Mariam Darus Badrulzaman, terdapat kriteria untuk dapat mengatakan bahwa suatu perbuatan adalah perbuatan melawan hukum yaitu sebagai berikut : “Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa syarat-syarat yang harus ada untuk menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut : 1. Harus ada perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan ini baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat. 2. Perbuatan itu harus melawan hukum. 3. Ada kerugian. 4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian. 5. Ada kesalahan (schuld).”12 10
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1999), Pasal 1365. 11
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1999), Pasal 1366. 12
Rosa Agustina, Op.Cit., hlm. 36.
Pertanggungjawaban atas perbuatan ..., Rayhana S., FH UI, 2014
Perbuatan sebagai salah satu unsur perbuatan melawan hukum di sini diartikan baik sebagai berbuat sesuatu (dalam arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif).13 Unsur kedua yaitu adanya sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut. Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum ini mengalami perluasan penafsiran: bertentangan dengan hak subjektif orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan kaedah kesusilaan, bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat. Unsur ketiga adalah adanya kesalahan yang dalam arti luas meliputi kelalaian dan kesengajaan, sedangkan kesalahan dalam arti sempit hanya berupa kesengajaan.14 Unsur keempat adalah adanya kerugian yang timbul akibat perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugian harta kekayaan (materil) atau kerugian yang bersifat idiil.15 Terakhir, adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian yang ditimbulkan. Salah satu bentuk tanggung jawab dalam perbuatan melawan hukum adalah secara tangung gugat. Teori tanggung gugat atau teori aanprakelijkheid adalah teori yang digunakan untuk menentukan siapakah yang harus menerima gugatan (siapa yang harus digugat) karena adanya suatu perbuatan melawan hukum.16 Pada umumnya, pihak yang menerima gugatan atas perbuatan melawan hukum adalah pihak pelaku perbuatan melawan hukum itu sendiri. Namun, ada saatnya apabila orang lain yang harus digugat dan mempertanggungjawabkan perbuatan itu. Terhadap tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain dalam ilmu hukum dikenal dengan teori tanggung jawab pengganti (Vicarious Liability).17 Ketentuan perbuatan melawan hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menghendaki adanya pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. Hal tersebut disimpulkan dari rumusan Pasal 1367 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai berikut : “ Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena perbuatan 13
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 10-11. 14
Rosa Agustina, Op.Cit., hlm. 46.
15
Ibid., hlm.55.
16
Munir Fuady, Op.Cit., hlm.16.
17
Ibid.,
Pertanggungjawaban atas perbuatan ..., Rayhana S., FH UI, 2014
orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.”18 Pertanggungjawaban buruh majikan adalah salah satu konsep hukum dalam tanggung gugat yang penting diperhatikan. Hubungan hukum pertanggungjawaban majikan terhadap perbuatan bawahannya diatur dalam undang-undang sebagai berikut : “ Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusanurusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya.”19 Dalam hubungan hukum majikan-buruh maka sesuai dengan konsep hukum yang diberikan atas hubungan hukum majikan-buruh, selama dan sepanjang buruh ini melaksanakan perintah yang diberikan oleh majikan, dengan itikad baik, sesuai dengan perintah yang diberikan, maka majikan itulah yang bertanggung jawab atas tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh buruh ini.20 Tanggung gugat majikan terhadap perbuatan bawahan juga dikenal dalam sistem Common Law sebagai Vicarious Liability. Vicarious Liability ini didasarkan pada hubungan pekerja dan pemberi kerja yang disebut dengan respondeat superior (Let the master answer).21 Terdapat dua hal yang menentukan adanya pertanggungjawaban secara vicarious liability : terdapat hubungan khusus antara atasan dan bawahan, perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh bawahan harus berhubungan dengan hubungan perkerjaan tersebut atau harus terjadi dalam lingkup melaksanakan pekerjaan (in the course of employment).22 Pertanggungjawaban dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas diatur dalam UULLAJ adalah tanggung renteng antara Pengemudi, Pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum sebagai berikut : 18
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti dan Tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1999), Pasal 1367 ayat (1). 19
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti dan Tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1999), Pasal 1367 ayat (3). 20
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang, cet.1,(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 161. 21
William P. Statsky, Essentials of Torts, 3rd Edition, (New York: DELMAR CENGAGE Learning, 2012), hlm. 173. 22
Ibid., hlm. 251.
Pertanggungjawaban atas perbuatan ..., Rayhana S., FH UI, 2014
(1) Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi. (2) Setiap Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan Pengemudi.23 Bertanggung
jawab
yang
dimaksud
dalam
undang-undang
ini
adalah
pertanggungjawaban yang disesuaikan dengan tingkat kesalahan akibat kelalaian atau liability based on fault.24 Lebih lanjut lagi, tanggung jawab hukum bagi perusahaan angkutan umum sebagai berikut : Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan.25 Ketentuan ini menunjukkan bahwa pada dasarnya UULLAJ menganut prinsip lahirnya tanggung jawab hukum pengemudi atau pemilik kendaraan bermotor dari akibat kelalaian atau kesalahan pengemudi yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan lalu lintas.26 Sedangkan pertanggungjawaban terhadap pihak ketiga berdasarkan bentuk tanggung jawab bersyarat.27 Artinya pihak ketiga harus membuktikan kesalahan pihak pengangkut atau orang yang dipekerjakannya.28 Prinsip ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 194 ayat (1) UULLAJ. Pada beberapa negara bagian di Amerika Serikat terdapat konsep Owner Liability dan Vicarious Liability terhadap kecelakaan kendaraan motor ini. Owner Liability yaitu seserang pemilik kendaraan bermotor bertanggung jawab terhadap kerugian yang diakibatkan oleh
23
Indonesia (1), Undang-Undang tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, UU No. 22 Tahun 2009, LN No. 96 Tahun 2009, TLN No. 5026, Ps. 234. 24
Ibid.,Penjelasan Ps. 234 ayat (1).
25
Ibid., Ps. 191.
26
Sulistiowati, “Pengaturan Asuransi Kecelakaan Jalan dalam UU Nomor 22 Tahun 2009”, http://mimbar.hukum.ugm.ac.id/index.php/jmh/article/download/258/113, hlm. 451. 27
Krisnadi Nasution, “Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut terhadap Penumpang Bus Umum”, Mimbar Hukum, Vol. 26, No. 1 (Februari 2014), hlm. 61. 28
Ibid.,
Pertanggungjawaban atas perbuatan ..., Rayhana S., FH UI, 2014
pengemudi kendaraannya.29 Atasan pada dasarnya bertanggung jawab secara joint and several liable atau secara bersama-sama atas kelalaian yang dilakukan oleh bawahannya yang dilakukan dalam lingkup melaksanakan pekerjaan.30 Pada dasarnya diterima adanya empat alasan sebagai dasar pembenar dalam perbuatan melawan hukum yaitu keadaan memaksa (overmacht), pembelaan darurat atau terpaksa, melaksanakan ketentuan undang-undang, dan melaksanakan perintah jabatan. Dasar penghapus pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain diatur dalam Pasal 1367 ayat (5) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Alasan pemaaf yang ditentukan dalam Pasal 1367 ayat (5)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak
menyebutkan pembatasan tanggung jawab yang dimiliki oleh majikan terhadap perbuatan bawahannya. Namun, tidak ada pertanggungjawaban hukum majikan terhadap bawahan apabila bawahan tersebut dapat membuktikan bahwa tidak adanya kesalahan padanya. Oleh karena itu, tidak timbul pertanggungjawaban atasan jika dapat dibuktikan oleh bawahan ini adanya dasar pembenar pada dirinya.31 Hubungan kerja adalah salah satu hal yang menentukan adanya pertanggungjawaban atasan terhadap bawahan. Dalam pengertian hubungan kerja, terkandung arti bahwa pihak buruh dalam melakukan pekerjaan berada di bawah pimpinan pihak lain yang disebut majikan/pimpinan/pengusaha.32 Unsur dalam perjanjian kerja antara lain adalah adanya pekerjaan, adanya unsur di bawah perintah, adanya upah tertentu, dan adanya waktu.33 Pasal 1367 (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Namun, pada praktiknya sering terjadi pembatasan secara kontraktual mengenai pertanggungjawaban terhadap bawahan dan tentang sah tidaknya klausul tersebut sering diajukan kepada Hoge Raad dengan hasil pengujiannya Hoge Raad menyatakan sah.34 29
Aaron Larson (2), “Owner Liability in Car Accident”, http://www.expertlaw.com/library/caraccidents/owner-liability.html, diunduh 22 desember 2014. 30
Aaron Larson (1), “Employer Liability Resulting From Motor Vehicle Accidents”, http://www.expertlaw.com/library/car-accidents/employer-liability.html#4, diunduh 22 Desember 2014. 31
Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum Tanggung Gugat untuk Kerugian yang Disebabkan Karena Perbuatan Melawan Hukum, cet.2, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hlm. 134. 32
Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Dinamika dan Kajian Teori, cet.1, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 44. 33
Tim Pengajar Hukum Perburuhan FHUI, Buku Kuliah : Hukum Perburuhan, (Depok: FHUI, 2012),
34
Moegni Djojodirdjo, Ibid., hlm. 130.
hlm. 45.
Pertanggungjawaban atas perbuatan ..., Rayhana S., FH UI, 2014
Dengan persetujuan, majikan dapat menuntut agar ia dibebaskan dari pertanggungjawaban atas kerugian yang ditimbulkan oleh personilnya, baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja. Tuntutan itu disebut dengan exoneratie-clausule atau vrijtekeningsbeding dan vrijwaringsbeding.35 Rijken mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausul yang dicantumkan di dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.36 Syarat eksonerasi disebut juga syarat-syarat untuk pengecualian tanggung jawab yaitu syarat yang membebaskan seseorang dari beban tanggung jawab karena terjadinya sesuatu akibat perbuatan.37 Suatu perjanjian pengalihan tanggung jawab dapat juga dianalisis melalui klausula Release and Discharge. Rosa Agustina berpendapat bahwa jika release and discharge masuk dalam kategori perdata maka lebih tepat adalah pelepasan hak.38 Pada sistem Common Law, suatu klausula release dapat ditemukan sebagai pembebasan bagi salah satu pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum. Perjanjian ini diadakan antara korban dan para pelaku untuk melepaskan hak menuntut yang disebut dengan release. Release adalah : “The giving up or relinquishing of a right, claim, interest, or previlege.39 Pada suatu keadaan dimana pemberi kerja dan penerima kerja membuat kontrak pembatasan tanggung jawab, terdapat pihak ketiga yang menderita kerugian akibat perbuatan melawan hukum pekerja.40 Sehingga dalam hal ini, pelaku perbuatan melawan hukum tetap
35
Ibid., hlm. 135.
36
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 47.
37
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, (Bandung : Citra Adiyta Bakti, 2003), hlm. 98. 38
Lily Evelina Sitorus, “Release and Discharge Sebagai Alternatif Penyelesaian Masalah (Studi Kasus Kebijakan Penyelesaian BLBI),” (Tesis Magister Sains (M.Si) dalam Bidang Kriminologi Universitas Indonesia, Depok, 2009), hlm. 73. 39
William P. Statsky, Essentials of Torts, 3rd Edition, (New York: DELMAR CENGAGE Learning, 2012), hlm. 229. 40
Deanna N. Conn, “When Contract Should Preempt Tort”, New York: Fordham Journal of Corporate & Financial Law, Vol. 15, 2009, http://search.proquest.com/docview/89151163?accountid=17242, hlm. 17.
Pertanggungjawaban atas perbuatan ..., Rayhana S., FH UI, 2014
harus menanggung akibat hukum yang timbul.41 Hal ini disebut teori Contract Preemption Theory. Berdasarkan sistem hukum Common Law, khususnya di negara Amerika Serikat, perjanjian pengalihan risiko majikan terhadap bawahan dapat ditinjau melalui exculpatory clause yaitu klausula yang membatasi tanggung jawab salah satu pihak.42 Ada situasi dimana hukum melarang berlakunya perjanjian asumsi atas risiko ini apabila terlihat perbedaan signifikan pada posisi tawar menawar para pihak dalam perjanjian.43 Misalnya, pada hubungan seorang atasan dan bawahan dimana pengadilan akan memutuskan bahwa klausul tersebut bertentangan dengan public policy.44 Di Negara Inggris, pada Law of Tort dikenal adanya suatu perjanjian sebagai dasar pembelaan dalam perbuatan melawan hukum. Namun, terdapat batasan yaitu melalui undangundang yaitu the Public Passenger Vehicles Act 1981 dan Unfair Contract Terms Act 1977 yang membatasi berlakunya pembelaan berdasarkan perjanjian itu pada perkara yang menyangkut kematian atau cedera yang terjadi sebagai penumpang kendaraan umum. Dutch Civil Code mengatur permasalahan perjanjian bagi pihak ketiga dalam perbuatan melawan hukum pada Pasal 6: 257 Dutch Civil Code. Berdasarkan ketentuan ini, seorang atasan dapat mengikatkan diri dengan pihak korban bahwa dirinya tidak bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh bawahannya. Hal ini menjadi pembelaan bagi atasan. Namun, bawahan yang tidak terlibat dalam perjanjian juga dapat menggunakan pembelaan ini terhadap tuntutan pihak ketiga, sehingga pada akhirnya majikan akan bertanggung jawab. Sedangkan, menurut konstruksi UULLAJ, tanggung jawab pemilik kendaraan bermotor, perusahaan angkutan umum, dan pengemudi terhadap kerugian pihak ketiga dalam kecelakaan lalu lintas tidak berlaku jika : a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi; b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau
41
Ibid.,
42
William P. Statsky, Op.Cit., hlm. 244.
43
Ibid., hlm. 244-245.
44
Ibid.,
Pertanggungjawaban atas perbuatan ..., Rayhana S., FH UI, 2014
c. disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.45 Metode Penelitian Metode penelitian ini disusun berdasar metode penelitian dan penulisan hukum yaitu bentuk penelitian, tipe penelitian, jenis data, metode analisis data, alat pengumpulan data, dan bentuk hasil penelitian. Penelitian ini berbentuk yuridis normatif dengan menggunakan metode pendekatan yaitu statute approach, case approach, dan comparative approach. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menurut sifatnya adalah penelitian deskriptif karena memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya dengan maksud terutama untuk mempertegas hipotesa, memperkuat teori lama, atau untuk menyusun teori baru.46 Menurut bentuknya, penelitian ini adalah penelitian evaluatif, sedangkan menurut tujuannya adalah penelitian untuk menemukan solusi atas permasalahan (problem solution). Alat pengumpulan data dalam penelitian ini berupa studi kepustakaan atau studi dokumen. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer yang digunakan berupa peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku, tesis, artikel ilmiah, dan artikel dari internet. Sedangkan bahan hukum tersier yang digunakan adalah kamus. Adapun norma-norma hukum tertulis utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dan Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Di samping norma-norma hukum tertulis tersebut, digunakan pula norma-norma hukum tertulis lainnya yang relevan dan dapat menunjang penelitian ini. Metode analisis data yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Selanjutnya, penelitian yang dihasilkan di dalam penelitian ini berbentuk deskriptif analisis. Bentuk hasil penelitian ini adalah berupa artikel jurnal yang merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
45
Indonesia (1), Ps. 234 ayat (3).
46
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UIPress), 1986), hlm. 10.
Pertanggungjawaban atas perbuatan ..., Rayhana S., FH UI, 2014
Pembahasan Perkara Nomor 04/Pdt.G/2013/PN.Psr dalam penelitian ini bermula ketika Bus Ladju yang dikemudikan oleh Turut Tergugat atau sopir menabrak sepeda motor yang dikendarai oleh anak Para Penggugat yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Atas kejadian ini, orang tua korban mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Pasuruan terhadap Perusahaan Angkutan Umum Oto Bus Ladju sebagai Tergugat I, Pemilik Perusahaan sebagai Tergugat II, dan sopir sebagai Turut Tergugat. Dalam perkara kecelakaan lalu lintas ini, Para Penggugat mendalilkan di pengadilan bahwa telah terjadi suatu perbuatan melawan hukum. Perbuatan yang dilakukan oleh Turut Tergugat harus memenuhi beberapa unsur di dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Pertama, perbuatan dalam perkara ini adalah perbuatan aktif Turut Tergugat yaitu perbuatan aktif menabrak korban. Melawan hukum dalam perkara ini adalah Perbuatan Turut Tergugat yang melanggar hak korban dan kewajiban hukumnya untuk berhati-hati. Kesalahan dalam perkara ini. Sedangkan hubungan kausalitas dan adanya kerugian telah terbukti dalam perkara ini. Dengan terpenuhinya setiap unsur perbuatan melawan hukum di atas, maka perbuatan Turut Tergugat dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Namun, perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas hal ini berdasarkan bentuk tanggung jawab majikan terhadap bawahan berdasarkan Pasal 1367 dan 1367 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pertanggungjawaban dalam Pasal 1367 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di atas didasarkan pada dua hal. Pertama, adanya hubungan kerja yang dibuktikan melalui adanya perjanjian kerja antara Para Tergugat dengan Turut Tergugat. Kedua, tabrakan yang terjadi antara bus yang dikemudikan oleh Turut Tergugat dengan sepeda motor yang dikemudikan oleh anak korban terjadi ketika Turut Tergugat melaksanakan perintah Para Tergugat. Sehingga perbuatan ini dilakukan dalam lingkup pekerjaan Turut Tergugat sebagai sopir pada perusahaan Para Tergugat. Berdasarkan Pasal 234 UULLAJ, perusahaan PO Bus Ladju, pemilik perusahaan, dan pengemudi bertanggung jawab atas kesalahan pengemudi secara tanggung renteng. Para Penggugat harus membuktikan sendiri kerugian dan kesalahan yang dilakukan Para Tergugat sesuai dengan Pasal 194 UULLAJ. Terdapat dua unsur yang menentukan pertanggungjawaban hukum perusahaan angkutan umum menurut Pasal 191 UULLAJ. Unsur pertama, bahwa kecelakaan lalu lintas
Pertanggungjawaban atas perbuatan ..., Rayhana S., FH UI, 2014
ini terjadi saat Turut Tergugat tengah menjalankan tugas yang diberikan Para Tergugat untuk menjalankan Bus Ladju. Kedua, fakta di persidangan menunjukkan bahwa Turut Tergugat memiliki hubungan kerja dengan PO Bus Ladju yang ditunjukkan dengan adanya perjanjian kerja. Oleh karena anak Para Penggugat meninggal dunia, para pelaku memiliki kewajiban memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana. Hal ini ditentukan di dalam Pasal 235 ayat (1) UU LLLAJ. Selain itu, Pasal 1370 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa hak ganti rugi ahli waris korban kepada Para Tergugat dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta menurut keadaan. Selanjutnya mengenai kedudukan perjanjian pengalihan risiko atas kecelakaan di jalan antara perusahaan angkutan umum dengan sopir yang bertujuan menghilangkan tanggung jawab perusahaan. Untuk membebaskan tanggung jawab perusahaan sebagai majikan maka bawahan harus dapat membuktikan dirinya bebas dari kesalahan. Perbuatan pengemudi Bus Ladju yang karena kelalaiannya menabrak anak Para Penggugat tidak memenuhi salah satu dari empat dasar pembenar menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dasar pembenar dalam doktrin, dan dasar pembenar di dalam Pasal 234 ayat (3) UULLAJ. Hal ini sejalan dengan konsep tanggung jawab mutlak atasan terhadap bawahan pada Pasal 1367 ayat (5) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut pandangan hukum Inggris, tidak dimungkinkan adanya suatu perjanjian yang meniadakan tanggung jawab hukum yang terkait dengan kematian atau cedera berdasarkan Public Passenger Vehicles Act 1981.47 Lebih jauh, berdasarkan Unfair Contract Terms Act 1977, perjanjian ini batal demi hukum (void).48 Ditinjau dari peraturan di negara Amerika Serikat, perjanjian pembatasan tanggung jawab antara majikan dan bawahan adalah melanggar public policy atau ketertiban umum karena dibuat oleh dua pihak yang memiliki perbedaan posisi tawar menawar yang signifikan. Perjanjian ini juga bertentangan dengan teori deep pocket sehingga korban kehilangan kesempatan untuk mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pihak yang lebih kuat ekonominya. Pada sistem hukum Belanda, seorang majikan dapat membuat suatu perjanjian dengan korban bahwa dirinya bebas dari tanggung jawab perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh bawahannya. Namun, berdasarkan Pasal 6: 257 Ducth Civil Code, pembelaan majikan 47
A.J. Pannet, Law of Torts, 6th Ed, (London: Pitman Publishing, 1992), hlm. 255.
48
Ibid.,
Pertanggungjawaban atas perbuatan ..., Rayhana S., FH UI, 2014
untuk melepaskan diri dari tanggung jawabnya yang dibuat dengan pihak ketiga ini dapat digunakan pula oleh bawahan sebagai pembelaannya. Sehingga, dalam kasus seperti ini karyawan dapat, jika digugat, memanfaatkan pertahanan majikan – yaitu klausul pengecualian – seolah-olah ia adalah pihak dari kontrak terkait.49 Jika dibandingkan dengan pengaturan perjanjian sebagai dasar pembenar dalam perbuatan melawan hukum di luar negeri, di Indonesia belum terdapat ketentuan khusus seperti itu. Namun suatu perjanjian demikian dapat dianalisis dari doktrin klausula eksonerasi dan klausula release and discharge. Jika dikaitkan dengan perkara ini, maka suatu klausula eksonerasi dimaksudkan untuk melakukan pembatasan tanggung jawab atas akibat merugikan yang timbul dari suatu perbuatan melawan hukum dalam penyelenggaraan angkutan umum. Secara yuridis, perjanjian pengalihan risiko ini tidak berlaku karena bertentangan dengan undang-undang yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan UULLAJ. Perjanjian ini juga bertentangan dengan keadilan karena perjanjian pengalihan risiko melepaskan tanggung jawab perusahaan terhadap kecelakaan lalu lintas dan membebankannya pada pengemudi yang biasanya memiliki kondisi ekonomi yang lebih lemah. Ditinjau dari suatu klausula pembebasan atau release and discharge, maka lebih tepat diberikan oleh pihak yang berhak melepaskan haknya atas suatu tuntutan di masa mendatang. Dalam perbuatan melawan hukum, lebih tepat diberikan oleh korban perbuatan melawan hukum atas tuntutan di kemudian hari. Bahkan menurut Pasal 6: 257 New Civil Code, perjanjian pelepasan hak ini tidak bisa melepaskan majikan dari pertanggungjawaban. Permasalahan terakhir, yaitu mengenai analisis putusan hakim dalam perkara ini. Penulis sepakat dengan pertimbangan majelis hakim yang menentukan bahwa perbuatan sopir Bus Ladju memenuhi Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Penulis sepakat dengan pertimbangan Majelis Hakim bahwa antara Turut Tergugat dan Para Tergugat telah dengan jelas terdapat suatu perjanjian kerja untuk bekerja sebagai sopir di PO Bus Ladju dengan sistem bagi hasil, meskipun Pasal 2 Perjanjian Kerja tersebut menyatakan bahwa hubungan hukum yang terjadi adalah mitra kerja. Hal ini disebabkan terpenuhinya unsur perintah dan imbalan dalam perkara ini yang menandakan adanya hubungan buruh dan majikan. Penulis juga sepakat dengan pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa
49
Agustina, Rosa, et al, Hukum Perikatan (Law of Obligations), (Denpasar: Pustaka Larasan, 2012),
hlm. 164.
Pertanggungjawaban atas perbuatan ..., Rayhana S., FH UI, 2014
Para Tergugat bertanggung jawab atas perbuatan Turut Tergugat dan meghukum Para Tergugat bertanggung jawab secara tanggung renteng. Namun, Penulis tidak sepakat mengenai besarnya ganti rugi. Kerugian yang dikabulkan adalah sebesar kerusakan motor anak Para Penggugat. Berdasarkan Pasal 1370 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebagai PO Bus Ladju tentu dapat memberikan ganti rugi yang lebih baik untuk membawa Para Penggugat ke keadaan semula sebelum kecelakaan terjadi. Selain itu, berdasarkan Pasal 235 ayat (1) UULLAJ, seharunya PO Bus Ladju memiliki kewajiban untuk membayar biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman. Namun, biaya ini tidak dikabulkan karena majelis hakim menilai kurangnya bukti yang diajukan. Majelis hakim juga belum mempertimbangkan kedudukan hukum perjanjian pengalihan risiko antara Para Tergugat dengan Turut Tergugat. Majelis Hakim hanya mempertimbangkan mengenai hubungan kerja.
Kesimpulan Lingkup pertanggungjawaban yang dimiliki oleh pemilik kendaraan, pengemudi, dan perusahaan angkutan umum dalam suatu kecelakaan lalu lintas dapat ditinjau berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan UULLAJ. Pertanggungjawaban pengemudi Bus Ladju adalah pertanggungjawaban atas kesalahan berdasarkan Pasal 1365 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Sedangkan perusahaan angkutan umum dan pemilik kendaraan bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan pekerjanya secara tanggung gugat berdasarkan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 234 UULLAJ disebabkan adanya hubungan majikan dan bawahan atau doktrin Vicarious Liability. Suatu
perjanjian
pengalihan
risiko
bukanlah
suatu
dasar
penghapus
pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum yang dikenal di dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata, doktrin, dan UULLAJ. Perusahaan angkutan umum tidak dapat mengemukakan suatu perjanjian pengalihan resiko sebagai dasar pembenar karena pembatasan tanggung jawab ini bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia. Dibandingkan dengan sistem hukum Common Law, Indonesia belum memiliki ketentuan hukum yang jelas yang mengatur kedudukan suatu perjanjian pembatasan tanggung jawab sebagai dasar pembenar perbuatan melawan hukum.
Pertanggungjawaban atas perbuatan ..., Rayhana S., FH UI, 2014
Majelis Hakim telah memberikan putusan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam perkara ini dengan menerapkan tanggung gugat perusahaan angkutan umum dan pemiliknya. Namun, majelis hakim belum mempertimbangkan mengenai perjanjian pengalihan risiko yang dibuat perusahaan angkutan umum untuk membatasi tanggung jawab dan tidak menerapkan Pasal 235 ayat (1) UULLAJ dalam pemberian ganti kerugian bagi korban.
Saran Diperlukan suatu peraturan tertulis di Indonesia yang melarang dan menjelaskan keberadaan perjanjian pengalihan risiko yang dilakukan perusahaan terhadap bawahannya. Misalnya melalui undang-undang di bidang lalu lintas atau bidang ketenagakerjaan. Pengaturan ini harus memperhatikan kekhususan penyelenggaraan angkutan umum yang memiliki risiko tinggi terhadap keselamatan pihak ketiga. Majelis Hakim dalam menentukan ganti kerugian bagi korban dalam kecelakaan lalu lintas, seharusnya dapat menerapkan aturan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan. Selain itu, perlu diperhatikan kemampuan para pihak dan rasa keadilan dalam menentukan pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan korban jiwa.
Daftar Referensi Agusmidah. (2010). Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Dinamika dan Kajian Teori. Cet.1. Bogor: Ghalia Indonesia. Agustina, Rosa. (2003). Perbuatan Melawan Hukum. Cet. 1. Jakarta: Program Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Pascasarjana
Agustina, Rosa. Et al. (2012). Hukum Perikatan (Law of Obligations). Denpasar: Pustaka Larasan. Badrulzaman, Mariam Darus. (2005). Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni. Djojodirdjo, Moegni. (1982). Perbuatan Melawan Hukum Tanggung Gugat untuk Kerugian yang Disebabkan Karena Perbuatan Melawan Hukum. Cet.2. Jakarta: Pradnya Paramita.
Pertanggungjawaban atas perbuatan ..., Rayhana S., FH UI, 2014
Fuady, Munir. (2002). Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer. Cet. 1. Bandung: Citra Aditya Bakti. Pannet, A.J. (1992). Law of Torts. 6th Ed. London: Pitman Publishing. Shofie, Yusuf. (2003). Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya. Bandung: Citra Adiyta Bakti. Soekanto, Soerjono. (1986). Pengantar Penelitian Hukum. Cet.3. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Statsky, William P. (2012). Essentials of Torts. 3rd Edition. New York: DELMAR CENGAGE Learning. Tim Pengajar Hukum Perburuhan FHUI. (2012). Buku Kuliah : Hukum Perburuhan. Depok: FHUI. Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi. (2003). Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang. Cet.1. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 2008. Indonesia. Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. UU No. 22 Tahun 2009. LN Tahun 2009 No. 96. TLN No. 5025. Indonesia. Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279. Larson, Aaron. “Employer Liability Resulting From Motor Vehicle Accidents”. http://www.expertlaw.com/library/car-accidents/employer-liability.html#4. Diakses 22 Desember 2014. .“Owner Liability in Car Accident.” http://www.expertlaw.com/library/car-accidents/owner-liability.html. Diakses 22 desember 2014. Conn, Deanna N. “When Contract Should Preempt Tort.” New York: Fordham Journal of Corporate & Financial Law, Vol. 15, 2009. Nasution, Krisnadi. “Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut terhadap Penumpang Bus Umum.” Mimbar Hukum Vol. 26, No. 1 (Februari 2014). Sitorus, Lily Evelina. “Release and Discharge Sebagai Alternatif Penyelesaian Masalah (Studi Kasus Kebijakan Penyelesaian BLBI).” Tesis Magister Sains (M.Si) dalam Bidang Kriminologi Universitas Indonesia. Depok, 2009.
Pertanggungjawaban atas perbuatan ..., Rayhana S., FH UI, 2014
Pertanggungjawaban atas perbuatan ..., Rayhana S., FH UI, 2014