Pengaruh Pemberian Infusa Daun Sukun (Artocarpus altlis) Terhadap Kadar Bilirubin Serum Tikus (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley yang Diiinduksi Karbon Tetraklorida
Nisa Kartika Komara1 , Setiorini2 , dan Dadang Kusmana3 1.
Departeman Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, 16424, Indonesia
[email protected]
Abstrak Penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh infusa daun sukun (Artocarpus altilis) terhadap kadar bilirubin serum tikus putih yang diinduksi CCl4. Pengambilan darah tikus dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu sebelum perlakuan, setelah induksi CCl4, dan satu jam setelah pemberian infusa daun sukun. Kadar bilirubin yang diukur untuk penelitian adalah bilirubin total dan bilirubin direct. Tiga puluh ekor tikus dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu kelompok kontrol normal (KK1), kelompok kontrol perlakuan yang diinduksi CCl4 (KK2), dan kelompok perlakuan yang diinduksi CCl4 dan infusa daun sukun dengan dosis 2,7 g/kg BB tikus; 5,4 g/kg BB tikus; dan 10,8 g/kg BB tikus. Bahan uji diberikan sebanyak 4 kali dalam kurun waktu 48 jam. Hasil uji anava (P>0,05) menunjukkan bahwa adanya pengaruh pemberian infusa daun sukun terhadap rerata kadar bilirubin total dan direct pada semua kelompok perlakuan. Hasil penelitiaan menunjukkan bahwa dosis 10,8 g/kg BB tikus dapat menurunkan rerata kadar bilirubin total (0,56 mg/dL) dan direct (0,47 mg/dL) yang paling optimum hingga mendekati dosis pada kontrol normal. Kata Kunci : Bilirubin direct , bilirubin total, Infusa daun sukun, karbon tetraklorida
Effects of Breadfruit Leaf Infusion (Artocarpus altilis) Intake on Serum Bilirubin Levels Induced by CCl4 in Male Sprague Dawley Rat (Rattus norvegicus) Abstract The present of study was done to determine the effects of breadfruit leaf infusion intake on serum biliribun value in male Sprague Dawley rat which induced by CCl4. Bilirubin levels were measured for 3 times, before treatment, 12 hours after CCl4- induced, and one hour after the last intake of breadfruit leaf infusion. The value of bilirubin serum which measured for this research are total bilirubin and direct bilirubin. Thirty male of rats were divided into 5 groups, consisting of normal control group (KK1), treatmant control group which induced by CCl4 (KK2), and treatmant group which induced by CCl4 and administrated with 3 doses of bread fruit infusion; 2,7 g/kg bw; 5,4 g/kg bw, and 10,8 g/kg bw (KP1, KP2, and KP3) respectively. Infusion of breadfruit leaf was given orally and administrated for four times in 48 hours. Anava test (P>0,05) shows that infusion of breadfruit leaf have an effect to total bilirubin and direct bilirubin in all three doses groups. Dose of 10,8 g/kg bw can decrease the
Pengaruh pemberian infusa ..., Nisa Kartika Komara, FMIPA UI, 2014
rate of total bilirubin (0,56 mg/dL) and direct bilirubin (0,47 mg/dL) near to normal level in normal control group. Its conclude that administration of breadfruit leaf infusion have an optimum dose at 10,8 g/kg bw. Keywords : CCl4, direct bilirubin, infusion of bread fruit, total bilirubin Pendahuluan Penyakit hati merupakan salah satu penyebab kematian terbesar di berbagai negara. Salah satu contoh penyakit tersebut adalah hepatitis. Menurut World Health Organization atau WHO (2014: 1), 1,4 juta orang di dunia meninggal setiap tahunnya akibat penyakit tersebut. Penderita penyakit tersebut di Indonesia mencapai 23 juta jiwa per tahunnya dan sekitar 50.000 jiwa di antaranya mengalami kematian (Riskesdas 2013: 5). Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) menyatakan bahwa penderita hepatitis di Indonesia berada pada peringkat ketiga di dunia (Depkes RI 2014: 2). Penyakit kerusakan hati dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain, bakteri, virus, dan pajanan senyawa kimia (Price dkk. 2004: 426—433). Pajanan senyawa kimia dapat merusak hati dengan cara membentuk molekul yang sangat reaktif. Molekul yang bersifat sangat reaktif tersebut adalah radikal bebas. Radikal bebas merupakan molekul reaktif yang memiliki elektron tidak berpasangan dan tidak stabil (Droge 2002: 52). Molekul tersebut dapat merusak membran sel hati dengan cara mengikat molekul stabil terdekat dan mengambil elektronnya sehingga akan menyebabkan reaksi berantai (Proctor dkk. 1994: 182). Membran sel hati memiliki peran yang penting dalam melawan efek dari radikal bebas (Halliwell 1987: 360). Membran tersebut disusun oleh lipoprotein, asam lemak tak jenuh, protein, glikolipid, glikoprotein, dan kolesterol (Johnson 2001: 56—57). Dari beberapa penyusun membran tersebut terdapat asam lemak tak jenuh yang merupakan molekul yang paling rentan terhadap pajanan radikal bebas. Pajanan radikal bebas terhadap molekul tersebut dapat memicu terjadinya reaksi peroksidasi lipid yang akan menyebakan degradasi membran sel hati (Berg dkk. 2001: 48) Penyakit hati dapat disembuhkan dengan berbagai cara, antara lain, melakukan transplantasi hati dan mengonsumsi obat-obatan sintetis ataupun bahan alam. Pengobatan dengan cara mengonsumsi obat-obatan sintetis secara terus menerus memiliki efek samping yang cukup berbahaya pada hati, antara lain dapat meningkatkan gangguan pada fungsi hati (Dalimartha 2008: 6; Tjokronegoro & Baziad 1992: 28). Selain itu, pengobatan melalui transplantasi hati hanya dapat dilakukan untuk tingkat kerusakan hati yang berat (KEMENKES R1 2007: 18). Oleh karena itu, pengobatan dengan bahan-bahan alam yang
Pengaruh pemberian infusa ..., Nisa Kartika Komara, FMIPA UI, 2014
memiliki efek kuratif terhadap kerusakan hati dapat menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat (Nilawati dkk. 2008: 24--25). Bahan alam dapat dijadikan alternatif pengobatan karena mudah didapat dan memiliki efek samping yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan obat-obatan sintetik (Tjokronegoro & Baziad 1992: 28). Salah satu bahan alam yang dapat digunakan sebagai obat adalah tanaman sukun (Ragone 2007: 34). Tanaman sukun (Artocarpus altilis) merupakan salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk mengobati penyakit hati. Semua bagian yang terdapat dalam tanaman sukun dapat dimanfaatkan untuk pengobatan terutama pada bagian daun (Sikarwar 2014: 91).Tanaman tersebut memiliki khasiat untuk mengobati beberapa penyakit, seperti penyakit kulit, liver, diabetes, tekanan darah tinggi, dan demam. Daun sukun merupakan salah satu bagian yang banyak dimanfaatkan, salah satunya di India untuk pengobatan diabetes, tekanan darah tinggi, dan asma (Ragone 1997: 37). Daun sukun mengandung beberapa senyawa aktif , di antaranya flavonoid, polifenol, asam hidrosianat, asetilcolin, tanin, riboflavin, phenol, quercetin, camporol, dan artoindonesianin (Utami dkk. 2013: 76). Senyawa-senyawa tersebut diduga memiliki efek preventif dan kuratif terhadap kerusakan hati yang diakibatkan oleh radikal bebas (Alarami dkk. 2013: 39). Efek tersebut bekerja dengan cara, antara lain menangkap radikal bebas lalu membebaskan atom hidrogen dari gugus hidroksilnya (Indrowati 2005: 7). Penelitian (Atmaja dkk. 2010: 41) menunujukkan bahwa pemberian infusa daun sukun dengan dosis 13,5 g/kg BB, 27 g/kg BB, dan 54 g/kg BB selama 7 hari berturut-turut telah terbukti memiliki efek hepatoprotektif. Efek hepatoprotektif merupakan suatu upaya pencegahan (preventive) kerusakan hati yang diakibatkan oleh pengaruh toksik (Lahon & Das 2011: 13). Penelitian hepatoprotektif dilakukan dengan cara memberikan bahan uji terlebih dahulu sebelum hewan uji diinduksi dengan senyawa toksik (Untari 2014: 3). Namun, penelitian mengenai potensi kuratif infus daun sukun pada tikus putih belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian mengenai potensi efek kuratif pada daun sukun perlu dilakukan. Penelitian mengenai efek kuratif infus daun sukun dilakukan dengan memberikan senyawa hepatotoksik terlebih dahulu, sebelum hewan uji diberikan bahan alam yang diduga memiliki potensi untuk memperbaiki atau mengobati kerusakan hati (Ilyas 1991: 19; Vijay dkk. 2012: 753). Senyawa hepatotoksik yang dapat digunakan untuk menginduksi kerusakan hati adalah karbontetraklorida (CCl4). Karbon tetraklorida merupakan zat radikal bebas yang bersifat reaktif dan lazim dipakai sebagai penginduksi kerusakan hati (Panjaitan dkk. 2007: 12). Senyawa tersebut akan mengalami bioaktivasi didalam hati, sehingga membentuk suatu
Pengaruh pemberian infusa ..., Nisa Kartika Komara, FMIPA UI, 2014
radikal bebas yang reaktif (Jeong 1998: 163). Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid yang merusak membran sel hati (Basu 2003: 113). Penelitian mengenai efek kuratif infus daun sukun dilakukan untuk melihat potensi dari infus daun sukun dalam memperbaiki ataupun mengobati kerusakan hati. Kerusakan hati dapat dilihat dari beberapa parameter salah satunya adalah kadar bilirubin (Singh 2011: 4). Kadar bilirubin yang diukur untuk penelitian ini adalah bilirubin total dan direct. Bilirubin merupakan hasil pemecahan sebagian hem yang berasal dari sel darah merah yang sudah tua (Wang dkk. 2006: 71). Kadar bilirubin akan meningkat jika sel hati mengalami kerusakan yang dapat disebabkan adanya radikal bebas yang merusak membran sel hati, sehingga jumlah bilirubin di dalam darah akan meningkat (Panjaitan 2007:13; Singh dkk. 2011: 7). Pra penelitian mengenai efek kuratif infusa daun sukun (Artocapus altilis) tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley yang diinduksi CCl4 dibagi menjadi 3 sub penelitian, yaitu pengaruh terhadap kadar bilirubin, SGPT-SGOT, dan ALP. Dosis infusa daun sukun yang digunakan mengacu pada penelitian Atmaja dkk. (2010: 27), yaitu 1,35 g/kg BB tikus; 2,7 g/kg BB tikus; 5,4 g/kg BB tikus, dan 10,8 g/kg BB tikus. Dosis tersebut diperoleh dari hasil konversi manusia ke tikus, sehingga dihasilkan dosis sebesar 1,35 g/kg BB tikus (Lampiran 1). Pemberian infus daun sukun dilakukan selama 48 jam dengan selang waktu 12 jam. Hal tersebut diakukan karena hati akan mengalami regenerasi dengan sendirinya setelah 48—72 jam dari penginduksian CCl4 (Kovalovich dkk. 2000: 150). Pengulangan pemberian bahan uji dilakukan setiap 12 jam dalam kurung waktu 48 jam, sehingga pemberian bahan uji berjumlah empat kali (Ilyas 1991: 19). Hal tersebut dapat dilakukan karena lambung dari tikus yang diberikan makanan dan minuman secara ad libitum akan terisi secara maksimum di akhir siklus gelap dan minimum di akhir siklus terang. Siklus gelap dan siklus terang tersebut memiliki interval sebesar 12 jam (Krinke 2000: 468). Selain itu, dalam kurung waktu 12 jam CCl4 sudah dapat meberikan efek kerusakan berupa nekrosis di sel hati (Slater 1985: 645; Krinke 2000: 468). Hal tersebut menyebabakan keluarnya zat-zat dari sel hati ke dalam aliran darah, seperti enzim dan bilirubin (Singh dkk. 2011: 7). Pengambilan sampel darah tikus kemudian dilakukan tiga kali, yaitu sebelum pemberian perlakuan, 12 jam setelah penginduksian CCl4, dan 1 jam setelah pencekokan infusa daun sukun yang terakhir. Pengambilan darah 1 jam setelah pencekokan infusa daun sukun yang terakhir dilakukan untuk memberi waktu pada infusa daun sukun terdistribusi merata dalam tubuh (Tukan 2003: 41). Serum darah yang diambil kemudian diamati berdasarkan kadar bilirubin pada 30 ekor tikus.
Pengaruh pemberian infusa ..., Nisa Kartika Komara, FMIPA UI, 2014
Hasil pra-penelitian dari 18 ekor tikus menunjukkan bahwa infusa daun sukun berpotensi memiliki efek kuratif terlihat dari adanya penurunan kadar bilirubin total pada setiap kelompok perlakuan dengan tiga ulangan apabila dibandingkan dengan kontrol positif (KK2). Kelompok perlakuan (KP1, KP2, KP3, dan KP4) dengan dosis 1,35 g/kg BB tikus (KP1); 2,7 g/kg BB tikus (KP2); 5,4 g/kg BB tikus (KP3) dan 10,8 g/kg BB tikus (KP4) secara berturut-turut mengalami penurunan kadar bilirubin total sebesar 27,9%; 29,0%; 37,2% dan 47,6% dibandingkan dengan kontrol postif (KK2). Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis infusa daun sukun yang diberikan, maka persentase penurunan semakin besar. Hasil presentase KP1 dengan KP2 menunjukkan hampir tidak adanya perbedaan, sehingga dosis infusa daun sukun yang digunakan dalam penelitian, yaitu 2,7 mg/kg BB, 5,4 mg/kg BB, dan 10,8 mg/kg BB. Penelitian yang akan dilakukan bertujuan untuk mengetahui efek kuratif infusa daun sukun dengan dosis 2,7 g/kg BB tikus; 5,4 g/kg BB tikus, dan 10,8 g/kg BB tikus terhadap penurunan kadar rerata bilirubin serum pada tikus yang diinduksi CCl4 dosis 280 mg/kg BB tikus. Penelitian ini diharapkan mampu membuktikan manfaat dari daun sukun dalam menurunkan kadar bilirubin secara efisien, sehingga dapat digunakan untuk pengobatan alternatif penyakit hati dengan bahan alam yang tepat dan teruji secara praklinis. Hipotesis dari penelitian ini adalah pemberian infusa daun sukun (Artocarpus altilis) dengan dosis 2,7 g/kg BB, 5,4 g/kg BB, dan 10,8 g/kg BB dapat memberikan efek kuratif terhadap kadar bilirubin serum tikus jantan yang diinduksi CCl4. Tinjauan Teoritis Tanaman sukun (Artocarpus altilis) merupakan tanaman yang banyak ditemukan di Indonesia dan telah banyak digunakan sebagai obat tradisional (Rostinawati dkk. 2009: 10). Tanaman sukun merupakan tanaman yang tergolong ke dalam tanaman tropik yang hidup di dataran rendah (Deivanai & Bhore 2010: 419). Selain di dataran rendah, tanaman sukun juga dapat hidup di berbagai tempat karena memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya (Harmanto 2012: 14). Tanaman sukun merupakan salah satu tanaman yag memiliki banyak manfaat. Hampir seluruh bagian dari tanaman sukun mulai dari batang, daun, bunga, buah, dan akar memiliki khasiat. Hal tersebut dikarenakan pada setiap bagian dari tanaman sukun mengandung zat-zat yang berkhasiat (Sikarwar 2014: 91). Daun sukun merupakan bagian tanaman sukun yang banyak digunakan sebagai obat karena kandungannya yang berkhasiat. Daun sukun mengandung beberapa senyawa aktif, seperti polifenol, saponin,
Pengaruh pemberian infusa ..., Nisa Kartika Komara, FMIPA UI, 2014
flavonoid, artoindonesianin, asam hidrosianat, asetilkolin, tanin, riboflavin, quercetin, dan champorol (Utami dkk 2013: 77--78). Menurut (Syah dkk. 2006: 1), dua senyawa turunan geranil dari hidrokalkon dan flavonon berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari ekstrak metanol daun sukun yang terdapat di daerah jawa. Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh yang terletak di atas rongga perut. Organ tersebut memiliki berat sekitar 1400 gram pada orang dewasa sedangkan 8,4—117 gram pada tikus (Tortora & Derrickson 2008: 945; Piao dkk. 2013: 30). Hati manusia terdiri atas dua lobus utama, yaitu lobus dekstra dan lobus sinistra, sedangkan lobus median, lateral dekstra, lateral sinistra, dan kaudatus pada tikus (Yannas 2005: 105; Tortora & Derrickson 2008: 945). Hati memiliki fungsi, diantaranya adalah mendetoksifikasi racun di dalam tubuh kemudian zat yang mengandung racun akan dimodifikasi oleh hati dan dibuat menjadi inaktif sehingga dapat diekskresikan oleh ginjal (Wijayakusuma 2008: 5). Zat racun yang masuk ke dalam tubuh tersebut dapat merusak jaringan hati. Kerusakan tersebut dapat diperbaiki karena hati memiliki kemampuan untuk meregenerasi selnya yang rusak (Junquiera 1997: 330— 331). Hal tersebut merangsang sel-sel hati untuk membelah hingga jaringan aslinya terbentuk kembali (Junquiera dkk. 1997: 354). Hati akan memulai proses regenerasi setelah 48--72 jam dari terjadinya kerusakan (Kovalovich dkk. 2000: 150). Jaringan hati kemudian akan kembali normal seperti belum terjadi kerusakan dalam waktu 2 minggu (Orfei 2008: 16) . Bilirubin merupakan hasil pemecahan sebagian heme dari hemoglobin yang berasal dari sel darah merah yang sudah tua (Wang dkk. 2006: 71). Bilirubin dapat bersifat toksik tetapi secara normal dapat dijadikan menjadi tidak berbahaya dengan cara berikatan dengan albumin, kemudian dikonjugasikan dan disekresikan oleh hati (Roy dkk. 2001: 3070). Bilirubin akan menyebabkan empedu menjadi berwarna kuning. Di dalam saluran cerna, pigmen tersebut dimodifikasi oleh enzim-enzim bakteri menghasilkan warna coklat pada feses. Pada keadaan normal, sebagian kecil bilirubin direabsorpsi oleh usus dan kembali ke darah yang kemudian diekskresikan ke urin sehingga urin menjadi berwarna kuning. Ginjal tidak dapat mengekskresikan bilirubin sebelum dimodifikasi di dalam hati dan usus (Sherwood 2007: 674). Bilirubin dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu bilirubin terkonjugasi (direct) dan bilirubin tak terkonjugasi (indirect) (Pirone dkk. 2009: 2830). Karbon tetraklorida yang masuk ke dalam hati akan mengalami suatu proses biotransformasi. Mekanisme dari biotransformasi yang paling utama terjadi pada fase I dengan enzim sitokrom P-450 yang mengkatalis reaksi tersebut (Gibson & Skett 1991: 80).
Pengaruh pemberian infusa ..., Nisa Kartika Komara, FMIPA UI, 2014
Proses biotransformasi CCl4 pada fase I akan dimetabolisme oleh enzim sitokrom P-450 menjadi radikal bebas triklorometil (CCl3-) yang bersifat lebih reaktif. Radikal bebas triklorometil kemudian akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal trikolometil peroksi (CCl3OO-) yang sangat rekatif. Radikal tersebut kemudian akan berikatan dengan asam lemak tak jenuh pada membran sel hati sehingga menyebabkan peroksidasi lipid yang akan menghancurkan sel PUFA (polyunsaturated fatty acid) pada fosfolipid. Hal tersebut menyebabkan kerusakan pada mebran sel hati, sehingga sel hati menjadi pecah ((Panjaitan dkk. 2007: 1; Eswaraiah & Satyanarayana 2010: 29). Menurut (Slater 1985: 645) dalam kurung waktu 12 jam CCl4 sudah dapat memberikan efek kerusakan hati pada hewan uji. Setelah itu, dalam jangka waktu 24—48 jam setelah penginduksian CCl4 kerusakan akut pada hati akan terjadi dan menyebabkan nekrosis sentrilobular. Nekrosis sentrilobular tersebut akan menyebabkan setengah bagian dari lobulus hati mengalami kerusakan (Slater 1985: 645; Zimmerman 1999: 229&233). Metode Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2015--April 2015. Pemeliharaan hewan uji dilakukan di Rumah Hewan, FMIPA-UI Depok dan pemeriksaan kadar bilirubin serum dilakukan di Laboratorium Klinik Bahar Jl. Dewi Sartika No. 36, Depok Lama. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian berjumlah 30 ekor yang dibagi menjadi 5 kelompok dengan 6 pengulangan pada masing-masing kelompok. Kelompok hewan uji dibagi menjadi kelompok kontrol normal (KK1), kelompok kontrol perlakuan yang diinduksi CCl4 (KK2), dan kelompok perlakuan yang diinduksi CCl4 dan infusa daun sukun dengan dosis 2,7 g/kg BB tikus; 5,4 g/kg BB tikus; dan 10,8 g/kg BB tikus. Peralatan yang diperlukan untuk pemeliharaan antara lain kandang (50x30x20) cm3, tutup kandang yang terbuat dari anyaman kawat dengan jarak 0,5 cm, serbuk kayu sebagai alas kandang, marker pen [Snowman], timbangan digital [Krischef], exhaust fan [National], lampu tube lamp 20 watt [Phillips], pengatur cahaya otomatis, tempat makan plastik, dan botol minum.Peralatan yang digunakan untuk pembuatan infus dan larutan CCl4 meliputi batang pengaduk, labu takar 10 ml, 25 ml, dan 100 ml [Pyrex], penangas air [Fisher thermix], bunsen, termometer, pipet tetes, oven, blender [Miyako], pisau, saringan halus, kain flanel, dan timbangan analitik digital [Precisa XT 220A]. Peralatan yang dibutuhkan untuk induksi CCl4 dan pemeberian infus meliputi sonde lambung (gavage needle) dan disposable syringe 1 ml dan 3 ml [Terumo]. Peralatan yang diperlukan untuk pengambilan dan pengukuran serum
Pengaruh pemberian infusa ..., Nisa Kartika Komara, FMIPA UI, 2014
darah antara lain pipet hematokrit [Marienfeld], tabung sentrifugasi, eppendorf tube 2 ml, ice box, kuvet [Pyrex], sentrifugator [Health HC1160T Centrifuge], pipet mikro 500µl, 50µl, 20µl,dan 10µl [Clinipette], spektrofotometer [Zenix-188], dan timer. Peralatan lain yang dibutuhkan antara lain marker pen, kertas label, kapas, dan tisu. Bahan uji yang digunakan adalah daun sukun (Artocarpus altilis) yang diambil dari pohon sukun di kawasan Perpustaakan Pusat, Universitas Indonesia, Depok. Hewan uji yang digunakan adalah Rattus norvegicus (tikus putih) jantan galur Sprague Dawley sebanyak 30 ekor. Rattus norvegicus yang digunakan berumur sekitar 2--3 bulan dengan berat badan antara 150--175 gram yang didapat dari Bagian Nonruminansia dan Satwa Harapan Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor, Jawa Barat. Makanan untuk hewan uji berupa pelet dan minuman berupa air matang yang diberikan secara ad libitum. Bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi kerusakan hati tikus adalah karbon tetraklorida (CCl4) dan minyak zaitun [Bertolli extra virgin] sebagai pelarut. Bahan kimia lain yang digunakan dalam penelitian adalah larutan desinfektan [Bayclin], larutan asam pikrat 10%, alkohol 70%, akuades, eter, EDTA 10% per 100 ml, dan reagen-reagen yang digunakan untuk perhitungan kadar bilirubin serum. Penelitian diawali dengan aklimatisasi pada 30 ekor tikus. Setelah aklimatisasi dilakukan pengambilan darah awal untuk bilirubin total dan direct. Kemudian , pengukuran kadar bilirubin total dan direct dilakukan di Klinik Bahar. Setelah itu dilanjutkan dengan pembuatan larutan CCl4. Pembuatan larutan tersebut dilakukan dengan cara mencampurkan 0,18 ml CCl4 ke dalam labu takar yang kemudian ditambahkan dengan minyak zaitun hingga 10 ml. Setelah 12 jam dari penginduksian CCl4 infusa daun sukun diberikan, dengan dosis 2,7 g/kg BB; 5,4 g/kg BB; dan 10,8 g/kg BB. Pembuatan infusa daun sukun dilakukan setiap hari dan pemberian infusa daun sukun diberikan sebanyak 4 kali dalam kurun waktu 48 jam. Setelah itu, pengambilan darah terakhir dilakukan satu jam setelah pemebrian infusa daun sukun yang terakhir. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1.
Uji Kualitatif Flavonoid Infusa Daun Sukun Uji flavonoid infusa daun sukun menunjukkan bahwa Artocarpus altilis positif
mengandung flavonoid. Hal tersebut dilihat dari perubahan warna yang terjadi, yaitu menjadi hartal coklat. Hasil tersebut sesuai dengan (Tjandra dkk. 2013: 13) yang menyatakan bahwa
Pengaruh pemberian infusa ..., Nisa Kartika Komara, FMIPA UI, 2014
perubahan warna yang terjadi apabila positif flavonoid adalah jingga hingga kecoklatan. Sebagian besar flavonoid memiliki struktur yang dapat berikatan pada suatu gula, yaitu βGlikosida. Struktur tersebut bersifat hidrofilik sehingga dapat bereaksi dengan air (Hollman 2004: 75). Oleh karena itu, flavonoid dapat terdeteksi pada infusa daun sukun dilihat dari adanya perubahan warna.
2.
Pengambilan kadar bilirubin total dan direct awal Pengambilan kadar bilirubin total dan direct awal dilakukan sebelum diberikan
perlakuan. Hal tersebut bertujuan untuk membuktikan bahwa kadar bilirubin total dan direct pada kelompok normal dan perlakuan dalam kondisi yang normal dan seragam. Hasil pengambilan darah awal sebelum diberi perlakuan terhadap rerata kadar bilirubin total pada KK1, KK2, KP1, KP2, dan KP3 berturut-turut adalah (0,39 ± 0,09) mg/dL; (0,29 ± 0,06) mg/dL; (0,31 ± 0,05) mg/dL; (0,33 ± 0,06) mg/dL; dan (0,29 ± 0,05) mg/dL, sedangkan kadar bilirubin direct beturut-turut adalah (0,31 ± 0,05) mg/dL; (0,22 ± 0,04) mg/dL; (0,25 ± 0,03) mg/dL; (0,28 ± 0,05) mg/dL; dan (0,25 ± 0,04) mg/dL. Menurut (Sihombing & Raflizar 2010: 37) menyatakan bahwa rentang kadar normal untuk bilirubin total tikus adalah 0,00—0,55 mg/dL, sedangkan bilirubin direct 0,00—0,3 mg/dL (Thapa & Walia 2007: 664). Oleh karena itu, data yang didapatkan pada awal sebelum diberi perlakuan masuk ke dalam rentang normal. Berdasarkan uji normalitas dan homogenitas data tersebut telah terbukti terdistribusi normal dan mempunyai variansi yang homogen. Selain itu, uji ANAVA-1 menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan kadar bilirubin total dan direct pada awal penelitian (Lampiran 10; P>0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa kadar bilirubin total dan direct pada hewan uji berada dalam kondisi awal yang seragam. Kondisi awal yang seragam membuktikan bahwa kelompok kontrol normal (KK1) respresentatif untuk digunakan sebagai pembanding dengan kelompok lainnya.
3.
Pengambilan kadar bilirubin total dan direct setelah induksi CCl4 Pengambilan kadar bilirubin total dan direct yang kedua dilakukan 12 jam setelah
induksi CCl4. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa CCl4 telah memberikan efek kerusakan terhadap hati. Penginduksian CCl4 dilakukan pada KK2, KP1, KP2, dan KP3, sedangkan KK1 hanya diberikan minyak zaitun. Hasil pengambilan darah 12 jam setelah
Pengaruh pemberian infusa ..., Nisa Kartika Komara, FMIPA UI, 2014
induksi CCl4 terhadap rerata kadar bilirubin total pada KK2, KP1, KP2, dan KP3 berturutturut adalah (0,82 ± 0,1) mg/dL; (1,11 ± 0,2) mg/dL; (1,02 ± 0,13) mg/dL; dan (0,84 ± 0,15) mg/dL, sedangkan kadar bilirubin direct beturut-turut adalah (0,77 ± 0,18) mg/dL; (0,9 ± 0,09) mg/dL; (0,89 ± 0,06) mg/dL; dan (0,77 ± 0,13) mg/dL. Uji ANAVA-1 menunjukkan adanya perbedaan yang nyata terhadap data kadar bilirubin total dan direct setelah induksi CCl4 (Lampiran 16 & 20). Uji LSD juga menunjukkan bahwa KK1 berbeda nyata dengan KK2, KP1, KP2, dan KP3. Selain itu, KK2, KP1, KP2, dan KP3 menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar kelompok-kelompok tersebut. Hasil tersebut menunjukkan bahwa KK2, KP1, KP2, dan KP3 mengalami kerusakan yang seragam setelah 12 jam penginduksian CCl4. Presentase kenaikan KK2, KP1, KP2, dan KP3 kadar bilirubin total dan direct apabila dibandingkan dengan KK1 secara berturut-turut adalah 95,2%, 164%, 142%,100% dan 92%, 125%, 122%, dan 92%. Kenaikan dari kadar bilirubin tersebut menunjukkan bahwa CCl4 telah berhasil menginduksi kerusakan hati. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian (Singh dkk. 2014: 804) yang memperlihatkan adanya peningkatan dari kadar bilirubin setelah induksi CCl4. Kerusakan hati yang terjadi disebabkan oleh CCl4 yang masuk ke dalam tubuh dan berubah menjadi radikal bebas. Karbon tetraklorida akan di ubah menjadi radikal triklorometil (CCl3-) oleh enzim sitokrom P-450 di dalam retikulum endoplasma hati. Triklorometil kemudian akan berikatan dengan oksigen membentuk radikal yang lebih reaktif, yaitu triklorometil peroksi (CCl3O2-) (Slater 1985: 634). Radikal tersebut akan membentuk suatu reaksi berantai yang menyerang asam lemak tak jenuh pada membran sel hati sehingga terjadi peroksidasi lipid (Repetto dkk. 2012: 3&4). Kerusakan yang terjadi pada hepatosit menyebabkan bilirubin keluar menuju aliran darah dan kadar bilirubin direct dan total di dalam darah meningkat (Panjaitan dkk. 2007: 11—12). 4.
Pengambilan kadar bilirubin total dan direct akhir Pengambilan kadar bilirubin total dan direct yang terakhir dilakukan 1 jam setelah
pemberian infusa daun sukun yang terkahir. Pengambilan darah 1 jam setelah pencekokan infusa daun sukun yang terakhir dilakukan untuk memberi waktu pada infusa daun sukun terdistribusi merata dalam tubuh. Hasil pengambilan akhir terhadap rerata kadar bilirubin total pada KK1, KK2, KP1, KP2, dan KP3 berturut-turut adalah (0,44 ± 0,05) mg/dL; (1,01 ± 0,08) mg/dL; (0,82 ± 0,14) mg/dL; (0,78 ± 0,13) mg/dL; dan (0,56 ± 0,09) mg/dL, sedangkan kadar bilirubin direct beturut-turut adalah (0,38 ± 0,06) mg/dL; (0,92 ± 0,07) mg/dL; (0,77 ± 0,13)
Pengaruh pemberian infusa ..., Nisa Kartika Komara, FMIPA UI, 2014
mg/dL; (0,68 ± 0,13) mg/dL; dan (0,47 ± 0,08) mg/dL. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kadar bilirubin total dan direct pada KP1, KP2, dan KP3 apabila dibandingkan dengan KK2 persentase penurunan sebesar 18,8%; 22,7%; dan 44,5% untuk bilirubin total serta 16,3%; 26,08%; dan 47,82% untuk bilirubin direct. Hasil tersebut menunjukkan bahawa KP3 dengan dosis 10,8 g/kg BB tikus memberikan efek penurunan terhadap kadar bilirubin total dan direct yang paling tinggi. Hasil uji ANAVA (P<0,05) menunjukkan bahwa adanya pengaruh pemberian infusa daun sukun terhadap kadar bilirubin total dan direct yang diinduksi CCl4. Selain itu, uji LSD menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan yang nyata antara KK1 dengan KP3 dan KP1 dengan KP2. Hal tersebut membuktikan bahwa KP3 memiliki kadar bilirubin total dan direct yang mendekati normal setelah pemberian infusa daun sukun. Selain itu, pada KK2 memiliki perbedaan yang nyata dengan semua kelompok perlakuan. Tabel 4.1 Kadar bilirubin total akhir Rattus norvegicus L. jantan galur Sprague-Dawley
Ulangan
Kadar bilirubin total akhir KK1
KK2
KP1
KP2
KP3
1
0.39
0.96
0.73
0.79
0.64
2
0.45
1.09
1.07
0.61
0.49
3
0.4
0.91
0.71
1
0.61
4
0.52
1.01
0.93
0.88
0.68
5
0.49
1.13
0.81
0.71
0.45
6
0.41
0.99
0.72
0.73
0.52
Rerata
0.443333
1.015
SD
0.828333 0.786667
0.052789 0.081915 0.144557 0.137502
0.565 0.091378
Pengaruh pemberian infusa ..., Nisa Kartika Komara, FMIPA UI, 2014
Tabel 4.2. Kadar bilirubin direct akhir Rattus norvegicus L. jantan galur Sprague-Dawley
Ulangan
Kadar bilirubin direct akhir KK1
KK2
KP1
KP2
KP3
1
0.3
0.86
0.7
0.59
0.58
2
0.39
0.98
0.97
0.53
0.42
3
0.33
0.82
0.63
0.87
0.57
4
0.49
0.91
0.89
0.82
0.51
5
0.43
1.04
0.78
0.65
0.36
6
0.37
0.91
0.67
0.67
0.43
Rerata
0.385
0.92
0.773333 0.688333 0.478333
SD
0.068629
0.07975
0.133367 0.131821 0.088863
Kerusakan hati dapat diperbaiki melalui peran dari antioksidan. Salah satu kandungan antioksidan yang terdapat di dalam infusa daun sukun adalah flavonoid. Pemberian infusa daun sukun dilakukan sebanyak 4 kali selama 48 jam. Hal tersebut memungkinkan terjadinya proses scavenging dan perbaikan terhadap sel hati yang dilakukan oleh flavonoid. Flavonoid bertindak sebagai scavenger dengan cara mendonorkan atom hidrogen pada gugus fenolik. Kemampuan tersebut dapat menghambat terjadinya peroksidasi lipid. Penghambatan tersebut dapat dilakukan dengan cara berikatan dengan atom H yang berada pada gugus fatty alkyl radical (R*) dan mendonorkannya atom H (Gambar 4.2.3. (2)). Proses tersebut akan menyebabkan flavonoid menjadi radikal, tetapi relatif stabil. Hal tersebut dikarenakan elektron yang tidak berpasangan dengan O2 akan mengalami delokalisasi ke dalam struktur cincin aromatik (Sandhar dkk. 2011: 28). Menurut (Wu dkk. 2006: 576) kandungan flavonoid yang terdapat dalam tanaman Laggera alata dapat bertindak sebagai scavenger dan mencegah terjadinya peroksidasi lipid terhadap tikus yang diinduksi oleh CCl4. Selain itu, menurut (Chen 2010: 8) kandungan quercetin yang merupakan turunan dari senyawa flavonoid dapat bertindak sebagai scavenger terhadap hati yang diinduksi oleh ethanol. Flavonoid dapat juuga berfungsi untuk meregenerasi sel hati yang rusak dengan cara meregulasi permebialitas dan
Pengaruh pemberian infusa ..., Nisa Kartika Komara, FMIPA UI, 2014
intregitas membran sel (Kumar & Pandey 2013: 7) serta menstimulasi terjadinya sintesis protein (Radko & Cybulski 2007: 24) . Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Amin dkk. 2010: 114) menunjukkan bahwa efek dari senyawa flavonoid, yaitu silimarin yang terdapat pada tanaman Silybum marianum dapat membantu regenerasi hati yang telah dirusak oleh CCl4 dilihat dari struktur histologi. Kesimpulan Kelompok hewan uji yang diberikan dosis 10,8 gr/kg BB tikus memberikan hasil penurunan yang terbaik apabila dibandingkan dengan KK2 dan telah mendekati kadar bilirubin normal, yaitu direct sebesar 0,47 mg/dL dan total sebesar 0,56 mg/dL. Hal tersebut menunjukkan bahwa dosis infusa daun sukun yang diberikan telah mampu memperbaiki kerusakan hati yang diinduksi oleh senyawa toksik. Selain itu, dosis 10,8 gr/kg BB tikus berdasarkan hasil merupakan dosis yang optimum karena mampu mendekati kadar bilirubin ke kisaran normal (mengacu pada KK1). Namun, jenis flavonoid yang terdapat di dalam infusa daun sukun yang dapat bertindak sebagai scavenger dan repair belum diketahui. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kandungan apa saja yang terdapat di dalam infusa daun sukun yang dapat bertindak sebagai scavenger dan repair. Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan teria kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penelitian ini, terutama kepada Ibu Dra. Setiorini, M.Kes. dan Bapak Dr. Dadang Kusmana M.Si. selaku pembimbing yang telah mengarahkan dan membimbing penulis hingga penelitian ini dapat selesai dengan baik. Daftar Referensi Alhassan, A.J., M. S. Sule, Atiku, A. M. Wudil, M. A. Dangambo, J. A. Mashi, Zaitun, & G. K. Uba. 2012. Effect of Caltropis procera aqueous root extract against CCl4 induced liver toxicity. Bajopas 5 (1): 38—43 Amin, A. M., A. H. Kazem, S. M. Hassan, E. A. Youssef, & E. M. Khalil. 2010. Effect of sylimarin on liver injury induced by carbon tetrachloride iin rats: histopathological and immunohistochemical studies. Egypt. J. Exp. Biol. (zool) 6 (1): 107—115
Pengaruh pemberian infusa ..., Nisa Kartika Komara, FMIPA UI, 2014
Alarami, A.M.J. & M.S.A. Al-Awar. 2013. Hepatoprotective and hepatocurative effects of nabk honey in penicillin-induced hepatic toxicity. Journal of Pharmaceutical and Scientific Innovation 2(5): 34—40) Atmaja, W., Sari S. P., & Azizahwati. 2010. Efek hepatoprotektif infus daun sukun (Artocarpus altilis) terhadap kerusakan hati yang diinduksi karbon tetraklorida. Majalah Ilmu Kefarmasian 7 (2): 27-42. Berg, J.M., Tymoczko, L. Stryer. 2001. Biochemistry. W.H. Freeman and company, New york: 43— 51. Dalimartha S. 2005. Ramuan tradisional untuk pengobatan hepatitis. Penebar Swadaya, Jakarta: 120 hlm. Deivanai & S. J. Bhore. 2010. Breadfruti (Artocarpus altilis Fosb.)- An underutilized neglected fruit plant species. Middle-east Journal of Scientific Research 6 (5): 418—428 Depkes RI (= Departemen Kesehatan Republik Indonesia). 1995. Farmakope Indonesia. Ed Ke-4. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta: xiii + 1290 hlm. Depkes RI (= Departemen Kesehatan Republik Indonesia). 2014. Situasi dan analisis hepatitis. 8 hlm. http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/info datin/infodatin-hepatitis.pdf, 9 Januari 2014, pk. 23.46 WIB. Eswariah, M. C. & T. Satyanarayana. 2010. Hepatoprotective activity of extract from stem of Mussaenda erythrophylla LAM. against carbon tetrachloride induced toxicity in rats. Journal of Pharmaceutical Research and Health Care 2(1): 23—31. Gibson, G. G & P. Skett. 1991. Pengantar metabolisme obat. Terj. Dari Introduction to drug metabolism, oleh Aisyah, L. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta: v + 314 hlm. Lahon, K & S. Das. 2011. Hepatoprotective activity of Ocimum sanctum alcoholic leaf extract against paracetamol-induced liver damage in Albino rats. Pharmacognosy Res 3(1): 13—18 hlm. Nilawati, S., D. Krisnatuti, B. Mahendra, & O.G. Djing. 2008. Care Yourself, koleserol. Penebar Plus, Depok: 149 hlm. Orfei, E. 2008. Review of pathology of the liver. 20 hlm. http://www.stritch.luc.edu/lumen/MedEd/orpath/pthcntnt.htm: 9 April 2015, pk. 13.24 Palanivel, M.G., B. Rajkapoor, R. S. Kumar, J. W. Einstein, E. P. Kumar, M. R. Kumar, K. Kavitha, M. P. Kumar, & B. Jayakar. 2008. Sci Pharm 76: 203--215 Panjaitan, R. G. P., E. Handharyani, Chairu, Masriani, Z. Zakiah & W. Manalu. 2007. Pengaruh Pemberian Karbon Tetraklorida terhadap Fungsi Hati dan Ginjal Tikus. Makara Kesehata 11(1): 11—16. Pirone, C., J. Quirke, E. Martin, Priestap, A. Hoerico, Lee & W. David. 2009. Journal of The American Chemical Society 131(8): 2830—2840. Price, A. Sylvia, Wilson, & M. Lorraine. 2004. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Terjemahan dari Pathophysiology Clinical Consept of Disease Processes oleh Peter Anugrah. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta: xiii + 496 hlm. Proctor P. H & Reynolds E, S. 1994. Free radicals and disease in man. Physiol Chem Phys Med 16 (2): 175-95
Pengaruh pemberian infusa ..., Nisa Kartika Komara, FMIPA UI, 2014
Ragone, Diane. 1997. Breadfruit: Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg. International Plant Genetic Resources Institute, Italy: 77 hlm. Ragone, Diane. 2007. Artocarpus altilis: Promoting the conservation and use of underutilized and neglected crops. Plant Genetic Resources Institute 37(8): 36-53. Riskesdas (=Riset Kesehatan Dasar). 2013. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2013. 362 hlm. http://www.riskesdas.litbang.depkes.go.id/, 17 september 2014, pk. 10:19 WIB. Rostinawati, T., Rani, M., & S.R. Mitha. 2009. Penelusuran Senyawa Aktif Ekstrak Daun Sukun (Artocarpus altilis) Terhadap Staphylococcus aureus, Microsporum gypseum dan Candida albicans. Skripsi-S1 Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran, Sumedang: 50 hlm. Roy C. J., A. Wolkoff & I. Arias. 2001. Heredity jaundice and disoders of bilirubin metabolism. McGraw-Hill, New York: 4256 hlm. Shandar, H.K., B. Kumar, S., Prasher, P. Tiwari, M Salhan, & P. Sharma. 2011. A review of phytochemestry and pharmacology of flavonoids. Internationale Pharmateutica Sciencea 1 (1): 25—41 Sherwood, L. 2007. Fisiologi manusia: Dari sel ke sistem 2nd ed. Terj. dari Human physiology: From cell to system, oleh B. U. Pendit. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta: xxix + 870 hlm. Sihombing, M. & Raflizar. 2010. Status gizi dan fungsi hati mencit dan tikus putih di laboratorium hewan percobaan puslitbang biomedis farmasi. Media Litbang Kesehatan XX (1): 33—40 Vijay, B. K., M. N. Begam, K. D. Sathis, Harani, Anitha. 2012. Pharmacognostical, phytochemical, antioxidant, and hepatoprotective activity on Cassia Roxburghiii. Novel Science International Journal of Pharmaceutical Science 1(11-12): 753-757. Wang, X., R.C. Jayanta & R.C. Namita. 2006. Bilirubin metabolism: Applied physiology. Current Paediatrics 16: 70—74. WHO (=World Health Organization). 2014. World hepatitis day: think again. 1 hlm. http://www.who.int/campaigns/hepatitis-day/2014/en/, 17 September 2014, pk.10.34 WIB. Wijayakusuma, H. 2008. Tumpas hepatitis dengan ramuan herbal. Pustaka Bunda, Jakarta: vi + 86 hlm. Wu, Y., F. Wang, Q. Zheng, L. Lu, H. Yao, C. Zhou, X. Wu & Y. Zhao. 2006. Hepatoprotective effect of total flavonoid from Laggera alata against carbon tertrachloride-induced injury in primary cultured neonatal rat hepatocytes and in rats with hepatic damage. Journal of biomedhical Science 13 : 569—578 Yannas, I. V. 2005. Regenertive medicine: Theories, Models, & Methode. Springer, New York: vii + 193 hlm. Singh, A., T. K. Baht., & O. P. Sharma. 2011. Clinical Biochemistry of Hepatotoxicity. J Clinic Toxicol: S4: 1-18 Singh, Dharmendra, P. V. Arya, A. Sharma, V. Prakash Aggarwal, M. P. Dobhal, & R. S. Gupta. 2014. Antioxidants 3: 798—813 Sirkarwar, M.S., B.J Hui, K. Subramaniam, B.D. Valeisamy, L. K. Yean, & K. Balaji. 2014. A Review of an Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg (breadfruit). Journal of Applied Pharmaceutical Science 4 (08) : 091—097
Pengaruh pemberian infusa ..., Nisa Kartika Komara, FMIPA UI, 2014
Slater, T.F., 1985. Carbon tetrachloride toxicity as a model for studying free radical mediated liver injury. Trans. R. Soc. Land Great Britain, 1985: 633—645. Syah, Y. M., S.A. Achmad, E. Bakhtiar. 2006. Dua Flavonoid tergeneralisasi dari daun sukun (Artocarpus altilis). Jurnal Matematika dan Sains, 11 (3): 100-104 Thapa, B. R. & Anuj, W. 2007. Liver function tests and their interpretation. Indian Journal of Pediatrics 74: 663—671. Tjandra, O. T.R. Rusliati & Zulhipri. Uji aktivitas antioksidan dan profil fitokimia kult rambutan rapiah (Nephelium lappaceum). http://portal.koperties3.or.id. 4 maret 2015, pk. 23.56 WIB. Tjokronegoro, A & A. Baziad. 1992. Semiloka etik penelitian obat tradisional. Balai Penerbit Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: ix + 99 hlm. Tortora G. J., & B. Derrickson. 2008. Principal of Anatomy and Physiology. John Willey & Sons, Hoboken: xxv + 1280 hlm. Untari, C.K. 2014. Uji potensi hepatoprotektif madu ps (pollen substitute) terhadap kadar alkali fosfatase (ALP) plasma darah mencit (Mus musculus L.) jantan gaur DDY. Skripsi- S1 FMIPA UI, Depok: xii + 51 hlm. Utami, P. & D. E. Puspaningtyas. 2013. The Miracle of Herbs. Agromedia, Jakarta: ii + 216 hlm. Halliwell, B. 1987. Oxidant and human diseases: Some new concepts. The Faseb J. 1(5): 358—364. Harmanto, Ning. 2012. Daun Sukun Si Daun Ajaib Penakluk Aneka Penyakit. PT Agromedia Pustaka, Jakarta: x + 110 hlm. Hollman, Peter. 2004. Absorption, Bioavailability, and Metabolism of Flavonoid. Pharmaceutical Biology 42: 74—83. Ilyas, E. 1991. Uji potensi antihepatotoksik ekstrak temu lawak (Curcuma xanthorrhiza) terhadap kadar GOT & GPT Tikus Putih jantan (Rattus norvegicus Linn.) yang diinduksi dengan karbon tetraklorida. Skripsi-S1 FMIPA UI, Depok: vii + 74 hlm. Indrowati, M. & C. J . Soegihardjo. 2005. Materi pembelajaran biologi (biokimia): Deteksi flavonoid ekstrak daun kluwih (Artocarpus altilis Park.). Bioedukasi 2(2): 61-64. Jeong, H. G. & H. Y. Park. 1998. The prevention of carbon tetrachloride-induced hepatotoxicity in mice by α-hederin: inhibiton of cytochrome P450 2E1 expression. Biochemistry and molecular biology international 45(1): 163-170 Johnson, M. D. 2001. Human Biology: Consepts and Current Issues. San Fransisco, Benjamin Cummings: xxv + 563 hlm. Junqueira, L., C. J. Carneiro, & R. O. Kelly. 1997. Histologi Dasar. Terj. dari Basic Histology, oleh Tambajong, J. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta: xiii + 496 hlm. Kovalovich, K., R.A. Deangelis, W. Li, E.E. Furth, G. Cilibereto, & R. Taub. 2000. Increased toxininduced liver injury and fibrosis in interleukin-6–deficient mice. Hepatology 31(1):149—159. Krinke, G.J. 2000. The laboratory rat: the handbook of experimental animals. Academic Press, London: xvii + 730 hlm. Kumar, S & A. K. Pandey. 2013. Chemistry and biological activities of flavonoid. The scientific world journal: 2013: 1—16
Pengaruh pemberian infusa ..., Nisa Kartika Komara, FMIPA UI, 2014
Pengaruh pemberian infusa ..., Nisa Kartika Komara, FMIPA UI, 2014