Tinjauan Yuridis Terhadap Eksibisionisme Sebagai Dasar Penghapus Pertanggungjawaban Pidana (Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor : 865 K/PID.SUS/2013) Gregorius Yonathan Deowikaputra dan Eva Achjani Zulfa Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424 Email:
[email protected]
Abstrak Skripsi ini membahas mengenai penerapan eksibisionisme sebagai dasar penghapus pidana dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 865 K/PID.SUS/2013. Pembahasan dilakukan dengan menganalisis teori mengenai aturan penghapus pidana dalam Pasal 44 KUHP tentang kemampuan bertanggung jawab, teori eksibisionisme berdasarkan rumpun ilmu psikologi, dan teori eksibisionisme berdasarkan rumpun ilmu hukum. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan studi kepustakaan dan wawancara. Hasil yang didapatkan dari penelitian ialah bahwa eksibisionisme tidak dapat diterapkan sebagai dasar penghapus pidana dikarenakan eksibisionisme merupakan suatu tindak pidana dan eksibisionisme tidak masuk ke dalam kategori gangguan seperti dalam rumusan Pasal 44 KUHP.
Juridical Review of Exhibitionism as Exemptions of Criminal Liability (Case Analysis of Supreme Court Decision Number : 865 K/PID.SUS/2013) Abstract This thesis discuss about exhibitionismas a criminal act. However, according to Supreme Court Decision Number : 865 K/PID.SUS/2013, exhibitionism is categorized as an exemptions of criminal liability based on human disorder. The focus of this thesis is analyzing the exemptions of criminal liability in Article 44 of Indonesian Criminal Code which stated about “the ability to be or not to be responsible”, and also discuss the theories of exhibitionism based on law and psychology perspectives. The method of this thesis is qualitative, by using literature study and interviews. The results obtained from the research is that exhibitionism is not a disorder, author believes that exhibitionism is apart of criminal act and therefore cannot be applied as the exemptions of criminal liability. Key Words : Exhibitionism; Exemptions of Criminal Liability
Pendahuluan Perkembangan zaman yang begitu pesat memberi pengaruh yang cukup besar juga terhadap perubahan kebudayaan, yaitu secara pola pikir, yang kemudian mempengaruhi tingkah laku di masyarakat. Perubahan pola pikir masyarakat tidak hanya berkembang ke arah
Tinjauan yuridis…, Gregorius Yonathan Deowikaputra, FH UI, 2014
pola pikir yang baik namun juga dapat berkembang kearah pola pikir yang buruk. Perkembangan ke arah yang buruk tentunya akan menjadikan masyarakat hidup menyimpang dari norma–norma kehidupan bermasyarakat. Contohnya ialah seperti penyimpangan terhadap norma kesusilaan. Nilai-nilai dari norma kesusilaan lekat kaitannya dengan masalah seksualitas. Seksualitas adalah hal yang secara kodrati dimiliki oleh manusia, baik laki-laki ataupun perempuan. Bahkan, seks merupakan salah satu kebutuhan yang primer bagi manusia. Merupakan kebutuhan primer karena hal tersebut merupakan salah satu cara bagi manusia untuk berkembang biak atau memiliki keturunan. Walaupun sebagai kebutuhan primer yang harus dipenuhi, bukan berarti pemenuhan kebutuhan tersebut bisa dilakukan begitu saja. Disinilah norma kesusilaan berlaku untuk membatasi manusia agar masih tetap di dalam nilainilai kesusilaan yang baik, yaitu dengan membatasi pemenuhan kebutuhan seksual dengan cara harus adanya kesepakatan/kesukarelaan antara kedua belah pihak berdasarkan ikatan yang dianggap sah oleh masyarakat. Apabila tidak dibatasi dengan norma kesusilaan, seperti tindakan-tindakan yang berkaitan dengan kebutuhan seksual yang dipenuhi tidak dengan sukarela atau kesepakatan atau dengan pemaksaan hingga menggunakan kekerasan, maka akan timbul suatu permasalahan. Tindakan-tindakan seksual dengan pemaksaan atau kekerasan tersebut, dari yang teringan sampai yang terberat, seperti perkosaan, semuanya merupakan tindakan pelecehan seksual1. Pelecehan seksual adalah suatu perbuatan yang biasanya dilakukan pria dan ditunjukan kepada wanita dalam bidang seksual, yang tidak disukai oleh sang wanita sebab ia merasa terhina, tetapi kalau perbuatan itu ditolak, ada kemungkinan ia menerima akibat buruk lainnya2. Pengertian lainnya dikemukakan oleh Sanistuti, yaitu semua tindakan seksual atau kecenderungan bertindak seksual yang bersifat intimidasi nonfisik (kata-kata, bahasa, gambar) atau fisik (gerakan kasat mata dengan memegang, menyentuh, meraba, mencium) yang dilakukan seorang laki-laki atau kelompoknya terhadap perempuan atau kelompoknya.3 Pelecehan seksual merupakan penyimpangan terhadap norma kesusilaan dan tentunya penyimpangan tersebut tidak hanya mengganggu ketentraman dari pribadi seseorang, namun juga ketentraman dari kelompok masyarakat. Oleh karena mengganggu itulah, norma kesusilaan harus ditegakan agar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat tetap terjaga. Penegakan norma kesusilaan tentulah harus dibantu dengan norma hukum demi terciptanya 1
Supanto, Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Pelecehan Seksual, (Yogtakarta: Kerja sama Ford Foundation dengan Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gadjah Mada, 1999), hal. 1. 2 Ibid, hal. 7. 3 Ibid, hal. 7.
Tinjauan yuridis…, Gregorius Yonathan Deowikaputra, FH UI, 2014
ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga disaat telah terjadi penyimpangan atau pelanggaran atas norma kesusilaan, tidaklah mungkin hanya memberikan sanksi sosial kepada pelaku pelanggaran atas norma kesusilaan, seperti pada pelaku pelecehan seksual. Walaupun sanksi sosial merupakan bentuk sanksi yang berat, namun tetap saja apabila orang yang mendapatkan sanksi sosial tersebut tidak perduli dengan sanksi sosial yang diterimanya, maka orang tersebut akan terus melakukan pelecehan seksual, yang berarti semakin banyak pula pihak yang dirugikan oleh karena perbuatannya. Oleh karena itu perlu adanya norma yang memiliki sanksi, tidak hanya berupa sanksi sosial saja, namun yang sanksinya tersebut tegas dan mengikat siapapun yang menyimpang atau melanggar norma tersebut. Adalah norma hukum yang memiliki sanksi yang tegas dan mengikat. Bentuk dari norma hukum di dalam pembantuan terjaganya nilai-nilai dari norma kesusilaan ialah dengan diciptakannya suatu aturan yang berbentuk undang-undang. Contoh undang-undang yang berisikan aturan yang mengatur mengenai kesusilaan ialah seperti yang terdapat dalam Buku ke II Kitab UndangUndang Hukum Pidana pada Bab XIV dan Buku ke III dalam Bab VI dan Undang – Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Bukan hanya undang-undang tersebut yang mengatur mengenai kesusilaan, terdapat undang-undang lainnya yang tidak secara khusus mengatur mengenai kesusilaan, namun terdapat beberapa pasal yang mengaturnya, seperti dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Salah satu bentuk pelecehan seksual yang diatur dalam undang-undang adalah mengenai tindak pidana pencabulan. Definisi dari tindak pidana pencabulan itu sendiri adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang yang semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya seorang laki–laki yang meraba kelamin perempuan dengan adanya paksaan4. Adapula definsi mengenai pencabulan yang mengatakan bahwa perbuatan cabul adalah semua perbuatan yang melanggar kesopanan atau kesusilaan, tetapi juga setiap perbuatan terhadap badan atau dengan badan sendiri maupun badan orang lain yang melanggar kesopanan, adalah perbuatan cabul, termasuk di dalamnya perbuatan persetubuhan di luar perkawinan5. Definisi dari pencabulan tersebut sama lah dengan unsur–unsur yang terdapat didalam pelecehan seksual. Unsur-unsur dari pelecehan seksual ialah suatu perbuatan yang berhubungan dengan seksual, pada umumnya pelakunya laki-laki dan korbannya wanita, wujud perbuatan berupa fisik dan nonfisik, dan tidak ada 4
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinyi, (Jakarta:Sinar Grafika, 2004), hal. 64. 5 Moh. Anwar Dading, Tindak –Tindak Pidana Bagian Khusus, (Jakara: Alumni, tahun tidak diketahui), hal 231.
Tinjauan yuridis…, Gregorius Yonathan Deowikaputra, FH UI, 2014
kesukarelaan6. Atas kesamaan antara definisi dari pencabulan dengan unsur-unsur dari pelecehan seksual itulah artinya pencabulan termasuk kedalam pelecehan seksual. Contoh aturan yang terdapat dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana menyatakan mengenai perbuatan pencabulan terdapat dalam Pasal 289 KUHP dan Pasal 290 KUHP yang menyatakan bahwa : 7 Pasal 289 KUHP “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun”; Pasal 290 KUHP
“Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya; 2. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin; 3. barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas yang bersangkutan atau kutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain” Dalam Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengenai pencabulan dinyatakan dalam Pasal 82, yaitu : 8 “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau
anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul,
membujuk dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) 6
Op. Cit., Supanto, hal.5. Moeljatno, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, terjemahan, (Yogyakarta:Seksi Hukum Pidana UGM, 1976), Cet. 8, Pasal 289 dan Pasal 290. 8 Indonesia, Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 82, LN Nomor 109 Tahun 2002. 7
Tinjauan yuridis…, Gregorius Yonathan Deowikaputra, FH UI, 2014
tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).” Sedangkan Undang – Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tidak secara langsung menyatakan mengenai tindak pidana pencabulan namun dalam Pasal 1 ayat 1 mengenai hal cabul dinyatakan :9 “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau
pertunjukan
lainnya di
muka
umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat” Bentuk pencabulan cukup beragam, ada beberapa jenis istilah tentang pencabulan adalah :10 1. Exhibitionism seksual
: sengaja memamerkan alat kelamin pada anak;
2. Voyeurism
: orang dewasa mencium anak dengan bernafsu;
3. Fonding
: mengelus/meraba alat kelamin seorang anak;
4. Fellatio
: orang dewasa memaksa anak untuk melakukan kontak
mulut. Secara khusus akan dibahas mengenai pencabulan dengan jenis exhibitionism seksual atau dalam bahasa Indonesia disebut eksibisionisme. Berdasarkan Kartini Kartono, exhibitionism seksual atau eksibisionisme adalah sebuah istilah pencabulan dimana pelaku sengaja memamerkan alat kelamin pada anak11. Adapula yang mendefinisikan eksibisionisme sebagai sebuah preferensi dan jelas dan berulang untuk memperoleh kepuasan seksual dengan mempertunjukan alat kelaminnya pada orang lain yang tidak menghendakinya, terkadang anak-anak12. Hal yang biasanya mendorong seorang eksibisionisme atau rangsangan seksual yang didapatkannya tersebut ialah disaat pelaku melihat seorang korban yang dapat membangkitkan hasrat seksualnya kemudian pelaku membayangkan dirinya memamerkan alat kelaminnya atau benar-benar melakukannya atau membayangkan sedang berhubungan
9
Op. Cit., Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, Pasal 1 ayat 1. Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, (Bandung: Mandar Maju, 2009),
10
hal. 264.
11
Ibid. Fitri Fausiah, dan Julianti Widury, Psikologi Abnormal : Klinis Dewasa, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2008), hal. 63. 12
Tinjauan yuridis…, Gregorius Yonathan Deowikaputra, FH UI, 2014
seksual, yang kemudian pelaku secara tindakan nyata dapat langsung melakukan masturbasi13 saat membayangkan atau saat sedang memamerkan alat kelaminnya14. Pencabulan jenis eksibisionisme merupakan salah satu jenis pencabulan yang kerap terjadi di Indonesia. Beberapa kasus eksibionisme yang terjadi diantaranya ialah eksibisionisme
yang
dilakukan
oleh
seorang
supir
angkutan
perkotaan
terhadap
penumpangnya. Kasus tersebut terjadi pada tanggal 30 September 2012, dimana seorang supir Mikrolet 42 jurusan Mampang-Ragunan yang bernama Bewok mengeluarkan alat kelaminnya di depan penumpang yang bernama Ane.15 Kasus lainnya ialah eksibisionisme yang dilakukan seorang laki-laki di daerah Jateng, Karanganyar, dimana pelaku eksibisionisme selalu mengeluarkan alat kelaminnya dari baju untuk dipertontonkan kepada perempuan yang tengah melintas di jalan sendirian.16 Dan juga sebuah kasus yang terjadi pada pertengahan Desember 2011, di daerah Kebumen, Jawa Tengah, yaitu kasus mengenai eksibisionisme yang dilakukan oleh laki–laki yang bernama Darobi, usia 37 tahun. Pada kasus tersebut, Darobi mempertontonkan alat kelaminnya ke anak kecil dan ibu rumah tangga di daerah sekitar tempat tinggalnya.17 Kasus eksibisionisme yang dilakukan oleh Darobi, merupakan kasus eksibisionisme yang sedang ramai menjadi perbincangan di media massa Indonesia. Kasus eksibisionisme tersebut menjadi perhatian publik semenjak dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung Nomor : 865 K/Pid.Sus/2013 yang memutuskan bahwa terdakwa terlepas dari segala tuntutan hukuman
yang
telah
diputuskan
oleh
Pengadilan
Tinggi
Semarang
Nomor
:
390/Pid.Sus/2012/PT.SMG tanggal 6 Februari 2013 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Kebumen Nomor : 86/Pid.Sus/2012/PN.Kbm, tanggal 26 November 2012, yang pada intinya memutuskan bahwa Darobi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal sepatutnya harus diduganya, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 290 Ke-2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dasar putusan 13
Masturbasi adalah istilah yang diberikan ketika individu melakukan stimulasi seksual pada alat kelaminnya untuk memuaskan hasrat seksualnya. (G.F. Kelly, Sexuality Today: The Human Perspective, Cet. 7, (New York: McGraw-Hill International, Inc, 2001), hal. 388. 14 Op. Cit., Fitri Fausiah, Julianti Widury, hal. 63. 15 Arbi Sumandoyo, Sopir Mikrolet Keluarkan Alat Kelamin Di Depan Penumpang, Merdeka.com, diunduh dari http://www.merdeka.com/jakarta/sopir-mikrolet-keluarkan-alat-kelamin-di-depan-penumpang.html, pada tanggal 20 Maret 2014, pada pukul 23.00 WIB. 16 Indah Septiyaning W, Eksibisionis Berkeliarani, Koran-O.com, diunduh dari http://www.korano.com/2012/peristiwa/eksibisionis-berkeliaran-12616, pada tanggal 20 Maret 2014, pada pukul 23.07 WIB. 17 Andi Saputra, Pamerkan Alat Kelamin, Darobi Tak Dipidana Karena Idap Eksibisionisme, Detik.com, diunduh dari http://news.detik.com/read/2014/01/06/131249/2459241/10/pamerkan-alat-kelamindarobi-tak-dipidana-karena-idap-eksibisionisme, pada tanggal 20 Maret 2014, pada pukul 23.25 WIB.
Tinjauan yuridis…, Gregorius Yonathan Deowikaputra, FH UI, 2014
Mahkamah Agung Nomor 865 K/Pid.Sus/2013 melepaskan Darobi dari segala tuntutan hukuman ialah bahwa berdasarkan Visum et Repertum No.441.6//36/V/2012 tertanggal 10 Mei 2012, Darobi mengalami gangguan deviasi seks jenis Exhibisionisme sehingga perbuatan yang
dilakukannya
tidak
dapat
terkontrol
dan
dianggap
tidak
bisa
dimintai
pertanggungjawaban. Berdasarkan pernyataan yang telah diuraikan diatas, dapat dilihat bahwa menurut pertimbangan hakim Mahkamah Agung, eksibisionis dianggap sebagai suatu penyakit sehingga Darobi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atau dapat dikatakan bahwa eksibisionis termasuk sebagai dasar penghapus pidana. Mengenai dasar penghapus pidana, KUHP merumuskan beberapa keadaan yang dapat menjadi dasar penghapus pidana, sebagai berikut :18 1. Pasal 44 KUHP tentang Kemampuan Bertanggungjawab. 2. Pasal 48 KUHP tentang Data Paksa dan Keadaan Terpaksa. 3. Pasal 49 KUHP tentang Bela Paksa. 4. Pasal 50 KUHP tentang Melaksanakan Perintah Undang-undang. 5. Pasal 51 KUHP tentang Melaksanakan Perintah Atasan. Sementara, dasar penghapus pidana diluar KUHP yang diterima selama ini adalah ketentuan mengenai grasi yang diatur melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002. Secara umum, doktrin telah membedakan sumber dasar penghapus pidana tersebu dalam dua bagian, yaitu sebagai berikut :19 1. Dasar penghapus pidana yang sifatnya umum (straftuitsluitungsgronden yang umum). 2. Dasar penghapus pidana yang sifatnya khusus (straftuitsluitungsgronden yang khusus). Dasar penghapus pidana yang umum ini didasarkan ketiadaan sifat melawan hukum dari perbuatan (wederrechtelijkheid) atau ketiadaan kesalahan dalam pengertian yang luas (schuld). Berdasarkan beberapa penjelasan mengenai teori dasar penghapus pidana yang telah disebutkan sebelumnya, mengenai hubungan dasar penghapus pidana dengan
putusan
Mahkamah Agung Nomor 865 K/Pid.Sus/2013 ialah Hakim Mahkamah Agung mendasarkan pertimbangan kepada Darobi, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 44 KUHP, dimana Hakim 18
Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut; Dasar Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana, Cet. 1, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), Hal. 47. 19 Ibid.
Tinjauan yuridis…, Gregorius Yonathan Deowikaputra, FH UI, 2014
menyatakan bahwa Darobi tidak mampu bertanggungjawab atas yang dilakukannya, walaupun didalam putusan tersebut hakim tidak menuliskan Pasal 44 KUHP sebagai dasar hukumnya. Pasal 44 KUHP merupakan gambaran yang jelas atas suatu kondisi, dimana seorang pelaku tindak pidana tidak dapat mempertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya itu. Mengenai ukuran umum yang dipakai untuk menentukan mampu atau tidaknya seseorang mempertanggungjawabkan adalah pada ukuran kedewasaan orang normal pada umumnya.20 Pada kasus Darobi, hakim menimbang bahwa eksibisionisme merupakan suatu penyakit yang membuat Darobi tidak dapat mempertanggungjawabkan tindak pidana pencabulan yang dilakukannya. Namun, berdasarkan penjelasan dari penulis buku Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Kartini Kartono, bahwa eksibisionisme merupakan salah satu jenis dari pencabulan itu sendiri.21 Hal ini menimbulkan perbedaan penfasiran dari definisi eksibisionisme itu sendiri. Lalu kemudian hal ini juga menimbulkan suatu pertanyaan, “Apakah eksibisionisme dapat dikategorikan sebagai perbuatan cabul?”, “Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap perilaku eksibisionisme?”, dan “ Apakah penggunaan Pasal 44 KUHP bagi pelaku eksibisionisme dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 865 K/PID.SUS/2013 sudah tepat?”
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan eksibisionisme dengan dasar
penghapus pertanggungjawaban pidana. Secara khusus tujuan penelitian ini ialah mengetahui dapat atau tidaknya eksibisionisme dikategorikan sebagai perbuatan cabul, mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap perilaku eksibisionisme, mengetahui tepat atau tidaknya penggunaan Pasal 44 KUHP bagi pelaku eksibisionisme dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 865 K/PID.SUS/2013. Tinjauan Teoritis Dalam tulisan ini, Penulis memberikan pengertian terhadap istilah-istilah yang digunakan sebagai berikut : 1. Pelecehan seksual adalah suatu perbuatan yang biasanya dilakukan pria dan ditunjukan kepada wanita dalam bidang seksual, yang tidak disukai oleh sang wanita sebab ia merasa terhina, tetapi kalau perbuatan itu ditolak, ada kemungkinan ia menerima akibat buruk lainnya22. 20
D.Simons, hal. 397. Rumusan ini dikutip van Hattum dari Memorie van Toelichtiing. Op. Cit., Kartini Kartono. hal. 264 22 Op. Cit., Supanto, hal. 7. 21
Tinjauan yuridis…, Gregorius Yonathan Deowikaputra, FH UI, 2014
2. Tindak pidana pencabulan atau perbuatan cabul adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang yang semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya seorang laki – laki yang meraba kelamin perempuan dengan adanya paksaan23. Adapula definsi mengenai pencabulan yang mengatakan bahwa perbuatan cabul adalah semua perbuatan yang melanggar kesopanan atau kesusilaan, tetapi juga setiap perbuatan terhadap badan atau dengan badan sendiri maupun badan orang lain yang melanggar kesopanan, adalah perbuatan cabul, termasuk di dalamnya perbuatan persetubuhan di luar perkawinan24. 3. Exhibitionism seksual adalah sengaja memamerkan alat kelamin pada anak.25 Adapula yang mendefinisikan eksibisionisme sebagai sebuah preferensi dan jelas dan berulang untuk memperoleh kepuasan seksual dengan mempertunjukan alat kelaminnya pada orang lain yang tidak menghendakinya, terkadang anak-anak26. 4. Dasar penghapus pidana atau dasar – dasar yang meniadakan hukuman atau “strafuitsluitingsgronden” adalah keadaan – keadaan yang membuat hakim tidak dapat mengadili seseorang pelaku hingga ia pun tidak dapat menjatuhkan sesuatu hukuman terhadap pelaku tersebut.27 Metode Penelitian Penulis menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif di mana penulis mengarahkan penelitian pada hukum positif dan norma tertulis.28 Tipologi penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian fact finding-problem solution29 yang bertujuan untuk menemukan fakta lalu kemudian mengatasi masalah yang ada. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data primer yang diperoleh dari wawancara dengan narasumber yang berprofesi sebagai psikolog, psikolog forensik, kriminolog, psikiater, dan juga korban-korban dari eksibisionisme dan pencabulan. Sedangkan untuk jenis data sekunder yang digunakan ialah bahan-bahan pustaka, yaitu buku-buku mengenai ilmu hukum, ilmu psikologi klinis, dan psikologi forensik. Bahan hukum yang digunakan mencakup bahan 23
Op. Cit., Leden Marpaung, hal. 64. Op. Cit., Moh. Anwar Dading, hal 231. 25 Op, Cit,. Kartini Kartono. 26 Op, Cit., Fitri Fausiah, Julianti Widury, hal. 63. 27 P.A.F. Lamintang, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : P.T. Citra Aditya Bakti, 1997), hal.386. 28 Sri Mamudji, et. al., Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum, (Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal.10. 29 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3, (Jakarta: UI Press, 2010), hal.51. 24
Tinjauan yuridis…, Gregorius Yonathan Deowikaputra, FH UI, 2014
hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan, seperti : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Untuk menjelaskan bahan hukum primer tersebut digunakan pula bahan hukum sekunder berupa buku-buku, skripsi, tesis, disertasi, jurnal mengenai hukum dan psikologi klinis, berita dari surat kabar dan internet. Sedangkan sebagai penunjang, digunakan bahan hukum tersier berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan alat pengumpulan data berupa studi dokumen dan wawancara. Studi dokumen menggunakan penelitian kepustakaan, dan wawancara yang dilakukan terhadap narasumber yaitu : psikolog, psikolog forensik, kriminolog, dan korban-korban dari eksibisionisme dan pencabulan. Psikolog yang menjadi narasumber ialah Ivan Sujana, psikolog forensik yang menjadi narasumber ialah Angesty Putri, Kasandra Putranto, dan Reza Indragiri, kriminolog yang menjadi narasumber ialah Adrianus Meliala, serta beberapa wawancara dengan korban yang berinisial CY dan MA. Kemudian data dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif yakni suatu prosedur yang mengembangkan konsep, pemikiran, dan pemahaman dari pola-pola yang sudah ada.30 Hasil Penelitian Ontoerekeningsvatbaarheid atau hal tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atas tindakan-tindakannya yang diatur dalam Pasal 44 ayat 1 KUHP, berdasarkan Memorie van Toelichting atau M.v.T didefinisikan sebagai berikut :31 a.
Dalam hal pembuat tidak diberi kemerdekaan memilih antara berbuat atau
tidak berbuat apa yang oleh undang-undang dilarang atau diperintah, dengan kata lain : dalam hal perbuatan yang dipaksa. b.
Dalam hal pembuat ada di dalam suatu keadaan tertentu, sehingga ia tidak
dapat menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan ia tidak mengerti akibat perbuatannya itu (nafsu patologis (patologische drif), gila, pikiran tersesat, dan sebagainya). Menurut ketentuan Pasal 44 ayat 1 KUHP, seseorang dapat disebut sebagai “niet kan worden toegerekend” atau sebagai “ontoerekeningsvatbaar” ataupun sebagai “tidak dapat dipertanggungjawabkan” atas tindakan-tindakannya apabila orang tersebut ternyata memenuhi salah satu syarat, yaitu apakah ia mempunyai suatu “gebrekkide ontwikkelling zijner 30 31
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, cet. 4., (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal.16. E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Surabaya : Pustaka Tirta Mas, 2000), hlm. 46.
Tinjauan yuridis…, Gregorius Yonathan Deowikaputra, FH UI, 2014
verstandelijke vermogens” atau suatu “pertumbuhan yang tidak sempurna dari kemampuan akal sehatnya” ataupun ia mempunya suatu “ziekelijke storing zijnerverstandelihke vermogens” atau suatu “gangguan penyakit pada kemampuan akal sehatnya”.32 Mengenai kondisi “pertumbuhan akal sehatnya tidak sempurna”, van Hatum menjelaskan bahwa hal tersebut haruslah diartikan sebagai suatu pertumbuhan yang tidak sempurna secara biologis dan bukan secara kemasyarakatan. Misalnya apa yang disebut “imbecilliteit”, “imbesilitasi” ataupun yang juga sering disebut “onnozelheid” atau “zwakzinnigheid” atau yang juga sering disebut “ideotie” atau “idioot”, “stomzinnigheid”, “achterlijkneid”33. Dengan demikian tidak termasuk ke dalam pengertian pertumbuhan yang tidak sempurna itu adalah misalnya keterbelakangan atau pertumbuhan yang tidak sempurna karena kurangnya perhatian dari orang tua terhadap seorang anak atau kurangnya pendidikan yang telah diperoleh seseorang. R. Soesilo didalam bukunya berpendapat serupa, bahwa orang-orang yang masuk ke dalam keadaan kurang sempurna akalnya ialah seperti “idioot”, “imbicil”, buta, tuli, dan bisu dari lahir.34 Sedangkan
untuk
eksibisionisme
adalah
kecenderungan
kompulsif
untuk
mempertontonkan bagian-bagian tubuh, biasanya alat-alat kelamin, untuk tujuan mendapatkan kegembiraan kegairahan, kebirahian seksual dan kepuasan seksual35. Adapula yang mendefinisikan eksibisionisme sebagai sebuah preferensi dan jelas dan berulang untuk memperoleh kepuasan seksual dengan mempertunjukan alat kelaminnya pada orang lain yang tidak menghendakinya, terkadang anak-anak36. Eksibisionisme seksual atau eksibisionisme diambil dari bahasa Inggris exhibition yang artinya tontonan atau pertunjukan atau to exhibit yang artinya mempertontonkan atau mempertunjukan. Eksibisionisme juga dikenal sebagai sindrom Lady Godiva, Apodysophilia, dan di Amerika Serikat dan Kanada istilah dalam bahasa slangnya disebut flasher, yang didefinisikan sebagai kebutuhan psikologis dan pola perilaku untuk menunjukkan bagian telanjang tubuh untuk orang lain37. Para pelaku eksibisionisme di dalam melakukan perbuatannya, biasanya juga melakukan masturbasi atau berfantasi tentang masturbasi. Tujuan dari pelaku eksibisionisme, selain untuk melampiaskan seksualnya, terkadang ialah mengharapkan korban akan menjadi 32
Op. Cit.,P.A.F. Lamintang, hal.393. Op. Cit., P.A.F. Lamintang, hal. 401. 34 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politeia, 1996), hlm. 61. 35 J.P. Chaplin, Dictionary of Psychology, (New York: Dell Publishing Co., Inc., 1981), hal. 89. 36 Op.Cit., Fitri Fausiah, Julianti Widury, hal. 63. 37 Exhibitonism, diunduh dari http://www.psychologistanywhereanytime.com/sexual_problems_pyschologist/psychologist_exhibitionism.htm, pada tanggal 13 Juni 2014, pada pukul 21.07 WIB. 33
Tinjauan yuridis…, Gregorius Yonathan Deowikaputra, FH UI, 2014
terangsang juga dengan perilaku yang dilakukannya, walaupun ada pula yang bertujuan untuk mengganggu atau membuat terkejut dan takut korban dengan perilaku eksibisionisnya tersebut. Dalam fantasinya, memang pelaku eksibisionisme berfantasi bahwa pelaku sedang berhubungan seksual dengan korbannya, namun pada kenyataannya pelaku tidak akan berusaha untuk dapat melakukan kontak langsung dengan korbannya tersebut38. Ketelanjangan dari eksibisionisme merupakan suatu pelanggaran terhadap norma kesusilaan, maka apabila mengkaitkan tindakan tersebut ke dalam ketentuan hukum mengenai norma kesusilaan, tindakan tersebut telah memenuhi unsur yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 281 KUHP dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pornografi. Sebagaimana disebutkan bahwa pasal-pasal tersebut mengatur mengenai kejahatan dengan sengaja melanggar kesusilaan. Rumusan mengenai Pasal 281 KUHP telah dijelaskan pada bahasan sebelumnya, sedangkan untuk Pasal 36 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pornografi. Berdasarkan rumusan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pornografi, walaupun tidak secara langsung disebutkan kata eksibisionisme, namun secara jelas rumusan dalam pasal tersebut sama dengan unsur-unsur dalam perilaku eksibisionisme, yaitu “Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, dipidana dengan pidana penjara”. Jadi jelaslah bahwa eksibisionisme masuk dalam rumusan pasal ini dan perilaku eksibisionisme merupakan suatu tindak pidana. Terdapat sebuah kasus yang berkaitan dengan analisis yang telah dipaparkan. Kasus yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 865 K/PID.SUS/2013. Kasus ini mengenai terdakwa bernama Darobi yang melakukan tindak pidana pencabulan dan melanggar kesusilaan di depan umum dengan mempertontonkan alat kelaminnya terhadap anak-anak usia di bawah 12 tahun. Terdakwa di putus melakukan tindak pidana “dengan sengaja merusak kesopanan dimuka orang lain” oleh Pengadilan Negeri Kebumen. Putusan Pengadilan Negeri Kebumen tersebut diperkuat juga oleh Putusan Pengadilan Tinggi Semarang. Kemudian jaksa mengajukan banding yang akhirnya menghasikan Putusan Mahkamah Agung Nomor 865 K/PID.SUS/2013. Hasil putusan tersebut melepaskan terdakwa dari segala tuntutan pidana, dengan pertimbangan bahwa terdakwa mengalami gangguan deviasi seks jenis eksibisionisme sesuai Visum et Repertum No. 441.6//36/V/2012 tertanggal 10 Mei 2012. Menurut hakim, gangguan deviasi seks jenis eksibisionisme yang 38
Exhibitionism, diunduh dari http://www.psychologytoday.com/conditions/exhibitionism, pada tanggal 13 Juni 2014, pada pukul 22.14.
Tinjauan yuridis…, Gregorius Yonathan Deowikaputra, FH UI, 2014
dialami terdakwa mengakibatkan terdakwa tidak bisa dimintai pertanggungjawaban meskipun perbuatannya terbukti adanya melanggar Pasal 82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002. Atas hasil Putusan Mahkamah Agung tersebut, para ahli39 berpendapat bahwa hakim salah dalam menempatkan eksibisionisme sebagai alasan penghapus pertanggungjawaban pidana. Hal tersebut didasarkan oleh teori dan pendapat yang mengatakan bahwa eksibisionisme
tidaklah
masuk
ke
dalam
ketentuan
sebagai
alasan
penghapus
pertanggungjawaban pidana karena eksibisionisme merupakan jenis gangguan yang berbeda dengan jenis gangguan yang terdapat dalam ketentuan mengenai alasan penghapus pidana, Pasal 44 KUHP tentang kemampuan bertanggung jawab. Jenis gangguan dalam eksibisionisme adalah gangguan seksual, bukan jenis gangguan kejiwaan atau psikosa yang terdapat dalam Pasal 44 KUHP. Simpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dalam bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa simpulan yang dibahas dalam dalam penelitian ini sebagai berikut : 1.
Perbuatan cabul didefinisikan sebagai semua perbuatan yang melanggar kesopanan atau kesusilaan, tetapi juga setiap perbuatan terhadap badan atau dengan badan sendiri maupun badan orang lain yang melanggar kesopanan, adalah perbuatan cabul, termasuk di dalamnya perbuatan persetubuhan di luar perkawinan. Dan eksibisionisme secara garis besar didefinisikan sebagai suatu perilaku seksual yang menyimpang dimana perilaku yang dilakukan ialah menunjukan atau mempertontonkan alat kelaminnya kepada orang lain untuk mendapatkan kepuasan seksual. Dari definisi eksibisionisme tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku eksibisionisme adalah perilaku yang melanggar kesopanan dan kesusilaan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa orang yang melakukan eksibisionisme merupakan orang yang berbuat cabul juga karena telah melakukan perbuatan yang melanggar kesopanan atau kesusilaan, namun orang yang berbuat cabul, belum tentu melakukan eksibisionisme karena berbuat cabul dapat dilakukan dengan berbagai cara. Berdasarkan definisi perbuatan, eksibisionisme dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk perbuatan cabul, namun sebagai tindak pidana, eksibisionisme dan pencabulan merupakan bentuk tindak pidana yang berbeda karena diatur di dalam
39
Berdasarkan wawancara dengan Ivan Sujana, Angesty Putri, Adrianus Meilala, Kasandra Putranto, dan Reza Indragiri, ahli-ahli psikologi forensik.
Tinjauan yuridis…, Gregorius Yonathan Deowikaputra, FH UI, 2014
ketentuan pasal yang berbeda. Seperti misalnya yang terdapat di dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu : eksibisionisme memenuhi unsur yang terdapat di dalam ketentuan rumusan Pasal 281 KUHP mengenai kejahatan dengan sengaja melanggar kesusilaan dan pencabulan memenuhi unsur yang terdapat di dalam ketentuan rumusan Pasal 289, 290, 292, 293, 294, 295, dan 296 KUHP, dimana masing-masing pasal berisi mengenai pencabulan namun bentuk dari pencabulan tersebut berbeda-beda. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagai sebuah perbuatan, eksibisionisme dan perbuatan cabul saling memiliki hubungan antara satu dengan yang lain, yaitu sebagai sebuah perbuatan yang dikatakan melanggar kesopanan dan kesusilaan atau pelecehan seksual. Oleh karena itu eksibisionisme dapat dikategorikan sebagai perbuatan cabul. Namun, sebagai sebuah tindak pidana, antara eksibisionisme dan pencabulan, pengaturannya di dalam hukum positif Indonesia adalah dua hal yang berbeda. Eksibisionisme dan perbuatan cabul merupakan dua bentuk kejahatan yang masuk ke dalam kategori kejahatan terhadap kesusilaan yang melanggar kesusilaan, dimana mengenai perilaku eksibisionisme sesuai dengan unsur kejahatan yang diatur dalam Pasal 281 KUHP dan
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi,
sedangkan pencabulan diatur dalam Pasal 289 KUHP – 299 KUHP karena pasalpasal tersebut ialah mengenai pencabulan dalam arti sempit. 2.
Perilaku eksibisionisme termasuk ke dalam golongan pelecehan seksual yang juga merupakan tindak pidana sesuai dengan ketentuan undang-undang di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dengan sesuainya unsur-unsur dari perilaku eksibisionisme dengan unsur-unsur yang terdapat dalam ketetentuan beberapa pasal yang mengatur mengenai kejahatan kesusilaan, seperti Pasal 281 KUHP dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pornografi. Walaupun secara psikologi dikatakan sebagai sebuah gangguan, namun hal tersebut tidaklah meniadakan atau menghapus pertanggungjawaban pidana terhadap perilaku eksibisionisme. Hal tersebut dikarenakan gangguan yang terdapat dalam perilaku eksibisionisme tidaklah termasuk ke dalam ketentuan gangguan dalam Pasal 44 KUHP. Gangguan yang dimaksud dalam Pasal 44 KUHP adalah gangguan kejiwaan atau gangguan yang berhubungan dengan kemampuan kejiwaan seseorang dalam berpikir dan berperilaku, dimana pelaku tidak lagi mampu berpikir dan berperilaku
Tinjauan yuridis…, Gregorius Yonathan Deowikaputra, FH UI, 2014
sesuai dengan kehendak dirinya sendiri. Contoh dari gangguan kejiwaan tersebut ialah “idiot” atau “imbicil” atau “intellectual challenge”. Sedangkan gangguan dalam eksibisionisme adalah gangguan perilaku seksual dan gangguan perilaku seksual tidaklah seperti gangguan kejiwaan karena di dalam gangguan seksual, pelaku masih mampu dalam berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendaknya, sehingga masih dapat melakukan kontrol atas dirinya sendiri. Oleh karena eksibisionisme termasuk sebagai tindak pidana dan juga gangguan yang terdapat pada eksibisionisme bukan merupakan ketentuan dalam Pasal 44 KUHP yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, maka dapat disimpulkan bahwa pelaku eksibisionisme mampu untuk bertanggung jawab atas tindak pidana eksibisionisme yang dilakukannya. 3.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor : 865 K/PID.SUS/2013, eksibisionisme ditempatkan sebagai alasan untuk tidak menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan pertimbangan hakim dan hasil putusan dalam putusan tersebut yang menyatakan bahwa terdakwa mengalami gangguan deviasi seks jenis Exhibisionisme sesuai Visum et Repertum No. 441.6//36/V/2012 tertanggal 10 Mei 2012, sehingga perbuatan yang dilakukan tidak dapat terkontrol, konsekuensi yuridisnya Terdakwa harus dilepas dari tuntutan hukum. Walaupun di dalam putusan tersebut tidak dituliskan dasar hukum sebagai alasan untuk tidak menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, namun berdasarkan pertimbangan tersebut, alasan untuk tidak menjatuhkan pidana terdakwa ialah sesuai dengan dasar penghapus pertanggungjawaban pidana yang terdapat dalam rumusan Pasal 44 KUHP tentang kemampuan bertanggung jawab seorang pelaku tindak pidana. Penempatan eksibisionisme sebagai alasan untuk tidak menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh Mahkamah Agung merupakan sebuah kekeliruan atau kesalahan. Dikatakan sebuah kekeliruan atau kesalahan adalah karena gangguan yang terdapat dalam eksibisionisme tidaklah sesuai dengan gangguan yang terdapat di dalam rumusan Pasal 44 KUHP. Dimana dalam rumusan Pasal 44 KUHP, gangguan yang digolongkan tidak mampu untuk bertanggung jawab ialah gangguan psikosa atau gangguan kejiwaan, seperti “idioot” atau “imbicil” atau “intellectual challenge”, yang dimana dalam gangguan tersebut seseorang tidak memiliki kesehatan secara akal dan pikiran sehingga tidak sadar dan mengerti akan setiap perbuatan yang dilakukannya. Sedangkan eksibisionisme merupakan
Tinjauan yuridis…, Gregorius Yonathan Deowikaputra, FH UI, 2014
gangguan philia atau gangguan seksual, yang dimana dalam gangguan tersebut yang terganggu ialah perilaku seksualnya saja dan tidak sampai pada taraf kejiwaannya, karena pelaku eksibisionisme masih sehat secara akal dan pikiran, sehingga sadar dan mengerti akan setiap perbuatan yang dilakukannya. Saran Berdasarkan
kesimpulan-kesimpulan
yang
telah
dipaparkan,
maka
penulis
memberikan saran sebagai berikut : 1. Perlunya dibentuk penggolongan terhadap gangguan mental dan kejiwaan yang lebih spesifik berdasarkan ketentuan hukum Indonesia. Hal tersebut bertujuan untuk memperjelas golongan jenis gangguan mental dan kejiwaan mana saja yang dapat termasuk ke dalam ketentuan Pasal 44 KUHP. 2. Perlunya kerja sama antara penegak hukum dengan ahli-ahli dibidang lainnya di dalam menerapkan aturan hukum. Hal tersebut bertujuan agar tidak terjadi kesalahan di dalam menerapkan bidang-bidang lainnya yang bersinggungan dengan hukum Daftar Referensi Buku : Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Cet. 4. Jakarta: Rineka Cipta, 2004 Chaplin, J.P. Dictionary of Psychology. New York: Dell Publishing Co., Inc., 1981. Dading, Moh. Anwar. Tindak –Tindak Pidana Bagian Khusus. Jakara: Alumni, tahun tidak diketahui. Fausiah, Fitri dan Julianti Widury. Psikologi Abnormal : Klinis Dewasa. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2008. Kartono, Kartini. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung: Mandar Maju, 2009. _______________. Psikologi Abnormal dan Pathology seks. Bandung: Alumni, 1981. Kelly,G.F. Sexuality Today: The Human Perspective. Cet. 7.New York: McGraw-Hill International, Inc, 2001. Lamintang, P.A.F. Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : P.T. Citra Aditya Bakti, 1997. _______________. Delik-Delik Khusus Tindak Pidana-Tindak Pidana Melanggar Norma-
Norma
Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan. Bandung: Mandar Maju, 1990. Mamudji, Sri et. al. Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Marpaung, Leden. Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinyi. Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Moeljatno. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, terjemahan. Cet. 8. Yogyakarta: UGM, 1976 Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet.3. Jakarta: UI Press, 2010.
Tinjauan yuridis…, Gregorius Yonathan Deowikaputra, FH UI, 2014
Seksi Hukum Pidana
Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1996. Supanto. Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Pelecehan Seksual. Yogtakarta: Kerja sama Ford Foundation dengan Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gadjah Mada, 1999. Utrecht, E. Hukum Pidana I. Surabaya : Pustaka Tirta Mas, 2000. Zulfa,Eva Achjani. Gugurnya Hak Menuntut; Dasar Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana. Cet. 1. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. Peraturan Perundang-Undangan : Indonesia. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. LN Nomor 109 Tahun 2002. _______. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. LN Nomor 181 Tahun 2008. TLN Nomor 4928. Jurnal : Jennings, Floyd L.. The Insanity Standard. dalam Open Access Journal of Forensic Psychology. Texas, 2013. Internet : NN.
Exhibitonism.
diunduh
dari
http://www.psychologistanywhereanytime.com/sexual_problems_pyschologist/psychologist_exhib itionism.htm. pada tanggal 13 Juni 2014. pada pukul 21.07 WIB. ___. Exhibitionism. diunduh dari http://www.psychologytoday.com/conditions/exhibitionism. pada tanggal 13 Juni 2014. pada pukul 22.14. Saputra, Andi. Pamerkan Alat Kelamin, Darobi Tak Dipidana Karena Idap Eksibisionisme. Detik.com, diunduh dari
http://news.detik.com/read/2014/01/06/131249/2459241/10/pamerkan-alat-kelamin-darobi-
tak-dipidana-karena-idap-eksibisionisme. pada tanggal 20 Maret 2014, pada pukul 23.25 WIB. Sumandoyo,Arbi. Sopir Mikrolet Keluarkan Alat Kelamin Di Depan Penumpang. Merdeka.com. diunduh dari http://www.merdeka.com/jakarta/sopir-mikrolet-keluarkan-alat-kelamin-di-depanpenumpang.html. pada tanggal 20 Maret 2014, pada pukul 23.00 WIB. W,
Indah
Septiyaning.
Eksibisionis
Berkeliarani.
Koran-O.com,.
diunduh
dari
http://www.koran-
o.com/2012/peristiwa/eksibisionis-berkeliaran-12616. pada tanggal 20 Maret 2014, pada pukul 23.07 WIB.
Tinjauan yuridis…, Gregorius Yonathan Deowikaputra, FH UI, 2014