TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN GANTRY LUFFING CRANE (GLC) OLEH PT. PELINDO II (PERSERO) DAN PT. MTI PADA DERMAGA D101 UTARA, D101, D102, D114, DAN DI115 DITINJAU DARI UU NOMOR 5 TAHUN 1999 Tria Febriani, Ditha Wiradiputra Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424 E-mail :
[email protected]
Abstrak Skripsi ini membahas tentang dugaan pelanggaran Pasal 15 ayat (2) mengenai tying agreement dan Pasal 17 mengenai monopoli UU Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI terkait penggunaan Gantry Luffing Crane di Pelabuhan Tanjung Priok. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan analisis data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa KPPU dalam membuktikan adanya pelanggaran Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 17, lebih relevan menggunakan pendekatan rule of reason yang mengedepankan dampak persaingan. Kemudian, pengaturan kesesuaian UU Nomor 5 Tahun 1999 terkait penggunaan Gantry Luffing Crane da[at dikecualikan berdasarkan Pasal 50 huruf a dan Pasal 51.
JURIDICAL REVIEW AGAINTS THE USE OF GANTRY LUFFING CRANE (GLC) BY PT. PELINDO II (PERSERO) AND PT. MTI PIERS NORTH D101, D101. D102, D114 AND D115 IN TANJUNG PRIOK HARBOR IN TERMS OF LAW NUMBER 5 YEAR 1999 Abstract This thesis discusses about the alleged violations of Article 15 verse (2) about tying agreement and Article 17 about monopoly Law Number 5 Year 1999 conducted by PT. Pelindo II (Persero) and PT. MTI regarding the use of Gantry Luffing Crane in Tanjung Priok harbor. This research use the juridical normative methods using qualitative data analysis approach. The results showed that KPPU In proving the existance of a breach of Article 15 verse (2) and Article 17, using a more relevant approach to the rule of reason more relevant use approach rule of reason that puts the impact of competition. Then, setting of suitability of Law Number 5 Year 1999 related the use of Gantry Luffing Crane can be excluded on basis of Article 50 letters A and Article 51.
Keyword: Business Competition Supervisory Commission (KPPU), Tying Agreement, Monopoly.
Pendahuluan Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang terdapat di dunia. Panjang pantai Indonesia mencapai 95.181 km dengan luas wilayah laut 5,8 juta km2. Hal ini membuat luas
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015
wilayah perairan Indonesia mendominasi total luas wilayah teritorial sebesar 7,7 juta km2.1 Latar belakang geografis ini, memberikan Indonesia kesempatan yang besar untuk menjadi penguasa perdagangan dan industri berskala internasional. Kemajuan perdagangan dan industri menuntut Indonesia agar mampu membangun sarana dan prasarana yang mampu mempersatukan bangsa yang terpisah, baik itu antar pulau maupun antar negara. Upaya peningkatan infrastruktur juga tidak luput dari prasarana transportasi. Pembangunan prasarana transportasi terutama transportasi laut, selain berguna sebagai sarana penghubung antar pulau maupun antar negara, juga merupakan pendorong bagi bergeraknya aktivitas sosial dan ekonomi di suatu kawasan berupa ekspor dan impor barang dan kegiatan lainnnya, kawasan tersebut yaitu pelabuhan2. Pelabuhan adalah pintu gerbang utama untuk mendistribusikan hasil produksinya dalam skala internasional, baik itu hasil produksi perusahaan-perusahaan di Indonesia maupun di negara lain. Proses pendistribusian produk yang telah dihasilkan oleh produsen tidak luput dari kegiatan pengangkutan. Kegiatan pengakutan sangat erat kaitannya dengan mobilitas suatu produk dari satu tempat ke tempat lain. Hal itu yang mewajibkan negara menyediakan sarana-sarana untuk melaksanakan kegiatan pengangkutan. Sebagai negara kepulauan yang memiliki kawasan darat, laut dan udara, Indonesia memanfaatkan kawasan tersebut dengan menyediakan tiga jenis pengangkutan sebagai transportasi pengangkutan, yaitu pengangkutan darat, pengangkutan laut atau perairan dan pengangkutan udara.3 Dari ketiga kawasan yang ada di Indonesia kawasan laut menjadi jalur alternatif yang banyak dipilih pengusaha untuk mendistribusikan hasil produksinya. Dengan demikian, pelabuhan menjadi sarana yang penting dan sarana pendukung bagi kegiatan pelayaran nasional yang merupakan sektor penting bagi perekonomian. Hal ini yang mendorong pemerintah untuk mengeluarkan peraturan mengenai pelayaran melalui UU Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Penyelenggaraan pelabuhan umum dilaksanakan oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang didirikan dengan maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-udangan yang 1
Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Data Pokok Kelautan Dan Perikanan Tahun 2009, (Jakarta: 2010), hlm. 3. 2
Elfrida Gultom, Refungsionalisasi Pengaturan Pelabuhan Untuk Meningkatkan Ekonomi Nasional, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 4. 3
Ibid., hlm. 3.
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015
berlaku.4 UU Nomor 21 Tahun 1992 memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menguasai segala kegiatan pelabuhan mulai dari regulator, pengelola, dan pembina. Pada saat itu, pengaturan ini dimaksudkan untuk menjalankan amanat Pasal 33 UUD 1945 dalam mengawasi kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan hajat hidup orang banyak. UU Nomor 21 Tahun 1992 memberikan posisi monopoli tersebut kepada PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini mengakibatkan timbulnya tindakan sewenang-wenang dari pemerintah yang memiliki posisi monopoli tersebut, sehingga pelaku usaha pelabuhan lainnya merasa terjadi persaingan usaha tidak sehat yang dapat mengakibatkan praktek monopoli. Oleh sebab itu, dilakukan perubahan terhadap UU Pelayaran menjadi UU Nomor 17 Tahun 2008. Dalam UU Pelayaran ini pemerintah melalui kebijakannya menghapus monopoli pengelolaan pelabuhan yang selama ini dipegang oleh PT. Pelindo terutama PT. Pelindo II (Persero) selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sehingga badan swasta lain juga memiliki kesempatan yang sama dalam mengoperasikan pelabuhan di Indonesia. Fungsi regulator dan operator yang sebelumnya dipegang oleh PT. Pelindo II (Persero) menjadi terpisah. Fungsi regulator kembali ke pemerintah dan fungsi operator dipegang oleh PT. Pelindo II (Persero) sama seperti operator lain, baik swasta termasuk peluang bagi pemerintah daerah melalui semangat otonomi daerah.5 Berkembangnya kegiatan usaha di pelabuhan memberikan pengaruh yang sama terhadap peningkatan iklim persaingan usaha di tingkat pelaku usaha pelabuhan. Hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur tentang interaksi perusahaan atau pelaku usaha di pasar, sementara tingkah laku perusahaan ketika berinteraksi dilandasi atas motifmotif ekonomi.6 Pengaturan hukum persaingan usaha termuat dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 yang bertujuan memberikan pedoman dan batasan bagi setiap pelaku usaha dalam melakukan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan aturan undang-undang. Salah satu sektor ekonomi yang mendapatkan perhatian lebih oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai lembaga yang berwenang menangani perkara persaingan usaha adalah pada sektor pelabuhan. Tingginya biaya logistik yang harus dikeluarkan oleh masyarakat dalam menggunakan jasa 4
Indonesia, Undang-Undang Pelayaran, UU No. 12 Tahun 1992, LN No. 98 Tahun 1992, TLN No. 3493 Tahun 1992, Ps. 26 ayat (1). 5
Redaksi Eksekutif, Kian Terbuka Peluang Swasta di Pelabuhan Eksekutif (Juni 2008):12.
6
Andi Fahmi Lubis, et al., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, (Jakarta: KPPU RI, 2009), hlm. 21.
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015
pelabuhan, menjadi salah satu dasar Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk lebih mengawasi sektor pelabuhan untuk mencegah adanya perilaku anti persaingan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha berharap dengan menjaga iklim persaingan yang sehat di sektor pelabuhan dapat menekan biaya logistik yang tinggi, sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Penegakan hukum persaingan usaha di sektor pelabuhan, dapat terlihat dari beberapa perkara hukum persaingan usaha yang telah ditangani oleh Komisi Pengawas Perasaingan Usaha. Hingga pada awal 2014 terdapat satu perkara di sektor pelabuhan yang kembali ditangani oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha mengenai dugaan pelanggaran Tying Agreement dan Monopoli terkait penggunaan Gantry Luffing Crane (GLC) oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI di Pelabuhan Tanjung Priok. Indikasi dugaan Pelanggaran UU Nomor 5 Tahun 1999, berawal dari insiatif Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang memeriksa kegiatan usaha di pelabuhan terutama yang dijalankan oleh PT. Pelindo II (Persero) dan anak perusahaannya yaitu PT. MTI. Dimana dalam hal ini, PT. Pelindo II (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara yang memiliki izin sebagai Badan Usaha Pelabuhan yang bertugas mengelola/mengoperasikan terminal dan fasilitas pelabuhan pada sepuluh provinsi dengan total sebanyak 12 pelabuhan yang salah satunya adalah Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta Utara – DKI Jakarta. Sedangkan, PT. MTI merupakan anak perusahaan dari PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) yang merupakan hasil spin off dari salah satu Divisi Cabang Pelabuhan Tanjung Priok yaitu Divisi Usaha Terminal (DUT). Izin yang didapatkan oleh PT. Pelindo II (Persero) sebagai Badan Usaha Pelabuhan memberikan unsur legalitas untuk melakukan sejumlah kegiatan usaha pelabuhan secara komersil yang memiliki landasan pengaturan dalam UU Nomor 17 Tahun 2008, seperti jasa bongkar muat barang, jasa penyediaan alat bongkar muat dan jasa pelayanan dermaga. Dalam hal ini posisi PT. MTI yang merupakan anak perusahaan dari PT. Pelindo II (Persero), juga telah memiliki izin usaha sebagai Badan Usaha Pelabuhan yang terpisah dari PT. Pelindo II (Persero) di wilayah Pelabuhan Tanjung Priok. Sehingga PT. MTI juga memiliki izin untuk menyediakan atau melayani jenis kegiatan usaha pelabuhan yang sama dengan PT. Pelindo II (Persero) sesuai dengan yang diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Namun, dalam prakteknya secara operasional PT. MTI tetap membutuhkan dukungan dari induk perusahaannya yaitu PT. Pelindo II (Persero) dalam melakukan kegiatan usaha pelabuhan.
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015
Kegiatan usaha untuk memberikan jasa bongkar muat barang, jasa penyediaan alat bongkar muat dan jasa pelayanan dermaga mulai menimbulkan kecurigaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha adanya tindakan anti persaingan dan praktek monopoli yang dilakukan PT. Pelindo II (Persero) dan anak perusahaannya PT. MTI. Hal ini yang membuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha menindaklanjuti kegiatan usaha kepalabuhan yang dilakukan PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI di Pelabuhan Tanjung Priok. Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, ditetapkan bahwa PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) sebagai Terlapor I dan PT. Multi Terminal Indonesia (MTI) sebagai Terlapor II. Dugaan ini bersumber dari ditemukannya surat pemberitahuan yang diterbitkan oleh PT. Pelindo II (Persero) selaku Terlapor I yang tercatat dalam Surat Pemberitahuan Nomor FP.003/103/10/....-12 tertanggal 21 September 2012 yang ditandatangani oleh General Manager Pelaksana Tugas, Cipto Pramono kepada seluruh mitra dan pengguna jasa dermaga di Pelabuhan Tanjung Priok. Dimana isi dari surat pemberitahuan tersebut mencakup tiga hal, yaitu: a. Menunjuk Surat Kuasa Direksi PT. Pelabuahan Indonesia II (Persero) Nomor M.15/2/7/PI.II.12 tanggal 9 Mei 2012 perihal pegoperasian Gantry Luffing Crane. b. Berkenaan dengan butir satu di atas, untuk meningkatkan produktivitas bongkar muat di lingkungan Pelaabuhan tanjung Priok dengan ini kami sampaikan bahwa kapalkapal yang sandar di dermaga dan sudah tersedia alat darat yang disediakan oleh PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) dan Mitra, dalam pelaksanaan kegiatan bongkar muat wajib menggunakan alat tersebut. c. Demikian pemberitahuan ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya kamu sampaikan terima kasih. Berdasarkan surat pemberitahuan tersebut, PT. Pelindo II (Persero) mewajibkan penggunaan Gantry Luffing Crane kepada kapal-kapal di dermaga yang telah disediakan crane darat Gantry Luffing Crane. Dermaga yang dimaksud dalam surat pemberitahuan tersebut, meliputi dermaga D101 Utara, D101 dan D102, dimana disetiap dermaga tersedia dua unit Gantry Luffing Crane. Dengan demikian PT. Pelindo II (Persero) telah menyediakan crane darat Gantry Luffing Crane sebanyak enam unit di tiga dermaga. Kewajiban penggunaan Gantry Luffing Crane juga dilakukan oleh PT. MTI selaku anak perusahaan PT. Pelindo II (Persero) kepada seluruh mitra dan pengguna jasa dermaga di
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015
Pelabuhan Tanjung Priok. Melalui Surat Pemberitahuan Nomor TH/12/1/12/MTI-2012 tertanggal 27 Agustus 2012 yang ditanda tangani oleh Direktur Utama PT. Multi Terminal Indonesia, Dede R. Martin. Bahwa surat pemberitahuan tersebut mencakup tiga hal, yaitu: a. Merujuk Surat Kuasa Direksi PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) Nomor TM.15/3/15/PI.II-11 tanggal 08 November 2011 perihal pemanfaatan alat bongkar muat baru, Surat Edaran PT. Multi Terminal Indonesia Nomor 498/8/17/MTI-2011 tanggal 30 November 2011 tentang penggunaan peralatan bongkar muat dan arahan direksi PT. Pelindo II (Persero) kepada PT. MTI tanggal 27 Agustus 2012 perihal produktivitas dan efisiensi pelayanan; b. Tersebut butir satu di atas, dengan ini kamu sampaikan hal-hal sebagai berikut: • Kepada para pengguna jas/mitra kerja PT. MTI wajib menggunakan alat bongkar muat darat/Gantry Luffing Crane (GLC) yang telah ada; • Apabila tidak berkenan menggunakan alat bongkar muat darat/GLC yang telah ada, kami tidak akan melayani kegiatan bongkar muat tersebut dan space dermaga akan diberikan kepada pengguna jasa yang bersedia menggunakan alat tersebut; • Terdapat mitra kerja yang sudah ada kontrak kerjasama dengan PT. MTI, akan dilakukan revisi atas kontrak tersebut. c. Demikian disampaikan, untuk perhatian semua pihak dan atas perhatiannya kami ucapan terima kasih. Dari surat pemberitahuan tersebut, yang dimaksud dengan dermaga adalah dermaga D114 dan D115 yang telah disediakan crane darat Gantry Luffing Crane. Pada dermaga D114 dan D115 telah dioperasikan tujuh unit Gantry Luffing Crane, lima diantaranya milik PT. Pelindo II (Persero) dan dua unit lainnya milik PT. MTI. Dalam Laporan Dugaan Pelanggaran UU Nomor 5 Tahun 1999 yang disangkakan kepada PT. MTI ditemukan bahwa telah terdapat kesepakatan dari surat pemberitahuan yang dikeluarkan oleh PT. MTI bersama para mitra kerjanya yaitu Perusahaan Bongkar Muat yang beroperasi di dermaga Tanjung Priok. Pihak yang menandatangani kesepakatan tersebut di Jakarta pada tanggal 21 Mei 2012, diantaranya adalah PT. MTI (Dede R. Martin selaku Direktur Utama), PT. Tubagus Jaya Mandiri (H. Tadjuddin IUS selaku Direktur), PT. Karya Abadi Luhur (Capt JF Irianto selaku General Manager Operasi), PT. Tirta Indah Kencana (Robert Rinaldi Irsjad selaku Direktur
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015
Marketing dan operasi) dan PT. Anugerah Firdaus Mandiri (Herman Firdaus selaku Direktur). Berdasarkan penjabaran di atas, Komisi Pengawas Persaingan Usaha menduga PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI telah melakukan praktek monopoli dan persaingan tidak sehat berkaitan dengan kegiatan usaha untuk mewajibkan penggunaan Gantry Luffing Crane pada dermaga D101 Utara, D101, D102, D114, dan D115 yang telah dioperasikan oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI di Pelabuhan Tanjung Priok. Komisi Pengawas Persaingan Usaha menduga PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI telah melakukan pelanggaran Pasal 15 ayat (2) mengenai tying agreement dan Pasal 17 mengenai monopoli pada UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada sektor pelabuhan. Dalam Laporan Dugaan Pelanggaran Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 17 UU Nomor 5 Tahun 1999 terjadi efektif setelah dikeluarkannya surat pemberitahuan Nomor. FP.003/103/10/....-12 tanggal 21 September 2012 oleh PT. Pelindo II (Persero) dan surat pemberitahuan Nomor TH/12/1/12/MTI-2012 tertanggal 27 Agustus 2012 yang dikeluarkan oleh PT. MTI mengenai kewajiban penggunaan Gantry Luffing Crane (GLC) kepada seluruh mitra dan pengguna jasa dermaga di Pelabuhan Tanjung Priok.7. Sampai saat skripsi ini ditulis, belum ada putusan yang dikeluarkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha terkait perkara pelanggaran UU Nomor 5 Tahun 1999 di sektor pelabuhan ini. Untuk itu penelitian ini memiliki pokok permasalahan : 1) Apakah kewajiban penggunaan Ganrtry Luffing Crane (GLC) dalam kegiatan bongkar muat di dermaga D101 Utara, D101, D102, D114, dan D115 Pelabuhan Tanjung Priok bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1999 ? ; 2)Bagaimana pengaturan penggunaan Gantry Luffing Crane (GLC) yang sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1999 ? Tinjauan Teoritis Dalam tulisan ini, Penulis memberikan pengertian terhadap istilah-istilah yang digunakan sebagai berikut:
7
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Laporan Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Dalam Sektor Pelabuhan Terkait Kewajiban Penggunaan Gantry Luffing Crane Untuk Kegiatan Bongkar Muat DI Pelabuhan Tanjung Priok, Op. Cit.,
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015
1.
Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.8
2.
Praktek Monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.9
3.
Tying
Agreement
adalah
bentuk
perjanjian
distribusi
dimana
distributor
diperbolehkan untuk membeli sutau barang tertentu (tying product) dengan syarat harus membeli barang lain (tied product).10 4.
Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaa lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.11
5.
Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.12
6.
Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batasbatas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi.13
8
Indonesia, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, LN No. 33 Tahun 1999, TLN No. 3817, Ps. 1 angka 1. 9
Ibid., Ps. 1 angka 2.
10
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman Pasal 15 tentang Perjanjian tertutup Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Perkom No. 5 Tahun 2011, hlm. 16. 11
Ibid., Ps. 1 angka 7.
12
Indonesia, Undnag-Undang Badan Usaha Milik Negara, UU Nomor 19 Tahun 2003, LN No. 70 Tahun 2003, TLN No. 4297, Ps. 1 angka 1. 13
Indonesia, Undang-Undang Pelayaran, UU No. 17 Tahun 2008, LN No. 64 Tahun 2008, TLN No. 4849, Ps. 1 angka 16.
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015
7.
Badan Usaha Pelabuhan adalah badan usaha yang kegiatan usahanya khusus di bidang penguasahaan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya.14
8.
Bongkar Muat adalah mengeluarkan dan memasukkan muatan dari atau ke kapal (kereta, dsb).15
9.
Dermaga adalah tembok rendah yg memanjang di tepi pantai menjorok ke laut di kawasan pelabuhan (untuk pangkalan dan bongkar muat barang).16
10. Alat crane merupakan alat yang utama dalam melakukan kegiatan bongkar muat kapal di pelabuhan.17 11. Gantry Luffing Crane merupakan tipe crane angkat dengan mekaanisme ekstra atau tambahan yang tetap mempertahankan posisi hock crane saat terjadi gerakan luffing atau gerakan mengangguk menurunkan hock atau jib penganggguk untuk menurukan tali pengangkat barang.18 Metode Penelitian Bentuk penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Menurut sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian eksploratoris. Penelitian ini bertujuan untuk mencari data awal tentang suatu gejala.19 Jenis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer guna mendapatkan data yang lengkap dan komprehensif. Metode analisis data yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Berdasarkan bentuk penelitian sebelumnya, bentuk hasil penelitian yang sesuai adalah deskriptif-analitis. Hasil ini memberikan penggambaran dan penjelasan berdasarkan analitis yang dilakukan dalam penelitian ini. Hasil penelitian juga diharapkan dapat memberikan gambaran secara lengkap terhadap permasalahan yang diteliti. 14
Ibid., Ps. 1 angka 28.
15
Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/bongkar, diunduh 10 September 2014.
16
Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/dermaga, diunduh 10 September 2014.
17
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Dalam Sektor Pelabuhan Terkait Kewajiban Penggunaan Gantry Luffing Crane Untuk Kegiatan Bongkar Muat Di Pelabuhan Tanjung Priok, (Jakarta: KPPU, 19 Agustus 2014), hlm. 3. 18
Ibid.
19
Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4.
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015
Pembahasan Kegiatan di pelabuhan erat kaitannya dengan pengaturan pelayaran dalam UU Nomor 17 Tahun 2008. Dalam undang-undang ini diatur pula mengenai kegiatan usaha yang dapat dijalankan di pelabuhan. Bagian dari kegiatan usaha pelabuhan yang diamanatkan UU Nomor 17 Tahun 2008, seperti penyediaan jasa dermaga, jasa bongkar muat, dan jasa alat bongkar muat yang dijalankan oleh Badan Usaha Pelabuhan (BUP). Hal ini yang menjadi dasar PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI menjalankan kegiatan usaha kepelabuhan. Namun, hal ini dipandang berbeda oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai lembaga independen yang berwenang menangani perkara persaingan usaha. Komisi Pengawas Persaingan Usaha menduga adanya pelanggaran terhadap Pasal 15 ayat (2) mengenai tying agreement dalam kegiatan usaha yang dijalankan oleh PT. Pelindo II (Pesero) dan PT. MTI. Berdasarkan teori persaingan usaha, pembuktian Pasal 15 ayat (2) menggunakan pendekatan per se illegal, namun menurut penulis untuk perkara persaingan usaha di pelabuhan ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha lebih relevan menggunakan pendekatan pembuktian rule of reason. Dimana Komisi Pengawas Persaingan Usaha tidak hanya menjabarkan unsur dari Pasal 15 ayat (2) tetapi juga melihat tujuan, alasan sah (legal), dan dampak yang ditimbulkan dari kegiatan usaha yang dijalankan oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI. Berdasarkan pendekatan rule of reason terdapat lima dasar dugaan yang menyatakan bahwa PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI telah melanggar Pasal 15 ayat (2), yaitu: a. Surat Pemberitahuan Termasuk Kualifikasi Tying Agreement Perjanjian memang merupakan salah satu unsur penting dalam membuktikan adanya praktek tying agreement yang dilakukan pelaku usaha. perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.20 Berdasarkan kedua surat pemberitahuan yang dikeluarkan PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI, keduanya dianggap telah membuat perjanjian dengan para mitra kerja dan pengguna jasa pelabuahan dengan mewajibkan kapal-kapal bermuatan break bulk yang menggunakan jasa dermaga untuk sandar/tambat di dermaga D101 Utara, D101, D102, D114, dan D115 Pelabuhan Tanjung Priok untuk menggunakan crane darat yaitu Gantry Luffing Crane dalam melakukan kegiatan 20
Indonesia, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, LN No. 33 Tahun 1999, TLN No. 3817, Ps 1 angka (7).
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015
bongkar muat. Pada prinsipnya, surat pemberitahuan yang diberitahukan kepada mitra kerja dan pengguna jasa pelabuhan tidak dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian. Dilihat dari sifat dikeluarkannya surat pemberitahuan, baik dari PT. Pelindo II (Persero) maupun PT. MTI adalah surat pemberitahuan yang sifatnya sepihak. Dimana sifat sepihak ini tidak memenuhi unsur perjanjian yang dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 1999, yang mengharuskan adanya pengikatan diri antara satu pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya. Sehingga unsur perjanjian seperti yang didefinisikan dalam Pasal 1 angka 7 tidak terpenuhi. b. Penentuan Pasar Bersangkutan Ke Dalam Tying Product dan Tied Product Penentuan pasar bersangkutan dalam tying agreement dapat dimasukkan ke dalam dua kategori yang tying product dan tied product. Tying product merupakan produk yang diinginkan oleh pembeli adalah “produk pengikat” dan tied product merupakan produk yang oleh penjual diwajibkan untuk dibeli oleh pembeli disebut sebagai “produk ikatan”.21 Penetapan pasar bersangkutan dalam dugaan pelanggaran Pasal 15 ayat (2), yaitu jasa pelayanan dermaga di Tanjung Priok untuk pelaksanaan kegiatan bongkar muat kapal yang bermuatan break bulk (tying product) dan jasa penyediaan crane untuk setiap kegiatan bongkar muat kapal yang bermuatan break bulk yang sandar di dermaga D101 Utara, D101, D102, D114, dan D115 pada Pelabuhan Tanjung Priok (tied product)22. Tanggapan yang diberikan oleh kedua Terlapor atas penentuan pasar bersangkutan dalam tying product dan tied product didasarkan pada penentuan pasar bersangkutan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang pelabuhan, karena kedudukan Terlapor I yaitu PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI sebagai Terlapor II merupakan Badan Usaha Pelabuhan (BUP) yang harus dibedakan dengan kegiatan usaha lepasan yang ada di pelabuhan. PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI mendasarkan kegiatan usaha yang dijalankan pada UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Dimana dalam UU Pelayaran ini mengatur mengenai kegiatan pengusahan di pelabuhan dan terkhusus mengenai Badan Usaha Pelabuhan. Pengaturan mengenai kegiatan usaha yang dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan secara spesifik diatur dalam Pasal 90 ayat (1) sampai ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2008. Berdasar Pasal 90 ayat (1), (2), dan ayat (3), PT. Pelindo II (Persero) dan PT. 21
22
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Perkom Nomor 5 Tahun 2011, Op. Cit., hlm. 16. Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Laporan Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 Dalam Sektor Pelabuhan Terkait Kewajiban Penggunaan Gantry Luffing Crane Untuk Kegiatan Bongkar Muat DI Pelabuhan Tanjung Priok, Op. Cit., hlm. 7.
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015
MTI pada dasarnya hanya berusaha untuk melaksanakan kegiatan berdasarkan amanat UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dengan memberikan penyediaan dan pelayanan jasa kepelabuhan seperti yang diamanatkan dalam Pasal 90 ayat (1). Jasa kepelabuhan yang dimaksud lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 90 ayat (2), yaitu penyediaan jasa kapal penumpang dan barang. Salah satu cara menjalankan Pasal 90 ayat (2), PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI menawarkan jasa penyediaan dermaga dan beberapa alat crane di pelabuhan sebagai pelaksana penyedia dan pelayanan jasa kepelabuhan. Penyediaan dermaga dan alat crane untuk kegiatan bongkar muat diperbolehkan oleh Pasal 90 ayat (3). Dimana dermaga yang dioperasikan/diusahakan oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI merupakan untuk memenuhi pemenuhan atas jasa dermaga untuk bertambat, jasa dermaga untuk pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang dan peti kemas. Sedangkan, alat crane yang disediakan oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI ditunjukkan untuk menunjang kegiatan penyediaan dan pelayanan jasa bongkar muat barang. c. Ada Pengikatan Antara Kegiatan Bongkar Muat dengan Tugas BUP Dilain sisi penentuan jasa pelayanan dermaga sebagai tying product dari kegiatan penyediaan crane sebagai tied product yang ditentukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha menjadi tidak tepat. Sebab, dengan izin usaha sebagai Badan Usaha Pelabuhan yang dimiliki oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI dalam menyediakan jasa pelayanan dermaga dan jasa penyediaan crane dalam kegiatan bongkar muat di Tanjung Priok merupakan satu kesatuan kegiatan usaha pelabuhan yang dilaksanakan oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI. Hal ini juga dapat dilihat dari jawaban Para Terlapor yang menyatakan bahwa, kegiatan bongkar muat merupakan tugas Badan Usaha Pelabuhan yang tidak dapat dipisahkan berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Kegiatan bongkar muat yang dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan diatur dalam Pasal 92 UU Nomor 17 Tahun 2008. Dari Pasal 92 tersebut dapat dianalisis bahwa jasa penyediaan dermaga di D101 Utara, D101, dan D102 yang dioperasikan/diusahakan oleh PT. Pelindo II (Persero) dan dermaga D114 dan D115 yang diopersikan/diusahakan oleh PT. MTI dengan penyediaan alata crane berupa Gantry Luffing Crane untuk kegiatan jasa bongkar muat merupakan tugas PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI selaku Badan Usaha Pelabuhan yang memiliki konsensi wilayah di Pelabuhan Tanjung Priok. Sehingga dalam hal ini jasa penyediaan dermaga dengan jasa penyediaan alat crane merupakan satu kesatuan produk (line product) yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Hal ini juga diperkuat dengan pengaturan dalam Pasal 90 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 1999.
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015
d. Adanya Unsur Paksaan Dalam Kewajiban Penggunaan Gantry Luffing Crane (GLC) Dalam perkara persaingan usaha di sektor pelabuhan yang melibatkan PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI, Komisi Pengawas Persaingan Usaha menduga adanya unsur paksaan dalam penggunaan Gantry Luffing Crane berdasarkan surat pemberitahuan PT. Pelindo II dan surat pemberitahuan PT. MTI. Berdasarkan surat pemberitahuan tersebut, PT. Pelindo II (Persero) telah menempatkan Gantry Luffing Crane pada dermaga D101 Utara, D101, dan D102 Pelabuhan Tanjung Priok. Sedangkan, PT. MTI telah Gantry Luffing Crane pada dermaga D114 dan D115 Pelabuhan Tanjung Priok. Sehingga dengan surat pemberitahuan itu pula, PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI mewajibkan kapal-kapal yang sandar di dermaga yang telah ditempatkan Gantry Luffing Crane untuk menggunakan crane darat tersebut dalam kegiatan bongkar muat kapal yang bermuatan break bulk. Dalam teori hukum persaingan usaha, melarang perjanjian pengikatan barang (tying agreement) dikarenakan barang dan/atau jasa yang tidak berkualitas dan tidak menguasai pasar akan terpaksa dibeli oleh konsumen karena diikatkan dengan barang dan/atau jasa yang berkualitas dan menguasai pasar. Bila dianalisis melalui teori hukum persaingan usaha tersebut, Gantry Luffing Crane seolah-olah menjadi barang ikatan yang tidak menguasai pasar. Padahal dengan kapasitas dan keunggulan yang ada, Gantry Luffing Crane menjadi salah satu jenis alat crane yang banyak digunakan perusahaan pelayaran dalam kegiatan bongkar muat dengan menyesuaikan jenis komoditi. Sedangkan, dermaga menjadi barang pengikat, dimana dermaga menjadi barang yang dibutuhkan oleh kapal-kapal yang ingin mendarat dan melakukan kegiatan bongkar muat. Anggapan yang demikian kurang tepat, sebab kewajiban penggunaan Gantry Luffing Crane tidak dimaksudkan untuk dilekatkan dengan dermaga D101 Utara, D101, D102, D114 dan D115 yang dioperasikan/diusahakan oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT.MTI. Melainkan, dasar kewajiban penggunaan Gantry Luffing Crane berkaitan dengan fungsi pelabuhan sebagai salah satu titik dari mata rantai distribusi. Dimana pelabuhan harus mempunyai kinerja yang baik sehingga mampu memberikan pelayanan yang efisien bagi pengguna jasa pelabuhan. Dari efisiensi pelabuhan akan dapat mengurangi biaya distribusi yang secara keseluruhan yang pada akhirnya dapat mengurangi biaya logistik. Biaya logistik yang semakin rendah akan berdampak pada meningkatnya daya saing suatu negara atau daerah.
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015
e. Dampak Penggunaan Gantry Luffing Crane (GLC) untuk Kegiatan Bongkar Muat Dari berbagai kegiatan usaha pelabuhan yang dilakukan oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI yang terindikasi dugaan pelanggaran Pasal 15 ayat (2), Komisi Pengawas Persaingan Usaha harus membuktikan semua dugaan tersebut dengan persepsi yang lebih luas mengenai kegiatan ussaha yang dijalankan pada sektor pelabuhan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pembuktian yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha mengenai dampak dari penggunaan Gantry Luffing Crane. Berdasarkan Laporan Dugaan Pelanggaran Pasal 15 ayat (2) yang disangkakan kepada PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI di Pelabuhan Tanjung Priok telah menyebutkan beberapa keunggulan dari penggunaan Gantry Luffing Crane. Beberapa keuntungan dalam menggunakan Gantry Luffing Crane, yaitu kebanyakan Gantry Luffing Crane memiliki konstruksi ringan dengan gerak menangguk/luffing yang lebih cepat dan memiliki gerak bongkar muat dengan daya jangkau yang cukup jauh di dalam palkah kapal; Kondisi atau konstruksi peralatan yang ringan; Memiliki daya fleksibilitas dalam menangani kargo-kargo kapal, khususnya dengan berbagai tipe atau karakteristiknya seperti curah kering, general cargo dan break bulk cargo dengan kapasitas 30-40 ton; Secara kualitatif memiliki level biaya yang lebih murah dibandingkan dengan tipe crane yang lain akibat material yang ringan. Sedangkan kekurangan atau kelemahan dalam penggunaan Gantry Luffing Crane, yaitu Dengan konstruksi yang lebih ringan, namun kondisi stabilitas crane relatif lebih rendah dibandingkan dengan crane fixed khususnya akibat pengaruh eksternal alam seperti angin kencang dan gempa bumi; Fleksibilitas crane menjadi berkurang di saat menangani barang dengan kapasitas lebih dari 50-60 ton; Memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi untuk mengangkut kargo-kargo dengan dimensi lebar yang berlebihan; Secara teknis Gantry Luffing Crane sering dipaksa mengangkat beban yang berlebih dalam hal ini mengakibatkan getaran di sepanjang konstruksi crane.23 Bila dianalisis, Komisi Pengawas Persaingan Usaha telah menyimpulkan terjadi pelanggaran Pasal 15 ayat (2) terkait penggunaan Gantry Luffing Crane dengan sangat sumir, mengingat Hukum Persaingan Usaha tujuan pokoknya adalah efisiensi. Adapun kesimpulan 23
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Laporan Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 Dalam Sektor Pelabuhan Terkait Kewajiban Penggunaan Gantry Luffing Crane Untuk Kegiatan Bongkar Muat DI Pelabuhan Tanjung Priok, Op. Cit., hlm. 4.
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015
Komisi Pengawas Persaingan Usaha tidak didasarkan pada pemeriksaan secara faktual kondisi persaingan yang terjadi di pelabuhan dan kurang memahami berbagai sistem kegiatan usaha di pelabuhan. Dikarenakan kewajiban efisiensi waktu, yang diwajibkan menggunakan Gantry Luffing Crane adalah kapal yang muatannya compatible (sesuai) dengan spesifikasi Gantry Luffing Crane. Sehingga tidak tepat jika Tim Investigator Komisi Pengawas Persaingan Usaha menyampaikan kesimpulan telah terjadinya praktek monopoli terhadap PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI dengan alasan bahwa tidak memungkinkan untuk menggunakan crane secara bersamaan untuk menurunkan muatan break bulk dari palkah/pintu kapal, dan adanya muatan yang melebihi kapasitas angkut Gantry Luffing Crane, karena sudah pasti muatan tersebut akan menggunakan alat lain seperti Container Crane, HMC, atau Short Crane, bukan dengan memaksakan penggunaan Gantry Luffing Crane. Dalam Laporan Dugaan Pelanggaran UU Nomor 5 Tahun 1999 di sektor pelabuhan, PT. Pelindo II (Persero) Dan PT. MTI tidak hanya diduga melanggar Pasal 15 ayat (2) mengenai tying agreement, melainkan juga diduga melanggar Pasal 17 mengenai monopoli. Dalam Laporan
Dugaan Pelanggaran, pelanggaran Pasal 17 oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI berkaitan dengan kewajiban penggunaan Gantry Luffing Crane pada dermaga D101 Utara, D101, D102, D114, dan D115 untuk kegiatan bongkar muat jenis break bulk. Komisi Pengawas Persaingan Usaha menduga dengan adanya kewajiban penggunaan Gantry Luffing Crane yang dilakukan oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI telah menyebabkan penggunaan jasa pelabuhan kehilangan alternatif, karena telah menghilangkan substitusi dekatnya yaitu Crane Kapal.24 Hal ini dapat dianalisis berdasarkan teori hukum persaingan usaha dan dikaitkan pengaturan Pasal 17, maka kegiatan menghilangkan substitusi terdekat yaitu Crane Kapal dalam kewajiban penggunaan Gantry Luffing Crane dapat juga dilihat dari trend pelabuhan di dunia. Penggunaan crane darat dirasakan lebih memaksimalkan muatan barang yang akan diangkut. Hal ini akan berbanding lurus dengan jumlah barang yang akan diangkut oleh pemilik kapal lebih besar, karena bagian untuk menempatkan crane kapal bisa dimanfaatkan untuk menempatkan barang yang akan diangkut. Pembuktian masih adanya Crane Kapal yang merupakan substitusi dari Gantry Luffing Crane dalam kegiatan bongkar muat, dapat dilihat melalui data prosentase penggunaan Gantry Luffing Crane oleh PT. MTI pada tahun 24
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Laporan Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Dalam Sektor Pelabuhan Terkait Kewajiban Penggunaan Gantry Luffing Crane Untuk Kegiatan Bongkar Muat DI Pelabuhan Tanjung Priok, Op. Cit., hlm. 6.
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015
2012 sebesar 10,44%, tahun 2013 sebesar 20,95% dan bulan Januari sampai Maret 2014 sebesar 26,50%25. Dari data tersebut dapat terlihat bahwa kegiatan bongkar muat di dermaga D114 dan D115 tidak 100% menggunakan Gantry Luffing Crane. Dengan kata lain, terdapat alat crane lain yang digunakan dalam proses kegiatan bongkar muat pada dermaga D114 dan D115. Sehingga, dugaan larangan Pasal 17 yang berkaitan dengan penghilangan substitusi akibat penggunaan Gantry Luffing Crane yang dilakukan PT. MTI sebagai Terlapor II dalam perkara persaingan usaha ini sudah tidak tepat. Dugaan pelanggaran Pasal 17 berkaitan dengan kegiatan menghilangkan barang substitusi yaitu Crane Kapal dalam kewajiban penggunaan Gantry Luffing Crane juga mendapat sanggahan dari PT. Pelindo II (Persero) sebagai Terlapor I. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh kuasa hukum PT. Pelindo II (Persero), didapatkan fakata bahwa dimana pada dermaga D101 Utara, D101 dan D102 tidak seluruh kegiatan bongkar muat menggunakan Gantry Luffing Crane.26 Akan tetapi, kapal yang melakukan kegiatan bongkar muat tetap dapat menggunakan alat crane yang terdapat didalam kapal. Hal ini juga dipengaruhi oleh luas dermaga dan ruang gerak Gantry Luffing Crane yang tidak dimungkinkan untuk setiap palkah yang terdapat pada kapal dipaksa menggunakan Gantry Luffing Crane. Berdasarkan Laporan Dugaan Pelanggaran Pasal 17, Komisi Pengawas Persaingan Usaha juga menduga efektifitas Surat Pembertitahuan Kewajiban Penggunaan Gantry Luffing Crane oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI disebabkan adanya kekuasaan PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI sebagai Badan Usaha Pelabuhan dalam menentukan kapal yang akan tambat di dermaga Pelabuhan Tanjung Priok untuk diarahkan ke dermaga D101 Utara, D101, D102, D114, dan D115. Dalam menganalisis adanya penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan dugaan pelanggaran Pasal 17 ini, dapat dilihat dari pengaturan atau regulasi yang mendasari kegiatan kapal untuk bersandar/bertambat. Dalam menentukan kapal tambat di Pelabuhan Tanjung Priok diatur dalam Peraturan Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Nomor UK.11212110/OP.TPK.11 tentang Tata Cara Pelayanan Kapal dan Bongkar Muat Barang Pelabuhan Tanjung Priok. Dengan adanya pengaturan mengenai tata cara pelayanan kapal bertambat yang dikeluarkan oleh Otoritas Pelabuhan, dapat disimpulkan bahwa PT. Pelindo II (Persero) sebagai Terlapor I dan PT. MTI sebagai Terlapor II tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan kapal yang akan tambat di dermaga D101 Utara, D101, D102, D114, dan D115 pada Pelabuhan Tanjung Priok. 25
PT. Multi Terminal Indonesia, PT. Multi Terminal Indonesia, Perbandingan Pemakaian Gantry Luffing Crane (GLC) Di Dermaga SS, 114 dan 115 Dengan Global Produksi Tahun 2012-2014, Op. Cit (Terlampir 4). 26
Teddy Anggoro, Selaku Kuasa Hukum PT. Pelindo II (Persero), Personal Interview (Terlampir 2).
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015
Dugaan pelanggaran Pasal 17 juga berkaitan dengan penentuan tarif yang dilakukan PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI dalam penggunaan Gantry Luffing Crane sebesar Rp17.000 per ton dalam kegiatan bongkar muat kapal bermuatan break bulk yang bersandar di dermaga D101 Utara, D101, D102, D114, dan D115 Pelabuhan Tanjung Priok. Berdasarkan
Laporan
Dugaan
Pelanggaran,
Komisi
Pengawas
Persaingan
Usaha
menyimpulkan bahwa pengguna jasa pelabuhan bermuatan brek bulk terpaksa menggunakan Gantry Luffing Crane meskipun terdapat tambahan biaya crane. Penambahan biaya crane ini yang juga diduga dapat menyebabkan harga pokok produksi importir meningkat dan berefek pada kenaikan harga barang di level end user/konsumen yang tidak didukung oleh data dan fakta. Dalam pemberlakuan tarif untuk menggunakan crane darat dengan jenis Gantry Luffing Crane sebesar Rp17.000,- per ton sudah melalui persetujuan dari Otoritas Pelabuhan. Hal ini dapat terlihat bahwa sejak tahun 2012 tarif penggunaan Gantry Luffing Crane tidak terdapat teguran atau pemberian sanksi yang diberikan oleh Otoritas Pelabuhan. Penentuan tarif sebesar Rp17.000,- per ton dalam menggunakan Gantry Luffing Crane melalui pertimbangan alat-alat crane darat lainnya yang sudah ada sebelumnya di pelabuhan. Sedangkan, untuk menganalisis kenaikan harga di level end user/konsumen harus melalui pengkajian pasar secara lebih mendalam. Dugaan Komisi Pengawasa Persaingan Usaha dalam Laporan Dugaan Pelanggaran bahwa terdapat kenaikan harga barang di level end user/konsumen akibat pengeluaran biaya terhadap kewajiban penggunaan Gantry Luffing Crane di dermaga D101 Utara, D101, D102, D114, dan D115 tidak memiliki dasar dugaan yang kuat. Sebab, pertimbangan untuk mewajibkan penggunaan Gantry Luffing Crane yang dilakukan oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI bukan hanya dari sisi komersil suatu bisnis atau usaha, melainkan bertujuan untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensi di kegiatan bongkar muat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melalui dampak positif penggunaan Gantry Luffing Crane dalam meningkatkan produktifitas dan efisiensi kegiatan bongkar muat yang akan berbanding lurus dengan pengurangan biaya berthing time yang dikeluarkan perusahaan pelayaran, akan berdampak pada efisien dan efektifitas biaya dalam kegiatan bongkar muat. Dengan demikian, akan menekan biaya yang dikeluarkan perusahaan pelayaran dalam melakukan kegiatan bongkar muat. Sehingga dugaan adanya kenaikan harga komoditi pada level end user/konsumen tidak tepat, karena dengan produktivitas bongkar muat yang tinggi dapat mengurangi biaya bongkar muat komiditi yang juga menstabilkan
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015
harga barang di level end user/konsumen. Hal ini yang membuktikan bahwa pelaku usaha di bidang pelabuhan juga memiliki tujuan yang sama dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk menekan biaya logistik di pelabuhan. Dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 selain memberikan aturan larangan terhadap kegiatan-kegiatan sebagaimana dijabarkan dalam pasal-pasalnya, juga memberikan aturan mengenai kegiatan yang dikecualikan. Pengecualian UU Nomor 5 Tahun 1999 dimaksudkan untuk menyesuaikan pengaturan kegiatan ekonomi lain yang juga diatur dalam berbagai undang-undang sektoral tertentu. Agar tidak terjadi kontradiksi pengaturan dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 diatur ketentuan pengecualian dalam UU Nomor 5 Tahun 1999.27 Pengecualian tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 50 huruf a sampai huruf i dan Pasal 51.28 Pengaturan pengecualian dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 yang dapat digunakan sebagai pengatur kesesuaian terhadap penggunaan Gantry Luffing Crane oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI adalah Pasal 50 huruf a, yang menyatakan bahwa “perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 50 huruf a ini, kegiatan usaha kepelabuhan mengenai penggunaan Gantry Luffing Crane yang dijalankan oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI dapat dikecualikan dari pengaturan UU Nomor 5 Tahun 1999 terutama terhadap larangan Pasal 15 ayat (2) mengenai tying agreement dan Pasal 17 mengenai monopoli. Sebab, pada dasarnya dalam pelaksanaan setiap kegiatan usaha pelabuhan yang dijalankan oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI bertujuan melaksanakan peraturan perundangundangan terutama UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayar. UU Nomor 17 Tahun 2008 mengatur dengan jelas setiap kegiatan usaha dan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan, terdapat dalam Pasal 90 ayat (3) sampai dengan Pasal 94. Penerapan pengecualian ini guna menghindari adanya kerancuan dalam penerapan UU Nomor 5 Tahun 1999 dalam melaksanakan amanat peraturan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Hal ini sejalan dengan tujuan dari ketentuan pengecualian Pasal 50 huruf a dalam Peraturan
27
Akhmad Muhari, “Praktek Monopoli Jasa Layanan Taksi Bandara: Studi Kasus Terhadap PutusanPutusan KPPU Tentang Pelanggaran Pasal 17 UU Nomor 5 Tahun 1999,” (Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesi, Juli 2012), hlm. 29. 28
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 Huruf A UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Perkom No. 5 Tahun 2009, hlm. 3.
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 5 Tahun 2009, seperti yang sudah disebutkan di atas. Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1999 juga mengatur mengenai pengecualian penerapan UU Nomor 5 Tahun 1999 yang dapat dikaitkan dengan penerapan pengecualian terhadap penggunaan Gantry Luffing Crane di Pelabuhan Tanjung Priok. Seiring dengan perkembang waktu PT. Pelindo II (Persero) yang sebelumnya berstatus perusahaan umum (perum) selanjutnya berubah menjadi perusahaan perseroan (PT) dimana 100% sahamnya dimiliki oleh Republik Indonesia. Hal ini yang menjadikan PT. Pelindo II (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara di sektor pelabuhan. Sehingga sebagai badan usaha berbadan hukum yang seluruh sahamnya dimiliki pemerintah, setiap kegiatan usaha pelabuhan juga harus diketahui dan disetujui oleh pemerintah dan harus sesuai memenuhi regulasi yang berkaitan dengan bidang usaha yang ditanganinya. Bila melihat jenis kegiatan usaha yang ditangani oleh PT. Pelindo II (Persero) pada sektor pelabuhan, PT. Pelindo II (Persero) harus mengikuti peraturan yang ada dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, didalamnya diatur mengenai kegiatan usaha kepelabuhan. PT. Pelindo II (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara sejak diundangkannya UU Nomor 17 Tahun 2008 sudah tidak memiliki fungsi sebagai regulator di pelabuhan, sehingga untuk menjalankan kegiatan usahanya membutuhkan izin usaha dari instansi pemerintah di pelabuhan yaitu Otoritas Pelabuhan untuk mengeluarkan izin sebagai Badan Usaha Pelabuhan. Izin usaha sebagai Badan Usaha Pelabuhan yang dimiliki oleh PT. Pelindo II (Persero) tercantum dalam Keputusan Menteri Nomor KP 98 Tahun 2011 tentang Pemberian Izin Usaha Kepada PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) Sebagai Badan Usaha Pelabuhan. PT. Pelindo II (Persero) sebagai Terlapor I dan PT. MTI sebagai Terlapor II yang merupakan Badan Usaha Pelabuhan, keduanya menjalankan kegiatan jasa pelabuhan sesuai dengan pengaturan di dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Dimana UU Nomor 17 Tahun 2008 tidak melarang Badan Usaha Pelabuhan untuk menyediakan atau melayani jasa dermaga untuk bertambat, jasa dermaga untuk pelaksanaan kegiatan bongkar muat, dan jasa penyediaan alat crane yang merupakan bagian dari jasa bongkar muat barang. Pada dasarnya setiap pelayanan jasa kepelabuhan yang dijalankan oleh perusahaan pelabuhan baik PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI harus melalui persetujuan Otoritas Pelabuhan yang merupakan instansi/lembaga pemerintah yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengendalikan setiap kegiatan
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015
dalam pelabuhan. Dalam hal ini Pelabuhan Tanjung Priok dipegang oleh Kantor Otoritas Pelabuhan II. Simpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dalam bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa simpulan atas masalah yang dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut: 1.
Dalam membuktikan kewajiban penggunaan Gantry Luffing Crane bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1999, dapat dilihat dari dugaan pelanggaran yang disangkakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yaitu Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 17. Dalam Pasal 15 ayat (2) mengenai tying agreement pada prinsipnya pendekatan pembuktian yang digunakan adalah per se illegal. Namun, dalam perkara persaingan usaha yang melibatkan PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI lebih relevan menggunakan pendekatan rule of reason. Sehingga dalam hal ini kegiatan kewajiban penggunaan Ganrtry Luffing Crane (GLC) yang dilakukan oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI menjadi tidak melanggar Pasal 15 ayat (2). Karena dalam hal ini, penggunaan Gantry Luffing Crane menunjukkan dampak positif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak negatifnya bagi kegiatan bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok. Lebih lanjut kegiatan kewajiban penggunaan Gantry Luffing Crane juga terdapat alasan yang sah berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 1999. Hal lain yang menguatkan penggunaan Gantry Luffing Crane tidak melanggar Pasal 15 ayat (2) karena terdapat tujuan untuk menciptakan produktivitas kegiatan bongkar muat. Sedangkan untuk Pasal 17, pendekatan pembuktiannya juga menggunakan rule of reason. Oleh karena itu Komisi Pengawas Persaingan Usaha harus membuktikan banyak faktor untuk menentukan pelaku usaha telah melanggar Pasal 17. Sehingga, dalam hal pembuktian adanya pertentangan dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 Komisi Pengawas Persaingan Usaha tidak hanya harus menjabarkan tiap unsur yang terdapat di Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 17 melainkan juga mempertimbangkan struktur pasar, perilaku pelaku usaha dan dampak terhadap persaingan usaha.
2.
Kesesuaian pengaturan persaingan usaha terkait Penggunaan Gantry Luffing Crane untuk kegiatan bongkar muat di dermaga D101 Utara, D101, D102, D114, dan D115 Pelabuhan Tanjung Priok dapat dikecualikan dari penerapan UU Nomor 5 Tahun1999 berdasarkan Pasal 50 huruf a dan Pasal 51. Hal ini berkaitan dengan PT. Pelindo II (Persero) dan PT.
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015
MTI sebagai Badan Usaha Pelabuhan yang merupakan badan usaha yang kegiatan usahanya di bidang pengusahaan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya. Berdasarkan Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999, perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dikecualikan dari UU Nomor 5 Tahun 1999. Berkaitan pengaturan Pasal 50 huruf a dan dugaan pelanggaran Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 17 kepada PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI, pada dasarnya kewajiban penggunaan Gantry Luffing Crane yang berdasarkan surat pemberitahuan yang dikeluarkan oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI hanya bertujuan untuk melaksanakan amanat UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Dimana dalam Pasal 90 ayat (3) sampai dengan Pasal 94 diatur mengenai kegiatan usaha di pelabuhan yang dijalankan oleh Badan Usaha Pelabuhan sebagai operator yang mengoperasikan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya. Pengaturan kesesuaian terhadap kegiatan usaha terkait penggunaan Gantry Luffing Crane oleh PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI untuk kegiatan bongkar muat kapal bermuatan break bulk pada dermaga D101 Utara, D101, D102, D114, dan D115 di Pelabuhan Tanjung Priok juga dapat dikecualikan dari penerapan UU Nomor 5 Tahun 1999 berdasarkan Pasal 51. Pengaturan Pasal 51 menyatakan bahwa monopoli dan atau pemusataan kegiatan yang terkait kepentingan bagi negara dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lemabaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah dikecualikan dari UU Nomor 5 Tahun 1999. Hal ini didasari pada status Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dimiliki oleh PT. Pelindo II (Persero). Sebelum diundangkannya UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, PT. Pelindo II (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dilimpahkan oleh Pemerintah untuk bertindak sebagai penyelenggara pelabuhan dan terhadap badan usaha penyelenggara kegiatan pelabuhan lainnya dapat diikutsertakan atas dasar kerja sama dengan BUMN. PT. MTI yang merupakan anak perusahaan dari PT. Pelindo II (Persero), juga merupakan badan usaha penyelenggaran kegiatan pelabuhan atas dasar kerja sama dengan BUMN (PT. Pelindo II (Persero)). Saran 1.
Dalam hal pembuktian perkara pelabuhan ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha lebih baik menggunakan pendekatan rule of reason baik untuk Pasal 15 ayat (2) maupun Pasal 17. Sehingga Komisi Pengawas Persaingan Usaha harus melihat mengenai dampak yang ada dari kegiatan penggunaan Gantry Luffing Crane. Agar proses pembuktian yang ada
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015
tidak hanya berdasarkan pertimbangan yang terdapat di UU Nomor 5 Tahun 1999 namun juga harus melihat undang-undang terkait lainnya, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2008. 2.
Dengan adanya perkara kegiatan usaha pelabuhan ini, PT. Pelindo II (Persero) dan PT. MTI harus mulai memperhatikan setiap undang-undang yang terkait dengan kegiatan usaha pelabuhan yang dilakukannya. Salah satunya adalah UU Nomor 5 Tahun 1999, karena tidak dapat dipungkiri saat ini pelabuhan tidak hanya fasilitas yang disediakan oleh negara, namun sudah menjadi wilayah bisnis yang menjanjikan.
3.
Otoritas Pelabuhan sebagai pihak regulator dalam mengatur, mengendalikan dan mengawasi kegiatan pelabuhan, perlu segera melakukan pengkajian lebih lanjut mengenai efektifitas keberlakuan Surat Pemberitahuan Nomor FP.003/103/10/....-12 yang dikeluarkan oleh PT. Pelindo II (Pesero) dan Surat Pemberitahuan Nomor TH.12/1/12/MTI-2012 yang dikeluarkan oleh PT. MTI terkait penggunaan Gantry Luffing Crane pada dermaga D101 Utara, D101, D102, D114, dan D115 di Pelabuhan Tanjung Priok. Melihat perkembangan yang ada dari penggunaan kedua surat pemberitahuan ini yang sebelumnya tidak diantisipasi oleh Otoritas Pelabuhan. Hal ini untuk menghindari adanya kontradiksi antar undang-undang sektoral dan menjaga kelangsungan usaha di pelabuhan.
Daftar Referensi Buku Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2010). Data Pokok Kelautan Dan Perikanan Tahun 2009. Jakarta. Gultom, Elfrida. (2007). Refungsionalisasi Pengaturan Pelabuhan Untuk Meningkatkan Ekonomi Nasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Lubis, Andi Fahmi. Et al. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks. Jakarta: KPPU RI, 2009. Muhari, Akhmad. (2012). “Praktek Monopoli Jasa Layanan Taksi Bandara: Studi Kasus Terhadap Putusan-Putusan KPPU Tentang Pelanggaran Pasal 17 UU Nomor 5 Tahun 1999.” Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesi, Juli. Mamudji, Sri. Et al. (2005). Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Jurnal, Artikel, Majalah
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015
Redaksi Eksekutif. (2008, 9 Juni). Kian Terbuka Peluang Swasta Di Pelabuhan. Eksekutif: 12.
Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Undang-Undang Pelayaran, UU No. 12 Tahun 1992, LN No. 98 Tahun 1992, TLN No. 3493 Tahun 1992. Indonesia. Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, LN No. 33 Tahun 1999, TLN No. 3817. Indonesia. Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara, UU No. 19 Tahun 2003, LN No. 70 Tahun 2003, TLN No. 4297. Indonesia, Undang-Undang Pelayaran, UU No. 17 Tahun 2008, LN No. 64 Tahun 2008, TLN No. 4849. Komisi Pengawas Persaingan Indonesia. Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Dalam Sektor Pelabuhan Terkait Kewajiban Penggunaan Gantry Luffing Crane Untuk Kegiatan Bongkar Muat Di Pelabuhan Tanjung Priok.Jakarta, 19 Agustus 2014. Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman Pasal 15 tentang Perjanjian tertutup Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Perkom No. 5 Tahun 2011. Lain-lain Intisari Wawancara Dengan Teddy Anggoro Selaku Kuasa Hukum PT. Pelindo II (Persero). Tanggal 11 November 2014. Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 Huruf A UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Perkom No. 5 Tahun 2009. PT. Multi Terminal Indonesia. Perbandingan Pemakaian Gantry Luffing Crane (GLC) Di Dermaga SS, 114 dan 115 Dengan Global Produksi Tahun 2012-2014. Internet Kamus Besar Bahasa Indonesia. http://http/kbbi.web.id/bongkar. Diunduh 10 September 2014.
Tinjauan yuridis terhadap ..., Tria Febriani, FH UI, 2015