Tinjauan Yuridis Atas Penerapan Pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal Dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Archie Michael Hasudungan, Ditha Wiradiputra Program Studi Sarjana Reguler, Fakultas Hukum Universitas Indonesia ABSTRAK Skripsi ini membahas bagaimana pendekatan yang digunakan KPPU dan otoritas penegakan hukum persaingan usaha lainnya dalam memeriksa perkara-perkara yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif menggunakan data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan pendekatan yang berbeda dalam penerapan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat menghasilkan putusan yang berbeda. Pendekatan yang lebih tepat untuk diterapkan adalah Rule of Reason. Di dalam menggunakan pendekatan Rule of Reason, KPPU dan otoritas penegakan hukum persaingan usaha lainnya perlu membuktikan unsur tambahan. Pertama, unsur perilaku penyalahgunaan posisi dominan yang dibuktikan dengan mengacu pada ketentuan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 atau pada tindakan anti-persaingan lainnya. Kedua, unsur dampak negatif terhadap persaingan yang dilakukan dengan menilai pengaruh pemilikan saham mayoritas atau pendirian beberapa perusahaan sejenis terhadap: (a) tingkat kompetisi di pasar bersangkutan; (b) price leadership; (c) excessive pricing; (d) excessive profit; dan (e) kerugian konsumen. Kata Kunci : Hukum Persaingan Usaha; Pemilikan Saham Silang; Per Se Illegal; Rule of Reason. ABSTRACT This Thesis answers the problem of how is the approach that KPPU and other antitrust law authorities used in examining cases involving Article 27 Law Number 5 Year 1999. This research is a normative legal research using secondary data. The result of this research shows that applying different approaches in cases involving Article 27 Law Number 5 Year 1999 could resulting in different decision. Rule of Reason is the more suitable approach to be applied in such cases. In applying Rule of Reason, KPPU and other antitrust law authorities have to prove additional factors. First, the abuse of dominant position, be evidenced by referred to Article 25 (1) Law Number 5 Year 1999 or other anti-competition acts. Second, negative impact on competition in the relevant market, be evidenced by judging the effect of majority shareholding or establishment of similar companies towards: (a) competitiveness in the relevant market; (b) price leadership; (c) excessive pricing; (d) excessive profit; and (e) consumers loss. Key words : Antitrust Law; Cross Shareholding; Per Se Illegal; Rule of Reason. Latar Belakang Pendekatan yang digunakan terhadap suatu ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
(“Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999”) sangat memengaruhi proses pemeriksaan atas perkara yang menyangkut ketentuan tersebut, baik dalam tingkat pemeriksaan di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (“KPPU”), tingkat keberatan di Pengadilan Negeri, maupun tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Hal ini dikarenakan pendekatan mencerminkan sifat ketentuan pengaturan tersebut sekaligus sebagai pedoman hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara yang berkaitan dengan ketentuan tersebut. Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menentukan, “Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan: a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.” Di dalam menerapkan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, sebagaimana
juga
diterapkan
terhadap
ketentuan-ketentuan
lainnya,
KPPU
dapat
menggunakan pendekatan untuk menilai apakah pemilikan posisi dominan yang dimiliki oleh pelaku usaha telah melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 atau tidak. Ada dua macam pendekatan yang dapat diterapkan, yaitu pendekatan Per Se Illegal dan Rule of Reason. Pendekatan Per Se Illegal adalah suatu pendekatan yang menyatakan suatu perjanjian atau kegiatan tertentu sebagai perbuatan yang dilarang tanpa dibuktikan lebih lanjut dampak yang ditimbulkan oleh perjanjian atau kegiatan tersebut.1 Sementara pendekatan Rule of Reason adalah suatu pendekatan yang dipergunakan oleh KPPU untuk membuat evaluasi mengenai akibat suatu perjanjian atau kegiatan tertentu, apakah telah menimbulkan akibat yang disebutkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.2 Pendekatan Per Se Illegal dan Rule of Reason kerap menjadi acuan bagi Majelis KPPU maupun hakim dalam mempertimbangkan apakah suatu tindakan pelaku usaha melanggar Undang-Undang atau tidak. Khusus untuk ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 KPPU telah mengeluarkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 27 (Pemilikan Saham) Undang-Undang 1
Ningrum Natasya Sirait, et al., Ikhtisar Ketentuan Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program (NLRP), 2010), hlm. 172. 2
A. M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat: Perse Illegal atau Rule of Reason, cet. 1, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm. 8.
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“Perkom Nomor 7 Tahun 2011”) yang menentukan bahwa pendekatan yang digunakan dalam menganalisa Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bersifat Per Se Illegal. Pertimbangan Majelis KPPU dalam Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) atas perkara Group 21, yaitu Putusan KPPU Nomor 05/KPPU-L/2002 menggunakan pendekatan Per Se Illegal dalam memeriksa apakah Terlapor dalam perkara tersebut melakukan pelanggaran terhadap Pasal 27 UU No. 5 Tahun 1999 atau tidak.3 Tetapi, dalam putusan Komisi KPPU atas perkara Temasek, yakni Putusan KPPU Nomor 07/KPPU-L/2007, KPPU memutus berdasarkan pertimbangan bahwa pendekatan yang seharusnya dilakukan terhadap Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah Rule of Reason.4 Di satu sisi, hal tersebut di atas menunjukkan bahwa tidak ada pembedaan yang kaku terhadap ketentuanketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, apakah menggunakan pendekatan Rule of Reason atau Per Se Illegal. Ada kemungkinan terhadap satu ketentuan yang sama, dapat digunakan salah satu dari kedua pendekatan tersebut, tergantung pada kondisi yang melingkupi perkara yang sedang diperiksa. Namun di sisi lain, fleksibilitas penggunaan suatu pendekatan dalam memeriksa tindakan pelaku usaha yang diduga melanggar suatu ketentuan yang
sama
dalam
Undang-Undang
Nomor
5
Tahun
1999
dapat
menimbulkan
kesimpangsiuran dan ketidakpastian bagi pelaku usaha yang diperiksa. Untuk menjaga asas kepastian hukum serta untuk mendukung penerapan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 secara cermat dan tepat dalam mencapai tujuannya5, perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang menentukan pendekatan yang digunakan terhadap suatu ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Oleh karena itu, karya tulis ilmiah ini disusun, dengan tujuan untuk dapat mengetahui pendekatan yang digunakan oleh KPPU dan otoritas-otoritas penegakan Hukum Persaingan
3
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (a), Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-L/2002, hlm. 41-42. Poin 23.11 putusan tersebut berbunyi, “Bahwa Terlapor III terbukti memiliki saham mayoritas di beberapa perusahaan yang bergerak dibidang perbioskopan yaitu PT Intra Mandiri dan PT Wedu Mitra di pasar bersangkutan yang sama yaitu di Surabaya. Bioskop-bioskop yang dimiliki oleh kedua perusahaan tersebut menguasai lebih dari 50% pangsa pasar, sehingga kepemilikan saham Terlapor III tersebut memenuhi ketentuan Pasal 27 UU No. 5 Tahun 1999.” 4
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (b), Putusan Perkara Nomor 07/KPPU-L/2007, hlm. 625. Poin 5.4.4 putusan tersebut berbunyi, “Mengenai perspektif terhadap Pasal 27, Majelis Komisi dalam perkara ini menggunakan perspektif maksimalis....” Sementara Poin 5.4.3 putusan tersebut berbunyi, “Berbeda dengan perspektif minimalis, perspektif maksimalis berpendapat bahwa.... Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rule of reason karena tugas Komisi secara umum adalah menilai ada tidaknya dampak negatif suatu praktek usaha terhadap persaingan.” 5
Anggraini, op.cit., hlm. 9.
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
Usaha lainnya dalam memeriksa perkara-perkara yang berkaitan dengan Pasal 27 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999. Ada dua pokok permasalahan yang diangkat, yakni: 1. Bagaimana pendekatan yang digunakan oleh KPPU dalam memeriksa perkara-perkara yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999? 2. Bagaimana pendekatan yang digunakan oleh otoritas-otoritas penegakan Hukum Persaingan Usaha lainnya dalam memeriksa perkara-perkara yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999?
Tinjauan Teoretis Terhadap Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 serta Pendekatan Per Se Illegal dan Rule of Reason Unsur-unsur Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 antara lain: 1. Pelaku usaha; yakni setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.6 2. Memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama; unsur ini mensyaratkan pelaku usaha memiliki saham mayoritas dalam beberapa perusahaan yang sejenis dengan pelaku usaha tersebut. ‘Saham mayoritas’ secara umum dapat diartikan sebagai pemilikan saham di atas 50%7, sementara di dalam Putusan KPPU Nomor 07/KPPU-L/2007 saham mayoritas diartikan sebagai pemilikan saham yang mengakibatkan pemegang saham tersebut dapat mengendalikan suatu perusahaan.8 Sedangkan ‘perusahaan sejenis’ adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama dengan pelaku usaha yang memiliki saham mayoritas tersebut.
3. Mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama; dan
6
Indonesia (a), Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Nomor 5 Tahun 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817, Pasal 1 butir 5. 7
Pande Radja Silalahi, Posisi Dominan & Pemilikan Silang: Studi Kasus Persaingan Usaha, (2008),
hlm. 113. 8
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (b), Putusan Perkara Nomor 07/KPPU-L/2007, hlm. 635.
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
4. Mengakibatkan: a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu
Pada intinya ada dua macam tindakan yang dilarang dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu pemilikan saham mayoritas dan pendirian beberapa perusahaan sejenis yang mengakibatkan penguasaan pangsa pasar di atas 50% untuk satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha, atau di atas 75% untuk dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (sama dengan pemilikan posisi dominan). Di samping unsur pelaku usaha dan pemilikan posisi dominan, hanya cukup memenuhi salah satu dari kedua tindakan tersebut untuk dapat dikatakan telah memenuhi unsur-unsur Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Tindakan pemilikan saham mayoritas dapat terjadi melalui pendirian perseroan, pengambilalihan atau akuisisi saham, atau pembelian saham melalui bursa. Saham memberikan hak kepada pemegangnya, antara lain hak untuk: (1) menghadiri dan mengeluarkan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS); (2) menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi; dan (3) menjalankan hak lainnya berdasarkan Undang-Undang.9 Hak lain tersebut diatur dalam Anggaran Dasar perseroan, termasuk hak khusus bagi pemegang saham pengendali untuk mencalonkan anggota Direksi dan/ atau Dewan Komisaris.10 Kondisi ini yang dijadikan dasar oleh KPPU untuk menentukan penafsiran terhadap frasa ‘pemilikan saham mayoritas’. Sedangkan tindakan pendirian beberapa perusahaan sejenis dapat terjadi baik karena pendirian perusahaan yang benar-benar baru, akibat peleburan perusahaan, maupun akibat pemisahan unit usaha suatu perusahaan menjadi sebuah perusahaan baru. Terhadap Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat dinilai dengan pendekatan Per Se Illegal atau Rule of Reason. Secara historis, kedua pendekatan tersebut
9
Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas, Nomor 40 Tahun 2007, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756, Pasal 52 ayat (1). 10
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Tentang Pedoman Pasal 27 (Pemilikan Silang) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Nomor 7 Tahun 2011, Lampiran hlm. 10.
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
pertama kali muncul sejak disahkannya the Sherman Act pada tahun 1890.11 Selama seperempat abad berlakunya the Sherman Act, pengadilan federal di Amerika Serikat telah mengambil tiga bentuk analisis yang berbeda, untuk menjelaskan apakah umpamanya, suatu perjanjian
horizontal melanggar Pasal 1 Sherman Act: 1.
Model pertama dikemukakan oleh Hakim Rufus Peckham, yaitu dengan cara membedakan semua perjanjian yang ‘langsung’ menghambat perdagangan dianggap sebagai melawan hukum (ilegal), dan sebaliknya, semua perjanjian yang ‘tidak secara langsung’ menghambat perdagangan dianggap sah (legal). Model yang pertama ini dikenal dengan pendekatan Per Se Illegal.12
2. Model kedua dikemukakan oleh hakim William Howard Taft yang membaca tuduhan
Kongres mengenai restraint of trade yang terdapat dalam Undang-Undang Antitrust federal memiliki pengertian sama dengan konsep common law. Kemudian Taft berusaha menyatukan berbagai keputusan common law ke dalam pendekatan yang koheren, dan menentukan hambatan tambahan (ancillary restraints) adalah tujuan yang sah (lawful purpose), dan perlu mencapai tujuan tersebut dengan cara sah, serta hambatan lain sebagai illegal.13 3. Model ketiga, hakim Louis Brandeis menyaring kembali Rule of Reason dalam
keputusan Mahkamah Agung sebelumnya, dengan membolehkan para hakim untuk meninjau semua fakta yang melingkupi perjanjian tertentu, kemudian menentukan kesimpulan sendiri, apakah suatu perjanjian tersebut bersifat mendukung atau merugikan persaingan.14
Roger E. Meiners, dengan mengutip pendapat Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus Northern Pacific Railroads Co. V. United States, mengatakan bahwa Per Se approach diterapkan terhadap: “...activities which because of their pernicious effect on competition and lack of any redeeming virtue are conclusively presumed to be unreasonable and therefore illegal 11
S. Chesterfied Oppenheim, “Federal Antitrust Legislation: Guideposts to a Revised National Anitrust Policy”, dalam Sylvester E. Berki, ed., Antitrust Policy: Economics and Law, (Boston: D.C. Heath and Company, 1966), hlm. 8. 12
Anggraini¸ op.cit., hlm. 79, mengutip Stephen F. Ross, Principles of Antitrust Law, (Westbury New York: The Foundation Press Inc., 1993), hlm. 118. 13
Ibid., hlm. 79-80, mengutip Ross, ibid.
14
Ibid., hlm. 80, mengutip Ross, ibid., hlm. 118-119.
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
without elaborate inquiry as to the precise harm they have caused or business excuse for their use.”15 Sementara Kissane dan Benerofe menyatakan bahwa suatu tindakan dikatakan ilegal secara per se apabila “....it falls into a class of acts that courts have determined are so obviously anticompetitive that little or no analysis of the particular facts of the case at hand are necessary to rule the act illegal.”16 Jadi, dapat disimpulkan bahwa pendekatan ini memiliki karakteristik dapat menyatakan suatu perjanjian atau perbuatan sebagai ilegal tanpa harus membuktikan lebih lanjut dengan analisis terhadap dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau perbuatan tersebut. Batasannya, jenis perilaku yang ditetapkan secara Per Se Illegal hanya akan dilaksanakan setelah pengadilan memiliki pengalaman yang memadai terhadap perilaku tersebut, yakni bahwa perilaku tersebut hampir selalu bersifat anti persaingan, dan hampir selalu tidak pernah membawa manfaat sosial. 17 Lebih lanjut Kaysen dan Turner, sebagaimana dikutip Anggraini mengatakan, pendekatan Per Se Illegal harus memenuhi dua syarat, yaitu: (1) harus ditujukan lebih kepada “perilaku bisnis” daripada situasi pasar; dan (2) adanya identifikasi secara cepat atau mudah mengenai jenis praktik atau batasan perilaku yang terlarang.18 Rumusan Rule of Reason pertama kali dicetuskan oleh Justice White dalam memutus perkara Standard Oil Co. v. United States, yaitu “only unreasonable restraints of trade and unreasonable attempts to monopolize violate the Sherman Act.”19 Ginting berpendapat, kriteria Rule of Reason menentukan meskipun suatu perbuatan telah memenuhi rumusan undang-undang, namun jika ada alasan objektif (biasanya alasan ekonomi) yang dapat membenarkan (reasonable) perbuatan tersebut, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu pelanggaran. Artinya, penerapan hukumnya bergantung pada akibat yang ditimbulkannya, apakah perbuatan dari pelaku usaha tersebut telah menimbulkan praktik monopoli atau 15
Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, cet. 2, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 65, mengutip Roger E. Meiners, The Legal Environment of Business, (St. Paul: West Publishing Company, 1998), hlm. 402. 16
Ibid., mengutip Jonathan Kissane dan Steven J. Benerofe, Antitrust and the Regulation of Competition: Glossary, On-line edition, 1996. 17
Anggraini, op.cit., hlm. 92, mengutip Herbert Hovenkamp, Antitrust (St. Paul Minnesota: West Publishing Co., 1993), hlm. 91. 18
Ibid., hlm. 92-93, mengutip Carl Kaysen dan Donald F. Turner, Antitrust Policy: an Ecoomic and Legal Analysis, (Cambridge: Harvard University Press, 1971), hlm . 143. 19
Elyta Ras Ginting, Hukum Anti Monopoli Indonesia: Analisis dan Perbandingan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 28, mengutip Whitman dan Gergazc (1998), hlm. 378.
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
praktik usaha tidak sehat lainnya.20 Di dalam pendekatan Rule of Reason pengadilan disyaratkan untuk mempertimbangkan faktor-faktor seperti latar belakang dilakukannya tindakan, alasan bisnis di balik tindakan itu, serta posisi si pelaku tindakan dalam industri tertentu. Setelah mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, barulah dapat ditentukan apakah suatu tindakan bersifat ilegal atau tidak.21 Oppenheim memberikan pengertian Rule of Reason sebagai berikut:
The Rule of Reason draws the line between zones of legal and illegal conduct under the antitrust laws by consideration of all the factors and circumstances in any given situation. It permits consideration and analysis of any transaction or market condition in the light of all the record evidence admitted for its materiality, relevancy, and probative value in relation to the antitrust issues in the case. Whereas a per se rule immediately brands the operative fact embraced by it as unreasonable, the Rule of Reason opens the way to reliance upon a broad range of discretion in weighing the evidence of defences of justification compatible with the purposes of the antitrust statutes. The Rule of Reason operates through a process of inclusion and exclusion in a case-by-case consideration of all the facts. The per se illegality doctrine operates by converting predetermined single-fact categories into fixed rules of law.22 Dapat disimpulkan, dengan analisis Rule of Reason, tindakan-tindakan yang berada dalam grey area antara legalitas dan ilegalitas, namun ternyata berpengaruh positif terhadap persaingan menjadi berpeluang untuk diperbolehkan. Pendekatan ini seakan menjadi jaminan para pelaku usaha untuk mengambil langkah bisnis apapun sepanjang reasonable.23
Metode Penelitian Penelitian ini berbentuk yuridis-normatif yang dilakukan dengan metode kepustakaan. Berdasarkan sifatnya, penelitian ini memiliki tipe penelitian deskriptif yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Dalam penelitian ini, gejala yang dicari adalah faktor penentu terhadap pendekatan mana yang akan digunakan untuk pemeriksaan perkara persaingan usaha yang berkaitan dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Sementara berdasarkan dasar ilmu 20
Ibid., hlm. 28-29.
21
Siswanto, op.cit., hlm. 66, mengutip Roger E. Meiners, The Legal Environment of Business, (St. Paul: West Publishing Company, 1998), hlm. 403. 22
Oppenheim, op.cit., hlm. 10-11.
23
Siswanto, op.cit., hlm. 66-67.
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
yang dipergunakan, penelitian ini merupakan penelitian monodisipliner yang didasarkan pada satu jenis ilmu pengetahuan dengan menerapkan metodologi yang lazim dilaksanakan oleh ilmu yang bersangkutan. Dalam hal ini, penelitian ini merupakan penelitian hukum yang berfokus pada ilmu hukum khususnya Hukum Persaingan Usaha. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, meliputi: a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Perkom Nomor 7 Tahun 2011, dan peraturan lainnya yang berkaitan, serta beberapa putusan pengadilan: (1) Putusan KPPU Nomor 05/KPPU-L/2002; (2) Putusan KPPU Nomor 07/KPPU-L/2007; (3) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 02/KPPU/2007/PN.JKT.PST; dan (4) Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 496 K/Pdt.Sus/2008. b. Bahan hukum sekunder, meliputi berbagai literatur yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, serta jurnal-jurnal ilmiah yang membahas masalah terkait dan bahan pustaka lainnya yang berupa buku-buku seputar Hukum Persaingan Usaha. c. Bahan hukum tersier, yaitu kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif untuk kemudian dapat menuangkan hasil yang bersifat deskriptif analitis.
Hasil Penelitian Untuk menjawab pokok permasalahan, maka perlu melakukan kajian terhadap putusanputusan KPPU dan pengadilan yang terkait dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pada intinya ada dua perkara yang berkaitan terkait dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan telah diputus, yaitu Perkara Group 21 dan Perkara Temasek. Perkara Group 21 melibatkan PT Camila Internusa Film dan PT Satyra Perkara Esthetika Film sebagai perusahaan yang bergerak di bidang pendistribusian film impor, serta PT Nusantara Sejahtera Raya yang bergerak di bidang penayangan film impor. Selain memiliki sejumlah bioskop di berbagai kota di Indonesia, PT Nusantara Sejahtera Raya juga merupakan pemilik saham di beberapa perusahaan perbioskopan di beberapa kota di Indonesia, salah satunya di kota Surabaya dengan menjadi pemilik 98% saham PT Intra Mandiri yang memiliki bioskop JM 21 Surabaya dan Surabaya Theatre 21 Surabaya, serta bekerja sama dengan berbagai pihak dengan komposisi bagi hasil, memiliki bioskop Galaxy 21 Surabaya, Tunjungan 21 Surabaya, Delta 21 Surabaya dan Empire 21 Surabaya, serta
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
bekerja sama dengan Herry Suyanto membentuk PT Wedu Mitra yang memiliki bioskop Mitra 21 Surabaya. Berdasarkan hasil penelitian KPPU, tidak ada bioskop lain di Surabaya yang sekelas dengan bioskop-bioskop milik PT Nusantara Sejahtera Raya tersebut. Majelis KPPU kemudian menyimpulkan bahwa PT Nusantara Sejahtera Raya terbukti memiliki saham mayoritas di beberapa perusahaan yang bergerak di bidang perbioskopan yaitu PT Intra Mandiri dan PT Wedu Mitra di pasar bersangkutan yang sama yaitu di Surabaya. Bioskop-bioskop yang dimiliki oleh kedua perusahaan tersebut menguasai lebih dari 50% pangsa pasar, sehingga seluruh unsur Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terpenuhi.24 Tetapi, mengenai dugaan pelanggaran Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengenai posisi dominan, KPPU menilai PT Nusantara Sejahtera Raya tidak melakukan pelanggaran; sebab, kendati memiliki posisi dominan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, namun tidak ditemukan bukti adanya penyalahgunaan posisi dominan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Majelis KPPU dalam melakukan pertimbangan hukum mengenai penerapan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam perkara Group 21 menggunakan pendekatan Per Se Illegal, terlihat dari pertimbangan hukum Majelis KPPU yang menyatakan: “Bahwa Terlapor III terbukti memiliki saham mayoritas ....; Bioskop-bioskop yang dimiliki oleh kedua perusahaan tersebut menguasai lebih dari 50% pangsa pasar, sehingga kepemilikan saham Terlapor III tersebut memenuhi ketentuan Pasal 27 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999.25 Tanpa pertimbangan hukum lebih lanjut, Majelis KPPU dalam putusannya Nomor 05/KPPU-L/2002 memutuskan menyatakan PT Nusantara Sejahtera Raya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.26 Hal ini selaras dengan inti dari pendekatan Per Se Illegal dimana pernyataan bahwa suatu perjanjian atau perbuatan adalah ilegal tidak harus membuktikan lebih lanjut dengan analisis terhadap dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau perbuatan tersebut. Putusan KPPU Nomor 05/KPPU-L/2002 tidak memuat alasan pertimbangan Majelis KPPU menggunakan pendekatan Per Se Illegal dalam memeriksa perkara Group 21. Tampaknya pertimbangan untuk menggunakan pendekatan Per Se Illegal merupakan
24
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (a), Putusan KPPU Nomor 05/KPPU-L/2002, Pertimbangan Hukum Poin 23.11, hlm. 41-42. 25
Ibid., Pertimbangan Hukum Poin 23.11, hlm. 41-42.
26
Ibid., Amar Putusan Poin 4, hlm. 42.
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
pertimbangan yuridis-formal, yaitu Majelis KPPU melihat rumusan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang bersifat Per Se Rule karena tidak memuat frasa “yang dapat mengakibatkan praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat.” Perkara Temasek merupakan perkara yang diputus oleh KPPU dengan Putusan KPPU No. 07/KPPU-L/2007. Perkara ini merupakan perkara persaingan usaha yang terjadi di bidang telepon selular. Sampai dengan tahun 2006, terdapat enam operator dalam pasar bersangkutan telepon selular, di mana 96,91% pasar dikuasai hanya oleh tiga pelaku usaha, yaitu Telkomsel (PT Telekomunikasi Selular), Indosat (PT Indosat, Tbk.), dan XL (PT Excelcomindo) sebagaimana nampak dalam tabel berikut ini: Tabel 3.1 Jumlah Pelanggan Telepon Selular di Indonesia Tahun 2004-2006 Operator
Jumlah Pelanggan Tahun
Pangsa Pelanggan
Akumulasi Pangsa Pelanggan sampai Operator ke-n
2004
2005
2006
Tahun 2006
Tahun 2006
1. Telkomsel
15,101,000
24,269,000
35,597,000
55.79%
55.79%
2. Indosat
9,754,607
14,512,453
16,704,729
26.18%
81.97%
3. XL
3,791,000
6,978,519
9,527,970
14.93%
96.91%
4. M-8
500,000
1,200,000
1,825,888
2.86%
99.77%
5. Sampoerna
-
-
134,713
0.21%
99.98%
6. NTS
-
-
12,715
0.02%
100.00%
29,148,611
46,961,977
63,803,015
100.00%
100.00%
TOTAL
Sumber
: Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Putusan KPPU Nomor 07/KPPUL/2007, hlm. 13.
Perkara persaingan usaha ini kemudian mencuat karena diketahui bahwa dua kompetitor dengan jumlah pelanggan dan penguasaan pangsa pasar terbesar dalam pasar bersangkutan (yaitu Telkomsel dan Indosat) ternyata dimiliki oleh satu perusahaan yang sama, yaitu Temasek. Hal ini memunculkan dugaan pelanggaran Pasal 27 huruf a UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999. Struktur kepemilikan Temasek atas Indosat dan Telkomsel adalah sebagai berikut:
Gambar 3.1 Struktur Kepemilikan Temasek Holdings, Pte., Ltd. Atas PT. Telekomunikasi Selular dan PT. Indosat, Tbk.
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
Sumber
: Soy Martua Pardede, Persaingan Sehat dan Akselerasi Pembangunan Ekonomi, cet. 1, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010), hlm. 210.
Mengenai pemenuhan unsur-unsur Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Majelis KPPU menyatakan bahwa Para Terlapor yaitu Kelompok Usaha Temasek (Temasek Holdings, Pte., Ltd., Singapore Technologies Telemedia, Pte., Ltd., STT Communications, Ltd., Asia Mobile Holdings Company, Pte., Ltd., Asia Mobile Holdings, Pte., Ltd., Indonesia Communications
Limited,
Indonesia
Communications
Pte.,
Ltd.,
Singapore
Telecommunications, Ltd. dan Singapore Telecom Mobile, Pte., Ltd.) memenuhi unsur-unsur Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, antara lain unsur (1) pelaku usaha; (2) pemilikan saham mayoritas di beberapa perusahaan sejenis; dan (3) mengakibatkan penguasaan pangsa pasar di atas 50%. Majelis KPPU menentukan bahwa selain tiga hal yang telah disebutkan di atas, ada dua unsur lagi yang perlu dibuktikan, yaitu: (4) perilaku penyalahgunaan posisi dominan; dan (5) dampak negatif terhadap persaingan. Hal ini menunjukkan bahwa Majelis KPPU yang memeriksa perkara Temasek menggunakan pendekatan Rule of Reason dalam menerapkan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Sebab, pertimbangan tersebut sesuai dengan ciri-ciri pendekatan Rule of Reason yaitu meskipun suatu perbuatan telah memenuhi rumusan undang-undang, namun jika ada
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
alasan obyektif (biasanya alasan ekonomi) yang dapat membenarkan (reasonable) perbuatan tersebut, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu pelanggaran. Mengenai pemenuhan unsur-unsur Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, KPPU menerapkan Single Economic Entity Doctrine dalam mendefinisikan Kelompok Usaha Temasek, yang memenuhi unsur pertama ‘Pelaku Usaha’. Sementara untuk unsur ‘kepemilikan saham mayoritas’, meskipun Kelompok Usaha Temasek tidak memiliki saham lebih dari 50% di Telkomsel (35%) dan Indosat (40,77%), namun KPPU menganggap ada pemilikan saham mayoritas karena saham yang dimiliki Kelompok Usaha Temasek termasuk saham pengendali. Kesimpulan ini ditarik karena Kelompok Usaha Temasek melalui anakanak perusahaannya dapat: (a) memiliki representasi dalam Telkomsel dan Indosat; (b) memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan Telkomsel (melalui hak veto dalam Rapat Umum Pemegang Saham) dan Indosat (melalui penetapan metoda pengadaan jaringan); dan (c) mampu memperoleh akses informasi Telkomsel dan Indosat yang bersifat rahasia.27 Unsur ‘penguasaan pangsa pasar’ di pasar bersangkutan telepon selular terpenuhi dengan melihat pendapatan usaha Telkomsel dan Indosat secara bersama-sama selama periode pemilikan saham silang oleh Kelompok Usaha Temasek (tahun 2003-2006), yakni mencapai angka rata-rata 89,61%, dan tidak pernah kurang dari 50%, sehingga unsur ini dianggap telah terpenuhi.28 Unsur tambahan lainnya juga terpenuhi, yang pertama adalah unsur ‘penyalahgunaan posisi dominan’ yang dinilai dengan melihat perbuatan Wakil Direktur Utama Indosat (yang dinominasikan oleh Singapore Technologies Telemedia, Pte., Ltd) yang tidak melakukan upaya yang maksimal dalam menentukan metoda pembangunan jaringan Indosat sehingga berakibat pada keterlambatan pembangunan jaringan Indosat selama 9 (sembilan) bulan pada tahun 200629 dan menurunnya pangsa BTS Indosat, bahkan tersusul oleh XL sebagai kompetitornya.30 Unsur terakhir yaitu ‘dampak negatif terhadap persaingan’ terpenuhi dengan menilai adanya: (1) penurunan tingkat persaingan di pasar bersangkutan; (2) price leadership oleh Telkomsel; (3) excessive pricing; (4) excessive profit; dan (5) kerugian konsumen.
27
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (b), Putusan Perkara Nomor 07/KPPU-L/2007, Pertimbangan Hukum Poin 5.5.2.6, hlm. 635 dan Pertimbangan Hukum Poin 5.5.2.7, hlm. 636. 28
Ibid., Pertimbangan Hukum Poin 5.5.3.11, hlm. 641.
29
Silalahi, op.cit., hlm. 118.
30
Pada tahun 2005, pangsa BTS Indosat adalah 28,62% sementara pangsa BTS XL adalah 21,71%. Pada tahun 2006, pangsa BTS Indosat adalah 23,30% sementara pangsa BTS XL adalah 23,43%. Ibid., hlm. 119.
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
Penggunaan pendekatan Rule of Reason dalam perkara Temasek dijelaskan oleh Majelis KPPU dalam putusannya, yakni bahwa ada dua perspektif dalam menerapkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu perspektif minimalis dan perspektif maksimalis. Menurut perspektif minimalis, pendekatan yang digunakan adalah Per Se Illegal. Sementara menurut perspektif maksimalis, tidak cukup hanya dengan membuktikan unsurunsur Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 saja, melainkan juga harus membuktikan adanya praktik usaha yang menimbulkan dampak negatif terhadap persaingan.31 Artinya, pendekatan yang digunakan adalah Rule of Reason. Untuk perkara Temasek, KPPU menggunakan perspektif maksimalis - namun tidak ada penjelasan mengapa Majelis KPPU memilih untuk menggunakan perspektif maksimalis. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 02/KPPU/2007/PN.JKT.PST pada intinya menguatkan Putusan KPPU Nomor 07/KPPU-L/2007 sehingga dapat dikatakan bahwa Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa perkara Temasek dalam tingkat keberatan setuju dengan penggunaan pendekatan Rule of Reason dalam menerapkan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Sementara Putusan Mahkamah Agung Nomor 496 K/Pdt.Sus/2008 tidak menyinggung mengenai penggunaan pendekatan Rule of Reason maupun Per Se Illegal dalam pemeriksaan di tingkat kasasi.
Pembahasan Pada dasarnya memang tidak ada aturan yang baku mengenai pembagian mana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang harus diterapkan dengan pendekatan Per Se Illegal dan mana ketentuan yang harus diterapkan dengan pendekatan Rule of Reason. Kendati demikian, jika penentuan tersebut diserahkan kepada diskresi masing-masing otoritas penegakan Hukum Persaingan Usaha tanpa memperhatikan koridor-koridor hukum dan nilainilai yang berlaku di masyarakat, maka dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Dari dua perkara persaingan usaha yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 27 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 yang telah diputus oleh KPPU, KPPU telah menggunakan dua pendekatan yang berbeda, dan kedua pendekatan tersebut telah berujung pada dua pertimbangan hukum yang berbeda. Sebagai contoh, jika pendekatan dan perspektif yang sama dengan pertimbangan hukum Majelis KPPU dalam perkara Temasek diterapkan dalam perkara Group 21, maka belum tentu PT Nusantara Sejahtera Raya dalam perkara Group 21
31
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (b), Putusan Perkara Nomor 07/KPPU-L/2007, Pertimbangan Hukum Poin 5.4.3, hlm. 625.
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
dapat dinyatakan terbukti melanggar ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Sebab dalam perkara Group 21, PT Nusantara Sejahtera Raya tidak terbukti melanggar ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dengan alasan, PT Nusantara Sejahtera Raya tidak terbukti melakukan tindakan penyalahgunaan posisi dominan.32 Padahal, dengan perspektif maksimalis dan pendekatan Rule of Reason (sebagaimana diterapkan dalam perkara Temasek), Majelis KPPU harus membuktikan adanya perilaku penyalahgunaan posisi dominan sebelum dapat memutuskan terjadi pelanggaran. Dengan demikian, maka apabila Majelis KPPU dalam perkara Group 21 menggunakan pendekatan Rule of Reason (sebagaimana dalam perkara Temasek), PT Nusantara Sejahtera Raya tentu tidak dapat dinyatakan melanggar ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, oleh karena unsur “adanya perilaku penyalahgunaan posisi dominan” tidak terbukti. Oleh karena itu, untuk menghindari inkonsistensi dari otoritas penegakan Hukum Persaingan Usaha dalam memandang cara menentukan pendekatan yang digunakan dalam menerapkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, perlu ditetapkan faktor-faktor penentu atau determinan dalam menentukan pendekatan mana yang akan digunakan dalam menerapkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Untuk mengetahui pendekatan yang paling tepat untuk diterapkan dalam perkara persaingan usaha yang berkaitan dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, maka harus mengetahui maksud dari ketentuan itu sendiri. Dasar dari ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan ketentuan-ketentuan lainnya dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999, secara general dan filosofis adalah untuk mencapai tujuan hukum, yakni keadilan dan kebermanfaatan. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka pendekatan yang digunakan untuk menerapkan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga harus mampu mewujudkan tujuan hukum tersebut. Hal ini dapat dicapai dengan mempertimbangkan tujuan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 secara khusus sebagai kaedah hukum tertulis di bidang hukum persaingan usaha; dan tujuan KPPU sebagai otoritas penegakan hukum persaingan usaha yang utama di Indonesia. Selain tujuan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999, perlu juga untuk memperhatikan kesesuaian antara ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dengan ketentuan-ketentuan lainnya yang 32
Majelis KPPU yang memeriksa perkara Group 21 dalam pertimbangan hukumnya menyatakan, “....tidak ditemukan bukti adanya penetapan syarat-syarat perdagangan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh jasa penayangan film yang bersaing atau membatasi pasar atau menghambat pelaku usaha bioskop lain yang berpotensi menjadi persiangnya sehingga tidak memenuhi ketentuan Pasal 25 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999.” Komisi Pengawas Persaingan Usaha (a), Putusan KPPU Nomor 05/KPPUL/2002,, Pertimbangan Hukum Poin 23.9, hlm. 41.
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
berkaitan, seperti Pasal 25 (tentang Posisi Dominan) dan Pasal 28 (tentang Merger dan Akuisisi) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Kajian juga dapat diperluas dengan melihat pengaturan serupa di luar negeri. Selain itu, dalam menentukan pendekatan yang digunakan juga harus mempertimbangkan esensi dari masing-masing pendekatan. Artinya, dalam menentukan pendekatan yang akan digunakan, harus disesuaikan dengan jenis larangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka faktor-faktor penentu dalam mempertimbangkan pendekatan mana yang digunakan dalam menerapkan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 3 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menentukan bahwa salah satu tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.33 Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah yang mengakibatkan praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat. Namun, tidak berarti seluruh ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 harus diterapkan secara Rule of Reason. Alasannya seperti dikemukakan Justice Marshall: “Without the per se rules, businessmen would be left with little to aid them in predicting in any particular case what courts will find to be legal and illegal under the Sherman Act.”34 Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak melarang pelaku usaha menguasai pangsa pasar; yang dilarang adalah penyalahgunaan penguasaan pangsa pasar yang berakibat pada praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat.
2. Tugas KPPU Pasal 4 huruf c Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 menentukan bahwa tugas KPPU dalam kaitannya dengan Pasal 25 - Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya “penyalahgunaan posisi dominan” yang akan mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan
33
Indonesia (a), op.cit., Pasal 3 huruf c.
34
Wilbur L. Fugate, Foreign Commerce and the Antitrust Laws, vol. 1, ed. 3, (Boston: Little, Brown and Company, 1982), hlm. 312, mengutip U.S. v. Topco Assocs., Inc., at 609 n. 10, 92 S. Ct. at 1134 n. 10, 31 L. E. 2d at 527 n. 10, (1972).
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
usaha tidak sehat.35 Penambahan unsur “penyalahgunaan posisi dominan” dalam pembuktian perkara persaingan usaha yang berkaitan dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merupakan ciri-ciri pendekatan Rule of Reason.
3. Kaitan Pasal 27 dengan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Kedua ketentuan tersebut sama-sama berada dalam Bab V “Posisi Dominan”. Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menentukan, “pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: (a) menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau (b) membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau (c) menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.” Dapat disimpulkan bahwa pemilikan posisi dominan tidak dilarang; yang dilarang adalah penyalahgunaan posisi dominan. Dengan demikian, agar tercipta konsistensi, maka pemilikan posisi dominan yang terjadi akibat pemilikan saham mayoritas atau pendirian beberapa perusahaan sejenis dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga tidak dilarang, selama tidak terjadi penyalahgunaan posisi dominan.
4. Kaitan Pasal 27 dengan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pada intinya melarang pelaku usaha melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha serta pengambilalihan saham perusahaan lain yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat. Hubungan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dengan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah dalam hal pemilikan saham mayoritas dilakukan dengan cara penggabungan atau pengambilalihan, atau pendirian beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama dilakukan dengan cara peleburan perusahaan. Peter W. Heermann berpandangan, Pasal 27 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 merupakan lex specialis terhadap Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, sehingga persyaratan restriktif dalam ketentuan Pasal 28 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 (“mengakibatkan praktik monopoli dan atau persaingan
35
Presiden Republik Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Nomor 75 Tahun 1999, Pasal 4 huruf c.
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
usaha tidak sehat”) juga harus berlaku terhadap peraturan khusus (yaitu Pasal 27 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999), agar tercapai hasil yang bermakna dan konsisten dengan sistem.36
5. Standar Internasional mengenai Cross-Shareholding Heermann berpandangan bahwa penggunakan pendekatan Per Se Illegal terhadap penerapan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (yaitu apabila larangan diterapkan secara otomatis apabila batas kriteria relevansi terlampaui), maka akan bertentangan dengan standar internasional mengenai pemilikan saham silang (crossownership).37 Standar internasional mengenai pemilikan saham silang juga dapat diketahui dengan melihat yurisprudensi di tingkat internasional, misalnya kasus Re Continental Can Co., Inc. and Europemballage Inc. yang terjadi di Uni Eropa. Majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut menggunakan pendekatan Rule of Reason.38 Di dalam kasus tersebut, majelis hakim mempertimbangkan bahwa pemilikan posisi dominan tidak dilarang oleh Article 86 EEC Treaty; yang dilarang adalah apabila pemilikan posisi dominan tersebut mengakibatkan abuse, yaitu pembatasan persaingan (limitation of competition) dan pembatasan kebebasan konsumen dalam memperoleh produk (serious restriction of consumers’ freedom in obtaining supplies).39 Begitu pula Article 82 EC yang kini berlaku, tidak melarang pemilikan posisi dominan, tetapi melarang penyalahgunaan posisi dominan (abuse of dominant position). Jika Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 hendak diinterpretasikan sama dengan Article 82 EC (tidak melarang pemilikan posisi dominan tetapi melarang penyalahgunaan posisi dominan), maka pendekatan yang lebih tepat untuk digunakan adalah Rule of Reason.
36
Wolfgang Kartte, et al., Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat [Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition], diterjemahkan oleh Lembaga Pengkajian Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit GmbH), hlm. 331-332. 37
Ibid.
38
Re Continental Can Co., Inc. And Europemballage, Inc., December 9, 1971, (1972) J. O. L7/25, (1972) C.M.L.R. D11, C.M.R. 9481, on appeal Europemballage Corporation and Continental Can Co., Inc. V. Commission (6/72), February 21, 1973, (1973), E.C.R. 215, (1973) C.M.L.R. 199, C.M.R. 8171. Anggraini, op.cit., hlm. 103. 39
Judgement of the Court of 21 February 1973, Case 6/72, hlm. 228,
, diakses pada tanggal 16 Desember 2012 pukul 15:12 WIB.
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
6. Esensi Posisi Dominan Berdasarkan Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, maka pangsa pasar bukanlah satu-satunya kriteria untuk menentukan posisi pasar dominan. Selain pangsa pasar, posisi dominan dalam pasar bersangkutan juga dapat ditentukan oleh tingkat persaingan dalam pasar yang diciptakan bersama dengan kompetitor, antara lain dalam hal kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.40 Jika hendak mempertimbangkan parameter-parameter selain pangsa pasar tersebut, maka analisis yang tepat adalah dengan menggunakan pendekatan Rule of Reason.
7. Pemenuhan Syarat Per Se Illegal Tindakan pemilikan saham mayoritas atau pendirian beberapa perusahaan sejenis yang mengakibatkan penguasaan pangsa pasar di atas 50% sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak dapat diidentifikasi secara cepat dan mudah sebagai bentuk praktik atau perilaku yang dilarang. Selain itu, tindakan tersebut lebih mencerminkan situasi pasar (penguasaan pangsa pasar) dibandingkan perilaku bisnis. Oleh karena itu, sesuai pendapat Kaysen dan Turner, ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak tepat diterapkan secara Per Se Illegal.
8. Analisis Keuntungan Ketika otoritas penegakan hukum persaingan usaha kesulitan menentukan pendekatan yang akan digunakan, maka dapat menggunakan analisis keuntungan yang dicetuskan oleh Hylton. Menurut Hylton, memilih antara pendekatan Per Se Illegal dan Rule of Reason adalah memilih antara risiko yang lebih besar untuk salah membebaskan terlapor yang bersalah (false acquittal) dan risiko yang lebih besar untuk salah menghukum terlapor yang tidak bersalah (false convictions).41 Risiko false acquittal lebih besar terdapat dalam Rule of Reason, sementara risiko false conviction lebih besar terdapat dalam Per Se Illegal. Selain itu, penggunaan pendekatan Rule of Reason mensyaratkan analisis yang lebih mendalam dan membutuhkan waktu dan biaya (administrative costs of implementing
40
Indonesia (a), op.cit., Pasal 1 butir 4.
41
Hylton berpendapat, “choosing between per-se and rule of reason analyses is in part a choice between a greater risk of false acquittals and a greater risk of false convictions.” Keith N. Hylton, Antitrust Law: Economic Theory & Common Law Evolution, (New York: Cambridge Unversity Press, 2003), hlm. 130.
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
the legal standard).42 Dengan demikian, Hylton membuat analisis keuntungan sebagai panduan dalam menentukan pendekatan yang akan digunakan, sebagai berikut: T1C : kerugian akibat salah membebaskan terlapor yang bersalah; T2C : kerugian akibat salah menghukum terlapor yang tidak bersalah; AC : biaya administratif karena menggunakan Rule of Reason Pendekatan Per Se Illegal lebih patut dipilih apabila:
AC > T2C - T1C
Berdasarkan faktor-faktor penentu di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan yang lebih tepat untuk digunakan dalam memeriksa perkara persaingan usaha yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah Rule of Reason. Dalam menggunakan pendekatan Rule of Reason saat menerapkan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, harus membuktikan unsur-unsur yang pada pokoknya mengindikasikan adanya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat. Dampak buruk dari penguasaan pangsa pasar tersebut dapat diketahui dengan memperhatikan perubahan tingkat konsentrasi industri selama periode cross-ownership (periode pemilikan saham mayoritas atau pendirian beberapa perusahaan sejenis). Jika tingkat konsentrasi industri meningkat, maka kemungkinan terdapat dampak buruk terhadap persaingan, karena mengindikasikan melemahnya tingkat persaingan. Hal ini terjadi karena peningkatan konsentrasi industri merupakan indikasi peningkatan market power pelaku usaha dominan. Peningkatan market power memberikan keleluasaan dapat menentukan harga (price making) dan dapat menciptakan kondisi price leadership. Indikasi peningkatan market power meliputi excessive pricing dan excessive profit.43 Dampak akhirnya adalah adanya kerugian konsumen. Selain itu, oleh karena pemilikan posisi dominan yang sebenarnya dilarang hanyalah yang
mengakibatkan
penyalahgunaan,
maka
perlu
membuktikan
ada
tidaknya
penyalahgunaan posisi dominan. Jadi, dalam menerapkan Rule of Reason terhadap Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, maka harus membuktikan unsur-unsur berikut: 1. Perilaku Penyalahgunaan Posisi Dominan
42
Menurut Hylton, “courts generally say that the Rule of Reason test is more costly.” Ibid.
43
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (b), Putusan Perkara Nomor 07/KPPU-L/2007, Analisis Ekonomi Poin 51, hlm. 74.
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
Unsur penyalahgunaan posisi dominan dikatakan terbukti apabila ada suatu tindakan anti-persaingan dari salah satu pelaku usaha di dalam pasar bersangkutan, baik berupa persekongkolan di antara para pelaku usaha, atau tindakan menguntungkan pelaku usaha dominan, atau tindakan mematikan pelaku usaha lain dalam pasar bersangkutan, atau tindakan-tindakan anti persaingan lainnya. Selain itu dapat juga mengacu kepada ketentuan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menggariskan bentuk-bentuk penyalahgunaan posisi dominan, meliputi: a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/ atau menghalangi konsumen memperleh barang dan/ atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.
2. Dampak Negatif Terhadap Persaingan Pendekatan Rule of Reason mensyaratkan pembuktian terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat. Dengan memeriksa apakah ada dampak negatif terhadap persaingan yang timbul dari adanya posisi dominan yang muncul akibat pemilikan saham silang, maka dapat diketahui apakah posisi dominan yang muncul akibat pemilikan saham silang tersebut menghambat persaingan dan/ atau mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat atau tidak. Sebagai contoh adalah lima indikator dampak negatif terhadap persaingan yang dibuktikan Majelis KPPU dalam perkara Temasek: a. Tingkat Kompetisi Hal yang dilarang adalah apabila pemilikan saham mayoritas atau pendirian beberapa perusahaan sejenis yang menimbulkan posisi dominan berpengaruh terhadap menurunnya tingkat kompetisi dan timbulnya potensi hambatan persaingan, baik berupa melemahnya daya saing dari pelaku usaha lain, menguatnya pelaku usaha dominan, atau penciptaan entry barrier dalam pasar bersangkutan. b. Price Leadership Hal yang dilarang adalah apabila pemilikan saham mayoritas atau pendirian beberapa perusahaan sejenis yang menimbulkan posisi dominan berpengaruh terhadap terjadinya price leadership, yaitu apabila pelaku usaha dominan sebagai price leder membatasi kemampuan pelaku usaha pesaingnya untuk lebih dahulu menentukan
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
perubahan harga, atau price leader melakukan konspirasi (tacit collusion) dengan pelaku usaha pesaingnya mengenai harga. c. Excessive Pricing Hal yang dilarang adalah apabila pemilikan saham mayoritas atau pendirian beberapa perusahaan sejenis yang menimbulkan posisi dominan berpengaruh terhadap terjadinya excessive pricing. European Court of Justice (ECJ) berpendapat, suatu harga adalah eksesif jika “harga tidak mempunyai hubungan yang layak dengan nilai ekonomi produk yang disuplai”44, yaitu apabila: (1) harga jual jauh di atas harga produksi; atau (2) harga jual di atas ceiling price yang ditetapkan Pemerintah; dan (3) konsumen tidak mampu membeli karena harga yang tidak wajar. Monti berpendapat, perbandingan harga produksi dan harga penjualan dalam menentukan excessive pricing sebaiknya didasarkan pada harga produksi dari pelaku usaha yang paling efisien (based on the costs of an efficient operator).45 d. Excessive Profit Excessive profit terjadi apabila pelaku usaha dominan memperoleh keuntungan yang tidak sesuai dengan keuntungan yang wajar diperoleh. Excessive profit dibuktikan dengan analisis ekonomi, antara lain dengan perbandingan di pasar geografis lainnya, atau dengan melihat bahwa ada ruang untuk pelaku usaha dominan tersebut untuk menurunkan harga yang lebih rendah. Kondisi ini menunjukkan kecenderungan adanya excessive profit. e. Kerugian Konsumen Majelis KPPU dalam perkara Temasek menghitung kerugian konsumen dengan selisih harga yang dibayarkan oleh konsumen dengan penilaian produsen (biaya ditambah keuntungan) yang diterima konsumen yang dicerminkan oleh harga kompetitif pada tingkat pelaku usaha mendapatkan Return on Equity yang wajar.46
Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini antara lain: 44
“ECJ stated that a price is excessive when it “has no reasonable relation to economic value of the product supplied.”” Udin Silalahi, “Pengawasan Kepemilikan Saham Silang Menurut UU No. 5/ 1999”, Tim Panitia Seminar Eksaminasi, ed., Prosiding Seminar Eksaminasi Putusan No. 07/KPPU-L/2007: Kasus Posisi Dominan dan Kepemilikan Silang, (Jakarta: CSIS, 2008), hlm. 44. 45
Giorgio Monti, EC Competition Law, (New York: Cambridge University Press, 2007), hlm. 219.
46
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (b), Putusan Perkara Nomor 07/KPPU-L/2007, Pertimbangan Hukum Poin 5.5.5.6.3, hlm. 668.
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
1. Di dalam Putusan KPPU Nomor 05/KPPU-L/2002 (perkara Group 21), KPPU menggunakan pendekatan Per Se Illegal, sementara di dalam Putusan KPPU Nomor 07/KPPU-L/2007 (perkara Temasek), KPPU menggunakan pendekatan Rule of Reason. Hal ini menunjukkan dua hal, yaitu pertama, fleksibilitas KPPU dalam menentukan pendekatan mana yang akan digunakan dalam memeriksa perkara yang berkaitan dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dan kedua, KPPU membuka celah hukum yang lebar yang dapat mengarah pada ketidakpastian hukum perihal pendekatan mana yang akan digunakan dalam menganalisa perkara persaingan usaha yang berkaitan dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. 2. Otoritas penegakan Hukum Persaingan Usaha lainnya, yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa perkara persaingan usaha di tingkat keberatan melalui Putusan Nomor 02/KPPU/2007/PN.JKT.PST dan Mahkamah Agung yang memeriksa perkara persaingan usaha di tingkat kasasi melalui Putusan Nomor 496 K/Pdt.Sus/2008, menguatkan Putusan KPPU Nomor 07/KPPU-L/2007 yang menggunakan pendekatan Rule of Reason dalam memeriksa perkara yang berkaitan dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Saran Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Demi terhindar dari inkonsistensi dalam melakukan pertimbangan hukum, sebaiknya KPPU dan otoritas penegakan Hukum Persaingan Usaha lainnya menggunakan pendekatan Rule of Reason dalam memeriksa perkara persaingan usaha yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. 2. Penggunaan pendekatan Rule of Reason dalam memeriksa perkara persaingan usaha yang berkaitan dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 perlu membuktikan dua hal: (1) perilaku penyalahgunaan posisi dominan; dan (2) dampak negatif terhadap persaingan, yang dibuktikan dengan melihat pengaruh pemenuhan unsur Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terhadap: (a) menurunnya tingkat persaingan, (b) munculnya price leadership, (c) munculnya excessive pricing, (d) munculnya excessive profit, dan (e) timbulnya kerugian konsumen.
Kepustakaan
Buku
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
Anggraini, A. M. Tri. Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat: Perse Illegal atau Rule of Reason. Cet. 1 Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2003.
Fugate, Wilbur L. Foreign Commerce and the Antitrust Laws. Vol. 1. Ed. 3. Boston: Little, Brown and Company. 1982.
Ginting, Elyta Ras. Hukum Anti Monopoli Indonesia: Analisis dan Perbandingan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2001.
Hylton, Keith N. Antitrust Law: Economic Theory & Common Law Evolution. New York: Cambridge Unversity Press. 2003.
Kartte, Wolfgang. Et al. Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat [Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition]. Diterjemahkan oleh Lembaga Pengkajian Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia - Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit/ GmbH.
Monti, Giorgio. EC Competition Law. New York: Cambridge University Press. 2007.
Silalahi, Pande Radja. Posisi Dominan & Pemilikan Silang: Studi Kasus Persaingan Usaha. 2008.
Sirait, Ningrum Natasya. Et al. Ikhtisar Ketentuan Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program (NLRP). 2010.
Siswanto, Arie. Hukum Persaingan Usaha. Cet. 2. Bogor: Ghalia Indonesia. 2004.
Artikel Oppenheim, S. Chesterfied Oppenheim. “Federal Antitrust Legislation: Guideposts to a Revised National Anitrust Policy”. Dalam Sylvester E. Berki. Ed. Antitrust Policy: Economics and Law. Boston: D.C. Heath and Company. 1966.
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013
Silalahi, Udin. “Pengawasan Kepemilikan Saham Silang Menurut UU No. 5/ 1999”. Tim Panitia Seminar Eksaminasi. Ed. Prosiding Seminar Eksaminasi Putusan No. 07/KPPU-L/2007: Kasus Posisi Dominan dan Kepemilikan Silang. Jakarta: CSIS. 2008.
Peraturan dan Putusan Pengadilan Indonesia. Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Nomor 5 Tahun 1999. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas. Nomor 40 Tahun 2007. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756.
Judgement
of
the
Court
of
21
February
1973.
Case
6/72.
lex.europa.eu/LexUriServ/LexUriServ.do?uri=CELEX:61972CJ0006:EN:PDF>
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Tentang Pedoman Pasal 27 (Pemilikan Silang) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Nomor 7 Tahun 2011.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-L/2002.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Putusan Perkara Nomor 07/KPPU-L/2007.
Presiden Republik Indonesia. Keputusan Presiden Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Nomor 75 Tahun 1999.
Tinjauan yuridis..., Archie Michael Hasudungan, FH UI, 2013