Hubungan Antara Self-Esteem dan Frekuensi Bullying Terhadap Siswa dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) (Studi Terhadap Siswa Reguler di SMPN Inklusif di Jakarta) Winantami Ayu Arimbi Wibowo dan Adriana Soekandar Ginanjar Program Sarjana Reguler Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengukur hubungan antara self-esteem dan frekuensi bullying yang dilakukan terhadap siswa dengan ASD pada siswa reguler di SMPN inklusif. Seratus tiga puluh enam siswa reguler (58 laki-laki dan 78 perempuan) dari tiga SMPN inklusi di Jakarta menjadi partisipan dalam penelitian ini. Frekuensi bullying terhadap siswa dengan ASD diukur dengan menggunakan Bullying Questionnaire (BQ) yang disusun oleh Duffy (2004). Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES) yang disusun oleh Rosenberg pada tahun 1965 digunakan untuk mengukur self-esteem siswa. Berdasarkan hasil penghitungan korelasi Pearson product moment diperoleh koefisien korelasi antara self-esteem dan frekuensi bullying terhadap siswa dengan ASD sebesar -0,1 dengan nilai signifikansi sebesar 0,247 (p>0,01). Artinya, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variabel. Kata kunci: Autisme; Autism Spectrum Disorder; Bullying; Self-Esteem; Sekolah Inklusif Abstract The present study aimed to examine the relationship between self-esteem and frequency of bullying towards student with ASD among regular student in public inclusive junior high school. One hundred and thirty six regular students (58 boys and 78 girls) from three public inclusive junior high schools in Jakarta are participated in the study. Frequency of bullying behavior towards student with ASD was measured with Bullying Questionnaire (BQ), constructed by Duffy (2004). Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES) which was constructed by Rosenberg in 1965, was used to measure student’s self-esteem. The coefficient of Pearson product moment correlation between self-esteem and frequency of bullying towards students with ASD was -0,1 with significant value 0,247 (p>0,01). It indicate that there is no significant relationship between the two variables. Keywords: Autism; Autism Spectrum Disorder; Bullying; Inclusive School; SelfEsteem 1
Hubungan Antara..., Winantami Ayu Arimbi Wibowo, FPsi UI, 2013
Latar Belakang Bullying telah dianggap sebagai permasalah yang serius di sekolah-sekolah (Duffy, 2004) dan meningkat saat siswa remaja menginjak kelas 1 SMP dan 2 SMP (Nansel, Overpeck, Pilla, Ruan, Simons-Morton, & Scheidt, 2001). Bullying dapat memberikan dampak buruk bagi remaja yang menjadi korbannya (Kokkinos & Panayioutou, 2004), sehingga penelitian mengenai bullying pada siswa remaja menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan (Olweus, 1995). Penting untuk meneliti keterkaitan bullying dengan usia dan jenis kelamin siswa untuk dapat memahami bullying dengan lebih baik (Duffy, 2004). Siswa lakilaki cenderung lebih sering melakukan bullying, dibandingkan siswa perempuan (Olweus, 1995), sebab sosialisasi dari peran gender cenderung mendorong laki-laki untuk bertindak secara agresif dibandingkan perempuan (Gropper & Froschl, 2001). Diantara sejumlah faktor yang berkaitan dengan bullying, masih terdapat perdebatan di kalangan peneliti mengenai tingkat self-esteem dari pelaku bullying. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Estevez, Murgui, dan Musitu (2009) pada siswa remaja, siswa pelaku bullying memiliki self-esteem yang lebih tinggi dibandingkan siswa yang bukan merupakan pelaku bullying. Di sisi lain, O’Moore dan Kirkham (2001) serta Uba, Yaacob, Juhari, dan Talib (2010) menemukan bahwa remaja pelaku bullying memiliki self-esteem yang lebih rendah dibandingkan siswa yang tidak melakukan bullying. Sementara itu, Johnson & Lewis (dalam Kabert, 2010) tidak menemukan perbedaan antara self-esteem pelaku dan bukan pelaku bullying. Meski tidak menemukan perbedaan tingkat self-esteem pada pelaku dan bukan pelaku bullying, Johnson dan Lewis menemukan hubungan negatif yang signifikan antara self-esteem dan frekuensi bullying pada remaja. Sejumlah penelitian juga dilakukan tanpa membedakan siswa sebagai pelaku ataupun bukan pelaku bullying, dan menemukan hasil yang berbeda. Penelitian Daly (2007) misalnya, menemukan hubungan negatif antara self-esteem dan frekuensi bullying pada siswa-siswi anak dan remaja. Berdasarkan penelitiannya, Daly menyimpulkan bahwa semakin sering seorang siswa melakukan bullying, maka semakin tinggi pula self-esteem siswa tersebut. Sejumlah penelitian lain ternyata menemukan hubungan negatif yang signifikan antara selfesteem dan frekuensi bullying pada remaja (O’Moore dan Kirkham, 2001; Spade, 2007). Siswa remaja yang melakukan bullying cenderung memiliki self-esteem yang lebih rendah, sebab mereka menyadari bahwa bullying yang mereka lakukan adalah perbuatan yang buruk (Spade, 2007). Mereka juga memiliki keinginan yang kuat untuk meningkatkan self-esteem mereka (Baumeister, Smart, & Boden, 1996) yang mengarahkan mereka untuk melakukan 2
Hubungan Antara..., Winantami Ayu Arimbi Wibowo, FPsi UI, 2013
agresivitas, sebagai cara untuk meningkatkan self-esteem (Toch, dalam Baumeister, Smart, & Boden, 1996; Anderson, dalam Dally, 2007), terutama terhadap individu yang lebih lemah (Baumeister, Smart, & Boden, 1996). Siswa yang didiagnosa memiliki Autism Spectrum Disorder (ASD) telah diketahui empat kali lebih rentan untuk menjadi korban bullying di sekolah inklusif yang dilakukan oleh siswa reguler, dibandingkan siswa dengan reguler lain (Little, 2002; Cappodia, Weiss, & Pepler, 2012) ataupun siswa dengan kebutuhan khusus lainnya, seperti learning disorder dan ADHD (Kloosterman, 2013). Menurut Cappodia dkk (2012), karakteristik yang membuat siswa dengan ASD lebih rentan untuk menjadi korban bullying adalah dimilikinya hambatan dalam keterampilkan komunikasi dan interaksi sosial yang membuat mereka tidak dapat menjalin pertemanan. Hal ini yang membuat mereka berada di posisi yang lebih lemah untuk menjadi korban bullying. Kehadiran teman dapat menghentikan episode bullying yang dialami siswa remaja, atau dengan kata lain, dapat melindungi siswa dengan ASD dari bullying yang dilakukan siswa lain (van Roekel, Scholte, & Didden, 2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan antara self-esteem siswa reguler dan frekuensi bullying yang mereka lakukan terhadap siswa dengan ASD di SMP inklusif. Selain itu, penelitian ini juga ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan frekuensi bullying terhadap siswa dengan ASD bila ditinjau berdasarkan usia dan jenis kelamin siswa reguler, sehingga pemahaman mengenai fenomena bullying terhadap siswa dengan ASD dapat lebih mendalam. Self-Esteem Self-esteem adalah salah satu dari konstruk psikologis yang paling banyak diteliti (Bryant, 2009). Self-esteem adalah bagian penting dalam identitias individu dan telah diteliti sejak tahun 1890-an (Robins, Hendin, & Trzesniewski, dalam Giagtzoglou, 2012). Dalam beberapa dekade, penelitian mengenai self-esteem telah menghasilkan sejumlah definisi mengenai self-esteem, dimana beberapa diantara definisi tersebut berbeda satu sama lain (Bryant, 2009; Steinke, 2012; Giagtzoglou, 2012). Rosenberg (1978) mendefinisikan self-esteem sebagai sikap positif atau negatif individu terhadap dirinya sendiri secara keseluruhan. Self-esteem remaja dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin (Johnson, 2010), usia (Zimmerman, Copeland, & Shope, 1997), pola asuh orangtua (Rosenberg, 1978), pengalaman kekerasan di masa kecil (Sanston, Tebbut, O’Toole, dan Oates (dalam Mruk, 2006), status ekonomi dan pendidikan orangtua (Rosenberg, dalam
3
Hubungan Antara..., Winantami Ayu Arimbi Wibowo, FPsi UI, 2013
Spade, 2007), ataupun agresivitas (Donnellan, Trzesniewski, Robins, Moffit, & Caspi, 2005; Spade, 2007). Rosenberg menyatakan self-esteem dapat berupa sikap positif maupun sikap negatif yang dimiliki individu terhadap dirinya (dalam Johnson, 2010). Selanjutnya, dalam sebuah jurnal, Rosenberg, Schooler, Schoenbach, dan Rosenberg (1995) menyatakan bahwa karena self-esteem dipandang sebagai sikap, maka ada satu hal yang perlu ditekankan, yaitu individu dapat memiliki sikap terhadap suatu objek secara keseluruhan (global), serta juga dapat memiliki sikap terhadap sisi tertentu dari suatu objek (Rosenberg dkk., 1995). Atas dasar ini, Rosenberg dkk. kemudian membedakan antara self-esteem global dan self-esteem spesifik. Menurut Rosenberg dkk. (1995), self-esteem global adalah sikap positif dan negatif individu terhadap dirinya secara keseluruhan, sementara self-esteem spesifik adalah penilaian individu terhadap suatu domain, seperti kemampuan atau karakteristik tertentu, di dalam dirinya. Self-esteem spesifik merujuk kepada seberapa besar individu menyukai suatu bagian/sisi dari dirinya (Sanford & Donovan, dalam Johnson, 2010). Guindon berpendapat bahwa self-esteem spesifik bersifat situasional dan bersifat transitory. Artinya, dalam kurun waktu tertentu atau pada situasi tertentu, self-esteem spesifik seseorang bisa berubah (Guindon, 2010). Sementara itu, self-esteem global bersifat cenderung menetap atau relatif stabil pada individu (Brown & Marshall, 2006; Guindon, 2010). Bullying Menurut Olweus (2007), siswa mengalami bullying jika siswa tersebut menjadi target dari tindakan negatif yang dilakukan oleh satu atau lebih siswa lain secara berulang dalam kurun waktu tertentu. Tindakan negatif muncul ketika seseorang secara sengaja melukai atau membuat seseorang tidak nyaman (dalam DeVoe, 2007). Bentuk tindakan negatif antara lain tindakan agresi fisik (memukul, mendorong, menendang, atau meninju), agresi verbal (menghina atau mengancam), ataupun penyebaran gosip (rumors) (dalam Duffy, 2004). Tindakan negatif juga dapat dilakukan tanpa menggunakan kata atau kontak langsung, seperti melalui ekspresi wajah, gestur, atau niat sengaja untuk mengeluarkan seseorang dari kelompok (Duffy, 2004; DeVoe, 2007). Menurut Olweus, tindakan negatif yang dilakukan satu kali tidak dapat dianggap sebagai
bullying
(DeVoe,
2007).
Korban
bullying
mengalami
kesulitan
untuk
mempertahankan atau melindungi dirinya dari agresivitas pelaku bullying yang ditujukan padanya, yang tercermin dari tidak ditunjukkannya pembelaan diri oleh korban bullying (dalam Mouttapa, dkk., 2004; Schroeder dkk., 2012). 4
Hubungan Antara..., Winantami Ayu Arimbi Wibowo, FPsi UI, 2013
Olweus
menekankan
konsep
kekuatan,
sebab
dalam
bullying
terdapat
ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban (DeVoe, 2007). Secara umum, Olweus berpendapat bahwa ketidakseimbangan kekuatan dapat berasal dari ketidakseimbangan kekuatan psikologis (seperti popularitas dan penilaian atas kemampuan intelektual), kekuatan fisik, atau kekuatan terkait jumlah (DeVoe, 2007). Olweus menggambarkan kondisi-kondisi dimana terdapat ketidakseimbangan kekuatan, yaitu ketika korban bullying lebih lemah secara fisik atau mental dibandingkan pelaku bullying, ataupun ketika terdapat perbedaan jumlah antara pelaku dan korban bullying—dimana korban bullying terdiri dari seorang siswa, sementara pelaku bullying terdiri dari beberapa siswa (Duffy, 2004). Duffy (2004) membedakan tiga bentuk bullying beserta contoh perilakunya: 1.
Bullying fisik, meliputi tingkah laku mendorong, memukul atau meninju, dan menedang.
2.
Bullying verbal, meliputi tingkah laku pemanggilan julukan (name-calling), menghina, dan mengatakan hal buruk mengenai seseorang tanpa sepengatahuan orang tersebut.
3.
Bullying relasional, meliputi tingkah laku mengeluarkan seseorang dari permainan dan tidak mengikutsertakan seseorang dalam aktivitas.
Seals & Young (2003) menyimpulkan bahwa bullying dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin. Terkait dengan jenis kelamin, Seals dan Young menemukan bahwa remaja lakilaki cenderung lebih terlibat dalam bullying, baik menjadi korban maupun pelaku, dibandingkan remaja perempuan. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian lain yang secara lebih spesifik menyimpulkan bahwa frekuensi bullying yang dilakukan antara siswa laki-laki dan perempuan berbeda, dimana siswa laki-laki lebih sering melakukan bullying dibandingkan siswa perempuan (Ferero; Nansel dkk., dalam Spade, 2007). Kecenderungan ini dapat didasari oleh sosialisasi dari peran gender yang dialami individu sejak kecil, dimana perempuan cenderung didorong untuk melindungi orang lain atau lebih peduli terhadap orang lain (Saegert & Hart, dalam Gropper & Froschl, 2001). Di sisi lain, masyarakat secara tidak sadar cenderung mendorong laki-laki untuk bertindak secara agresif melalui sosialisasi peran gender tersebut (Andersen, dalam Gropper & Froschl, 2001). Sosialisasi peran gender yang berbeda antara laki-laki dan perempuan kemudian mempengaruhi interaksi siswa dengan teman sebayanya, yang pada akhirnya sangat mungkin mempengaruhi interaksi siswa laki-laki menjadi lebih negatif, seperti melakukan bullying terhadap temannya (Gropper & Froschl, 2001). 5
Hubungan Antara..., Winantami Ayu Arimbi Wibowo, FPsi UI, 2013
Selain frekuensi bullying, bentuk-bentuk bullying yang dilakukan juga dipengaruhi oleh jenis kelamin. Olweus (dalam Duffy, 2004) menemukan bahwa laki-laki lebih cenderung melakukan bullying fisik, sementara perempuan lebih cenderung melakukan bentuk-bentuk bullying tidak langsung, seperti menyebarkan rumor atau memanipulasi pertemanan orang lain. Duffy (2004) secara lebih spesifik menggolongkan penyebaran rumor dan perilaku memanipulasi pertemanan orang lain ke dalam bentuk bullying relasional. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian lain yang juga menemukan bahwa bentuk bullying yang lebih sering dilakukan oleh remaja laki-laki adalah bullying fisik, sementara remaja perempuan lebih sering melakukan bullying verbal dan relasional (e.g. Crick & Grotpeter; Prinstein, Boergers, & Vernberg; Whitney & Smith, dalam Young & Sweeting, 2004). Autism Spectrum Disorder (ASD) ASD meliputi tiga gangguan yang tergolong dalam Gangguan Perkembangan Pervasif, yaitu gangguan autistik, gangguan Asperger (AD), dan PDDNOS. Ketiga subtipe dari ASD tersebut dibedakan berdasarkan hambatan kualitatif dalam interaksi sosial dan komunikasi, serta tingkah laku berulang/stereotip (APA, 2000). Adanya perbedaan derajat gangguan pada area inti diagnostik pada ketiga gangguan tersebut membuatnya dikategorikan sebagai sebuah spektrum gangguan (Plumb, 2011). Dengan demikian, gangguan autistik merupakan sebuah spektrum yang memiliki banyak variasi dengan tingkat keparahan yang berbeda. Artinya, gejala yang ditampilkan dapat berbeda pada dua individu dengan gangguan yang sama (Battaglia dalam Haugaard, 2008). Metode Penelitian Penelitian ini merupakan tipe penelitian kuantitatif dan korelasional dengan desain penelitian cross-sectional dan noneksperimental. Variabel pertama dalam penelitian ini adalah bullying, sementara varibel kedua adalah self-esteem. Bullying Questionnaire (BQ) yang disusun oleh Duffy (2004) digunakan untuk mengukur frekuensi bullying terhadap siswa dengan ASD pada siswa reguler. Untuk mengukur self-esteem, penelitian ini menggunakan Rosenberg Self-Esteem Scale yang disusun oleh Rosenberg di tahun 1965. Nilai reliabilitasn BQ sebesar α=0,891 dan RSES sebesar α=0,658. BQ terdiri dari 24 item yang terdiri dari tiga subskala, yang masing-masing mengukur bullying fisik (8 item), bullying verbal (8 item), dan bullying relasional (8 item). Sementara itu, RSES terdiri dari 9 item, sebab 1 item harus dieliminasi akibat nilai reliabilitas yang rendah. 6
Hubungan Antara..., Winantami Ayu Arimbi Wibowo, FPsi UI, 2013
Partisipan penelitian ini merupakan 136 siswa-siswi reguler kelas 7 dan 8 di tiga SMP Negeri inklusif di Jakarta. Partisipan terdiri dari 58 siswa laki-laki dan 78 siswa perempuan dengan rentang usia dari 12 hingga 14 tahun. Para partisipan merupakan siswa reguler yang berada di kelas yang sama dengan siswa dengan ASD di sekolah mereka. Para partisipan dipilih dengan metode nonprobability sampling. Para partisipan diberikan sebuah kuesioner yang terdiri dari alat ukur Rosenberg SelfEsteem Scale dan Bullying Questionnaire. Pada bagian awal kuesioner BQ, terdapat uraian mengenai karakteristik dari siswa yang didiagnosa memiliki ASD. Tujuannya adalah agar partisipan dapat mengindentifikasi teman mereka yang merupakan siswa dengan ASD dan dapat memberikan respon berdasarkan seberapa sering mereka melakukan bullying terhadap siswa tersebut dalam 6 bulan terakhir. Skor pada kedua alat ukur ini kemudian dihitung nilai korelasinya dengan menggunakan metode statistik Pearson Product Moment. Untuk mengukur perbedaan ratarata skor frekuensi bullying terhadap siswa dengan ASD yang ditinjau berdasarkan jenis kelamin siswa reguler, digunakan metode statistik independent sample t-test. Perbedaan skor frekuensi bullying yang ditinjau berdasarkan usia dihitung dengan metode Pearson Product Moment. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penghitungan korelasi antara skor self-esteem dan skor frekuensi bullying terhadap siswa dengan ASD, ditemukan nilai korelasi sebesar r = -0,1, n=136, p>0,05, one-tailed. Artinya, tidak terdapat hubungan negatif yang signifikan antara selfesteem dan frekuensi bullying terhadap siswa dengan ASD pada siswa reguler. Frekuensi bullying terhadap siswa dengan ASD juga ditinjau berdasarkan jenis kelamin dan usia siswa reguler. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa skor rata-rata frekuensi bullying pada siswa reguler laki-laki lebih tinggi secara signifikan (M=30,45, SD=6,70), dibandingkan skor ratarata frekuensi bullying pada siswa perempuan (M=26,88, SD=3,43), t(134)=4,04, p<0,01. Secara lebih khusus, siswa reguler laki-laki memiliki skor rata-rata bullying fisik, verbal, dan relasional yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan siswa reguler perempuan. Hasil penghitungan ini dapat dilihat pada tabel berikut:
7
Hubungan Antara..., Winantami Ayu Arimbi Wibowo, FPsi UI, 2013
Tabel 1.1 Frekuensi Bentuk-bentuk Bullying Terhadap Siswa dengan ASD Pada Siswa Reguler Laki-laki dan Perempuan Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan M M (SD) (SD) Bullying Fisik 10.10 8.51 (2.99) (1.25) Bullying Verbal 10.29 9.54 (2.23) (1.60) Bullying Relasional 10.05 8.83 (2.80) (1.34) Keterangan. * = p ≤ .05, *** = p ≤ .001.
t
p
3,70***
.000
3,81*
.031
3.07***
.003 N = 136
Sementara itu, hasil penghitungan korelasi antara skor frekuensi bullying terhadap siswa dengan ASD dan usia pada siswa reguler menunjukkan nilai korelasi sebesar r=-0,259, n=136, p<0,01, two-tailed. Artinya, terdapat hubungan negatif yang signifikan antara usia dan frekuensi bullying terhadap siswa dengan ASD pada siswa reguler. Selain memperoleh data dari kuesioner, wawancara juga dilakukan pada beberapa partisipan dan pihak guru di tiga SMPN inklusif yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Secara umum, para partisipan tidak memungkiri bahwa siswa reguler di kelas mereka terkadang melakukan bullying terhadap siswa dengan ASD. Adapun bentuk-bentuk bullying yang dilakukan pun beragam. Bullying fisik yang dilakukan antara lain memukul punggung atau membuat tersandung. Bullying verbal yang dilakukan antara lain adalah mengejek, memanggil nama julukan, dan menghina nilai nol yang diperoleh siswa dengan ASD. Bullying relasional yang dilakukan adalah merusak pertemanan antara siswa dengan ASD dan siswa lain, dengan cara menyuruh siswa dengan ASD untuk menghina nama ayah siswa lain. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan pihak guru, ketiga SMPN inklusif ini menerapkan disipilin dan aturan yang ketat serta sanksi yang tegas terhadap segala tindakan bullying yang dilakukan para siswa. Pihak sekolah bahkan tidak segan-segan untuk memberikan scorsing pada siswa yang terbukti melanggar peraturan. Pihak sekolah juga secara rutin memberikan kegiatan edukasi bagi para siswanya, berupa penanaman nilai-nilai positif seperti toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan. Tujuan dari kegiatan ini adalah agar para siswa reguler dapat bersikap dan bertingkah laku baik terhadap siswa dengan ASD dan siswa berkebutuhan khusus lain di sekolah tersebut. Pihak orangtua pun dilibatkan melalui forum khusus, untuk mendukung pengawasan terhadap kedisiplinan siswa serta penanaman nilai-nilai positif tersebut. 8
Hubungan Antara..., Winantami Ayu Arimbi Wibowo, FPsi UI, 2013
Pembahasan Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka penelitian ini mendukung hasil-hasil penelitian yang tidak menemukan hubungan yang signifikan antara bullying dan self-esteem. Berdasarkan Dally (2007), terdapat beberapa penelitian yang tidak menemukan hubungan yang signifikan antara bullying dan self-esteem pada remaja. Boulton dan Smith (dalam Dally, 2007) serta Rigby dan Cox (1996) tidak menemukan hubungan yang signifikan antara selfesteem dengan bullying siswa remaja laki-laki dalam penelitiannya. Rigby dan Slee (dalam Dally, 2007) juga tidak menemukan hubungan yang signifikan antara self-esteem dan kecenderungan melakukan bullying pada siswa-siswi remaja berusia 12 hingga 18 tahun. Ditemukannya hubungan yang lemah dan tidak signifikan (r=-0,1, n=136, p>0,05) ini dapat disebabkan oleh data yang diperoleh dari partisipan dalam penelitian ini adalah data yang terbatas dan tidak merepresetasikan rentang skor bullying dan self-esteem yang lebih luas. Menurut Gravetter & Wallnau (2007), rentang skor yang terbatas mungkin dapat menghasilkan korelasi yang lemah. Distribusi skor self-esteem dan frekuensi bullying partisipan dalam penelitian ini pun tidak mencapai distribusi yang normal, dimana distribusi skor self-esteem berbentuk skewed negatif sementara distribusi skor bullying berbentuk skewed positif. Artinya, rentang skor self-esteem dan frekuensi bullying dapat penelitian ini bersifat terbatas dan tidak merepresentasikan seluruh kemungkinan skor. Tidak ditemukannya hubungan yang signifikan antar kedua variabel dapat dipengaruhi faktor-faktor lain yang mungkin memiliki pengaruh terhadap frekuensi bullying yang dilakukan siswa reguler terhadap siswa dengan ASD. Faktor pertama adalah kebijakan yang dimiliki ketiga sekolah yang terlibat dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak guru di masing-masing sekolah, secara umum, ketiga SMPN inklusif tersebut memiliki aturan yang ketat serta sanksi yang tegas terhadap segala bentuk perilaku kekerasan dan bullying yang dilakukan para siswanya. Selain itu, sekolah-sekolah tersebut juga melakukan kegiatan yang bersifat edukatif, yaitu dengan menanamkan nilai-nilai positif seperti toleransi, penerimaan, dan penghargaan terhadap perbedaan. Kegiatan ini bertujuan agar para siswa perkembangan tipikal dapat menampilkan sikap dan perilaku yang baik terhadap siswa berkebutuhan khusus. Pihak sekolah pun melibatkan orangtua siswa agar tujuan dari kegiatan ini dapat tercapai dengan maksimal. Kegiatan ini juga dapat menjadi faktor yang mempengaruhi frekuensi bullying siswa reguler terhadap siswa dengan ASD, sebab bullying bukanlah bentuk perilaku yang baik dan bertentangan dengan nilai-nilai yang telah telah ditanamkan. Asumsi ini diperkuat dengan pendapat Ma (2002), bahwa sekolah dengan tingkat bullying yang lebih sedikit adalah sekolah dimana perilaku bullying tidak 9
Hubungan Antara..., Winantami Ayu Arimbi Wibowo, FPsi UI, 2013
diterima oleh orang dewasa, sekolah dengan disiplin yang tinggi, serta sekolah dengan keterlibatan orangtua yang tinggi. Penelitian ini menemukan bahwa siswa reguler laki-laki lebih sering melakukan bullying terhadap siswa dengan ASD dibandingkan siswa reguler perempuan. Temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nansel, Overpeck, Pilla, Ruan, SimonsMorton, dan Scheidt (2001) serta Seals dan Young (2003). Penelitian ini pun memperkaya hasil penelitian mengenai perbedaan frekuensi bullying siswa laki-laki dan perempuan— sebab penelitian ini secara khusus meneliti frekuensi bullying terhadap siswa ASD yang terbukti rentan menjadi sasaran bullying. Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa semakin muda usia siswa reguler kelas 7 dan 8 SMP, maka semakin sering mereka melakukan bullying terhadap siswa dengan ASD di sekolah inklusif. Rentang usia siswa reguler yang diukur dalam penelitian ini adalah dari 12 hingga 14 tahun. Ditemukannya hubungan yang signifikan ini menunjukkan bahwa semakin muda usia siswa reguler, maka semakin sering mereka melakukan bullying terhadap siswa dengan ASD. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sullivan dkk. (2005), bahwa semakin tua usia remaja yang juga menunjukkan bahwa mereka sedang menuju periode akhir periode SMP, maka mereka akan cenderung semakin jarang melakukan bullying. Hal ini dapat dikarenakan mereka sudah lebih lama berinteraksi dengan siswa dengan ASD dibandingkan siswa yang lebih muda yang baru memasuki lingkungan sekolah inklusif. Siswa reguler yang lebih tua juga sudah lebih dahulu menerima edukasi dari sekolah mengenai nilainilai positif seperti toleransi ataupun penghargaan, sehingga mereka cenderung lebih menginternalisasi nilai-nilai tersebut ataupun sudah dapat mengaplikasikan nilai positif yang telah ditanamkan. Oleh karena itu, perilaku mereka terhadap siswa dengan ASD cenderung lebih positif dibandingkan negatif—seperti melakukan bullying. Sementara itu, siswa reguler yang lebih muda cenderung baru mengenali situasi sekolah mereka dan cenderung masih mencoba menginternalisasi nilai tolaransi dan penghargaan terhadap siswa dengan ASD ataupun siswa berkebutuhan khusus lain. Hal ini dapat melatarbelakangi mengeapa siswa reguler yang lebih muda cenderung lebih sering melakukan bullying terhadap siswa dengan ASD dibandingkan siswa reguler yang lebih tua. Selain itu, diketahui pula bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara bentukbentuk bullying terhadap siswa dengan ASD yang dilakukan oleh siswa reguler laki-laki dan perempuan. Adapun bentuk bullying yang diukur berdasarkan jenis kelamin adalah bullying fisik, verbal, dan relasional. Berdasarkan hasil penelitian ini, siswa reguler laki-laki terbukti lebih sering melakukan bullying fisik terhadap siswa dengan ASD dibandingkan dengan siswa 10
Hubungan Antara..., Winantami Ayu Arimbi Wibowo, FPsi UI, 2013
reguler perempuan. Penemuan juga ini sejalan dengan sejumlah hasil penelitian mengenai bullying pada siswa reguler di sekolah umum di beberapa negara, seperti Norwegia ataupun Australia (e.g. Crick & Grotpeter; Prinstein, Boergers, & Vernberg; Whitney & Smith, dalam Young & Sweeting, 2004). Siswa reguler laki-laki juga lebih sering, dibandingkan siswa reguler perempuan, untuk melakukan bullying verbal terhadap siswa dengan ASD. Temuan ini sejalan dengan penelitian Borg (dalam Duffy, 2004) pada siswa reguler di sekolah umum berusia 12 sampai 14, bahwa remaja laki-laki lebih banyak melakukan bentuk bullying verbal terhadap temannya, seperti pemanggilan julukan, dibandingkan dengan remaja perempuan. Pada bentuk bullying relasional, penelitian ini menemukan bahwa bullying relasional yang dialami oleh siswa dengan ASD lebih sering dilakukan oleh siswa reguler laki-laki dibandingkan siswa reguler perempuan. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa remaja perempuan lebih cenderung melakukan bullying relasional daripada remaja laki-laki (e.g. Nansel dkk, 2001). Ditemukannya hasil ini dapat dipengaruhi oleh kecenderungan yang lebih tinggi pada remaja perempuan untuk menyatakan bahwa mereka tidak melakukan bullying, dibandingkan remaja laki-laki (Kabert, 2010). Selain itu, remaja perempuan lebih cenderung melakukan bullying relasional terhadap sesama remaja perempuan (Rayle, 2007). Pada penelitian ini, sembilan dari sepuluh siswa dengan ASD yang terlibat merupakan siswa laki-laki. Jenis kelamin dari siswa dengan ASD yang terlibat tersebut dapat menyebabkan lebih rendahnya tingkat bullying relasional yang dilakukan oleh siswa reguler perempuan. Meskipun bertentangan dengan sebagian besar hasil penelitian lainnya, hasil penelitian ini ternyata mendukung penelitian Baldry dan Toldos. Pada masing-masing penelitiannya, Baldry dan Toldos menemukan bahwa diantara remaja usia 11 hingga 15 tahun dengan perkembangan tipikal, remaja laki-laki lebih cenderung menampilkan bullying relasional dibandingkan remaja perempuan (Dally, 2007). Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis yang telah dilakukan, maka terdapat beberapa hal yang dapat disimpulan. Tidak terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self-esteem dan frekuensi bullying terhadap siswa dengan ASD pada siswa reguler di SMPN inklusif. Siswa reguler laki-laki lebih sering melakukan bullying, baik bullying fisik, verbal, maupun relasional terhadap siswa dengan ASD, dibandingkan siswa reguler perempuan. Selain itu, semakin muda usia siswa reguler di kelas 7 dan 8, maka semakin sering mereka melakukan bullying terhadap siswa dengan ASD di sekolah inklusif, dan sebaliknya.
11
Hubungan Antara..., Winantami Ayu Arimbi Wibowo, FPsi UI, 2013
Saran Terkait saran metodologis, penelitian selanjutnya sebaiknya mempertimbangkan pengukuran data demografi partisipan yang lebih banyak. Data demografis yang dimaksud adalah pendapatan dan pekerjaan orangtua, ataupun urutan lahir, sebagai faktor yang dapat mempengaruhi self-esteem. Dengan demikian, data yang lebih kaya dapat membantu peneliti untuk dapat menganalisis hasil yang ditemukan dengan lebih mendalam. Selain itu, metode wawancara yang lebih mendalam sebaiknya dilakukan pada jumlah partisipan yang lebih banyak. Informasi khusus mengenai frekuensi bentuk-bentuk bullying sebaiknya semakin digali dalam wawancara untuk dapat memperoleh data mengenai bentuk bullying seperti apa yang paling sering dilakukan siswa reguler terhadap siswa dengan ASD di sekolah inklusif. Terakhir, penggunaan metode lain seperti peer-rating bersama dengan metode self-report juga dapat dilakukan, untuk dapat mengurangi kecenderungan social desirability biases dari partisipan. Skor yang diperoleh dari satu penilai (single rater) seperti self-report lebih cenderung menimbulkan bias dibandingkan dengan menggunakan skor yang diperoleh dari lebih dari satu penilai seperti pada metode peer-rating. Pihak sekolah inklusif perlu menyadari pentingnya pencegahan bullying yang dilakukan siswa reguler pada siswa dengan ASD sedini mungkin, sebab hasil penelitian ini menemukan bahwa bullying lebih sering dilakukan siswa reguler dengan usia yang lebih muda. Dengan demikian, program-program anti-bullying sebaiknya diberikan pada siswasiswa yang lebih muda, misalnya pada siswa-siswa baru di kelas 7 SMP, saat mereka pertama kali masuk sekolah. Menurut peneliti, program anti-bullying dapat diberikan saat masa orientasi sekolah pada para siswa baru. Pemberian program anti-bullying pada siswa kelas 7 di awal masuk sekolah diharapkan dapat bermanfaat untuk menekan angka bullying yang dialami oleh siswa dengan ASD sedini mungkin. Pencegahan dini ini juga diharapkan dapat meniminimalisir secara dini dampak-dampak negatif yang dapat dialami oleh siswa dengan ASD jika mereka menjadi korban bullying. Kepustakaan Baumeister, R. F., Smart, L., & Boden, J. M. (1996). Relaion of threatened egotism to violence and aggression: The dark side of high self-esteem. Diunduh pada 5 Juni 2013 dari http://www-personal.umich.edu/~bbushman/bb98.pdf Brown, J. D., & Marshall, M. A. (2006). The three faces of self-esteem. In M. Kernis (Ed.), Self-esteem: Issues and answers (pp.4-9). New York: Psychology Press Bryant, M. L. (2009). The relationship between racial identity and psychological well-being: A comparative study between Black and White univesity students. (Thesis, Doctoral dissertation). Diunduh pada 25 April 2013 dari 12
Hubungan Antara..., Winantami Ayu Arimbi Wibowo, FPsi UI, 2013
http://search.proquest.com/docview/305083714/13DA578083417895C08/27?accountid =17242 Cappodia, M. C., Weiss, J. A., & Pepler, D. (2012). Bullying experiences among children and youth with autism spectrum disorder. Journal of Autism Developmental Disorder, Vol. 42, 226-277. doi:10.1007/s10803-011012-41-x Daly, O. (2007). Individual and social factors relating to bullying and self-esteem in south Australia high school students. (Doctoral dissertation). Diunduh pada 4 Mei 2013 dari http://theses.flinders.edu.au/uploads/approved/adtSFU20061130.193920/public/02whole.pdf DeVoe, J. F. (2007). The protective behaviors of student victims: Responses to direct and indirect bullying. (Doctoral dissertation). Available from ProQuest Dissertation and Thesis Database. (UMI No. 3260335) Donnellan, M. B., Trzesniewski, K. H., Robins, R. W., Moffit, T. E., & Caspi, A. (2005). Low self-esteem is related to aggression, antisocial behavior, and delinquency. Psychological Science, 16(4), 382-335. Diunduh pada 2 Mei 2013 dari http://www.jstor.org/stable/40064223 Duffy, A. L. (2004). Bullying in school : A social identity perspective. Diunduh pada tanggal 13 Maret 2013, dari : https://www120.secure.griffith.edu.au/rch/file/96d19111-fd6451ea-62bc-e109701da884/1/02Whole.pdf Estevez, E., Murgui. S., & Musitu, G. (2009). Psychological adjustment in bullies and victims of school violence. European Journal of Psychology of Education, 24, 473-483. Diunduh pada 14 Mei 2013 dari http://www.uv.es/lisis/estevez/12-11EJPE.pdf Giagtzoglou, K. (2012). The comparison of self-esteem levels between sexual and non-sexual offenders. (Doctoral dissertation). Diunduh pada 25 April 2013 dari http://search.proquest.com/docview/1151809834/13DA578083417895C08/38?accounti d=17242 Gravetter, F. J., & Wallnau, L. B. (2007). Statistic for the behavioral sciences (7th ed.). Belmont: Thomson. Gropper, N., & Froschl, M. (2001). The Role of Gender in Young Children’s Teasing and Bullying Behavior. Equity & Excellence in Education, 33,(1), 48-56. Diunduh pada 11 Juli 2013 dari http://tandis.odihr.pl/documents/hrecompendium/en/CD%20SEC%202%20ENV/Quit%20it/Article%20Role%20of%20Gen der%20in%20Teasing%20and%20Bullying%20Quit%20it%20USA.pdf Guindon, M. (2010). Self-esteem across the lifespan: Issues and intervetion (Ed.). New York: Routledge Johnson, Q. S. (2010). The relationship among self-Esteem, locus of control, and predisposition toward forgiveness individu african American and Hispanic female college students. (Doctoral dissertation). Diunduh pada 25 April 2013 dari http://search.proquest.com/docview/760097817/13DA578083417895C08/34?accountid =17242 Kabert, S. (2010). A mixed-methods analysis of the effect of self-esteem on bullying frequency, bullying behaviors, and motivation to bully individu adolescent. (Doctoral dissertation). Diunduh pada 17 April 2013 pada https://mail.google.com/mail/u/0/h/1g7lflb7ag5fb/?&v=c&th=13e17f5778ca44bb Kloosterman, P. H., Kelley, E. A., Craig, W. M., Parker, J, D., & Javier, C. (2013). Types and experiences of bullying in adolescents with a autism spectrum disorder. Research individu Autism Spectrum Disorder, 7, 824-832. Diunduh pada 5 April 2013 dari http://dx.doi.org/10.1016/j.rasd.2013.02.013 .
13
Hubungan Antara..., Winantami Ayu Arimbi Wibowo, FPsi UI, 2013
Kokkinos, C., M., & Panayioutou, G. (2004). Predicting Bullying and victimization among early adolescents: Associations with disruptive behavior disorders. Aggressive Behavior, 30, 520-533. doi: 10.1002/ab.20055 Little, L. (2002). Middle-class mothers’ perceptions of peer and sibling victimization among children with Asperger’s syndrome and nonverbal learning disorders. Issues in Comprehensive Pediatric Nursing, 25, 43–57. Diunduh pada 20 April 2013 dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11934121 Ma, X. (2001). Bullying and being bullied: To what extent are bullies also victim?. American Education Research Journal, 38(2), 351-370. Diunduh pada 2 Mei 2013 dari http://www.jstor.org/stable/3202462 Mouttapa, M., Valente, T., Gallaher, P., Rohrbach, L. A., & Unger, J. B. (2004). Social network predictiors of bullying and victimization. Adolescence, 39,315-335. Diunduh pada 24 Juni 2013 dari http://proquest.com Mruk, C. (2009). Self-esteem research, theory, and practice: Toward a positive psychology of self-esteem (3rd ed.). New York: Spring Publishing Company. Nansel, T. R., Overpeck, M., Pilla, S. P., Ruan, W. J., Simmons-Morton, B. & Scheidt, P. (2001). Bullying behaviors among US youth prevalence and association with psychosocial adjustment. Journal of the American Medical Association, 285, 20942100. Diunduh pada 16 Juli 2013 dari ttp://pdba.georgetown.edu/security/citizensecurity/eeuu/documents/bullying.pdf. Olweus, D. (1995). Bullying or peer abuse at school: Facts and intervention. Current Directions in Psychological Science, 4(6), 196-200. Diunduh pada 2 Mei 2013 dari http://www.jstor.org/stable/20182370 Olweus, D. (2007). Bullying in school : Facts and intervention. Diunduh pada tanggal 1 Januari 2013, dari: http://oud.nigz.nl/upload/presentatieolweus.pdf O’Moore, M., & Kirkham, C., (2001). Self-esteem and its relationship to bullying behaviour. Aggressive Behavior, 27, 269. Abstrak diunduh dari Diunduh pada 5 Juni 2013 dari http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/ab.1010/abstract Rayle, A. D. (2007). Adolescent Girl-to-Girl Bullying: Wellness-Based. Intervention for School Counselors. Walsh University. Diunduh pada 7 Juni 2013 dari http://education.ufl.edu/news/files/2011/01/v5n6.pdf. Rigby, K., & Cox, I. (1996). The contribution of bullying at school and low self-esteem to acts of delinquency among Australian teenangers. Person Individuals Differences, 21,(4), 609-612. Diunduh pada 15 Maret 2013 dari http://www.ingentaconnect.com/content/els/01918869/1996/00000021/00000004/art001 05 Rosenberg, M., & Pearlin, L. (1978). Social class and self-esteem among children and adults. American Journal of Sociology, 84(1). 53-77. Diunduh pada 25 April 2013 dari http://www.jstor.org/stable/2777978. Rosenberg. M. Schooler, C., Schoenbach, C., & Rosenberg, F. (1995). Global self-esteem and spesific self-esteem: different concepts, different outcomes. American Sociological Review, 60, 141-156. Diunduh pada 25 April 2013 dari http://www.jstor.org/stable/2096350 Schroeder, B., Messina, A., Holliday., Barto, S., Schroeder, D., & Masiello, M. (2012). The role of a healht care foundation in a statewide bullying prevention initative. Academy of Health Care Management Journal, 8(1), 33-40. Dinduh pada tanggal 28 Maret 2013 dari http://search.proquest.com/socialsciences/docview/1037802672/fulltextPDF/13D15BC4 EFB16A70BD9/5/accountid=17242
14
Hubungan Antara..., Winantami Ayu Arimbi Wibowo, FPsi UI, 2013
Seals, D., & Young, J. (2003). Bullying and victimzation: Prevalence and relationship to gender, grade level, ethnicity, self-esteem, and depression. Adolescent. Vol.39(152). 735-747. Diunduh pada 23 April 2013 dari http://search.proquest.com/docview/195934198/fulltextPDF?accountid=17242 Spade, J. A. (2007). The between student bullying behaviors and self-esteem. (Doctoral dissertation). Diunduh pada 18 April dari http://etd.ohiolink.edu/sendpdf.cgi/Spade%20Julie%20A.pdf?acc_num=bgsu1182788295 Steinke, C. M. (2012). Centers: An examination of delinquency and rearrest after discharge from treatment. (Doctoral dissertation). Diunduh pada 25 April 2013, dari http://search.proquest.com/docview/1032674904/13DA578083417895C08/35?accounti d=17242 Sullivan, K., Cleary, M., & Sulllivan, G. (2005). Bullying individu secondary: What it looks like and how to manage it. London: Sage Publication Uba, I., Yaacob, S. N., Juhari, R., & Talib, M. A. (2010). Effect of self-esteem on the relationship between depression and bullying among teenager individu Malaysia. Asian Social Science, 6,(12), Diunduh pada 6 Mei 2013 dari http://www.researchgate.net/publication/47807761_Effect_of_SelfEsteem_on_the_Relationship_between_Depression_and_Bullying_among_Teenagers_i n_Malaysia/file/79e415093228648967.pdf van Roekel, E., Scholte, R. H. J., & Didden, R. (2010). Bullying among adolescent with autism spectrum disorders: Prevalence and perception, Journal of Autism Developmental Disorder, 40, 63-73. doi:10.1007/s10803-009-0832-2 Young, R., & Sweeting, H. (2004). Adolescent bullying, relationships, psychological wellbeing, and gender-atypical behavior: A gender diagnosticity approach. Sex Roles, 50, 525-537. Diunduh pada 4 Maret 2013 dari http://link.springer.com/article/10.1023%2FB%3ASERS.0000023072.53886.86 Zimmerman, M. A., Copeland, L. A., Shope, J. T., & Dielman, T. E. (1997). A longitudinal study of self-esteem: Implication for adolescent development. Journal of Youth and Adolescence, 26(2), 177-141. Diunduh pada 1 Juni 2013 dari http://ubcemotionlab.ca/wp-content/files_mf/internetsepaper.pdf..
15
Hubungan Antara..., Winantami Ayu Arimbi Wibowo, FPsi UI, 2013