BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Autisme di Indonesia Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, 2003, autisme didefinisikan sebagai gangguan pervasif yang ditandai dengan adanya kelainan dan/atau hendaya perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun, dan dengan ciri kelainan fungsi dalam tiga bidang: interaksi sosial, komunikasi,
dan perilaku yang terbatas dan berulangSedangkan menurut
organisasi internasional Autism Speak, mendefinisikan autisme dalam website mereka : Autism spectrum disorder (ASD) and autism are both general terms for a group of complex disorders of brain development. These disorders are characterized, in varying degrees, by difficulties in social interaction, verbal and nonverbal communication and repetitive behaviors.1
Autisme awalnya diteliti oleh Leo Kanner yang kemudian dipublikasikan melalui makalah pada tahun 1943 di Amerika Serikat (Spensley, 1995; Paradiz, 2004).2 Hingga saat ini autisme terus berkembang di berbagai negara. Data dari organisasi Autism Speaks memperlihatkan statistik prevalensi autisme yang terjadi di beberapa wilayah di dunia. Meskupun tidak semua data menunjukkan nilai yang akurat, tetapi dapat dilihat dari persebarannya bahwa autisme terjadi hampir diseluruh penjuru dunia. Berikut data yang diperoleh oleh Autism Speak:
1 2
http://www.autismspeaks.org/what-autism, diakses 31 Maret 2014, 21:00 Makara, Sosial Humaniora, Vol. 11, No. 2, Desember 2007: 87-99 “Memahami Spektrum Autistik Secara Holistik” oleh Adriana Soekandar Ginanjar, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
1
Tabel 1. 1 Prevalensi Autisme di beberapa negara (2000-2008)
Sumber : http://www.autismspeaks.org/docs/sciencedocs/epidemiology_faq.pdf
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui ditiap negara memiliki tingkat prevalensi autis yang berbeda-beda. Untuk wilayah Finlandia, Denmark, dan Islandia memiliki prevalensi autis dalam populasi anak-anak sekitar 1/800. Wilayah Swedia dan Australia sekitar 1/200. Jepang, USA, dan Kanada sekitar 1/100 hingga 1/150. Tingkat prevalensi tertinggi dialami oleh Inggris yaitu 1/86.
Untuk wilayah Amerika serikat, CDC (Centers for Disease Control and Prevention) merilis data dalam website mereka mengenai statistik autisme yang terjadi di Amerika Serikat dari tahun 2000-2010.
2
Tabel 1. 2 Data Statistik Autisme di Amerika Serikat
Sumber : http://www.cdc.gov/ncbddd/autism/data.html
Dapat dilihat pada gambar di atas, rasio anak yang mengidap autisme dalam suatu populasi terus meningkat. Tidak hanya di Amerika Serikat, di Indonesia juga mengalami peningkatan rasio autisme. Dalam artikel Kemendiknas
Direktur
Jenderal Pendidikan Dasar Suyanto menyatakan: Kalau dulu diperkirakan anak autis ada diantara 10.000 anak normal, maka tahun ini jumlah tersebut meningkat dengan perbandingan 1:5000 hingga 1:1000. Suyanto mengakui, pendataan anak autis di Indonesia sulit untuk dilakukan. Karena budaya masyarakat Indonesia yang menyembunyikan keberadaan anaknya yang autis karena malu.3
Terjadinya peningkatan pada jumlah autisme tentunya membuat kekhawatiran. Pemahaman mengenai karakter anak autis diperlukan untuk meminimalisir peningkatan yang terjadi. Anak autis memiliki karakteristik yang umumnya sulit untuk dimengerti. Secara sederhana karakteristik ini dapat dilihat dari perilaku sosial, komunikasi, minat dan kebiasaan mereka, seperti mengulangngulang suatu ucapan ataupun perilaku dan anak autis biasanya lebih suka menyendiri. Dengan karakteristik yang tidak pada umumnya, anak autis perlu mendapatkan pendidikan berupa terapi yang mampu membantu membina karakternya menjadi mandiri. 3
Kemdikbud Akan Bangun Autis Center di 29 Lokasi, 25 November 2012, http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/node/861
3
1.1.2. Awareness Masyarakat Autisme telah dikenal dan diteliti sekitar tahun 1947. Sedangkan untuk wilayah Indonesia sendiri, fenomena autisme mulai diperhatikan secara serius sekitar tahun 1990-an. Walaupun telah dikenal cukup lama, akan tetapi hingga saat ini beberapa masyarakat Indonesia pada umumnya masih awam dengan anak autis. Terkadang istilah autis digunakan sebagai bahan candaan untuk mengejek seseorang. Lingkungan yang kurang ramah dalam menerima anak autis juga menjadi hambatan anak autis untuk bersosialisasi.
Untuk menambah tingkat kepedulian masyarakat terhadap autisme,saat ini telah ditetapkan hari autisme sedunia (World Autism Awareness Day) pada tanggal 2 April.
Selain
itu
berbagai
yayasan
autisme
biasanya
melakukan
sosialisasi/kampanye pada peringatan hari autisme tersebut. Kegiatan yang dilakukan bermacam-macam baik berupa jalan sehat, bagi-bagi bunga, hingga bagi-bagi komik. Kegiatan-kegiatan tersebut juga melibatkan anak autis, sebagai sarana untuk bersosialisasi mereka.
Selain masyarakat umum, orang tua anak autis terkadang juga masih belum memahami bagaimana perlakuan-perlakuan khusus yang harus diberikan pada anak autis. Beberapa yayasan biasanya melalukan sosialisasi serta pelatihan terhadap orang tua dan para pemerhati anak autis, sehingga mereka mampu berinteraksi sesuai dengan perkembangan anak.
Saat ini perhatian terhadap autisme mulai ditingkatkan dilihat dengan beberapa rancangan kegiatan serta fasilitas yang mulai dirancang untuk mendukung anak autis. Yayasan Mpati Jakarta bersama Gurbernur DKI Jaya, Ir. Joko Widodo, pada tanggal 6 April 2013 merancang program Jakarta Ramah Autis dengan tujuan menciptakan lingkungan yang mendukung dan mampu menerima kelebihan serta kekurangan anak. Selain itu Kemendikbud
juga mulai
membangun Autism Centre dibeberapa wilayah di Indonesia seperti Bali, Kalimantan Selatan, Riau dan Jakarta. Rencananya Autism Centre ini akan di bangun di 29 lokasi, hanya saja yang baru terealisasi ada empat.
4
1.1.3. Sensory Design Sensoris dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti yaitu berhubungan dengan pancaindera. Berdasarkan kamus oxford, sensory is relating to sensation or the physical senses; transmitted or perceived by the senses: sensory input.4 Sehingga sensoris/sensorik merupakan perasan yang berkatitan indera fisik yang dihantarkan ataupun dirasakan oleh indera. Dalam jurnal “Forum Kependidikan”, Volume 29, Nomor 1, September 2009 oleh Fauziah Nuraini Kurdi menyebutkan penyebab autisme dalam bidang psikologis yaitu refrigerator mother, mindblindness theory/ mentalizing, penyebab neurologis, dan gangguan sensorik. Gangguan sensorik yang dimaksud adalah gangguan pengolahan sensorik (sensory
processing disorder), yaitu
gangguan neurologis yang menyebabkan kesulitan mengolah informasi dari panca indera. Berbeda dengan buta atau tuli, informasi yang dikarenankan gangguan pengolahan sensorik ini dapat dirasakan, namun tidak normal. Dimana informasi yang diproses oleh otak dalam cara yang tidak biasa sehingga menyebabkan penderitaan, ketidaknyamanan, dan kebingungan.5
Karena mengalami gangguan pengolahan sensorik, aspek sosial, perilaku dan komunikasi anak autis menjadi terganggu. Hal ini berdampak pada kesulitan menangkap informasi di lingkungan sekitarnya dan mengakibatkan orang lain sulit memahami perilaku serta berkomunikasi dengan mereka. Tentunya dengan membina kepekaan sensorik anak autis akan membantu mereka dalam belajar serta melakukan terapi. Diperlukan sebuah kondisi belajar dan terapi yang bisa mengatasi keterbatasan mereka. Bangunan dan
fasilitas terapi autisme harus
mampu menstimulasi kepekaan sensorik anak. Sensory Design yang fokus pada karakter sensorik anak autis tentunya mampu mengatasi keterbatas tersebut.
Saat ini di Indonesia bangunan dan fasilitas untuk anak autis yang memperhatikan karakter desain yang sesuai dengan mereka belum ada. Kebanyakan merupakan bangunan pada umumnya yang kemudian djadikan sebagai sekolah maupun
4 5
http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/sensory, diakses 10 April 2014 10:30 http://www.psychologytoday.com/blog/the-autism-advocate/201003/what-is-sensory-processing-disorder-and-how-is-itrelated-autism, diakses 10 April 2014 10:55
5
tempat terapi autisme. Diharapkan dengan penerapan konsep Sensory Design mampu membantu anak autis dalam melaksanakan terapi, membina diri serta melakukan aktivitas sosial sehingga mereka menjadi mandiri dan mudah dalam menjalani kehidupan dimasyarakat.
1.1.4. Pentingnya Fasilitas Terapi di Yogyakarta Yogyakarta termasuk wilayah yang mengalami peningkatan autisme. Data kunjungan yang tercatat pada instalasi catatan medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta menunjukkan peningkatan dari tahun 2011-2013 Tabel 1. 3 Jumlah kunjungan pemeriksaan autisme di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2011 2012 2013
Jumlah Kunjungan 28 73 87
Sumber : Instalasi Catatan Medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, 2014
Selain itu dijelaskan dalam artikel female.kompas.com, 2009 “Kurang, Perhatian terhadap Anak Autisme” ; Jumlah anak usia sekolah penyandang autis di Provinsi DI Yogyakarta diperkirakan lebih dari 100 anak. Sebagian dari mereka kini tengah mengenyam pendidikan di lima sekolah, yaitu SLB Austisme Fajar Nugraha, SLB Autis Dian Amanah, SLB Fedovios, dan SLB Citra Mulya Mandiri, serta Bina Anggita. Dengan peningkatan individu autistik tiap tahunnya tentunya jumlah tersebut telah bertambah. Dalam tugas akhir Christine Puspaningrum, Pusat Terapi Autis di Yogyakarta , 2010, Fakultas Teknik, UAJY menjelaskan data Tabel 1. 4 Tempat Terapi dan Sekolah Khusus Autisme di Provinsi D.I. Yogyakarta
No. 1.
Nama Yayasan Fajar Nugraha
Fungsi Sekolah Khusus Autistik
2.
Dian Amanah
3.
Fredovios
Sanggar Pendidikan Autisme Sekolah Khusus Lanjutan Autisme
4.
Citra Mulya Mandiri
Sekolah Luar Biasa
Alamat Jl. Seturan 2 No. 59 Catur Tunggal Depok, Sleman Jl. Melati Wetan No.25 Baciro Gondokusuman Yogyakarta Jl. Perumnas Gg. Indragiri Blok B No. 11 Condong Sari, Condong Catur, Yogyakarta Jl. Anggrek 89 Sambilegi, Maguwoharjo, Depok,
Kapasitas 25 Murid dengan 10 guru 17 murid dengan 11 guru 3 murid dengan 2 guru
16 murid dengan 3 guru
6
5.
Bina Anggita
6.
Permata Amanda
7.
Samara Bunda
Lembaga Bimbingan Autisme (Khusus TK) Pelatihan Terapi Edukatif untuk Anak Autis ADD dan ADHD Sekolah Luar Biasa (SLB)
Sleman Jl. Gedongkuning Gg. Bima/Irawan No. 42 JG II Banguntapan Bantul Yogyakarta Jl. Cempedak No. 312 Catur Tunggal Depok, Sleman Perumahan Pilahan Asri No. 11/30-31 Jl. Gedongkuning Selatan
30 murid dengan 17 guru
-
5 murid dengan 6 guru
Sumber : www.mail-archive.com/
[email protected]
Anak Autis yang dapat ditampung dalam sekolah/fasilitas terapi autisme di Yogyakarta hanya berkisar ±96 anak, padahal jumlah anak autis di Yogyakarta diperkirakan lebih dari 100. Jumlah anak autis yang terus bertambah sedangkan fasilitas terapi yang terbatas akan mengakibatkan terabaikannya beberapa anak autis. Selain itu karakter desain dari sekolah/terapi autisme yang ada di Yogyakarta tidak memperhatikan karakteristik dari aspek perilaku sosial, komunikasi, minat dan kebiasaan anak autis. Fasilitas terapi dan sekolah tersebut terbatas pada sarana pendidikan dan jenis-jenis terapi yang digunakan. Perlu penyedian fasilitas observasi/penelitian sebagai bentuk kontrol dan konsultasi orang tua terhadap perkembangan anak maupun sarana bagi peneliti untuk mengembangkan pengetahuan mengenai autisme. Selain itu untuk meningkatkan awareness masyarakat, kegiatan-kegiatan sosial aktivis/yayasan autisme perlu diwadahi sehingga mereka dapat berkegiatan secara maksimal.
1.2. Identifikasi Permasalahan 1.2.1. Permasalahan Umum Bagaimana mendesain fasilitas terapi autisme yang sesuai standar dan kebutuhan anak autisme. Dalam hal ini termasuk bagaimana organisasi ruang, sirkulasi serta integrasi berbagai fungsi yang digunakan oleh anak autis dan orang normal.
1.2.2. Permasalahan Khusus Bagaimana penerapan konsep Sensory Design pada bangunan fasilitas terapi autisme sehingga mampu membantu kemandirian dan mengembangkan sikap sosial anak autis. 7
1.3. Tujuan Mengerti dan memahami kebiasaan anak autis serta terapi yang digunakan kemudian menyimpulkannya dalam fungsi organisasi ruang yang sesuai standar dan karakter Sensory Design sehingga mampu membantu dalam kesembuhan dan pengembangan bakat diri anak.
1.4. Lingkup Pembahasan 1.4.1. Arsitektural Pembahasan arsitektural pada penekanan arsitektural meliputi organisasi ruang, sirkulasi, elemen-elemen ruang, tata ruang dalam dan luar pada fasilitas terapi autisme.
1.4.2. Non Arsitektural Pembahasan non arsitektural meliputi karakter anak autismedan jenis terapi yang digunakan pada fasilitas terapi autisme.
1.5. Metode Pembahasan Metode pembahasan yang dilakukan meliputi kegiatan sebagai berikut a. Pengumpulan Data Dilakukan dengan studi literatur dari jurnal-jurnl ilmiah berkaitan dengan teori psikologis dan perilaku anak autis, serta teori yang berhubungan dengan elemen arsitektur b. Analisis Data Mengolah dan mengalasisa data-data setelah survey c. Sintesis Menarik kesimpulan hasil data olahan yang digunakan sebagai acuan desain fasilitas terapi autisme
1.6. Sistematika Penulisan BAB I Pendahuluan Meliputi latar belakang penulisan, rumusan masalah baik secara umum maupun khusus, tujuan dan sasaran, lingkup pembahasan, metode pembahasan, sistematika penulisan, dan keaslian penulisan 8
BAB II Kajian Pustaka Pembahasan mengenai teori bangunan fasilitas terapi serta penekanan sensory design serta analisa studi kasus preseden yang berkaitan dengan fungsi bangunan dan pendekatan
BAB III Pendekatan Konsep Berisi hasil analisa berupa prinsip-prinsip desain yang digunakan untuk fasilitas terapi autisme dengan konsep Sensory Design, diperoleh dari hasil komparasi teori dan studi kasus preseden.
BAB IV Konsep Perencanaan dan Perancangan Pemaparan tentang konsep desain yang akan digunakan pada fasilitas terapi autisme dengan konsep Sensory Design di Yogyakarta serta tinjauan lokasi dan karakter tapak.
1.7. Keaslian Penulisan Beberapa penulisan tugas akhir yang terkait pada pengembangan anak penyandang autisme, diantaranya : a. “Pusat
Pengembangan
Anak
Autis”
oleh
Sayu
Kade
Wahyu
Ariani
(99/129803/TK/24397), membahas mengenai fasilitas pengembangan pendidikan pra sekolah dengan penekanan pada aktivitas bermain. b. Pusat Pendidikan Pra Sekolah dan Terapi Anak Autis di Yogyakarta Penekanan pada Perilaku dan Psikologi Anak Autis” oleh Nur Fitria Churiah (01/151746/ET/02455), membahas mengenai fasilitas pendidikan dan terapi dengan penekanan pada psikologi anak autis. c. “Pusat Terapi Anak Autis” oleh Nita Rozalinda (00/134847/TK/24923), membahas mengenai fasilitas terapi dengan memperhatikan jenis-jenis terapi yang dilakukan anak autis. d. “Pusat Terapi anak Autis ditinjau dari Perencanaan Tata Ruang” oleh Yunia Isnaeni (04/182740/ET/04286), membahas mengenai fasilitas terapi yang menekankan pada penataan ruang yang mudah ditangkap anak autis.
9
e. “Sekolah Khusus Anak Autis di Yogyakarta dengan Penerapan Konsep Porositas” oleh Felicia Vanisa Saragih (06/198565/TK/32270), membahas mengenai fasilitas pendidikan dengan penekanan pada aplikasi desain konsep porositas. f. “Sekolah Khusus dan Pusat Terapi Autis di Bekasi dengan Penekanan pada Healing Environtment” oleh Alviana Hanivatun Nisa’ (06/196064/TK/31931), membahas mengenai fasilitas pendidikan serta terapi dengan penekanan pada aplikasi desain healing environtment dalam membantu meningkatkan ketenangan dan kenyamanan anak autis. g. “Sekolah Terapi Anak Autis di Yogyakarta dengan Pendekatan Prinsip Feng Shui” oleh Elisabeth Cita Sabella (07/251058/TK/32540) membahas mengenai fasilitas pendidikan dengan penekanan pada aplikasi desain prinsip feng shui yang mampu memberikan energi positif sehingga membantu dalam proses penyembuhan anak. Penulisan tugas akhir dengan judul “ Pusat Autisme dengan Penekanan Sensory Design” membahas mengenai fasilitas terapi, research centre, dan ruang sosial untuk anak autis benar-benar asli dan belum pernah dibuatsebelumnya oleh siapapun .
10