BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Hakikat Keterampilan Berbicara 2.1.1 Pengertian Berbicara Menurut Nurgiyantoro (1995:276) “Berbicara adalah aktivitas berbahasa kedua yang dilakukan manusia dalam kehidupan berbahasa, yaitu setelah aktivitas mendengarkan. Berdasarkan bunyi-bunyi yang didengar itu, kemudian manusia belajar untuk mengucapkan dan akhirnya terampil berbicara”. Berbicara diartikan sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan dan menyampaikan pikiran, gagasan, serta perasaan (Tarigan, 1986:14). Dapat dikatakan bahwa berbicara merupakan suatu sistem tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan yang kelihatan (visible) yang memanfaatkan sejumlah otot tubuh manusia demi maksud dan tujuan gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. Berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, neurologis, semantik, dan linguistik. Sumeto (2004:23) menyatakan bahwa “Berbicara merupakan alat komunikasi yang alami antara anggota masyarakat untuk mengungkapkan pikiran dan sebagai sebuah bentuk tingkah laku sosial”. Berbicara merupakan suatu aktivitas kehidupan manusia normal yang sangat penting, karena dengan berbicara kita dapat berkomunikasi antara sesama manusia, menyatakan pendapat, menyampaikan maksud dan pesan, mengungkapkan perasaan dalam segala
8
9
kondisi emosional dan lain sebagainya. Kalau diamati dalam kehidupan seharihari, banyak didapati orang yang berbicara. Namun tidak semua orang di dalam berbicara itu memiliki kemampuan yang baik didalam menyampaikan isi pesannya kepada orang lain sehingga dapat dimengerti sesuai dengan keinginannya, dengan kata lain, tidak semua orang memiliki kemampuan yang baik di dalam menyelaraskan atau menyesuaikan dengan detail yang tepat antara apa yang ada dalam pikiran atau perasaannya dengan apa yang diucapkannya sehingga orang lain yang mendengarkannya dapat memiliki pengertian dan pemahaman yang pas dengan keinginan si pembicara. Untuk penyampaian hal-hal yang sederhana mungkin bukanlah suatu masalah, akan tetapi untuk menyampaikan suatu ide/gagasan, pendapat, penjelasan terhadap suatu permasalahan, atau menjabarkan suatu tema sentral, biasanya memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi bagi seorang pembicara yang belum terbiasa, bahkan tidak semua orang mampu melakukannya dengan baik. Dibutuhkan suatu keterampilan atau kecakapan dengan proses latihan yang secukupnya untuk dapat tampil dengan baik menjadi seorang pembicara yang handal. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa berbicara diartikan sebagai suatu alat untuk mengkombinasikan gagasan-gagasan yang disusun serta mengembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak. Berbicara merupakan instrumen yang mengungkapkan kepada penyimak hampir-hampir secara langsung apakah sang pembicara memahami atau
10
tidak baik bahan pembicaraan maupun para penyimaknya, apakah dia bersikap tenang serta dapat menyesuaikan diri atau tidak, pada saat dia bersikap tenang serta dapat menyesuaikan diri atau tidak, pada saat dia mengkombinasikan gagasan-gagasannya apakah dia waspada serta antusias ataukah tidak. 2.1.2 Tujuan Berbicara Setiap kegiatan berbicara yang dilakukan manusia selalu mempunyai maksud dan tujuan. Menurut Tarigan (1986:15) tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, maka sebaiknya sang pembicara memahami mengevaluasi efek komunikasi terhadap pendengarnya, dan dia harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala sesuatu situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan. Menurut Tarigan, dkk (1997:37) tujuan pembicaraan biasanya dapat dibedakan atas lima golongan yaitu (1) menghibur, (2) menginformasikan, (3) menstimulasi, (4) meyakinkan, dan 5) menggerakkan. Berdasarkan uraian di `atas maka dapat disimpulkan bahwa seseorang melakukan kegiatan berbicara selain untuk berkomunikasi juga bertujuan untuk mempengaruh orang lain dengana maksud apa yang dibicarakan dapat diterima oleh lawan bicaranya dengan baik. Adanya hubungan timbal balik secara aktif dalam kegiatan bebricara antara pembicara dengan pendengar akan membentuk kegiatan berkomunikasi menjadi lebih efektif dan efisien. makna segala sesuatu yang ingin dikombinasikan, dia harus mampu
11
2.1.3 Faktor-faktor Penunjang dan Penghambat Kegiatan Berbicara Berbicara atau kegiatan komunikasi lisan merupakan kegiatan individu dalam usaha menyampaikan pesan secara lisan kepada sekelompok orang, yang disebut juga audience atau majelis. Supaya tujuan pembicaraan atau pesan dapat sampai kepada audience dengan baik, perlu diperhatikan beberapa faktor yang dapat menunjang keefektifan berbicara. Kegiatan berbicara juga memerlukan halhal di luar kemampuan berbahasa dan ilmu pengetahuan. Pada saat berbicara diperlukan a) penguasaan bahasa, b) bahasa, c) keberanian dan ketenangan, d) kesanggupan menyampaikan ide dengan lancar dan teratur (Haryadi, 1997:19). Selanjutnya, menurut Supriyad (2005:5) faktor lain yang harus diperhatikan guru pada saat membimbing siswa agar terampil berbicara adalah; a) ketepatan ucapan, b) penempatan tekanan nada, sendi atau durasi yang sesuai, c) pilihan kata, d) ketepatan penggunaan kalimat serta tata bahasanya, e) ketepatan sasaran pembicaraan. Sedangkan faktor nonkebahasaan, meliputi a) sikap yang wajar, tenang dan tidak kaku, b) pendangan harus diarahkan ke lawan bicara, c) kesediaan menghargai orang lain, d) gerak-gerik dan mimik yang tepat, e) kenyaringan suara, f) kelancaran, g) relevansi, penalaran, h) penguasaan topik. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan berbicara adalah faktor urutan kebahasaan (linguitik) dan non kebahasaan (nonlinguistik).
12
Adapun yang menjadi penghambat dalam kegiatan berbicara, yaitu: 1) Faktor fisik, yaitu faktor yang ada pada partisipan sendiri dan faktor yang berasal dari luar partisipan. 2) Faktor media, yaitu faktor linguitisk dan faktor nonlinguistik, misalnya lagu, irama, tekanan, ucapan, isyarat gerak bagian tubuh, dan 3) Faktor psikologis, kondisi kejiwaan partisipan komunikasi, misalnya dalam keadaan marah, menangis, dan sakit. 2.1.4 Perkembangan Berbicara pada Siswa Berbicara siswa adalah bahasa lisan yang dapat berkembang melalui belajar pada lingkungan. Dengan kata lain, berbicara siswa terbentuk oleh kondisi lingkungan baik lingkungan keluarga, masyarakat ataupun lingkungan pergaulan teman sebaya. Perkembangan berbicara siswa dilengkapi dan diperkaya oleh lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, hal ini berarti bahwa proses pembentukan kepribadian yang dihasilkan dari pergaulan dengan masyarakat sekitar akan memberi ciri khusus dalam perilaku berbicara. Bersamaan dengan kehidupanya dalam masyarakat luas, siswa (remaja) mengikuti proses belajar di sekolah. Pengaruh lingkungan yang berbeda antara keluarga, masyarakat, dan sekolah dalam perkembangan berbicara akan menyebabkan perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Hal ini ditujukan oleh pemilihan dan penggunaan kosa kata sesuai dengan tingkat sosial keluarganya. Dengan demikian, keterampilan
13
berbicara terkait erat dengan kondisi pergaulan. Oleh sebab itu menurut Hariyadi (1996:21) keterampilan berbicara siswa dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya: usia siswa, kondisi lingkungan, kecerdasan siswa, status sosial ekonomi keluarga, kondisi fisik dan bahasa. Kemampuan berbicara merupakan salah satu perkembangan yang menakjubkan pada masa kanak-kanak. Antara usia 3 – 9 tahun, biasanya siswa sudah benar-benar menguasai sedikitnya satu berbicara. Bahkan pada usia tersebut ada siswa yang mampu menguasai dua atau lebih bahasa secara stimulan. Lebih dari itu, siswa yang bilingual (bilingual children) bisa belajar dua bahasa dalam jangka waktu yang sama seperti yang diperlukan monolingual children untuk belajar satu bahasa. Menurut Munandar (2001:29-31), karakteristik kemampuan berbicara siswa bisa dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: pertama, karakteristik kemampuan berbicara siswa usia 4 tahun; kedua, karakteristik kemampuan berbicara siswa usia 5-9 tahun. Adapaun karakteristik kemampuan berbicara siswa usia 4 tahun adalah sebagai berikut: (1) siswa telah dapat menggunakan kalimat dengan baik dan benar, (2) siswa telah menguasai 90% dari fonem dan sintak bahasa yang digunakannya, (3) siswa dapat berpartisipasi dalam suatu percakapan melalui mendengarkan atau menanggapi pembicaraan orang lain. Sedangkan karakteristik kemampuan berbicara siswa usia 5-9 tahun adalah sebagai berikut: (a) siswa sudah dapat mengucapkan lebih dari 2.500 kosa kata,
14
(b) lingkup kosa kata yang diucapkan siswa menyangkut warna, ukuran, bentuk, rasa, kecantikan, kecepatan, suhu, perbedaan, perbandingan, jarak permukaan,dan laini-lain (c) pada usia ini siswa sudah dapat melakukan peran sebagai pendengar yang baik, (d) siswa sudah dapat menanggapi pembicaraan orang lain serta memberikan jawaban atas pertanyaan orang lain. Dengan demikian dapat diketahui bahwa siswa usia 4-9 tahun memiliki perkembangan yang cepat dalam kemampuan berbicara, dapat berpartisipasi dalam suatu percakapan, dapat melakukan peran sebagai pendengar yang baik, serta telah memiliki kemampuan membuat kalimat sederhana untuk diungkapkan dalam bentuk perasaan dan tindakan. Selanjutnya, siswa bersekolah di tingkat SD perkembangan dan penguasan berbicaranya semakin meningkat, sejalan dengan hal itu Soesilo (2002:12) menguraikan bahwa perkembangan berbicara siswa yang dimulai sejak bersekolah dapat dibagi beberapa kelompok: 1.
Perkembangan pada tahap pertama: corak pengajaran berbicara yang sesuai dengan taraf ini ialah memperinci keadaan lingkungan melalui pembelajaran dan analisis sehingga hasilnya dapat dimengerti oleh siswa. Pada taraf ini siswa belajar memahami hubungan antara kejadian melaui observasi.
Untuk
membantu
memperluas
pengalamannya
keluar
lingkungan penghayatanya dengan mengusai penggunaan bahasa lisan yang baik .
15
2.
Perkembangan pada taraf kedua: pengusaaan bahasa lisan ditujukan kepada pengalaman siswa yang bersifat konkrit
3.
Perkembangan pada taraf ketiga: siswa sudah belajar berkomunikasi menurut ukuran yang diharapkan dari seorang yang telah mendapat pendidikan, baik bersifat komunikasi lisan maupun tulis Siswa pada usia SD mengalami perbedaan pada fase perkembangan
berbahasa secara ekspresif. Hal ini dapat dikatakan bahwa dalam mengungkapkan pendapatnya siswa sudah dapat menggunakan bahasa lisan sebagai alat berkomunikasi. Seiring dengan itu, Nurgiyanto (1995:18) menjelaskan bahwa aspek-aspek yang berkaitan dengan perkembangan berbicara siswa adalah sebagai berikut: (1) Kosakata; yaitu mengungkapkan sesuatu melalui kata demi kata, (2) Sintaksis (tata bahasa); yaitu melalui pendengaran dan penglihatan yang digunakan siswa pada lingkungannya, siswa telah dapat menggunakan bahasa lisan dengan susunan kalimat yang baik, (3) Semantik; (penggunaan kata sesuai dengan tujuannya); yaitu keinginan untuk mengekspresikan pendapatnya dengan menggunakan kata-kata dan kalimat yang tepat. Misalnya “tidak mau” untuk menyatakan penolakanya, (4) siswa SD sudah memiliki kemampuan untuk merangkai bunyi yang didengarnya menjadi satu kata yang mengandung arti, misalnya I b u menjadi ibu. Selanjutnya, karakteristik kemampuan bahasa pada siswa SD menurut Nurgiyanto (1995: 29) diuraikan sebagai berikut :
16
a. Karakteristik kemampuan bahasa siswa 4 tahun. Pada masa ini siswa sudah dapat menggunakan kalimat dengan baik dan benar, telah menguasai 90 % dari fonem dan sintaksis bahasa yang digunakannya, serta telah dapat berpartisipasi dalam suatu percakapan b. Karakteristik kemampuan siswa usia 5 -9 tahun Pada masa ini siswa sudah dapat mengucapkan lebih dari 2.500 kosa kata, lingkup kosa kata yang dapat diucapkan siswa yang menyangkut warna, ukuran, bentuk dan rasa bau, kecantikan, kecepatan, suhu, perbedaan, perbandingan jarak dan permukaan (kasar, halus). Di samping itu, siswa sudah dapat melakukan peran sebagai pendengar yang baik serta dapat berpartisipasi dalam suatu percakapan dengan orang lain ketika bercerita atau menanggapi cerita tersebut. Melalui karakteristik perkembangan berbicara siswa yang disebutkan di atas, maka diharapkan guru harus memiliki kemampuan untuk menilai sejauh mana tingkat perkembangan berbicara pada siswa serta tingkat kemampuan siswa dalam setiap melahirkan pikiran dan perasaan melalui bahasa lisan. 2.1.5 Aspek yang Dinilai di dalam Berbicara Secara khusus aspek yang dinilai di dalam ujian berbicara adalah didasarkan pada ruang lingkup dan tingkat kedalaman pembelajaran serta tujuan pengajarannya yang sudah ditetapkan di dalam kurikulum.
17
Menurut Safari (2010:81-82) secara umum aspek yang dapat dinilai di dalam ujian berbicara di antaranya; a. Aspek kebahasaan, yang meliputi; 1) Ketepatan pengucapan/pelafalan; vokal, konsonan, intonasi, dan tekanan, 2) Ketepatan penempatan tekanan kata/ungkapan, 3) Ketepatan penggunaan; nada/irama, pilihan kata, ungkapan, istilah, variasi kata, tata bentukan, struktur kalimat, ragaman kalimat, dan majas, b. Aspek pengungkapan, yang meliputi; 1) Kelancaran (tidak banyak mengulang-ulang kata yang sama), 2) Tempo bicara (lambat, sedang, cepat, terlalu cepat), 3) Menirukan/mengkopi kebiasan pembicara lain atau tidak, 4) Kenyaringan suara, 5) Gerak-gerik dan mimik 6) Nada (tiadak monoton) 7) Fasih, jelas, sederhana, dan mudah dipahami, 8) Terampil tidaknya untuk mengatasi kesulitan bila kehilangan jalan pikiran 9) Gaya menyampaikan/berbicara c. Aspek penampilan dan sikap, yang meliputi; 1) Keberanian dan semangat, menghormati, menghargai, percaya diri, memikat lawan bicara, akarab, memberi dorongan/motivasi, 2) Padangan mata,
18
3) Terkontrol tidaknya gerak-gerik anggota badan, 4) Posisi tangan, anggota badan (seperti; menggaruk-garuk telinga, kumis, janggut, menggigit biir, mempermainkan kancing baju), 5) Rasa takut, cemas, kurang konsentrasi, tegang, gugup, hati-hati, emosi 6) Ketepatan waktu yang diberikan 7) Keterbukaan/kejujuran, 8) Dapat merasakan reaksi pendengar/lawan bicara d. Aspek materi yang dibicarakan, yang meliputi; 1) Tingkat penguasaan materi/topik yang dibicarakan, 2) Tingkat enguasaan bahan pendukung, 3) Kesesuaia/relevansi dengan topik yang dibicarakan, 4) Tingkat penalaran (berpikir sistematis, konsisten, logis, tepat, dan benar), 5) Mampu menangkap maksud dan arah pembicaraan. 2.1.6 Jenis-jenis Ujian Berbicara Menurut Harris (dalam Safari, 2010:82-85), pelaksanaan ujuan bicara dapat dilakukan melalui 3 cara, yatu; wawancara, rekaman/diucapkan, dan tertulis. a. Wawancara/percakapan Untuk menilai dengan tepat kemampuan berbicara atau berbahasa lisan seseorang dalam wawancara biasanya diperlukan paling sedikit 3 orang pengjui. Setiap penguji teresebut mewawancarai peserta yang sama. Hal-hal yang dinilai di dalam wawancara tersebut ditentukan secara musyawarah di antara penguji
19
berdasarkan tujuan. Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan para enguji wawancara, yaitu; menentukan hal-hal/segi-segi yang akan dinilai, dan menentukan skala penilaian. b. Rekaman/diucapkan Dalam teknik ini ujaran-ujaran yang hendak diujikan disusun dengan teliti (biasanya direkam/dicatat). Dalam pelaksanaannya peserta ujian mendengarkan ujaran-ujaran yang diujikan melalui rekaman atau dibacakan. Peserta ujian diberi tugas untuk mengatakan kembali apa yang dikatakan penguji kepadannya. Sebagai suatu patokan, ujian ini harus terdiri dari beberapa bagian, yang amsingmasing khusus direncanakan untuk menviptakan contoh percakapan yang satu dengan yang lainnya. c. Tertulis Ujian ucapan bentuk tertulis merupakan teknik pengujian ucapan yang diberikan dalam bentuk tertulis. Dalam ujian ini peserta ujian hanya diminta untuk mengecek jawaban yang menyatakan bagaimana mereka melafalkan vokal dan konsonan yang terdaat dalam kata-kata yang diujikan itu, serta bagaimana memberikan tekanan pada kata-kata dan kalimat-kalimat yang disajikan. 2.2 Hakikat Bermain Peran 2.2.1 Pengertian Bermain Bermain (play) merupakan istilah yang digunakan secara bebas sehingga arti utamanya mungkin hilang. Arti yang paling tepat ialah setiap kegiatan yang
20
dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Menurut Hurlock (dalam Tedjasaputra, ahli bahasa, 2001: 320) bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa menggunakan alat yang menghasilkan pengertian untuk memberikan informasi, memberikan kesenangan maupun mengembangkan imajinasi pada siswa. Bermain mempunyai fungsi sangat penting bagi perkembangan pribadi siswa dan juga perkembangan sosial dan emosional. Melalui bermain, siswa merasakan berbagai pengalaman emosi yang berupa: senang, sedih, bergairah, kecewa, bangga, marah, dan sebagainya. Melalui bermain pula siswa memahami kaitan antara dirinya dan lingkungan sosialnya, belajar bergaul dan memahami aturan ataupun tata cara pergaulan. Rubin, Fein & Vandenberg, Smilansky (dalam Abd. Kadir Husain, 2003:25) mengemukakan tahapan perkembangan bermain kognitif sebagai berikut: (1) Bermain Fungsional (functional play). Kegiatan permainan ini dapat dilakukan dengan atau tanpa alat permainan. Misalnya berlari-lari sekeliling ruang tamu, mendorong dan menarik mobil-mobilan, mengolah lilin atau tanah liat tanpa maksud untuk membuat bentuk tertentu dan yang semacamnya. (2) Bangun membangun (constructive play). Dalam kegiatan bermain ini siswa membentuk sesuatu, menciptakan bangunan tertentu dengan alat permainan yang tersedia. Misalnya: membuat rumah-rumahan dengan balok kayu atau potongan lego, menggambar, menyusun kepingankepingan kayu bergambar dan semacamnya. (3) Bermain pura-pura (make believe play). Dalam bermain pura-pura siswa menirukan kegiatan orang yang pernah dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari. Dapat juga siswa melakukan peran imajinatifnya memainkan peran tokoh yang dikenalnya melalui film kartun atau dongeng. Misalnya: main rumah-rumahan, polisi dan penjahat, jadi Batman dan Satria Baja Hitam. (4) Permainan dengan peraturan (games with rules). Dalam kegiatan bermain ini, siswa sudah
21
memahami dan bersedia mematuhi aturan permainan. Misalnya: main kasti, ular tangga, monopoli, kartu, bermain tali, dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa, bermain dapat dipandang sebagai suatu kegiatan yang bersifat voluntir, spontan, terfokus pada proses, memberi ganjaran secara intrinsik, meyenangkan dan fleksibel. Tujuan kegiatan bermain adalah untuk meningkatkan pengembangan seluruh aspek perkembangan siswa, baik perkembangan motorik, kognitif, bahasa, kreativitas, emosi atau sosial. Kegiatan bermain akan memberikan hasil yang optimal apabila kegiatan itu dirancang dengan saksama dan tidak secara kebetulan. 2.2.2 Bermain Peran Bermain peran juga disebut main simbolik, main pura-pura, khayalan, fantasi, make-believe, fantasi, imajinasi, atau main drama. Permainan-permainan ini sangat penting untuk melatih perkembangan kognisi, sosial dan emosi pada siswa sejak usia tiga sampai 15 tahun (Vygosky, 1967; Erikson, 1963). Di samping itu, bermain peran seperti ini dipandang sebagai sebuah kekuatan yang menjadi dasar untuk mengembangkan daya cipta, tahapan ingatan, kerja sama kelompok, penyerapan kosa kata, konsep hubungan kekeluargaan, pengendalian diri, keterampilan pengambilan sudut pandang spesial, dan ketrampilan pengampilan keputusan kognisi (Gowen, 1995:27). Bermain peran membolehkan siswa memproyeksikan dirinya ke masa depan dan menciptakan kembali masa lalu. Pada siswa SD kelas II, bermain peran bagi mereka bukan berarti lepas dari dunia nyata, melainkan untuk memahami dunia nyata. Bermain peran menyediakan kesempatan untuk mengurutkan,
22
memahami dan mengendalikan dunia mereka sendiri. Siswa yang hidup dalam kekerasan atau lingkungan yang berantakan, memerlukan main peran sebagai suatu cara untuk ambil bagian dalam pengalaman-pengalaman yang menakutkan atau buruk dan memungkinkan siswa tidak merasa takut dengan kejadiankejadian. Namun demikian, menurut Abd. Kadir Husain (2003: 35) mutu pengalaman bermain peran sangat tergantung pada variabel berikut ini : a Cukup waktu untuk bermain (paling sedikit satu jam) b Ruang yang cukup, sehingga perabotan tidak penuh sesak, alat-alat mudah dijangkau, dan semua siswa dapat bermain secara kelompok yang paling sedikit sebanyak empat sampai enam siswa dapat bermain dengan nyaman. c Alat-alat untuk mendukung bermacam-macam adegan permainan. d Orang dewasa dapat memberi pijakan bila dibutuhkan untuk meningkatkan ketrampilan main peran siswa. Erik Erikson (1963:78) menjelaskan dua jenis bermain peran: mikro dan makro. Bermain peran mikro, yaitu siswa dapat memainkan peran dengan menggunakan alat bermain berukuran kecil, contoh kandang dengan binatangbinatangan dan orang-orangan kecil. Sedangkan bermain peran makro, yaitu seorang yang belajar bermain menjadi tokoh menggunakan alat berukuran besar yang digunakan untuk menciptakan dan memainkan peran-peran, contoh memakai baju dan menggunakan kotak kardus yang dibuat menjadi mobil-mobilan atau benteng.
23
Bermain peran harus ada di dalam dan di luar kelas, dengan tujuan untuk mendukung siswa agar bisa belajar dengan alat dan perlengkapan yang disediakan. Selanjutnya, untuk siswa Kelas II SD dengan perkembangan dan kemampuannya, maka alat yang digunakan harus mendukung seluruh materi belajar sebagaimana yang tertera dalam kurikulum. 2.2.3 Penerapan Metode Bermain Peran pada Pembelajaran Kelas II SD Penelitian dan teori mendukung pengalaman bermain sebagai sebuah aktivitas untuk siswa sekolah dasar yang bermutu, tetapi siswa terkadang tidak mendapatkan keuntungan secara penuh tanpa rencana, penataan lingkungan, dan pijakan orang dewasa dalam memberi pengalaman. Itulah sebabnya agar semua siswa mendapatkan keuntungan penuh setelah melakukan permainan, maka pengalaman bermain siswa seharusnya direncanakan dengan hati-hati dan diberi pijakan untuk memenuhi kebutuhan setiap siswa. Selanjutnya, dalam kegiatan belajar melalui metode bermain peran, seorang guru jangan hanya membiarkan siswa-siswanya bermain sendiri. Para guru, tidak mesti berdiam diri atau sekedar ngobrol, tanpa menghiraukan warga belajarnya bermain, akan tetapi seharusnya mereka menuntun dan memperhatikan warga belajar serta memberi mereka pijakan-pijakan sebagaiman tersebut di atas. Turner and Helms (1993:43) lebih menyoroti kegiatan bermain sebagai sarana sosialisasi siswa. Kegiatan bermain memberi kesempatan kepada siswa untuk bergaul dengan orang lain serta mampu mengenal berbagai aturan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Secara garis besar kegiatan
24
bermain dibedakan menjadi tiga kategori besar yaitu: (a) exploratory and manipulative play (bermain menjelajah dan manipulatif), (b) deskruktive play (bermain menghancurkan) dan, (c) imaginative atau make-believe play (bermain berkhayal atau pura-pura). Dari ketiga teori permainan yang disebutkan di atas menunjukkan, bahwa berdasarkan para ahli melalui metode bermain, maka sendirinya siswa dapat melakukan pengalaman yang bermakna dan menyenangkan dalam hidupnya dengan bahan, benda, atau siswa lain, berdasarkan bimbingan yang dilakukan oleh orang dewasa. Selanjutnya dengan metode bermain, dapat menolong siswa untuk belajar berkembang secara sempurna, baik fisik, emosi, kognisi, dan sosial. Itulah sebabnya, teori dan penelitian tentang bermain seharusnya menjadi dasar untuk program pendidikan bagi warga belajar yang berkualitas dan bermutu tinggi. 2.2.4 Keuntungan dan Kelemahan Metode Bermain Peran Seperti halnya metode pembelajaran pada umumnya, metode bermain peran memiliki keunggulan di samping kelemahan-kelemahannya. Vygosky (1967:31) mengemukakan keunggulan metode bermain peran, yaitu mampu melatih kompetensi siswa dalam melaksanakan kegiatan praktis karena dirancang secara cermat dan mendekati kegiatan yang sebenarnya. Pendapat lainnya, oleh Michael (1996:22) yang mengemukakan kebaikan atau keunggulan metode bermain peran, yaitu:
25
1) Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa didik, disamping merupakan pengalaman yang menyenangkan yang saling untuk dilupakan; 2) Sangat menarik bagi siswa didik, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias; 3) Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa didik, serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi; 4) Siswa dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah, serta dapat mengambil makna yang terkandung di dalamnya dengan penghayatan siswa sendiri. Selain keunggulan-keungulan tersebut, metode bermain peran memiliki kekurangan atau kelemahan. Dalam kaitan dengan hal ini, Tedjasaputra (2001: 2) mengemukakan kelemahan metode bermain peran, yakni (1) tidak semua guru menguasai kompetensi yang akan disimulasikan, sehingga jika dipaksa menerapkan metode bermain peran, maka simulasi tidak mewakili kondisi nyata; (2) Tidak semua guru memiliki kompetensi merancang kegiatan simulasi; (3) memerlukan persiapan dan penyiapan yang matang serta membutuhkan banyak waktu; (4) bisa terjadi demotivasi dalam diri siswa yang kurang berperan dalam kegiatan tersebut atau memainkan peran yang kurang disukainya. Sementara itu, Turner and Helms (1993:3) yang mengemukakan pula kelemahan metode bermain peran, yaitu:
26
1) Sosiodrama dan bermain peranan memelukan waktu yang relatif panjang. 2) Memerlukan kreativitas dan daya kreasi yang tinggi dari pihak guru maupun siswa didik, dan ini tidak semua guru maupun siswa yang memilikinya; 3) Kebanyakan siswa yang ditunjuk sebagai pemeran merasa malu untuk melakukan suatu adegan tertentu; 4) Apabila pelaksanaan bermain pemeran mengalami kegagalan, bukan saja dapat memberi kesan kurang baik, tetapi sekaligus berarti tujuan pengajaran tidak tercapai; 5) Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui metode bermain peran. Memperhatikan uraian tersebut jelaslah bahwa metode bermain peran, selain memiliki keunggulan atau kelebihan, juga mempunyai kekurangan atau kelemahan. Hal ini mengharuskan guru lebih profesional dalam menerapkan metode pembelajaran tersebut. 2.2.5 Langkah-langkah Penerapan Metode Bermain Peran Guna mengefektifkan metode bermain peran, perlu diperhatikan beberapa petunjuk penggunaan teknik bermain peran. Berkaitan dengan hal ini, Semiawan (1993: 83) mengemukakan beberapa langkah dalam menggunakan metode bermain peran dalam kegiatan pembelajaran, yaitu: (1) menentukan topik; (2) menyusun kalimat-kalimat untuk berperan; (3) menentukan anggota-anggota pemeran; (4) Siswa mempelajari perannya masing-masing; (5) melaksanaan
27
permainan peran. Pendapat lainnya oleh Djamariah (2006: 100) yang mengemukakan langkah-langkah bermain peran dalam pembelajaran sebagai berikut: (1) menetapkan dahulu masalah yang menarik perhatian siswa; (2) menceritakan kepada siswa mengenai isi dari masalah-masalah dalam konteks cerita tersebut; (3) menetapkan siswa yang mampu dan bersedia untuk memainkan peranannya; 4) menjelaskan kepada siswa mengenai peranan mereka pada waktu pembelajaran berlangsung. Sejalan dengan pendapat tersebut, Tedjasaputra (2001: 4) mengemukakan langkah-langkah penerapan metode bermain peran, sebagai berikut. 1. Merumuskan tujuan yang akan dicapai dengan melalui metode ini, dan tujuan tersebut diupayakan jelas dan mudah dilaksanakan; 2. Menjelaskan latar belakang bermain peranan tersebut, untuk menarik minat siswa bermain peran; 3. Menjelaskan bagaimana proses pelaksanaan bermain peran melalui peranan yang harus siswa lakukan/mainkan; 4. Menetapkan siapa-siapa diantara siswa yang pantas memainkan/ melakonkan jalannya suatu cerita. 5. Sebaiknya diadakan latihan-latihan secara matang, kemudian diadakan uji coba terlebih dahulu, sebelum bermain peran dipentaskan. 2.2.6 Penerapan Metode Bermain Peran dalam Meningkatkan Keterampilan Berbicara Telah dijelaskan bahwa berbicara merupakan suatu kegiatan yang berlangsung hampir setiap saat, termasuk komunikasi yang terjadi di dalam kelas
28
ketika jam pelajaran berlangsung. Keterampilan berberbicara siswa dapat dilatihkan dan dikembangkan oleh guru melalui berbagai metode yang relevan, misalnya dengan menerapkan metode bermain peran. Penerapan metode bermain peran dalam melatih kemampuan siswa dalam berberbicara dimulai dengan memilih dan menetapkan masalah-masalah yang menarik serta membahasnya bersama. Kegiatan berikutnya menjelaskan kepada siswa bahwa masalah yang menarik tersebut dapat dikemas menjadi sebuah cerita serta dapat diperankan oleh mereka sendiri. Misalnya, cerita tentang seorang dokter yang sedang memeriksa pasien, cerita tentang pedagang dan pembeli di pasar atau di pusat perbelajaan. Setelah siswa tertarik dengan cerita tersebut, maka langkah berikutnya adalah miminta siswa untuk memerankan sendiri dan melakukan komunikasi-komunikasi yang terjadi antara dokter dan pasiennya atau memerankan sebagai pedang dan pembeli yang sedang melakukan transaksi. Sebelum siswa atau kelompok melakukan peran sesuai tokoh dalam cerita, mereka diminta untuk mendengarkan dan memperhatikan dengan baik peranperan yang akan dimainkan. Selain itu, sebelum tampil dalam permainan peran mereka dilatih dan dibimbing secara perorangan memerankan tokoh-tokoh dalam cerita. Latihan dan bimbingan terutama diarahkan pada siswa-siswa yang memiliki kurang berani dalam berberbicara. Setelah seluruh siswa menyatakan memahami dan siap dengan perannya masing-masing, maka secara berurutan guru meminta setiap kelompok melakukan peran sesuai tokoh yang dibagikan. Pada akhir kegiatan bermain peran guru
29
mendiskusikan hasil kegiatan atau merefleksi setiap peran yang telah dilaksanakan oleh setiap kelompok guna melakukan perbaikan-perbaikan atau penyempurnaanpenyempurnaan terutama berkaitan dengan kemampuan siswa dalam berberbicara. Melalui urutan kegiatan tersebut secara tidak disadari oleh siswa, terutama siswa kurang berani atau kurang mampu dalam berberbicara, bahwa guru tengah melatih dan membimbing mereka dalam upaya memupuk kemampuan mereka berberbicara melalui peran-peran dalam cerita, sehingga diharapkan
melalui
pembiasaan-pembiasan tersebut dapat meningkatkan keterampilan berberbicara. 2.3 Kajian Penelitian yang Relevan Di bawah ini akan diketengahkan beberapa hasil penelitian yang relevan dengan manfaat teknik mendongeng pada kegiatan pembelajaran dalam kaitannya dengan mengembangkan kemampuan bercerita pada anak kelompok A TK PGRI Kelurahan Wumialo Kecamatan Kota Tengah Kota Gorontalo. Hasil penelitian pendukung dimaksud antara lain: 1. Ulu Yusuf, 2009. Judul penelitian ”Mengembangkan Kecerdasan Emosional Anak Melalui Metode Bermain Peran di TK Perintis Suwawa Kabupaten Bone Bolango” Jurusan Pendidikan Bimbingan dan Konseling pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo. Hasi
penelitian
menunjukkan
bahwa
salah
satu
cara
untuk
mengembangkan kecerdasan emosional anak di TK perintis suwawa Kabupaten Bone Bolango adalah melalui metode bermain peran. Hal ini terbukti oleh analisis data yang dikumpulkan, di mana indikator kinerja yang
30
dicapai pada penelitian ini adalah 90%. Peningkatan ini dilalui secara bertahap yaitu; pada observasi awal kecerdasan emosional anak hanya 35%, pada siklus I kecerdasan emosional anak mengalami perbaikan hingga mencapai 52 %, pada tindakan siklus II meningkat menjadi 74%, dan pada akhir penelitian siklus III telah mencapai 90%. 2. Any Kristanti Katili, 2010. Judul penelitian ”Mengembangkan Kemampuan Berbicara Melalui Puisi pada Anak Kelompok B TK Alkhairaat Kelurahan Dembe II Kecamatan Kota Utara Kota Gorontalo” Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo. Hasil kegiatan melalui pengamatan yang dilaksanakan dalam tiga siklus tersebut terlihat bahwa telah terjadi perkembangan kemampuan berbicara pada anak kelompok B di TK Alkhairaat Kelurahan Dembe II Kecamatan Kota Utara Kota Gorontalo. Hal ini terbukti oleh analisis data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa, indikator kinerja dalam penelitian ini telah mencapai 92,5%. Peningkatan ini dilalui secara bertahap yaitu; pada observasi awal kecerdasan emosional anak hanya 32,5%, pada siklus I kemampuan berkomunikasi lisan anak mengalami perbaikan hingga mencapai 52,5 %, pada tindakan siklus II meningkat menjadi 65%, dan pada akhir penelitian siklus III telah mencapai 92,5%. Dengan demikian kesimpulan hasil penelitian ini adalah metode berpuisi sangat efektif digunakan oleh guru dalam upaya meningkatkan kemampuan berbicara pada anak usia TK khususnya TK Alkhairaat Kelurahan Dembe II Kecamatan Kota Utara Kota Gorontalo.
31
Berdasarkan kedua penelitian yang diuraian literatur di atas, maka setelah dianalisis secara tidak langsung memiliki keterkaitan erat dengan penelitian yang akan dilakukan. Namun demikian, fokus yang akan dikaji penulis dalam penelitian ini memiliki spesifikasi tersendiri dari peneliti sebelumnya, yaitu seberapa jauh peranan guru dalam menggunakan metode bermain peran di Kelas II SDN 2 Tilamuta Kabupaten Boalemo, sehingga kemampuan berbicara siswa dapat meningkat. 2.4 Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teori tersebut di atas, maka hipotesis tindakan yang dapat penulis rumuskan adalah “jika guru menggunakan metode bermain peran dalam kegiatan pembelajaran di Kelas II SDN 2 Tilamuta Kabupaten Boalemo, maka keterampilan berbicara siswa dapat mengalami peningkatan secara optimal”. 2.5 Indikator Kinerja Penelitian ini dinyatakan berhasil bila terjadi peningkatan keterampilan berbicara pada Siswa Kelas II SDN 2 Tilamuta Kabupaten Boalemo melalui metode bermain peran, dengan indikator jumlah anak yang terampil berbicara meningkat dari sebelumnya berjumlah 15 dari 33 orang atau (46 %) menjadi 30 orang (91%) dari keseluruhan siswa.
32