BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka yang dimaksud adalah membicarakan mengenai uraian tentang konsep ataupun teori yang digunakan untuk menjelaskan masalah-masalah dalam penelitian. Dengan demikian, kajian pustaka secara tidak langsung dapat memberikan inspirasi, membuka wawasan kerangka berpikir. Kajian pustaka sekaligus dapat menjadi acuan dalam pemahaman yang sifatnya teoritis dan konseptual yang berhubungan dengan penelitian. Kajian pustaka juga memungkinkan peneliti untuk menentukan jangkauan atau ruang lingkup penelitiaannya, mencermati teori dan menempatkan masalah penelitiannya, memiliki gambaran mengenai pustaka yang relevan, menghindari pengulangan terhadap penelitian terdahulu, menempatkan hasil penelitiannya pada ranah yang berbeda dengan penelitian yang lainnya (Aziz, 2003: 193- dalam Ola, 2003: 53). Maka perlu ditegaskan lebih dahulu bahwa kepustakaan utama yamg menjadi pembanding sekaligus menjadi sumber inspirasi untuk melakukan kajian terhadap revitalisasi tradisi lisan kantola pada masyarakat Muna Sulawesi Tenggara adalah hasil kajian Aderlaepe dkk (2006) tentang Analisis Semiotik Atas Lirik Kantola: Sastra Lisan Daerah Muna, yang merupakan Proyek Pusat bahasa Sulawesi Tenggara, dan diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 2006 oleh Kantor Bahasa Propinsi Sulawesi Tenggara Departemen Pendidikan Nasional.
13
14
Penelitian Aderlaepe tersebut merupakan gambaran pola prilaku budaya secara kolektif oleh suku Muna di Sulawesi Tenggara dengan mengambil objek kantola, yaitu sastra lisan yang diapresiasi oleh masyarakat Muna dengan cara didendangkan. Dalam penelitian tersebut menguraikan tentang lirik syair kantola berbentuk soneta, tidak terikat oleh bentuk sajak maupun baris. Lirik syair-syair kantola yang bermuatan multidimensional, sarat makna. Fokus kajian Aderlape ini terletak pada kandungan maknanya, sedangkan peneliti difokuskan pada bentuk tradisi lisan kantola, fungsi ttadisi lisan kantola makna tradisi lisan kantola,
Kajian Aderlaepe ini memiliki kesamaan objek dengan rencana
penelitian ini yakni tradisi lisan kantola, tetapi apabila dilihat dari: (a) lokasi penelitian memiliki perbedaan yaitu penelitian Aderlaepe terdiri dari
enam
kecamatan (Kecamatan Tongkuno, Tiworo kepulauan, Kabawo, Napabalano, dan kecamatan Kusambi) sedangkan peneliti mengambil objek dua kecamatan, yaitu kecamatan lawa dan Kontunaga dikabupaten Muna. (b)kajian Aderlaepe hanya menggunakan Teori Semiotika, sedangkan peneliti menggunakan empat teori diantaranya, teori Hegemoni, teori resepsi, teori semiotika dan teori dekontruksi. Selain pustaka utama tersebut, penulis juga menyajikan beberapa kajian ilmiah lainnya untuk menunjang pustaka utama dalam mempertajam dan memperkaya khasanah penelitian ini. Bardia (2006) melakukan penelitian yang berjudul “Wacana Kantola Di Kabupaten Muna Dalam Perspektif Linguistik Kebudayaan”. Penelitian tersebut berfokus pada deskripsi mengenai struktur
15
linguistik, struktur tematik, struktur skematik, makna lingual-kultur, dan nilai budaya. sedangkan peneliti mengkaji dari perspektif kajian budaya. Metode yang digunakan dalam penelitian Bardia adalah metode deskriptif kualitatif. Untuk mengumpulkan data digunakan metode observasi dan wawancara. Metode distribusional digunakan untuk menganalisis data. metode formal dan informal digunakan dalam penyajian hasil analisis. Penetapan metode ini berdasarkan paradigma naturalistik dan interpretatif dengan prinsip kealamiahan data dan interpretasi data. Dari hasil analisis mengenai struktur linguistik ditemukan bahwa dalam kantola ada kecenderungan penggunaan bunyibunyi nyaring. Hasil penelitian Aderlaepe (2006) dan Bardia (2006) di atas, semakin memperjelas keaslian atau pentingnya penelitian ini bahwa masyarakat Muna memiliki tradisi lisan kantola yang belum dikembangkan secara optimal dan masih jarang dikaji secara mendalam melalui kajian-kajian ilmiah. Oleh karena itu, hasil penelitian tersebut oleh penelitian ini dijadikan pula sebagai petunjuk awal atau rujukan untuk mengkaji lebih dalam tradisi-tradisi lisan masyarakat Muna yang diwarisi secara turun-temurun baik dari ajaran nenek moyang maupun dari hasil pengalaman hidup mereka berinteraksi dengan alam. Penelitian Hadirman (2009) yang berjudul “Fungsi Sosial Budaya Bahasa Muna dalam Konteks Katoba”. Merupakan penelitian sebagai tesis S2 di Program Magister
Linguistik
Universitas
Udayana
Denpasar.
Penelitian
tersebut
menganalisis tentang tuturan ritual katoba sebagai penuntun etika moral dan fungsi sosial bagi budaya masyarakat Muna, ungkapan-ungkapan dalam ritual katoba, berupa ungkapan keagamaan, nasihat, dan permohonan ampun kepada
16
yang kuasa. Sedangkan ungkapan-ungkapan pada tradisi lisan kantola berupa cinta kasih, nasihat, kekecewaan, kebencian, pelipur lara, kritikan moral, dan kritikan sosial. Maka letak persamaan penelitian Hadirman dengan peneliti adalah pada ungkapan nasehat, dimana ungkapan tersebut ada juga tradisi lisan kantola. Hanya saja pada ritual katoba diungkapan secara langsung, sedangkan pada tradisi kantola mengunakan bahasa metaforis. Penelitian ini juga dapat membantu peneliti dalam mengkaji fenomena pada kebudayaan masyarakat Muna. Arnailis (2004) yang berjudul “Kesenian Ilau Di Nagari Salayo Sumatera Barat Suatu Kajian Bentuk, Fungsi, Dan Makna” merupakan penelitian sebagai tesis S2 di Program Magister Kajian Budaya Universitas Udayana Denpasar. Penelitian tersebut merupakan pertunjukan kesenian ilau adalah untuk mengupacarai saudara yang mati dirantau yang jasadnya tidak dibawa pulang kekampung halaman. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pada kajian ini ditelaah bentuk estetika pertunjukan kesenian ilau, fungsi pertunjukan kesenian ilau, dan makna estetika pertunjukan kesenian ilau, dan makna estetika pertunjukan kesenian ilau dalam masyarakat salayo dewasa ini. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode wawancara, observasi, dan kepustakaan, dan dokumentasi. Penelitian ini telah memberikan gambaran mengenai aspek-aspek kebudayaan, dan juga dapat menambah wawasan dalam mengkaji bentuk, fungsi, dan maknanya. Marafad, (2008) yang berjudul Seni Kantola dalam Konteks Bahasa Muna. Merupakan makalah yang disampaikan pada seminar internasional tanggal 2 Desember 2008 di Wanci, Kabupaten Wakatobi, Propinsi Sulawesi Tenggara
17
Dalam makalahnya menguraikan kajiannya tentang Bentuk Kantola, Isi Kantola, Pelaksanaan Kantola, Tujuan Pelaksanaan Kantola, Peserta Kantola, Waktu Pelaksanaan Kantola, Tempat Pelaksanaan Kantola, Durasi Waktu Kantola, Sasaran Kantola diadakan, sedangkan peneliti memfokuskan kajiannya pada bentuk revitalisasi tradisi lisan kantola, fungsi revitalisasi tradisi lisan kantola, dan makna revitalisasi tradisi lisan kantola. Makalah tersebut memiliki kesamaan objek dengan rencana penelitian ini yakni tradisi lisan kantola. Selain penelitian tersebut di atas, pada penelitian ini juga mengambil rujukan buku tentang Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya oleh Alo Liliweri (2002). Pada buku itu dijelaskan pertumbuhan kesenian multikultural yang sedang bergejolak dewasa ini. Menurut buku itu, “penyembuhannya” dapat dilakukan dengan humanisme yang digali dari kearifan lokal sarat dengan nilainilai humanistik. Buku tersebut dapat membantu penelitian ini, terutama untuk menjelaskan bentuk tradisi lisan kantola dari perspektif ilmu sosial masyarakat dan ilmu komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2002: 259). Dari
berbagai pendapat tersebut diatas, peneliti dapat memperoleh
gambaran yang berguna dan bermanfaat dalam pengembangan penelitian selanjutnya. Hal ini akan memberikan kontribusi yang besar dalam menelusuri keberadaan kantola beserta nilai-nilai yang terkandung dalam setiap syairnya serta bentuk dan fungsinya. Dengan demikian, revitalisasi dapat dilakukan setelah mengetahui keberadaan bentuk tradisi lisan ini sehingga dapat menjalankan fungsinya dan menghasilkan makna.
18
Hal-hal yang dikemukakan pada penelitian terdahulu umumnya berfokus pada pembahasan stuktur dan aspek-aspek yang melingkupi tradisi lisan kantola. Penelitian ini berusaha memanfaatkan ruang kosong hasil penelitian sebelumnya dengan melakukan pembahasan dari segi bentuk, fungsi dan makna, revitalisasi tradisi lisan kantola. Kelebihan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya terletak pada pembahasan yang dihasilkan lebih kongkrit dan lebih komprehensif. Penelitian ini tidak sekedar mengumpulkan data sebanyakbanyaknya tetapi yang lebih utama menarik akar permasalahan berdasarkan pernyataan teoritis. 2.2 Konsep Konsep ialah penyederhanaan pemikiran dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kajian. Konsep juga diartikan sebagai hasil abstraksi dan sintesis teori yang dikaitkan dengan masalah penelitian yang dihadapi, disamping untuk menjawab dan memecahkan masalah penelitian. Konsep dapat berfungsi untuk menyederhanakan arti atau pemikiran, ide serta hal-hal atau gejala sosial yang digunakan agar pembaca dapat memahami maksudnya sesuai dengan keinginan peneliti dalam penggunaan konsep tersebut. Konsep juga merupakan generalisasi dari sekelompok fenomena yang serupa kenyataanya konsep dapat mempunyai tingkat generalisasi yang berbeda, semakin dekat suatu konsep kepada realita maka semakin mudah konsep tersebut diukur dan diartikan (Koentjaraningrat, 1994: 4). Konsep merupakan deskripsi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala. Maka dari itu, dalam penelitian diuraikan konsep secara langsung berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.
19
2.2.1 Revitalisasi Tradisi Lisan Kantola Pada bagian ini terdapat tiga satuan konsep yang harus dijelaskan terlebih dahulu, yaitu pertama revitalisasi. Menurut
Keesing (1999:257) revitalisasi
adalah perubahan komunitas karena kesadaran baru untuk mencapai suatu cita-cita atau menempuh suatu cara hidup dengan sesuatu yang baru ataupun cara hidup dan nilai-nilai dari zaman yang sudah lampau. Keesing lebih menekankan pada kesadaran baru terhadap upaya-upaya perubahan kehidupan masyarakat yang sudah menyimpang dari tradisi-tradisi lama. Revitalisasi dapat berupa cara hidup yang sesuai dengan perkembangan zaman dengan tetap mengikuti aturan-aturan yang diwariskan oleh para leluhur ataupun tetap mengikuti pola kehidupan lama yang telah diturun-temurunkan dari suatu generasi kegenerasi berikutnya. Konsep revitalisasi juga diungkapkan oleh Sibarani (2004:30) yang menyatakan bahwa revitalisasi kebudayaan adalah sebuah proses dan usaha memvitalkan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat atau usaha untuk membuat kebudayaan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Kebudayaan harus menjadi bagian dari masyarakat pendukungnya. Budaya lokal harus diusahakan dapat bermanfaat dalam kehidupan manusia untuk lebih menyejahterakan masyarakat. Budaya lokal yang berkembang secara turun temurun dari zaman lampau sudah semakin tergerus dan tertatih-tatih menghadapi pengaruh globalisasi yang semakin luas daya jelajahnya. Untuk menangkal arus globalisasi yang begitu gencar mempengaruhi keberadaan, legitimasi, dan keberlanjutan budaya lokal,
20
maka munculnya kekuatan yang disebut kearifan lokal, atau lebih tegasnya revitalisasi kearifan lokal. Astra (dalam Majid 2009:19) lebih lanjut menegaskan bahwa revitalisasi itu difungsikan untuk memperkokoh jati diri bangsa, yang didalamnya meliputi kesadaran sejarah memegang peranan penting dalam menumbuhkembangkan jati diri dan identitas bangsa sehingga penghayatan kebersamaan dimasa lampau dapat membangkitkan rasa kepemilikan terhadap kearifan lokal. Selain itu, kesatuan dan persatuan akan terus terpelihara dalam mempersiapkan masa yang akan datang tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh generasi pendahulu. Gagasan revitalisasi mengandung pikiran jernih yang menyisaratkan adanya pandangan positif tentang beberapa strateginya kekuatan kearifan lokal dalam menghadapi derasnya arus globalisasi. Ardana (2004:91-92) menilai kebijakan pelestarian nilai-nilai budaya lokal terjebak pada persoalan idiom politik, tanpa aplikasi yang nyata, hal ini terlihat ketika nilai-nilai budaya lokal yang sebenarnya masih relevan dalam menjawab persoalan global akhirnya punah. Sentralisasi kekuasaan yang begitu besar membuat pemerintah dimasa lalu mengidap “paranoia” terhadap segala sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan kebijakan nasional. Pelestarian adat dan nilainilai budaya lokal lebih bersifat top down berkaitan dengan upaya pelestarian kekuasaan. Untuk itu perlu kiranya ditinjau kembali tentang apa yang dikerjakan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat yang seringkali tanpa arah ketika berhadapan dengan berbagai persoalan global.
21
Berdasarkan pengalaman historis, seringkali pengalaman masa lalu menjadi berharga dalam mempertahankan eksistensi kehidupan masyarakat. Maka dari itu, di berbagai kesempatan telah seringkali dimunculkan wacana tentang upaya untuk revitalisasi nilai-nilai budaya lokal yaitu sebagai langkah pemberdayaan budaya lokal itu dalam mengantisipasi tantangan zaman ke arah kehidupan masyarakat yang lebih baik. Dengan kata lain, perlunya untuk memulihkan dan membangkitkan kembali ingatan dan kesatuan kolektif masyarakat lokal sehingga tidak tercabut dari akarnya. Berbagai tantangan yang muncul di masyarakat mulai dari ethnosentrisme di tingkat lokal, munculnya berbagai konflik sosial, politik dan ekonomi yang berkepanjangan sampai berkembangnya paham-paham separatisme. Tantangantantangan ini harus dihadapi dengan membangkitkan kembali atau revitalisasi nilai-nilai budaya lokal di era globalisasi ini. Kemunculan nilai-nilai budaya lokal itu dapat diharapkan, apabila masih ada tradisi kebudayaan sendiri yang dapat dihidupkan kembali. Dalam era globalisasi, menurut Ardana, telah muncul upaya-upaya untuk membangkitkan kembali atau pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan peran dari lembaga adat. Menggunakan nilai-nilai budaya lokal untuk menjawab berbagai tantangan inilah sebagai wujud nyata dari revitalisasi budaya lokal. Dalam hal ini perlunya lebih ditingkatkan peran lembaga adat dalam menangani persoalan-persoalan konflik politik, krisis ekonomi, degradasi budaya sebagai akibat pengaruh globalisme.
22
Kebudayaan nasional merupakan proses dari bawah, dengan bertumpu pada dualistik antara kebudayaan lama dan kebudayaan baru. Namun pada kenyataannya, kebudayaan baru terus menekan kebudayaan lama yang sarat dengan nilai-nilai dan norma-norma yang dapat menangkal gelombang pasang globalisasi dan bergulirnya proses transformasi berbagai dimensi kehidupan sosial yang mengarah pada satu pusat budaya kosmopolitan. Strategi kebudayaan melalui revitalisasi, harus membuka akses partisipatif dan membangkitkan respon mutualistik dari eksponen budaya yang beragam. Revitalisasi, dengan demikian menjadi hal yang sangat urgen untuk dilakukan dalam menangkal berbagai pengaruh globalisasi. Globalisasi yang menimbulkan berbagai dampak. Salah satu dampak globalisasi adalah keengganan untuk melanjutkan tradisi lama yang dianggap sebagai bagian dari masa lalu yang telah usang dan tidak sesuai lagi dengan masa kekinian, harus sesegera mungkin disikapi dan ditindak lanjuti. Revitalisasi meniscahayakan nilai-nilai budaya lokal untuk menjawab berbagai tantangan globalisasi. Kedua konsep tradisi lisan. Tradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:1069) diartikan sebagai adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan di masyarakat. Tradisi juga berarti penilaian atau anggapan bahwa yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar. Ini menyiratkan bahwa warisan dari masa lalu mengandung nilai-nilai kebenaran yang masih telah berlaku di dalam masyarakat dan harus terus dilestarikan. Piliang (2005) mendefinisikan tradisi lisan sebagai setiap bentuk karya, gaya yang dipresentasikan sebagai kelanjutan dari masa lalu kemasa kini,
23
sehingga tradisi lisan adalah sesuatu yang tidak pernah berubah, dan dijalankan sebagai sebuah pengulangan-pengulangan. Tradisi menurut Piliang adalah proses repetisi dan reproduksi. Tradisi adalah reproduksi atau kelanjutan masa lalu, dan ia akan kehilangan sifat tradisi bila ia berubah. Perubahan dianggap sebagai musuh tradisi yang mengancam keaslian dan keberlanjutannya. Konsep lain yang dikemukakan Piliang menyangkut tradisi lisan adalah bentuk, prinsip, konsep, pranata tingkah laku, ekspresi, norma dan nilai yang telah didefinisikan dimasa lalu secara kolektif, dan diwariskan secara turun temurun. Karena didefinisikan secara kolektif, maka tradisi mampu mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya lokal yang dapat bertahan dalam menumbuhkan
kemampuannya,
dalam
arti
tidak
terikat
dengan
sifat
ketergantungan pada globalisasi. Dengan kata lain, tradisi harus mampu bergerak secara aktif dalam menumbuhkan kemampuannya. Ketiga, konsep kantola adalah dari sisi etimologinya berasal dari dua morfem, yakni morfem ka- dan morfem tola 'panggil'. Morfem ka- pada verba dalam bahasa Muna memiliki fungsi gramatikal derivasional atau penominal. Adapun morfem ka- mengalami perubahan bentuk menjadi kan-, hal itu sebenamya sebagai pengaruh nasalisasi bahasa seni dalam bahasa Muna. Dengan demikian, kantola lebih bermakna 'panggilan', 'ajakan' atau 'seruan'. Kantola merupakan nama prosa lirik dari daerah Muna yang didendangkan pada saat acara berbalas pantun antara dua kelompok, yaitu kelompok pria dan kelompok wanita. Secara ontologis, syair-syair kantola bermuatan multidimensional yang sarat makna. Lirik kantola disusun dan digubah pada saat pementasan berlangsung. Hal
24
ini mempunyai tujuan agar tradisi kelisanannya tetap terjaga. Pengekspresian makna dalam lirik kantola tidak secara lugas, tetapi melalui simbol-simbol yang disertai dengan gaya estetis. Ini berarti bahwa kandungan makna syair-syair kantola ada dibalik simbol-simbol yang ada. Oleh karena itu untuk mengetahui kandungan makna syair-syair kantola, seseorang harus memiliki kemampuan interpretatif terhadap simbol-simbol yang digunakan (Aderlaepe, 2006: 3-4). Memperlihatkan keanekaragaman karya sastra sebagai perwujudan genre, maka perlu adanya penekanan bentuk dan cara-cara pemahaman yang berbeda pula. Untuk mewujudkan keseimbangan antara sastra tulisan dan sastra lisan. Perlu diadakan pemetaan terhadap keberadaan sastra lisan dan dilakukan penelitian secara mendalam. Di satu pihak perlu diperhatikan dengan pertimbangan bahwa khazanan sastra lisan kaya dengan nilai-nilai kultur yang pada dasarnya sangat diperlukan dalam rangka membina semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Namun, dipihak lain sastra lisan dianggap tidak memiliki peranan dalam meningkatkan kualitas bermasyarakat. Sudah pada saatnya kajian tentang karya sastra terutama karya sastra lisan yang dikelompokkan ke dalam sastra lama dikaji oleh para peneliti lokal, yang pada umumnya lebih tertarik mengkaji sastra modern. Hal ini akan berdampak positif sehingga keberadaan sastra lama dapat diidentifikasi. Selain itu, dengan hasil kajian ini dapat diperoleh gambaran mengenai kekayaan kehidupan bangsa. Prioritas penelitian terhadap khazanah sastra lama. Selain dalam rangka mengantisipasi proses kepunahannya, juga berfungsi untuk mengungkapkan nilainilai kultur yang terkandung didalamnya (Ratna, 2008).
25
Kantola yang merupakan bagian dari khazanah sastra lisan Nusantara tidak dapat dipisahkan dari keberadaan masyarakat Muna. Apabila dilihat dari kacamata historis, Muna adalah sebuah etnis besar yang berbentuk kerajaan dan sekarang menjadi satu kabupaten. Sejak saat itu sastra lisan kantola muncul, yang disebabkan masyarakat membutuhkan media untuk mengemukakan dan mengapresiasikan ide-ide mereka. Tradisi lisan kantola mencakup hasil ekspresi warga suatu kebudayaan masyarakat Muna yang diwariskan secara turun temurun dan disebarluaskan secara lisan, yang merupakan produk kreativitas yang mendalam terhadap segala aspirasi, cita-cita, keinginan, dan ide bagi masyarakat lama yang bercorak tradisional. Segala ekspresi masyarakat untuk menyampaikan pandangan mereka terhadap fenomena sosial sangat intim dengan tradisi lisan (kantola). Konsep-konsep tersebut di atas dapat memberikan gambaran bagaimana suatu tradisi lisan yang berkembang dalam suatu masyarakat dapat terus bertahan dengan memvitalkan kembali cara hidup dan nilai-nilai dari zaman yang sudah lampau yang merupakan sumber kearifan lokal. Hal ini terutama disebabkan oleh kuatnya pengaruh perilaku kolektif yang terdapat di dalamnya. Namun, pengaruh tersebut dapat saja berkurang daya tariknya jika revitalisasi tradisi lisan tersebut dibenturkan pada berbagai perubahan pola hidup yang terus berkembang seiring dengan perubahan zaman yang bergerak dinamis. Revitalisasi tradisi lisan melingkupi perubahan komunitas karena adanya kesadaran baru untuk memperkokoh jati diri bangsa dengan memvalitkan kembali norma dan nilai yang telah didefenisikan di masa lalu secara kolektif, dan
26
diwariskan secara turun-temurun yang merupakan sumber kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat. 2.2.2 Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara Kata Masyarakat dan Muna terdiri tiga unsur: pertama, konsep masyarakat mengacu pada suku bangsa atau kelompok etnik yang dicirikan berdasarkan wujud kebudayaan dan corak tradisi yang digunakan dalam kapasitasnya sebagai unsur budaya, indeks budaya, dan simbol budaya. Sejalan dengan itu, Koentjaraningrat (Hadirman, 2009: 9) mengartikan suku bangsa sebagai suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas kesatuan kebudayaan, yang seringkali dikuatkan oleh kesatuan tradisi. Kesatuan kebudayaan dan tradisi dalam satu kelompok masyarakat tidak ditentukan oleh orang luar, tetapi berdasarkan konvensi para anggotanya. Sosok kebudayaan suatu kelompok masyarakat tercermin, antara lain dengan bentuk tradisi yang mereka gunakan dalam konteks sosial dan konteks budaya. Adapun masyarakat Muna yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat Muna yang bermukin dikecamatan Lawa dan Kontunaga. Kedua, Muna merupakan nama salah satu wilayah yang mana wilayahnya tersebut menjadi ibukota atau pusat pemerintahan Daerah Tingkat II Muna. Ketiga, Sulawesi Tenggara adalah merupakan salah satu wilayah di Pulau Sulawesi yang memiliki hak otonom dalam hal pemerintahan sehingga memiliki status sebagai Provinsi Sulawesi Tenggara. Jadi masyarakat Muna yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat Muna yang mengacu pada suatu suku bangsa atau kelompok etnik yang berada di kabupaten muna, akan tetapi lokasi penelitian ini di pusatkan pada dua kecamatan yaitu
27
kecamatan Lawa dan kecamatan Kontunaga, bukan pada wilayah kabupaten Muna secara keseluruhan. 2.2.3 Era Globalisasi Kata era berarti ‘jaman, masa, tarikh’. Adapun kata globalisasi merupakan kata yang diserap dari kata bahasa Inggris dari kata globe yang artinya ‘bola dunia’ (Poerwarminta, 1988: 61). Dari kata globe muncul kata global yang diartikan “sedunia, sejagat’ dan kata globalisasi yaitu gejala terbentuknya sistem organisasi dan sistem komunikasi antara masyarakat-masyarakat di seluruh dunia yang mengikuti sistem nilai dan kaidah yang sama. Sistem-sistem yang bersifat global terbentuk sebagai akibat dari sistem transport udara yang makin lama makin cepat, dan karena sistem komunikasi person-to-person serta komunikasi massa yang mampu menyelenggarakan hubungan atas dasar hitungan waktu yang diukur dengan jam, menit, detik ataupun dalam seketika (Sumardjan, 2007: 23). Berdasarkan uraian tentang masing-masing bagian konsep tersebut di atas maka dapat dirumuskan bahwa globalisasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah suatu jaman atau massa di mana sistem organisasi dan sistem komunikasi antara masyarakat-masyarakat di seluruh dunia mengikuti sistem nilai dan kaidah yang sama atau hampir sama. Jadi defenisi oprasional Revitalisasi Tradisi Lisan Kantola Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada Era Globalisasi adalah merupakan pengokohan jati diri yang menyiratkan adanya pandangan positif tentang betapa strateginya tradisi lisan kantola, sebagai media ekspresi, dalam menghadapi derasnya arus globalisasi. Selain itu, mampu mengendalikan dan memberikan arah pada
28
perkembangan budaya lokal tersebut, yang dipresentasikan sebagai kelanjutan dari masa lalu ke masa kini, sehingga dapat bertahan dalam menumbuhkan kemampuannya. Revitalisasi merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan budaya lokal sehingga dapat mengaktualisasi diri dalam konteks global. Pengembangan budaya lokal dapat dilakukan melalui pengenalan dan pengajaran budaya lokal, dengan menciptakan ruang bagi pengembangan kreativitas lokal sehingga mampu menumbuhkan kesadaran kultural tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar budaya lokal tersebut. Selain itu, revitalisasi harus menjadikan budaya lokal sebagai kebutuhan
dalam
menyejahterakan
masyarakat.
Adapun
indikator
yang
menyangkut revitalisasi tradisi lisan antara lain: 1. Kesadaran untuk menanamkan cara hidup berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya lokal dalam memperkokoh jadi diri masyarakat lokal. 2. Menumbuhkan kesadaran akan strategisnya kekuatan kearifan lokal dalam menghadapi derasnya arus globalisasi. 3. Membangkitkan
kembali
atau
pemberdayaan,
pelestarian
dan
pengembangan adat istiadat dan peran dari lembaga adat. 4. Memulihkan dan membangkitkan kembali ingatan dan kesadaran kolektif masyarakat lokal sehingga tidak tercabut dari akarnya. 5. Dorongan untuk menata ulang pengalaman kultural dan memberikan arah pada perkembangan budaya lokal.
29
2.3 Landasan Teori Pada hakikatnya, teori merupakan seperangkat konsep, defenisi dan preposisi yang tersusun secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan dan meramalkan suatu fenomena atas realitas sosial. Teori digunakan baik untuk menggambarkan yang seharusnya maupun menjelaskan yang senyatanya secara empirik (Cooper and Schindler, 2003, Sugiyono, 2009:41). Untuk menjelaskan mengapa sesuatu terjadi sebagai yang berlaku dalam kenyataan, teori harus melaksanakan fungsi ganda. Pertama, menjelaskan fakta yang sudah diketahui, dan kedua; membuka celah pandangan baru untuk menemukan fakta baru pula. Bila kejadian yang sama ditafsirkan dalam konteks teoritik berbeda, akan muncul jenis-jenis fakta yang berlainan pula (Kaplan, 2002:15). Dengan demikian, diperlukan beberapa teori yang relevan dan dipergunakan dalam penelitian ini dalam menjelaskan kenyataan empirik tersebut, antara lain (1) teori hegemoni yang difokuskan pada pengaruh globalisasi terhadap tradisi lisan kantola, (2) teori resepsi, penerima/penyambut ataupun masyarakat dalam hal pemaksaan dan penilaian suatu karya sastra. (3) Teori Dekontruksi,
Dekonstruksi
tentunya
diikuti
oleh
penyusunan
kembali
(rekontruksi) atau menata kembali struktur-struktur yang telah didekonstruksi. (4) Teori Semiotika, berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia.
30
2.3.1 Teori Hegemoni Masyarakat Muna adalah salah satu etnis besar yang termaginalisasi dari segi tradisi, yang diakibatkan oleh modernisasi. Proses pengikisan tradisi lisan secara perlahan yang melupakan identitas individu dan budaya-budaya lokal, sehingga berdampak pada kecenderungan sikap masyarakat yang konsumerisme. Hal ini bisa berdampak dengan semakin dilupakannya nilai-nilai budaya lokal. Pudarnya sebuah tradisi atau kebudayaan lisan disebabkan masyarakat menganggap tradisi lisan adalah sesuatu yang kuno atau bagian dari masa lalu. Oleh karena itu, problematika kehidupan masyarakat Muna dapat dikaji dengan menerapkan teori hegemoni Wacana hegemoni yang dapat diterapkan untuk menelaah masalah mengapa mulai ditinggalkannya tradisi lisan kantola dalam masyarakat Muna adalah analisis wacana hegemoni dari Foucault dan Gramsci. Analisis geneologi Foucault tentang formasi diskursif mengetengahkan antara hubungan pengetahuan dan kekuasaan. Tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan, sebaliknya tidak ada pengetahuan tanpa ada kekuasaan yang mendukungnya (Foucault, 1977). Selanjutnya Foucault menawarkan tiga konsep pendisiplinan, yaitu (1) ilmu-ilmu pengetahuan yang menempatkan subjek sebagai objek penyelidikan; (2) praktikpraktik pemisahan yang memilah antara yang waras dengan yang gila, antara yang kriminal dengan warga yang taat hukum, dan antara kawan dengan lawan; (3) teknologi-teknologi tentang diri yang digunakan individu untuk mengubah diri mereka menjadi subjek (Barker, 2004: 107). Sesuai dengan formasi diskursif dan
31
praktik-praktik pemisahan yang dikemukan Foucault tersebut, masyarakat Muna diwacanakan sebagai lawan yang harus ditaklukkan oleh pihak lain. Menurut Simon (1999: 19) secara esensial hegemoni bukan merupakan hubungan dominasi inherent dengan menggunakan kekuasaan, melainkan terjadi kesepahaman dengan penggunaan kepemimpinan politik dan ideologi, sehingga hegemoni merupakan organisasi konsensus. Dalam hegemoni kontrol sosial dilakukan dengan cara membentuk keyakinan ke dalam. Namun demikian, yang berlaku adalah supremasi kelompok dalam hegemoni yang diperoleh bukan atas penindasan tetapi melalui konsensus menggiring cara pandang orang dalam menyikapi problematik sesuai dengan cara pandang kelas sosial yang menaklukkannya. Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang dapat muncul melalui mekanisme konsensus daripada melalui penindasan terhadap kelompok sosial lainnya, yakni melalui institusi yang ada dalam masyarakat yang menentukan secara langsung atau tidak langsung struktur-struktur kognitif dari masyarakat (Hendarto, 1993: 35). Itulah sebabnya hegemoni menurut Gramsci pada hakikatnya adalah
upaya untuk menggiring orang menilai dan memandang
problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan. Melalui hegemoni, cara pandang dan keyakinan masyarakat akan dipengaruhi sehingga kehilangan kesadaran kritis mereka terhadap sistem yang ada. Hal ini berimplikasi bahwa seolah-olah kelompok penguasa memberikan kebebasan bagi kelompok yang tertindas dalam berekspresi. Namun, sesungguhnya hal itu adalah strategi yang diterapkan kelompok penguasa sehingga tidak terlihat adanya tekanan bagi kaum
32
tertindas. Hegemoni merupakan suatu tatanan atau cara hidup dan pemikiran kelompok tertentu menjadi dominan, yakni suatu konsep realitas yang disebarkan ke seluruh masyarakat dalam seluruh kelembagaan dan kehidupan pribadinya yang mempengaruhi seluruh cita rasa, moralitas, kebiasaan, prinsip, agama dan politik, serta seluruh hubungan sosial terutama dalam pengertian intelektual dan moral (Fakih, 2000). Dalam
konteks
konsensus,
Gramsci
mengajukan
tiga
kategori
konformitas/penyesuaian bagi masyarakat yang tidak mampu beroposisi, yaitu (1) orang akan menyesuaikan diri mungkin karena takut akan konsekuensikonsekuensi bila tidak menyesuaikannya; (2) orang menyesuaikan diri mungkin karena terbiasa mengikuti tujuan-tujuan tertentu; (3) konformitas yang muncul dari tingkahlaku yang mempunyai tingkatan-tingkatan kesadaran dan persetujuan dengan unsur-unsur tertentu dalam masyarakat (Hendarto, 1993: 36). Dalam konteks ini hegemoni terus-menerus diperbaharui. diciptakan dipertahankan dan dimodifikasi. Hegemoni juga ditantang, dibatasi, diubah, dan dihadang oleh tekanan dari luar, sehingga hegemoni selalu peka terhadap alternatif. Upaya revitalisasi tradisi lisan dalam masyarakat Muna adalah bagian dari perlawanan terhadap hegemonik yang sedang dialami oleh masyarakat Muna. Teori di atas, digunakan untuk menganalisis permasalahan kedua dalam penelitian ini yakni tentang fungsi revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi, juga model rekonstruksi tradisi lisan kantola sebagai kekayaan budaya masyarakat tersebut. Faktor penunjang dan penghambat tersebut dicurigai berasal dari dalam masyarakat Muna itu sendiri dan
33
ada yang berasal dari luar masyarakat, seperti pemerintah daerah dan pihak-pihak lain. Begitu pula dengan kemungkinan merekonstruksi tradisi lisan kantola sebagai strategi dalam mengembangkan identitas tidak terlepas dari peranan masyarakat, khususnya masyarakat Muna dan juga adanya campur tangan pemerintah daerah. Sebab menurut Wibowo (2000: 45), pemerintah daerah dan masyarakat saling berinteraksi. Mengacu pada teori hegemoni di atas, dengan mulai ditinggalkanya nilainilai tradisi lisan kantola yang diakibatkan oleh pengaruh budaya global terhadap perkembangan budaya masyarakat Muna. Budaya global memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan budaya lokal, dalam hal ini tradisi lisan kantola yang merupakan identitas masyarakat lokal Muna. Namun seiring dengan gencarnya budaya global mempengaruhi keberadaan tradisi lisan dan identitas masyarakat Muna. Budaya global dengan kekuasaan kapitalisme dan hegemoni kultural melalui media terus mengancam keberadaan budaya lokal ini. 2.3.2 Teori Dekonstruksi Pada penelitian ini digunakan juga teori Dekonstruksi Derrida untuk membedah makna revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi. Upaya konstruksi yang dilakukan oleh masyarakat Muna atas penolakan oposisi biner di mana telah dilekatkan kepada mereka selama ini, terutama yang berkaitan dengan keberadaan tradisi lisan kantola. Derrida memeriksa struktur-struktur yang terbentuk dalam paradigma modernisme dan senantiasa dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya. Dalam hal ini dekonstruksi hendak memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas
34
di bawah totalitas modernisme (Padje, 2007: 97). Dekonstruksi menolak otoritas sentral dalam pemaknaan budaya. Oleh karena makna budaya tidak harus tunggal, tetapi dapat bersifat terbuka pada makna lainnya. Disamping itu dekonstruksi juga menolak segala bentuk asumsi yang membelenggu. Teori dekonstruksi dikemukakan oleh Derrida sebagai sebuah usaha untuk menolak logosentrisme atau metafisika yang melahirkan oposisi biner (Lubis, 2006: 121; Al Fayyadl, 2006: 8). Dalam oposisi biner terdapat satu unsur yang mendominasi unsur lainnya dan pada akhirnya menimbulkan kesenjangan, sehingga kehadiran dekonstruksi memberi arti pada kelompok yang lemah atau minoritas. Menurut Ratna (2005: 252), dalam dekonstruksi dilakukan semacam pembongkaran. Tujuan akhir yang hendak dicapai adalah penyusunan kembali ke dalam tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan hakikat objek sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal. Lebih lanjut Ratna (2006:37) mangatakan bahwa keberadaan teori Dekonstruksi adalah untuk membongkar, merakit ulang oposisi biner dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Jadi, dekonstruksi mengandung arti mengurangi, membongkar secara keseluruhan atau sebagian suatu susunan dan struktur yang dibangun bersama hingga intensitasnya berkurang. Agar dekonstruksi dapat menciptakan dinamika, kreativitas serta produktivitas tafsir, maka tentunya diperlukan perlakuan baru terhadap sesuatu yang hendak didekonstruksi tersebut. Dekonstruksi tentunya diikuti oleh penyusunan kembali atau menata kembali struktur-struktur yang telah didekonstruksi.
35
Penggunaan teori dekonstruksi dalam penelitian ini untuk mengungkap proses dekontruksi dalam arti proses pembebasan dari modernitas yang dianggap represif dan proses pembentukan kontruksi postmodernitas yang dilakukan tradisi lisan kantola. Dalam hal ini membongkar dan menafsir kembali hal-hal yang berhubungan dengan tradisi lisan kantola yang selama ini telah dicirikan sebelumnya akan melahirkan makna baru terhadap keberadaan tradisi lisan itu sendiri. Sebagaimana telah diutarakan di atas, teori dekonstruksi dalam penelitian ini digunakan untuk mengungkapkan proses dekonstruksi dalam arti proses pembebasan dari modernitas yang dianggap represif dan proses pembentukan konstruksi postmodernitas sebagai konstruksi baru yang dilakukan tradisi lisan kantola. Pembebasan terhadap modernitas akan mengacu kepada pembebasan atas hegemoni, sedangkan pembentukan konstruksi postmodernitas akan mengacu pada konstruksi budaya, sosial, politik, estetika, dan seni pertunjukan yang baru atau postmodern. Hal ini sesuai dengan cara kerja dekonstruksi yang dikenal dengan “membongkar”, selanjutnya pembongkaran tersebut diikuti oleh pembangunan kembali (Ratna, 2005: 26). 2.3.3 Teori Semiotika Cassier membedakan antara tanda (sign) dengan simbol. Tanda adalah bagian “dunia fisik” yang berfungsi sebagai operator yang memiliki substansial. Sementara simbol tidak memiliki kenyataan fisik atau substansial, tetapi hanya memiliki nilai fungsional (Triguna, 2000: 8). Menafsirkan sarana tanda sebagai suatu tanda dalam penelitian ini akan
36
digunakan teori semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia (Cobley dan Jans dalam Ratna, 2004: 71) sebagai ilmu tanda, semiotika sosial mesti dipahami dengan konteks dimana tanda-tanda tersebut difungsikan. Pendekatan semiotik atau semiologi didasarkan pada asumsi bahwa tindakan manusia atau hal yang dihasilkannya menunjukan makna asalkan tindakan tersebut berfungsi sebagai tanda, tentu ada sistem konvensi dan pembedaan yang mendasarinya dan yang memungkinkan adanya makna tersebut. Dimana ada tanda disitulah ada sistem. Hal inilah yang sama-sama ada dalam berbagai kegiatan yang menjadi penanda (Culler, 1996: 74). Menurut Levi Straus untuk menganalisis fenomena yang menjadi penanda, meneliti tindakan atau objek yang membawa makna, seorang peneliti harus mendalilkan (mengandaikan) adanya sistem hubungan yang mendasari hal yang ditelitinya, dan harus mencoba melihat apakah makna unsur atau objek individual, bukan merupakan akibat dari kontrasnya dengan unsur dan objek lain dalam suatu sistem hubungan yang tidak disadari adanya oleh anggota suatu budaya. Makna yang diberikan kepada objek atau tindakan oleh para anggota suatu budaya bukanlah fenomena yang benar-benar acak, pasti ada sistem pembedaan, penggolongan yang merupakan semiologi, pasti ada kaidah penggabungan yang dapat digambarkan. Jadi yang dapat dimasukan kedalam semiologi adalah suatu bidang kajian yang amat luas. Segala ranah kegiatan manusia, apakah itu musik, arsitektur memasak, etiket, periklanan, mode dan sastra dapat dikaji (dibedakan) menurut pendekatan semiologi. Meskipun kebanyakan objek dan kegiatan
37
masyarakat adalah tanda, objek dan kegiatan tersebut bukanlah tanda yang jenisnya sama. Untuk membedakan antara jenis-jenis tanda yang berbeda perlu dikaji dengan cara yang berbeda. Ada tiga golongan tanda yang mendasar dan (yang kadang-kadang secara keliru disebut ‘simbol’). Semua tanda terdiri atas suatu penanda (signifier) dan petanda (konsep atau singnifified), yakni bentuk dengan makna atau makna-makna terkait. Hubungan antara penanda dan konsep (ditanda) akan berbeda bagi masing-masing dari ketiga jenis tanda ini (Culler, 1996: 80-83). Sebagai suatu ilmu, semiotika memiliki jangkauan yang relatif luas. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sobur (2003: V, XIX) ada tiga aliran pemikiran yang terdapat dalam semiotika, (1) Semiotika segnifikasi, (2) Semotika Komunikasi, (3) Semiotika exstra-komunikasi. Semiotika signifikasi merupakan suatu aliran semiotika yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure beserta pengikutnya. Semiotika komunikasi yang dikembangkan oleh Charles Sanders Pierce beserta pengikutnya. Sedangkan semiotika extra-komunikasi merupakan aliran pemikiran baru dalam semiotika yang melampaui kontraversi antar dua semiotika tersebut diatas, merupakan kritik maupun pengembangan terhadap semiotika signifikasi. Hubungan dengan permasalahan penelitian ini, semiotika signifikasi relevan untuk digunakan, semiotika signifikasi yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saususure, menempatkan bahasa sebagai suatu sistem tanda yang mengungkapkan ide-ide dan dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad, tuna rungu, bentuk sopan santun, isyarat militer, dan seterusnya (Krampen, 1996: 56).
38
Semiotika signifikasi pada lingkup penanda tersebut terkait dengan permasalahan penelitian ini, khususnya tentang tradisi lisan kantola. Pada tradisi lisan kantola dapat dipandang sebagai salah satu formulasi atau ragam budaya, yaitu sebagai simbol, ungkapan ataupun pribahasa. Dengan demikian tradisi lisan kantola dapat dikatakan sebagai salah satu objek semiotika dalam lingkup penanda. Dalam kaitan ini, pendekatan semiotika terhadap tradisi lisan kantola meliputi analisis penanda, untuk mengindentifikasi pelibat tradisi lisan kantola¸ petanda untuk memahami isi dari pelibat tradisi lisan kantola tersebut. Kenyataan yang ada dalam tradisi lisan kantola sebagai elemen daya tarik, untuk digunakan sebagai bentuk estetis yang indah pada saat tradisi lisan kantola terjadi. Keadaan seperti ini merefleksikan terjadinya komunikasi yang terintegrasi sebagai kesatuan emosi. Penyampaian lirik kantola diungkapkan tidak secara lugas, tetapi dikiaskan melalui simbol-simbol. Disini juga kelihatan bahwa peserta pertunjukan tradisi lisan kantola mempunyai kemampuan intpretatif dan menguasai keahlian yang formulaik. Sebagaimana diungkapkan di atas, teori ini digunakan untuk menganalisis permasalahan pertama dalam penelitian ini yakni tentang bentuk revitalisasi tradisi lisan kantola
masyarakat Muna Propinsi Sulawesi Tenggara pada era
globalisasi. 2.3.3 Teori Resepsi Karya sastra sangat erat kaitannya dengan penerima/penyambut. Karya sastra
ditujukan
untuk
penerima
dan
kepentingan
masyarakat
39
penerima/penyambut.
Karya
sastra
tidak
mempunyai
nilai
tanpa
ada
penerima/penyambut yang menilainya karena penerima/penyambutlah yang menentukan makna dan nilai suatu karya sastra (Teeuw dalam Pradopo, 2007: 207). Teori resepsi melokasikan penikmat ke dalam posisi yang memegang peranan penting. Tanpa peran serta audiens, seperti pendengar, penikmat, penonton, pemirsa, penerjemah, dan para pengguna lainnya. Khususnya penerima/penyambut itu sendiri, maka keseluruhan aspek-aspek kultural yang terdapat dalam suatu karya sastra akan kehilangan maknanya. Peranan penerima/penyambut sangat penting walaupun penerima/penyambut sama sekali tidak memiliki relevansi dalam kaitannya dengan proses kreatif penciptaan suatu karya sastra (Ratna, 2006: 165) Selanjutnya Ratna mengemukakan bahwa teori resepsi diartikan sebagai penerimaan, penyambutan, tanggapan, reaksi, dan sikap penerima/penyambut sehingga dapat memberikan tanggapan terhadap suatu karya sastra. Tanggapan yang
dimaksudkan
tidak
dilakukan
antara
karya
dengan
seorang
penerima/penyambut, melainkan penerima/penyambut sebagai proses sejarah, penerima/penyambut dalam periode tertentu. Dalam hubungan inilah teori resepsi dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a) resepsi secara sinkronis, meneliti karya sastra dalam hubungannya dengan penerima/penyambut sezaman, dan b) resepsi secara diakronis, penelitian dalam kaitannya dengan penerima/penyambut sepanjang sejarah. Pada dasarnya, model resepsi diakronis dapat memberikan pemahaman yang signifikan, dengan pertimbangan, khususnya dalam kaitannya dengan studi
40
kultural, pertama, adalah perubahan pandangan terhadap karya sastra sebagai akibat perubahan horison harapan, paradigma, dan sudut pandang. Kedua, pergeseran penilaian terhadap perkembangan suatu karya sastra ini merupakan tolak ukur untuk mengetahui sejauh mana masyarakat telah berubah. Menurut teori resepsi, keindahan dan manfaat karya sastra bagi masyarakat juga para aktor kebudayaan umumnya, bukanlah keindahan yang sudah pasti defenisinya. Keindahan yang dimaksudkan bukanlah keindahan abadi, karya seni dalam hubungan ini tidak bersifat universal. Sebaliknya keindahan adalah nisbih, yang kualitasnya bergantung dari situasi latar belakang sosial budaya penerima/penyambut, yang melalui keindahannya penerima/penyambut dapat mengali dan memahami aktivital kultural secara berbeda-beda pula. Resepsi sastra tampil sebagai teori dominan sejak tahun 1970an, dengan berbagai pertimbangan: a) sebagai jalan keluar untuk mengatasi strukturalisme yang dianggap hanya memberikan perhatian terhadap unsur-unsur, b) timbulnya kesadaran untuk membangkitkan kembali nilai-nilai kemanusiaan, dalam rangka kesadaran humanisme universal, c) kesadaran bahwa nilai-nilai karya sastra dapat dikembangkan hanya melalui kompetensi penerima/penyambut, d) kesadaran bahwa keabadian nilai karya seni disebabkan oleh penerima/penyambut, e) kesadaran bahwa makna yang terkandung dalam hubungan ambigius antara karya sastra dengan penerima/penyambut (Ratna, 2006: 166). Secara historis, teori resepsi telah diperkenalkan sejak akhir 1969 oleh Hans Robert Jauss (Pradopo, 2007: 206). Jauss mengungkapkan bahwa apresiasi penerima/penyambut dengan terhadap sebuah karya sastra akan diperkaya melalui
41
tanggapan-tanggapan lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan cara ini makna historis karya sastra akan ditentukan dan nilai estetikanya terungkap. Tanggapan-tanggapan seseorang mengenai karya sastra akan berbeda-beda, demikian pemahaman karya sastra pada satu periode dengan periode yang lainnya. Perbedaan inilah yang disebut oleh Jauss sebagai horison harapan. Horison harapan ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi karya sastra. Sehubungan dengan horison harapan, Seger (Pradopo, 2007: 208) menetapkan tiga kriteria: pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpencar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca; kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas sebuah teks yang telah dibaca sebelumnya; ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan. Proses penerima/penyambutan, bagi teori resepsi, selalu bersifat dinamis sepanjang waktu. Karya sastra eksis hanya sebagai apa yang disebut Roman ingarden sebagai seperangkat “skhemata” atau arah yang umum, yang harus diaktualisasikan oleh pembaca (Eagleton, 2006:109). Teori resepsi digunakan untuk mengkaji makna revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi, dengan pertimbangan bahwa tradisi lisan sangat berkaitan dengan norma-norma dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat yang cenderung bergerak dinamis seiring dengan perkembangan zaman. Selain itu, pemahaman masyarakat Muna terhadap tradisi lisan kantola juga sangat beragam sesuai dengan kondisi kultural mereka.
42
Teeuw (Ratna, 2006: 170) menganggap studi resepsi sastra sangat tepat diterapkan di Indonesia karena memiliki khazanah sastra, khususnya sastra lama (sastra lisan sering juga disebut sebagai sastra lama) yang sangat beragam. Sebagai ahli dalam bidang sastra lama, menurut Juass, nilai karya sastra dengan demikian terkandung dalam pertemuan antara masa lampau dengan kekinian masing-masing peneliti.
43
2.4 Model Penelitian Model penelitian dimaksudkan untuk menunjukkan arah dalam mengakaji masalah penelitian secara keseluruhan. Dengan kata lain, model penelitian adalah patokan akademis yang menjadi petunjuk dalam mengkaji masalah penelitian. Model penelitian berikut ini diterapkan untuk menuntun arah penelitian dalam mengidentifikasi realitas budaya yang berkembang dalam masyarakat. Model penelitian tersebut dapat dilihat melalui bagan berikut ini. Kebudayaan Masyarakat Muna
Globalisasi
Revitalisasi Tradisi lisan Kantola
TRADISI MITOS
Bentuk revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi
Fungsi revitalisasi Tradisi lisan Kantola masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi
Keterangan Model: = Keterangan satu arah = Keterangan dua arah
Media dan Teknologi
Makna revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi
44
Penjelasan Model Penelitian ini berangkat dari keberadaan tradisi lisan kantola yang menjadi bagian budaya masyarakat Muna. Pertama-tama peneliti melihat proses munculnya tradisi lisan dalam masyarakat Muna yang dipentaskan dalam pasca acara budaya seperti perkawinan, pengislaman, pingitan. Pementasan tradisi lisan kantola tidak berdiri sendiri. Ia dilantunkan dalam sebuah pertunjukan yang hanya dipentaskan dalam acara tertentu didalam suatu acara. Selanjutnya
peneliti
melihat
pengaruh
budaya
global
terhadap
perkembangan budaya Muna. Budaya global memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan budaya lokal, dalam hal ini tradisi lisan kantola yang merupakan identitas masyarakat lokal Muna. Namun seiring dengan gencarnya budaya global mempengaruhi keberadaan tradisi lisan dan identitas masyarakat Muna.
Budaya global dengan kekuasaan kapitalisme dan hegemoni kultural
melalui media dan teknologi terus mengancam keberadaan budaya lokal ini. Sesuai dengan model penelitian diatas, revitalisasi merupakan objek formal dalam memvitalkan kembali tradisi lisan kantola. Revitalisasi merupakan suatu proses menjadikan kebudayaan sebagai suatu yang menjadi bagian terpenting didalam kehidupan manusia sebelum kehilangan bentuk dan maknanya. Proses revitalisasi tentunya dilakukan secara teroganisir oleh individu pelaku budaya, kelompok komunitas bersama-sama pemerintah yang memiliki kesadaran dan merasa begitu pentingnya warisan budaya. Pada akhirnya model penelitian ini digunakan untuk mengkaji revitalisasi kebudayaan secara holistik. Sesuai dengan perspektif kajian budaya, penelitian ini
45
berfokus pada kajian bentuk, fungsi, dan makna revitalisasi tradisi lisan kantola dalam masyarakat Muna. Keseluruhan unsur-unsur yang terdapat dalam model penelitian ini saling berkaitan dan saling mendukung antara unsur yang satu dengan unsur yang lainnya sehingga membentuk satu kesatuan.