BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengertian Stres Kerja Stres adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seseorang (Handoko, 2001:200). Stres kerja adalah ketegangan yang dialami karyawan karena adanya ketidakseimbangan antara tuntutan pekerjaan dengan kemampuan karyawan dalam menyelesaikan pekerjaannya (Dewi dkk., 2014). Menurut Hidayati (2008) setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi, karena setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh atasannya. Rini (2010) menyatakan stres kerja dikaitkan dengan kendala dan tuntutan, karyawan akan mengalami stres karena karyawan menghadapi kendala, tuntutan dan peluang. Tunjungsari (2011) kesenjangan stres kerja merupakan permasalahan yang menimpa karyawan ditempat kerjanya yang timbul akibat ketegangan dari ketidak selarasan antara individu dengan lingkungannya, sehingga untuk meredakannya karyawan banyak yang ngambil cuti sementara. 2.1.2 Faktor-faktor yang menyebabkan stres Menurut Mangkunegara (2008:157) berpendapat bahwa penyebab stres kerja antara lain beban kerja yang dirasakan terlalu berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, otoritas kerja yang tidak memadai yang berhubungan dengan tanggung jawab, konflik kerja,
11
perbedaan nilai antara karyawan dengan pemimpin yang frustasi dalam kerja. Menurut Handoko (2001:200) kondisi-kondisi yang cenderung menyebabkan stres disebut stressors, biasanya karyawan mengalami stres disebabkan oleh faktor onthe-job dan off-the-job. Kondisi kerja yang sering menyebabkan stres bagi karyawan yaitu : a) beban kerja yang berlebihan. b) tekanan atau desakan waktu c) kualitas supervise yang kurang baik. d) iklim politis yang tidak aman. e) umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai. f) wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung jawab. g) kemenduaan peran (role ambiguity). h) frustasi. i) konflik antar pribadi dan antar kelompok. j) perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan. k) berbagai bentuk perubahan. Stres pada karyawan juga dapat disebabkan oleh masalah-masalah yang terjadi diluar perusahaan, penyebab-penyebab stres off-the-job yaitu kekuatiran finansial, masalah yang bersangkutan dengan anak, masalah fisik, masalah perkawinan (perceraian), perubahan yang terjadi ditempat tinggal dan masalah pribadi lainnya (Handoko, 2001: 201).
12
2.1.3 Pendekatan Stres Kerja Menurut Rivai (2004:517-518) pendekatan stres kerja dapat dilakukan dengan cara pendekatan individual dan pendekatan perusahaan. Pendekatan individual meliputi meningkatkan keimanan, melakukan meditasi dan pernapasan, melakukan kegiatan olahraga, melakukan relaksasi, dukungan sosial dari teman-teman dan keluarga, menghindari kebiasaan rutin yang membosankan. Pendekatan perusahaan meliputi melakukan perbaikan iklim organisasi, melakukan perbaikan terhadap lingkungan fisik, menyediakan sarana olahraga, melakukan analisis dan kejelasan tugas, meningkatkan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, melakukan restrukturasi tugas, menerapkan konsep manajemen berdasarkan sasaran. 2.1.4 Pengertian Kepuasan Kerja Kepuasan kerja merupakan suatu sikap positif yang menyangkut penyesuain diri karyawan terhadap situasi kerja (Anoraga, 2001:82). Kepuasan kerja pada hakekatnya adalah sebuah security feeling (rasa aman) yang mempunyai segi sosial ekonomi (gaji dan jaminan sosial) serta segi sosial psikologis seperti kesempatan untuk maju, mendapatkan penghargaan maupun hal yang berhubungan dengan masalah pengawasan dan hubungan karyawan (Rivai, 2012:246). Kepuasan kerja karyawan sangat penting untuk komunikasi organisasi, karena secara langsung terkait dengan hasil organisasi (Alam, 2013). Mohammad et al. (2011) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan faktor yang berkontribusi terhadap kesejahteraan fisik dan mental karyawan. Kepuasan kerja adalah perasaan seseorang terhadap pekerjaan secara keseluruhan atau berbagai aspek dalam pekerjaan (Seniati, 2006).
13
Para ahli lainnya memberikan definisi kepuasan kerja sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya (Robbins dan Judge, 2008:99). Kepuasan kerja memiliki arti penting bagi karyawan maupun perusahaan, khususnya demi terciptanya keadaan positif dilingkungan kerja (Indrawati, 2013). Omar dan fauzi (2013) kepuasan kerja menunjukkan bahwa sikap kita terhadap pekerjaan kita dengan memperhatikan perasaan kita, perhatian kita, dan perilaku kita dalam bekerja. 2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja Herzbeg dalam Ardana, dkk (2009:22) mengemukakan lima aspek yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja antara lain, kompensasi, promosi (peningkatan jabatan), lingkungan fisik (ventilasi, warna, penerangan, bunyi dan lain-lain), lingkungan non fisik (hubungan kerja antara atasan bawahan maupun antar rekan kerja, kesempatan dalam pengambilan keputusan), karakteristik pekerjaan (variasi pekerjaan, prospek pekerjaan). Menurut Hasibuan (2001:203) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan yaitu balas jasa yang adil dan layak, penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian, berat ringannya pekerjaan, suasana dan lingkungan pekerjaan, peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan, sikap pemimpin dan kepemimpinannya, sifat pekerjaan. 2.1.6 Indikator kepuasan kerja Spector dalam Yuwono (2005) menyatakan bahwa indikator kepuasan kerja dapat dilihat dari sembilan aspek yaitu kepuasan kerja yang berhubungan dengan kesempatan untuk kenaikan jabatan, kepuasan terhadap besarnya gaji, kepuasan
14
terhadap diberlakukannya segala yang menjadi kebijakan perusahaan, kepuasan terhadap supervisi (atasan), kepuasan terhadap perolehan tunjangan lain diluar gaji, kepuasan terhadap adanya penghargaan saat mencapai sebuah prestasi, kepuasan terhadap jenis pekerjaan yang dibebankan, kepuasan terhadap lingkungan pekerjaan (rekan kerja). Menurut Strauss & Sayler (dalam Jumari dkk., 2013), ada 5 dimensi kepuasan kerja yaitu : a) gaji, yaitu jumlah gaji atau upah yang diterima dan kelayakan imbalan tersebut. b) pekerjaan, yaitu tingkat hingga dimana tugas-tugas tersebut dianggap menarik dan memberikan peluang untuk belajar dan menerima tanggung jawab. c) promosi, yaitu tersedianya peluang-peluang untuk mencapai kemajuan dalam jabatan. d) supervisi, yaitu kemampuan supervisor untuk menunjukkan perhatian terhadap karyawan. e) rekan kerja, yaitu tingkat hingga dimana para rekan sekerja bersikap bersahabat dan kompeten. Darmawati (2013) menyimpulkan bahwa indikator kepuasan kerja diantaranya adalah pekerjaan mereka, gaji, promosi, supervisi, rekan kerja, serta keseluruhan pekerjaan yang mereka lakukan.
15
2.1.7 Kecerdasan Emosional Emosi merupakan perasaan yang kuat yang menuntut perhatian untuk mempengaruhi perilaku kognitif dan proses (Yukl, 2010: 237). Kecerdasan emosional bersangkutan dengan kapasitas untuk menerima emosi, mengasimilasi perasaan-emosi yang terkait, memahami informasi dari emosi, dan mampu mengatur mereka (Chamundeswari, 2013). Ealias dan Jijo (2012) menyatakan bahwa karyawan dengan kecerdasan emosional yang tinggi mampu mengembangkan strategi untuk mengatasi konsekuensi yang mungkin timbul dari stres sedangkan mereka yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah tidak akan mampu berada dalam posisi untuk mengatasi situasi stress. Menurut Wong et al. (2005) dalam Fitriastuti (2013)
orang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi akan mampu
memahami dirinya sendiri dan emosi orang lain, orang tersebut dapat memanfaatkan pemahaman ini untuk meningkatkan perilaku dan sikapnya dalam menuju arah yang lebih positif, sehingga mampu mengendalikan emosi, lebih termotivasi, merasa puas dan mampu mengatasi masalah dengan lingkungan kerja serta kehidupannya. Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mendeteksi serta mengelola petunjuk-petunjuk dan informasi emosional (Robbins dan Judge, 2008:335). Goleman (2005) dalam Sumiyarsih (2012) membagi aspek kecerdasan emosional menjadi lima aspek dasar, meliputi : a) kesadaran diri, kemampuan mengetahui yang dirasakan. b) pengaturan diri, kemampuan mengatur emosinya sendiri sehingga berdampak positif pada pelaksanaan tugas.
16
c) motivasi, kemampuan menggunakan hasrat untuk menggerakan dan menuntun diri menuju sasaran. d) empati, kemampuan merasakan perasaan orang laindan mampu memahami perspektif orang lain. e) keterampilan sosial, kemampuan untuk menanggapi emosi dengan baik ketika berhubungan orang lain, mampu membaca situasi dan jaringan sosial secara cermat, dapat berinteraksi atau bekerja sama dengan lancar. Reus dan Liu (2004) dalam Gunduz et al. (2012) mengusulkan dua komponen utama kecerdasan emosional yaitu pengaturan emosional dan pengakuan emosional. Pengakuan emosional mengacu pada kemampuan seseorang untuk memahami emosi dan memahami penyebab potensial dan efek. Ngirande et al. (2014) menyatakan seorang pemimpin dengan kecerdasan emosional yang tinggi mampu merespon dengan tepat untuk stress kerja dan perilaku emosional bawahannya. 2.1.8 Teori Peristiwa Afektif (Affective Events Theory) Teori peristiwa afektif sebuah model yang menyatakan bahwa peristiwaperistiwa ditempat kerja menyebabkan reaksi-reaksi emosional dibagian karyawan, yang kemudian mempengaruhi sikap dan perilaku ditempat kerja (Robbins dan Judge, 2008:332). Menurut Howard dan Russell (1996) teori peristiwa afektif (affective event theory-AET) adalah teori yang melihat bagaimana emosi dan suasana hati kita mempengaruhi kepuasan kerja kita. AET menunjukkan bahwa karyawan bereaksi secara emosional pada hal-hal yang terjadi pada mereka di tempat kerja dan bahwa reaksi ini mempengaruhi perilaku bekerja dan kepuasan
17
kerja, peristiwa-peristiwa tersebut memicu reaksi emosi yang positif atau negatif (Robbin dan Judge, 2008:332). 2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh kecerdasan emosional terhadap kepuasan kerja Virk (2011) dalam penelitiannya menunjukkan hasil bahwa emosi memainkan peran penting dalam kepuasan kerja, manajer yang memiliki kecerdasan emosional tinggi lebih puas dengan pekerjaan mereka daripada manajer yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah. Gunduz et al. (2012) menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berperan penting terhadap kepuasan kerja internal. Karyawan dengan kecerdasan emosional tinggi memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi dan kesempatan mereka untuk meninggalkan perusahaan lebih rendah dibandingkan dengan karyawan yang memiliki kepuasan kerja yang rendah (Nair et al.,2010). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dapat ditarik hipotesis penelitian sebagai berikut : H1 : Kecerdasan emosional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja 2.2.2 Pengaruh kepuasan kerja terhadap stres kerja Noermijati dan Nurjana (2011) bahwa kepuasan kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap stres kerja, karena stres kerja dapat membawa dampak yang tidak diinginkan oleh karyawan, ketika sumber stres meningkat maka kepuasan kerja akan menurun. Menurut penelitian yang telah dilakukan Karambut dan Noormijati (2012) bahwa semakin tinggi stres kerja perawat akan semakin rendah tingkat
18
kepuasan kerja mereka hal ini menunjukkan stres kerja berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kepuasan kerja. Sependapat dengan Soetjipto (2008) dan Ho et al. (2009) bahwa kepuasan kerja memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap stres kerja. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dapat ditarik hipotesis penelitian sebagai berikut : H2 : Kepuasan kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap stres kerja. 2.2.3 Pengaruh kecerdasan emosional terhadap stres kerja Karambut dan Noormijati (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kecerdasan emosional memberikan pengaruh yang signifikan negatif terhadap stres kerja, karena semakin tinggi kecerdasan emosional maka stres kerja akan semakin menurun sebaliknya, semakin rendah kecerdasan emosional maka stres kerja akan semakin tinggi. Penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Nikolaou dan Tsaousis (2002) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosional dan stres kerja karyawan. Penelitian yang dilakukan oleh Hidayati, dkk (2008) bahwa karyawan yang memiliki kecerdasan emosional tinggi mampu menghadapi stres kerja dengan baik. Akbar (2013) dalam penelitiannya juga menghasilkan korelasi negatif antara kecerdasan emosional dengan stres kerja perawat di RSUD Banjarbaru karena semakin positif kecerdasan emosi maka semakin rendah stres kerja yang dialami oleh perawat tersebut. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dapat ditarik hipotesis penelitian sebagai berikut :
19
H3 : Kecerdasan emosional berpengaruh negatif dan signifikan terhadap stres kerja 2.3 Model Konseptual Model konseptual yang menggambarkan secara ringkas hubungan antara variabel yang terjadi dalam Gambar 2.1 Gambar 2.1 Model Konseptual Penelitian
Kepuasan Kerja H1
H2
Kecerdasan Emosional
Stres Kerja
H3
Sumber model konseptual : Gunduz et al. (2012), Noormijati dan Karambut (2012),
20