BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1
Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Teori keagenan (agency theory) Teori keagenan menjelaskan hubungan antara atasan (prinsipal) dan bawahan (agen). Hubungan keagenan didefinisikan sebagai suatu kontrak yang terjadi pada saat prinsipal mulai mempekerjakan agen dan kemudian prinsipal mendelegasikan wewenangnya untuk pengambilan keputusan kepada agen (Jensen dan Meckling, 1976). Teori agensi mendasarkan pemikirannya atas perbedaan informasi antara atasan (prinsipal) dan bawahan (agen), antara kantor pusat dan kantor cabang, atau adanya asimetri informasi yang memepengaruhi penggunaan sistem akuntansi (Lubis, 2011:91). Prinsipal dan agen mempunyai kepentingan sendiri dan perbedaan kepentingan tersebut dapat memicu terjadinya konflik yang mengarah pada budgetary slack. Menurut pandangan teori agensi, kinerja dari organisasi ditentukan berdasarkan usaha dan pengaruh dari kondusifnya kondisi lingkungan kerja (Lubis, 2011:91). Selanjutnya Teori agensi menyatakan pula bahwa terdapat perbedaan sikap dari atasan (principal) dan bawahan (agen) dimana atasan (principal) bersikap netral terhadap risiko, sebaliknya bawahan (agen) bersikap menolak usaha dan risiko. Atasan (principal) menilai pemberian kompensasi kepada bawahan (agen) berdasarkan pada hasil, namun bawahan (agen)
9
berpandangan bahwa pemberian kompensasi tidak hanya diukur berdasarkan hasil tetapi juga harus berdasarkan tingkat usahanya (Lubis, 2011:91). 2.1.2 Theory of planned behavior Theory of Planned Behavior (TPB) atau teori perilaku terencana merupakan pengembangan lebih lanjut dari theory of reasoned action (TRA). (Ajzen 1988) dalam Aryani (2010) menambahkan definisi yang belum ada dalam theory of reasoned action (TRA), yaitu kontrol perilaku persepsian (perceived behavioral control). Sikap dan perilaku yang dipengaruhi oleh keyakinan akan membawa kepada keberhasilan atau tidaknya usaha dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Kontrol perilaku ditentukan oleh pengalaman masa lalu dan perkiraan individu mengenai seberapa sulit atau mudahnya untuk melakukan perilaku yang bersangkutan (Anwar, 1995). Dalam mekanisme penyusunan anggaran sering terjadinya Budgetary slack. Hal ini terjadi akibat sikap perilaku bawahan (agen) yang dipengaruhi oleh keyakinan, nilai personal dan sikap terhadap lingkungan akibat hasil dari tindakanya. Menurut Lisa dan Rifaatul (2014) bawahan berkeyakinan bahwa tindakan perilaku yang dilakukan akan membawa kepada hasil yang diinginkan. Bawahan yang memiliki keyakinan bahwa perilaku yang dilakukan bisa mencapai prestasi kerja dan pengakuan sosial, mereka biasanya cenderung akan melakukan budgetary slack karena kinerja mereka sering dilihat berdasarkan keberhasilannya dalam mencapai target yang telah dibuat dalam anggaran.
10
2.1.3 Pengertian anggaran Menurut Lubis (2011:226) Anggaran merupakan suatu rencana yang disusun secara sistematika yang meliputi seluruh kegiatan perusahaan dan dinyatakan dalam unit (satuan) moneter dan berlaku untuk jangka waktu (periode) mendatang. Anggaran menurut (Suharman, 2012) merupakan alat manajemen dalam pembuatan suatu program untuk rencana kegiatan yang digunakan dimasa yang akan datang, serta dapat digunakan untuk pengorganisasian dan pelaksanaan, pengendalian kegiatan operasional, serta mengevaluasi kinerja manajerial. Savitri ( 2014) mendefinisikan anggaran adalah salah satu alat perencanaan dan juga alat pengendalian organisasi. Sebagai alat perencanaan, anggaran dapat dipakai untuk merencanakan semua aktivitas suatu pusat pertanggungjawaban, agar nantinya pelaksanaan aktivitasnya sesuai dengan apa yang telah diharapkan sebelumnya. Anggaran juga merupakan alat perencanaan manajerial dalam bentuk keuangan, dimana didalam anggaran terdapat aktivitas-aktivitas yang akan dilaksanakan selama periode waktu tertentu sebagai acuan ataupun pedoman dalam kegiatan organisasi dan menunjukkan tujuan dari perusahaan itu sendiri. Anggaran menurut pendapat (Hariyanto 2010) alat pengendalian, koordinasi, komunikasi, serta penilaian kerja. Sedangkan anggaran berfungsi sebagai alat pengendalian maksudnya adalah ketika anggaran dapat dipakai sebagai alat ukur dari kinerja pusat pertanggungjawaban. Anggaran dapat pula digunakan sebagai alat untuk memberikan efektivitas yang lebih besar dalam mencapai efisiensi organisasi dengan membatasi dari pengeluaran yang dilakukan pada operasional perusahaan (Tagwireyi, 2012).
11
2.1.4. Budgetary slack Budgetary slack (Senjangan Anggaran) merupakan perbedaan antara realisasi anggaran dengan estimasi dari anggaran yang telah diprediksikan (Suartana, 2010:138). Senjangan anggaran terjadi ketika agen sengaja memasukkan biaya lebih banyak dari yang seharusnya dan pendapatan lebih sedikit agar anggaran lebih mudah untuk dicapai (Harvey, 2015). Ada beberapa alasan yang mendasari bawahan (agen) untuk menciptakan senjangan seperti misalnya mempertimbangkan faktor risiko dan adanya ketidakpastian lingkungan (Dunk, 1993). Oleh sebab itu, bawahan (agen) akan berusaha untuk melakukan budgetary slack agar mencapai hasil seperti yang diinginkan oleh atasan (prinsipal). Hal ini menyebabkan timbulnya perilaku dari pelaksana anggaran untuk menciptakan suatu senjangan dengan tujuan untuk meningkatkan prospek kompensasi ke depannya (Suartana, 2010:138). 2.1.5. Asimetri informasi Asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana
terdapat
ketidakpastian informasi karena di dalam organisasi ada salah satu pihak yang memiliki informasi lebih banyak (Busuioc, 2011). Asimetri Informasi timbul karena adanya partisipasi di dalam proses penyusunan anggaran yang melibatkan atasan (prinsipal) dan bawahan (agen) (Jermias, 2005). Milani (1975) mengatakan asimetri informasi terjadi karena adanya perbedaan dalam perolehan informasi dan risiko perkiraan antara kedua pihak yang bertransaksi. Apabila atasan (prinsipal) mempunyai informasi yang lebih banyak daripada bawahan (agen), maka akan terjadi suatu tuntutan yang lebih besar dari atasan (prinsipal) agar
12
pelaksana anggaran dapat mencapai target anggaran. Sebaliknya, apabila bawahan (agen) mempunyai informasi yang lebih banyak dari yang dimiliki oleh atasan (principal), maka pelaksana anggaran akan menetapkan target lebih rendah daripada kemungkinan untuk dicapai (Suartana, 2010:140).
2.1.6 Locus of control Locus of control adalah cara pandang seseorang terhadap suatu peristiwa apakah dia dapat atau tidak dapat mengendalikan peristiwa yang terjadi padanya. Brownell (1981) mendefinisikan locus of control sebagai tingkatan dimana seseorang menerima tanggungjawab personal terhadap apa yang terjadi pada diri mereka. Locus of control memiliki dua jenis yaitu Internal locus of control dan Eksternal locus of control. Internal locus of control mengacu pada persepsi terhadap kejadian baik positif maupun negatif sebagai konsekuensi dari tindakan atau perbuatan diri sendiri dan berada dibawah pengendalian diri mereka. Sedangkan external locus of control mengacu pada keyakinan bahwa suatu kejadian tidak memiliki hubungan langsung dengan tindakan yang telah dilakukan oleh diri sendiri dan berada diluar kontrol dirinya (Lefcourt, 1966). Internal locus of control memiliki tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan eskternal locus of control dalam sebuah lingkungan organisasi dalam memberikan kinerja yang lebih memuaskan. Internal locus of control, individu meyakini bahwa mereka memegang kendali atas peristiwa-peristiwa atau segala sesuatu yang berhubungan pada mereka. Internal locus of control ditentukan dengan pandangan peristiwa baik atau buruk yang terjadi diakibatkan oleh tindakan sesorang.
13
Oleh karena itu terjadinya suatu peristiwa berada dalam kendali seseorang (Silmilian, 2013). Dengan demikian maka seseorang yang memiliki internal locus of control memiliki tingkat keyakinan yang lebih kuat. Seseorang dengan memiliki internal locus of control akan menjadi lebih aktif dan mampu untuk memilih dan memilah informasi yang baik yang dibutuhkan. Dengan kemampuannya sendiri ia mampu untuk membuat keputusan dan bertanggung jawab atas keputusan yang telah diambilnya tersebut. Individu dengan memiliki internal locus of control yang tinggi juga memiliki pengendalian diri yang baik, dan juga lebih cenderung untuk menunjukkan sifat yang baik terhadap sesamanya dibandingkan dengan eksternal locus of control.
Menurut Mitchel et,al (1975) dalam Ratnawati (2000) locus of control menggambarkan keyakinan individu, bahwa individu bisa mempengaruhi kejadian-kejadian yang berkaitan dengan kehidupannya. Setiap orang memiliki keyakinan yang berbeda, ada beberapa orang percaya bahwa mereka dapat mengendalikan nasib mereka sendiri dan ada yang percaya bahwa apa yang terjadi pada kehidupan mereka hanyalah disebabkan keberuntungan atau nasib. 2.1.7 Nilai personal Nilai-nilai personal (personal values) merupakan suatu keyakinan berfungsi sebagai standar yang mengarahkan perbuatan dan cara pengambilan keputusan (Rokeach,1973). Kahle (1988) menegaskan bahwa nilai-nilai personal sebagai dasar pengembangan sikap individu dalam perilaku pengambilan keputusan. Nilai bersifat personal apabila dipusatkan pada diri sendiri, sedangkan nilai bersifat sosial apabila dipusatkan pada masyarakat. Kenaikan nilai sosial
14
akan berakibat menurunnya nilai personal, sebaliknya kenaikan nilai personal akan mengakibatkan menurunnya nilai sosial (Rokeach, 1973). Nilai personal timbul dari pengalaman pribadi seseorang yang membentuk dasar perilaku seseorang yang nyata melalui pola perilaku yang konsisten serta menjadi kontrol internal bagi seseorang. Menurut Schwartz (2006) ada sepuluh tipe nilai personal yang berhubungan dengan menginginkan keberhasilan pribadi. Sepuluh nilai-nilai personal merupakan nilai-nilai yang akan mendorong seseorang untuk dapat merasakan kebahagiaan dalam bekerja, jika nilai-nilai yang dimiliki individu tersebut selaras atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh perusahaan tempatnya bekerja. Seseorang dapat dikatakan bahagia apabila mereka yang mampu memotivasi dirinya untuk lebih baik dalam hal, menstabilikan emosi, melibatkan diri di lingkungan, berinteraksi dengan lingkungan, memiliki makna dalam hidupnya, serta mampu mendorong mereka untuk berprestasi dalam tugasnya. Inilah sebagaimana dijelaskan oleh Schwartz dan Bardi (2001) menjabarkan kesepuluh nilai yang bersifat motivasional berdasarkan tujuan dan nilai-nilai tunggal yang mendukungnya diantaranya adalah kekuatan, prestasi, hedonisme, stimulasi, pengendalian diri, universal, kebajikan, tradisi, kesesuaian, dan keamanan. 2.1.8 Sistem imbalan Menurut Chow dkk (1988) anggaran dapat digunakan sebagai alat untuk proses perencanaan dan pemotivasi prestasi bawahan. Cara atasan
memberi
motivasi kepada bawahan (agen) dapat dilakukan dengan memberi pujian, hadiah
15
atau imbalan. Menurut Ivancevich (1998) dalam Suryo (2007:4) imbalan atau kompensasi adalah fungsi manajemen sumber daya manusia yang berkaitan dengan semua bentuk penghargaan yang dijanjikan akan diterima karyawan sebagai imbalan dari pelaksanaan tugas dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan. Menurut Siswanto (1989); Halim dan Tjahjono (2000) dalam Mardiyah dan Listianingsih (2005), kompensasi adalah imbalan jasa yang diberikan perusahaan kepada tenaga kerja karena telah memberikan sumbangan tenaga dan pikiran demi kemajuan serta kontinuitas perusahaan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Sistem imbalan diberikan kepada bawahan (agen) dengan tujuan agar motivasi karyawan menjadi tinggi dalam mencapai tujuan perusahaan. Seseorang yang mempunyai prestasi tinggi akan memperoleh reward yang besar. Kebutuhan akan kekuasaan dan berafiliasi mendorong orang untuk lebih dapat berkembang karena pada dasarnya manusia ingin lebih berkuasa, dihormati, dan merasa dirinya penting di hadapan orang lain (Enni, 2011). Menurut bahasa, kata reward berarti ganjaran, hadiah dan upah. Sedangkan dalam kamus lengkap psikologi reward merupakan sebagai perangsang situasi, atau pernyataan lisan yang biasanya dapat menghasilkan kepuasan. Maka dapat juga disimpulkan bahwa reward (imbalan) merupakan rangsangan yang dapat menghasilkan kepuasan dan memperkuat suatu perbuatan dengan memberikan suatu variabel sehingga terjadinya secara berulang-ulang. Ganjaran dapat dibedakan menjadi dua, yakni ganjaran negatif dan ganjaran positif. Ganjaran dalam positif disebut dengan reward, ganjaran dalam bentuk
16
negatif disebut punishment. Karena dengan adanya reward menjadi salah satu motivasi bagi karyawan (pekerja) dalam melakukan segala pekerjaannya, bahwa motivasi dasar pekerja (karyawan) ada tiga yaitu : kebutuhan akan adanya kekuasaan, kebutuhan akan berafaliasi serta kebutuhan akan prestasi.
17
2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh asimetri informasi terhadap budgetary slack. Dalam konteks teori keagenan (agency theory), asimetri informasi merupakan perbedaan informasi yang dimiliki oleh atasan (prinsipal) dan bawahan (agen) (Arfan, 2011). Teori asimetri informasi mengacu pada ketidakpastian yang disebabkan karena bawahan (agen) memiliki informasi pribadi yang lebih banyak tentang bidangnya dibandingkan atasan (prinsipal) (Busuioc, 2011). Adanya asimetri informasi ini sering dimanfaatkan oleh bawahan (agen) untuk memenuhi kebutuhan pribadinya (Saad, 2002). Bawahan cenderung memberikan informasi bias kepada atasannya, seperti menaikkan biaya atau menurunkan pendapatan agar lebih mudah dalam mencapai target yang ditetapkan (Maharani dan Ardiana, 2015). De Faria dan Silva (2013), Cinitya dan Putra (2014), Dewi dan Adi (2014), serta Maharani dan Ardiana (2015), menemukan bahwa semakin tinggi asimetri informasi yang ada, maka akan semakin tinggi juga budgetary slack. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis alternatif yang diajukan dalam penelitian ini adalah : H1 : Asimetri informasi berpengaruh positif terhadap budgetary slack. 2.2.2 Pengaruh locus of control terhadap budgetary slack Apriwandi (2012) mendefinisikan locus of control sebagai suatu tingkatan keyakinan seseorang terhadap kemampuan mengontrol nasibnya sendiri. Manajer dengan locus of control internal lebih mudah memberikan kesempatan bagi bawahan untuk mengemukakan pendapat dibandingkan manajer dengan locus of control eksternal (Licata et al. (1986). Pemimpin yang berorientasi pada internal 18
locus of control menampakkan keyakinan yang besar terhadap kemampuan mereka untuk mempengaruhi lingkungan, lebih mampu dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, lebih banyak mengandalkan cara pemberian pengaruh yang terbuka dan secara supportif. Sehingga seorang manajer yang memiliki locus of control
internal akan mengetahui konsekuensi dari tindakannya apabila melakukan senjangan anggaran (Sari, 2006). Seorang yang tidak memiliki locus of control internal yang baik akan gagal menjalankan tugasnya dalam proses penyusunan anggaran, sehingga mereka akan melakukan senjangan anggaran demi pencitraan mereka. Mereka akan dinilai mampu mencapai anggaran yang lebih dari apa yang telah ditargetkan tidak akan melakukan senjangan anggaran dalam proses penyusunan anggaran, karena mereka bisa mengendalikan diri dan mengetahui konsekuensi apa yang akan diterima apabila melakukan senjangan anggaran tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian Singer (2001), Nanda (2010), Pello (2014) yang menemukan bahwa locus of control berpengaruh negatif terhadap senjangan anggaran. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis alternatif yang diajukan dalam penelitian ini adalah : H2 : Locus of control berpengaruh negatif terhadap budgetary slack. 2.2.3 Pengaruh nilai personal terhadap budgetary slack. Nilai personal cenderung menekankan nilai-nilai yang akan mendorong individu untuk dapat merasakan kebahagiaan dalam bekerja. Individu dapat dikatakan bahagia apabila mereka mampu memotivasi dirinya untuk melakukan sesuatu yang lebih baik, berprestasi dalam pekerjaannya, memiliki makna dan mencapai kesejahteraan hidup. Hal ini akan mendorong individu untuk melakukan
19
budgetary slack dalam proses penyusunan anggaran agar tercapainya tujuan yang diharapkan sehingga menimbulkan kebahagiaan diri sendiri. Hal ini sesuai pula dengan hasil penelitian Rifaatul dan Lisa (2014) menunjukan bahwa nilai personal berpengaruh positif terhadap budgetary slack. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat kebahagian yang ingin dicapai individu maka semakin tinggi kemungkinan mereka melakukan budgetary slack. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis alternatif yang diajukan dalam penelitian ini adalah : H3 : Nilai personal berpengaruh positif terhadap budgetary slack 2.2.4 Pengaruh sistem imbalan terhadap budgetary slack Menurut pendapat Ivancevich (1998) dalam Suryo (2007) imbalan ataupun kompensasi merupakan penghargaan yang telah dijanjikan yang akan diterima karyawan sebagai imbalan dari pelaksanaan tugas dalam upaya pencapaian tujuan dari perusahaan yang telah disepakati. Apabila bawahan merasa reward-nya tergantung pada pencapaian sasaran anggaran, maka mereka akan membuat kesenjangan anggaran (budgetary slack) melalui proses partisipatif (Chow dkk, 1988 dalam Siwi, 2015). Penelitian yang dilakukan oleh Enni (2011) dan Siwi (2015) menemukan bahwa sistem imbalan berpengaruh positif terhadap budgetary slack. Apabila bawahan merasa kompensasi tergantung pada pencapaian sasaran anggaran, maka mereka akan membuat kesenjangan anggaran melalui proses penyusunan anggaran agar target yang ditetapkan tercapai. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis alternatif yang diajukan dalam penelitian ini adalah : H4 : Sistem imbalan berpengaruh positif terhadap budgetary slack
20