BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Manajemen Permintaan 2.1.1. Konsep Dasar Manajemen Permintaan Pada
dasarnya
manajemen
permintaan
(demand
management)
didefinisikan sebagai suatu fungsi pengelolaan dari semua permintaan produk untuk menjamin bahwa penyusun jadual induk (master scheduler) mengetahui dan menyadari akan semua permintaan produk itu. Manajemen permintaan akan menjaring informasi yang berkaitan dengan peramalan (forecasting), order entry, order promising, branch warehouse requirements, interplant order (pesanan antar pabrik), dan kebutuhan untuk service parts, seperti suku cadang untuk pemeliharaan peralatan, keperluan untuk riset dan pengembangan produk,dsb. Secara garis besar aktivitas dalam manajemen permintaan dikategorikan dalam dua aktivitas utama, yaitu pelayanan pesanan (order service), dan peramalan (forecasting). Pada dasarnya pelayanan pesanan (order service) merupakan proses yang mencangkup aktivitas menerima pesanan, pemasukan pesanan (order entry), serta membuat janji kepada pelanggan (order promising) berkaitan dengan produk dari perusahaan. Pelayanan pesanan bertanggung jawab untuk menanggapi kebutuhan pelanggan dan berinteraksi dengan penyusun jadual induk (master scheduler) guna menjamin ketersediaan produk. Sedangkan aktivitas peramalan merupakan usaha untuk memperkirakan penjualan dan penggunaan produk sehingga produk-produk itu dapat dibuat 6
7
dalam kuantitas yang tepat. Dengan demikian peramalan merupakan suatu dugaan terhadap permintaan yang akan datang berdasarkan pada beberapa variabel peramal, seringnya berdasarkan waktu historis. Ada dua sumber utama yang berkaitan dengan informasi permintaan produk, yaitu ramalan terhadap produk independent demand yang bersifat tidak pasti (uncertainty), dan pesanan (orders) yang bersifat pasti (certainty). Pesanan (orders) yang bersifat pasti (certainty) antara lain pesanan pelanggan (customer orders), alokasi tertentu untuk area geografis, service spare parts and samples, distribution center demands (or branch warehaouse demands), dan lain-lain. Dalam industri manufaktur dikenal adanya dua jenis permintaan yang sering disebut sebagai independent demand, dan dependent demand, yang merupakan salah satu konsep terpenting dalam master planning. Depandent demand disefinisikan sebagai permintaan terhadap material, parts, atau produk yang terkait langsung terhadap atau diturunkan dari struktur bill of material (BOM) untuk produk akhir atau untuk item tertentu. Permintaan untuk material, parts, atau produk yang diturunkan dari struktur bill of material (BOM) harus dihitung dan tidak boleh diramalkan. Sebaliknya independent demand didefinikan sebagai permintaan terhadap material, parts, atau produk yang bebas atau tidak terkait langsung dengan bill of material (BOM) untuk produk akhir atau untuk item tertentu. Permintaan untuk produk akhir, parts, atau produk yang digunakan untuk percobaan pengujian produk itu, dan suku cadang (spare parts) untuk pemeliharaan, digolongkan ke
8
dalam independent demand. Produk yang tergolong dalam independent demand merupakan obyek untuk peramalan. 2.2. Perencanaan Kebutuhan Material 2.2.1
Konsep Dasar
tentang
Perencanaan Kebutuhan Material
Perencanaan kebutuhan material (material requirements planning = MRP) adalah metode penjadualan untuk purchased planned orders dan manufactured planned orders. Planned manufacturing orders kemudian diajukan untuk
analisis
lanjutan
berkenaan
dengan
ketersediaan
kapasitas
dan
keseimbangan menggunakan perencanaan kebutuhan kapasitas (capacity requirements planning = CRP). Metode MRP merupakan metode perencanaan dan pengendalian pesanan dan inventori untuk item-item dependent demand, dimana permintaan cenderung discontinuous and lumpy. Item-item yang termasuk dalam dependent demand adalah : bahan baku (raw materials), parts, subassemblies inventories. MetodeMetode MRP dan CRP adalah paling cocok diterapkan dalam lingkungan job shop manufacturing, meskipun MRP dapat pula diadopsi ke dalam lingkungan repetitive manufacturing. Dalam struktur hirarki perencanaan prioritas (Priority planning) pada sistem MRP II, perencanaan kebutuhan material
(MRP) termasuk ke dalam
(tingkat perencanaan operasional level 3), yang berada langsung di bawah MPS (tingkat perencanaan taktikal, level 2) dan di bawah Perencanaan Produksi (tingkat perencanaan strategik, level 1). Tingkat pelaksanaan dan pengendalian
9
dalam sistem manufakturing berada di bawah kendali Pengedalian Aktivitas Produksi (production activity control = PAC), yang merupakan level 4 dalam hirarki perencanaan prioritas. Moto dari MRP adalah memperoleh material yang tepat dari sumber yang tepat untuk penempatan yang tepat pada waktu yang tepat. Berdasarkan pada MPS yang diturunkan dari Rencana Produksi, suatu sistem MRP mengidentifikasi item apa yang harus dipesan, berapa banyak kuantitas item yang harus dipesan, dan bilamana waktu memesan item itu. Sebagai suatu sistem, MRP membutuhkan lima input utama seperti ditunjukan dalam Bagan II.1.
Perencanaan Kapasitas (Capacity Planning)
INPUT : OUTPUT : 1. 2. 3.
4.
MPS Bill of Material Item Master Pesanan-
5.
pesanan Kebutuhan
PROSES: Perencanaan Kebutuhan Material (MRP)
Umpan – balik
Gambar 2.1 Proses Kerja dari MRP
Primary (Orders) Report Action Report Pegging Report
10
Dari Bagan II.1 tampak bahwa proses MRP membutuhkan lima sumber informasi utama, yaitu : 1.
Master
Production Schedule
(MPS)
yang merupakan
suatu
pernyataan definitif tentang produk akhir apa yang direncanakan perusahaan untuk diproduksi, berapa kuantitas yang dibutuhkan, pada waktu kapan dibutuhkan, dan bilamana produk itu akan diproduksi. MPS biasanya dinyatakan dalam konfigurasi spesifik. 2.
Bill of Material (BOM), merupakan daftar dari semua material, parts, dan subassemblies, serta kuantitas dari masing-masing yang dibutuhkan untuk memproduksi satu unit produk atau parent assembly. MRP menggunakan BOM sebagai basis untuk perhitungan banyaknya setiap material yang dibutuhkan untuk setiap periode waktu.
3.
Item Master, merupakan suatu file yang berisi informasi status tentang material, parts, dan subassemblies, dan produk-produk yang menunjukan kuantitas on-hand, kuantitas yang dialokasi (allocated quantity), waktu tunggu yang direncanakan (planned lead times), ukuran lot (lot size), stok pengaman, kriteria lot sizing, toleransi untuk scap atau hasil, dan berbagai informasi penting lainnya yang berkaitan dengan suatu item.
4.
Pesanan-pesanan (orders), akan memberitahukan tentang berapa banyak dari setiap item yang akan diperoleh sehingga akan meningkatkan stock-on-hand di masa mendatang.
11
Pada dasarnya terdapat dua jenis pesanan, yaitu: shop orders or work orders or manufacturing orders berupa pesanan-pesanan yang akan dibuat atau diproduksi di dalam pabrik, dan purchase orders yang merupakan pesanan-pesanan pembelian suatu item dari pemasok eksternal. Sistem MRP pada umumnya menggunakan dua jenis pesanan ini yaitu released orders dan planned orders.
Released orders or scheduled receipts or open orders merupkan pesanan-pesanan yang secara resmi telah dikeluarkan apakah ke pabrik (manufacturing orders) atau ke pemasok eksternal (purchase orders).
Planned orders or planned orders receipts merupakan pesananpesanan yang masih berada dalam komputer yang belum dikeluarkan secara resmi. Dalam hal ini perusahan belum mengeluarkan pesanan itu secara resmi, di mana pihak pabrik belum diminta untuk membuat atau pihak pemasok eksternal belum dimnta untuk mengirim suatu item, sehingga belum ada konsekuensi keuangan atau lainnya.
Planned order receipts dapat berubah menjadi scheduled receipts hanya apabila ada tindakan yang sah dari pihak perencana material. Suatu pesanan akan memuat data tentang: nomor item yang dipesan, kuantitas pesanan, original due date, actual received quantity, revised due date, kuantitas dalam MRB (Material Revies Board) dan scrap, pemasok ( apabila pesanan itu merupakan pesanan pembelian), dan informasi lain.
12
5. Kebutuhan-kebutuhan (requirements) akan memberitahukan tentang berapa banyak dari masing-masing item itu dibutuhkan sehingga akan mengurangi stock-on-hand di masa mendatang. Pada dasarnya terdapat dua jenis kebutuhan, yaitu : kebutuhan internal yang biasanya digunakan dalam pabrik untuk membuat produl lain, dan kebutuhan eksternal yang akan dikirim ke luar pabrik berupa pesanan pelanggan (customer orders), service parts, dan sales forecasts. Suatu catatan kebutuhan biasanya berisi informasi tentang: nomor item yang dibutuhkan, kuantitas yang dibutuhkan, waktu yang dibutuhkan, kuantitas yang di telah dikeluarkan dari stockroom, dan lain-lain. Pesanan pelanggan juga berisi informasi tambahan seperti: nama pelanggan, alamt pengiriman, waktu penyerahan yang diinginkan oleh pelanggan, waktu yang dijanjikan untuk dikirim, dan lain-lain. 2.2.2. Material requirements planning II (MRP II)
Material requirements planning II (MRP II) adalah sistem informasi yang mengintegrasikan semua proses manufaktur dan applikasi yang terkait, termasuk pendukung keputusan dan Material requirements planning (MRP), akutansi serta distribusi.MRP II dikembangkan sebagai generasi kedua dari MRP dan hal ini menonjolkan
sistem
loop
tertutup,
perencanaan
produksi
menjalankan
penjadwalan utama yang mana dijalankan berdasarkan perencanaan material dari input hingga perencanaan kapasitas. Dalam operasi MRP II, peramalan dikombinasikan dan disesuaikan dengan pesanan konsumen dan merujuk dari modul penjadwalan utama. Saat penjadwalan utama telah ditetapkan maka proses
13
MRP akan dibagi dalam bill of material (BOM) biasanya setiap akhir pekan dan mengembangkan permintaan material. Permintaan material membutuhkan modul perencanaan kapasitas yang mana menguji jadwal yang dikembangkan oleh MRP serta menguji kapasitas tertentu. Loop feedback ini membuat dua alternatif yaitu : menambah kapasitas atau penyesuaian jadwal utama. Keseimbangan inventori on hand dan work in process dimasukkan sebagai proses regeneratif. Efek utama MRP II dalam operasi manufaktur yaitu : mengurangi inventori, dapat memprediksikan secara akurat waktu penyampaian (delivery time), menghitung jumlah biaya secara akurat dalam setiap tahapan dari proses manufaktur, pengembangan penggunaan dari fasilitas manufaktur, merespon secara cepat kondisi yang berubah, mengkontrol setiap tahapan produksi. MRP II merupakan sistem yang didasarkan pada MRP yang mana memperbolehkan manufaktur untuk mengoptimasi material, pengadaan material, proses manufaktur, dll, dan menyediakan laporan keuangan serta perencanaan. MRP II merupakan metode untuk perencanaan efektif dari semua sumber dari perusahaan manufaktur, yang mana terdiri atas perencanaan operasional dalam suatu unit, perencamaam keuangan dan mempunyai kemampuan simulasi untuk menjawab pertanyaan “what if” ( bagaimana jika).
2.2.3. Mekanisme Dasar dari Proses MRP Lead Time, merupakan jangka waktu yang dibutuhkan sejak MRP menyarankan suatu pesanan samapai itme yang dipesan itu siap untuk digunakan.
14
On Hand, merupakan inventori on-hand yang menunjukkan kuantitas dari item yang secara fisik dalam stockroom. Lot Size, merupakan kuantitas pesanan (order quantity) dari item yang memberitahukan MRP berapa banyak kuantitas yang harus dipesan serta Metode lot-sizing apa yang dipakai. Safety Stock, merupakan stok pengaman yang ditetapkan oleh perencana permintaan
MRP untuk mencegah terhadap fluktuasi (demand)
dan/atau
penawaran
(Supply).
dalam MRP
merencanakan mempertahankan tingkat stok pada level ini (safety stock level) pada semua periode waktu. Planning Horizon, merupakan banyaknya waktu ke depan (masa mendatang) yang tercakup dalam perencanaan. Dalam praktek, horizon perencanaan ditetapkan paling sedikit sepanjang waktu tunggu kumulatif dari sekumpulan item yang terlibat dalam proses manufakturing. Gross Requirements, merupakan total dari semua kebutuhan, termasuk kebutuhan, termasuk kebutuhan yang di antisipasi (anticipated requirements), untuk setiap periode waktu. Projected On-Hand, merupakan projected available balance (PAB), tidak termasuk planned orders. Projected on-hand dihitung berdasarkan formula : Projected On-Hand = On Hand pada awal periode + Scheduled Receipts- Gross Requirement
15
Net
Requirement,
merupakan
kekurangan
material
yang
diproyeksikan untuk periode ini, sehingga perlu diambil tindakan ke dalam perhitungan planned order receipts agar menutupi kekurangan material pada periode itu. Net Requirements dihitung berdasarkan formula berikut: Net Requirements = Gross Requirements + Allocations + Safety Stock – Scheduled Receipts – Projected Available pada akhir periode lalu.
Planned Order Receipts, merupakan kuantitas pesanan pengisian kembali (pesanan manufakturing dan/atau pesanan pembelian) yang telah direncanakan oleh MRP untuk diterima pada periode tertentu guna memenuhi kebutuhan bersih (net requirements). Apabila menggunakan Metode lot-for-lot, maka planned order receipts dalam setiap periode adalah selalu sama dengan net requirements pada periode itu. Jika planned order dimodifikasi melalui kebijakan lot sizing, maka planned orders dapat melebihi net requirements. Setiap kelebihan diatas net requirements akan dimasukkan ke dalam projected available inventory untuk penggunaan pada periode berikutnya.
Planned Orders Release, merupakan kuantitas planned orders yang ditempatkan atau dikeluarkan dalam periode tertentu, agar supaya item yang dipesan itu akan tersedia pada saat dibutuhkan. Item yang tersedia pada saat dibutuhkan itu tidak lainn adalah: kuantitas planned order receipts yang ditetapkan menggunakan offset lead time.
16
Proses penghitungan rencana material untuk setiap item dalam MRP kadangkadang disebut sebagai: record balancing. Proses balancing terdiri dari perhitungan-perhitungan baris projected on-hand atau projected available untuk setiap periode dalam planning horizon untuk menjamin bahwa semua kekurangan material di masa yang akan datang dapat dipenuhi oleh planned orders. B eginning on-hand balances, allocated quantities, dan safety stock, semuanya dimasukkan dalam perhitungan. Yang perlu diperhatikan dalam proses penghitungan MRP, adalah : (1) allocated stock harus dikurangkan dari beginning on-hand balance guna memberikan beginning balance available untuk perencanaan, (2) safety stock tidak dikurangkan dari beginning on-hand balance, serta net requirements muncul apabila projected on-hand jatuh pada atau di bawah kuantitas safety stock. Proses MRP merupakan suatu kombinasi dari empat proses logik yang sangat serderhana, yaitu: (1) penentuan net requirements untuk setiap periode, (2) penentuan planned orders untuk setiap periode, (3) lead time offsetting, dan (4) exploding planned orders. 2.2.4.
Metode Penentuan Ukuran Lot Menurut Heizer dan Render (2005), sebuah sistem MRP adalah
cara yang sangat baik untuk menentukan jadwal produksi dan kebutuhan bersih. Bagaimana pun, ketika terdapat kebutuhan bersih, maka keputusan berapa banyak yang perlu dipesan harus dibuat. Keputusan ini disebut keputusan penentuan ukuran lot (lot- sizing decision). Ada beberapa jalan untuk menentukan ukuran lot dalam sebuah sistem MRP, yaitu :
17
Lot for Lot Menurut Purwati (2008), metode lot for lot (LFL), atau juga dikenal
sabagai metode persediaan minimal, berdasarkan pada ide menyediakan persediaan (atau memproduksi) sesuai dengan yang diperlukan saja, jumlah persediaan diusahakan sesuai
dengan
seminimal
mungkin.
Jumlah
pesanan
jumlah sesungguhnya yang diperlukan (lot for lot) ini
menghasilkan tidak adanya persediaan yang disimpan. Sehingga, biaya yang timbul hanya berupa biaya pemesanan saja. Asumsi yang ada di balik metode ini adalah bahwa pemasok (dari luar atau dari lantai pabrik) tidak mensyaratkan ukuran lot tertentu; artinya berapapun ukuran lot yang dipilih akan dapat dipenuhi. Metode ini mengandung risiko, yaitu jika terjadi keterlambatan dalam pengiriman barang. Jika persediaan itu berupa bahan baku, mengakibatkan terhentinya produksi. Jika persediaan itu berupa barang jadi, menyebabkan tidak terpenuhinya permintaan pelanggan.
Fixed Order Quantity (FOQ) Menurut Purwati (2008), Metode FPR ini menggunakan konsep
interval pemesanan yang konstan, sedangkan ukuran kuantitas pemesanan (lot size) bervariasi. Dalam metode FPR ini selang waktu antar pemesanan dibuat tetap dengan ukuran lot sesuai pada kebutuhan bersih. Ukuran kuantitas pemesanan tersebut merupakan penjumlahan kebutuhan bersih dari setiap periode yang tercakup dalam interval pemesanan yang telah
18
ditetapkan. Penetapan interval penetapan dilakukan secara sembarang. Pada Metode FPR ini, jika saat pemesanan jatuh pada periode yang kebutuhan bersihnya sama dengan nol, maka pemesanannya dilaksanakan pada periode berikutnya.
Part Period Balancing (PPB) Menurut Purwati (2008), metode Penyeimbang Sebagian Periode
(PPB), merupakan salah satu pendekatan dalam menentukan ukuran lot untuk suatu kebutuhan material yang tidak seragam, yang bertujuan untuk memperkecil
biaya
total
persediaan.
Meskipun
tidak
menjamin
diperolehnya biaya total yang minimum, metode ini memberikan pemecahan yang cukup baik. Metode ini dapat menggunakan jumlah pesanan yang berbeda untuk setiap pesanan, yang dikarenakan jumlah permintaan setiap periode tidak sama. Ukuran lot dicari dengan menggunakan pendekatan sebagian periode ekonomis (economic part period, EPP), yaitu dengan membagi biaya pemesanan dengan biaya penyimpanan per unit per periode. EPP =
Biaya Pemesanan Biaya Penyimpanan Per Unit Per Unit Periode
Metode lot sizing ini mengkombinasikan periode-periode kebutuhan sehingga jumlah Part Period mendekati EPP. Format MRP Menurut Hartini (2006), format MRP yaitu :
19
Tabel 2.1 Format MRP Item : Time Periode
Lead 1
2
3
4
GR OH NR PORec PORel Sumber : Hartini (2006) Keterangan : GR
:
Gross Requirement (kebutuhan kotor) Adalah keseluruhan jumlah item (komponen) yang diperlukan pada suatu periode.
OH
:
On Hand (persediaan di tangan) Adalah jumlah persediaan akhir suatu periode dengan memperhitungkan jumlah persediaan yang ada ditambah dengan jumlah item yang akan diterima.
NR
:
Net Requirement (kebutuhan bersih) Adalah jumlah kebutuhan bersih dari suatu item yang diperlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan kasar pada suatu periode yang akan datang.
20
PORec
:
Planned Order Receipts (rencana penerimaan pemesanan) Adalah jumlah item yang akan masuk sesuai dengan pemesanan.
PORel
:
Planned Order Release (rencana pemesanan) Adalah jumlah item yang direncanakan untuk dipesan agar memenuhi perencanaan masa datang.
2.2.5. Manufakturing Lead Time Salah satu cara yang berguna dalam memandang lead time adalah membagi manufacturing lead time ke dalam lima elemen lead time, sebagai berikut :
Waktu antrian (queue time ), merupakan waktu menunggu sebelum operasi dimulai.
Waktu setup (setup time), merupakan waktu setup mesin agar siap beroperasi.
Waktu pelaksanaan (run time), merupakan waktu melaksanakan operasi.
Waktu menunggu (wait time), merupakan waktu menunggu setelah operasi berrakhir.
Waktu bergerak (move time), merupakan waktu bergerak secara fisik di antara operasi yang satu dan operasi lain. Berdasarkan kelima elemen waktu tunggu diatas, waktu setup dan
pelaksanaan (setup and run times) didistribusikan ke dalam waktu operasi (operation time), sedangkan waktu menunggu (wait time), waktu bergerak (move time), dan waktu antrian (queue time) didistribusikan ke dalam waktu
21
antar operasi (interoperation time). Dengan demikian interoperation time adalah interval waktu di antara akhir dari run time untuk satu operasi dan permulaan dari setup time pada operasi berikut. 2.3. Manajemen Inventori 2.3.1. Tinjauan Umum tentang Inventori 2.3.1.1. Jenis-jenis Inventori Bahan baku (raw material) Bahan sedang dalam proses (work in process) Semifinished Assemblies (subassemblies) Barang jadi (finished goods) MRO supplies (maintenance, repair, and operating supplies) 2.3.1.2. Strategi Inventori Ada beberapa strategi yang perlu diperhatikan dalam inventori, yaitu : 1. Chase Strategy adalah strategi yang berusaha menetapkan skala produksi pada tingkat permintaan, melalui memproduksi lebih banyak produk selama musim puncak (ramai) dan sedikit produk selama musim paceklik (sepi). 2. Balanced Strategy adalah strategi menetapkan tingkat produksi yang seimbang selam keseluruhan periode. 3. Combination Strategy adalah mengkombinasikan Chase Strategy dengan Balanced Strategy.
22
2.3.1.3. Klasifikasi Fungsional Inventori Menurut Vincent Gaspersz (2012) Klasifikasi Fungsional Inventori adalah sebagai berikut : 1. Stok pengaman (synonym: safety stock, buffer stock, reserve stock, fluctuatuion stock, inventory cushion), digunakan untuk mencegah terhadap kemungkinan kehanisan stok (stockout) akibat ketidakpastian permintaan atau supplies. Dalam hal ini diberikan tambahan (extra) inventori untuk mengantisipasi permintaan melebihi ramalan atau pesanan pengisian kembali terlambat atau kuantitas yang dipesan lebih sedikit daripada yang dibutuhkan. 2. Cycle Stock (lock size stock), merupakan siklus pemesanan kembali untuk pengisian stok. Biasa diterapkan pada finished goods, work in process, raw materials, dan MRO supplies. 3. Transportation (pipeline) stock, merupakan item-item inventori yang bergerak dari satu tahap ke tahap berikutnya, jadi merupakan materila in transit diantara lokasi. Transportation stock paling lazim berkaitan dengan distribusi inventori. 4. Anticipation stock, merupakan inventori tambahan di atas “basic pipeline stock” untuk mencukupi proyeksi dari trend kenaikan penjualan, program promosi penjualan yang direncanakan, fluktuasi musiman, tidak beroperasinya
pabrik,
libur,
dan
lain-lain.
Dalam
membangun
anticipation stock selama periode kurang dari rata-rata permintaan, manajer seharusnya membuat item-item yang membutuhkan penggunaan
23
mesin terbatas. Idealnya anticipation stock terdiri atas item-item yang memiliki “high labor content” dan “low material content”. 5. Hedging stock, adalah serupa secara konseptual dengan “anticipation stock”.
Kadang-kadang
disebut
juga
sebai
“gambling
stock”.
Pertimbangan untuk mengadakan “hedging stock” didasarkan atas pertimbangan seperti: kemungkinan terjadi pemogokan buruh dari industri pemasok bahan baku (material), prediksi kenaikan harga material yang tajam, ketidakstabilan pemerintah dari negara-negara di mana pemasok luar negeri itu berlokasi, atau item-item yang memiliki waktu tunggu sangat panjang atau tidak tetap (bervariasi). 6. Decoupling stock, sering istilah ini dipergunakan untuk item-item product supply, sedangkan untuk item-item produk akhir digunakan istilah safety stock. sangat sering digunakan untuk menunjukkan inventori work in process yang bertindak sebagai pengaman (buffer) di antara operasi kerja yang berurutan dalam pabrik, khususnya dalam “job-shop production”. Decoupling stock, menyimpan inventori untuk memenuhi “parent assembly” pada level berikut. Tujuan mengadakan decoupling stock untuk mencegah “idle time” dalam pabrik. 7. Service parts (repair parts), merupakan item-item dalam inventori yang dipergunakan sebagai parts pengganti untuk pengoperasian peralatan atau keperluan lain. Service parts dipertimbangkan sebagai terpisah dari klasifikasi fingsional karena: permintaan service parts sering sangat rendah dan berpola aneh (erratic), ongkos stockout sangat tinggi, dengan
24
harga yang jauh lebih besar daripada ongkos memproduksi item service parts. 2.3.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inventori 1.
Variabilitas dan pengaruh musiman dari permintaan.
2.
Keragamam product line/parts commonality (part yang digunakan untuk multiple parents)
3.
Shelf life (untuk inventori sebelum menjadi usang atau dapat dipakai lagi).
4.
Transportation economic
5.
Perubahan engineering
6.
Kendala investasi dan penyimpanan
7.
Certification and regulatory compliance
8.
Marufacturing lead time.
9.
Parameter biaya (penyimpanan, pemesanan, stockout, dll)
2.3.2. Teknik Penilaian Inventori Terdapat beberapa teknik yang digunakan untuk penilaian inventori, antara lain : 1. First In, First Out (FIFO), metode ini mengasumsikan bahwa item yang paling lama dalam inventory (first in) adalah yang pertama digunakan (first out). Dalam periode inflasi, metode ini menghasilkan COGS (cost of goods sold) yang lebih rendah, peningkatan earning before taxes,
25
peningkatan taxes, dan penurunan cash flow apabila dibandingkan dengan metode yang lain. COGS didasarkan pada ongkos dari item tertua atau terlama dalam inventori dan nilai aset dari item yang tersisa dalam stock didasarkan pada ongkos dari item terbaru. 2. Last In, Last Out (LIFO), metode ini mengasumsikan bahwa item yang paling terakhir dalam inventory (last in) adalah yang pertama akan digunakan (first out). Dalam periode inflasi, metode ini menghasilkan COGS (cost of goods sold) yang lebih tinggi, penurunan earning before taxes, penurunan taxes, dan peningkatan cash flow apabila dibandingkan dengan metode yang lain. COGS didasarkan pada ongkos dari item terbaru dari inventory, sedangkan nilai aset dari item yang tersisa dalam inventori didasarkan pada ongkos dari item tertua atau terlama. 3. Average Cost System, metode ini merata-ratakan ongkos perolehan (pembelian)
material,
yang
cenderung
memberikan
beberapa
keseimbangan diantara representasi (gambaran) pada neraca dan laporan rugi laba (income statement). 4. Standard Cost System, metode ini memilih nilai tunggal yang rasional untuk dipergunakan dalam menilai inventory, sering didasarkan pada nilai rata-rata historis atau ongkos yang diantisipasi (anticipated cost). 5. Replacement Cost System, metode ini berusaha menetapkan ongkos pada inventory berdarkan harga pada periode berikut. Metode ini mungkin dipergunakan untuk memperoleh nilai inventori yang lebih ralistik
26
apabila parts disimpan untuk waktu yang lama tetapi tidak digunakan, seperti maintenance parts tertentu. 6. Actual Cost System, mengunakan nilai aktual dari ongkos pembelian material. Metode ini jarang digunakan, kecuali untuk kontrak tertentu dengan pemerintah, atau alasan jaminan dan keamanan. 7. Value-Added Costing System, dipergunakan untuk hal-hal khusus apabila material setengah jadi (semifinished mateials) disimpan dalam inventori. Upaya mereflesikan ongkos-ongkos tenaga kerja dan overhead disebut value-added costing dan biasanya direflesikan dalam nilai inventori berupa ongkos standar. 2.3.3. Pola Permintaan Inventori Pada dasarnya terdapat dua macam pola permintaan inventori, yaitu : 1. Independent Demand, adalah permintaan untuk suatu item yang tidak berkaitan dengan permintaan untuk item lain. Item-item inventori yang termasuk ke dalam atau mengikuti pola independent demand, adalah :
Retail
Wholesale finished goods
Manufactured finished goods
Service and replacement parts
Maintenance, repair and operating (MRO) supplies
Inventori yang mengikuti pola independent demand sering juga diklasifikasikan
sebagai
karakteristik berikut :
distribution
inventories
yang
memiliki
27
Permintaan adalah eksternal, berdasarkan pada kebutuhan pasar Permintaan bersift acak (random) dan relatif kontinu Permintaan harus diramalkan menggunakan teknik-teknik peramalan Stok pengaman digunakan untuk mencapai target tingkat pelayanan (service level) tertentu 2. Dependent Demand, adalah permintaan item secara langsung berkaitan dengan atau diturunkan dari struktur bill of material (BOM) untuk item lain atau produk akhir. Item-item inventori yang mengikuti pola dependent demand harus dihitung sehingga tidak perlu diramalkan. Suatu item inventori tertentu mungkin mengikuti pola dependent atau independent demand pada waktu tertentu. Item-item yang mengikuti pola dependent demand adalah :
Assemblies
Subassemblies
Fabricated components
Purchased components
Raw materials
Inventori yang mengikuti pola ini sering juga diklasifikasikan sebagai manufacturing inventoriesis, yang memiliki karakteristik berikut : Permintaan adalah internal berdasarkan pada skedul produksi Permintaan cenderung “tidak mulus” dan diskrit (lumpy and discontonous)
28
Permintaan tidak perlu diramalkan tetapi dapat dihitung dan dikendalikan dengan MRP Sedikit atau tanpa stok pengaman diperlukan untuk menjamin tingkat pelayanan 100%. 2.3.4
Stok Pengaman (Safety Stock) Tujuan dari stok pengaman (safesty stock) adalah untuk mencegah stock-
out selama waktu menunggu pesanan inventori. Stok pengaman tergantung pada beberapa hal berikut : Variabilitas permintaan selama waktu menunggu (DDLT = Demand During Lead Time) Frekuensi pemesanan Servis level yang diinginkan Lama waktu menunggu (lead time) Stok pengaman (safesty stock) ditentukan dengan menggunakan formula berikut :
SS = Z x STD x
Dimana : SS = Safesty Stock (stok pengaman) Z
= Safety Factor (faktor pengaman), sangat tergantung pada servis level
STD = Standard Deviation dari permintaan inventori harian L
= Lead time (waktu menunggu, dalam hari)
29
2.4
Rerangka Pemikiran Untuk mengusulkan suatu sistem Perencanaan Kebutuhan Material
(Material Requirement Planning – MRP) yang merupakan sebuah Metode permintaan terikat yang menggunakan daftar kebutuhan bahan, persediaan, penerimaan yang diperkirakan, dan jadwal produksi induk untuk menentukan kebutuhan material, diperlukan sejumlah data sebagai masukan, terutama Jadual Produksi Induk (Master Production Schedule-MPS), dimana jadual induk produksi merupakan gambaran atas periode perencanaan dari suatu permintaan, termasuk peramalan, rencana suplai / penawaran, persediaan akhir, dan kuantitas yang dijanjikan tersedia. Untuk menyusun Jadual Produksi Induk(Master Production Schedule-MPS) ini, memerlukan sejumlah data yang harus diolah dulu, seperti data penjualan yang akan diplotkan untuk mengetahui polanya, lalu digunakan untuk meramalkan permintaan pada periode 3 bulan mendatang dari akhir periode penjualan yang diteliti, lalu dari data biaya (yang berisi besarnya biaya pemesanan dan biaya penyimpanan untuk bahan baku), catatan persediaan (yang berisi jumlah persediaan akhir masing-masing bahan baku pada periode penelitian berjalan, untuk keperluan perbandingan jumlah persediaan antara persediaan dengan sistem yang selama ini berjalan dalam perusahaan dengan jumlah persediaan yang didapat melalui penerapan sistem MRP ), lalu Daftar Kebutuhan Bahan (Bill OF Material – BOM)adalah sebuah pembuatan daftar komponen, komposisi, dan jumlah dari setiap bagian yang diperlukan untuk membuat satu unit produk(yang berisi bahan baku).
30
Setelah MRP disusun, total biaya persediaan (terutama yang terdiri dari biaya pemesanan dan biaya penyimpanan) yang diperhitungkan dari masing-masing metode MRP dibandingkan guna mendapatkan metode MRP yang memberikan Total Biaya Persediaan yang paling minimal. Setelah didapatkan suatu metode MRP yang memberikan total biaya persediaan yang paling minimal, lalu hasil biaya persediaan tersebut dibandingkan lagi dengan total biaya persediaan pada sistem pengendalian persediaan bahan baku yang terjadi di perusahaan, untuk mengetahui apakah dengan sistem pengendalian yang selama ini digunakan sudah menghasilkan biaya persediaan yang minimum, kalau belum dan bila hasil dari perhitungan MRP ini menghasilkan biaya persediaan yang lebih minimum maka, sistem MRP ini cocok untuk diusulkan ke perusahaan guna memberikan kontribusi bagi perusahaan, kalau dengan sistem tersebut perusahaan memperoleh kesempatan untuk menginvestasikan biaya yang berlebih ke bidang lain atau untuk biaya pemeliharaan mesin produksi dan lainnya. Selain itu jika sistem MRP ini menghasilkan total biaya persediaan yang lebih minimum dari sistem pengendalian yang ada, maka ukuran lot yang diihasilkan juga mengindikasikan bahwa dengan sejumlah itu maka perusahaan dapat beroperasi lebih optimal dimana permasalahan kelebihan dan persediaan bahan baku dapat diminimalisir. Lalu dianalisis pengaruh penerapan metode MRP, jika hasilnya berdampak positif bagi perusahaan maka dibuat rencana implementasi dan sebaliknya.
31
Permintaan
Pesanan
MPS
BOM
MRP
Lot Sizing
Metode Lot For Lot
Metode FPR
Perbandingan Biaya
Sistem Persediaan Bahan Baku
Sumber : Data Primer yang diolah Gambar 2.2 Rerangka Pemikiran Penelitian
Metode PPB