BAB III KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1. Kajian Pustaka 3.1.1. Pengertian Kebijakan Publik Konsep kebijakan, secara konseptual sering dikonsepsikan dengan terminologi “kebijaksaan”. Konsep kebijakan diartikan sebagai suatu “pernyataan kehendak”, dalam bahasa politik diistilahkan sebagai “statement of intens” atau perumusan keinginan (Marpaung, 2012:19). Sementara itu, Pasolong (2008) memandang kebijakan sebagai “suatu rangkaian alternatif yang siap dipilih melalui analisis yang mendalam berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Secara umum, istilah kebijakan atau policy digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaha pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Kebijakan publik, dikatakan demikian karena kepentingan yang dilayani di sini adalah kepentingan-kepentingan publik yang dinamakan public interest. Maka yang aktif dan bekerja dalam hal ini ada beberapa lembaga publik yang dinamakan public institusions (Marpaung, 2012:19). Pada dasarnya, kebijakan publik menitikberatkan kepada “publik dan masalah-masalahnya”. Kebijakan publik membahas bagaimana isu-isu dan persoalan tersebut disusun, didefinisikan, serta bagaimana kesemua 23
24
persoalan tersebut diletakkan dalam agenda kebijakan. Selain itu, kebijakan publik juga merupakan studi bagaimana, mengapa, dan apa efek dari tindakan aktif dan pasif pemerintah atau kebijakan publik adalah studi tentang “apa yang dilakukan pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut” (Marpaung, 2012:20). Harold Laswell dan Abraham Kaplan mendefinisikan kebijakan sebagai “a projected program of goals, value and pratices” (Nugroho, 2006:23). Definisi kebijakan publik menurut Anderson (1975) adalah kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, di mana implikasi dari kebijakan tersebut adalah : 1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan 2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah 3. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan 4. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.
25
5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa. Dalam kaitannya dengan definisi-definisi tersebut diatas maka dapat disimpulkan definisi kebijakan publik adalah kebijakan publik merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan, mengontrol inflasi, atau menawarkan perumahan rakyat, bukan apa maksud yang dikerjakan atau yang akan dikerjakan, baik dapat berbentuk positif maupun negatif. Secara positif kebijakan melibatkan beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam menangani suatu permasalahan, sedangkan secara negatif kebijakan publik dapat melibatkan suatu keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan suatu tindakan atau tidak mengerjakan apapun padahal dalam konteks tersebut keterlibatan pemerintah amat diperlukan (Marpaung, 2012:20).
3.1.2. Implementasi Kebijakan Publik Implementasi kebijakan adalah tahap lanjut setelah kebijakan publik disahkan oleh pihak yang berwenang. Tahap implementasi merupakan tahap yang sangat penting, seperti yang diungkapkan oleh Lester dan Stewart (2000) implementasi adalah sebuah tahapan yang dilakukan setelah aturan hukum ditetapkan melalui proses publik. Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya tidak lebih dan tidak kurang (Marpaung, 2012:24).
26
Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut (Nugroho 2011:618). Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut : Kebijakan Publik
Kebijakan Publik Penjelas
Program
Proyek
Kegiatan
Pemanfaatan (beneficiaries) Gambar 3.1 Sekuensi Implementasi Kebijakan Sumber : Nugroho (2011:618) Rangkaian implementasi kebijakan dari gambar diatas dapat dilihat dengan jelas yang dimulai dari program ke proyek dan ke kegiatan. Model tersebut mengadaptasi mekanisme yang lazim dalam manajemen, khususnya manajemen sektor publik, sebagaimana digambarkan berikut ini:
27
Misi
Visi
Strategi/Rencana
Kebijakan Umpan Balik (feedback) Program
Proyek
Kegiatan Gambar 3.2 Sekuensi Implementasi Kebijakan Sumber : Nugroho (2011 : 622) Misi adalah yang pertama, karena melekat pada organisasi. Misi menentukan ke mana akan pergi, atau visi. Jika visi melekat pada organisasi, dan tidak berubah selama organisasi ada, kecuali jika organisasi. Setiap pemimpin organisasi harus mempunyai visi ke mana organisasi dibawa selama di bawah kepemimpinannya. Menurut Nugroho (2011:622) penjabaran visi adalah strategi atau rencana. Strategi adalah makro atau politik dari upaya pencapaian tujuan.
28
Strategi ini dieksekusi dalam bentuk kebijakan-kebijakan, baik yang bersifat publik maupun non publik. Jadi kebijakan publik dapat dikatakan “keputusan politik” terhadap pilihan atas stratgei. Tanpa keputusan politik, strategi tinggal konsep diatas kertas. Kebijakan ini dioperasionalkan dalam bentuk program-program yang berjalan paralel dengan itu, seperti penganggaran program. Program didetailkan dalam proyek-proyek, dan implementasinya dalam bentuk “produk” baik berupa pelayanan maupun barang. Istilah produk juga sering diganti dengan “kegiatan”, namun sengaja tidak digunakan karena ada keluaran yang berupa intangible product, yaitu jasa, dan tangible yaitu produk.
3.2.
Loan to Value
3.2.1. Definisi Loan to Value Rasio Loan to Value (LTV) adalah angka rasio antara nilai kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap nilai guna pada saat awal pemberian suatu kredit (Surat edaran Bank Indonesia No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013). Kebijakan ini merupakan kebijakan yang dikeluarkan
oleh
Bank
Indonesia
sebagai
bank
sentral
untuk
mengantisipasi atau meminimalisir adanya gejolak dalam perekonomian sebagai akibat dari pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR) dan kepemilikan atas kendaraan bermotor yang terlalu berlebihan. Sehingga Bank Indonesia selaku penguasa moneter di Indonesia merasa perlu untuk memberikan batasan-batasan yang jelas terhadap jumlah uang muka yang
29
harus dimiliki seseorang jika ingin memiliki suatu perumahan atau kendaraan bermotor. Konsep Loan to value sebenarnya sama dengan Down Payment, hanya saja istilah Loan to value lebih condong digunakan pada properti (KPR) sedangkan Down Payment pada kendaraan bermotor. Loan to Value adalah jumlah pinjaman yang diberikan oleh bank terhadap nilai agunan, sedangkan Down of Payment adalah pembayaran sebagian dari harga oleh pembeli kepada penjual sebagai tanda bahwa perjanjian jual beli yang diadakan telah mengikat. Tidak semua jenis KPR yang akan dikenakan kebijakan Loan to value, menurut Surat edaran No. 15/40/DKMP ruang lingkup KPR yang diatur dalam surat edaran tersebut adalah mencakup kredit konsumsi pemilikan rumah tinggal, termasuk rumah susun atau apartemen namun tidak termasuk kantor dan rumah toko. Aturan Loan to value (LTV) yang akan diterapkan adalah mengatur besaran uang muka KPR dan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) tipe di atas 70 meter persegi secara progresif. BI menetapkan uang muka LTV untuk rumah pertama minimal 30 persen, uang muka minimal 40 persen untuk KPR kedua, dan uang muka minimal 50 persen untuk kredit pemilikan rumah ketiga, dan seterusnya. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh Bank Indonesia yang mendasari terbitnya aturan ataupun kebijakan Loan to value ini (surat edaran Bank Indonesia No. 15/40/DKMP):
30
a. Semakin meningkatnya permintaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB) serta mengingat pertumbuhan KPR dan KKB yang terlalu tinggi berpotensi menimbulkan berbagai resiko maka bank perlu meningkatkan kehati-hatian dalam penyaluran KPR dan KKB. b. Pertumbuhan KPR yang terlalu tinggi juga dapat mendorong peningkatan harga asset properti yang tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble) sehingga dapat meningkatkan risiko kredit bagi bank dengan eksposur kredit properti yang besar c. Untuk menjaga perekonomian yang produktif dan mampu menghadapi tantangan sektor keuangan di masa yang akan datang, perlu adanya kebijakan yang dapat memperkuat ketahanan sektor keuanganuntuk meminimalisir sumber-sumber kerawanan yang dapat timbul, termasuk pertumbuhan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) yang berlebihan. Dan kebijakan yang dimaksud adalah melalui penetapan besaran Loan to value (LTV) untuk KPR dan Down Payment untuk kredit kendaraan bermotor.
3.2.2. Perbandingan Penerapan Loan to Value di Berbagai Negara Sebelum dikeluarkannya Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/40/DKMP, di Indonesia belum pernah ada ketetapan yang mengatur secara jelas mengenai batasan-batasan dalam kebijakan Loan to Value ataupun Down Payment. Sebelumnya memang telah ada peraturan Bank
31
Indonesia yang mengatur prinsip-prinsip pemberian kredit yang sehat. Namun peraturan yang disusun lewat Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan Bank (PPKPB) ini tidak secara spesifik mengatur tingkat Loan to Value atau tingkat Down Payment. Namun kebijakan Loan to Value ini bukan kebijakan yang baru di gunakan di Indonesia. Sebelumnya yang sama walaupun harus tetap dipertimbangkan besaran angka Loan to Value di negara tersebut. Besar kecilnya angka Loan to Value di setiap negara akan berbeda-beda sesuai dengan karakteristik masalah yang dihadapi oleh masing-masing negara. Pada Tabel 3.1 ditampilkan beberapa negara yang pernah menetapkan kebijakan yang sama di negara masing-masing dengan batasan nilai Loan to Value yang berbeda-beda.
3.2.3. Hasil Yang Diharapkan dari Kebijakan Loan to Value Setiap kebijakan yang dikeluarkan pasti diharapkan mampu mengatasi masalah yang hendak dipecahkan. Oleh karena itu, sebelum memutuskan menggunakan suatu kebijakan telah dipelajari terlebih dahulu efek apa yang akan ditimbulkan oleh kebijakan tersebut. Begitu juga dengan penerapan Loan to Value ini, Bank Indonesia mengharapkan dengan adanya pembatasan maksimum Loan to Value suatu Bank dapat lebih berhati-hati dalam menyalurkan Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor yang selama ini dinilai telah melebihi ambang batas kenormalan.
32
Tabel 3.1 Perbandingan Penerapan LTV di Berbagai Negara Negara Thailand
China India Malaysia Hongkong
Korea Philipina Singapura Australia Canada Jerman Spanyol Prancis Belanda Finlandia
LTV Max 90% untuk pembelian apartemen seharga < Rp 2,8 M/unit Max 95% untuk pembelian rumah lainnya *tidak berlaku bagi Pegawai negeri atau pegawai BUMN karena resiko kredit dianggap lebih rendah LTV properti : 1. 70%, properti 2 : 50% sedangkan pembelian property 3 dilarang Maksimal 80% untuk housing loans Maksimal 70% untuk pembelian property ke 3 Max 60% untuk Luxury property senilai diatas HK$ 12juta Max 70% untuk properti dibawah HK$12 juta dengan maksimum property value sebesar HK$ 7.2 juta Antara 40-50% tergantung daerah properti yang mengalami exessive growth Maximum 60% untuk kredit real estate Maximal 90% untuk housing loans Max 80%, kalau diatas 80% perlu ada mortage insurance Max 75% untuk housing loans Max 60% untuk mortage bonds Max 80% untuk housing loans Max 80% untuk housing loans Max 90% untuk housing loans Max 75% untuk mortage bondssebesar 60%
Sumber : Kajian Stabilitas Keuangan No.19, Edisi September 2012
Diharapkan
Batasan
Maksimum
Loan
to
Value
akan
mempertemukan Bank dengan pihak pembeli yang potensial. Artinya pembeli tersebut memang sangat membutuhkan perumahan sebagai tempat tinggal serta mempunyai kemampuan untuk membayarkannya. Setidaknya batasan yang tinggi terhadap uang muka pembelian suatu properti dapat mengurangi angsuran konsumen setiap bulannya sehingga kemungkinan kredit bermasalah semakin berkurang dan membuat angka Non Performing
33
Loan (NPL) semakin membaik (Kajian Stabilitas Keuangan No. 19, September 2012). Selain itu cara ini dianggap akan mampu mengurangi para spekulan yang memang menginginkan keuntungan dari kenaikan harga properti terutama di tipe diatas 70m2. Para spekulan harus berpikir ulang karena membutuhkan uang yang banyak untuk dapat membeli suatu jenis properti tertentu. Untuk itu diharapkan Industri Properti dan Otomotif ini dapat menawarkan produk otomotif ataupun rumah dengan harga terjangkau bagi setiap segmen dalam masyarakat yang membutuhkan. Dengan kata lain, bahwa kebijakan ini dimaksudkan untuk mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuhan papan yang memang dianggap essensial kepentingannya.
3.3. Kredit Pemilikan Rumah (KPR) 3.3.1. Pengertian KPR Istilah Kredit yang saat ini banyak digunakan berasal dari kata Romawi berupa Credere yang berarti percaya, atau credo yang berarti saya percaya. Sehingga hubungan dalam perkreditan harus didasari rasa saling percaya diantara Para Pihak untuk memenuhi segala ketentuan perjanjian. Sedangkan pengertian Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) tidak ada yang baku, ada yang mendefinisikan KPR adalah suatu fasilitas kredit yang diberikan oleh perbankan kepada para nasabah perorangan yang akan
34
membeli atau memperbaiki rumah. Adapula yang mengartikan KPR sebagai salah satu bentuk dari kredit consumer yang dikenal dengan “Housing Loan” yang diberikan untuk konsumen yang memerlukan papan. Digunakan untuk keperluan pribadi, keluarga atau rumah tangga dan tidak untuk tujuan komersil serta tidak memiliki pertambahan nilai barang dan jasa di masyarakat. Dari kedua pengertian tersebut dapat diambil inti dari KPR yaitu sebagai fasilitas kredit dari Bank untuk memenuhi kebutuhan perumahan.
3.3.2. Kredit Pemilikan Rumah Bersubsidi Subsidi dalam pembayaran atau transfer pendapatan yang dilakukan pemerintah kepada masyarakat, baik masyarakat produsen meupun masyarakat konsumen, yang biasanya digunakan sebagai instrument kebijakan fiskal untuk mencapai tujuan perekonomian, yaitu kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pengangguran yang rendah serta untuk stabilitas harga. Subsidi diberikan kepada perusahaan atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah.Secara ekonomi tujuan subsidi adalah mengurangi harga atau menambah keluaran (output). Kebijakan subsidi ditujukan untuk membantu kelompok konsumen tertentu agar dapat membayar produk atau jasa yang diterimanya dengan
35
tarif dibawah harga pasar, atau dapat juga berupa kebijakan yang ditujukan yang ditujukan untuk membantu produsen agar memperoleh pendapatan di atas harga yang dibayar oleh konsumen, dengan cara memberikan bantuan keuangan, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Dalam rangka ketersediaan rumah bagi MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah), Pemerintah menetapkan kebijakan untuk memberikan subsidi pembiayaan perumahan. KPR Bersubsidi Merupakan kredit yang diperuntukkan kepada masyarakat berpenghasilan menengah kebawah dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan atau perbaikan rumah yang telah dimiliki. Kredit subsidi ini diatur tersendiri oleh Pemerintah, sehingga tidak setiap masyarakat yang mengajukan kredit dapat diberikan fasilitas ini. Secara umum batasan yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam memberikan subsidi adalah penghasilan pemohon dan maksimum kredit yang diberikan. Subsidi diberikan kepada kelompok sasaran, baik yang berpenghasilan tetap maupun yang berpenghasilan tidak tetap, yang memenuhi persyaratan untuk memperoleh fasilitasi kredit sesuai dengan ketentuan Bank. Pilihan skim subsidi yang diberikan lewat KPR Bersubsidi hanya berupa salah satu dari subsidi selisih bunga atau subsidi uang muka, dengan besaran nilai untuk masing-masing kelompok sasaran. Ketentuan Umum KPR Bersubsidi :
36
1. KPR Bersubsidi disediakan oleh Bank dalam rangka memfasilitasi pemilikan atau pembelian rumah sederhana sehat (Rs Sehat / RSH) oleh masyarakat berpenghasilan rendah sesuai kelompok sasaran. 2. Jenis rumah yang dapat dibeli atau dibangun / diperbaiki oleh masingmasing kelompok sasaran mencakup seluruh pilihan jenis Rs Sehat / RSH dan sesuai dengan batas harga rumah yang dapat dibeli melalui KPR Bersubsidi sebagai berikut : Tabel 3.2 Batas Harga Rumah Kelompok Sasaran
Batas Harga Rumah (Rp.) Minimum Maksimum
Minimum Uang Muka
I
41.500.000
55.000.000
7,5%
II
28.000.000
41.500.000
7,5%
28.000.000
7,5%
III Sumber : Kemenpera, 2010
3. KPR Bersubsidi diberikan kepada kelompok sasaran untuk memiliki rumah yang memenuhi batasan harga rumah dan memenuhi persyaratan yang diberlakukan atas: a. Maksimum uang muka b. Maksimum KPR c. Maksimum jangka waktu kredit (Tenor) d. Skim subsidi 4. Persyaratan atas minimum uang muka, maksimum KPR dan maksimum jangka waktu kredit (tenor) dimaksud adalah sebagai berikut :
37
Tabel 3.3 Jenis Subsidi KPR Kelompok Sasaran I
Subsidi Selisih Bunga Min. Maks. Maks. UM KPR (Rp.) Tenor (%) (Thn) 7.5 50.875.000 20 38.387.500
20
-
-
-
5.0 26.600.000 III Sumber : Kemenpera, 2010
20
-
-
-
II
7.5
Subsidi Uang Muka Min. Maks. Maks. UM KPR (Rp.) Tenor (%) (Thn) 0 46.500.000 20
Jenis subsidi yang diberikan terhadap Kredit Subsidi tersebut terdiri : 1) Subsidi Selisih Bunga Dengan ketentuan : Tabel 3.4 Skema Subsidi Selisih Bunga Suku Bunga Bersubsidi (% Per Tahun) Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 7 7 7 10.5 11.75 11.75 @ @ @ @ I 4.5 4.5 4.5 5 7.5 10 11 11 @ @ II 1 1 1 2 2.5 3 3 3.75 4.5 5.5 III Sumber :Kemenpera, 2010 @ : sesuai bunga pasar yang berlaku
Kel. Sasaran
2) Subsidi Uang Muka Besaran subsidi untuk setiap kelompok sasaran adalah sebagai berikut: Tabel 3.5 Maksimum Nilai Subsidi Maksimum Nilai Subsidi / Rumah Tangga (Rp.) Subsidi Selisih Bunga Subsidi Uang Muka 8.500.000 8.500.000 I 11.500.000 II 14.500.000 III Sumber : Kemenpera, 2010 Kelompok Sasaran
38
3.4. Fasilitasi Likuiditasi Pembiayaan Perumahan (FLPP) 3.4.1. Latar Belakang FLPP Daya beli sebagian besar masyarakat Indonesia masih sangat terbatas terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, dimana dengan harga lahan dan harga bahan bangunan yang semakin lama semakin meningkat menjadikan masyarakat berpenghasilan rendah belum mampu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya tersebut dan itu merupakan permasalahan mendasar bagi masyarakat Indonesia khususnya MBR. Keterbatasan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) belum sebanding dengan tingginya kebutuhan rumah.
Di sisi lain, kebijakan bantuan pembiayaan
perumahan yang selama ini diterapkan bersifat tidak bergulir. Sehingga perlu upaya dan inisiatif lain agar dana APBN yang terbatas tersebut dapat dioptimalkan untuk keperluan pembiayaan perumahan. Selama tahun 2010 kredit properti mengalami penurunan 0,2%, sementara pada tahun 2009 mengalami kenaikan 10,1%. Penurunan kredit itu dari terlambatnya pertumbuhan kredit untuk KPR yang pangsanya mencapai 63% dari total kredit properti. Selain pertumbuhan kredit properti ada satu lagi yang mengalami masalah yaitu tingginya tingkat suku bunga kredit perumahan yang disebabkan karena adanya ketidaksesuaian antara masa tenor pinjaman dengan tenor pendanaan bank. Dimana sumber dana bank
39
dari sumber jangka pendek dengan tingkat suku bunga tinggi sedangkan pembiayaan perumahan bersifat jangka panjang, sehingga akan memberatkan debitur. Sementara
dalam
pembangunan
perumahan
meliputi;
teknologi, informasi, lahan, perijinan serta pembiayaan. Sedangkan untuk MBR tidak dapat memenuhi hal tersebut semua karena mereka memiliki akses yang sangat terbatas. Selain itu ada penyebab lain yang menyebabkan pasar perumahan MBR tidak berkembang, dimana rendahnya kemampuan mengangsur dikarenakan pendapatan mereka yang terlalu rendah, tingginya tingkat resiko kredit macet dan rendahnya nilai aset yang dimiliki MBR. Oleh karena itu, untuk membantu MBR dalam memenuhi kebutuhan perumahannya pemerintah perlu membuat kebijakan pembangunan perumahan yang berpihak pada kelompok MBR.Terdapat tiga pelaku utama dalam sistem pembiayaan pasar perumahan, yaitu : 1. Masyarakat, sebagai konsumen. 2. Pengembang, sebagai penyedia perumahan 3. Lembaga Penerbit Kredit/Pembiayaan, sebagai lembaga rumah bagi masyarakat, maupun kredit konstruksi bagi pengembang. Untuk
mengatasi
permasalahan
tersebut
diatas
dan
mendorong pertumbuhan perumahan MBR, pemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat pada tahun 2010 telah melakukan reformasi kebijakan bantuan pembiayaan perumahan dengan
40
memberikan subsidi
berupa Fasilitas
Likuiditas
Pembiayaan
Perumahan (FLPP). Dimana FLPP merupakan terobosan pemerintah dalam pengembangan pembiayaan perumahan jangka panjang.
Gambar 3.3 Peran Pemerintah Dalam Pembangunan Perumahan Sumber :Kemenpera, 2013
Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) adalah dukungan fasilitas
likuiditas
pembiayaan
perumahan
kepada
Masyarakat
Berpenghasilan Menengah Bawah (MBM) dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang pengelolaannya dilaksanakan oleh Kementerian Perumahan Rakyat. Berdasarkan hal diatas, latar belakang dibuatnya kebijakan FLPP antara lain :
41
1. Kemampuan/Daya Beli Masyarakat masih sangat terbatas dan kenaikan penghasilan/pendapatan setiap tahunnya tidak signifikan dibadingkan dengan laju inflasi per tahun 2. Suku bunga yang dikenakan pada masyarakat masih cukup tinggi (regim suku bunga tinggi) 3. Optimalisasi pemanfaatan dana APBN dengan keterbatasan keuangan Negara 4. Pemupukan Dana Perumahan dalam jangka panjang 5. Daya tarik bagi Sumber Dana lain untuk berperan dalam Pembiayaan Perumahan (integrasi sumber-sumber pembiayaan)
Fitur FLPP: 1. Bunga fix selama 15 tahun untuk KPR landed house bunga mulai dari 8,15% anuitas (sesuai dengan harga jual rumah) 2. Maksimal gaji pokok yang diperkenankan untuk memperoleh fasilitas ini adalah Rp 2,5 juta (gaji pokok bukan take home pay) sehingga cocok untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) 3. Syarat lainnya yaitu belum mempunyai rumah tinggal yang dibuktikan dengan surat keterangan dari Kelurahan setempat dan menyertakan NPWP dan SPT tahunan.
42
Gambar 3.4 Skema KPR Sejahtera Dengan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan Sumber : Inforum Kemenpera, 2010 Selama tahun 2013 kredit properti mengalami kenaikan sebesar 20% sementara 2009 mengalami Secara umum perkembangan kredit properti Dilaksanakannya kebijakan FLPP dikarenakan kemampuan/daya beli masyarakat masih sangat terbatas dan kenaikan penghasilan/pendapatan setiap tahunnya tidak signifikan dibandingkan dengan laju inflasi per tahun keterjangkauan angsuran KPR Bersubsidi diberikan secara terbatas selama masa subsidi (4 s/d 25 tahun), optimalisasi pemanfaatan dana APBN sejalan dengan keterbatasan keuangan negara, memerangi rejim suku bunga tinggi melalui penyediaan dana murah jangka panjang. Selama tahun 2013 kredit properti mengalami kenaikan sebesar 20% sementara 2009 mengalami Secara umum perkembangan kredit properti Dilaksanakannya kebijakan FLPP dikarenakan kemampuan/daya beli masyarakat masih sangat terbatas dan kenaikan penghasilan/pendapatan
43
setiap tahunnya tidak signifikan dibandingkan dengan laju inflasi per tahun keterjangkauan angsuran KPR Bersubsidi diberikan secara terbatas selama masa subsidi (4 s/d 25 tahun), optimalisasi pemanfaatan dana APBN sejalan dengan keterbatasan keuangan negara, memerangi rejim suku bunga tinggi melalui
penyediaan
mendasarPembiayaan
dana
murah
Perumahan
jangka
Rakyat
panjang.Permasalahan
adalah
unsur
pelaksana
Pemerintah yang dipimpin oleh Menteri Perumahan Rakyat yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden.*)
3.4.2. Tujuan dan Manfaat FLPP Dalam hal ini tujuan dari FLPP tersebut adalah memberikan bunga yang terjangkau dan tetap sepanjang masa pinjaman (fixed rate mortgage) bagi MBM dan MBR.Dengan adanya FLPP diharapkan dapat menyediakan dukungan pendanaan bagi lembaga keuangan untuk mendanai aktivitas kreditnya. Lembaga ini dibutuhkan karena timbulnya mismatch jatuh tempo hutang dan aset lembaga keuangan. Dari sisi pemerintah, fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan ini diharapkan dapat membangun suatu pola pembiayaan yang berkelanjutan (sustainable housing finance) sehingga dalam jangka panjang dapat mengurangi tingkat ketergantungan sektor pembiayaan perumahan pada dana APBN.Dari sisi perbankan, fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan ini diharapkan dapat merangsang sector perbankan untuk mendapatkan dana jangka panjang yang efektif dari pasar modal atau pasar uang. Penggunaan
44
sumber dana tradisional seperti tabungan dan deposito yang bersifat jangka pendek sudah tidak dapat diandalkan untuk mendanai pembiayaan perumahan yang sifatnya berjangka panjang. Dari sisi masyarakat, fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan ini diharapkan mampu menyediakan pembiayaan atau kredit perumahan yang lebih terjangkau dengan ciri khas kredit perumahan dengan jenis suku bunga tetap sepanjang tenor (fix rate mortgage). Disamping itu, melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan ini ditargetkan pembiayaan atau kredit perumahan yang akan berlaku adalah pembiayaan atau kredit perumahan dengan suku bunga kurang dari 10% per tahun sepanjang tenor (single digit mortgage). Dengan demikian pembiayaan atau kredit perumahan yang dihasilkan dapat lebih terjangkau dan lebih aman dari sisi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, termasuk masyarakat berpenghasilan rendah.
3.6.2
Mekanisme Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) Melalui FLPP akan disediakan dana jangka panjang yang dapat berasal dari APBN (pos pembiayaan) atau sumber dana jangka panjang lainnya (misalnya Bapertarum dan Lembaga sejenis lainnya) untuk kemudian dipadukan dengan dana pihak ketiga dari Bank Pelaksana agar dapat memproduksi pembiayaan atau kredit perumahan yang lebih terjangkau.
45
RESUME MEKANISME FLPP DANA PIHAKKETIGA
DANA MURAH JANGKAPANJANG
SISI PASOKAN KREDIT KONSTRUKSI
APBN SUBSIDI
BAPERTARUM DAN LEMBAGA SEJENIS LAINNYA
BLU PPP
BANK PELAKSANA
SISI PERMINTAAN
KPR
REPAYMENT
REPAYMENT
Gambar 3.5 Mekanisme FLPP Sumber : Inforum Kemenpera, 2010
3.6.3 Perbandingan Fasilitas Likuiditas dengan Skim Lama Tujuan pemberian FL adalah memberikan bunga kredit yang terjangkau dan tetap sepanjang masa pinjaman (single digit dan fixed rate mortgage) bagi MBM dan MBR.Sedangkan subsidi yang selama ini diberikan oleh Pemerintah umumnya berupa subsidi selisih bunga, artinya Pemerintah hanya menanggung sebagian angsuran bunga KPR dengan masa subsidi untuk beberapa tahun dan tidak sepanjang masa pinjaman.
46
Gambar 3.6 Struktur Kebijakan FLPP Sumber : Deputi Pembiayaan Kemenpera, 2010
Sebagai contoh debitur KPR Bersubsidi yang penghasilannya masuk dalam katagori I yaitu debitur dengan penghasilan antara Rp.1,7 juta sampai Rp.2,5 juta/bulan, hanya menikmati angsuran yang disubsidi selama 6 tahun pertama sedangkan angsuran setelah masa subsidi selesai akan mengikuti atau berfluktuasi sesuai dengan tingkat suku bunga yang berlaku pada Bank tersebut. Perbandingan antara fasilitas likuiditas dengan skim subsidi dapat dilihat pada tabel di samping ini yang berdasarkan antara lain besaran angsuran, suku bunga, dan manfaat yang diterima oleh masyarakat.
Gambar 3.7 Grafik Tingkat Suku Bunga Per Periode Sumber : Inforum Kemenpera, 2010
47
Tabel 3.6 Perbandingan antara Skim Subsidi Pola Lama dengan Skim FLPP
Masa Subsidi Suku Bunga
Angsuran
SKIM SUBSIDI Terbatas, jangka waktu tertentu Bunga bersubsidi dalam jangka waktu tertentu dan dilanjutkan bunga komersial (bank yang bersangkutan) Angsuran selama masa subsidi ≤ 1/3 penghasilan, dan selanjutnya cenderung ≥ 1/3 penghasilan tergantung bunga komersial Belanja Subsidi, merupakan dana habis (tidak kembali)
SKIM FASILITAS LIKUIDITAS Sepanjang masa pinjaman Bunga yang ditetapkan satu digit sepanjang masa pinjaman (fixed rate) Angsuran selama masa pinjaman ≤ 1/3 penghasilan
Belanja FL dalam pos pembiayaan/investasi sehingga bukan dana habis dan merupakan revolving fund Setelah beberapa periode Alokasi APBN Terus menerus tertentu semakin berkurang dan terus mengecil sampai akhirnya tidak perlu ada alokasi atau ketika Tabungan Perumahan Nasional sudah melembaga APBN APBN + sumber dana lain Sumber Dana Hanya untuk sisi permintaan Untuk sisi permintaan (KPR) Penggunaan (KPR Bersubsidi) dengan tingkat bunga terjangkau (satu digit) dengan tenor sampai dengan 15 tahun Untuk sisi pasokan (Kredit Konstruksi) dengan tingkat bunga terjangkau (satu digit) dengan tenor sampai dengan 24 bulan Sumber : Inforum Kemenpera, 2010 Dana APBN
Fasilitas
likuiditas
merupakan
kebijakan
Pemerintah
yang
mengintervensi pokok pinjaman KPR Sejahtera dengan tujuan untuk memberikan suku bunga KPR yang terjangkau bagi MBM dan MBR. Suku
48
bunga terjangkau ini diperoleh karena sumber dana FL berasal dari dana APBN yang masuk dalam pos pembiayaan dan bersifat jangka panjang. Berbeda dengan pola subsidi sebelumnya, intervensi pemerintah dilakukan atas bunga pinjaman KPR dan dalam masa subsidi tertentu. Berdasarkan Tabel 3.6, perbedaan antara kebijakan skim subsidi dengan skim FLPP bahwa untuk mengetahui skim yang paling menguntungkan bagi MBR dilihat dari nilai manfaat atau selisih antara angsuran KPR dengan menggunakan bunga pasar dan angsuran KPR yang menggunakan FLPP sepanjang masa tenor.
Gambar 3.8 Tahapan Proses Terobosan Kebijakan Pembiayaan Perumahan bagi MBM/MBR Sumber : Inforum Kemenpera, 2010
49
Kredit/Pembiayaan rumah diberikan melalui KPR Sejahtera, yang meliputi : 1. KPR Sejahtera Tapak 2. KPR Sejahtera Susun 3. KPR Sejahtera Syariah Tapak 4. KPR Sejahtera Syariah Susun Hingga saat ini Bank Pelaksana yang telah melakukan MoU/PKO dengan Kemenpera yaitu Bank BTN, Bank BTN Syariah dan Bank BNI.
Gambar 3.9 Presentase KPR Bersubsidi Sumber : Inforum Kemenpera, 2010
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir semenjak diluncurkannya program FLPP pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2014, Kementerian Perumahan Rakyat telah menyalurkan dana Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan skema FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) sebesar Rp 13,152 triliun. Dana itu telah digunakan untuk pembiayaan subsidi
50
rumah sebanyak 308.041 unit rumah (Sri Hartoyo, Deputi Pembiayaan Kemenpera). Sedangkan target untuk tahun ini adalah Rp 4,5 triliun dengan jumlah rumah sebanyak 57.992 unit. Dana yang telah disalurkan setiap tahunnya adalah : 1.
Tahun 2010 tersalur 7.959 unit rumah dengan dana Rp 242,65 milyar
2.
Tahun 2011 tersalur 109.592 unit rumah dengan dana Rp 3,6 triliun
3.
Tahun 2012 tersalur 64.785 unit rumah dengan dana Rp 2,5 triliun
4.
Tahun 2013 tersalur 102.714 unit rumah dengan dana Rp 5,3 triliun
5.
Tahun 2014 tersalur 22.991 unit rumah dengan dana Rp 1,7 triliun Dapat dilihat dari data diatas pada tahun 2014 sudah mencapai 40
persen yang telah dikeluarkan dari yang dianggarkan sebesar Rp 4,5 triliun.
3.7
Penelitian Terdahulu Dalam penelitian ini penulis memaparkan enam penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti tentang analisis Dampak Kebijakan Loan to Value (LTV) Terhadap Kredit Pemilikan Rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan. Lokot Zein Nasution (2012) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Loan to Value dan Shock Variabel Makro Ekonomi Terhadap Pertumbuhan
Industri
Properti
Indonesia”.
Hasil
penelitian
ini
menunjukkan bahwa kebijakan Loan to Value berpengaruh terhadap permintaan kredit property sehingga menjadi menurunnya minat dalam membeli perumahan.
51
Erwin Syah Putra D (2013) melakukan penelitian dengan judul “Dampak Kebijakan Loan to Value Terhadap Permintaan Properti di Kota Pematangsiantar”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan Loan to Value berdampak negative terhadap permintaan property di kota Pematangsiantar. Hal ini dikarenakan semakin sedikitnya minat konsumen membeli rumah tipe diatas 70 m2 yang dikenakan kebijakan Loan to Value karena harus menyediakan uang yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Noor Sagita Hersiwi (2013) melakukan penelitian thesis dengan judul
“Dampak
Implementasi
Kebijakan
Bank
Indonesia
dalam
Pembatasan Loan to Value Pada Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor Bagi Saham-Saham Perbankan di Bursa Efek Indonesia (BEI)”. Hasil dari penelitian ini dimana secara umum, implementasi kebijakan pembatasan maksimum loan to value (LTV) pada kredit pemilikan rumah dan kredit kendaraan bermotor perbankan tidak memiliki kandungan informasi karena tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata abnormal return yang terjadi sebelum dan sesudah peristiwa. Ahmad Yusuf (2013), peneliti melakukan penelitian berjudul “Aturan Loan to Value KPR Sebagai Bentuk Pengendalian Inflasi dan Risiko Gagal Bayar di Sektor Properti Saat Suku Bunga Meningkat”. Hasil dari penelitian ini adalah dengan dikeluarkannya aturan loan to value (LTV) oleh Bank Indonesia dalam mengatur besaran LTV sebagai bagian dari mitigasi risiko inflasi akibat permintaan property yang meningkat
52
pesat akibat banyaknya spekulan yang ikut bermain di pasar property, dan nampaknya kebijakan ini cukup mengendalikan inflasi sektor perumahan. Yuniardini Putri Siswanto (2013), melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/10/DPNP Terhadap Risiko Kredit Perbankan Serta Pengaruh Pada Sektor Properti dan Otomotif”. Hasil dari penelitian ini adalah (1) Dengan adanya kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas kredit yang diberikan kepada masyarakat, sehingga dapat membantu perbankan untuk mengurangi risiko kredit macet, (2) Bagi perusahaan otomotif dan properti terjadi penurunan penjualan, dimana penurunan ini hanya berdampak signifikan pada perusahaan yang memiliki target konsumen menengah kebawah, baik perusahaan properti maupun perusahaan otomotif. Jeanne Ananti Susanto (2012), melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Dampak Rencana Regulasi Loan to Value (LTV) Pada Kredit Konsumsi Indonesia”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa skema regulasi LTV akan memiliki dampak yang signifikan dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dampak menguntungkan adalah meningkatnya kualitas kredit dan
transisi
diharapkan
untuk
kredit
produktif
sehingga
dapat
menumbuhkan perekonomian. Sedangkan dampak negatifnya terutama dalam industri otomotif adalah penurunan jumlah penjualan mobil. Joshua Bangun Gunanta (2012) melakukan penelitian dengan judul “Dampak Aturan Pembatasan Loan to Value Terhadap Harga Saham Properti”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan Loan to
53
Value
yang
ditetapkan
melalui
surat
edaran
Bank
Indonesia
No.14/10/DPNP berpengaruh terhadap perubahan saham perusahaan property dan real estate mengalami penurunan harga dibandingkan dengan sebelum aturan pembatasan tersebut efektif ditetapkan. Penelitian oleh Dewi Restu Mangeswuri (2013) yang berjudul “Kebijakan Loan to Value Guna Membatasi Pemberian Kredit”. Hasil yang didapat dalam penelitian ini adalah Pemerintah menyiapkan aturan pendukung dari kebijakan BI terkait dengan LTV sektor properti untuk menghindari bubble. I Gede Hendra Setiawan dan Ni Putu Sri Harta Mimba (2015) melakukan penelitian “Reaksi Pasar Pada Regulasi Loan to Value”, yang bertujuan melihat reaksi pasar modal pada pengumuman regulasi SE BI No. 15/40/DKMP sebelum dan sesudah peristiwa pada saham sektor property di BEI. Dan hasil dari penelitian adalah Terdapat reaksi pasar yang signifikan terhadap pengumuman yaitu hari ke t-1 (1 hari sebelum pengumuman), t-0 (saat pengumuman) dan t+2 (2 hari sesudah pengumuman) pengumuman regulasi loan to value. Ida Ayu Putri Saraswati (2014) melakukan penelitian “Analisis Kebijakan Bank Indonesia Tentang Loan to Value Pada PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Cabang Singaraja”. Hasil penelitiannya adalah BTN Cabang Singaraja melaksanakan ketentuan Loan To Value yang diterbitkan oleh Bank Indonesia di dalam meyalurkan kredit KPRnya, (2) dampak yang dihadapi oleh BTN Cabang Singaraja berupa
54
penurunan jumlah kredit dan adanya persaingan antar bank di dalam menyalurkan KPR, (3) cara BTN Cabang Singaraja menanggulangi dampak yang dihadapi yaitu dengan melakukan kerjasama dengan developer didalam penyediaan KPR dan BTN cabang Singaraja perlu melakukan pemasaran yang lebih agresif, serta layanan dan proses kredit cepat dan berkualitas.
3.8
Rerangka Pemikiran Rerangka Pemikiran menurut Erlina (2008:34) merupakan suatu model yang menjelaskan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktorfaktor penting yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu. Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka maka kerangka konseptual dalam penelitian ini dapat dilihat dari Gambar 3.10.
3.9
Hipotesis Dalam penelitian ini perlu diberikan hipotesis dimana hipotesis ini merupakan dugaan yang mungkin benar mungkin salah. Dalam penelitian ini mengukur dan menganalis apakah ada pengaruh antara kebijakan Loan to Value terhadap jumlah unit dan besarnya dana KPR FLPP. Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tidak ada perbedaan yang signifikan jumlah unit penjualan dan besarnya dana KPR FLPP antara sebelum dan sesudah kebijakan Loan to Value.
55
2. Ada perbedaan yang signifikan jumlah unit penjualan dan besarnya dana KPR FLPP antara sebelum dan sesudah kebijakan Loan toValue.
Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/40/DKMP
Kebijakan Loan to Value / Down Payment
*DP : Kendaraan Bermotor Minimal 30% dari Harga Jual
LTV : Properti/Perumahan Diatas Tipe 70 m2 Maksimal Pembiayaan Oleh Bank 70% dari Harga Jual
LTV pada KPR Subsidi FLPP pada pembelian rumah ke-2 dan seterusnya
Jumlah Unit Penjualan dan Besarnya Dana FLPP Sebelum Kebijakan (April 2010 – Juni 2012)
Jumlah Unit Penjualan dan Besarnya Dana FLPP Setelah Kebijakan (Juli 2012 – Agustus 2014)
Dampak Kebijakan Analisis Dampak Kebijakan LTV Terhadap KPR FLPP Gambar 3.10 Rerangka Pemikiran Sumber : Bank Indonesia, 2012