BAB III KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1
Teori
3.1.1
Budaya Organisasi
3.1.1.1 Definisi Budaya Organisasi Dalam setiap hari kegiatan bisnis yang dilakukan oleh suatu organisasi perusahaan tidak terlepas dari budaya yang telah tertanam dalam suatu perusahaan yang tercipta sejak perusahaan tersebut didirikan. Budaya yang diciptakan oleh perusahaan tersebut adalah suatu pembeda karakter yang membedakan perusahaan satu dengan perusahaan lainnya. Budaya yang mengikat anggota organisasi menciptakan suatu pandangan yang memiliki keseragaman berperilaku dan bertindak. Ada beberapa pengertian mengenai budaya organisasi atau yang disebut budaya perusahaan. Robbins dan Judge (2008:256) mengemukakan bahwa budaya organisasi berkaitan dengan bagaimana karyawan memahami karakteristik budaya suatu organisasi dan tidak terkait dengan apakah karyawan menyukai karakteristik itu atau tidak. Budaya organisasi adalah suatu sikap deskriptif, bukan seperti kepuasan kerja yang lebih bersifat evaluatif. Luthans (2006:125) mengatakan budaya organisasi mempunyai sejumlah karakteristik yang penting. Beberapa diantaranya adalah:
29
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
1. Aturan perilaku yang diamati. Ketika anggota organisasi berinteraksi satu sama lain, mereka menggunakan bahasa, istilah, dan ritual umum yang berkaitan dengan rasa hormat dan cara berperilaku. 2. Norma. Adalah standar perilaku, mencakup pedoman mengenai seberapa banyak pekerjaan yang dilakukan, yang dalam banyak perusahaan menjadi ”jangan melakukan terlalu banyak; jangan terlalu sedikit.” 3. Nilai dominan. Organisasi mendukung dan berharap peserta membagikan nilai-nilai utama. Contohnya adalah kualitas produk tinggi, sedikit absen dan efisiensi tinggi. 4. Filosofi. Terdapat kebijakan yang membentuk kepercayaan organisasi mengenai bagaimana karyawan dan atau pelanggan diperlakukan. 5. Aturan. Terdapat pedoman ketat berkaitan dengan pencapaian perusahaan. Pendatang baru harus mempelajari teknik dan prosedur yang ada agar diterima sebagai anggota kelompok yang berkembang. 6. Iklim Organisasi. Merupakan keseluruhan ”perasaan” yang disampaikan dengan pengaturan baru yang bersifat fisik, cara peserta berinteraksi, dan cara anggota organisasi berhubungan dengan pelanggan dan individu dari luar. Robbins dan Judge (2008) mengatakan, secara tradisional, pendiri organisasi memiliki pengaruh besar terhadap budaya awal organisasi tersebut. Pendiri organisasi tidak memiliki kendala karena kebiasaan atau ideologi sebelumnya. Ukuran kecil yang biasanya mencirikan organisasi baru lebih jauh memudahkan pendiri memaksakan visi mereka pada seluruh anggota organisasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
Thompson, et al. (2010) mengemukakan pendapat bahwa budaya organisasi mengacu pada karakter iklim kerja internal perusahaan dan kepribadian, seperti dibentuk oleh nilai-nilai inti, keyakinan, prinsip bisnis, tradisi, perilaku mendarah daging, praktek kerja dan gaya operasi. Budaya juga dapat dijadikan suatu sistem pemahaman dalam bertindak yang dimengerti dan menjadi pegangan seluruh karyawan yang membedakan suatu organisasi dengan organisasi lainnya. Budaya organisasi menurut Schein dalam Herminingsih (2014:3) adalah sebagai pola asumsi dasar yang dianut bersama oleh sekelompok orang setelah sebelumnya mereka mempelajari dan meyakini kebenaran pola asumsi tersebut sebagai cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan adaptasi eksternal dan integrasi internal, sehingga pola asumsi dasar tersebut perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara untuk berpersepsi, berpikir dan mengungkapkan perasaannya dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan organisasi. Integrasi internal meliputi visi, misi, teknologi, dan struktur organisasi. Dimana dalam hal ini para karyawan mengembangkan identitas kolektif dan tahu bagaimana bekerja sama secara efektif. Inilah budaya yang menuntun hubungan kerja sehari-hari dan menentukan bagaimana karyawan didorong untuk bekerja dengan cara yang terstruktur dalam hal penyampaian informasi dari bawahan ke atasan, maupun dari atasan ke bawahan. Sependapat dengan Mangkunegara (2008:113), Budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32
internal. Hal ini berarti setiap organisasi mempunyai sistem makna yang berbeda. Perbedaan ini menyebabkan setiap analisis organisasi mempunyai karakteristik yang unik dan berbeda serta respon yang berbeda ketika menghadapi masalah yang sama. Disamping itu perbedaan sistem makna ini dapat menyebabkan perbedaan perilaku para anggota organisasi dan perilaku organisasi itu sendiri. Akar perbedaan ini bersumber pada asumsi-asumsi dasar yang meliputi keyakinan, nilai-nilai, filosofi atau ideologi organisasi yang digunakan dalam memecahkan persoalan organisasi (Prawirodirdjo, 2007). Moeljono (2005:2) berpendapat bahwa: “Budaya organisasi pada umumnya merupakan pernyataan fisiologis, dapat difungsikan sebagai tuntutan yang mengikat para karyawan karena dapat diformulasikan secara formal dalam berbagai peraturan dan ketentuan perusahaan. Dengan membakukan organisasi, sebagai suatu acuan bagi ketentuan atau peraturan yang berlaku, maka para pemimpin dan karyawan secara tidak langsung akan terikat sehingga dapat membentuk sikap dan perilaku sesuai dengan visi dan misi serta strategi perusahaan. Proses pembentukan tersebut pada akhirnya akan menghasilkan pemimpin dan karyawan profesional yang mempunyai integritas tinggi. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa, dengan melakukan akulturasi budaya organisasi selain akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, juga menjadi penentu kesuksesan perusahaan.” Berdasarkan berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan satu unsur terpenting dalam perusahaan yang hakikatnya mengarah pada perilaku-perilaku yang dianggap tepat, mengikat dan memotivasi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33
setiap individu yang ada didalamnya. Menurut Schein (2009:28), hal yang dapat kita sadari bahwa budaya itu bersifat stabil dan sulit untuk berubah
karena
budaya mencerminkan akumulasi pembelajaran dari sebuah kelompok (cara mereka berpikir, merasakan dan meyakinkan dunia bahwa budaya dapat menciptakan kesuksesan suatu organisasi). Selanjutnya Schein (2009:28) mengungkapkan bahwa kita akan mulai menyadari bahwa tidak ada budaya yang benar atau salah, tidak ada budaya yang lebih baik atau lebih buruk, kecuali dalam hubungannya bagaimana cara suatu organisasi bertindak dan lingkungan apa yang mendukung jalannya suatu operasi organisasi. Dengan demikian, setiap individu yang terlibat didalamnya akan bersama-sama berusaha menciptakan kondisi kerja yang ideal agar tercipta suasana yang mendukung bagi upaya pencapaian tujuan yang diharapkan. 3.1.1.2 Terbentuknya Budaya Organisasi Robbins (2008) menggambarkan bagaimana budaya suatu organisasi dibangun dan dipertahankan. Budaya asli ditunjukan dari filsafat pendirinya. Selanjutnya budaya ini sangat mempengaruhi kriteria yang dipergunakan dalam mempekerjakan karyawannya. Tindakan dari manajemen puncak menentukan iklim umum dari perilaku baik yang dapat diterima maupun tidak. Bagaimanapun karyawan disosialisasikan, tingkat sukses yang dicapai akan tergantung pada kecocokan nilai-nilai yang di anut oleh karyawan dengan nilai-nilai organisasi dalam proses seleksi maupun preferensi. Proses terbentuknya budaya dapat dilihat pada Gambar 3.1.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34
Gambar 3.1 Proses Terbentuknya Budaya Organisasi Sumber: Diadaptasi dari Robbin dan Judge, Perilaku Organisasi, buku 2, 2008. h. 274.
Robbins (2008) mengatakan, budaya organisasi yang terbentuk ditentukan oleh beberapa unsur, yaitu: 1. Lingkungan usaha; lingkungan di mana perusahaan itu beroperasi akan menentukan apa yang harus dikerjakan oleh perusahaan tersebut untuk mencapai keberhasilan. 2. Nilai-nilai (values); merupakan konsep dasar dan keyakinan dari suatu organisasi. 3. Panutan/keteladanan; orang-orang yang menjadi panutan atau teladan karyawan lainnya karena keberhasilannya. 4. Upacara-upacara (rites and ritual); acara-acara rutin yang diselenggarakan oleh perusahaan dalam rangka memberikan penghargaan pada karyawannya. 5. Network; jaringan komunikasi informal di dalam perusahaan yang dapat menjadi sarana penyebaran nilai-nilai dari budaya perusahaan. Umam (2010:136) menyimpulkan bahwa proses pembentukan budaya organisasi adalah sebagai berikut : 1. Dari atas (pemilik dan manajemen). 2. Dari bawah (masyarakat atau karyawan).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
35
3. Kompromi dari atas dan dari bawah. 4. Mempertahankan budaya organisasi praktik seleksi. 5. Manajemen puncak. 6. Sosialisasi dan internalisasi. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah pola keyakinan dan nilai-nilai dalam suatu organisasi, yang dipahami, dijiwai dan dipraktekkan oleh anggota organisasi tersebut sehingga menjadi dasar bagi anggota organisasi dalam berperilaku. Budaya organisasi diturunkan dari filsafat pendirinya, lalu ditanamkan kepada anggota organisasi sehingga budaya organisasi tersebut dapat tetap dipertahankan. 3.1.1.3 Dimensi Budaya Organisasi Cameron dan Quinn (2006:31) dalam bukunya Diagnosing and Changing Organization Culture, salah satu instrumen penilaian yang dapat digunakan untuk mengetahui budaya suatu organisasi adalah model Competing Value Framework. Framework ini berguna dalam membantu menginterpretasikan fenomena organisasi yang bermacam macam jenisnya. Dalam framework ini dinyatakan dua dimensi
yaitu
dimensi
pertama
membedakan
kriteria
efektivitas
yang
mengutamakan fleksibilitas, kebebasan dalam memilih dan dinamika dari kriteria yang mengutamakan pada stabilitas, perintah dan pengendalian. Sedangkan dimensi kedua membedakan kriteria efektivitas yang mengutamakan orientasi internal, integrasi dan kesatuan, dari kriteria yang mengutamakan orientasi eksternal, diferensiasi dan persaingan. Kedua dimensi ini bersama-sama membentuk empat kuadran, yang mana setiap kuadran menggambarkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
36
perbedaan indikator-indikator efektivitas organisasi. Keempat kelompok ini dapat memberikan (1) Gambaran penilaian orang tentang kinerja organisasi, (2) Definisi apa-apa yang tampak baik, benar dan tepat, (3) Dengan kata lain, mendefinisikan nilai inti untuk melakukan penilaian organisasi.
Gambar 3.2 Kuadran Dimensi Budaya Organisasi Menurut Cameron dan Quinn
Keempat nilai inti ini menyatakan asumsi-asumsi yang saling berlawanan. Setiap bagian menekankan/menggarisbawahi sebuah nilai inti yang berlawanan dengan sebuah nilai inti lainnya pada bagian lainnya (dalam hal ini internal dengan eksternal dan fleksibilitas dengan stabilitas). Dengan demikian, dimensidimensi ini membentuk kuadran-kuadran yang saling berlawanan atau bersaing pada bagian diagonalnya. Gambar diatas memperlihatkan kuadran-kuadran yang dihasilkan dari kedua dimensi tersebut.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
37
Terdapat 4(empat) dimensi budaya organisasi, menurut Cameron dan Quinn(1999), yaitu clan, adhocracy, hierarchy, dan market (Rangkuti, 2011). Karakteristik setiap dimensi budaya organisasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Karakteristik Dimensi Budaya Organisasi Jenis Budaya
Clan
Adhocracy
Market
Hierarchy
Karakter-
Organisasi
Organisasi
Organisasi ini
Organisasi merupakan
istik
merupakan tempat
merupakan tempat
sangat berorientasi
tempat yang sangat
dominan
pribadi yang
yang sangat
pada hasil. Tujuan
terkontrol dan
menyenangkan,
dinamis, dan
utama organisasi
terstruktur. Terdapat
seperti berada
enterpreneurial.
adalah penyelesaian
prosedur formal untuk
dalam keluarga
Setiap anggota
pekerjaan. Setiap
mengendalikan setiap
besar, dan orang-
organisasi mau dan
anggota organisasi
pekerjaan.
orangnya saling
berani mengambil
sangat
berbagi tentang
resiko dalam
berkompetitif.
segala hal satu
pekerjaan.
sama lain. Kepemim-
Kepemimpinan
Kepemimpinan
Kepemimpinan
Kepemimpinan
pinan
bersifat sebagai
bersifat
bersifat agresif,
bersifat sebagai
organisasi
mentor, fasilitator,
enterpreneurship
pasti, dan berfokus
koordinator,
dan selalu
(kewirausahaan,
pada pencapaian
mengorganisir, dan
memberikan
inovatif, dan berani
hasil.
memelihara efisiensi.
bimbingan.
mengambil resiko.
Manaje-
Manajemen
Manajemen
Manajemen
Manajemen bercirikan
men
bercirikan kerja
bercirikan berani
bercirikan
memberikan rasa aman
Personil
tim, kesepakatan
mengambil resiko,
kompetitif, memiliki
pada diri karyawan,
bersama, dan
inovatif,
tuntutan tinggi
adanya keseragaman,
partisipatif.
memberikan
untuk
dapat diprediksi, dan
kebebasan dan
menyelesaikan
memiliki stabilitas
keunikan pada
pekerjaan &
dalam hubungan antar
setiap individu.
berorientasi pada
karyawan.
hasil.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
38
Jenis Budaya
Clan
Adhocracy
Market
Hierarchy
Perekat organisasi
Perekat organisasi
Perekat organisasi
Perekat organisasi
adalah kesetiaan
adalah komitmen
adalah prestasi dan
adalah peraturan dan
dan kepercayaan
dan inovasi, selalu
pencapaian tujuan,
kebijakan formal. Hal
Perekat
bersama,
fokus pada
keagresifan, dan
penting dalam
organisasi
komitmen
pengembangan dan
kemenangan
organisasi adalah
merupakan hal
hal hal yang
merupakan hal
memelihara kelancaran
yang sangat
mutakhir.
utama.
jalannya organisasi.
(lanjutan)
penting dalam organisasi. Strategi
Organisasi
Organisasi
Organisasi
Organisasi
yang
menekankan pada
menekankan pada
menekankan pada
menekankan pada
ditekankan
pengembangan
penemuan
kompetisi dan
ketahanan dan
SDM,
sumberdaya baru,
prestasi, pencapaian
stabilitas, efisiensi,
kepercayaan
penciptaan
target, dan
kontrol, dan
tinggi,
tantangan baru,
memenangkan pasar
kelancaran operasi.
keterbukaan,
mencoba hal-hal
(persaingan).
partisipasi, dan
baru, dan mencari
selalu melibatkan
peluang baru.
setiap karyawan. Kriteria
Organisasi
Organisasi
Organisasi
Organisasi
keberhasi-
mendefenisikan
mendefenisikan
mendefenisikan
mendefenisikan sukses
lan
sukses atas dasar
sukses berdasarkan
sukses berdasarkan
berdasarkan efisiensi,
pengembangan
terbentuknya
memenangkan
produk dan jasa yang
SDM, kerja tim,
produk baru,
kompetisi, menjadi
dapat diandalkan,
komitmen
menjadi pemimpin
pemimpin pasar
jadwal produksi rutin,
karyawan, dan
dalam produk/jasa,
yang kompetitif.
ongkos produksi
kepedulian pada
dan inovator.
anggota
rendah merupakan hal yang kritis.
organisasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
39
3.1.1.4 Tipe Budaya Organisasi Tipe Budaya Organisasi menurut Kreitner dan Kinicki dalam Wibowo (2010:30) mengemukakan adanya 3(tiga) tipe umum budaya organisasi antara lain: a. Budaya konstruktif (constructive culture) merupakan budaya di mana pekerja didorong untuk berinteraksi dengan orang lain dan bekerja pada tugas dan proyek dengan cara yang akan membantu mereka dalam memuaskan kebutuhannya untuk tumbuh dan berkembang. b. Budaya pasif-defensif (passive-defensive culture) mempunyai karakteristik menolak keyakinan bahwa pekerja harus berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang tidak menantang keamanan mereka sendiri. c. Budaya agresif-defensif (aggressive-defensive culture) mendorong pekerja mendekati tugas dengan cara memaksa dengan maksud melindungi status dan keamanan kerja mereka. 3.1.1.5 Karakteristik Budaya Organisasi Dibawah ini akan dijelaskan mengenai karakteristik yang merupakan nilai inti dari organisasi yang dapat membantu terciptanya budaya yang kuat. Dimana karakteristik tersebutlah yang membedakan suatu organisasi dengan organisasi lainnya. Menurut Robbins dalam Umar (2010:208), untuk menilai kualitas budaya suatu organisasi dapat dilihat dari sepuluh faktor utama, yaitu sebagai berikut: 1. Inisiatif individu, yaitu tingkat tanggung jawab, kebebasan dan independensi yang dipunyai individu.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
40
2. Toleransi terhadap tindakan beresiko, yaitu sejauh mana para karyawan dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif dan berani mengambil resiko. 3. Arah, yaitu sejauh mana organisasi tersebut menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan mengenai organisasi. 4. Integrasi, yaitu tingkat sejauh mana unit-unit dalam organisasi didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi. 5. Dukungan manajemen, yaitu tingkat sejauh mana para manajer memberi komunikasi yang jelas, bantuan serta dukungan terhadap bawahan mereka. 6. Kontrol, yaitu jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku karyawan. 7. Identitas, yaitu tingkat sejauh mana para anggota teridentifikasi dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya daripada dengan kelompok kerja tertentu atau dengan bidang keahlian professional. 8. Sistem imbalan, yaitu tingkat sejauh mana alokasi imbalan (kenaikan gaji, promosi) didasarkan atas kriteria prestasi karyawan sebagai kebalikan dari senioritas, pilih kasih dan sebagainya. 9. Toleransi terhadap konflik, yaitu tingkat sejauh mana para karyawan diberikan kebebasan untuk mengemukakan masalah yang ada dan memberikan kritik secara terbuka. 10. Pola-pola komunikasi, yaitu tingkat sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
41
3.1.1.6 Dampak Penerapan Budaya Organisasi Dampak Penerapan Budaya Organisasi Budaya organisasi melibatkan ekspektasi, nilai, dan sikap bersama, hal tersebut memberikan pengaruh pada individu, kelompok, dan proses organisasi (Ivancevich et.al., 2006:46). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak dari budaya terhadap karyawan menunjukkan bahwa budaya menyediakan dan mendorong suatu bentuk stabilitas. Terdapat perasaan stabilitas, selain perasaan identitas organisasi yang disediakan oleh budaya organisasi. Organisasi yang memiliki budaya yang kuat dicirikan oleh adanya karyawan yang memiliki nilai inti bersama. Semakin banyak karyawan yang berbagi dan menerima nilai inti, semakin kuat budaya, dan semakin besar pengaruhnya terhadap perilaku. Dalam suatu budaya yang kuat, nilai inti organisasi dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas. Semakin banyak anggota organisasi yang menerima nilai-nilai inti dan semakin besar komitmen mereka terhadap komitmen-komitmen tersebut, maka makin kuat budaya tersebut. Suatu budaya kuat akan mempunyai pengaruh yang besar pada perilaku-perilaku anggota organisasi karena tingginya tingkat kebersamaan dan intensitas menciptakan suatu iklim internal dari kendali perilaku yang tinggi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
42
3.1.2
Turnover Intention
3.1.2.1 Definisi Turnover Intention Turnover intention (intensi keluar) terdiri dari 2(dua) kata yaitu intensi dan turnover. Menurut Zeffane dalam Yuniar (2008), intensi adalah niat atau keinginan yang timbul pada individu untuk melakukan sesuatu. Sementara turnover adalah berhentinya seseorang karyawan dari tempatnya bekerja secara sukarela. Dengan demikian intensi turnover adalah kecenderungan
atau niat
karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya secara sukarela menurut pilihannya sendiri. Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya turnover, diantaranya adalah faktor eksternal, yakni pasar tenaga kerja, faktor institusi yakni kondisi ruang kerja, upah, keterampilan kerja dan supervisi, karakteristik personal karyawan seperti intelegensi, sikap, masa lalu, jenis kelamin, minat, umur dan lama kerja serta reaksi individu terhadap pekerjaannya. Robbins dalam Etnaningtiyas (2011) bahwa turnover merupakan suatu penarikan secara sukarela (voluntary) atau tidak sukarela (involuntary) dari suatu organisasi. Voluntary turnover disebabkan oleh dua faktor yaitu seberapa menarik pekerjaan yang ada saat ini serta tersedianya alternatif pekerjaan lain. Voluntary turnover itu sendiri dibedakan menjadi dua berdasarkan sifatnya, dapat dihindari (avoidable voluntary turnover) dan tidak dapat dihindari (unavoidable voluntary turnover). Avoidable voluntary turnover timbul karena alasan upah yang lebih baik, pimpinan, atau alternatif tempat kerja yang lebih baik. Sedangkan unavoidable voluntary turnover terjadi karena pindah ke kota lain mengikuti pasangannya, perubahan karier individu, ataupun karena kehamilan. Menurut
http://digilib.mercubuana.ac.id/
43
Weller et.al (2009), Voluntary turnover terjadi saat seorang karyawan memilih untuk meninggalkan organisasi dan sering juga digambarkan sebagai ketidakpuasannya terhadap pekerjaan meliputi proses dalam mencari pekerjaan dan harapannya untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Sebaliknya menurut Asworth (2006), involuntary turnover terjadi saat seorang karyawan sebenarnya tidak ingin meninggalkan organisasi atau yang sering terjadi misalnya dalam bentuk PHK kepada karyawan yang sifatnya uncontrollable bagi karyawan yang mengalaminya yang dilakukan oleh perusahaan, resrtukturisasi atau saat karyawan mencapai masa pensiunnya. Hal senada disampaikan juga oleh Abelson dalam Nugroho (2008) yang menyatakan bahwa sebagian besar karyawan yang meninggalkan organisasi karena alasan sukarela dapat dikategorikan atas perpindahan sukarela yang dapat dihindarkan (avoidable voluntary turnover) dan perpindahan kerja sukarela yang tidak dapat dihindarkan (unavoidable voluntary turnover). Avoidable voluntary turnover dapat disebabkan karena alasan berupa gaji, kondisi kerja, atasan atau adanya organisasi lain yang dirasakan lebih baik, sedangkan unavoidable voluntary turnover dapat disebabkan oleh perubahan jalur karir atau faktor keluarga. Mowday et,al. dalam Martin (2011) menyatakan bahwa intensi keluar adalah seberapa besar (kuat) kemungkinan (niat) seseorang atau individu karyawan ketika sedang mempertimbangkan pilihan atau alternatif pekerjaan lainnya karena ketidak-puasan terhadap situasi kerja saat ini.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
44
Mengacu pada beberapa definisi yang dikemukakan diatas maka dapat disimpulkan bahwa turnover intention adalah keinginan karyawan untuk berhenti dari keanggotaan suatu organisasi atau memutuskan hubungan dengan organisasi dimana ia menerima penghasilan. Keinginan berpindah mencerminkan keinginan individu untuk meninggalkan organisasi dan mencari alternatif pekerjaan lain. Saat karyawan berhenti bekerja dari organisasi, maka akan memberikan dampak terhadap tingkat produktivitas dan profit yang diterima oleh perusahaan dan juga menyangkut kerugian yang berkaitan dengan kehilangan kesempatan (lost of opportunities), losses due to territory dan pelayanan pelanggan yang buruk selama
pimpinan belum
menemukan pengganti
karyawan
yang pergi.
Konsekuensi selanjutnya adalah perusahaan harus merekrut dan melatih karyawan baru. Seiring dengan menurunnya produktivitas selama periode kekosongan posisi kerja, dampak lain yang timbul adalah meningkatnya stres yang dirasakan oleh karyawan lain yang harus mengambil alih peran dan tugas karyawan yang pergi tersebut. Merupakan hal yang penting bagi organisasi untuk mengerti alasan keluarnya karyawan meninggalkan organisasi. Penggantian karyawan atau keluar masuknya karyawan dari organisasi adalah suatu fenomena paling penting dalam kehidupan organisasi. Ada kalanya pergantian karyawan memiliki dampak positif. Namun sebagian besar keluar masuknya karyawan membawa pengaruh yang kurang baik terhadap organisasi, baik dari segi biaya maupun dari segi hilangnya waktu dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
45
3.1.2.2 Prediktor Turnover Intention Karyawan
Mueller dalam Yuniar (2008) mengemukakan ada beberapa aspek yang bisa menjadi prediktor turnover intention, yaitu: 1. Variabel kontekstual Menurut Eagly dan Chaiken (Mueller dalam Yuniar, 2008) permasalahan mengenai konteks adalah komponen yang penting dalam mempelajari perilaku. Faktor yang penting dalam permasalahan mengenai turnover adalah adanya alternatif pekerjaan lain yang tersedia di luar organisasi, alternatifalternatif yang tersedia di dalam organisasi dan bagaimana individu tersebut menerima nilai atau menghargai perubahan pekerjaan (perceived cost of job change). Menurut Mueller dalam Rissambessy (2009), Variabel kontekstual ini tercakup di dalamnya adalah: a. Alternatif-alternatif yang ada di luar organisasi (external alternatives). Adanya
kecenderungan karyawan untuk meninggalkan organisasi
dikarenakan adanya alternatif pekerjaan baru di luar organisasi. Sementara itu dari sisi individu, umumnya pembentuk turnover intention berdasarkan persepsi subyektif dari pasar tenaga kerja dan umumnya individu akan benar-benar melakukan perpindahan kerja jika persepsi yang dibentuk sesuai dengan kenyataan dan mereka merasa aman dengan pekerjaan yang baru. b. Alternatif-alternatif yang ada di dalam organisasi (internal alternatives) Adanya
alternatif
yang
timbul
dari
dalam
organisasi
dimana
kecenderungan karyawan melakukan turnover intention disebabkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
46
karyawan melihat ada organisasi yang memiliki peluang kerja yang sama dengan sebelumnya yang bisa membuat karyawan tersebut lebih baik dari organisasi sebelumnya. c. Harga atau nilai dari perubahan kerja (cost of job change) Individu meninggalkan organisasi seringkali dikarenakan tersedianya alternatif-alternatif yang mendorong mereka untuk keluar dari organisasi. Namun ada faktor lain yang
membuat individu memilih untuk tetap
bertahan, yakni faktor keterikatan. Individu yang merasa terikat dengan organisasi cenderung untuk tetap bertahap di organisasi. Keterikatan menunjukkan pada kesulitan yang dihadapi oleh individu untuk berpindah atau mengubah pekerjaan, meski ia mengetahui adanya alternatif yang lebih baik diluar. Salah satu faktor yang meningkatkan harga dari turnover intention
adalah asuransi
kesehatan dan
benefit yang didapat dari
organisasi (misal pensiun dan bonus-bonus). 1. Sikap Kerja (Work Attitudes) Model turnover umumnya menitikberatkan sikap karyawan terhadap pekerjaan dan organisasinya sebagai pemicu dari proses turnover (Mobley dalam Yuniar, 2008). Hampir semua model proses turnover dimulai dengan premis yang menyatakan bahwa keputusan untuk turnover dikarenakan oleh tingkat kepuasan kerja yang rendah dan komitmen organisasional yang rendah pula.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
47
Tercakup
sikap
kerja
diantaranya
adalah
(Mueller
dalam
Risambessy, 2009) : a. Kepuasan kerja Kepuasan kerja adalah sikap yang paling berpengaruh terhadap turnover intention. Hasil studi menunjukkan bahwa kepuasan kerja berkaitan erat dengan proses kognisi menarik diri, intensi untuk pergi dan tindakan nyata berupa turnover intention. b. Komitmen Organisasi Selain kepuasan dengan pekerjaan, komitmen seseorang terhadap organisasi merupakan salah satu alasan seseorang untuk tetap bertahan. Beberapa teori menempatkan komitmen organisasi sebagai faktor kuat yang menghambat terjadinya turnover intention dibanding faktor kepuasan. 2. Kejadian-kejadian kritis (Critical Events) Menurut Beachs (Mueller dalam Yuniar, 2008). Kebanyakan orang jarang memutuskan apakah mereka tetap bertahan di pekerjaan yang ada ataupun tidak dan tetap mempertahankan pekerjaan yang sama sebagai fungsi dari suatu pilihan dibanding suatu kebiasaan. Kejadian-kejadian kritis, memberikan kejutan yang cukup kuat bagi sistem kognitif individu untuk menilai ulang kembali situasi yang dihadapi dan melakukan tindakan nyata. Contoh dari kejadian-kejadian kritis diantaranya adalah perkawinan, peceraian, sakit atau kematian dari pasangan, kelahiran anak, kejadian yang berkaitan dengan pekerjaan seperti diabaikan dalam hal promosi,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
48
menerima tawaran yang lebih menjanjikan atau mendengar tentang kesempatan kerja yang lain. Semua kejadian-kejadian tersebut bisa meningkatkan atau menurunkan kecenderungan seseorang untuk turnover, karena setiap kejadian bisa disikapi secara berbeda antara individu yang satu dengan yang lain. Tercakup didalam kejadian-kejadian kritis (Mueller dalam Risambessy, 2009) adalah : a. Kejadian yang berulang (continuation events) b. Kejadian yang bersifat netral (neutral events) c. Kejadian yang tidak berulang (discontinuation events) Kejadian-kejadian ini merupakan anteseden dari proses penarikan diri dari organisasi (organizational withdrawl) yang diikuti oleh penarikan diri dari pekerjaan (work withdrawl) serta usaha mencari pekerjaan lain (search for alternatives) dan pada akhirnya diakhiri dengan keputusan keluar dari pekerjaan.
Organization
withdrawl
adalah
suatu
konstruk
yang
menjelaskan berbagai variasi perilaku yang berkaitan dengan proses penarikan diri yang merupakan subtitusi atau pertanda akan adanya keputusan melakukan turnover (Mueller dalam Yuniar, 2008). Menurut Sigma Assessment System (2007), terdapat beberapa faktor yang berkontribusi pada turnover intention karyawan, antara lain: a. Ekonomi Salah satu alasan yang sering diberikan untuk pindah pekerjaan adalah adanya pekerjaan yang bayarannya lebih tinggi. Adanya pekerjaan alternatif memainkan peranan penting dalam turnover.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
49
b. Kinerja Organisasi Organisasi yang dipersepsikan dalam keadaan kesulitan ekonomi akan meningkatkan kekhawatiran akan adanya pemberhentiansementara dalam waktu dekat. Karyawan meyakini bahwa mencari pekerjaan lain merupakan hal yang rasional. c. Budaya organisasi Sistem reward, kekuatan kepemimpinan, kemampuan perusahaan untuk
membangkitkan
perkembangannya
komitmen
berkaitan
dengan
pada
diri
karyawan,
tujuan
bersama,
dapat
mempengaruhi kepuasan kerja dan keinginan untuk pindah dan intensi turnover. d. Karakteristik pekerjaan Beberapa pekerjaan secara intrinsik lebih menarik dari yang lainnya. Kemenarikan pekerjaan dipengaruhi oleh berbagai karakteristik seperti keberulangannya, tantangannya, bahayanya, persepsi mengenai tingkat kepentingannya
dan
kapasitasnya
untuk
membangkitkan
rasa
kebanggaan. e. Harapan yang tidak realistis Harapan yang tidak realistis dan kurangnya pengetahuan terhadap pekerjaan ketika pelamar kerja menerima tawaran kerja. Ketika harapan yang tidak realistis ini tidak teralisasi, karyawan menjadi tersadar dari impiannya dan memutuskan untuk mundur.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
50
f. Demografis Studi empiris menunjukkan bahwa pada situasi tertentu turnover berkaitan dengan karakteristik demografis dan biografis pekerja. Mempertimbangkan faktor gaya hidup (seperti merokok) atau riwayat pekerjaan sebelumnya (seperti sering pindah pekerjaan) sebagai dasar eksplisit untuk menyeleksi kandidat sangatlah penting untuk diversifikasi secara empiris. g. Manusia Selain faktor yang sudah disebutkan sebelumnya, terdapat faktor spesifik yang dapat mempengaruhi intensi turnover. Hal-hal personal seperti perubahan pada situasi keluarga, keinginan untuk mempelajari keterampilan baru atau tawaran pekerjaan maupun faktor yang berkaitan dengan trait yang dapat diukur dan digunakan dalam seleksi kandidat untuk mengidentifikasi individu yang memiliki kemungkinan lebih rendah untuk berpindah. Hartono dalam Viklund (2009) berpendapat “Turnover intention ditandai oleh berbagai hal yang menyangkut perilaku karyawan, antara lain absensi yang meningkat, mulai malas bekerja, naiknya keberanian untuk melanggar tata tertib kerja, keberanian untuk menentang atau protes kepada atasan maupun keseriusan untuk menyelesaikan semua tanggung jawab karyawan yang sangat berbeda dari biasanya.” Indikasi-indikasi tersebut bisa digunakan sebagai acuan untuk memprediksi turnover intention karyawan dalam sebuah perusahaan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
51
a. Absensi yang meningkat Karyawan yang memiliki keinginan untuk melakukan pindah kerja, biasanya ditandai dengan absensi yang semakin meningkat. Tingkat tanggung jawab karyawan dalam fase ini sangat kurang dibandingkan dengan sebelumnya. b. Mulai malas bekerja Karyawan yang memiliki keinginan untuk melakukan pindah kerja akan lebih malas bekerja karena orientasi karyawan tersebut adalah bekerja di tempat lain yang dipandang lebih mampu memenuhi semua keinginan karyawan yang bersangkutan. c. Peningkatan terhadap pelanggaran tata tertib kerja Berbagai pelanggaran terhadap tata tertib dalam lingkungan pekerjaan sering dilakukan karyawan yang akan melakukan pengunduran diri. Karyawan lebih sering meninggalkan tempat kerja pada saat jam kerja maupun berbagai bentuk pelanggaran lainnya. d. Peningkatan protes terhadap atasan Karyawan yang memiliki keinginan untuk melakukan pindah kerja lebih sering melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan kepada atasan. Materi protes yang ditekankan biasanya berhubungan dengan balas jasa atau aturan lain yang tidak sependapat dengan keinginan karyawan. e. Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya Biasanya hal ini berlaku untuk karyawan yang karakteristik positif. Karyawan ini mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang dibebankan dan jika perilaku positif karyawan ini meningkat jauh dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
52
berbeda dari biasanya justru menunjukkan karyawan tersebut berindikasi akan melakukan pengunduran diri. 3.1.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Turnover Intention Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan sejumlah faktor yang mempengaruhi turnover intention tersebut, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Price dalam Suryani
(2011) mengemukakan teori kontingensi bahwa
efektivitas praktik sumber daya berkaitan dengan lingkungan, individual dan faktor organisasi. Faktor lingkungan, seperti kesempatan kerja(job opportunity) dan tanggung jawab keluarga(kinship responsibility), faktor individual, seperti; training umum(general training), keterlibatan kerja(job investment), faktor positif dan negatif yang mempengaruhi(positive and negative affectivity), serta faktor organisasi, seperti; otonomi(autonomy), keadilan (justice), stress kerja (job stress), remunerasi (remuneration), kesempatan promosi (promotion chances), pekerjaan yang berulang-ulang(repeatitiveness of work), dan dukungan sosial (social support). Wanous dalam Suryani (2011) menyatakan ada 2(dua) faktor yang mempengaruhi timbulnya intensi turnover, yaitu: 1. Individual Differences a. Gender. Dari segi gender ditemukan bahwa wanita lebih cenderung untuk melakukan turnover dibanding dengan pria. b. Race. Parsons dalam Mobley dalam Suryani (2011) menyatakan bahwa karyawan perusahaan yang kulit hitam lebih banyak mengalami turnover dibandingkan dengan karyawan kulit putih.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
53
c. Age. Karyawan yang muda memilki kemungkinan yang tinggi untuk meninggalkan perusahaan. Hal ini dikarenakan karyawan yang lebih muda mungkin mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mendapatkan pekerjaan yang baru yang memiliki tanggung jawab kekeluargaan yang lebih kecil, sehingga dengan demikian lebih mempermudah mobilitas pekerjaan. d. Education. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Parsons dan Mobley, dalam Suryani (2011) individu yang berpendidikan tinggi cenderung untuk melakukan turnover dibandingkan individu yang berpendidikan rendah. 2. Organizational Characteristics a. Pay level. Turnover berada pada jalur tingkat tertinggi di dalam industri-industri yang menggaji karyawannya lebih rendah. Armknecht dan Early dalam Suryani (2011) menyatakan faktor penting dalam menentukan berbagai variasi antar industri dalam hal turnover adalah tingkat pendapatan yang ada dalam indsutri tersebut. b. Existence of training program. Dengan adanya program training maka diharapkan kemampuan yang dimiliki oleh karyawan akan semakin meningkat dengan demikian karyawan akan diberikan kesempatan untuk mengembangkan karirnya dalam organisasi. Kesempatan untuk mengembangkan karir ini akan menurunkan keinginan karyawan untuk keluar dari organisasi tersebut.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
54
c. Length
of
training
program.
Salah
satu
strategi
untuk
mensosialisasikan budaya perusahaan kepada karyawan adalah melalui training. Melalui lamanya jangka waktu pengadaan training diharapkan karyawan akan semakin memahami dan menerima budaya dari perusahaan. Dengan kata lain karyawan akan merasa puas terhadap keberadaan perusahaan dan keinginan untuk meninggalkan perusahaan pun akan semakin kecil. 3.1.2.4 Pengukuran Turnover Intention Penelitian menurut Mobley et,al dalam Yuniar (2008), turnover intention diartikan sebagai keinginan atau kecenderungan individu untuk meninggalkan pekerjaan untuk mencari pekerjaan di organisasi lain. Turnover yang dibahas dalam penelitian ini adalah konteks model sukarela (voluntary turnover). Variabel turnover intention diukur menggunakan tiga indikator yang menggali informasi mengenai keinginan responden untuk mencari pekerjaan lain. Mobley et,al. merumuskan
tahapan-tahapan
kognitif
yang
dialami
individu
sebelum
meninggalkan pekerjaannya. Indikator pengukuran tersebut terdiri atas: 1. Thinking of quit (memikirkan untuk keluar): mencerminkan individu yang mulai berpikiran untuk keluar dari pekerjaan. 2. Intention to search another job (pencarian pekerjaan): mencerminkan individu berkeinginan untuk mencari alternatif pekerjaan di perusahaan lain. 3. Intention to quit (niat untuk keluar): mencerminkan individu yang berniat untuk keluar dari pekerjaannya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
55
Gambar 3.3 Tahapan-tahapan Kognitif
Sumber: Mobley et,al. dalam Mulyapradana (2012)
Model Mobley et, al. pada Gambar 3.3 menjelaskan bahwa proses turnover dimulai sejalan dengan meningkatnya ketidakpuasan dari karyawan tersebut terhadap pekerjaannya, sehingga pilihan untuk berhenti dari pekerjaan juga meningkat. Model tersebut menunjukkan bahwa tahapan kognitif dimulai pada saat individu mulai berpikir untuk berhenti dari pekerjaannya. Hal ini melibatkan penilaian antara hal-hal yang diharapkan dari pekerjaannya yang baru dengan harga yang harus dibayar jika meninggalkan pekerjaannya sekarang. Selanjutnya apabila individu menemukan bahwa terdapat peluang untuk mendapatkan alternatif pekerjaan lain yang lebih memuaskan, maka pencarian untuk pekerjaan baru akan dimulai (intention to search). Hal ini melibatkan penilaian karyawan terhadap pendapat atau tidaknya diterimanya hasil pekerjaan tersebut. Jika sesuatu atau beberapa alternatif pekerjaan lain telah ditemukan, maka alternatif-alternatif tersebut akan dibandingkan dengan pekerjaan saat ini. Selanjutnya, apabila alternatif pekerjaan telah ditemukan, tahapan kognitif karyawan akan berlanjut pada tahap ketiga yaitu intensi karyawan tersebut untuk meninggalkan pekerjaan (intention to quit).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
56
Penjelasan
lain
dapat
dikatakan
bahwa
intensi
karyawan
untuk
meninggalkan pekerjaannya adalah kelanjutan dari dua tahapan kognitif yang mendahuluinya yaitu berpikir untuk berhenti dari pekerjaannya dan intensi untuk mencari pekerjaan lain. Ketika individu memiliki intensi untuk meninggalkan pekerjaannya, maka individu tersebut akan mengambil kesimpulan untuk tetap bertahan atau meninggalkan pekerjaannya. Selanjutnya, apabila keputusan yang diambil individu adalah meninggalkan pekerjaannya, maka terjadilah apa yang dikatakan turnover sukarela yang sebenarnya. Mowday et, al. dalam Sunarso dalam Novliadi (2007), gejala turnover dalam suatu perusahaan dapat diukur secara langsung dengan menghitung indeks laju turnover secara kuantitatif dan dinyatakan dalam persentase berdasarkan jangka waktu tertentu. Dalam hal ini harus dibedakan turnover yang dilakukan secara sukarela dan turnover karena suatu sebab. Beberapa cara pengukuran tingkat turnover tersebut adalah: a. Rata-rata masa kerja, adalah jumlah masa kerja tiap karyawan dibagi jumlah Karyawan. b. Tingkat pertambahan, adalah jumlah karyawan baru pada satu periode dibagi rata-rata jumlah karyawan pada periode tersebut. c. Tingkat pemisahan diri, adalah jumlah karyawan yang memisahkan diri dari perusahaan untuk satu periode dibagi rata-rata karyawan pada periode tersebut.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
57
d. Tingkat stabilitas, adalah jumlah karyawan yang tetap menjadi anggota perusahaan itu dari awal hingga akhir satu periode dibagi jumlah karyawan pada awal periode tersebut. e. Tingkat ketidakstabilan, adalah banyaknya karyawan yang keluar dari perusahaan itu dari awal hingga satu periode dibagi jumlah karyawan pada awal periode tersebut. f. Tingkat ketahanan, adalah jumlah karyawan baru yang tetap menjadi karyawan dalam satu periode dibagi jumlah karyawan baru. g. Tingkat kehilangan, adalah jumlah karyawan baru yang keluar dalam satu periode dibagi jumlah karyawan baru. Intensi menurut Fishbein dan Ajzen dalam Novliadi (2007) merupakan variabel terdekat dengan perilaku nyata yang akan dilakukan seseorang. Presthold dan Sunarso dalam Novliadi (2007) menyatakan bahwa intensi keperilakuan yang dimiliki seseorang untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan perilaku tertentu merupakan determinan awal dari perilaku sebenarnya. Berdasarkan pendapat ini maka para pakar kemudian berasumsi bahwa perilaku seseorang dapat diprediksi dari intensinya. Pengukuran intensi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Fishbein dan Ajzen dalam Novliadi (2007) menyodorkan pendekatan pengukuran intensi secara langsung melalui pertanyaan yang diajukan secara langsung kepada individu apakah ia akan melakukan suatu perilaku tertentu atau tidak, bertitik tolak dari penilaian tunggal yaitu: ya – tidak atau mau – tidak mau. Sebaliknya, pengukuran intensi secara tidak langsung dapat dilakukan dengan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
58
menggunakan skala yang bertitik tolak pada model pilihan jawaban dari sangat sesuai sampai sangat tidak sesuai terhadap perilaku tertentu. Pengukuran intensi secara langsung menekankan pada isi intensi atau spontanitas
keinginan
untuk
melakukan
suatu
perilaku
tertentu
tanpa
memperhatikan proses yang mendahului terbentuknya intensi itu sendiri. Sebaliknya pengukuran intensi secara tidak langsung berdasarkan pada model kerangka konseptual pembentukan perilaku, yaitu bahwa intensi merupakan fungsi dari dua determinan utama: sikap pribadi terhadap perilaku yang akan dilakukan (attitude toward the behavior) dan persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku termaksud (subjective norm). Sikap pribadi terhadap perilaku yang akan dilakukan mengarah pada kecenderungan yang muncul dari dalam diri individu. Sebaliknya norma subjektif merefleksikan pengaruh dan tekanan dari lingkungan sosial yang melingkupi individu. Berdasarkan pengertian ini maka dapat dikatakan bahwa individu akan berniat untuk melakukan suatu perilaku jika ia menganggap perilaku tersebut positif, serta jika ia percaya bahwa orang-orang disekitarnya berpandangan bahwa perilaku tersebut sudah semestinya dilakukan. Dari penjelasan ini kemudian diasumsikan bahwa semakin favorable sikap pribadi dan norma subjektif seseorang terhadap perilaku turnover, maka semakin tinggi intensinya untuk mewujudkan perilaku positif terhadap turnover, dan semakin rendah intensinya untuk melaksanakan perilaku negatif terhadap turnover, Fishbein dan Ajzen dalam Novliadi (2007).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
59
Pengukuran intensi turnover akan menghasilkan suatu ukuran yang menunjukkan seberapa kuat intensi seseorang untuk keluar dari perusahaan tempatnya bekerja. Sesuai dengan pendapat Fishbein dan Ajzen dalam Novliadi (2007) bahwa intensi merupakan prediktor tunggal terbaik bagi perilaku yang akan dilakukan oleh seseorang, maka penelitian tentang intensi turnover akan merupakan prediktor terbaik terhadap perilaku turnover. Perhitungan turnover rate dapat dinyatakan dengan rumusan sebagai berikut: Turnover rate
=
Jumlah karyawan keluar
x 100%
Jumlah total karyawan
Sebagai contoh, suatu perusahaan memiliki rata-rata 800 tenaga kerja per bulan, dimana selama itu terjadi 16 kali karyawan keluar, maka accession rate/turnover rate adalah 16/800 x 100% = 2% per bulan. Dengan demikian, tingkat replacement (penggantian adalah sama dengan accession rate yakni sebesar 2%. Turnover membawa dampak kurang baik bagi organisasi dan merupakan petunjuk ketidakstabilan karyawan. Turnover yang tinggi pada suatu bidang dalam suatu organisasi menunjukkan bahwa bidang yang bersangkutan perlu diperbaiki kondisi kerjanya atau cara pembinaannya. Semakin tinggi turnover, berarti semakin sering terjadi pergantian karyawan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
60
3.1.3
Karakter Kepribadian
3.1.3.1 Definisi Kepribadian Feist dan Feist (2008:6) mendeskripsikan kepribadian (personality) adalah sebuah pola dari sifat yang relatif permanen dan karakteristik unik, dimana memberikan konsistensi dan individualitas bagi perilaku seseorang. Sifat (trait) menunjukan perbedaan individual dalam berperilaku, perilaku yang konsistensi sepanjang waktu dan stabilitas perilaku dalam berbagai situasi. Pervin, et al. (2005:6) mendefinisikan kepribadian adalah karakteristik seseorang yang mana perasaan, pikiran dan perilaku yang cenderung menetap. Trait juga didefinisikan sebagai bentuk yang secara konsisten dimiliki individu baik tindakan, perasaan, maupun pikiran. Kepribadian menurut McCrae dan Costa (dalam Cloninger, 2009) mendefinisikan kepribadian sebagai penyebab yang ada dalam diri individu yang kemudian muncul dalam bentuk perilaku dan pengalaman. Trait juga didefinisikan sebagai karakteristik yang bervariasi dari masing-masing individu yang menyebabkan individu tersebut berperilaku secara konsisten. Berdasarkan beberapa definisi diatas mengenai kepribadian maka penulis menyimpulkan bahwa trait kepribadian merupakan suatu hal yang membedakan individu yang satu dengan individu yang lain dalam berperilaku, berpikir dan merasakan berbagai situasi, yang relatif menetap dan konsisten serta memiliki keunikan yang khas.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
61
3.1.3.2 Big Five Personality Big Five personality merupakan pendekatan dalam psikologi kepribadian yang mengelompokan kepribadian dengan menggunakan analisis faktor. Tokoh pelopornya Allport dan Odbert pada tahun 1930, kemudian dilanjutkan oleh Cattell pada tahun 1940 dan oleh Tupes, Christal dan Norman pada tahun 1960, selanjutnya Costa dan McCrae pada akhir tahun 1970 dan awal 1980 (dalam Feist dan Feist, 2009:134). Kepribadian Big Five adalah pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah dimensi kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor. Lima dimensi trait kepribadian tersebut adalah openness to experiences, conscientiousness, extroversion, agreeableness dan neuroticism (Friedman, et,al. 2008:305). Big five personality merupakan pedekatan yang diilustrasikan dalam sebuah taksonomi yang komprehensif dari domain perilaku interpersonal yang menghasilkan dimensi berlawanan. Big five personality atau yang juga disebut dengan Five Factor Model oleh Costa dan McRae (dalam Friedman, et al. 2008) dibuat berdasarkan pendekatan yang lebih sederhana. Berdasarkan penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Big Five personality merupakan kepribadian yang tersusun dari 5(lima) buah domain kepribadian yaitu orang-orang yang terbuka pada pengalaman (openness to experience), tekun, rajin, penuh dedikasi dan perhatian (conscientiousness); ekstraversi (extraversion), kemampuan untuk bersepakat (agreeableness); dan stabilitas emosional (neuroticism).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
62
3.1.3.3 Dimensi dalam Big Five Personality Teori Kepribadian Big Five merupakan salah satu pendekatan dalam psikologi untuk melihat dan mengukur struktur kepribadian manusia, dimana pendekatan trait tersebut melihat kepribadian melalui lima tipe. Berikut penjelasan karakteristik kelima tipe trait dalam pendekatan Big Five (Costa & McCrae dalam Cloninger, 2009) : 1. Extraversion (E) Individu dengan skor tinggi pada faktor Extraversion(E) cenderung penuh dengan kasih sayang, periang, banyak bicara, suka berkumpul dan menyukai kesenangan. Selain itu, individu tersebut akan mengingat seluruh interaksi sosial, berinteraksi dengan lebih banyak orang jika dibandingkan individu yang
memiliki
skor
(E)
rendah.
Extraversion
dicirikan
dengan
kecenderungan yang positif seperti memiliki antusiasme tinggi, mudah bergaul, energik, tertarik dengan banyak hal, mempunyai emosi positif, ambisius, workaholic serta ramah terhadap orang lain. Extraversion juga memiliki motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama serta dominan dalam lingkungannya. Sebaliknya, individu dengan tingkat extraversion rendah lebih menyukai untuk berdiam diri, tenang, penyendiri, pasif dan kekurangan kemampuan untuk mengungkapkan perasaan. 2.
Agreeableness (A) Faktor Agreeableness (A) membedakan antara individu yang berhati lembut dengan yang tak mengenal belas kasihan. Individu dengan skor yang lebih
http://digilib.mercubuana.ac.id/
63
mengarah pada faktor ini memiliki kecenderungan untuk memiliki kepercayaan yang penuh, dermawan, suka mengalah, penerima, dan baik hati. Faktor ini juga disebut dengan social adaptibility atau likability, yaitu mencirikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah dan menghindari konflik. Sedangkan pada individu dengan tingkat Agreeableness yang rendah, suka mencurigai, kikir, tidak ramah, mudah tersinggung, cenderung untuk lebih agresif dan mengkritik orang lain serta kurang kooperatif. 3. Conscientiousness (C) Conscientiouness digambarkan dengan individu yang patuh, terkontrol, teratur, ambisius, berfokus pada pencapaian dan disiplin diri. Faktor ini dapat juga disebut dengan dependability, impulse control dan will to achive. Secara umum, individu yang memiliki skor tinggi pada faktor ini adalah pekerja keras, cermat, tepat waktu dan tekun. Sebaliknya, pada individu yang berskor rendah dalam faktor ini cenderung tidak teratur, lalai, pemalas dan tidak memiliki tujuan serta mudah menyerah ketika menemui kesulitan dalam tugas-tugasnya. 4. Neuroticism (N) Individu dengan skor tinggi pada faktor Neuroticism (N), memiliki kecenderungan untuk mengalami kecemasan, temperamental, mengasihani diri sendiri, sadar diri, emosional dan rentan terhadap gangguan stress. Seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang rendah akan lebih gembira dan puas terhadap hidup jika dibandingkan yang memiliki tingkat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
64
neuroticism tinggi, sedangkan individu dengan skor yang rendah pada N, biasanya tenang, bertemperamental datar, puas akan diri sendiri dan tidak emosional. 5. Openness to experiences (O) Faktor Openness to experiences (O) membedakan antara individu yang memilih variasi dibandingkan dengan individu yang menutup diri serta individu yang mendapatkan kenyamanan dalam hubungan mereka dengan hal-hal dan orang-orang yang mereka kenal. Individu yang terus menerus mencari perbedaan dan pengalaman yang bervariasi akan memiliki skor tinggi pada faktor (O). Openness mengacu pada bagaimana individu tersebut bersedia untuk melakukan penyesuaian terhadap suatu situasi dan ide yang baru. Individu tersebut memiliki ciri mudah bertoleransi, memiliki kapasitas dalam menyerap informasi, fokus dan mampu untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas. Pada individu dengan tingkat openness yang rendah digambarkan sebagai pribadi yang berpikiran sempit, konservatif dan tidak menyukai adanya perubahan.
3.1.4
Employee Engagement Employee Engagement merupakan salah satu aspek penting yang harus diperhatikan dalam suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan konsep Employee Engagement mampu memberikan kontribusi postitif dalam pencapaian tujuan bisnis perusahaan. Beberapa penelitian menyebutkan karyawan yang engaged lebih produktif dalam hal kinerja, memberikan layanan yang terbaik bagi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
65
pelanggannya, lebih rajin atau meminimalisasi ketidakhadiran dan lebih loyal kepada perusahaan dibandingkan dengan karyawan yang disengaged. Peran penting Employee Engagement sangat membantu perusahaan dalam mencapai keunggulan kompetitif diantara pesaingnya. Dengan demikian, untuk memberikan pemahaman yang tepat terhadap konsep Employee Engagement, berikut ini akan dijelaskan dalam uraian dibawah ini. 3.1.4.1 Definisi Employee Engagement Istilah employee engagement digunakan pertama kali oleh kelompok peneliti Gallup di tahun 1990an (Buckingham dan Coffman dalam Schaufeli dan Bakker, 2010). Sedangkan Kreitner dan Kinicki (2010) menyatakan,
employee
engagement adalah keterkaitan, kepuasan dan antusiasme seseorang terhadap pekerjaannya. Menurut Konsep-konsep engagement yang dikemukakan oleh beberapa peneliti dan akademisi, antara lain (Schaufeli dan Bakker, 2010) : Development Dimensions International (2004), engagement memiliki tiga dimensi : (1) kognitif, percaya serta mendukung tujuan dan nilainilai organisasi; (2) afektif, rasa memiliki, kebanggaan dan keterikatan dengan organisasi; (3) perilaku/individual value, kemauan untuk bekerja keras dan keinginan untuk tinggal di dalam organisasinya. Hewitt (2011), karyawan yang terikat secara konsisten menunjukkan tiga perilaku umum (say, stay dan strive), yaitu (1) konsisten berbicara hal-hal positif tentang organisasi kepada bawahan, calon karyawan dan pelanggan; (2) memiliki keinginan untuk menjadi bagian dari organisasi, meskipun memiliki kesempatan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
66
untuk bekerja di tempat lain; (3) memanfaatkan kelebihan waktu, tenaga dan ide/inisiatif untuk berkontribusi terhadap keberhasilan organisasi.
Gambar 3.4 Engagement Model Sumber: Hewitt (2011)
Mercer (2011) : employee engagement disebut juga komitmen atau motivasi, merujuk pada kondisi psikologis karyawan yang memiliki perhatian terhadap kesuksesan organisasinya dan menunjukkan hasil kinerja lebih tinggi dari yang dipersyaratkan. Selain itu pendapat lain terkait definisi employee engagement (dalam Beverly dan Little, 2006), antara lain : Robinson, et al. (2004), engagement adalah suatu perilaku positif yang ditunjukkan oleh seorang karyawan terhadap perusahaan dan nilai-nilai perusahaan. Seorang karyawan yang engaged akan peduli terhadap kelangsungan hidup perusahaan, meningkatkan kinerjanya dan pada akhirnya dapat memberikan manfaat bagi perusahaan. Keterikatan secara fisik diartikan karyawan yang terlibat di dalam tugas-tugas, baik secara individu atau dalam sebuah tim.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
67
Keterikatan secara kognitif yaitu karyawan yang memiliki perhatian lebih pada tugas dan perannya di lingkungan pekerjaan. Keterikatan secara emosional ditunjukkan dengan karyawan mampu membangun hubungan, berempati dan perhatian terhadap perasaan karyawan lainnya. Menurut Konrad (2006), dikutip dalam Margaretha dan Saragih (2008) employee engagement memiliki tiga aspek, yaitu : -
Aspek Kognitif yang berkaitan dengan keyakinan yang dimiliki oleh karyawan terhadap organisasi, pemimpin, serta lingkungan kerjanya.
-
Aspek Emosional berhubungan dengan apa yang dirasakan oleh karyawan terhadap tiga aspek ini, serta sikapnya (positif maupun negatif) terhadap organisasi dan pemimpinnya.
-
Aspek Perilaku sebagai komponen penambah nilai bagi organisasi dan upaya yang diberikan karyawan pada pekerjaannya yang bersifat sukarela. Dari beberapa konsep yang telah dijelaskan diatas, dapat diketahui bahwa
intisari dari engagement, yaitu (Schaufeli dan Bakker, 2010) : Adanya komitmen organisasi, khususnya komitmen yang afektif (keterikatan secara emosional terhadap organisasi) dan komitmen yang berkelanjutan (bersedia untuk tinggal/berada dalam organisasi). Perilaku karyawan yang melebihi perannya (perilaku diskresioner untuk mengefektifkan fungsi organisasi). Meskipun istilah keterikatan karyawan dan keterikatan kerja seringkali digunakan bergantian, namun keterikatan kerja dianggap lebih spesifik. Keterikatan kerja merujuk pada hubungan antara karyawan dengan pekerjaannya, sedangkan keterikatan karyawan terkait hubungan karyawan dengan organisasi (Schaufeli
http://digilib.mercubuana.ac.id/
68
dan Bakker, 2010). Keterikatan kerja menurut Schaufeli et,al. (2002) dalam Schaufeli dan Bakker (2010), diartikan sebagai hal yang positif, memenuhi dan dalam bekerja memiliki karakteristik yang ditandai dengan adanya vigor (semangat), dedication (dedikasi) dan absorption (penyerapan). Karakteristik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Vigor, merupakan karakter karyawan yang memiliki energi tinggi, memiliki kemauan bekerja, tidak mudah lelah dan mampu menghadapi kesulitankesulitan. b. Dedication, karakter karyawan yang memiliki keterkaitan yang kuat dengan pekerjaannya, antusias, menginspirasi dan memiliki kebanggaan serta menyukai tantangan. c. Absorption, merupakan karakter karyawan yang menikmati pekerjaannya, berkonsentrasi penuh dalam bekerja dan tidak terpisahkan dengan pekerjaannya, serta merasa waktu cepat berlalu saat bekerja.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
69
Gambar 3.5 Karakteristik dan perilaku karyawan yang terikat Sumber : Hockey & Ley (2008)
Dari penjabaran di atas, diketahui bahwa keterikatan (engagement) memerlukan perilaku yang bersemangat (vigor), pengabdian/dedikasi (dedication) dan berinisiatif (absorption). Keterikatan setiap dimensi yang dirasakan oleh karyawan akan mendorong terciptanya keterikatan personal. Nantinya keterikatan personal inilah yang dapat mendorong terciptanya employee engagement (Kahn dalam Margaretha dan Saragih, 2008). Employee engagement (Vazirani, 2007) berada di tingkatan komitmen dan keterlibatan karyawan di dalam organisasi,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
70
serta nilai-nilai yang dianut. Karyawan yang terikat (engaged) sadar akan proses bisnis organisasi dan bekerja sama dengan rekan kerjanya untuk meningkatkan kinerja dan berkontribusi terhadap organisasi. Sedangkan organisasi berkewajiban untuk mengembangkan dan memelihara keterikatan (engagement), yang memerlukan hubungan dua arah antara organisasi dan karyawannya (Vazirani, 2007). 3.1.4.2 Tipe Employee Engagement Menurut Vazirani (2007), terdapat tiga aspek dasar terkait dengan employee engagement, yaitu karyawan dan aspek psikologis yang terbentuk dalam diri karyawan, serta pengalaman-pengalaman yang dimiliki. Para pemimpin dan kemampuannya dalam menciptakan kondisi untuk mendorong munculnya employee engagement. Interaksi di antara para karyawan pada setiap tingkatan/jenjang. Hal tersebut menjadi tanggung jawab besar bagi organisasi dalam menciptakan lingkungan dan budaya kondusif, terkait dengan hubungan kerja dan perlakuan yang adil. Terkait dengan employee engagement, menurut penelitian Gallup dalam Vazirani (2007), terdapat tiga tipe karyawan, yaitu: -
Engaged: karyawan yang terikat merupakan sang pembangun, yang ingin mengetahui harapan organisasi terhadap perannya, sehingga berusaha untuk memenuhi harapan tersebut. Karyawan yang engaged menunjukkan kinerja tinggi secara konsisten, memanfaatkan talenta dan kelebihannya pada saat bekerja, serta mendorong terciptanya inovasi-inovasi.
-
Not
Engaged:
merupakan
tipe
karyawan
yang
lebih
cenderung
berkonsentrasi pada tugas-tugas daripada tujuan dan hasil yang diharapkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
71
dapat tercapai. Karyawan tipe ini cenderung merasa diabaikan dan kelebihan mereka kurang diperhatikan. Hal tersebut biasanya terjadi karena karyawan tidak memiliki hubungan yang produktif dengan pemimpin maupun rekan kerjanya. -
Actively Disengaged: karyawan tipe ini, selalu berusaha menunjukkan ketidak senangannya disetiap kesempatan dan tidak menyukai pencapaian yang dilakukan oleh rekan kerjanya. Karyawan seperti ini dapat melemahkan fungsi organisasi.
3.1.4.3 Faktor-faktor Pembentuk Employee Engagement Menurut McBain (2007) dalam Margaretha dan Saragih (2008), umumnya ada 3(tiga) faktor utama dalam terciptanya employee engagement, yaitu : -
Organisasi Hal-hal yang menjadi faktor terciptanya employee engagement adalah visi dan nilai yang dianut, budaya organisasi dan brand organisasi. Budaya organisasi yang dimaksud adalah budaya organisasi yang memiliki keterbukaan dan sikap suportif, serta komunikasi yang baik antara rekan kerja (McBain, 2007 dalam Margaretha dan Saragih, 2008). Adanya keadilan dan kepercayaan sebagai nilai organisasi akan memberikan dampak positif dalam terciptanya employee engagement.
-
Manajemen dan Kepemimpinan Engagement dibangun melalui proses dan membutuhkan waktu yang panjang, serta komitmen yang tinggi dari para pemimpin. Oleh karena itu, diperlukan konsistensi pemimpin dalam hal mentoring karyawan (Paradise,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
72
2008 dalam Margaretha dan Saragih, 2008). Adapun keterampilan yang sebaiknya
dimiliki
oleh
pemimpin
dalam
menciptakan
employee
engagement, yaitu teknik komunikasi, teknik memberikan feedback dan teknik penilaian kinerja (McBain, 2007 dalam Margaretha dan Saragih, 2008). -
Working Life Kondisi lingkungan kerja yang nyaman, dapat menjadi pemicu terciptanya employee engagement. Beberapa kondisi lingkungan kerja yang diharapkan dapat mendorong terciptanya employee engagement, yaitu: a. Lingkungan kerja yang memiliki keadilan distributif dan prosedural. Karyawan yang berpersepsi memperoleh keadilan tersebut akan berlaku adil pada organisasi, dengan cara membangun ikatan emosi yang mendalam pada organisasi (McBain, 2007 dalam Margaretha dan Saragih, 2008).
Gambar 3.6 Faktor-faktor Pembentuk Employee Engagement Sumber : Hockey & Ley (2008)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
73
b. Lingkungan kerja yang melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan. Hal ini akan mempengaruhi karyawan secara psikologis dan menganggap dirinya berharga bagi organisasi. c. Organisasi yang memperhatikan keseimbangan kehidupan kerja dan keluarga karyawan. 3.1.4.4 Dampak Employee Engagement Karyawan yang memiliki tingkat engagement tinggi akan memiliki keterikatan emosi yang tinggi terhadap organisasi. Keterikatan emosi yang tinggi akan mempengaruhi karyawan dalam menyelesaikan pekerjaannya dan cenderung memiliki kualitas kerja yang memuaskan (Schaufeli & Bakker, 2004 dalam Margaretha dan Saragih, 2008). Menurut Paradise (2008) dalam Margaretha dan Saragih (2008), employee engagement secara positif membentuk kualitas tim kerja yang efektif. Employee engagement dapat mempengaruhi kinerja organisasi ketika employee engagement lebih dahulu memberikan pengaruh positif bagi karyawan. Karyawan yang terikat akan termotivasi untuk meningkatkan produktifitasnya, mau menerima tantangan dan merasa pekerjaannya memberi makna bagi dirinya. Pengalaman tersebut akan berpengaruh bagi kinerja karyawan dan juga memberikan dampak positif di tingkat organisasi, yaitu produktivitas dan pertumbuhan organisasi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa employee engagement dapat memberikan perubahan bagi individu, tim dan organisasi (Margaretha dan Saragih, 2008).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
74
3.2
Penelitian Terdahulu Tabel 3.2 Penelitian terdahulu
No 1.
Nama Pengarang/ Tahun C. Widjaja, et al. (2015)
2.
Sibiya, Mandu, et al. (2014)
3.
Nusatria, Sandi; Suharnomo (2011)
Judul Penelitian
Alat Ukur & Metode
Pengaruh employee engagement terhadap kepuasan kerja dan turn over intention di swissbelinn surabaya
Structural Equation Modelling (SEM)
The prediction of turnover intention by means of employee engagement and demographic variables in a telecommunications organisation Employee Engagement : Anteseden dan Konsekuensi Studi pada Unit CS PT. Telkom Indonesia Semarang
Multiple regression analysis
Multiple regression analysis
Hasil Hasil penelitian ini membuktikan bahwa employee engagement berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja dan negatif dan signifikan terhadap turnover intention, sedangkan kepuasan kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap turnover intention. Hasil penelitian menunjukkan bahwa employee engagement berpengaruh negatif signifikan terhadap turnover intention.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa employee engagement berpengaruh negatif terhadap intention to quit. Variabel employee engagement sebenarnya memiliki pengaruh negatif terhadap intention to quit, hanya saja tingkat signifikansinya sangat rendah. Keinginan keluar dari organisasi disebabkan adanya rasa tidak nyaman lagi dalam organisasi.
(… Tabel Lanjutan)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
75
(… Tabel Lanjutan) No 4.
5.
6.
Nama Pengarang/ Tahun Aldhuwaihi, Abdullah (2013)
Leisanyane, et. al (2013)
Kadiman; Indriana TL, Dian (2012)
Judul Penelitian The Influence of Organisational Culture on Job Satisfaction, Organisational Commiment and Turnover Itention: A Study on the Banking Sector in the Kingdom of Saudi Arabia
Alat Ukur & Metode Multiple regression analysis
Hasil Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasi memediasi hubungan antara tiga jenis budaya organisasi (klan, adhokrasi dan hirarki) dan turnover intention dalam bank di Saudi Arabia.
The Influence of Multiple Organisational regression Culture and Job analysis Satisfaction on Intentions to Leave: The Case of Clay Brick Manufacturing Company in Lesotho
Pengaruh Budaya Organisasi, Komitmen Organisasi, dan Kepuasan Kerja terhadap Turnover Intention Karyawan (Studi Kasus pada PT. Nyonya Meneer Semarang)
Multiple Regression Analysis
Ada korelasi negatif dan signifikan antara kepuasan kerja dan turnover intentions, dan semua ciri-ciri budaya dan keinginan berpindah. Budaya (stabilitas dan fleksibilitas) melalui faktor demografi dan kepuasan kerja memiliki pengaruh signifikan, dan pengaruh fleksibilitas budaya menjadi tidak signifikan dalam analisis regresi, pengaruh stabilitas budaya tetap kuat di kedua korelasi dan analisis regresi. Budaya organisasi mempunyai pengaruh negatif signifikan terhadap turnover intention. Komitmen organisasi mempunyai pengaruh negatif signifikan terhadap turnover intention. Kepuasan kerja mempunyai pengaruh negatif signifikan terhadap turnover intention.
(… Tabel Lanjutan)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
76
(… Tabel Lanjutan) No 7.
Nama Pengarang/ Tahun Green, Amy E; Miller, Elizabeth A.; Aarons, Gregory A. (2013)
8.
Ahmad, Aminah; Omar, Zoharah (2013)
9.
Gama, Fransisco C. (2012)
10
Nordin, Husna Zahira (2012)
Judul Penelitian
Alat Ukur & Metode
Hasil
Transformational Leadership Moderates the Relationship Between Emotional Exhaustion and Turnover Intention Among Community Mental Health Providers
Multiple Regression Analysis
Emotional exhaustion berpengaruh positif pada turnover intention, dan transformational leadership berpengaruh negatif terhadap emotional exhaustion and turnover intention. Transformational leadership berhubungan moderasi antara emotional exhaustion dan turnover intention.
Informal Workplace Family Support and Turnover Intention: Testing a Mediation Model
Structural Equation Modelling (SEM)
Dukungan informal keluarga di tempat kerja merupakan sumber daya potensial untuk mengurangi turnover karyawan dan bahwa konflik kerja-keluarga dan stres pekerjaan memainkan peran mediasi penting dalam dukungan ini-hubungan turnover.
Pengaruh Budaya Organisasi, Peluang Karir, dan Sistem Kompensasi terhadap Komitmen Organisasi dan Dampaknya terhadap Turnover Intention: Sebuah Studi terhadap Karyawan di Dili Institute of Technology
Multiple Regression Analysis
Budaya organisasi berpengaruh positif signifikan terhadap turnover intention. Peluang karir berpengaruh positif signifikan terhadap turnover intention. Sistem kompensasi berpengaruh positif signifikan terhadap turnover intention.
The Influence of Personality Type on Organizational Stress and Turnover Intention
Multiple Regression Analysis
Organizational Stress berhubungan positif signifikan dengan turnover intention. Individu dengan karakter conscientiousness, openness to experience dan extraversion akan sedikit yang mengalami organizational stress dan turnover intention
(… Tabel Lanjutan)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
77
(… Tabel Lanjutan) No 11.
Nama Pengarang/ Tahun Judeh, Mahfuz (2012)
12.
Mayende, Sifuna T, Musenze, Abaasi (2014)
13.
Singh, Akhilendra, et.al (2014)
14.
Takawira, Ndayiziveyi, et.al (2014)
15.
Widjaja C, Deborah, et.al. (2015)
Judul Penelitian
Alat Ukur & Metode
Hasil
Selected Personality Multiple Traits and Intent to Regression Leave: A Field Study Analysis in Insurance Corporations
Dimensi dalam Big Five yaitu Conscientiousness dan Extraversion memiliki hubungan negatif terhadap intensi untuk keluar. Pengaruh signifikan yang mempengaruhi niat keluar berdasarkan jenis kelamin & usia dan tidak ada pengaruh berdasarkan status pernikahan.
Personality Dimensions and Job Turnover Intentions: Findings from a University Context
Structural Equation Modelling (SEM) dengan AMOS.
Temuan menunjukkan bahwa selain stabilitas emosional (neuroticsm), empat dimensi kepribadian lainnya (openess to experiences, conscientiousness, extraversion, dan agreeableness) berpengaruh positif dan signifikan terhadap keinginan berpindah kerja pada karyawan Busoga University di Uganda.
Personality Traits and Turnover Intention amongFront Level Managerial Personnel
Multiple Regression Analysis
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik kecerdasan emosional dan conscientiousness berpengaruh negatif signifikan terhadap niat untuk keluar.
Job embeddedness, work engagement and turnover intention of staff in a higher education institution: An exploratory study
Multiple Regression Analysis
Pengaruh employee engagement terhadap kepuasan kerja dan turn over intention di swissbelinn Surabaya
Structural Equation Modelling (SEM) dengan AMOS
Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi antara job embeddedness, work engagement dan turnover intention. Organizational link dan dedication berpengaruh negatif signifikan terhadap turnover intention. Employee engagement berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja dan negatif dan signifikan terhadap turnover intention, sedangkan kepuasan kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap turnover intention
http://digilib.mercubuana.ac.id/
78
3.3
Rerangka Pemikiran Agar tercipta suatu pemahaman yang utuh dan tepat terhadap penelitian yang mengkaji tentang budaya organisasi, karakter kepribadian dan employee engagement terhadap turnover intention maka penulis menuangkan dalam bentuk model pada karya akhir ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa budaya organisasi, karakter kepribadian dan employee engagement terhadap turnover intention mempunyai hubungan yang erat. Sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Budaya Organisasi (X1) - Budaya Klan - Budaya Adhokrasi - Budaya Market - Budaya Hierarki
H1
Karakter Kepribadian (X2) - Extraversion - Agreeableness - Conscientiousness - Neuroticism - Openness to Experience Employee Engagement (X3) - Vigor - Dedication - Absorption
H2
Turnover Intention (Y) - Pikiran-pikiran untuk berhenti - Keinginan untuk mencari alternatif pekerjaan lain - Keinginan untuk meninggalkan pekerjaan
H3
H4 Gambar 3.7 Rerangka Penelitian
http://digilib.mercubuana.ac.id/
79
Dalam penelitian ini akan diungkapkan 4(empat) variabel yang terdiri dari 3(tiga) variabel bebas (independen variabel) dan 1(satu) variabel terikat (dependen variabel). Variabel-variabel tersebut antara lain:
Variabel bebas (independen): Budaya Organisasi (X1), Karakter Kepribadian (X2), Employee Engagement (X3).
3.4
Variabel terikat (dependen): Turnover Intention (Y)
Hipotesis Di bawah ini akan diuraikan hubungan antar variabel yang menghasilkan 3(tiga) hipotesis untuk kemudian akan dilakukan pengujian hipotesis untuk membuktikan apakah terdapat hubungan atau pengaruh antara variabel-variabel tersebut.
3.4.1
Hubungan Budaya Organisasi dan Turnover Intention Setiap individu yang memasuki suatu organisasi kerja membawa sejumlah harapan dalam dirinya, misalnya tentang upah, status, pekerjaan, lingkungan sosial dan pengembangan dirinya. Disamping karakteristik individu, harapanharapan tersebut juga dipengaruhi oleh informasi tentang perusahaan itu dan pilihan kesempatan kerja yang ada pada saat itu. Informasi tentang perusahaan berupa karakteristik perusahaan tersebut. Karakteristik sebuah perusahaan dapat dilihat dari budaya perusahaan yang ada. Budaya perusahaan seperti yang telah dikemukakan di atas merupakan suatu sistem nilai yang dikembangkan dari pola kebiasaan, yang melalui proses sosialisasi terbentuk aturan yang digunakan sebagai pedoman berpikir dan bertindak dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. Individu yang dapat menerima budaya perusahaannya akan bertahan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
80
di perusahaan tersebut karena mempunyai kesamaan nilai-nilai dan tujuan organisasi atau perusahaannya. Robbins (2008) menyatakan bahwa budaya perusahaan yang kuat memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku karyawan dan secara langsung mengurangi turnover. Dalam budaya yang kuat, nilai-nilai utama sebuah organisasi atau perusahaan sangat dipegang teguh dan tertanam pada seluruh karyawannya. Semakin banyak karyawan yang menerima nilai-nilai tersebut dan semakin besar komitmen terhadapnya maka semakin kuat budaya perusahaan itu. Budaya yang kuat ini akan membentuk kohesivitas, kesetiaan dan komitmen terhadap perusahaan pada para karyawannya yang pada akhirnya akan mengurangi keinginan karyawan untuk meninggalkan organisasi atau perusahaan, jadi dapat dikatakan terdapat hubungan negatif antara budaya perusahaan dengan intensi turnover. H1 : Diduga budaya organisasi berpengaruh terhadap turnover intention. 3.4.2
Hubungan Karakter Kepribadian dan Turnover Intention Pada beberapa tahun terakhir ini, 5(lima) model faktor dari kepribadian Big Five telah menjadi alat penguji kepribadian yang digunakan secara luas di seluruh dunia. Salah satu dari kelima faktor tersebut ialah Openness to Experience yang menunjukkan pada kecenderungan individu dapat melakukan penyesuaian diri terhadap sesuatu yang telah di yakini sejak awal, baik keyakinan yang benar maupun yang salah terhadap sesuatu, perilaku yang mengarahkan kepada terbuka terhadap tipe baru dari informasi maupun ide-ide (John dalam Dowd dan McElroy, 2007). Selain itu, diantara ciri-ciri kepribadian yang banyak diukur,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
81
Conscientiousness adalah yang paling penting, pengukuran Conscientiousness dalam bidang industri dapat memprediksi prestasi kerja seseorang (Schmidt et al., dalam Goldberg et,al., 2005) dan bermacam-macam perilaku yang akan datang, seperti dapat menyesuaikan diri dengan fungsi sosial yang berlaku. Kalnbach dan Griffin (2002) menyatakan bahwa individu yang memiliki skor yang rendah pada Conscientiousness dan tinggi dalam Openness to Experience akan meninggalkan organisasi tanpa mencari alternatif pekerjaan lain terlebih dahulu dari pada individu yang tinggi dalam skor Conscientiousness dan rendah dalam Openness to Experience. Level Conscientiousness yang rendah termasuk di dalamnya tidak berpikir dahulu sebelum mengambil keputusan yang berhubungan dengan pekerjaan dan kurangnya motivasi dalam bekerja sehingga menampilkan kinerja yang mengecewakan dan tinggi dalam Openness to Experience termasuk di dalamnya menyukai sesuatu yang baru dan lebih menantang akan meninggalkan organisasi tanpa mencari alternatif pekerjaan lain. H2 : Diduga karakter kepribadian berpengaruh terhadap turnover intention. 3.4.3
Hubungan Employee Engagement dan Turnover Intention Mengingat investasi perusahaan dalam pelatihan, seleksi dan promosi karyawan, manager jauh lebih tertarik pada faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kegigihan dan retensi karyawan dan komitmen yang memang penting sebagai prediktor turnover dan perilaku (Meyer et,al., 2002). Dalam penelitian Harris dan Cameron (2005:166) juga menunjukkan hasil pentingnya unsur-unsur afektif baik identifikasi dan komitmen untuk memprediksi turnover intention. Karyawan yang engaged merasa dihargai dan akan sejalan dengan norma-norma
http://digilib.mercubuana.ac.id/
82
perusahaan, mereka merasakan kedekatan dan kenyamanan dengan kelompok kerja mereka sehingga mempengaruhi produktivitas, kehadiran dan perputaran (Dickson dan Donna, 2011:24). Studi lebih lanjut Kingsley menyatakan bahwa 91% karyawan yang diidentifikasi memiliki tingkat engagement yang tinggi berharap akan tetap terikat dengan perusahaan mereka saat ini dalam 12 bulan. Hal ini dibandingkan dengan hanya 53% dari karyawan dengan tingkat engagement yang rendah (Kingsley and Associates, 2008). Implikasi yang jelas adalah organisasi-organisasi yang dapat mengidentifikasi tingkat engagement saat ini kemudian dapat mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan employee engagement dan dapat berdampak positif pada garis utama perusahaan melalui pengurangan turnover (Philips dan Deborah, 2005:45). Dari penelitian tersebut membuktikan bahwa tingkat turnover intention tinggi jika dalam sebuah perusahaan memiliki sejumlah karyawan yang memiliki rasa engaged yang rendah. Sebaliknya, tingkat turnover intention rendah apabila karyawannya memiliki perasaan engaged yang tinggi terhadap perusahaan. H3 : Diduga employee engagement berpengaruh terhadap turnover intention. 3.4.4
Hubungan Budaya Organisasi, Karakter Kepribadian dan Employee Engagement terhadap Turnover Intention Penelitian yang dilakukan oleh Kadiman (2012) menghasilkan bahwa Budaya organisasi mempunyai pengaruh negatif signifikan terhadap turnover intention. Komitmen organisasi mempunyai pengaruh negatif signifikan terhadap turnover intention. Sedangkan penelitian oleh Pratiwi (2013) yang meneliti hubungan tipe kepribadian terhadap turnover intention pada karyawan bagian
http://digilib.mercubuana.ac.id/
83
sales consumer loan di PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk. Bandung. Dari penelitian tersebut dihasilkan bahwa hanya sedikit besar pengaruh variabel turnover intention yang ditentukan oleh tipe kepribadian. Selain itu Widjaja et,al. (2015) melakukan penelitian pada sampel populasi karyawan di Swiss Belinn, Surabaya. Penelitian tersebut menghasilkan bahwa jika karyawan memiliki engagement yang tinggi dengan perusahaan, maka akan semakin cenderung bertahan dalam perusahaan dan tidak memiliki keinginan untuk berpindah atau keluar dari perusahaan. Sebaliknya jika engagement karyawan rendah atau menurun, maka turnover intention di perusahaan akan cenderung meningkat. H4 : Diduga budaya organisasi, karakter kepribadian dan employee engagement berpengaruh terhadap turnover intention.
http://digilib.mercubuana.ac.id/