55
4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1
Sejarah Kawasan Mangrove Muara Angke Jakarta Hutan mangrove Muara Angke adalah bagian dari kawasan hutan
mangrove (bakau) Tegal Alur-Angke Kapuk di pantai utara Jakarta yang termasuk wilayah Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Pada tahun 1977, Menteri Pertanian dengan Keputusan Nomor 16/Um/6/1977 tanggal 10 Juni 1977 menetapkan kembali peruntukan kawasan hutan Angke Kapuk sebagai: a.
Hutan Lindung, 5 km sepanjang pantai dengan lebar 100 m
b.
Cagar Alam Muara Angke
c.
Hutan Wisata
d.
Kebun Pembibitan Kehutanan
e.
Lapangan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI). Pembangunan Kawasan Angke-Kapuk digagas oleh Pemerintah DKI,
Jakarta sesuai arahan RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) DKI 1965-1985, bertujuan untuk mengembangkan areal tambak dan “eks-hutan” Angke-Kapuk yang terbengkalai, untuk perumahan dan fungsi perkotaan lainnya. Keinginan ini mendapat tanggapan dari kelompok usaha PT. Metropolitan Kencana, sebagaimana tertuang dalam surat perusahaan tersebut kepada Direktur Jenderal Kehutanan, selaku pihak yang memiliki kewenangan legal-formal atas kawasan itu, No. 652/MK/V/81 tertanggal 22 Mei 1981. Menanggapi surat di atas, Direktur Jenderal Kehutanan dalam suratnya No. 2755/DJ/I/1981 tertanggal 27 Juli 1981 memberikan penjelasan tentang status pengelolaan kawasan dimaksud dan kemungkinan bagi PT. Metropolitan Kencana untuk berpartisipasi dalam pengembangannya. Beberapa butir penting isi surat dimaksud adalah sebagai berikut: 1) Wilayah tanah hutan Angke-Kapuk seluas 1.144 ha berada di bawah pengelolaan Dinas Kehutanan DKI Jakarta (berdasarkan Piagam Kerjasama antara Pemda DKI Jakarta dengan Departemen Pertanian cq Direktorat Jenderal Kehutanan yang ditandatangani tanggal 24 Juni 1977, dan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah). Tujuan kerjasama dimaksud adalah
56
untuk mengelola, memanfaatkan, dan membina kawasan hutan seluas 1.144 ha yang terletak di kelurahan Kapuk Muara, dan Kamal Muara. 2) Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 161/Kpts/Um/6/1977 tanggal 10 Juni 1977, ditetapkan kembali fungsi kawasan hutan Tegal Alur, Angke Kapuk, dan Cagar Alam Muara Angke, sebagai berikut: a) b) c) d) e)
Sebagai hutan lindung, 5 km sepanjang pantai selebar 100 meter Sebagai Cagar Alam Muara Angke Sebagai Hutan Wisata Sebagai Kebun Pembibitan Sebagai “lapangan dengan tujuan istimewa (LDTI)”. Selanjutnya, disebutkan pula dalam Piagam Kerjasama itu bahwa Pemda
DKI Jakarta dapat bekerjasama dengan pihak lain, dalam pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan tanah kawasan hutan tersebut di atas. Pada surat No. 842/A/K/BKD/78 tanggal 25 Mei 1978, Gubernur DKI Jakarta mengajukan permohonan kepada Presiden RI melalui Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara (PAN), agar tanah bekas kawasan hutan Angke Kapuk secara formil dihapuskan sebagai kawasan hutan dan menyerahkan hak pengelolaannya kepada Pemda DKI Jakarta, dengan alasan: a) Pada kenyataannya, kawasan hutan di wilayah Angke Kapuk tidak lagi berfungsi (sebagai hutan) b) Peruntukannya tidak sesuai dengan RUTR DKI Jakarta (1965-1985) c) Kesulitan pemerintah dalam penyediaan tanah untuk pembangunan rumah murah. Menanggapi surat di atas, Menteri Negara PAN memprakarsai pertemuan yang dihadiri oleh para Pejabat Pemda DKI, Sekretaris Menteri Negara PAN dan Direktorat Jenderal Kehutanan, dengan menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: a.
Penyelesaian masalah hutan Angke Kapuk berpegang pada Program Kerjasama antara Departemen Pertanian c.q Direktorat Jenderal Kehutanan dengan Pemda DKI Jakarta tanggal 24 Juni 1977. Untuk merealisir Program Kerjasama tersebut, akan: 1) Segera disusun Feasibilitas Study (FS) oleh Pemda DKI Jakarta/Perumnas 2) Diadakan pembicaraan kembali antara Departemen Pertanian, Pemda DKI Jakarta dan Perumnas, setelah ada FS, untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya
57
3) Membalas surat Dirjen Kehutanan No.2755/DJ/I/1981, Pemrakarsa dengan surat No.929/MK/VII/81 tanggal 28 Juli 1981 menyampaikan antara lain tidak perlu dirubahnya 25 ha Cagar Alam, 100 ha Hutan Wisata dan 50 ha Perumahan Nelayan.
Sedangkan sisa lahan (dari 1.150 ha), akan
dimanfaatkan untuk berbagai fungsi perkotaan (hunian, komersial, prasarana/sarana, dll) 4) Menanggapi
usulan
No.26/DJ/I/1982
di
tanggal
atas, 5
Dirjen
Januari
Kehutanan
1982
pada
menyampaikan
suratnya bahwa,
Pemrakarsa dinilai mampu melaksanakan proyek Pengembangan Kawasan Hutan Angke Kapuk dan diminta dapat bekerjasama dengan Pemda DKI Jakarta 5) Melalui suratnya No.352/MK/III/82 tanggal 17 Maret 1982, Pemrakarsa mengajukan kerjasama dengan Pemda DKI. Selanjutnya wakil Gubernur Bidang I, atas nama Gubernur DKI, melalui surat No.04280/VI/1982 tanggal 19 Juni 1982 menyampaikan persetujuan kerjasama dengan Pemrakarsa 6) Menindaklanjuti berbagai kesepakatan atau persetujuan prinsip yang telah dicapai, kemudian disusun atau ditandatangani: a. Perjanjian tukar-menukar sebagian tanah kawasan Hutan Angke-Kapuk di Wilayah DKI Jakarta, antara Menteri Kehutanan RI dengan Direktur/Komisaris PT. Mandara Permai (subsider PT. Metropolitan Kencana Group), ditandatangani di Jakarta tanggal 14 Juni 1984. Isi perjanjian ini antara lain: pengaturan perbandingan luas dan lokasi lahan pengganti (DKI Jakarta atau di Bogor, Tanggerang, dan Bekasi yang disetujui oleh Pihak Menteri Kehutanan RI) b. Perjanjian kerjasama pembangunan pengembangan tanah Kawasan Hutan Angke-Kapuk di DKI Jakarta. Isi dari perjanjian tersebut antara lain: c. Peruntukan lahan: 50% dari luas kawasan hutan (581,24 ha) dapat dikembangkan d. Kewajiban pihak PT. Mandara Permai untuk membayar biaya penyediaan prasarana (sebagai presentase dari luas yang akan
58
dikembangkan 831,63 ha) yang menghubungkan kawasan dengan areal luarnya, sementara biaya pembangunan prasarana di dalam tapak, seluruhnya menjadi beban dan tanggung jawab pihak PT. Mandara Permai e. Berita acara serah terima penyerahan biaya prasarana sebagaimana diatur dalam butir 2 f. Berita acara serah terima tukar/menukar sebagian tanah kawasan Angke-Kapuk dan tanah penggantinya, dalam berita acara ini antara lain disebutkan: 1. Dua bidang tanah (luas seluruhnya 39 ha), terletak di Pulau Penjaliran Barat dan Pulau Penjaliran Timur, Kecamatan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara 2. Tiga bidang tanah (luas 75 ha) terletak di Kampung Sawah dan Cipinang, Desa Rumpin, Kecamatan Rumping, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 3. Satu bidang tanah (luas 350 ha), terletak di Kecamatan Nagrek, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat 4. Sepuluh bidang tanah (luas 1.190 ha), terletak di Kecamatan Sukanagara dan Campaka, Kabupaten Cianjur Jawa Barat. 7) Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 097/Kpts-II/88 tanggal 29 Februari 1988 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Angke-Kapuk seluas 831,63 ha di DKI Jakarta 8) Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 463/Kpts-II/88 tanggal 24 September 1988 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Angke-Kapuk seluas yang dipergunakan untuk perkampungan nelayan dan pendaratan ikan di Delta Muara Angke seluas 56 ha dan penunjukan areal tambak perikanan aset Pemda DKI Jakarta seluas 52 ha sebagai Kawasan Hutan. Selanjutnya kedua areal di atas akan dimanfaatkan dan dikembangkan oleh PT. Mandara Permai. Berkaitan dengan adanya pembangunan permukiman di kawasan ini, maka pada tahun 1984 Departemen Kehutanan melakukan pengukuran dan pemancangan batas ulang yang antara lain menghasilkan kawasan hutan yang tetap dikuasai oleh Pemerintah, yaitu seluas 322,6 ha terdiri dari:
59
a. b. c. d. e. f. g.
Hutan Lindung Cagar Alam Muara Angke Hutan Wisata Kebun Pembibitan Kehutanan Cengkareng Drain Jalur Transmisi PLN Jalan Tol dan Jalur Hijau
: : : : : : :
49,25 ha 21,45 ha 91,45 ha 10,47 ha 29,05 ha 29,90 ha 91,37 ha
Hasil pengukuran dan penataan batas ulang tersebut kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 097/Kpts-II/1988 tanggal 29 Pebruari 1988 yang menetapkan bahwa kawasan hutan yang dipertahankan adalah seluas 335,50 ha terdiri atas: a. b. c. d. e. f. g.
Hutan Lindung Cagar Alam Muara Angke Hutan Wisata Kebun Pembibitan Kehutanan Cengkareng Drain Jalur Transmisi PLN Jalan Tol dan Jalur Hijau
: 50,80 ha : 25,00 ha : 101,60 ha : 10,47 ha : 28,36 ha : 25,90 ha : 91,37 ha
Berdasarkan hasil tata batas di lapangan dan Berita Acara Tata Batas yang ditandatangani pada tanggal 25 Juli 1994 oleh Panitia Tata Batas yang diangkat dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Ibukota Jakarta Nomor 924 tahun 1989, diketahui bahwa hutan yang dipertahankan adalah seluas 327,70 ha. Sehubungan dengan itu, Menteri Kehutanan menetapkan kembali peruntukan dan fungsi kelompok Hutan Angke Kapuk sebagai: a. b. c. d.
Hutan Lindung : 44,76 ha Hutan Wisata : 99,82 ha Cagar Alam Muara Angke : 25,02 ha Hutan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI): 1) Kebun Pembibitan : 10,51 ha 2) Transmisi PLN : 23,07 ha 3) Cengkareng Drain : 28,93 ha 4) Jalan tol dan Jalur Hijau : 95,50 ha Cagar Alam Muara Angke dikukuhkan sebagai Suaka Margasatwa
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 097/KptsII/98, dengan luas areal 25,02 ha. Batas kawasan hutan mangrove Muara Angke adalah di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Timur dengan Sungai Angke (S. Angke) dan Perkampungan Nelayan Muara Angke, sebelah
60
Selatan dengan areal pertambakan dan Sungai Kamal, dan di sebelah Barat dengan Jalan Tol Prof.Sedyatmo dan kawasan Industri Tegal Alur.
4.2
Kondisi Fisik
4.2.1
Letak dan Batas Geografis Kawasan Muara Angke terletak di pantai utara Pulau Jawa dan secara
geografis kawasan ini terletak di antara 6o 05` - 6o 10` Lintang Selatan serta antara 106o 43` -106o 48` Bujur Timur. Berdasarkan administrasi pemerintahan terletak di dalam dua kelurahan, yaitu Kelurahan Kamal Muara dan Kelurahan Kapuk Muara. Di bagian utara dibatasi Laut Jawa, bagian selatan berbatasan dengan PT. Mandara Permai, bagian Timur berbatasan dengan Sungai Angke dan perkampungan dan bagian Barat berbatasan dengan Sungai Kamal (Gambar 7).
Gambar 7 Lokasi kawasan hutan Muara Angke DKI Jakarta (Sumber: Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta 2011). 4.2.2
Geologi dan Tanah
Van Bemmelen (1949) dalam Suwijanto (1977) membagi daerah Jawa Barat menjadi lima jalur fisiografi. Jalur dataran pantai Jakarta yang terbentang
61
dari Serang sampai Cirebon mencapai lebar sekitar 50 km, ditempati oleh endapan-endapan alluvium, sungai, pantai, dan aliran lahar dari gunung api di daerah tanah burit. Sebelah selatan ditempati oleh jalur perbukitan dari jalur Bogor, terdiri dari lapisan-lapisan batuan sedimen tersier yang terlipat. Penyebaran dapat diikuti mulai dari sekitar Jasinga, ke arah timur mulai daerah Purwakarta, Majalengka sampai sekitar Bumiayu. Penyebaran jalur Bogor ditunjukkan pula oleh arah jurus struktur perlipatan yang berbentuk antiklinorium dan batuan yang ditempatinya. Daerah utara Jawa Barat merupakan cekungan sedimentasi pada akhir Masa Mesozoikum yang dibatasi oleh punggung Geantiklin di sebelah selatan dan paparan yang mantap di sebelah utara. Bentuk cekungan tidak merata, terdiri dari punggungan di antaranya yang disebabkan oleh permukaan daratan pratersier yang dikontrol struktur sesar. Menurut Suwijanto (1977), Berdasarkan bentuk, ekspresi topografi serta batuan penyusun, dataran Jakarta-Bogor dapat digolongkan menjadi satuan morfologi, antara lain: a. Dataran Pantai Berdasarkan panyebaran pematang pantai di sekitar Jakarta, garis pantai tua semula terdapat disekitar 5-10 km dari garis pantai sekarang yang ditunjukkan oleh deret pematang pantai yang melalui Pegadungan, Cengkareng, Kali Angke di sebelah Barat dan Kemayoran, Warung Jengkol, Cakung sampai Ujung Menteng di sebelah timur. Bila dilihat penyebarannya umumnya dapat dilihat bahwa endapan pematang pantai sebagian besar terdapat di sebelah timur daratan delta (Verstappen 1953 dalam Suwijanto 1977). Daerah Jakarta dibatasi oleh dua sungai besar, yaitu Cisadane di sebelah Barat dan Citarum di sebelah Timur. Kedua sungai tersebut sangat aktif dalam mengangkut sedimen dalam alirannya dan mengendapkannya dalam bentuk delta. Perkembangan kedua delta menyebabkan bentuk cekung dari teluk Jakarta (Suwijanto 1977).
62
b. Kipas Gunung Api Bogor Dataran antara Bogor, Tanggerang, dan Cikarang merupakan daerah berbentuk kipas dengan Bogor sebagai puncaknya. Daerah ini merupakan tumpukan rempah-rempah gunung api berupa debu gunung api, tufa, komlongmerat, dan breksi yang sebagian besar sudah mengalami pelapukan yang kuat (Suwijanto 1977). Garis lurus yang menghubungkan antara Bogor-Jakarta kurang lebih merupakan poros dari kipas gunung api dengan kimiringan kurang dari 1 o dengan ketinggian 450 meter di atas muka laut. Di bagian selatan, kipas gunung api Bogor berawal dari hulu lembah Cisadane antara Gunung Salak dan Pangrango, menyebar ke utara melalui celah perbukitan tersier jalur Bogor antara Citeurep dan leuwiliang. Daerah tinggi dari jalur Bogor muncul sebagai pulau-pulau dalam dataran ini seperti yang ditunjukkan oleh Gunung Paok, Gunung Bubut, Gunung Tapos dan sebagainya.
c. Daerah perbukitan bergelombang Daerah perbukitan dari Jalur Bogor memisahkan dataran pantai dengan jajaran gunung api. Dari utara relief meninggi secara berangsur karena bagian utara dari jalur Bogor umumnya terdiri dari batuan lunak. Arah memanjang dari perbukitan umumnya searah dengan arah jurus struktur perlapisan dari batuan keras dengan lembah di antaranya seperti terlihat di sekitar Citeureup dan Purwakarta. Arah ini sesuai dengan arah jurus struktur perlipatan dari jalur Bogor yang berarah barat-timur. Di sekitar daerah Banten di sebelah barat, jurus struktur membelok ke arah utara-selatan. Sungai-sungai yang mengalir pada daerah ini umumnya berawal dari komplek gunung api di bagian selatan, mengalir sepanjang daerah cekungan antar gunung api ke utara. Sampai di daerah jalur Bogor arah alirannya seringkali dikontrol oleh struktur dengan membuat kelokan tajam. Bahan rombakan dari daerah yang dilalui diangkut dalam alirannya dan dari sungai-sungai inilah dataran pantai Utara Jawa terbentuk.
d. Kelompok Gunung Api Muda Secara Geologis, Jakarta berkedudukan pada wilayah dataran kipas alluvial, dataran sungai, dataran banjir, dataran wara, dan dataran pantai.
63
Kedudukan Jakarta juga dipengaruhi oleh kondisi geomorfologi wilayah yang lebih luas yang meliputi Gunung Pangrango, Gunung Gede, dan Gunung Salak di wilayah Bogor. Batuan yang membentuk wilayah atas dan Jakarta terdiri dari batuan hasil kegiatan vulkanik tersier yang bersifat agak keras dan permeabel sehingga kurang permeabel serta endapan berbagai dataran alluvial Jakarta yang terdiri batuan yang tidak terkonsolidasi sampai terkonsilidasi yang dapat bersifat cair, plastis sampai kenyal agak keras. Batuan yang terkonsolidasi dan keras meliputi batuan gamping, batu pasir, batu lempung yang berumur tersier yang merupakan batuan dasar yang dalam. Secara umum morfologi daerah gunung api muda dicirikan oleh bentuk kerucut dengan alasnya yang membalut. Sungai yang mengalir pada badan gunung api menyebar membentuk pola aliran radial yang khas. Relief bervariasi tergantung derajat erosi yang berlangsung yang menunjukan umur relatif dari pembentukannya (Suwijanto 1977). Urutan stratigrafi daerah Jawa Barat bagian utara disusun berdasarkan singkapan batuan pada jalur Bogor yang berumur antara Miosen sampai Resen. Batuan terdiri dari sedimen klastik seperti konglomerat, batu pasir, lempung, napal, pada beberapa tempat berupa batu gamping terumbu. Pada akhir Neogen aktivitas vulkanis berlangsung intensif dengan diendapkannya material tersebut hampir sepanjang jalur ini yang berlangsung sampai sekarang (Suwijanto 1977), yang terdiri atas: (a) Endapan Neogen. Batuan sedimen tersier tertua di daerah Jawa Utara hanya diketahui dari sumur pemboran oleh Pertamina di daerah Jatibarang yang ditemukan sebagai batuan perangkap minyak bumi yang selanjutnya disebut sebagai formasi Jatibarang. Batuan penyusun terdiri dari tufa, andesit porfir, basalt, dan lempung merah dari endapan vulkanis yang mengisi bagian-bagian rendah dari permukaan daratan Pratersier (Suwijanto 1977). (b) Endapan Kwarter. Stratigrafi Kwarter di Indonesia paling tidak diketahui secara pasti. Batas dengan Neogen pada umumnya didasarkan pada fosil vertebrata yang ditemukan di dalam batuan yang pada umumnya sangat jarang.
64
Secara umum tatanan stratigrafi daerah Teluk Jakarta dan sekitarnya berkaitan dengan cekungan sedimen tersier di Jawa Barat yang terdiri dari 3 (tiga) mandala sedimentasi, yaitu Mandala Paparan Benua, Mandala Sedimentasi Cekungan Bogor, dan Mandala Sedimentasi Banten. Mandala Paparan Benua dicirikan oleh endapan paparan, berupa batu pasir kuarsa, batu gamping, dan batu lempung yang terendapkan di laut dangkal. Mandala Sedimentasi Cekungan Bogor dicirikan oleh endapan aliran gravitasi yang terdiri dari komponen batuan andesitan hingga basalan, tufa, dan batu gamping. Mandala ini meliputi Zona Bandung, Bogor, dan Pegunungan Selatan. Mandala Sedimentasi Banten, pada Miosen Awal endapan sedimennya menyerupai endapan Cekungan Bogor, sedangkan pada Akhir Tersier menyerupai endapan Benua. Pembentukan Teluk Jakarta sangat dipengaruhi oleh pengaruh proses terbentuknya endapan delta dan interdelta secara bersama-sama. Bentuk teluk Jakarta yang unik di sebabkan oleh perbedaaan kecepatan proses pengendapan bahan-bahan endapan yang dibawa oleh sungai-sungai yang bermuara di teluk Jakarta. Sungai Cisadane yang terletak di bagian Barat dan Sungai Citarum yang terletak di bagian Timur. Keduanya mengendapkan bahan-bahan yang jauh lebih banyak dari pada sungai-sungai yang mengalir di bagian tengah dataran itu sendiri, sehingga kecepatan perubahan garis pantai berkembang tidak selaras, dan teluk Jakarta seolah-olah berbentuk busur. Berdasarkan peta geologi lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu, geologi wilayah pantai dan lepas pantai perairan Teluk Jakarta dan sekitarnya tersusun oleh (Tim Teluk Jakarta 1996): (a)
Aluvium yang terdiri dari lempung, pasir, kerikil dan bongkahan. Endapan tersebut merupakan endapan pantai sekarang, endapan sungai, dan rawa
(b)
Endapan pematang pantai terdiri dari pasir halus hingga kasar, warna kelabu tua, dan terpilah bagus. Berdasarkan kenampakan morfologi dan batuan penyusunnya, diduga satuan ini terbentuk karena endapan angin yang membentuk onggokan pasir (sand dune).
65
Kawasan Muara angke terletak di pesisir utara Pulau Jawa yang termasuk dataran pantai yang penyebarannya umumya dapat dilihat pada endapan pematang pantai yang sebagian besar terdapat di sebelah timur dataran delta. PT. Mandara Permai (1994), pada umumnya bagian Utara dataran rendah DKI Jakarta merupakan rawa hutan mangrove (bakau). Bahkan sampai tahun 1956, baru sebagian kecil wilayah ini dibuka sebagai pertambakan. Setahap demi setahap, bagian Selatan dataran ini berubah menjadi rawa dengan tumbuhan yang hidup pada perairan yang berair lebih tawar. Kemudian sungai-sungai bagian Selatan berevolusi menjadi dataran rendah yang lebih tinggi karena memperoleh tambahan sedimen. Semakin ke Barat Daya, ketinggian dataran pantai semakin tinggi. Di bagian Selatan, tinggi pematang pantai ini dapat mencapai 5 meter, semakin ke Barat Laut tingginya hanya mencapai 2 meter. Elevasi daerah Jakarta pada umumnya dan daerah Kapuk serta dataran pantai pada khususnya, kurang dari 5 meter. Khusus untuk daerah Kapuk, selain terdapat saluran-saluran untuk pengairan pertambakan terutama dari arah laut, sungai-sungai yang ada dari arah Timur ke Barat meliputi Angke, Cengkareng Drain, Kamal, dan Dadap. Di Barat Daya Kamal terdapat bekas pulau karang yang sekarang telah berada pada sekitar 500 m dari garis pantai dan tertutup sedimen setelah melalui proses penyambungan dengan dataran pantai (tombol) terlebih dulu. Pada tepi pantai yang masih ditutupi mangrove, bagian depan (fore shore) pantai berupa rataan (mud flat) dengan lebar sekitar 100 m, bagian atasnya berupa lumpur lunak dengan tebal mencapai 1 meter. Di bagian belakang (back shore) rawa mangrove terdapat tanggul-tanggul untuk pertambakan.
e.
Perubahan Garis Pantai Pada mulanya daratan pantai Kapuk selalu berkembang ke arah laut
dengan laju sekitar 1 meter per tahun yang dipacu oleh adanya hutan mangrove yang lebat karena perakarannya dapat mengurangi terjadinya erosi dan memacu sedimentasi. Lebatnya mangrove juga lebih memungkinkan tersebarnya tunas baru. Sejak tahun 1980, perubahan garis pantai mulai berbalik arah dengan kecenderungan abrasi pantai. Pada tahun 1980, tepi Barat muara Sungai Angke
66
dibangun break water sepanjang 200 m dengan maksud menjaga kedalaman perairan muara, namun akibatnya adalah terjadi abrasi dengan laju sekitar 25 m per tahun antara tahun 1980-1983. Pada periode yang sama, kondisi pantai di sekitar Kelurahan Kamal Muara mengalami erosi berat dengan laju sekitar 19 m per tahun. Hal ini disebabkan aliran arus sepanjang pantai membawa sedimen tersebut ke arah Timur dan mengendapkannya di sebelah barat jetti tersebut. Pilar batas wilayah DKI Jakarta-Jawa Barat nomor 381 yang pada tahun 1979 masih terletak sekitar 40 m dari garis pantai, pada tahun 1983 telah jatuh terendam air pada jarak 2 m dari garis pantai. Dewasa ini, pilar tersebut terletak sekitar 100 m dari garis pantai (PT. Mandara Permai 1994).
f.
Pemanfaatan Lahan Pada tahun 1910 an, dataran Kapuk masih berupa rawa mangrove dan
sebagian kecil yang dibuka untuk tambak. Sekitar tahun 1963 wilayah tersebut dibuka secara besar-besaran untuk pertambakan dan pada tahun 1987, sebagian besar rawa ini telah berubah menjadi area pertambakan. Mangrove hanya tersisa di Cagar Alam Angke seluas 15 ha dan di tepi Utara yang berbatasan dengan laut. Sejak awal tahun 1982 sebagian tambak yang ada di Timur Sungai Angke mulai diurug untuk perumahan nelayan dan perumahan teratur sebagai perluasan kegiatan Badan Pengawas Pelaksanaan Pengembangan Lingkungan (BPPPL) Pluit. Sebagian mangrove yang ada di Utara delta angke mulai ditebang dan di bagian Timurnya pada tahun 1981 telah digunakan untuk pelabuhan ikan Muara Angke. Hutan mangrove yang ada dewasa ini merupakan jalur di sepanjang pantai dari sekitar Muara Sungai Angke sampai dengan sebelah Timur sungai Kamal. Sekitar satu dekade yang lalu, di tepi Timur sungai Kamal tersebut terdapat jalur tipis mangrove, namun dewasa ini daerah sekitar sungai Kamal tererosi berat sehingga selain tambak dan mangrove tererosi, sebagian rumah penduduk desa Kamal yang terletak di tepi pantai hancur tererosi. Pada tahun 1982 bagian tengah daerah pertambakan kapuk dipotong untuk dibangun saluran (Cengkareng Drain). Pemotongan tersebut juga mengenai jalur mangrove yang ada di tepi pantai Utara tersebut. Pada tahun 1981 juga telah
67
dibuat kanal tempat pendaratan (pelabuhan) batu dan pasir di Desa Dadap untuk keperluan pengembangan pelabuhan udara Soekarno-Hatta dan jalan tol Prof. Sediatmo. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa sifat fisik tanah di kawasan hutan mangrove Muara Angke mengandung 39,5 %, liat 31,5 %, dan pasir 29 %.
Tabel 6 Hasil analisis laboratorium sifat fisik dan kimia tanah Cagar Alam Muara Angke No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Komponen Kimia Kalium Natrium Calsium Magnesium Carbon Organik Nitrogen Organik Besi Timbal Tembaga
Simbol K Na Ca Mg C N Fe Pb Cu
Satuan 0,40 me/100 gr 0,34 me/100 gr 5,36 me/100 gr 1,09 me/100 gr 2,1 % 0,19 % 60,15 ppm 4,04 ppm 8,01 ppm
Katagori Sedang Rendah Rendah Rendah Sedang Rendah -
Sumber : Laporan Akhir Proyek Pembinaan Cagar Alam dan Hutan Lidung 1996
g.
Hutan Lindung Muara Angke Terletak pada permukaan tanah yang relatif datar, elevasi permukaan tanah
di bagian selatan lebih tinggi kemudian menurun dengan kemiringan yang rendah ke arah utara sampai ke tepi pantai. Secara keseluruhan kawasan ini merupakan daratan empang dengan sungai-sungai kecil yang bermuara di Teluk Jakarta. Pada umumnya bagian utara dataran rendah ini merupakan hutan mangrove. Keadaan tanah di kawasan ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Bagian utara sampai dengan Pantai Jawa, terdiri dari alluvial kelabu tua dan gley humus rendah. Batuan induk tanah ini berupa endapan tanah liat daratan pantai 2. Makin rendah ke selatan terdiri dari regosol coklat
yang terbentuk dari
endapan vulkanik, daerah ini merupakan tanah lempung berpasir dengan topografi datar 3. Bagian tenggara terdiri dari alluvial kelabu tua. Tanah hutan lindung mangrove di sebelah barat Muara Angke mempunyai persentase kandungan debu, pasir, dan bahan organik yang lebih besar
68
dibandingkan dengan hutan mangrove di sebelah timur Muara Angke dimana tanah tersebut mempunyai kandungan unsur hara (K, Ca, Mg), logam berat (Pb, Cu) dan kapasitas tukar kation (KTK) yang lebih kecil. Tingkat tekstur, nisbah C/N, pH, KTK, dan kandungan unsur hara dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7
Besarnya nisbah C/N, Ph, dan tekstur tanah hutan mangrove di sebelah barat dan timur Muara Angke Tekstur
pH
C
N
C/N
Habitat Debu
Liat
Pasir
H2O
KCl
L1H1 40,50 30,40 29,55 5,54 4,95 2,23 L2H1 39,00 32,95 28,05 5,70 5,24 2,39 Sumber : Laporan Akhir Proyek Pembinaan Cagar Alam dan Hutan Lidung 1996 Keterangan : L1H1 : Habitat Hutan Mangrove di Sebelah Barat Muara Angke L2H1 : Habitat hutan Mangrove di Sebelah Timur Muara Angke
(%) 0,20 0,17
11,15 14,16
Keadaan tekstur tanah areal Muara Angke masih didominasi oleh fraksi debu, hal ini dikarenakan kondisi areal di sekitar lokasi merupakan areal kosong yang sedang dibuka untuk perumahan. Bila dilihat dari kondisi pH maka areal tersebut tanahnya tergolong masam. Hal ini disebabkan karena kawasan perairan tersebut dimanfaatkan untuk pembuangan limbah industri dan limbah rumah tangga. Kondisi ini menyebabkan sedikitnya jenis-jenis tumbuhan yang dapat tumbuh di lokasi tersebut.
Tabel 8
Besarnya kandungan unsur hara, kapasitas tukar kation (KTK), dan logam berat tanah hutan mangrove di sebelah barat dan timur Muara Angke
Kandungan Unsur Hara Logam Berat (ppm) KTK Habitat (me/100 gr) (me/100 gr) K Na Ca Mg Fe Hg Pb Cu L1H1 0,40 2,93 5,37 1,13 65,05 1,11 5,17 10,32 17,86 L2H2 0,41 0,45 5,58 1,28 56,22 0,62 15,24 19,65 19,65 Sumber : Laporan Akhir Proyek Pembinaan Cagar Alam dan Hutan Lidung 1996
4.2.3
Hidro-Oceanografi
a.
Kondisi Pantai
EC mhos/cm 2,16 2,03
Pantai kapuk dibatasi oleh Muara Angke di sebelah Timur dan Tajung Pasir di sebelah Barat. Di muka pantai pada jarak kira-kira 4 mil terdapat gugusan Pulau Bidadari dan Pantai Kapuk terdapat Karang Bangau. Karang ini terletak
69
pada jarak 2 mil dari pantai, selalu terbenam dan mempunyai kedalaman 3 di bawah permukaan laut. Air laut jernih terdapat pada jarak > 1.500 dari pantai. Bila dibandingkan dengan dengan tempat-tempat lain di daerah Teluk Jakarta, daerah Pantai Kapuk relatif lebih tenang baik pada musim muson timur, maupun muson barat. Pantai Kapuk yang terletak di belakang Tanjung Pasir menempati posisi yang menguntungkan, karena akan terlindungi oleh Tanjung Pasir pada musim muson barat.
b.
Gelombang dan Arus Laut
b.1.
Gelombang Berdasarkan laporan yang disusun ole PT. Survindo (1986) tentang
karakteristik arus dan gelombang laut di daerah Kapuk disajikan sebagai berikut: (1). Gelombang yang penting dari arah Barat Laut selama bulan Januari sampai Maret. Pada periode ini tinggi gelombang maksimum dapat mencapai 1,5 m. Pada bulan Mei sampai September tidak ada gelombang penting untuk diamati (PT. Mandara Permai 1994) (2). Arah gelombang di daerah Kapuk lebih kurang tegak lurus terhadap garis pantai. Hal ini disebabkan gelombang yang datang dari arah Barat Laut mengalami defraksi di sekitar Tanjung Pasir dan Muara Coba. Gelombang dari arah Timur sedikit mengalami defraksi, sehingga datang dari garis pantai dengan arah yang hampir tegak lurus (3). Ketinggian gelombang diperkirakan sekitar 1 meter dengan periode waktu 5 detik.
Hal ini berkaitan dengan erat dengan arah dan kecepatan angin.
Apabila kecepatan angin kurang, tinggi gelombang semakin rendah dan periode gelombang semakin panjang. Perubahan arah angin atau munculnya angin kuat lain dari arah yang berlawanan akan membangkitkan gelombang lain dari arah yang berlawanan sehingga terjadi interferensi yang saling menguatkan. Selain angin, tinggi rendahnya gelombang laut ditentukan juga oleh beberapa faktor, antara lain: jarak terhadap pantai, kelandaian tebing pantai, vegetasi pantai.
70
Jarak terhadap pantai mempengaruhi terjadinya interfrensi dengan gelombang yang berlawanan. Pada kondisi angin normal (searah), periode gelombang relatif panjang dan konstan sehingga pada daerah yang lebih tengah relatif lebih aman untuk pelayaran. Pada daerah pantai yang kaya akan hutan rawa, gelombang yang datang akan diserap oleh hutan rawa tersebut, sedangkan pada
pantai-pantai
terbuka,
terjadi
pemantulan
gelombang
yang
akan
menimbulkan interferensi saling menguatkan. Kelandaian akan menentukan magnitudo gelombang pantul. Dinding pantai yang terjal dan keras akan membangkitkan gelombang pantul yang kuat. Pada pantai yang landai, meskipun tidak terjadi penyerapan energi, namun gelombang pantul lebih tersebar merata pada bidang yang lebih luas, sehingga efek interferensi saling menguatkan relatif lebih kecil. Berdasarkan kategori yang dibuat pada lokasi studi (Daerah Kapuk), di sebelah Barat merupakan pantai yang terbuka untuk pertambahan (Pantai Kamal dengan kondisi terbuka), daerah tengan merupakan hutan bakau, relatif tipis dan tidak begitu panjang, sebelah Timur terdapat jetti yang dapat dianggap sebagai dinding terjal dengan efek peredaman pada gelombang pantul kecil. Situasi tersebut dapat digambarkan secara garis besar sebagai pantai yang mengalami intervensi manusia, sehingga rona awal pada dasarnya telah mengalami perubahan dari kondisi alamiahnya. b.2.
Arus Laut Arus Laut di Laut Jawa sebagian besar dipengaruhi oleh gerakan angin.
Arus akan mengalir dari arah timur selama musim muson Barat (DesemberFebruari) dan dari arah Barat selama musim muson Timur (Juni-Agustus). Arus ini bisa mencapai kecepatan 0,25-0,50 m/det. Kecepatan arus rata-rata harian adalah 0,10-0,13 m/det, dari arah Barat selama musim muson timur. b.3.
Pasang Surut Pengaruh pasang surut air laut merupakan aspek yang sangat penting
dalam pengkajian bentang alam pesisir pantai. Sifat pasang surut untuk daerah Perairan Kapuk dan Pulau Bidadari adalah Harian Tunggal. Artinya dalam 24 jam terjadi satu kali pasang surut.
71
Berdasarkan hasil pengukuran Dinas Hidrologi Angkatan Laut RI (1978) dapat diketahui tenggang pada saat pasang surut terendah 0,25 m. Berdasarkan pengamatan pasang surut yang dilakukan oleh Perum Pelabuhan Tanjung Priok adalah:
Air pasang tertinggi (HHWS) Air pasang rata-rata (MHW) Air rata-rata (MSL) Air surut rata-rata (MLW) Air surut terendah (LLWS)
1.80 m + PP 1.40 m + PP 0.95 m + PP 0.56 m + PP 0.23 m + PP
Pengkajian variabilitas pasang surut air laut ini ditujukan untuk analisis tentang mekanisme pengikisan pantai dan operasional sisten drainase yag lebih dikhususkan pada analisis kecepatan aliran dan transport sedimen pada Sungai Angke Bawah-Banjir Kanal dan Cengkareng Drain yang berfungsi sebagai Floodway. b.4.
Bathymetri Data bathymetri kondisi perairan di sekitar Muara Angke sebagai berikut :
Dasar laut mempunyai kemiringan 0,38 %
Kontur dengan interval 0,5 m sejajar dengan garis pantai
Potensi sedimen transport lumpur Sungai Angke dan Cengkareng Drain cukup luas sekitar 3 km dari pantai
Potensi sebaran lumpur Sungai Angke Bawah - banjir Kanal lebih besar dari Cengkareng Drain (PT. Pantai Indah kapuk, 1994)
b.5.
Erosi, Abrasi, dan Sedimentasi Secara alami proses erosi, abrasi, dan sedimentasi merupakan faktor yang
sangat berperan dalam mengubah bentuk garis pantai, yang bergantung pada jenis dan jumlah sedimen air sungai. Kontiyunitas penyebarannya dipengaruhi oleh energi dinamik arus, gelombang, dan pasang surut air laut. Faktor alamiah dominan pengubahan bentang alam pesisir dipengaruhi oleh dinamika interaksi antara penbentukan delta dan pendangkalan interdelta tinggi gelombang, dan arus laut yang akan menimbulkan suksesi komponen lokal. Pembentukan delta akibat transport sediment sungai akan berakibat lanjut
72
terjadinya perubahan arus laut dan berpotensi menimbulkan arus yang menimbulkan abrasi pada bagian pantai lain di sekitarnya. b.6.
Hubungan antara Pola Refraksi Gelombang dengan Penyebaran Sedimen Fenomena refraksi gelombang terjadi pada gelombang yang datang ke
pantai sekitar daerah tapak akibat adanya Kepulauan seribu yang berfungsi sebagai Barrier. Refraksi terjadi karena pada gelombang yang mempunyai periode T = 5 detik dihitung pada gelombang yang datang dari arah Barat Laut. Dari pola refraksi dapat diperhitungkan penyebaran sedimen yang berlangsung selama terjadinya muson barat adalah sebagai berikut :
Pada titik lokasi Muara Kamal : 8.10+4 m3/tahun Pada titik lokasi sebelah Timur Muara Cengkareng Drain : 13.10 +4 m3/tahun
4.2.4
Hidrologi
a.
Sungai-Sungai yang Mengalir di Daerah Tapak Hidrogeologi yang bersangkutan dengan daerah tapak, dipengaruhi oleh
sungai-sungai utama yang melintasi lebih dari separuh wilayah DKI Jakarta, yaitu sungai Ciliwung, Angke, Pesangrahan, Krukut, Grogol, Sekretaris, Sepak, dan Mampang. Luas daerah aliran sungai yang mengalir di daerah tapak, jika digabung mempunyai luas total sekitar 1100 km2 atau 2 kali luas DKI Jakarta yang dibatasi oleh DAS Ciliwung di sebelah Timur dan DAS Angke di sebelah Barat. Fungsi dari sungai-sungai tersebut pada skala makro adalah :
Sebagai pengendali banjir DKI Jakarta
Sebagai saluran pembuangan air limbah dan sampah, meskipun tidak seorang pun merekomendasikannya. Sistem aliran sungai Angke dan Cengkareng Drain merupakan sistem
aliran yang menggunakan beban limbah limpasan air yang besar, dimana aliranaliran sungai besar, yaitu kali Mookervart, Sungai Sepak, Sungai Pesanggrahan, Sungai Sekretaris, Sungai Angke, Sungai Grogol, dan Sungai Ciliwung berkumpul. Sungai-sungai tersebut berpotensi menimbulkan banjir rutin,
73
mengingat daerah aliran masing-masing sarat dengan pemukiman sehingga mempunyai koefisien run-off yang besar. b.
Perwilayahan Sistem Aliran Sungai Dari konteks drainase dan pengendalian banjir Jakarta, serta pengendalian
kualitas air sungai masing-masing, sungai-sungai yang mengalir di daerah tapak termasuk dari daerah pengembangan barat yang meliputi:
Sistem aliran Sungai Angke: Kali Sepak, Pesanggrahan, Mookervart, Sekretaris, dll, Kali Jelambar, Cengkareng Drain, dan Kali Grogol Sistem aliran Sungai Ciliwung: Kalibaru Barat, Kalibata, Cideng, Krukut, dan Mampang Sistem Aliran Kali Muara Karang : Kali Duri dan Kali Grogol.
c.
Debit Normal, Debit Penggelontoran, dan Debit Minimum Sungai
Pengkajian tentang debit rata-rata dan debit pengglontoran (flushing) dan debit minimum sungai bermanfaat untuk analisis tentang seberapa besar difusi atau pengenceran sungai yang bersangkutan dalam fungsinya sebagai badan air penerima buangan, beban-beban parameter-parameter pencemar yang boleh dibuang dari daerah tapak (BOD5, COD, dan SS) serta efek pencampuran yang ditimbulkan dalam kaitannya dengan perubahan kadar oksigen perubahan BOD 5 dan COD yang sangat vital bagi kehidupan perairan. Debit minimum dan rata-rata Banjir Kanal sebelum pertemuan dengan S. Angke adalah 10,2 m3/det, 17 m3/det, dan 25 m3/det. Hasil pengukuran Santoso (2002), debit Sungai Angke 37 – 38,5 m3/detik, debit Cengkareng Drain 110,44 m3/detik dan debit Sungai Kamal 11,22 m3/detik. Tabel 9 Debit air sungai pada beberapa lokasi penelitian di kawasan mangrove Muara Angke DKI Jakarta Posisi
T ratarata (detik)
V (m/det)
5,60 1,50
35,75
0,34
110,25
37,01
1,50
5,10 1,00
29,67
0,40
95,25
38,52
5,00
0,80
1,50 1,00
42,50
0,12
6,00
0,71
18,00
66,00
4,00
5,00 3,00
36,67
0,49
225,00
110,44
11,00
17,00
0,50
1,25 0,20
13,33
0,83
13,60
11,22
Jarak Lebar (m) (m)
D1
D2
S. Angke (Pagi) 06o06’54,8” 106o46’10,9”
12,00
30,00
2,00
S. Angke (Siang)
12,00
30,00
5,00
Nama Sungai
S. Pandan
S
E
06o06’54,8” 106o46’10,9” *
*
S. Cengkareng Drain
06o06’45,9” 106o45’06,0”
S. Kamal
06o05’34,5” 106o43’26,2”
D3
Keterangan : D1&D3 = Pinggir; D2 = Tengah; * = Belum Dilakukan Pengukuran Sumber : Santoso,N (2002)
A Debit (m2) (m3/det)
74
d.
Kualitas Air Kualitas air sungai terkait dengan tingkat pelayanan sanitasi di daerah
tangkapan air dan morfologi sungai-sungai yang bersangkutan. Perbedaan topografi yang tajam antara daerah hulu deangan hilir akan berpengaruh pada laju erosi di daerah hulu serta laju sedimentasi di daerah hilir. Buruknya sanitasi di daerah hulu mengakibatkan perairan sungai di daerah tapak yang terletak di sekitar muara sungai menjadi septik, berwarna hitam, dan berbau. Akibat rendahnya kecepatan aliran di daerah hilir. Kecepatan reoksigenasi menjadi sangat lambat sehingga kemampuan self purification sungai tersebut sangat lemah. Situasi yang lebih buruk, rendahnya kecepatan air sugai di bagian hilir menyebabkan proses biodegrasi terjadi pada perjalanan menuju ke muara yang mengkonversi zat organik yang terlarut menjadi koloid sehingga mempercepat laju sedimentasi. Kualitas air pada setiap lokasi pengamatan (Hutan Lindung, Suaka Margasatwa, Hutan Wisata, Kebun Benih/Arboretum, dan kanan kiri jalan Tol) dipengaruhi oleh kualitas air sungai yang terdapat di kawasan mangrove Muara Angke. Kondisi kualitas air masing-masing lokasi pengamatan dan kualitas air pada pengukuran Santoso, N (2002) (Tabel 10).
Tabel 10 Hasil analisis kualitas air pada plot pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke (Santoso, N 2002) STASIUN PENGAMATAN No
PARAMETER
SATUAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
28
30
32
33
31
32
I
FISIKA
1
Suhu
oC
27
27,6
28,1
2
Warna
Pt.Co.
6,8
6,8
6,65
7
7,2
5,3
9,55
18,8
6,1
3
Kecerahan
Cm
55
50
50
30
40
35
50
5
30
4
Kekeruhan
NTU
12
6
8
5
25
9
7
55
7
5
Padatan tersuspensi
mg/l
32
14
12
18
38
76
14
172
66
6
Bau
Visual
alami
alami
alami
alami
alami
alami
alami
alami
alami
7
Lapisan Minyak
Visual
alami
nihil
alami
nihil
nihil
nihil
nihil
nihil
nihil
8
Benda terapung
Visual
sampah
sampah
sampah
nihil
nihil
nihil
sampah
nihil
II
KIMIA
1
pH
-
6,63
6,66
6,76
6,63
6,85
8,59
8,82
7,2
7,8
2
Salinitas
o/oo
0
0
0
0
0
10
0
0
25
mg/l
0,3
0,65
0,45
1,1
1,4
7,3
7,2
0,8
4,5
mg/l
1,75
3
2,5
2,5
2
1,8
1,4
7
2,6
3 4
Oksigen terlarut (DO) BOD5
tanaman air
75
STASIUN PENGAMATAN No
5
PARAMETER
SATUAN
COD Ammonia Total
6
(NH3+NH4)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
mg/l
8,94
19,31
68,18
35,6
47,45
49,18
149,63
287,41
20,9
mg/l
0,114
0,226
0,104
0,118
0,146
0,121
0,128
0,136
0,033
0,068
0,06
0,031
0,053
0,021
0,026
0,023
7
Nitrat (NO3-N)
mg/l
0,131
0,045
8
Nitrit (NO2-N)
mg/l
0,276
0,022
0,07
0,007
0,009
0,041
0,005
0,01
0,015
9
Sulfida (H2S)
mg/l
<0,01
<0,01
<0,01
<0,01
<0,01
<0,01
<0,01
<0,01
<0,01
10
Sianida (CN)
mg/l
0,027
0,021
0,035
0,031
0,029
0,033
0,025
0,021
0,015
11
Minyak bumi
mg/l
0,2
0,25
<0,01
0,35
0,4
0,2
0,45
0,85
<0,01
12
Phenol
mg/l
Khromheksavalen
13
(Cr6+)
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
mg/l
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,00 1 <0,00 1
0,025
<0,001
<0,00 1 <0,00 1
14
Seng (Zn)
mg/l
0,044
0,033
0,22
0,083
0,028
0,083
0,036
0,111
0,022
15
Timah hitam (Pb)
mg/l
0,093
0,067
0,073
0,08
0,12
0,107
0,053
0,133
0,067
16
Kadmium (Cd)
mg/l
0,064
0,046
0,079
0,057
0,046
0,054
0,061
0,068
0,043
17
Perak (Ag)
mg/l
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
18
Raksa (Hg)
mg/lx10-3
0,05
0,05
0,35
0,15
0,2
0,15
0,15
0,35
0,2
19
Arsen (As)
mg/lx10-3
0,03
0,02
0,04
0,086
0,092
0,071
0,066
0,097
0,087
20
Nikel (Ni)
mg/l
0,083
0,036
0,033
0,083
0,044
0,033
0,047
0,111
21
Selenium (Se)
mg/l
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
22
Tembaga (Cu)
mg/l
0,441
0,382
0,441
0,265
0,23
0,529
<0,00 1
<0,00 1 0,471
<0,001
<0,001 0,588
Keterangan : 1=Sungai Angke (Dermaga); 2=Sungai Pandan; 3=Muara Angke; 4=Dalam Kawasan SMMA (Tikungan Jembatan Kayu); 5=Cengkareng Drain (Jembatan); 8=Sungai Kamal (Jembatan); 6=Hutan Lindung; 7=Jalan Tol (Kiri); 9=Hutan Wisata (Kolam Tambak)
e.
Air Tanah Secara umum dataran Jakarta terbentuk endapan yang terjadi dari
penumpukan bahan-bahan vulkanik, tufa, kerikil, pasir, lumpur, dan lempung tertumpuk di sepanjang pantai. Ketebalan lapisan ini berkisar antara 250 - 300 mm dengan ketebalan dua aquifer sebagai berikut:
Aquifer bebas
Aquifer tertekan : ketebalan 20 - 40 m
: ketebalan umumnya < 20 m
Daerah Kapuk, aquifer bebas ini merupakan aquifer pantai terdiri dari lempung lunak dengan ketebalan 10 m. Aliran tanah adalah dari Selatan ke Utara.
<0,00 1
0,044 <0,00 1 0,353
76
4.2.5 Iklim Berdasarkandata curah hujan stasiun Cengkareng yang merupakan hasil pengamatan selama 30 tahun, curah hujan tahunan sekitar stasiun pengamatan Cengkareng adalah 1,731 mm dengan curah hujan bulanan seperti disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Data curah hujan bulanan stasiun Cengkareng No Bulan 1 Januari 2 Februari 3 Maret 4 April 5 Mei 6 Juni 7 Juli 8 Agustus 9 September 10 Oktober 11 Nopember 12 Desember Sumber: BPS Jakarta Utara (2007)
Curah Hujan 294 mm 277 mm 173 mm 137 mm 127 mm 86 mm 58 mm 68 mm 69 mm 101 mm 121 mm 220 mm
Berdasarkan pencatatan di Tanjung Priok dan Kemayoran, curah hujan di sekitarnya adalah 200 mm/bulan. Curah hujan di Tanjung Priok tahun 1986 adalah 2050 mm. Dalam setahun terdapat 1 atau 2 bulan lebih rendah dari 60 mm. Hal tersebut biasa terjadi pada bulan Juli dan Agustus, sehingga dalam klasifikasi Koppen termasuk daerah dengan iklim Am, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari yang dapat mencapai lebih dari 600 mm/bulan. Dalam tahun tersebut terdapat 141 hari hujan berkisar dari 7 hari/bulan sampai 25 hari/bulan. Curah hujan berkisar dari 53,6 mm (Mei) sampai dengan 61,3 mm (Januari). Terdapat beberapa hal penting yang dapat dikemukakan pada data curah hujan bulanan, yaitu:
Angka curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari (294 mm), terlihat pola datangnya hujan yang cukup jelas, yaitu sejak Oktober sampai Januari, sedangkan bulan-bulan berikutnya semakin berkurang
Angka curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli (58 mm), sedangkan pada bulan-bulan berikutnya meningkat hingga Oktober
77
Pola curah hujan berkaitan dengan pergeseran garis Intertrophic Convergence Zone (Pias Korvengensi Intertropis) yang bergerak dari Utara ke Selatan (dari Laut Jawa ke Samudra Hindia) melalui Pulau Jawa pada bulan Desember sampai Februari
Walupun wilayah kajian ini merupakan wilayah yang curah hujannya paling rendah, tetapi merupakan wilayah akumulasi limpasan hujan daerah selatan yang curah hujannya cukup tinggi. Suhu harian terendah adalah 21oC - 24oC dan suhu harian tertinggi 29oC -
33,5oC dengan rata-rata 26oC - 28oC. Kelembaban nisbi udara 76 % sampai 86 %.
4.3
Komponen Biologi
4.3.1
Penutupan Vegetasi Berdasarkan penutupan vegetasi (1989-2006), kondisi kawasan mangrove
Muara Angke mengalami peningkatan, yang ditunjukkan oleh luas areal mangrove dengan kelas penutupan lebat meningkat. Hal ini menunjukkan kegiatan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke menunjukkan indikasi keberhasilan (Tabel 12, Tabel 13, dan Tabel 14).
Tabel 12 Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 1989 No
Lokasi
1
Cengakreng Drain
2
Hutan Lindung
3
Kawasan SMMA
4
Lahan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI)
5
Pantai Indah Kapuk
6
Sungai Kamal
Kelas Tutupan Vegetasi Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah
Luas(Ha) 1,73 0,13 1,86 17,41 15,80 3,43 36,64 3,70 2,55 21,08 27,33 40,81 10,17 29,18 80,16 34,68 8,03 31,59 74,31 1,39 0,06 1,46
78
Tabel 12 Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 1989 (lanjutan) Lokasi
No 7
Sungai PIK
8
Sungai Tanjung
9
Tambak KKP
10
Tambak Masyarakat
11
Tol Soediyatmo
12
TWA
13
Arboretum
Kelas Tutupan Vegetasi Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah
Luas(Ha)
Jumlah
0,42 0,86 0,16 1,43 1,92 0,14 0,00 2,06 0,61 0,08 0,69 39,68 8,54 0,40 48,62 28,01 6,67 1,19 35,88 10,46 0,41 10,86 0,30 0,30
Jumlah Total
321,61
Sumber : Data primer hasil analisis citra satelit TM 2006 (2011)
79
Sumber: Data primer hasil analisis citra satelit TM 1989 (2011)
Gambar 8 Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 1989.
Tabel 13 Kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2001 No
Lokasi
1
Cengakreng Drain
2
Hutan Lindung
3
Kawasan SMMA
4
Lahan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI)
5
Pantai Indah Kapuk
Kelas Tutupan Vegetasi Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah
Luas (Ha) 1,76 4,53 0,83 7,12 24,37 11,05 20,28 55,70 8,00 1,95 16,90 26,84 44,42 24,16 2,84 71,42 84,88 99,87 10,70 195,45
80
Tabel 13 No
Kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2001 (lanjutan) Lokasi
6
Sungai Kamal
7
Sungai Pantai Indah Kapuk
8
Sungai Tanjung
9
Tambak KKP
10
Tambak Masyarakat
11
Tol Soediyatmo
12
TWA
13
Arboretum
Kelas Tutupan Vegetasi Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Jumlah Total
Sumber : Data primer hasil analisis citra satelit TM 2006 (2011)
Luas (Ha) 0,19 0,77 0,96 0,06 0,76 0,83 0,23 0,23 2,11 0,78 0,17 3,06 0,81 0,91 1,72 1,94 13,53 15,47 4,64 9,42 14,05 4,97 2,65 7,62 400,49
81
Sumber : Data primer hasil analisis citra satelit TM 2001 (2011)
Gambar 9 Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2001.
Tabel 14 Kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2006 No
Lokasi
1
Cengakreng Drain
2
Hutan Lindung
3
Kawasan SMMA
4
Lahan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI)
5
Pantai Indah Kapuk
Kelas Tutupan Vegetasi Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah
Luas (Ha) 0,85 0,22 0,02 1,09 10,09 34,21 15,15 59,45 1,56 6,72 19,78 28,06 26,68 22,70 2,12 51,50 91,26 27,86 1,29 120,41
82
Tabel 14 Kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2006 (lanjutan) No
Lokasi
6
Sungai Kamal
7
Sungai Pantai Indah Kapuk
8
Sungai Tanjung
9
Tambak KKP
10
Tbk Masyarakat
11
Tol Soediyatmo
12
TWA
13
Arboretum
Kelas Tutupan Vegetasi Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Vegetasi Lebat Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Vegetasi Jarang Vegetasi Sedang Jumlah Jumlah Total
Luas (Ha) 0,25 0,00 0,25 0,06 0,00 0,06 0,00 1,50 1,06 2,56 0,36 0,09 0,45 5,48 0,41 0,02 5,90 1,95 0,18 2,13 0,88 0,36 1,23 273,10
Sumber : Data primer hasil analisis citra satelit TM 2006 (2011)
4.3.2
Keanekaragaman Jenis Flora Keanekaragaman jenis tumbuhan yang terdapat pada kawasan mangrove
Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) 68 jenis yang sebagian besar merupakan bukan jenis mangrove sejati. Jumlah jenis yang dijumpai tahun 2011 sebanyak 29 jenis. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan SMMA telah mengalami perubahan, terutama salinitas air relatif rendah (air tawar). Hal ini dikarenakan air pasang dan air surut tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya dan pengaruh Sungai Angke lebih dominan dibandingkan dengan air laut (Tabel 15).
83
Sumber : Data primer hasil pengukuran citra satelit TM
Gambar 10 Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2006. Tabel 15 Daftar jenis tumbuhan di SMMA pada periode waktu yang berbeda No.
Nama Lokal
Nama latin
1972 1985 1988 1994 1997 1998 2000 2002 2011
Akar
X
2 Akasia
Acacia auriculiformis
3 Api-api
Avicennia alba
X
4 Api-api
Avicennia marina
X
5 Api-api
Avicennia officinalis
X
6 Bakau
Rhizophora sp
7 Bakau merah
Rhizophora mucronata
X
8 Bakau putih
Rhizophora apiculata
X
9 Beringin
Ficus benjamina
10 Bidara
Sonneratia alba
11 Biji kambing
Parsonsia javanica
12 Bluntas
Pluchea indica
13 Bungur
Lagerstomia speciosa
14 Buta-buta
Excoecaria agallocha
X
15 Cakar ayam
Tacca palmata
X
16 Ceker wulung
Tacca palmata
17 Cemara laut
Casuarina equisetifolia
18 Dodot
X
X
X X
X
X X
X
X
X
X
X
X
X
X
X X
X X
X
X X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X X
84
Tabel 15 Daftar jenis tumbuhan di SMMA pada periode waktu yang berbeda (lanjutan) No.
Nama Lokal
Nama latin
1972 1985 1988 1994 1997 1998 2000 2002 2011
19 Duri Busyetan
Mimosa pudica
20 Enceng gondok
Eichornia crassipes
21 Enceng hutan
Eichornia speciosa
22 Ficus
Ficus sp.
23 Gelagah
Saccharum spontaneum
24 Gendola
Baselia rubra
25 Jangkar
Bruguiera sp
26 Jeruju
Achantus illicifolius
27 Johar
Cassia siamea
X
28 Kamboja
Plumeria acuminata
X
30 Kedondong hutan
Spondias pinnata
X
31 Kelapa
Cocos nucifera
32 Kendal
Cordia obliqua
X
X X
X
X
X
X
X
X X
X X X
X
X
X
X
X
X
X
X X
33 Keremek
X Terminalia catappa
X
X
35 Kiapung
X
X
X
36 Kihujan
Samanea saman
37 Kitower
Derris heterophylla
X
X
X
38 Koang
Ficus indica
X
X
X
39 Kolang-kaling
Vitis trifolia
X
X
X
40 Kolonjono 41 Kuda-kuda
X
X
29 Kangkungan
34 Ketapang
X
X Dolichandrone spathaceae
X X
X
42 Loak
X
43 Lunting
X
X
44 Nenasian
Breynia sp
45 Nipah
Nypa fruticans
46 Nyamplung
Calophyllum inophyllum
47 Pacaran
Hyptage sp
48 Paku-pakuan
Asplenium apicarum
49 Piai
Acrostichum aureum
50 Pidada
Sonneratia caseolaris
51 Pohon cere
Viburnum lutescens
52 Prumpung
Andropogon nardus
53 Remis
Acacia longifolia
54 Rotan
Calamus sp
X
55 Rumbai
Sonneratia sp
X
56 Rumput gajah
Sacharum sp
X
57 Rumput teki
Cyperus sp
X
X
58 Rumput wangi
Imperata cylindrica
59 Seronian
Widelia biflora
60 Tancang
Bruguiera gymnorrhiza
X
X
61 Tania
Xanthosoma saqittifolium
X
62 Toro
Colocasia anticuorus
X
63 Tulang ayam
Premma sp
X X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X X X
X
X
X
X
X
X X X X
X X
X
X
X
X X
X
X
X
X X
X
X
X
85
Tabel 15 Daftar jenis tumbuhan di SMMA pada periode waktu yang berbeda (lanjutan) No. Nama Lokal
Nama latin
64 Warakas
Acrostichum aureum
65 Waru laut
Hibiscus tilliaceus
66
1972 1985 1988 1994 1997 1998 2000 2002 2011 X
X
X
X
X
X
X
X
Cerbera odollan
X
X
67
Glochidion sp
X
68
Sagittaria lancifolia
X
Total
X
18
9
19
26
X
8
7
26
24
29
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutana DKI Jakarta (1995-1998), LPP Mangrove (2000), Santoso, N (2002), Data Primer (2011)
Keanekaragaman jenis tumbuhan di kawasan Hutan Lindung 33 jenis dan pada tahun 2011 dijumpai 20 jenis, yang sebagian besar bukan jenis mangrove sejati. Hal ini dikarenakan kondisi mangrove pada Hutan Lindung bukan merupakan hamparan mangrove yang kompak, melainkan bekas-bekas tambak yang juga ditumbuhi jenis tumbuhan bukan mangrove atau jenis ikutan (mangrove associate). Tabel 16 Daftar jenis tumbuhan di Hutan Lindung Muara Angke pada periode waktu yang berbeda No.
Nama Lokal
Nama Latin
1
Akasia
Acacia auriculiformis
2
Api-api
Avicennia marina
3
Api-api *
Avicennia alba
4
Asam-asam
5
Bakau
Rhizophora sp
6
Bakau merah
Rhizophora mucronata
7
Bakau putih
Rhizophora apiculata
8
Beluntas
Pluchea indica
Bidara
Sonneratia alba
10
Buta-buta
Excoecaria agallocha
11
Duri Busyetan
Mimosa pudica
12
Flamboyan
Delonix regia
13
Jeruju
Achantus illicifolius
14
Jeunjing
Paraserianthes falcataria
15
Kangkung laut
X
X
16
Keremek putih
X
X
17
Kerinyuh laut
X
18
Ketapang
Terminalia catappa
19
Ki Tower
Derris trifoliata
20
Lamtoro gung
21
Mahoni
Swietenia macrophylla
22
Nyamplung
Calophyllum inophyllum
23
Pace
Thespesia populnea
24
Petai
Parkia speciosa
25
Piai
Acrostichum aureum
X
X
26
Pidada
Soneratia caseolaris
X
X
9
1995
1996
2000
X
X
X
X
X
2000*
2000**
2002
X X
X
X
2011 X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X X X
X
X
X
X X
X
X
X
X X
X
X
X
X
X
X
X X
X
X
X X
X X
X X
X
X X
X X
X
X X
86
Tabel 16 Daftar jenis tumbuhan di Hutan Lindung Muara Angke pada periode waktu yang berbeda (lanjutan) No.
Nama Lokal
27
Rumput teki
Nama Latin
1995
1996
2000
2000*
2000**
2002
2011
X
28
Semak
X
29
Seronian
Widelia biflora
X
30
Waru laut
Hibiscus tilliaceus
X
31
Xtba
X X
X
32
Xtbb
X
33
Xtbc
X
X
Total
X X
11
X
X
X
6
X
16
6
11
18
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutana DKI Jakarta (1995-1998), LPP Mangrove (2000), Santoso, N (2002), Data Primer (2011)
Keanekaragaman jenis tumbuhan pada kawasan Hutan Wisata Kamal 34 jenis (7 jenis mangrove sejati dan 27 jenis mangrove ikutan atau assosiasi mangrove), dan bukan mangrove, serta pada tahun 2011 dijumpai 17 jenis. Dijumpainya jenis-jenis tumbuhan bukan mangrove (akasia, trembesi, dsb) merupakan bukti bahwa kondisi mangrove pada kawasan hutan wisata telah banyak mengalami gangguan atau tidak normal. Hal ini dikarenakan pengelolaan kawasan hutan wisata pada masa lalu dilakukan masyarakat untuk budidaya perikanan (tambak ikan).
Tabel 17 Daftar jenis tumbuhan di Hutan Wisata Kamal pada periode waktu yang berbeda No.
Nama Lokal
Nama ilmiah
1
Akar
2
Akasia
Acacia auriculiformis
3
Angsana
Pterocarpus indicus
4
Api-api
Avicennia marina
5
Bakau
Rhizophora sp.
6
Tancang
Bruguiera gymnorrhiza
7
Bakau merah
Rhizophora mucronata
8
Bakau pulau
9
Bakau putih
1994
1996
1996*
1997
2000
2002
2011
X X
X X
X
X
X
X
X
X
X
X
X X
X
X
X
Rhizophora stylosa
X
X
Rhizophora apiculata
X
X
X
X
X
X
10 Beluntas
Pluchea indica
11 Bidara
Sonneratia alba
12 Buta-buat
Excoecaria agallocha
13 Dadap laut
Erythrina micropteryx
X
14 Flamboyan
Delonix regia
X
15 Gelagah
Saccharum spontaneum
X
16 Gradelan
Derris heterophylla
17 Kedondong laut
Polysia frutocosa
X
X
X X X
X
X X
X X
20
87
Tabel 17 Daftar jenis tumbuhan di Hutan Wisata Kamal pada periode waktu yang berbeda (lanjutan) No. Nama Lokal
Nama ilmiah
1994
1996
1996*
1997
2000
18 Keji beling 19 Kihujan
Samanea saman
20 Kirinyuh laut
Eupatorium palescens
X
21 Kitower
Derris trifoliata
X
X
X
2002
2011
X
X
X
X
X
X
X
22 Kremek
X
X
23 Kremek putih
X
X
X
X
24 Krokot
Sesuvium portulacastrum
25 Mahoni
Swietenia macrophlylla
26 Mindi
Melia azedarach
27 Nenasian
Breynia sp
28 Pace
Thespesia populnea
29 Putri malu
Mimosa sp
30 Seruni
Widelia biflora
31 Warakas
Acrostichum aureum
X
33 Waru laut
Hibiscus tiliaceus
X
X
X
X X X X X X
X
X
X X
X
34 XtbA
X Total
Sumber :
5
17
6
4
6
16
17
Dinas Pertanian dan Kehutana DKI Jakarta (1995-1998), LPP Mangrove (2000), Santoso N (2002), Data Primer (2011)
Keanekaragaman jenis tumbuhan pada Blok/Kawasan Ekowisata (dekat jalan Tol Sedyatmo) ada 25 jenis yang didominasi oleh api-api (Avicennia marina) dan bakau (Rhizophora apiculata). Jenis bakau banyak ditanam oleh berbagai pihak dengan jarak 1x1 meter mampu tumbuh dengan baik. Daftar jenis tumbuhan pada Blok Ekowisata seperti pada Tabel 18. Tabel 18 Daftar jenis tumbuhan di Kawasan Ekowisata Muara Angke pada tahun 2011 No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
1
Akasia
Acacia auriculiformis
2
Api-Api
Avicennia marina
3
Asam Kranji
Dialium indum
4
Bakau Merah
Rhizophora mucronata
5
Bakau Putih
Rhizophora apiculata
6
Bintaro
Cerbera manghas
7
Bungur
Lagerstroemia speciosa
8
Ciplukan
Physalis angulata
9
Dungun
Heritiera littoralis
10
Kangkung Air
Ipomoea aquatica
11
Kelapa
Cocos nucifera
12
Kersen
Muntingia calabura
88
Tabel 18 Daftar jenis tumbuhan di Kawasan Ekowisata Muara Angke pada tahun 2011 (lanjutan) No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
13
Ketapang
Terminalia catappa
14
Kluwih
Artocarpus camansi
15
Lamtoro
Leucaena leucocephala
16
Mangga
Mangifera indica
17
Nangka
Artocarpus heterophyllus
18
Nipah
Nypa fruticans
19
Nyiri
Xylocarpus granatum
20
Pepaya
Carica papaya
21
Pidada
Sonneratia caseolaris
22
Pisang
Musa paradisiaca
23
Rumput Teki
Cyperus rotundus
24
Singkong
Manihot esculenta
25
Tancang
Bruguiera gymnorrhiza
Sumber : Data primer (2011)
Keanekaragaman jenis tumbuhan pada areal Arboretum (Kebun Benih) terdapat 3 jenis, yaitu api-api (Avicennia marina), bakau merah (Rhizophora apiculata), dan bakau putih (Rhizophora mucronata). Jenis api-api mendominasi seluruh penutupan vegetasi dan terus beregenerasi secara alami dengan sebaran bijinya. Struktur dan komposisi jenis vegetasi pada masing-masing lokasi pengamatan (SMMA, Hutan Lindung, Arboretum, Hutan Wisata Kamal, dan Blok Ekowisata) pada tahun 2002 (Lampiran 1 sampai Lampiran 4) dan hasil pengamatan 2011 (Lampiran 5 sampai Lampiran 9).
4.3.3
Keanekaragaman Jenis Satwaliar Keanekaragaman jenis satwaliar pada kawasan Suaka Margasatwa Muara
Angke (SMMA) pada tahun 1984-2002 sekitar 95 jenis burung, 4 jenis reptilia, dan 5 jenis mamalia. Namun jenis mamalia lutung (Prebytis cristata) saat ini telah tidak dijumpai lagi di SMMA. Jenis-jenis burung air (pemakan biota air), seperti belibis, ruak-ruak/kareo, kuntu,l dan pecuk. Beberapa jenis burung air tersebut, selain menggunakan kawasan SMMA sebagai feeding ground, juga sekaligus sebagai tempat berkembang biak dan mengasuh anak.
89
Tabel 19 Daftar jenis satwaliar di Suaka Margasatwa Muara Angke pada periode 1984 - 2000 No.
Nama Lokal
Nama Ilmiah
1984
1988
1996
1997
2000
Burung 1
Acridotheres javanicus
X
2
Acrocephalus arundinaceaus
X
3
Acrocephalus sp.
X
4
Jalak ungu
Kerakbesi
5
Acrocephalus stentoreus
X
Actitis hypoleucos
X
6
Cipoh
Aegithina tiphia
X
7
Raja udang biru
Alcedo caerulescens
X
Alcedo euryzona
X X
8 9
Meninting
Alcedo meninting
10
Kareo
Amaurornis phoenicurus
11
Itik kelabu
Anas gibberifrons
X
12
Pecuk ular
Anhinga melanogaster
X
13
Kipasan
Anthreptes malacensis
14
Kapinis rumah
Apus Affinis
15
Cangak abu
Ardea cinerea
X
Ardea sumatrana
X
16
X X
X
X
X X
X
X
18
Cangak merah
Ardera purpurea
X
19
Kekep
Artamus leucorhynchos
20
Kuntul kerbau
Bulbucus ibis
21
Kokokan laut
Butorides striatus
X
24
Bubut jawa
Centropus nigrorofus
25
Bubut besar
Centropus sinensis
X
X
X
X
X
X
X
X
X X
X X
X X X X
26 27
Chlidonias hybrida
X
28
Collacolia sp.
X X
X
29
Walet
Collocalia esculenta
30
Walet sarang putih
Collocalia fuchipaga
31
Burung Walik
Colugha sp.
32
Kucica
Copsychus saularis
X
X
33
Saeran gila
Crypsirina temia
X
X
34
Sikatan bakau
Cyornis rufigastra
35
Belibis
Dendracygna sp.
36
Belibis kembang
Dendrocygna arcuata
X
37
Burung cabe jawa
Dicaeum trochileum
X
Dupetor flavicollis
X
X
X
Kuntul besar
Egretta alba
40
Kuntul kecil
Egretta garzetta
X
41
Kuntul perak
Egretta intermedia
X
42
Alap-alap tikus
Elanus caeruleus Eudynamys scolopacea
X
X
X
X
X
X X
39
43
X
X
X
Charadrius alexandrinus
38
X
X
Calindris subminuta Centropus bengalensis
X
X
Ardeola speciosa
Bubut alang-alang
X
X
Blekok sawah
23
X
X
17
22
X
X
X
X X
X
X
X
X
X X
X
Keterangan
90
Tabel 19 Daftar jenis satwaliar di Suaka Margasatwa Muara Angke pada periode 1984 – 2000 (lanjutan) No.
Nama Lokal
Nama Ilmiah
1984
1988
1996
1997
2000
Burung 44
Mandar batu
Gallinula chloropus
45
Perkutut
Geopelia striata
X
X
46
Remetuk
Gerygone sulphurea
X
X
47
Cekakak
Halcyon chloris
X
Halcyon sancta
X
48 49
Jinjiing batu
50
X
X
X
X
Hemipus hirundinaceus
X
Hirundo rustica
X
51
Kapinis
Hirundo tahitica
X
52
Bangau
Ibis cinereus
X
53
Kekondangan
Ixobrycus cinnamomeus
X
X
54
Bambangan kuning
Ixobrycus sinensis
X
X
55
Kapasan
Lalage nigra
56
Bentet
Lanius schach
57
X
Leptotilos javanicus
X
X
X
X
X X
X
X
Blekok
Limnodromus semipalmatus
59
Bondol jawa
Lonchura leucogastroides
60
Bondol peking
Lonchura punctulata
61
Bluwok
Myctery cinerea
62
Burung madu bakau
Nectarinia calcostetha
63
Burung madu sriganti Nectarinia jugularis
X
X
64
Kowak malam
Nycticorax nycticorax
X
X
65
Cinenen kelabu
Orthotomus ruficeps
X
66
Cinenen jawa
Orthotomus sepium
X
67
Cinenen
Orthotomussutorius
X
Padda oryzivora
X
58
68 69
Gelatik batu
Parus major
70
Burung gereja erasia
Passer montanus
71
Pecuk hitam
Phalacrocorax niger Phalacrocorax pygmaeus
72 73
X X X
X X
X
X X X X
X
X
X X X
X
X
X
X
Pecuk
Phalacrocorax sp.
74
Pecuk
Phalacrocorax sulcirostris
75
Caladi terasi
Picoides macei
76
Caladi itik
Picoides moluccensis
77
Mandar
Porphyrio porphyrio
78
Tikusan Alis Putih
Porzana cinerea
79
Prenjak ciblek
Prinia familiaris
80
Prenjak coklat
Prinia polychrora
X
X
81
Betet
Psittacula alexandri
X
X
X
82
Cerucuk
Pycnonotus goianvier
X
X
X
83
Kutilang
Pynonotus aurigaster
X
X
84
Jogjog
Pynonotus spp.
85
Kipasan belang
Rhidipura javanica
X
X
X
X X X
X
X X
X
X X
X
X
X
X X
X
X
Keterangan
91
Tabel 19 Daftar jenis satwaliar di Suaka Margasatwa Muara Angke pada periode 1984 – 2000 (lanjutan) No.
Nama Lokal
Nama Ilmiah
1984
1988
1996
1997
2000
Keterangan
Burung 86
Tekukur
87
Sterptopelia chinensis
X
X
Streptopelia bitorquota
X
88
Jalak suren
Sturnus contra
X
89
Jalak putih
Sturnus melanopterus
X
90
Pelatuk besi
Thresciornis melanocephalus
X
91
Gesngek
Todirhampus chloris
92
Cekakak suci
Todirhampus sanctus
93
Punai
Treron vernans
94
Kacamata laut
Zosterops chloris
X
95
Kacamata biasa
Zosterops palpebrosus
X
Total
X
X X X
51
X
11
48
X
19
52
0
0
0
0
Reptil 1
Buaya muara
Crocodilus porosus
2
Ular kadut belang
Homalopsis buccata
3
Biawak
Varanus salvator
4
Ular bangke laut
X X X
X
X X
Total
2
1
3
X
X
Mamalia 1
Kucing mangrove
Felis viverrina
X
2
Tenggarangan
Herpentes javanicus
X
3
Anjing air
Lutrogale perspicillata
X
4
Monyet ekor panjang
Macaca fascicularis
X
5
Lutung
Presbytis cristata Total
X 4
2
1
Sumber : Kusmana (1984), Fahutan IPB (1996), LPP mangrove (2000)
Keanekaragaman jenis satwaliar di Hutan Lindung mangrove pada tahun 1995-2000 sekitar 48 jenis, terdiri atas 40 jenis burung dan 8 reptilia (Tabel 20). Tabel 20 Daftar jenis satwaliar di Hutan Lindung Muara Angke pada periode 1995-2000 No.
Nama Lokal
Nama Ilmiah
1995
2000
Burung 1
Cipoh
Aegithina tiphia
2
Dara laut kumis
Ahlidoniaas hybridus
3
Raja udang kecil
Alceda atthis
4
Raja udang biru
Alcedo caerulescens
X
5
Itik benjut
Anas gibberifrons
X
6
Belibis
Anas gibberriforms
X
7
Pecuk ular asia
Anhinga melanogaster
X
X X X
X
Keterangan
92
Tabel 20 Daftar jenis satwaliar di Hutan Lindung Muara Angke pada periode 1995-2000 (lanjutan) No. Nama Lokal
Nama Ilmiah
1995
2000
Burung 8
Kapinis rumah
Apus affinis
9
Cangak abu
X
Ardea cinerea
X
X
10 Blekok sawah
Ardeola speciosa
X
X
11 Cangak merah
Ardera purpurea
12 Kuntul kerbau
Bubulcus ibis
13 Kokokan laut
Butorides striatus
X
14 Kedidi
Calidris subminuta
X
15 Cerek
Charadrius spp.
X
16 Walet linci
Collocalia linchi
X
17 Burung Cabe Jawa
Dicaeum trohileum
X
18 Kuntul besar
Egretta alba
19 Kuntul kecil
Egretta garzetta
20 Mandar batu
Gallinula chloropus
21
Gerigone sulphurea
22 Remetuk laut
Gerygone sulphurea
23 Raja udang
Halcyon chloris
24 Layang-layang batu
Hirundo tahitica
25 Bondol peking
Lonchura punctulata
26 Bluwok
Mycteria cinerea
27 Burung madu sriganti
Nectarinia jugularis
28 Kowak maling
Nycticorax nycticorax
29 Burung gereja
Passer montanus
30 Pecuk pada hitam
Phalacrocorax sulcirostris
31 Pecuk
Phalacrocorax spp.
32 Ibis rokoroko
Plegadis falcinellus
X
33 Prenjak jawa
Prinia familiaris
X
34 Prenjak
Prinia flaviventris
X
35 Kutilang
Pycnonotus aurigaaster
36 Kipasan belang
Rhipidura javanica
37 Tekukur
Streptopelia chinensis
X
38 Kakak tua sungai
Todirhamphus cechloris
X
39 Trinil pantai
Tringa hypoleucos
X
40 Kacamata biasa
Zosteros palpebrosus
X
Total
X X
X X
X X
X X X X X X X X X X X
X X
13
X
32
Reptil 1
Biawak
Varanus salvator
X
2
Ular sanca
Python reticulatus
X
3
Ular kobra
Naja sputatrix
X
4
Ular welang
Bungarus fasciatus
X
5
Ular kadut
Homalopsis buccata
X
6
Ular cincin
Dipsadomorphis dendrophilus
X
7
Ular daun
Dryopsis sp
X
8
Kura-kura
X Total
0
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan (1995) dan LPP Mangrove (2000)
8
Keterangan
93
Keanekaragaman jenis satwaliar pada kawasan Hutan Wisata Kamal pada tahun 1996 tercatat 67 jenis, terdiri atas 58 jenis burung, 7 jenis reptilia, dan 2 jenis mamalia (Tabel 21). Tabel 21 Daftar jenis satwaliar di Hutan Wisata Kamal pada tahun 1996 No. Burung 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
Nama Lokal Anyam-anyaman Bentet Blekek Blekok Bluwok Bondol Bondol jawa Branjangan Burung cabe Burung cikalang kecil Burung madu Caladi ulam Cangak abu Cangak merah Cekakak Cerek kalung patah Cinenen biasa Cipoh Dara Laut jambul besar Elang bondol Gelatik batu Itik kelabu Jalak hitam Jalak putih Kakatua jambul kuning Kareo Kedidi jari panjang Kekep Kepodang Kipasan Kirik-kirik laut Kokokan laut Kowak maling Kucica Kuntul besar Kuntul perak kecil Kuntul sedang Kutilang Kutilang hutan Layang-layang biasa Mata merah Murai batu Pecuk hitam Pecuk padi Pecuk ular Pelatuk besi Perkutut Prenjak
Nama Ilmiah Coturnix sp. Lanius schach Limnodromus semipalmatus Ardeola speciosa Mycferia cinerea Lonchura punctulata Lonchura leucogastroides Mirafra javanica Dicaeum trochileum Fregata ariel Nectarinia jugularis Picoides macei Ardea cinerea Ardera purpurea Halcyon chloris Charaderus alexandrinus Orthotomus sutorius Aegithia tiphia Sterna bergii Haliastus indus Parus major Anas gibberifrons Acridotheres javanicus Sturmus melanopterus Cacatua sulphurea Amaurornis phoenicurus Caldris subminuta Artamus leuchorhynchos Oriolus chinensis Rhipidura javanica Merops superciliosus Buteroides striatus Nycticorax nycticorax Copsychus saularis Egretta alba Egretta garzetta Egretta intermedia Pycnonotus aurigaster Pycnonotus goiaiver Hirundo tahitica Porzana fusca Copsicus saularis Phalacrocorax sulcirostris Phalacrocorax niger Anhinga melanogaster Thresciornis melanochep Geopelia striata Prinia flaviventris
1996
1996*
X
X X X
X X X X X X X X
X X X X
X X X X X X X
X
X X
X X X X X X X X X X X X
X X X
X X X X X
X X X X X X X X
X X
X
Keterangan
94
Tabel 21 Daftar jenis satwaliar di Hutan Wisata Kamal pada tahun 1996 (lanjutan) No. Burung 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58
Nama Lokal
Nama Ilmiah
1996
Prenjak coklat Prenjak sayap sayap garis Raja udanag biru Raja udang Remetuk Srigunting Srigunting hitam Tekukur Trinil pantai Walet sapi
Prinia polychroa Prinia familiaris Alcedo caerulescens Pelargopsis capensis Gerygone sulphurea Dicrurus aenea Dicrurus macrocercus Streptopelia biforquota Actitis hypoleucos Collocalia esculenta
Biawak Blodok Kadal Katak sawah Kodok Ular kobra Ular sawah
X X X
23
47
X X X X X
X
Varanus salvator Priopthalmus vulgaris Mabouya multifasciata Rana cancrivora Bufo bipurcatus Naja-naja sputetrix Phyton reticulatus
Monyet ekor panjang Tikus
X X X X
X
X X
Total Mamalia 1 2
Keterangan
X X X
Total Reptil 1 2 3 4 5 6 7
1996*
6
2
Macaca fascicularis Rattus sp.
X X
Total
0
2
Sumber : Fahutan IPB (1996)
Pengamatan
yang
dilakukan
tahun
2011,
menunjukkah
bahwa
keanekragaman jenis satwaliar pada kawasan mangrove Muara Angke 68 jenis yang terdiri atas mamalia (4 jenis), burung (61 jenis), dan reptilia (3 jenis). Jenis endemik mangrove, yaitu bubut jawa (Centropus nigrorufus) masih dijumpai pada kawasan mangrove Muara Angke (SMMA dan Hutan Lindung). Jumlah jenis satwaliar (mamalia, burung, dan reptilia) pada masing-masing lokasi seperti pada Tabel 22.
Tabel 22 Daftar total jenis satwaliar di kawasan mangrove Muara Angke tahun 2011 Lokasi No A. 1 2 3 4
Nama Indonesia Mamalia Kera ekor-panjang Bajing kelapa Tikus belukar Berang-berang air
Nama ilmiah
Macaca fascicularis Calosciurus nottatus Rattus tiomanicus sabae Lutra lutra
Famili
Cercopithecidae Sciuridae Muridae Mustelidae
1
2
10 2 1 1
3
3
4
1
1
5
6
95
Tabel 22 Daftar total jenis satwaliar di kawasan mangrove Muara Angke tahun 2011 (lanjutan) No Nama Indonesia
Nama ilmiah
Famili
B. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54
Orthotomus ruficeps Copsychus saularis Hirundo tahitica Centropus bengalensis Cacomantis sonneratii Meiglyptes tristis Haliaestur indus Amaurornis phoenichurus Streptopelia chinensis Prinia flaviventris Caprimulgus affinis Treron vernans Dendrocygna arcuata Gerygone sulphurea Anthreptes malacensis Pycnonotus aurigaster Orthotomus seriuceus Porzana pusilla Ixobrychus cinamomeus Picoides moluccensis Tringa stagnatilis Melacocincla sepiarium Rhipidura javanica Ardea purpurea Prinia familiaris Acridotheres javanicus Passer montanus Aegithina tiphia Colocallia maxima Dicaeum trochileum Lonchura leucogastroides Halcyon chloris Egretta garzeta Acrocephalus orientalis Artamus leucorynchus Alcedo caerulescens Alcedo meninting Anhinga melanogaster Apus affinis Ardea cinerea Ardeola speciosa Butorides striatus Collocalia fuchiphaga Egretta intermedia Hemipus hirundinaceus Lalage nigra Lonchura punctulata Nectarinia jugularis Nycticorax nycticorax Orthotomus sepium Parus major Pycnonotus goiavier Zosterops palpebrosus Anas gibberifrons
Silviidae Turdidae Hirundinidae Cuculidae Cuculidae Picidae Acciptridae Rallidae Columbidae Silviidae Caprimulgidae Columbidae Anatidae Silviidae Nectarinidae Pycnonotidae Silviidae Rallidae Rallidae Picidae Scolopacidae Timaliidae Rhipiduridae Ardeidae Silviidae Sturnidae Ploceidaee Chloropseidae Apodidae Dicaeidae Ploceidaee Alcedinidae Ardeidae Silviidae Artamidae Alcedinidae Alcedinidae Anhingidae Apodidae Ardeidae Ardeidae Ardeidae Apodidae Ardeidae Campephagidae Campephagidae Ploceidaee Nectarinidae Ardeidae Silviidae Paridae Pycnonotidae Zosteropidae Anatidae
Burung Cinenen kelabu Kucica kampung Layang-layang batu Bubut alang-alang Wiwik lurik Caladi batu Elang bondol Kareo padi Tekukur biasa Prenjak rawa Cabak kota Punai gading Belibis kembang Remetuk laut Burung madu kelapa Cucak kutilang Cinenen merah Tikusan kerdil Bambangan merah Caladi tilik Trinil rawa Pelanduk semak Kipasan belang Cangak merah Prenjak jawa Kerak kerbau Burung-gereja erasia Cipoh kacat Walet sarang-hitam Cabe jawa Bondol jawa Cekakak sungai Kuntul kecil Kerakbasi besar Kekep babi Raja-udang biru Raja-udang meninting Pecuk-ular Asia Kapinis rumah Cangak abu Blekok sawah Kokokan laut Walet sarang-putih Kuntul perak Jingjing batu Kapasan kemiri Bondol peking Burung-madu Sriganti Kowak-malam kelabu Cinenen jawa Gelatik-batu Kelabu Merbah cerukcuk Kacamata biasa Itik benjut
1
2
1 1 1 1 1
1
Lokasi 4
5
3
1
3
1 1 1 2 2 1 1 8 1 1
5
2 2
1 1 1 3
3 1
1
1
6
2 1 1 2 3 1 1 2 1 5 3 2 6 2 4 1 3 2 3 1 1 5 3 1 6 7 2 2 2 1 3 1 3 2 2 3 4
2 1
2 1
2 1 1
1 3 1
2
2
6 1
2 3 1 2 1 3
1 3 2 1 2 1
1 2 1
1 1 4
2 1 34
1
1
1
4
25
1 1
4 25 15
1 2 1
1
2
5 4 3
45
2 1
9 2 2
9
3 2
96
Tabel 22 Daftar total jenis satwaliar di kawasan mangrove Muara Angke tahun 2011 (lanjutan) No Nama Indonesia
Nama ilmiah
Famili
55 56 57 58 59 60 61 C. 1 2 3
Phalacrocorax sulcirostris Tringa hypoleucos Orthotomus sutorius Pandion haliaetus Egretta alba Ixobrychus eurhythmus Centropus nigrorufus
Phalacrocoridae Scolopacidae Silviidae Pandionidae Ardeidae Ardeidae
Eutropis multifasciata Varanus salvator Homalopsis buccata
Scincidae Varanidae Colubridae
Pecuk-padi Hitam Trinil pantai Cinenen pisang Elang tiram Kuntul besar Bambangan coklat Bubut Jawa Reptilia Kadal kebun Biawak Ular kadut
1
2
Jumlah jenis Keterangan lokasi: 1 Suaka Margasatwa Muara Angke 2 Hutan Lindung Muara Angke 3 Hutan Wisata Kamal 4 Hutan Lindung dan Kawasan Reklamasi 5 Kawasan/Blok Ekowisata Muara Angke 6 Arboretum Muara Angke
Lokasi 4
3
1
5 50 6
6 5
2 1 1
1
Jumlah perjumpaan (individu)
2 2 2
1 1
15 1
1
1 1 1
1 1
1 1
1 1
1
1
134
69
25
47
237
21
58
36
18
24
20
6
Sumber : Data Primer (2011)
4.3.4
Biota Air Sesuai dengan hasil pengukuran kualitas air, bahwa kondisi perairan
Sungai di kawasan Muara Angke yang telah tercemar berat memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan biota perairan. Hasil kajian KP2L Pemda DKI (1998) melaporkan bahwa berbagai biota perairan baik mikroba, plankton, benthos, maupun ikan sungai di Muara Angke telah menunjukkan indikasi tercemar berat. Jenis benthos tidak dijumpai selama periode pemantauan 1996/1997, sementara jenis ikan yang dijumpai hanya ikan sapu-sapu. Adapun hasil dari pengukuran atau pengambilan contoh biota selama pengamatan dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Plankton Plankton adalah jasad-jasad renik mikro, baik yang bersifat nabati
(fitoplankton) maupun hewani (zooplankton) yang hidup melayang di dalam perairan. Hewan plankton merupakan jenjang tropik dasar dalam jaring-jaring makanan (food web) di perairan. Keberadaan plankton (jenis dan populasinya) sangat dipengaruhi oleh kondisi kualitas medium hidupnya di air. Perairan yang
97
subur dengan kandungan zat-zat hara yang cukup akan mendukung keberadaan plankton sebaliknya, perairan yang tercemar menurunkan keanekaragaman jenis dan kepadatan populasinya. Dari hasil pengukuran Tim Fahutan IPB (1996) tercatat ada 24 anggota dari Fillum Baccillariophyta, Clorophyta, dan Cynophyta. Selengkapnya jumlah fitoplankton terlihat dalam Tabel 23. Tabel 23 Kandungan fitoplakton di SMMA tahun 1996 Station Individu Fillum Baccillariophyta Amphora Amphypora Bacteriastrum Chetoceros Closterium Coscinodiscus Fragillaria Lauderia Nitzschia Rhizosolenia Synedra Stephanopyxis Pleurosigma Leptocylindrus Fillum Cyanophyta Coelosphaerium Gleotricha Trichodesmium Fillum Chlorophyta Coerella Dispor Scedesmus Spirulina Uronema Zygnemopsis Schederirta Jumlah Taxa Total Individu Index Diversitas (H) H Maksimum Equibiliti (E) Dominasi (D) Saprobitas (X) Sumber : Fahutan IPB (1996)
I
II
III
332,79 107,5 53,79 484,19 53,79 107,5 53,79 53,79 1075,98 107,5 -
107,5 53,79 376,59 53,79 53,79 53,79 107,5 591,79 53,79 -
379,59 107,5 161,397 161,379 161,379 53,79
107,5 53,79 -
53,79 268,99 53,79
161,379 591,78 -
322,79 53,79 53,79 123,79 16 3281,58 2,24 3,99 0,56 1,53 0,615
268,99 53,79 53,79 215,19 322,79 18 2797,23 2,502 4,166 0,6 0,99 0,882
645,58 53,79 215,19 914,58 107,5 14 3765,678 2,251 3,807 0,59 0,968 1,153
98
Hasil pengukuran Tim Rencana Pengelolaan (2000) di areal SMMA telah memperlihatkan kecenderungan tingkat keanekaragaman dan populasi yang rendah. Tabel 24 Hasil analisis phytoplankton di SMMA tahun 2000 Stasiun Organisme Myxophyceae Phormidium sp. Spirulina sp. Euglenophyceae Phacus sp. Euglena sp. Chlorophyceae Scenedesmus sp. Pediastrum sp. Actinastrum sp. Crucigenia sp. Platydorina sp. Volvox sp. Bacillariophyceae Nitzschia sp. Melosira sp. Surirella sp. Skeletonema sp. Chaetoceros sp. Rhizosolenia sp. Biddulphia sp. Gyrosigma sp. Achnanthes sp. Tabellaria sp. Cymbella sp. Dynophyceae Peridinium sp. Jumlah Taksa Jumlah Individu Indeks Keragaman Indeks Keseragaman Indeks Dominansi
I
II
III
IV
118 47
141 47
283 47
235 0
59 23
12 83
12 24
12 0
212 12 12 35 0 12
47 83 0 0 0 12
0 12 0 0 12 0
0 0 0 0 0 0
47 118 0 0 0 0 0 0 0 0 0
71 12 12 0 0 0 0 0 0 0 0
47 0 0 129 17 24 0 0 0 0 0
43.471 47 0 0 5.434 1.358 36 12 12 17.660 184.754
0 11.0 695 2,01 0,84 0,17
0 10.0 520 1,72 0,86 0,16
0 10.0 661 1,83 0,79 0,24
12 12.0 253.043 0,83 0,33 0,56
Sumber : LPP mangrove (2000).
b.
Benthos Benthos adalah jasad hewani maupun nabati yang hidup di dasar perairan.
Keberadaan benthos terutama makrozoobenthos sangat dipengaruhi oleh kondisi kualitas sedimen dasar. Dari hasil pengamatan Tim Fahutan IPB (1996) nilai
99
indeks keanekaragaman dapat digambarkan bahwa jumlah benthos di hutan mangrove termasuk sedang, dengan tingkat kesamaan penyebaran yang merata yang didominasi oleh Fillum Nematelmintes. Potensi makrozoobenthos perairan sangat rendah. Sementara dominasi Melaniodes sp. pada beberapa lokasi mengindikasikan tingkat pencemaran yang berat. Sedangkan dilihat dari perhitungan indeks keanekaragaman yang berkisar antara 0 - 0,92 menunjukkan tingkat perairan yang tercemar berat (Indeks Keanekaragaman <1,0).
Di samping itu keberadaan cacing Oligochaeta juga
merupakan indikasi kondisi perairan yang telah tercemar sangat berat (Wilhn 1975), di samping jenis Destropoda Melaniodes sp. (Nurifdinayah 1993). c.
Ikan Di dalam ekosistem perairan, ikan termasuk kelompok nekton, yaitu
hewan perairan yang mampu bergerak leluasa dengan kemampuan alat geraknya. Sebagai hewan air, sebagian besar jenis ikan bernafas dengan insang dan mengandalkan oksigen terlarut di perairan. Sedangkan sebagian jenis lainnya mampu mengambil oksigen dari udara sehingga lebih adaptif hidup di perairan yang beroksigen rendah akibat pencemaran organik. Hasil penangkapan ikan di kawasan SMMA ternyata hanya mendapatkan beberapa jenis saja (Tabel 25). Tabel 25 Jenis-jenis ikan di kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke tahun 2000 Lokasi No
Jenis Ikan
Nama Ilmiah
1 2 3
Gabus Sepat Jawa Sepat Rawa
Ophiocephalus striatus Trichogaster trichopteris Trichogaster pectoralis
1 -
2 -
3 -
4 x x
5 v x x
6 v v x
4 5 6
Batok Gapi Keting
Anabas testudineus Lebistes reticulatus Ketengus sp.
-
-
x
-
x x -
x x -
7 8
Kiper Pepetek
Scatophagus argus Leiognathus sp.
-
-
x x
-
-
-
9.
Julung-julung
-
-
x
-
x
x
10.
Kepala timah
-
-
x
-
x
x
11.
Nila
-
-
-
x
x
x
Sumber : LPP Mangrove (2000) Keterangan : Lokasi 1,2,3 Lokasi 4,5,6
: Sungai Angke dari hulu ke muara : Genangan/parit/rawa di dalam Suaka Margasatwa Muara Angke
100
Dari Tabel 25 dapat dijadikan petunjuk bahwa kondisi perairan Sungai Angke di lokasi 1 dan 2 sudah tercemar berat dengan tidak dijumpainya jenisjenis ikan selama penelitian lapangan. Data yang sama juga dilaporkan oleh KP2L Pemda DKI (1998) yang hanya menemukan ikan sapu-sapu (Hypotamus sp.). Kondisi tercemar ini juga ditunjukkan dari hasil analisis air dengan kadar oksigen nol, BOD 442,25 - 499,57 ppm dan COD 666,68 - 761,92 ppm. Baku mutu air golongan B, C, dan D mensyaratkan kadar O2 > 3 ppm, BOD < 20 ppm, dan COD < 30 ppm. Adapun perairan di dalam areal SMMA, baik di bawah tegakan mangrove (st 4), di parit keliling (st 5), dan rawa (st 6) masih dijumpai beberapa jenis ikan. Namun demikian karena pengaruh airnya lebih dominan berasal dari luapan pasang air S. Angke, maka kondisinya juga telah tercemar berat dan salinitasnya rendah. Jenis-jenis ikan yang dijumpai hanyalah jenis-jenis ikan tawar yang toleran terhadap kondisi oksigen rendah, yaitu sepat, gabus, dan betok. Dari keseluruhan jenis-jenis ikan yang teridentifikasi selama pengamatan maupun data sekunder menunjukkan bahwa perairan S. Angke maupun rawa-rawa di dalam kawasan suaka margasatwa telah tercemar berat. Tabel 26 Hasil analisis biota air (kelimpahan zooplankton, ind/l) pada plot pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke STASIUN PENGAMATAN ORGANISME COPEPODA
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Nauplius
3
0
3
0
36
3
45
0
9
Cyclops sp.
3
0
0
0
9
0
225
0
0
Monostylla sp.
3
0
0
3
0
0
0
0
0
Philodina sp.
6
0
0
0
0
0
0
0
0
Filinia sp.
3
3
3
0
6
0
0
0
0
Brachionus sp.
3
3
3
0
18
3
0
0
0
Lepadella sp.
0
3
0
0
0
0
0
0
0
Squatinella sp.
0
0
3
0
0
0
45
0
0
Rotatoria sp.
0
0
3
0
21
0
0
0
0
Polyarthra sp.
0
0
3
0
3
0
0
0
0
Anuraeopsis sp.
0
0
3
0
0
0
0
0
0
Keratella sp.
0
0
0
0
3
3
0
0
0
Notolca sp.
0
0
0
0
0
0
0
0
3
Lecane sp.
0
0
0
0
0
0
45
0
0
ROTIPERA
101
Tabel 26 Hasil analisis biota air (kelimpahan zooplankton, ind/l) pada plot pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke (lanjutan) STASIUN PENGAMATAN ORGANISME
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Favella sp.
0
0
0
0
0
0
0
0
3
Codonella sp.
0
0
0
0
0
0
0
0
3
Paramecium sp.
0
0
0
0
0
3
0
0
0
Arcella sp.
3
3
0
0
0
0
0
0
0
Euplotes sp.
0
0
0
0
0
3
0
0
0
Moina sp.
0
0
0
0
3
0
0
0
0
Jumlah Taksa
7
4
7
1
8
5
4
0
4
Jumlah Individu
24
12
21
3
99
15
360
0
18
Indeks Keragaman Indeks Keseragaman Indeks Dominansi
1,9
1,38
1,94
0
1,77
1,61
1,07
0
1,24
0,98
1,38
1,94
-
0,85
1,61
0,77
0
0,9
0,15
1
1
1
0,27
1
0,43
0
0,33
PROTOZOA
CLADOCESA
Sumber : Santoso, N (2002) Keterangan : 1=Sungai Angke (Dermaga); 2=Sungai Pandan; 3=Muara Angke; 4=Dalam Kawasan SMMA (Tikungan Jembatan Kayu); 5=Cengkareng Drain (Jembatan); 6=Hutan Lindung; 7=Jalan Tol (Kiri); 8=Sungai Kamal (Jembatan); 9=Hutan Wisata (Kolam Tambak)
Tabel 27 Hasil analisis biota air (kelimpahan phytoplankton, ind/l) pada plot pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke STASIUN PENGAMATAN ORGANISME MYXOPHYCEAE Oscillatoria sp. Spirulina sp. Agmeletum sp. Trichodesmium sp. Phormidium sp. EUGLENOPHYCEAE Euglena sp. Phacus sp. CHLOROPHYCEAE Pediastrum sp. Staurastrum sp. Actinoastrum sp. Selenastrum sp. Closterium sp. Scenedesmus sp. Eudorina sp. Ankistrodesmus sp. Pandorina sp. CYANOPHYCEAE Mycrosistis sp.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0 392 0 0 436
0 2.246 448 0 1.909
0 842 0 0 1.008
171 342 0 342 855
0 1.116 0 372 1.860
0 0 0 67 0
3374 1.687 0 0 21.934
0 0 0 84 0
0 0 0 0 0
22 196
0 561
0 0
342 0
0 744
0 268
0 0
0 0
0 0
66 88 0 176 0 456 0 0 0
336 112 0 448 0 12.132 112 0 0
0 0 252 0 0 0 0 0 0
171 0 1.016 0 171 684 0 77.695 0
248 228 2.604 0 0 1.488 0 0 0
134 0 0 0 67 536 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 1.687
84 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
44
112
0
171
124
67
0
0
0
102
Tabel 27 Hasil analisis biota air (kelimpahan phytoplankton, ind/l) pada plot pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke (lanjutan) ORGANISME BACILLARIOPHYCEAE Eunotia sp. Gomphonema sp. Navicula sp. Nitzschia sp. Melosira sp. Surirella sp. Cymbella sp. Coscinodiscus sp. Diatoma sp. Gyrosigma sp. Rhizosolenia sp. Skeletonema sp. Chaetoceros sp. Stephanopyxis sp. Amphiprora sp. Asterionella sp. DINOPHYCEAE Peridinium sp. Jumlah Taksa Jumlah Individu Indeks Keragaman Indeks Keseragaman Indeks Dominansi Sumber : Santoso, N (2002)
STASIUN PENGAMATAN 4 5 6 7
1
2
3
261 22 44 109 44 22 22 0 0 0 0 0 0 0 0 0
336 0 224 789 336 0 112 224 673 0 0 0 0 0 0
674 0 0 84 0 0 0 84 0 0 504 421 0 0 0 0
342 171 2.052 513 0 0 0 0 342 0 0 171 0 171 0 0
498 0 0 124 3.596 0 0 0 0 0 0 2.232 498 124 0 0
0 0 67 134 335 67 0 0 0 67 0 191 0 0 0 0
0 16 2400 2,31 0,83 0,12
0 17 21110 1,74 0,61 0,35
0 8 3869 1,83 0,88 0,17
0 18 15722 1,95 0,67 0,27
0 15 15856 2,26 0,84 0,14
0 12 2000 2,19 0,9 0,14
8
9
0 0 5.061 3.374 0 1.687 1.687 0 0 5.061 0 0 0 0 1.687 0
0 0 84 252 0 0 0 0 0 84 0 0 0 0 0 0
0 0 268 6.636 0 0 0 0 0 469 204 79.652 3.318 0 67 804
0 10 47239 1,8 0,78 0,25
0 5 588 1,41 0,91 0,25
335 9 91753 0,55 0,25 0,76
Keterangan : 1=Sungai Angke (Dermaga); 2=Sungai Pandan; 3=Muara Angke; 4=Dalam Kawasan SMMA (Tikungan Jembatan Kayu); 5=Cengkareng Drain (Jembatan); 6=Hutan Lindung; 7=Jalan Tol (Kiri); 8=Sungai Kamal (Jembatan); 9=Hutan Wisata (Kolam Tambak)
Tabel 28 Hasil analisis biota air (kelimpahan benthos, ind/m2) pada berbagai plot pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke STASIUN PENGAMATAN ORGANISME GASTROPODA Melanoides sp. Bellamya sp. Pomacea sp. PELECYPODA Modiolus sp. Perna sp. CRUSTACEAE Section of Caridea sp. Jumlah Taksa Jumlah Individu Indeks Keragaman Indeks Keseragaman
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0 0 0
0 0 0
0 0 0
100 0 34
0 34 234
100 0 0
800 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0
0 0
0 1.112
0 0
0 0
100 0
600 1.167
0 0
0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 1 1.112 0 -
0 2 134 0,82 0,82
0 2 268 0,55 0,55
0 2 200 1 1
0 3 2.567 1,53 0,97
0 0 0 0 0
34 1 34 0 -
103
Tabel 28 Hasil analisis biota air (kelimpahan benthos, ind/m 2) pada berbagai plot pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke (lanjutan) STASIUN PENGAMATAN ORGANISME
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Indeks Dominansi Sumber : Santoso, N (2002)
0
0
1
0,62
0,78
0,5
0,36
0
1
Keterangan : 1=Sungai Angke (Dermaga); 2=Sungai Pandan; 3=Muara Angke; 4=Dalam Kawasan SMMA (Tikungan Jembatan Kayu); 5=Cengkareng Drain (Jembatan); 6=Hutan Lindung; 7=Jalan Tol (Kiri); 8=Sungai Kamal (Jembatan); 9=Hutan Wisata (Kolam Tambak)
4.4
Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Aksesibilitas terhadap kawasan konservasi yang berada di DKI Jakarta ini
sangat tinggi, maka peranan sosial ekonomi masyarakat sekitar menjadi sangat penting dalam pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Kondisi sosial ekonomi masyarakat ini sangat mempengaruhi upaya konservasi sumberdaya alam hayati di kawasan tersebut, terutama berupa tekanan-tekanan terhadap keberadaan dan integritas sumberdaya alam (Dinas Kehutanan DKI Jakarta dan Pusat Pengkajian Keanekaragaman Hayati Tropika Lembaga Penelitian IPB 1997). Menurut data Monografi dan Laporan Tahunan Kelurahan 2010, Kelurahan Kamal Muara dengan luas wilayah 1.053 ha mempunyai jumlah penduduk sebanyak 8.960 jiwa dengan kepadatan 9,0 jiwa/ha dengan laju pertumbuhan penduduk 0,4 %. Kelurahan Kapuk Muara dengan luas wilayah 1005,5 ha mempunyai jumlah penduduk sebesar 23.522 jiwa dengan kepadatan 23 jiwa/ha dan laju pertumbuhan 10,9 %. Kedua
wilayah
tersebut
mempunyai
perbedaan
komposisi
mata
pencaharian (basis ekonomi) yang mencolok. Kelurahan Kapuk Muara mayoritas bermatapencaharian sebagai buruh atau karyawan swasta yaitu sebesar 15.339 jiwa atau hampir 2/3 dari jumlah penduduk di kelurahan ini. Selanjutnya, kelurahan Kamal Muara mata pencaharian terbesar adalah nelayan atau tani sebanyak 3.165 jiwa. Jumlah penduduk dengan matapencaharian tani atau nelayan Kapuk Muara hanya sebanyak 33 jiwa. Lapangan pekerjaan karyawan atau buruh di kedua wilayah cukup besar dibandingkan dengan mata pencaharian lainnya (Laporam Hasil Pembinaan dan Kegiatan Pemerintah Kelurahan 2010). Komposisi penganut agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menunjukan sebagian besar beragama Islam. Kelurahan Kamal Muara dan
104
Kapuk Muara Penjaringan mempunyai persentase pemeluk agama Islam berturutturut adalah 56 % dan 75 %. Kegiatan masyarakat yang berhubungan langsung dengan hutan lindung adalah: sebagai nelayan, pencari bibit mangrove, penyedia bibit dan penanaman mangrove, pencari ikan (mancing dan menjala), berekreasi dengan memancing, dan pemulung plastik (Laporan Hasil Pembinaan dan Kegiatan Pemerintah Kelurahan 2010). Sebagai nelayan yang mencari ikan di laut, sebagian kecil nelayan menambatkan perahu dan bertempat tinggal sementara di hutan lindung dengan membuat gubuk. Pencari ikan mencari ikan dengan memancing dan menjala atau memasang bubu di hutan lindung, sungai atau tambak di belakang hutan mangrove, sedangkan pada hari-hari libur masyarakat sekitar areal hutan lindung dengan menggunakan sepeda atau sepeda motor berekreasi sambil memancing. Kegiatan masyarakat yang berdampak langsung terhadap hutan lindung di jalur Ekowisata mangrove Tol Soediyatmo adalah pemanfaatan lahan sebagai kolam pemancingan di antara guludan-guludan mangrove. Pemanfaatan jenis ini tidak terlalu mengkawatirkan akan kelestarian mangrove. Sebaliknya, adanya intensitas peningkatan penanaman mangrove dengan metode guludan oleh pemerintah, swasta, akademisi, dan lainnya secara tidak langsung menggeser keberadaan mereka di sekitar lokasi kawasna lindung mangrove Jakarta. Kepemilikan pengguna lahan di Kelurahan Kapuk Muara adalah sebagai berikut: 23,2 % (pertanian); 5,0 % (industri); 53,8 % (pemukiman); 3,1 % (perkantoran); 0,6 % (perdagangan); lain-lain sebesar 14,3 %. Di Kamal Muara kepemilikan penggunaan lahan adalah sebagai berikut: 52,0 % (pertanian); 43,87 % (perkantoran, pemukiman, dan perdagangan); lain-lain sebesar 4,13 %. Khusus di areal hutan lindung, areal yang ada saat ini berupa:
Areal hutan yang dipadati tegakan pohon atau hutan, terutama di sekitar Cengkareng Drain dan sekitar break water PT. Mandara Permai
Areal tambak, yaitu areal hutan lindung yang berupa parit atau kolam untuk tambak ikan dan digarap oleh masyarakat
Tanggul-tanggul batas tambak, tanggul timbunan sampah dan tanggul pencegah abrasi.
105
Berdasarkan fungsi, areal hutan lindung dikembangkan untuk: (1) perlindungan, (2) konservasi, dan (3) rekreasi alam, sedangkan berdasarkan areal kunjungan akan dikembangkan ruang dengan orientasi terhadap: (1) penerimaan, (2) transisi, dan (3) ekologis. Luas areal hutan lindung yang semula hanya 44,67 ha setelah dikembangkan atau diperluas diperkirakan akan menjadi 81,7 ha (Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Fakultas Kehutanan IPB 2000).
4.4.1
Penduduk Secara administratif hutan mangrove Muara Angke termasuk wilayah
Kelurahan Kapuk Muara dan Kelurahan Kamal Muara, namun Kelurahan Penjaringan, Kelurahan Tegal Alur dan Kelurahan Pluit juga berinteraksi dengan kawasan mangrove Muara Angke. Laporan Sensus Penduduk Jakarta Utara (2010) luas wilayah Kodya jakarta Utara 146,66 km2, dengan jumlah penduduk tahun 2010 sebanyak 1.645.312 jiwa (300.970 KK) dengan rincian jumlah laki-laki 824.159 jiwa (50 %) dan jumlah perempuan 821.153 jiwa (50 %). Kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Koja sebesar 23.529 jiwa per km2 sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Penjaringan sebesar 6.748 jiwa per km2. Jumlah penduduk per kecamatan tertinggi di Kecamatan Tanjung Priok sebesar 22,80 % (375.131 jiwa) dan kecamatan Penjaringan sebesar 18,6 2% (300.434 jiwa). Tingginya tingkat kepadatan penduduk di Kodya Jakarta Utara ini dikarenakan tingkat urbanisasi yang tinggi. Dalam laporan sensus penduduk Jakarta Utara (2010) luas wilayah Kecamatan Penjaringan 35,49 km2, dengan jumlah penduduk 306.351 jiwa (152.584 jiwa laki-laki dan 153.767 jiwa perempuan), kepadatan penduduk 6.748 jiwa/km2. Penduduk yang berdekatan dengan hutan mangrove Muara Angke adalah penduduk yang tinggal di Kelurahan Pluit. Di samping itu beberapa anggota masyarakat luar juga ikut memberikan pengaruh terhadap keberadaan hutan mangrove, seperti Kelurahan Tegal Alur, Kelurahan Kamal Muara, dan Kelurahan Teluk Gong.
106
a.
Kelurahan Pluit Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 1251 Tahun
1986 tanggal 26 Juli 1986 tentang Pemecahan, Penyatuan, Penetapan Batas, Perubahan Nama Kelurahan di DKI Jakarta, salah satunya adalah Kelurahan Pluit yang merupakan pecahan dari 2 (dua) Kelurahan yaitu Kelurahan Penjaringan dan Kelurahan Pejagalan. Kelurahan Pluit mulai aktif menyelenggarakan tugas pemerintahan dan kemasyarakatan serta pembinaan ketertiban wilayah pada tanggal 1 Nopember 1986. Masyarakat yang terkait erat dengan SMMA adalah masyarakat yang tinggal di RW.01 dan RW.11 Kelurahan Pluit. Penduduk di Kelurahan Pluit (46.760 jiwa) yang terdiri atas: laki-laki (24.338 jiwa) dan perempuan (22.422 jiwa), dengan jumlah kepala keluarga 16.294 KK. Jumlah penduduk usia produktif (15 - 45 tahun) merupakan jumlah terbanyak yaitu 20.896 jiwa (44,69 %). Penduduk di Kelurahan Pluit mempunyai tingkat pendidikan yang merata mulai tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi. Sedangkan mata pencaharian masyarakat di Kelurahan Pluit beranekragam, hal ini dikarenakan Kelurahan Pluit masih dekat pusat kota Jakarta. Tabel 29 No.
Kondisi penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di Kelurahan Pluit Jenis Pendidikan/ Mata pencaharian
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-laki 24.338
Perempuan 22.422
46.760
Jumlah Kepala Keluarga
13.573
2.721
16.294
1 2 3 4 5 6
Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat Akademi/P.T.
764 2.614 5.597 7.249 3.272
918 3.432 4.919 5.738 1.934
1.682 6.046 10.516 12.987 5.206
1 2 3 4 5
Pekerjaan Tani Karyawan Swasta/Negeri/ABRI Pedagang Nelayan Buruh tani
0 8.123 6.951 2.689 0
0 5.713 3.994 0 0
0 13.836 10.945 2.689 0
Jumlah Penduduk
107
Tabel 29 No. 6 7 8 9 10
Kondisi penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di Kelurahan Pluit (lanjutan)
Jenis Mata pencaharian
Pendidikan/
Pensiun Pertukangan Penganguran Fakir miskin Lain-lain
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
554 23 607 354 906
231 347 250 2.813
Jumlah 785 23 954 604 3719
Sumber : Monografi Kelurahan Pluit (2010)
b.
Kelurahan Kamal Muara Kelurahan Kamal Muara merupakan salah satu kelurahan yang ada di
Kecamatan penjaringan yang memiliki aktivitas dengan sektor perikanan dan kelautan. Masyarakat kelurahan ini juga banyak berinteraksi baik secara langsung dan tidak langsung dengan kawasan mangrove. Banyak penduduk kelurahan ini yang bermatapencaharian sebagai nelayan atau tani. Kecamatan ini memiliki luas wilayah seluas 1.053 ha terdiri dari 6 (enam) RW dan 44 RT dengan jumlah penduduk 8.960 jiwa dan 2.291 KK. Penggunaan lahan di Kelurahan Kamal Muara untuk kebutuhan perumahan hanya seluas 185,70 ha. Kebutuhan penggunaan lahan yang terbesar malahan di luar untuk perumahan dan industri seluas 670 ha. Penduduk di Kelurahan Kamal Muara sebagian besar didominasi oleh WNI yaitu sebanyak 8.955 jiwa (99,99 %) dan WNA Asing hanya sebanyak 5 jiwa (0,06 %). Jumlah penduduk 2.286 jiwa yang terdiri atas laki-laki (1.952 jiwa) dan perempuan 334 jiwa. Jumlah penduduk yang produktif di Kelurahan Kamal Muara (15-45 tahun) merupakan jumlah terbanyak yaitu 4.384 jiwa (48,93 %).
108
Tabel 30 Jumlah penduduk menurut kelas umur dan jenis kelamin di Keluruhan Kamal Muara No.
Umur
WNI
(Tahun) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
0–4 5–9 10 – 14 15 – 19 20 –24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 – 69 70 –74 75 - keatas Jumlah
WNA
Lakilaki 319 480 405 320 413 434 382 431 329 324 331 215 155 78 56 36
Perempuan
Jumlah
337 379 338 355 368 358 347 328 315 331 250 173 127 69 54 44
728 859 744 675 782 792 729 759 644 655 581 388 282 147 110 80
4.782
4.173
8.955
Keterangan
Lakilaki 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
Perempuan
Jumlah
(Jumlah)
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1
728 859 744 676 783 793 729 759 644 655 581 389 282 147 110 81
4
1
5
8.960
Sumber : Monografi Kelurahan Kamal Muara, 2010
Penduduk di Kelurahan Kamal Muara memiliki mata pencaharian beraneka ragam, hal ini dikarenakan Kelurahan Kamal Muara masih dekat pusat Kota Jakarta. Untuk lebih ringkasnya dapat disajikan pada Tabel 31.
Tabel 31 No.
Jumlah penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di Kelurahan Kamal Muara Mata pencaharian
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 4.786 4.174 1.952 334
Jumlah Penduduk Jumlah kepala Keluarga Pekerjaan 1 Tani 2 Karyawan Swasta/Negeri/ABRI 3 Pedagang 4 Nelayan 5 Buruh 6 Pensiun 7 Wirausaha 8 Lain-lain Sumber : Monografi Kelurahan Kamal Muara (2010)
c.
Jumlah 8.960 2.286 0 2.251 904 814 1.771 386 460 2.351
Kelurahan Kapuk Muara Kelurahan Kapuk Muara merupakan salah satu kelurahan yang dibentuk
berdasarkan surat keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor: DI-a/1/1/1974 tanggal
109
8 Januari 1974 tentang pemecahan wilayah administratif kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat dipecah mejadi dua wilayah kelurahan yaitu Kelurahan Kapuk Muara dan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara. Kemudian berdasarkan surat keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor: 1251 tahun 1986 tanggal 29 Juli 1986 tentang pemecahan, penyatuan, penetapan batas, perubahan nama dan penetapan luas wilayah kelurahan, sebagian wilayah keluarahan Kapuk Muara dari kali Cengkareng Drain ke arah barat menjadi wilayah kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan Kotamadya Jakarta Utara. Masyarakat kelurahan ini memiliki interaksi baik secara langsung dan tidak langsung dengan kawasan mangrove. Banyak penduduk kelurahan ini yang bermatapencaharian sebagai nelayan atau tani. Kecamatan ini memiliki luas wilayah seluas 1.055 ha terdiri dari 6 (enam) RW dan 44 RT dengan jumlah penduduk 8.960 jiwa dan 2.291 KK. Penggunaan lahan di Kelurahan Kapuk Muara untuk kebutuhan perumahan hanya seluas 483 ha. Kebutuhan penggunaan lahan yang terbesar di sektor industri seluas 495,4 ha. Berdasarkan data Monografi Kelurahan Kapuk Muara 2010 jumlah penduduk di Kelurahan Kapuk Muara sebanyak 23.522 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 10.753 jiwa. Warga kelurahan ini didominasi oleh WNI yaitu sebanyak 23.508 jiwa (99,94 %) dan WNA hanya sebanyak 14 jiwa (0,06 %). Jumlah penduduk yang produktif di Kelurahan Kapuk Muara (15-45 tahun) merupakan jumlah terbanyak yaitu 11.718 jiwa (49,82 %). Penduduk di Kelurahan Kapuk Muara memiliki mata pencaharian beraneka ragam, hal ini dikarenakan Kelurahan Kamal Muara masih dekat pusat kota Jakarta. Untuk lebih ringkasnya dapat disajikan pada Tabel 32.
110
Tabel 32 No.
Jumlah penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di Kelurahan Kapuk Muara Jenis Pendidikan/ Mata pencaharian
Jenis Kelamin Laki-laki 12.066
Jumlah Penduduk
Perempuan 11.442
Jumlah 23.522
Jumlah kepala Keluarga
10.753
1 2 3 4
Pendidikan SD SLTP SLTA SLTA
3.418 3.025 1.593 242
5 6 7 8
Akademisi S1 S2 S3
293 31 17
1
Pekerjaan Tani
2 3 4 5 6 7 8
Karyawan Swasta ABRI Pedagang Nelayan Buruh Pensiunan Swasta lainnya
8.213 17 752 21 7.126 64 1.969
PNS Lain-lain
83 2.014
9 10
12
Sumber : Monografi Kelurahan Kapuk Muara (2010)
d.
Kelurahan Penjaringan Masyarakat kelurahan ini memiliki interaksi baik secara langsung dan
tidak langsung dengan kawasan mangrove. Mayoritas penduduk kelurahan ini bermatapencaharian pedagang,
buruh karyawan pabrik, dan pegawai negeri.
Hanya sebagian kecil yang bermatapencaharian sebagai nelayan/tani. Kecamatan ini memiliki luas wilayah seluas 1.489,5 ha. Berdasarkan data Monografi Kelurahan Penjaringan 2010 jumlah penduduk di Kelurahan Penjaringan sebanyak 76.345 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 16.753 jiwa.Warga kelurahan ini didominasi oleh WNI yaitu sebanyak 76.208 jiwa (99,98%) dan WNA Asing hanya sebanyak 137 jiwa (0,2%). Jumlah penduduk yang produktif di Kelurahan Penjaringan (15-45 tahun) merupakan jumlah terbanyak yaitu 35.788 jiwa (46,9%).
111
Penduduk di Kelurahan Penjaringan memiliki mata pencaharian beraneka ragam, hal ini dikarenakan Kelurahan Penjaringan merupakan Kota Kecamatan Penjaringan dan memiliki jarak relatif dekat dengan pusat kota Jakarta. Untuk lebih ringkasnya dapat disajikan pada Tabel 33.
Tabel 33
No.
Jumlah penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di kelurahan penjaringan Jenis Pendidikan/ Mata pencaharian
Jumlah Penduduk Jumlah kepala Keluarga 01. Pendidikan 02. SD 03. SLTP SLTA 04. SLTA 05. Akademisi 06. S1 07. S2 S3 01. 02. 03. 04. 05. 06. 07. 08. 09. 10.
Jenis Kelamin Laki-laki (jiwa) Perempuan (jiwa) 39.005 37.340
Pekerjaan Tani Karyawan Swasta ABRI Pedagang Nelayan Buruh Pensiunan Swasta lainnya PNS Lain-lain
Jumlah (jiwa) 76.345 16.753 14.418 35.025 24.593 968 1.293 31 17
124 24.324 57 24.495 85 23.765 275 1.969 237 1.014
Sumber : Monografi Kelurahan Penjaringan (2010)
Dari struktur matapencaharian responden di setiap kelurahan sampel sebagaimana disajikan pada Tabel 34, tingkat pendapatan rata-rata di kelurahan yang menjadi sampel penelitian relatif beragam. Hanya responden di Kelurahan Penjaringan pendapatan terendah adalah karyawan swasta, sedangkan di kelurahan Muara Kamal pekerja Freelance, Pluit pedagang, Kapuk Muara pensiunan/iburumahtangga dan Tegal Alur pekerja karyawan swasta. Dengan demikian tipikal pendapatan responden berdasarkan matapencaharian dalam penelitian ini cenderung beragam sesuai dengan kondisi lokalistik kelurahan yang ada. Jika dibandingkan untuk semua jenis matapencaharian di keluarahan sampel jenis pekerjaan Pensiunan/Ibu rumah tangga memiliki tingkat pendapatan
112
terendah yaitu sebesar Rp. 1.950.000 per bulan. Tingkat pendapatan tertinggi untuk jenis matapencaharian/pekerjaan nelayan/tani yaitu sebesar Rp. 3,231,144 per bulan. Tingginya pendapatan nelayan ini disebabkan responden memiliki pekerjaan sampingan, sehingga sumber pendapatan responden tidak hanya bersumber dari satu sumber saja. nelayan/tani memiliki pekerjaan sampingan sebagai buruh bangunan dan biasanya juga menjalankan usaha dagang sembako dan lainnya. Berdasarkan sebaran pendapatan untuk semua kelurahan sampel, rata-rata tingkat pendapatan tertinggi adalah kelurahan pluit yaitu sebesat Rp. 3.274.350 per
bulan
dengan
tingkat
pendapatan
tertinggi
dari
matapencaharian
petani/nelayan. Sedangkan rata-rata tingkat pendapatan terendah adalah kelurahan Tegal Alur yaitu sebesar Rp. 1.995.833 per bulan. Tabel 34
No
Rata-rata tingkat pendapatan penduduk di Kelurahan Penjaringan, Muara Kamal, dan Pluit Jenis Mata Pencaharian Responden
Penjaringan
Muara Kamal
Pluit
1
Petani/nelayan
n 2
Pendapatan 2.500.000
n 9
Pendapatan 2.688.888
n 11
Pendapatan 4.504.545
2 3
PNS Pedagang
3 6
2.833.333 2.167.677
1 3
3.000.000 3.100.000
0 8
0 1.900.000
4
Karyawan Swasta
2
2.000.000
10
2.033.333
13
3.692.857
5 6
Freelance Pensiunan
4 0
3.975.00 0
4 6
1.233.333 1.900.000
0 1
0 3.000.000
Rata-rata
1
2.695.000
33
2.325.925
34
3.274.350
Keterangan : n = Jumlah responden (orang) Sumber : data primer
Tabel 35 Rata-rata tingkat pendapatan penduduk di Kelurahan Kapuk Muara dan Tegal Alur No
Jenis Matapencaharian Responden
Kapuk Muara Pendapatan 0
1
Petani/nelayan
2
PNS
3
3.166.666
1
2.500.000
3
Pedagang
4
1.787.500
8
1.950.000
4
Karyawan swasta
17
2.044.117
3
1.633.333
5
Freelance
0
0
0
0
6
Pensiunan
7
1.000.000
4
1.900.000
31
1.999.571
16
1.995.833
Rata-rata Keterangan : n = Jumlah responden (orang) Sumber : data primer
n 0
Tegal Alur Pendapatan 0
n 0
113
4.4.2 Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Kawasan Mangrove Muara Angke Secara umum masyarakat di sekitar Hutan Lindung Angke Kapuk dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori, yaitu masyarakat nelayan, masyarakat petambak, masyarakat gedungan di luar Perumahan Pantai Indah Kapuk (NonPIK), dan masyarkat perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK). Berdasarkan letak pemukiman dan ketergantungan terhadap ekosistem hutan lindung tersebut, maka masyarakat nelayan dan petambak merupakan komunitas yang paling intensif berinteraksi dengan kawasan hutan lindung dibanding dengan masyarkat kategori lainnya. Dalam kajian ini untuk mengetahui karakteristik dan persepsi keempat kategori masyarakat tersebut dilakukan wawancara dengan beberapa responden yang mewakili setiap kategori. Adapun hal-hal yang dikaji meliputi antara lain: Persepsi masyarakat terhadap keberadaan kawasan lindung Manfaat hutan lindung Upaya peletarian ekosistem hutan lindung. Secara rinci, hasil kajian terahadap kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk dapat diuraikan sebagai berikut:
a.
Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaaan Hutan Lindung Keberadaan dan kelestarian ekosistem Hutan Lindung Angke Kapuk
sangat ditentukan oleh intensitas gangguan masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, maka persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan lindung perlu dikaji secara seksama untuk memperoleh gambaran mengenai pandangan dan pemahaman masyarakat terhadap keberadaan dan kelestarian hutan lindung beserta ekosistem yang ada di dalamnya. Sehubungan dengan hal tesebut, dalam kajian ini diajukan beberap pertanyaan kepada responden dari setiap kategori sebagai berikut: 1.
Apakah masyarakat memahami fungsi hutan lindung dan ekosistem mangrove yang ada di dalamnya?
2.
Bagaimana persepsi masyarakat tentang kondisi vegetasi di hutan lindung pada masa lalu (10–20 tahun yang lalu) dibanding dengan kondisi saat ini?
114
Bagaimana persepsi masyarakat tentang tingkat kerusakan hutan lindung saat
3.
ini? 4.
Apakah hutan lindung perlu dipertahankan atau tidak? Hasil penghimpunan
data (wawancara) dan penilaiannya terhadap
jawaban setiap kategori responden dapat direkapitulisasi dan disajikan secara tabulasi seperti terlihat dalam Tabel 36.
Tabel 36 Persepsi masyarakat terhadap keberadaan kawasan lindung menurut persentase penilaian responden No 1
2
3
4
Persepsi Masyarakat
Nelayan (%)
Pemahaman masyarakat terhadap hutan lindung a. Sangat memahami 18,2 b. Memahami 45,5 c. Tidk memahami 36,4
Kategori Masyarakat Petambak Non-PIK (%) (%) 20,0 50,0 30,0
12,5 75,0 12,5
PIK (%) 0,0 56,6 44,4
Kondisi vegetasi di hutan lindung pada masa lalu (10 – 20 tahun yang lalu) a. Sangat lebat 27,3 30,0 50,0 b. Cukup lebat 18,2 10,0 12,5 c. Lebih baik dari sekarang 36,4 10,0 0,0 d. Sama seperti sekarang 9,1 10,0 0,0 e. Tidak tahu 9,1 40,0 3,0
0,0 44,4 33,3 0,0 22,2
Tingkat kerusakan hutan lindung a. Tidak rusak b. rusak c. Rusak sekali d. Tidak tahu
27,3 45,5 27,3 0,0
Perlu tidaknya hutan mangrove dipertahankan a. sangat perlu 27,3 b. Perlu 72,7 c. Tidak tahu 0,0
20,0 60,0 0,0 20,0
25,0 50,0 0,0 25,0
0,0 77,8 11,1 11,1
20,0 80,0 0,0
37,5 62,5 0,0
66,7 11,1 22,2
Sumber : Santoso, N (2002)
Berdasarkan Tabel 36, terlihat bahwa dari segi pemahaman terhadap fungsi hutan lindung, maka mayoritas masyarakat keempat kategori telah memahaminya. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya persentase jumlah responden yang menyatakan memahami dan sangat memahami fungsi hutan lindung, yaitu 63,7 % untuk masyarakat kategori nelayan; 70,0 % untuk masyarakat petambak; 87,5 % untuk masyarakat Non-PIK dan 55,6 % untuk masyarakat PIK. Terlihat pula bahwa persepsi masyarakat Non-PIK (yang kurang intensif berinteraksi
115
dengan ekosistem hutan lindung) relatif lebih baik dibanding dengan persepsi masyarakat nelayan dan masyarakat petambak, yang keduanya merupakan masyarakat yang paling intensif memanfaatkan potensi hutan lindung. Hal ini mungkin karena kategori masyarakat Non-PIK memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi (mayoritas berpendidikan SLTP dan SLTA) dibanding dengan masyarakat nelayan dan petambak, yang mayorita berpendidikan SD, sehingga memiliki pemahaman yang cukup baik tentang pentingnya hutan lindung. Selain itu, kehidupan masyarakat Non-PIK tidak terlalu bergantung akan sumberdaya hutan lindung dengan letak pemukiman yang relatif agak jauh dibanding masyarakat nelayan dan petambak. Ada pun masyarakat PIK, cukup wajar apabila mereka kurang memahami akan pentingnya fungsi hutan lindung mengingat sangat kurangnya mereka dengan ekosistem hutan lindung di samping letak perumahan mereka yang cukup jauh dengan kawasan hutan lindung. Berkaitan dengan kondisi hutan lindung, umumnya masyarakat di keempat kategori tersebut memiliki pemahaman yang cukup baik dalam arti mereka menyadari telah terjadi perubahan ekosistem pada masa lalu dengan masa sekarang. Secara umum, masyarakat menyatakan bahwa kondisi hutan lindung pada masa lalu (10 - 20 tahun yang lalu) yang lebih baik dari kondisi sekarang. Hal ini ditunjukkan dengan persentase responden yang menyatakan kondisi hutan lindung pada masa lalu sangat lebat, cukup lebat, dan lebih baik daripada sekarang, yaitu 81,9 % pada masyarakat nelayan; 50 % pada masyarakat petambak; 62,5 % pada masyarakat Non-PIK; dan 77,7% pada masyarakat PIK. Dari keempat kategori masyarakat tersebut terlihat suatu konsistensi penilaian, sehingga dapat disimpulkan bahwa umumnya mereka memahami dan menyadari perubahan yang terjadi pada kondisi hutan lindung yang pada masa lalu memiliki kondisi yang sangat baik. Melihat kondisi hutan lindung ini, maka sebanyak, 72,8 % responden dalam kategori masyarakat nelayan menyatakan rusak dan rusak sekali. Begitu pun dengan masyarakat petambak (60 %), Non-PIK (50 %), dan PIK (88,9 %) menyatakan kondisi hutan lindung saat ini telah rusak. Untuk itu, upaya mempertahankan keberadaan dan kelestarian hutan lindung menurut persepsi masyarakat perlu dilakukan. Hal ini terlihat dari besarnya persentase responden
116
yang memandang perlu dan sangat perlu dalam upaya pelestarian hutan lindung, yaitu seluruh responden (100 %) pada kategori masyarakat nelayan, petambak, dan Non-PIK dan 77,8 % responden dalam masyarakat PIK. Ada pun alasan mereka antara lain karena hutan mangrove memiliki kemampuan dapat:
Menjaga keseimbangan alam
Menambah estitika pantai
Mencegah abrasi pantai
Mempertahankan keanekaragman flora dan fauna
Menjaga keseimbangan udara dan lingkungan Jadi berdasarkan atas persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan
lindung tersebut dapat disimpulkan bahwa pada umumnya masyarakat pada keempat kategori di atas telah memahami dan menyadari akan arti pentingnya hutan lindung tersebut. Selain itu adanya persepsi yang positif dari masyarakat tersebut merupakan modal utama yang perlu dikembangkan untuk perberdayaan masyarakat dalam program pelestarian hutn lindung.
b.
Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat Hutan Lindung Sebagai salah satu sumberdaya alam, ekosistem Hutan Lindung Angke
Kapuk dapat memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung bagi kelangsungan hidup masyarakat setempat. Sesuai dengan peruntukannya sebagai kawasan lindung, maka sebenarnya pemanfatan sumberdaya hutan lindung sangat dibatasi, akan tetapi pada kenyataannya, ternyata di kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk terdapat kecenderungan pemanfaatan yang melebihi batas, seperti pembukaan tambak dan perumahan. Guna mengetahui persepsi masyarakat manfaat Hutan Lindung Angke Kapuk, dilakukan wawancara dengan masyarakat mengenai:
Intensitas interaksi masyarakat dengan ekosistem mangrove
Pemanfaatan hutan lindung sebagai tempat rekreasi
Persepsi masyarakat terhadap kegiatan pertambakan
117
Tabel 37
No 1
2
3
Persepsi masyarakat terhadap manfaat kawasan lindung menurut persentase penilaian responden
Kategori Masyarakat Nelayan Petambak Non-PIK (%) (%) (%) Intensitas interaksi masyarkat dengan hutan lindung a. Sering 0,0 60,0 0,0 27,3 20,0 25,0 b. Pernah 72,7 20,0 75,0 c. Belum pernah Pemanfaatan hutan mangrove sebagai tempat rekreasi keluarga a. Sangat setuju 9,1 10,0 0,0 b. Setuju 81,1 90,0 100,0 c. Tidak tahu 9,1 0,0 0,0 Perbandingan manfaat keberadaan tambak dengan hutan mangrove a.Lebih besar manfaat tambak 45,5 60,0 0,0 daripada mangrove b.Lebih besar manfaat huatn 54,5 30,0 87,5 mangrove daripada tambak c.Tidak tahu 0,0 10,0 12,5 Persepsi Masyarakat
PIK (%) 0,0 33,3 66,7 22,2 55,6 22,2 0,0 44,4 22,2
Sumber : Santoso, N (2002)
Dari Tabel 37 terlihat bahwa sebagai komunitas masyarakat yang relatif dekat dengan kawasan lindung umumnya masyarakat pernah berinteraksi dengan hutan lindung. Interaksi paling intensif terlihat pada masyarakat petambak (80,0 %) karena secara langsung mereka mengkonversi sebagian kawasan hutan lindung menjadi areal pertambakan. Sedangkan pada masyarakat nelayan, NonPIK, dan PIK umumnya merasa belum pernah berinteraksi secara intensif dengan hutan lindung. Dalam hal ini ketidakkonsistenan terlihat pada masyarakat nelayan, dimana mereka mengaku belum pernah berinteraksi (72,2 %) padahal pada kenyataanya mereka sangat tergantung pula pada potensi perairan di sekitar hutan lindung tersebut. Selain pemanfaatan dalam bentuk pengambilan potensi sumberdaya alam, alternatif pemanfaatan aspek estitika untuk kegiatan rekreasi ternyata mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat. Hal ini terlihat dari besarnya persentase responden yang menyatakan setuju dan sangat setuju, yaitu 90,9 % menurut pendapat nelayan; 100,0 % menurut pendapat masyarakat petambak dan NonPIK; serta 77,8 % menurut pendapat masyarakat PIK. Adapun alasan persetujuan mereka antara lain:
Mampu meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar
Sarana pendidikan linkungan bagi anak
118
Menambah estitika
Sarana beristirahat bernuansa alami Untuk itu, masyarakat mengharapkan pihak pengelola hutan lindung untuk
membangun sarana rekreasi seperti: pemancingan, wisata pantai, taman burung, arboretum alam dll, yang dilengkapi dengan sarana penunjang antara lain seperti: masjid, jalan, tempat berteduh, transportasi, rumah peristirahatan, dan kantin. Namun
mengingat
statusnya
sebagai
hutan
lindung,
maka
hendaknya
pembangunan sarana alternatif rekreasi tersebut jangan sampai merubah fungsi dan kondisi hutan lindung tersebut. Berkaitan dengan adanya pemanfaatan sebagian kawasan lindung menjadi areal pertambakan, terlihat adanya pro dan kontra di kalangan masyarakat. Dari data di atas, terlihat bahwa masyarakat nelayan (54,5 %); masyarakat Non-PIK (87,6 %); dan masyarakat PIK (44,4 %) memiliki persepsi yang sama bahwa hutan mangrove memberikan manfaat yang jauh lebih besar daripada tambak. Sedangkan menurut persepsi masyarakat petambak sendiri, walaupun sebagai besar (60 %) mereka berpendapat bahwa tambak memberikan manfaat yang lebih besar daripada hutan mangrove, tetapi sebagian masyarakat masih memiliki pandangan yang cukup baik bahwa dari segi kelestarian sumberdaya alam sudah barang tentu hutan mangrove memberikan manfaat yang lebih besar daripada tambak. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa umumnya masyarakat sekitar hutan lindung telah memahami dan merasakan manfaat keberadaan hutan lindung yang lebih baik secara langsung ataupun tidak. Akan tetapi, perlu diberikan pemahaman yang mendalam tentang perimbangan besarnya manfaaat ekonomis dan ekologis dari ekosistem hutan lindung tersebut. Hal ini mengingat akan desakan kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, sehingga terdapat kecenderungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat.
c.
Persepsi Masyarakat Mengenai Upaya Pelestarian Upaya pelestarian hutan lindung mutlak perlu dilakukan untuk
kelangsungan kelestarian di masa mendatang. Sebagai kawasan lindung yang
119
dikelilingi oleh komunitas masyarakat, kelestarian Hutan Lindung Angke Kapuk sangat ditentukan oleh peran aktif masyarakat sekitar. Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap upaya pelestarian hutan lindung, maka dalam kajian ini dilakukan wawancara dengan masyarakat sekitar. Hasil wawancara dapat direkapitulasi dengn menggunakan Tabel 38 berikut.
Tabel 38 Persepsi masyarakat pelestarian kawasan lindung menurut persentase penilaian responden No 1
2
3
4
5
Persepsi Masyarakat
Nelayan (%)
Kategori Masyarakat Petambak Non-PIK (%) (%)
PIK (%)
Kemampuan untuk mengamankan keberadaan hutan lindung a. Bersedia 100,0 90,0 b. Tidak bersedia 0,0 10,0 c. Tidak tahu 0,0 0,0
50,0 0,0 50,0
55,6 0,0 33,3
Kemamuan untuk memasyarakatkan pentingnya hutan lindung a. Bersedia 81,8 90,0 b. Tidak bersedia 18,2 10,0 c. Tidak tahu 0,0 0,0
62,5 0,0 37,5
66,7 0,0 22,2
Pemahaman mengenai akibat rusaknya hutan lindung a. Tahu 63,4 40,0 b. Tidak tahu 27,3 60,0
62,5 37,5
33,3 55,6
Persepsi terhadap keberadaan Perumahan Indah Kapuk (PIK) a. Baik 18,2 20,0 b. Tidak baik 27,3 0,0 c. Tidak tahu 54,5 80,0
87,5 0,0 12,5
55,6 0,0 22,2
Persepsi terhadap keberadaan tambak a. Baik 45,5 b. Tidak baik 9,1 c. Tidak tahu 36,4
50,0 25,0 25,0
44,4 11,1 22,2
100,0 0,0 0,0
Sumber : Santoso, N (2002)
Dari data di atas, umumnya kemauan masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam pengamanan hutan lindung yang cukup besar. Sebanyak 100 % responden yang berasal dari masyarakat nelayan, 90 % masyarakat petambak, 50 % masyarakat Non-PIK, dan 55 % masyarakat PIK masing-masing menyatakan bersedia turut serta dan berpartisipasi utnuk mengamankan dan melestarikan kawasan lindung. Hasil positif lainnya dari persepsi masyarakat tersebut adalah munculnya kemauan yang baik untuk memasyarakatkan pentingnya hutan lindung. Terlihat dari data di atas, bahwa persentase jumlah responden yang
120
menyatakan bersedia turut memasyarakatkan pentingnya hutan lindung cukup besar yaitu berkisar antara 62,5 % hingga 90 % pada masing-masing kategori masyarakat. Akan tetapi masyarakat nelayan dan petambak relatif lebih baik motivasinya dibanding masyarakat Non-PIK dan PIK. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat nelayan dan petambak relatif intensif dalam menggunakan sumberdaya hutan lindung, sehingga merasa bertanggung jawab pula atas kelestariannya.
e.
Penilaian Masyarakat Terhadap SMMA Masyarakat di sekitar SMMA adalah masyarakat yang heterogen yang
terdiri dari beberapa suku dan agama. Menurut kedudukan dan aktivitasnya, masyarakat sekitar SMMA terdiri atas: (1) masyarakat bantaran sungai, (2) masyarakat di kampung nelayan, (3) masyarakat umum, dan (4) masyarakat perumahan. Masyarakat di bantaran S. Angke terdiri atas masyarakat dari daerah Indramayu, Brebes, Demak, Surabaya, Kulon, dan Tangerang. Menurut informasi dari aparat kelurahan kawasan tersebut adalah pemukiman liar karena merupakan kawasan bantaran sungai. Khusus di dekat Muara S. Angke terdapat usaha peengolahan kerang hijau yang sudah berjalan sejak tahun 1993. Pengusahaan kerang hijau ini di satu sisi merupakan sumber penghasilan masyarakat, namun di lain pihak ikut memberikan sumbangan yang besar dalam penyempitan S. Angke melalui pembuangan cangkang kerang hijau di sepanjang pinggiran badan sungai. Permasalahan ini apabila tidak ditangani secara serius akan dapat mengakibatkan penyempitan terus-menerus pada S. Angke dan pada akhirnya dapat mendorong terjadinya banjir. Masyarakat di kampung nelayan merupakan komponen masyarakat yang bermatapencaharian utama sebagai nelayan. Pembangunan Kampung Nelayan ini sekitar tahun 1977-1979. Sedangkan status lahannya adalah pinjam pakai. Pembangunan perumahan di Kampung Nelayan sudah berlangsung 3 kali dan masyarakat terus mempertanyakan status lahan dan status kepemilikan. Penduduk di Kampung Nelayan sama dengan penduduk di bantaran sungai, mempunyai tingkat heterogenitas yang tinggi. Kegiatan pengasinan dilakukan oleh kelompok
121
masyarakat yang berasal dari Indramayu, kegiatan nelayan didominasi oleh Pesisir Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, sedangkan kegiatan berdagang dilakukan oleh penduduk dari Jawa, Makassar, dan Tangerang. Kelompok masyarakat di perumahan dapat dijelaskan bahwa bentuk kegiatannya adalah sebagai pemerhati satwaliar (monyet ekor panjang dan burung), sifatnya untuk rekreasi dan santai. Di samping itu kawasan SMMA juga dijadikan oleh kelompok-kelompok masyarakat sebagai tempat melepas burung dan kura-kura yang tujuannya di samping konservasi juga ibadah (kepercayaan Agama Budha). Untuk lebih mengetahui pandangan, persepsi dan keinginan masyarakat terhadap SMMA dapat dijelaskan sebagai berikut:
e.1.
Mengerti Tentang SMMA Responden di bantaran S. Angke dan kampung nelayan 80,6 %
mengetahui bahwa kawasan tersebut merupakan tanah Kehutanan dan 19,4 % sudah mengetahui status kawasan
sebagai kawasan konservasi (Suaka
Margasatwa Muara Angke). Hal lainnya menyebutkan bahwa masyarakat menyayangkan kawasan tersebut tidak dikelola sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan anggapan kawasan tersebut kurang bermanfaat. Wawancara secara mendalam dengan masyarakat menyatakan mereka setuju apabila kawasan SM Muara Angke dikelola dan diperbaiki kembali kondisinya, alasannya karena kawasan tersebut kalau terus dibiarkan kondisinya malah lebih rusak.
e.2.
Merasakan Manfaat dan Fungsi SMMA Berdasarkan
pemahamannya
terhadap
SMMA
masyarakat
belum
merasakan manfaat langsung dari SMMA, hanya ada beberapa aktivitas masyarakat yang memanfaatkan untuk mengambil sayur-sayuran (kangkung) dan buah nipah dipergunakan untuk bahan pangan. Respon dari masyarakat apabila SMMA dikembangkan pengelolaanya untuk kegiatan pendidikan lingkungan atau wisata terbatas 92,3 % menyatakan setuju dengan alasannya bervariasi yaitu 61,8 % akan berusaha menjadi pedagang makanan, 15,3 % mau menjadi pemandu, dan lainnya mau turut sebagai pekerja keamanan dan pekerja kebersihan.
122
e.3.
Penilaian Terhadap Kondisi SMMA Saat ini dan Sebelumnya Penilaian masyarakat terhadap kondisi SMMA saat ini jika dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya dijelaskan bahwasanya terjadinya penurunan kualitas habitat dan vegetasi termasuk satwaliar dan ikan. Untuk vegetasi dijelaskan bahwa masih banyak terdapat jenis pohon bakau di SMMA juga jenis ikan di perairan sekitar.
e.4.
Kesadaran Terhadap Pelestarian dan Perlindungan Hutan Mangrove Kepedulian
dan
kesadaran
masyarakat
terhadap
pelestarian
dan
perlindungan SMMA sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan dari wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat bahwa kawasan tersebut harus tetap dipertahankan unsur perlindungan dan pelestariaannya. Beberapa alasan yang mendasarinya adalah karena dapat mengurangi banjir dan merupakan tempat hidup satwaliar.
e.5.
Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan SMMA Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi serta pengamatan di lapangan
juga dengan penyebaran kuisioner terhadap anggota masyarakat di kampung nelayan dan di bantaran sungai menyebutkan bahwa kawasan SMMA tidak memberikan manfaat ekonomi terhadap masyarakat tetapi mempunyai fungsi untuk melindungi satwaliar. Hal ini disebabkan kurangnya penyuluhan dan sosialisasi terhadap masyarakat tentang status dan fungsi kawasan. Masih adanya anggapan bahwa SMMA dan Hutan Lindung Angke Kapuk sebagai daerah angker telah mengurangi interaksi masyarakat dengan kawasan SMMA. Beberapa tokoh masyarakat yang diwawancarai dan diskusi menjelaskan bahwasanya masyarakat mengharapkan dapat berperan serta dalam pengelolaan kawasan SMMA. Peran serta ini wujudnya dalam peningkatan pendapatan dan kesempatan berusaha merupakan faktor utama.
4.4.3
Interaksi Masyarakat dengan Hutan Mangrove Interaksi yang paling besar datang dari masyarakat nelayan yaitu dengan
menggunakan S. Angke sebagai tempat tinggal dan tempat melabuhkan kapal. Hal ini dikarenakan kondisi dari S. Angke yang menjorok ke dalam yang
123
menyebabkan keadaan kapal tidak akan rusak oleh angin dan air pasang. Selain itu juga letaknya yang berdekatan dengan pusat perdagangan ikan terbesar seJawa Barat yaitu TPI Muara Angke, sehingga memudahkan para nelayan untuk memasarkan ikan hasil tangkapan. Interaksi kedua adalah dari masyarakat petambak yang mengubah hutan bakau menjadi areal tambak, dan kebanyakan mereka membuka lahan ini tanpa ijin dari pemerintah setempat. Tapi rata-rata para pengusaha tambak ini kurang menyadari bahwa dengan semakin sedikitnya lokasi hutan bakau, maka hasil tambak mereka akan semakin menurun. Tapi alternatif yang ditawarkan dari rencana pengelolaan SMMA untuk dijadikan tempat wisata alam cukup menarik minat masyarakat petambak dan mereka banyak yang mengatakan setuju. Anggota masyarakat yang bukan masyarakat nelayan dan petambak mereka cenderung memiliki tingkat pendidikan cukup tinggi yakni: SMU, dan pandangan yang dikemukakan mengenai SMMA cukup baik. Selain itu mereka sangat setuju jika hutan Muara Angke ini diperbaiki sehingga kondisinya baik kembali seperti semula, mereka juga ingin ada suatu penyuluhan mengenai kawasan hutan, karena pengetahuan mereka mengenai SMMA sangat minim, mereka hanya tahu kalau SMMA ini merupakan suatu kawasan yang tidak boleh diganggu gugat, tapi apa maksud dan tujuan dari tidak boleh diganggu gugatnya kawasan tersebut disebabkan oleh apa dasarnya, mereka tidak tahu. Oleh karena itu mereka setuju saja jika ada penyuluhan mengenai SMMA ini, dengan mengetahui maksud dan tujuannya maka masyarakat akan lebih mengerti mengenai kawasan SMMA. Kebanyakan masyarakat sangat menyetujui apabila kawasan SMMA ini dimanfaatkan untuk kawasan rekreasi, karena mereka merasa dapat terlibat langsung, dari responden yang di tanya sekitar 44 % menyatakan ingin terlibat langsung sebagai penjual makanan, sedangkan 22 % ingin terlibat sebagai penjaga hutan dan petugas kebersihan.
4.4.4
Persepsi Responden Terhadap Perlunya Perbaikan Lingkungan Hutan Mangrove Muara Angke Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat Kelurahan Penjaringan,
Tegar Alur, Kamal Muara, Pluit, dan Kapuk yang merupakan kelurahan-kelurahan
124
yang ada di sekitar hutan mangrove Muara Angke, diketahui bahwa mayoritas masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut pernah mengalami kerugian akibat gangguan lingkungan. Persentase terbesar masyarakat yang pernah mengalami gangguan lingkungan adalah masyarakat yang tinggal di Kelurahan Tegal Alur, Pluit, dan Kapuk Muara dengan persentase di atas 90 %. Data selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 39. Tabel 39 Persentase masyarakat yang pernah mengalami gangguan lingkungan di kawasan Muara Angke, Jakarta No 1 2 3 4 5
Kelurahan Penjaringan Tegal Alur Kamal Muara Pluit Kapuk Muara Rata-rata
Kerugian Akibat Gangguan Lingkungan Ya (%) Tidak (%) 69 31 94 6 80 20 91 9 90 10 86 14
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa gangguan lingkungan yang paling banyak atau sering dialami oleh masyarakat di lokasi penelitian adalah banjir atau rob, sedangkan jenis gangguan lingkungan yang paling sedikit dirasakan oleh masyarakat adalah abrasi. Tingginya gangguan banjir atau rob yang dirasakan oleh masyarakat menunjukan bahwa gangguan banjir memiliki cakupan wilayah yang lebih luas, sedangkan abrasi hanya dirasakan oleh masyarakat yang tinggal dekat atau di sekitar pantai. Data selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 40. Tabel 40 Jenis gangguan yang dirasakan oleh masyarakat sekitar Muara Angke, Jakarta No 1 2 3 4 5
Kelurahan Penjaringan Tegal Alur Kamal Muara Pluit Kapuk Muara
Jenis Gangguan Lingkungan yang Dialami Abrasi (%) Banjir/rob (%) Intrusi Air Laut (%) 36 100 100 90 69 60 100 100 25 100 82 27 100 93
Berdasarkan hasil wawancara juga diketahui bahwa dalam 10 tahun terakhir terdapat 40 % responden yang mengalami kerugian akibat abrasi, dengan
125
frekuensi antara 1-3 kali dan lebih dari 6 kali. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 41.
Tabel 41 Frekuensi abrasi yang dialami responden selama 10 tahun terakhir No 1 2 3 4 5
Frekuensi Terkena Abrasi dalam 10 tahun terakhir (%) 0 kali 1-3 kali 4-6 kali >6 kali 64 18 9 9 100 0 0 0 40 5 20 35 32 41 12 15 83 7 0 10
Kelurahan Penjaringan Tegal Alur Kamal Muara Pluit Kapuk Muara Rata-rata
60%
17%
8%
14%
Secara umum responden di lima kelurahan berpendapat bahwa dalam 10 tahun terakhir kerusakan akibat abrasi cenderung tetap (54 %), sedangkan 39 % responden berpendapat bahwa kerusakan akibat abrasi memburuk dan semakin buruk. Responden yang berpendapat bahwa dalam 10 tahun terakhir kerusakan akibat abrasi cenderung membaik atau berkurang hanya 7 %. Hal ini mengindikasikan belum terdapat program yang efektif untuk mengurangi atau mencegah bahaya abrasi .
Tabel 42 Frekuensi kerusakan yang dialami responden selama 10 tahun terakhir No 1 2 3 4 5
Kerusakan Akibat Abrasi 10 Tahun Terakhir
Kelurahan Penjaringan Tegal Alur Kamal Muara Pluit Kapuk Muara
Semakin Buruk 0 6 5 18 30
Memburuk 27 19 40 29 10
Sama Saja 55 69 55 41 60
Membaik 18 6 0 12 0
Semakin Baik 0 0 0 0 0
15
24
54
7
0
Total
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa 89 % responden dalam 10 tahun terakhir pernah mengalami gangguan lingkungan berupa intrusi air laut, dengan persentase terbesar lebih dari enam kali. Hal ini menunjukan bahwa intrusi air laut merupakan gangguan lingkungan yang lebih banyak dirasakan dibandingkan dengan abrasi. Selain itu, intrusi air laut juga memiliki cakupan wilayah yang lebih luas jika dibandingkan dengan abrasi. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 43.
126
Tabel 43
No 1 2 3 4 5
Frekuensi intrusi air laut yang dialami responden dalam 10 tahun terakhir Kelurahan
Penjaringan Tegal Alur Kamal Muara Pluit Kapuk Muara
Frekuensi Terkena Intrusi Air Laut dalam 10 Tahun Terakhir (%) 0 kali 1-3 kali 4-6 kali >6 kali 0 20 20 60 31 6 6 56 0 0 0 100 18 24 26 32 7 13 7 73
Total
11
13
12
63
Berdasarkan hasil wawancara juga diketahui bahwa mayoritas responden berpendapat bahwa kerugian akibat intrusi air laut dalam 10 tahun terakhir cenderung memburuk atau semakin buruk. Sedangkan responden yang berpendapat bahwa kerugian akibat intrusi air dalam 10 tahun terakhir cenderung tetap sebanyak 23 % dan yang berpendapat membaik hanya 9 %. Data tersebut juga mengindikasikan gangguan lingkungan berupa intrusi air laut belum ditangani dengan baik, sehingga masih terus berlangsung dengan dampak negatif yang terus bertambah. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 44.
Tabel 44 Kerugian akibat intrusi air laut dalam 10 tahun terakhir No 1 2 3 4 5
Kerugian Akibat Intrusi Air Laut 10 Terakhir
Kelurahan Penjaringan Tegal Alur Kamal Muara Pluit Kapuk Muara Total
Semakin Buruk 30 13 40 15 63
Memburuk 30 44 56 29 17
Sama Saja 30 19 4 47 10
Membaik 10 25 0 9 10
Semakin Baik 0 0 0 0 0
34
34
23
9
0
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa dalam 10 tahun terakhir 98 % responden pernah mengalami banjir atau rob, dengan frekuensi paling banyak lebih dari 6 kali (58 %). Dengan demikian banjir di wilayah penelitian cukup sering terjadi, dan wilayah yang paling sering terkena banjir adalah Kelurahan Kamal Muara, dimana 100 responden yang berasal dari kelurahan tersebut terkena banjir lebih dari 6 kali dalam 10 tahun terakhir. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 45.
127
Tabel 45 Frekuensi banjir rob dalam 10 tahun terakhir No
Kelurahan
1 2 3 4 5
Penjaringan Tegal Alur Kamal Muara Pluit Kapuk Muara
Frekuensi Terkena Banjir dalam 10 Tahun Terakhir (%) 0 kali 1-3 kali 4-6 kali >6 kali 6 12 24 59 6 63 6 25 0 0 0 100 0 35 18 47 0 53 4 43
Total
2
31
9
58
Mayoritas responden (55 %) berpendapat bahwa kerugian akibat banjir akan semakin buruk atau memburuk, 22 % sama saja dan 21 % akan membaik (kerugian akan berkurang). Responden terbanyak yang berpendapat bahwa kerugian akibat banjir sama saja berasal dari Kelurahan Pluit dan Tegar Alur, sedangkan responden yang berpendapat bahwa kerugian akibat banjir akan berkurang (membaik) mayoritas berasal dari Kelurahan Tegal Alur dan Kapuk Muara. Data selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 46.
Tabel 46 Kerugian akibat banjir dalam 10 tahun terakhir No 1 2 3 4 5
Kerugian Akibat Banir dalam 10 Tahun Terakhir
Kelurahan
Semakin Buruk
Memburuk
Sama Saja
Membaik
Semakin Baik
Penjaringan Tegal Alur Kamal Muara Pluit Kapuk Muara
24 6 39 26 23
52 6 48 21 17
24 31 10 38 10
0 44 3 12 50
0 13 0 3 0
Total
26
29
22
21
2
4.5
Kegiatan Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke yang Telah Dilakukan
4.5.1
Kebijakan Hutan mangrove Muara Angke adalah bagian dari kawasan hutan
mangrove (bakau) Tegal Alur-Angke Kapuk di pantai utara Jakarta yang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Pada tahun 1977, Menteri Pertanian dengan Keputusan Nomor 16/Um/6/1977 tanggal 10 Juni 1977 menetapkan kembali peruntukan kawasan Angke Kapuk sebagai: Hutan
128
Lindung (5 km sepanjang pantai dengan lebar 100 m), Cagar Alam Muara Angke, Hutan Wisata, Kebun Pembibitan Kehutanan, dan Lapangan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI). Pembangunan Kawasan Kapuk Angke digagas oleh Pemerintah DKI, sesuai arahan RUTR DKI 1965-1985, bertujuan untuk mengembangkan areal tambak dan “eks-hutan” Angke-Kapuk yang terbengkalai, untuk perumahan dan fungsi perkotaan lainnya. Berdasarkan hasil tata batas di lapangan dan Berita Acara Tata Batas yang ditandatangani pada tanggal 25 Juli 1994 oleh Panitia Tata Batas yang diangkat dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Ibukota Jakarta Nomor 924 tahun 1989, diketahui bahwa hutan yang dipertahankan adalah seluas 327,70 ha. Sehubungan dengan itu, Menteri Kehutanan menetapkan kembali peruntukan dan fungsi kelompok Hutan Angke Kapuk sebagai: Hutan Lindung (44,76 ha), Hutan Wisata (99,82 ha), Cagar Alam Muara Angke (25,02 ha), Lahan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI) yang meliputi Kebun Pembibitan (10,51 ha), Transmisi PLN (23,07 ha), Cengkareng Drain (28,93 ha), Jalan tol dan Jalur Hijau (95,50 ha). Cagar Alam Muara Angke dikukuhkan sebagai Suaka Margasatwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 097/Kpts-II/98, dengan luas areal 25,02 ha, agar kondisinya dapat diperbaiki. Kebijakan Pemda DKI Jakarta kedepan yang berkaitan dengan keberadaan kawasan mangrove Muara Angke adalah: (1) Reklamasi Teluk Jakarta, (2) Pembangunan Rel Kerata Api Manggarai - Bandara Soekarno Hatta, diperkirakan mengurangi luas kawasan mangrove (LDTI) sekitar 16 ha. Khusus kebijakan reklamasi Teluk Jakarta, Pemda DKI berkomitmen untuk tetap mempertahankan kawasan mangrove dengan membangun kanal lateral (lebar 200 meter) dan revitalisasi hutan lindung (sebelum dilakukan reklamasi).
4.5.2 Kelembagaan Berdasarkan status, kawasan mangrove Muara Angke (478 ha) dikelola oleh tiga pihak, yaitu: (1) Balai Konservasi Sumberdaya Alam pada kawasan Suaka Margasatwa dan Taman Wisata Alam, (2) Dinas Kelautan dan Perikanan pada kawasan Hutan Lindung dan LDTI, dan (3) PT. Murindra Karya Lestari sebagai operator pengelola Taman Wisata Alam. Di samping itu masih terdapat
129
lahan 150,3 ha yang dikelola Kementrian Kelautan dan Perikanan (50 ha), dan tambak masyarakat (100,3 ha). Tingginya permasalahan lingkungan dan kondisi kawasan mangrove Muara Angke, belum mampu diatasi dengan kondisi pengelolaan saat ini yang cenderung kurang sinergis, kurang koordinasi dan belum terintegrasinya pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Beberapa pihak yang menjadi mitra dalam pengelolaan kawasan mangrove adalah:
Lembaga
Swadaya
Masyarakat,
Swasta
(Pantai
Indah
Kapuk,
Mediterania), dan Perguruan Tinggi. Tingginya minat dan kepedulian para pihak dalam meningkatkan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke belum mampu mewujudkan pengelolaan kawasan mangrove berkelanjutan.
4.5.3 Kegiatan Pengelolaan Kegiatan pengelolaan sebelum tahun 1997 masih bersifat rutin (pengawasan, penanaman, dan pemasangan batas), namun masih belum efektif. Setelah tahun 1998 (Era Reformasi), secara perlahan kegiatan pengelolaan mulai menunjukkan peningkatan (penertiban pal batas, penanaman, sarana prasarana pengelolaan, dan kolaborasi pengelolaan). Pencanangan kegiatan rehabilitasi mangrove dimulai 6 November 1999 (Hari Cinta Satwa dan Puspa) yang dihadiri Menteri Lingkungan Hidup dan Wakil Gubernur DKI Jakarta dan Walikota Jakarta Utara. Sejalan dengan kondisi tanaman yang mampu tumbuh baik dan dinilai berhasil, maka Pemda DKI mendorong pihak-pihak Swasta utk membantu rehabilitasi mangrove Muara Angke. Demikian pula Departemen Kehutanan mengalokasikan anggaran untuk program pengelolaan mangrove Muara Angke. Partisipasi Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi dan swasta dalam rehabilitasi mangrove terus berlanjut sampai sekarang. Kegiatan pengelolaan yang telah dilakukan antara lain: (1) Penguatan batas kawasan, (2) Pembangunan sarana prasarana, (3) Penanaman dan pemeliharaan, (4) Penanganan sampah, (5) Pengelolaan pengunjung, (6) Penegakan hukum, (7) Penelitian, dan (8) Sosialisasi dan Koordinasi. Upaya melegalkan kelembagaan pengelolaan yang melibatkan para pihak (kolaboratif) sudah pernah dilakukan, namun karena pergantian pimpinan atau staf
130
yang bertanggung jawab menyebabkan perubahan komitmen tersebut, dan pada akhirnya koordinasi dan sinkronisasi program pengelolaan yang semula sudah hampir terwujud menjadi mentah lagi. Dengan melihat kondisi mangrove di DKI Jakarta yang saat ini terdegradasi, maka pemulihan ekosistem mangrove merupakan suatu kegiatan yang cukup penting dilakukan secara terus menerus dan kontinyu. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi lindung, konservasi, dan sosial ekonomi ekosistem mangrove. Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi DKI dalam hal ini melalui Dinas Pertanian dan Kehutanan telah melakukan beberapa usaha-usaha ini di antaranya: a.
Rehabilitasi Mangrove Dalam pelaksanaan rehabilitasi mangrove di kawasan hutan mangrove hal
mendasar yang perlu diperhatikan dalam survei pendahuluan ini adalah kesesuaian lahan untuk rehabilitasi, seperti: jenis substrat, pasang surut, elevasi, salinitas, musim, gelombang, ketersediaan buah, ketersediaan tenaga kerja, jenis tanaman di sekitar lokasi, dan sejarah tanaman di sekitar lokasi sasaran. Pelaksanaan dilakukan penyusunan aspek-aspek perencanaan berupa aspek: (1) Aspek ekologis dan fisik lahan, (2) Aspek sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat sekitar yang akan direhabilitasi, (3) Aspek finansial dari kegiatan yang akan dilaksanakan, (4) Aspek teknis (terutama teknis silvikultur) untuk melakukan
kegiatan
rehabilitasi
yang
direncanakan,
dan
(5)
Aspek
ketenagakerjaan yang akan digunakan. Tujuan rehabilitasi di DKI Jakarta lebih banyak pada fungsi lindung dan konservasi. Sedangkan fungsi produksi tidak terdapat di DKI Jakarta. Pada beberapa lokasi fungsi konservasi dan lindung yang seharusnya lebih banyak menonjol, tetapi pada kenyataannya di lapangan kawasan banyak berubah menjadi pertambakan liar. Dalam pelaksanaan rehabilitasi, tata hubungan kerja antara berbagai stakeholder menjadi penting. Tata hubungan kerja ini termasuk hubungan vertikal maupun horizontal. Dengan koordinasi yang baik diharapkan terjadinya keterpaduan program dan tidak terjadi tumpang tindih kegiatan.
131
Secara umum ada 2 (dua) jenis bahan tanaman di dalam kegiatan penanaman mangrove, yakni : (1) propagul dan (2) berupa anakan yang berasal dari persemaian ataupun dari alam. a.1.
Penanaman dengan Menggunakan Propagul Penanaman dengan menggunakan bahan tanaman berupa propagul secara
umum dilakukan pada jenis-jenis Rhizophora apiculata, R. mucronata, dan R. stylosa yang mempunyai propagul yang cukup panjang. Propagul yang panjang relatif lebih tahan terhadap genangan air pasang surut dan penggenangan air laut. Penanaman dengan menggunakan propagul disarankan untuk penanaman untuk waktu yang cepat dan lokasi luas, alasan penggunaan propagul antara lain:
Merupakan cara yang paling mudah, murah dan efektif
Sifat buah vivivar (berkecambah di pohon)
Propagul yang ditanam mempunyai kemampuan menghasilkan tunas tambahan apabila hipokotil bagian atas rusak dan pembentukan akar cepat
Di habitat yang cocok, keberhasilannya lebih dari 90 % dan tegakan biasanya tumbuh dengan baik dan seragam.
a.2.
Penanaman dengan Menggunakan Bibit Persemaian Penanaman dengan menggunakan anakan dari persemaian merupakan cara
yang efektif dalam mengatasi masalah predasi oleh kepiting, gangguan gulma maupun pada substrat yang keras, berpasir atau lumpur yang terlalu dalam. Anakan tanaman yang telah berkayu tahan terhadap serangan kepiting maupun kera. Sistem pucuk dan perakaran yang terbentuk tahan terhadap terjangan air pasang dan dapat berkompetisi dengan gulma. Kriteria
ini
mencakup
kegiatan
penyulaman,
pemeliharaan
dan
monitoring. Dengan waktu dan frekuensi yang cukup akan memberikan gambaran yang jelas di lapangan permasalahan dan kendala yang dihadapi. Dengan demikian akan memudahkan pelaksana untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam menyelamatkan hasil penanaman. Pemeliharaan dilakukan untuk meminimalkan faktor-faktor perusak yang dapat menyebabkan kegagalan penanaman jenis pohon mangrove di antaranya adalah: kepiting, kera/monyet, biawak, arus air laut, tumbuhan gulma, hama
132
serangga, dan erosi pantai. Faktor-faktor tersebut dimonitor secara teratur dengan memperhatikan intensitas kerusakan dan dilakukan penanggulangan terhadap kerusakan yang terjadi. Terdapat perbedaan kondisi habitat pada lokasi yang dievaluasi sehingga memerlukan pendekatan teknologi rehabilitasi yang berbeda pada setiap lokasi. Untuk keberhasilan rehabilitasi mangrove pelaksana harus memaksimalkan program perencanaan, pelaksanaan dan monitoring kegiatan secara baik dan terpadu. Beberapa kegiatan rehabilitasi yang dilakukan di Kawasan hutan mangrove di antaranya adalah: i.
Penanaman dengan Sea Defence di Hutan Lindung (Revitalisasi Hutan Lindung) Pembangunan breakwater permanen yang dibangun di lepas pantai dimaksudkan untuk menahan hempasan gelombang laut dan menahan tumpukan urugan tanah sebagai media tumbuhnya mangrove di belakang bangunan breakwater tersebut. Dalam hal ini persyaratan utama breakwater yang akan dibangun adalah selain dapat secara efektif menahan hempasan gelombang laut dan media tanah, juga harus dapat menjamin masuk pasang surut air laut ke areal penanaman mangrove di belakangnya, sehingga keberadaan breakwater tersebut tetap menjamin sirkulasi air laut untuk pertumbuhan mangrove secara optimal. Adapun breakwater yang dibangun di kiri kanan saluran air atau sungai dimaksudkan untuk menahan tumpukan urugan tanah atau media tumbuh mangrove sekaligus sebagai penguat pematang saluran air/sungai. Berdasarkan hal tersebut di atas, breakwater yang akan dibangun adalah breakwater model Rubber Mould. Pada dasarnya breakwater model tersebut terdiri atas tumpukan batu mulai dari ukuran besar di bagian atas kecil di bagian dalamnya. Dimensi breakwater ini ditentukan berdasarkan pertimbangan kecepatan arus, kemiringan pantai, dan daya dukung tanah dasar laut.
133
Sumber : Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, 2009
Gambar 11 Berbagai bentuk dimensi breakwater. ii.
Penanaman Mangrove dengan Sistem Guludan Penanaman dengan teknis guludan dilakukan pada lokasi bekas tambak
yang terdapat di hutan kawasan Angke Kapuk karena mempunyai kedalaman 1,5 meter sampai 3 meter sehingga tidak memungkinkan ditanam dengan sistem langsung.
134
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan DKI jakarta, 2009
Gambar 12 Penanaman mangrove dengan sistem guludan.
Pertumbuhan Tanaman dengan Metode GULUDAN adalah 90 – 95 % Metode ini digunakan untuk pelaksanaan RHL pada bekas areal tambak liar yang tidak dapat dilakukan dengan Metode Konvensional / Tanam Langsung
Hak Paten Milik : Prof.Dr.Ir. Cecep Kusmana, MS / Fahutan IPB
Gambar 13 Kondisi pertumbuhan tanaman mangrove dengan metode guludan.
135
iii.
Penanaman dengan Bibit Langsung
Sumber : Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, 2009
Gambar 14 Penanaman mangrove dengan bibit langsung. b.
Pembuatan Sarana Prasarana Pendukung di Kawasan Mangrove Jakarta
b.1.
Hutan Lindung Angke kapuk Beberapa prasarana dan sarana pengelolaan telah dibangun oleh Dinas
Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, seperti: jalan, pagar, perangkap sampah/penahan gelombang dari bambu, shelter dan pos jaga (Gambar 14)
136
TAHUN 2000
TAHUN 2011
Gambar 15 Kondisi sarana prasarana pengelolaan tahun 2000 dan tahun 2011.
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan DKI jakarta, 2009
Gambar 16 Sarana dan prasarana di Hutan Lindung Angke Kapuk.
137
b.2.
Jalan Tol Sedyatmo ( Telah di bangun Ekowisata Mangrove) Beberapa prasarana dan sarana pengelolaan telah dibangun Dinas Kelautan
dan Pertanian DKI Jakarta, seperti : pintu gerbang, shelter, jalan, toilet, papan informasi (Gambas 17).
b.3.
Pengembangan Program Pendidikan Lingkungan dan Ekowisata Kegiatan pendidikan lingkungan dan ekowisata telah dilakukan dengan
melibatkan banyak pihak, seperti: a. Pelatihan pemandu (interpreter) juga telah dilakukan terhadap guru SD, guru SLTP, pemuda, dan LSM b. Penyusunan buku panduan, leaflet dan booklet tentang lokasi dan lingkungan c. Dsb.
Shelter
Gerbang
Pusat Informasi
Board Walk
Gambar 17 Sarana dan prasarana di Ekowisata Mangrove.
138
b.4.
Pengawasan, Penegakan Hukum, dan Kegiatan Lainnya
(a). Kegiatan pengawasan telah dilakukan dengan menugaskan polisi hutan dan staf lapangan dengan maksud melakukan pengawasan batas kawasan dan mempertahankan kondisi hutan mangrove dan isinya, ampai saat ini sudah dibangun 7 pos pengamanan. (b). Pemagaran batas kawasan hutan mangrove (Hutan Lindung) dengan memakan biaya Rp. 7.000.000.00,- dan sosialisasi kepada stakeholder tentang batas-batas kawasan hutan mangrove (c). Pembangunan kawasan ekowisata mangrove dekat jalan Tol Soedyatmo (d). Peningkatan sumberdaya manusia (pengelola) dengan kegiatan studi banding dan pelatihan pelaksana konservasi (e). Melakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar dan stakeholder dalam rangka peningkatan peranserta parapihak dalam pengelolaan mangrove.
c.
Pelebaran jalan Tol Soedyatmo, Rel Kereta Api, dan Green Wall Pemerintah Indonesia
memahami
bahwa
strategi
untuk memacu
pertumbuhan ekonomi adalah dengan cara memprioritaskan pembangunan infrastruktur berupa jalan tol antar kota khususnya di Propinsi DKI Jakarta yang berorientasi ekspor dan akses dunia. Untuk menunjang strategi tersebut, sektor perhubungan mendapatkan perhatian utama dalam penyediaan sarana dan prasarana sehingga kegiatan transportasi semakin efisien. Jalan tol Soedyatmo atau biasa dengan jalan tol Cengkareng merupakan jalan arteri jalur utama menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta dengan kepadatan lalu lintas yang tinggi sehingga sering terjadi kemacetan, meningkatnya angka kecelakaan, dan lain sebagainya. Sejalan dengan itu, pemerintah DKI Jakarta telah menambah jalur Tol Cengkareng menuju Bandara Udara Soekarno Hatta, serta akan menambah jalur Kereta Api dari Stasiun Manggarai menuju Bandara Udara Soekarno Hatta. Pembangunan tambahan jalan dan Rel Kereta Api telah dan akan mengurangi luas hutan mangrove. Sejalan dengan keinginan Gubernur DKI Bapak Fauzi Bowo yang menginginkan green wall di sepanjang kanan kiri jalan tol Soedyatmo. Oleh karena itu untuk tetap mempertahankan keberadaan hutan mangrove dan
139
meningkatkan keindahan, serta membangun opini pembangunan yang peduli lingkungan, maka perlu disusun Rencana Detail Engineering Design (DED) rehabilitasi mangrove. Rencana DED rehabilitasi dan pengelolaan mangrove di tol Soedyatmo ini sepanjang lebih kurang 5 km pada kanan kiri jalan di mulai dari KM 21- KM 26 yang menjadi kewajiban Dinas Kelautan dan Pertanian Propinsi DKI Jakarta. Kegiatan ini merupakan kegiatan lanjutan karena dari KM 26 sampai bandara Soekarno Hatta sudah mempunyai rencana DED yang dikerjakan oleh Dinas Pertamanan Propinsi DKI Jakarta. Konsep rehabilitasi dan pengelolaan mangrove yang akan dituangkan dalam Dokumen DED adalah tetap mempertahankan hutan mangrove dan menciptakan pemandangan hutan mangrove yang hijau, menarik dan melestarikan keanekaragaman hayati, serta mendorong terciptanya persepsi positif masyarakat bahwa Pemerintah DKI Jakarta peduli lingkungan dan pelestarian mangrove.
d.
Rencana Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta Sesuai dengan Peta Rencana Tata Ruang Propinsi DKI Jakarta, kawasan
mangrove Angke Kapuk termasuk kawasan Hijau Lindung, yang di dalamnya terdapat: (1). Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke (25,02 ha) (2). Kawasan Hutan Lindung Mangrove (44,64 ha akan direvitalisasi menjadi 63,68 ha) (3). Kawasan Taman Wisata Alam Mangrove Kamal (99,82 ha) (4). LDTI a. Kebun Bibit/Arboretum (10,51 ha) b. Transmisi PLN (23,07 ha) c. Jalan Tol dan Jalur Hijau (95,50 ha) sebelum dikurangi untuk penggunaan jalan tol, dan pelebaran jalan tol Sedyatmo) d. Riparian Cengkareng Drain (28,93 ha). Rencana pemerintah daerah menjadikan kawasan Hijau Lindung ini sebagai obyek wisata, konservasi mangrove dan keanekaragaman jenis burung, daerah resapan air dan paru-paru kota tersebut perlu mendapat dukungan banyak
140
pihak. Oleh karena itu sudah seharusnya Pemerintah DKI Jakarta beserta stakeholder yang turut peduli secepatnya merancang ke arah itu. Hal ini perlu dilakukan agar manfaat dan fungsi mangrove kawasan Angke Kapuk tidak mengalami penurunan.