41
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Letak dan Luas Wilayah
Berdasarkan Wonogiri Dalam Angka 2011, Kabupaten Wonogiri terletak di ujung tenggara wilayah Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis Kabupaten Wonogiri terletak pada posisi antara 7032’ LS - 8015’ LS dan 110041’ BT 111018’ BT. Sebagian besar wilayah Wonogiri didominasi perbukitan dengan batuan kapur, termasuk jajaran pegunungan Seribu yang merupakan mata air hulu Bengawan Solo. Jenis tanah mulai dari litosol, regosol sampai dengan grumusol, dari bahan induk yang beragam yaitu endapan, batuan, dan volkan. Secara administrasi pemerintahan wilayah Kabupaten Wonogiri dibagi menjadi 25 kecamatan dan 294 desa/kelurahan. Kelurahan Selopuro secara administrasi pemerintahan berada dalam wilayah Kecamatan Batuwarno dan Desa Belikurip berada dalam wilayah Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Kelurahan Selopuro merupakan kelurahan yang berbatasan langsung dengan waduk ngancar dan Hutan Produksi yang dikelola Perum Perhutani seluas 308 yang berada di sebelah Barat, secara administrasi pemerintahan lokasi waduk ngancar dan Hutan Produksi tersebut berada dalam wilayah Desa Belikurip. Secara lengkap keberadaan lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 3. Tabel 5. Letak dan Luas Wilayah di Lokasi Penelitian No 1
2
3
Lokasi Kab. Wonogiri
Tinggi Wilayah (mdpl) 106-600
Kel. Selopuro Kec. Batuwarno
250-290
Ds. Belikurip Kec. Baturetno
50-152
Batas-Batas Wilayah Sebelah Utara
Selatan
Barat
Timur
Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar dan Magetan (Jawa Timur)
Kabupaten Pacitan (Jawa Timur) dan Samudra Indonesia
Daerah Istimewa Yoyakarta
Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Ponorogo (Jawa Timur)
Desa Sumberejo
Desa Sedangsari
Desa Belikurip dan Waduk Ngancar dan Hutan Produksi
Batuwarno
Baturetno Timur
Kelurahan Selopuro
Desa Saradan dan Desa Temon
Desa Watuagung
Luas Wilayah (ha) 182.236,03
698,91
941,50
Jarak tempuh
Waktu tempuh
133 km dari Semaran g dan 32 km dari Solo
3 jam 30 menit
54 km dari Wonogiri dan 2 km Batuwarn o
2 jam 20 menit
50 km dari Wonogiri dan 4 km Batuwarn o
1 jam 50 menit
1 jam 30 menit
15 menit
30 menit
Sumber: Data Wonogiri Dalam Angka 2011, Data Potensi Kelurahan Selopuro Maret 2012 dan Data Potensi Desa Belikurip 2011.
42
43
4.2. Keadaan Fisik 4.2.1. Topografi, Iklim dan jenis tanah
Berdasarkan Wonogiri Dalam Angka 2011, kondisi topografi wilayah penelitian sebagian besar berbukit dan kemiringan lereng berkisar antara 15-80%. Jenis tanah litosol mediteran coklat basa dengan struktur tanah yang didominasi oleh batuan gamping sebagai ciri khasnya. Kondisi geografis dan struktur geologis dengan batuan kapur yang berlapis dan batuan kapur dengan lapisan tanah yang tipis (batu bertanah). Kondisi iklim di Kabupaten Wonogiri tergolong iklim tropis dengan curah hujan tinggi (Tabel 6). Tabel 6. Keberadaan Iklim di Lokasi Penelitian No
Lokasi
1
Kab. Wonogiri Prov. Jawa Tengah
2
Kel. Selopuro Kec. Batuwarno
Jumlah curah hujan (mm/th) 2.942
2.105
3
Rata-rata Curah hujan curah tertinggi hujan (mm) pada (mm/bln) bulan 245,17 416 pada Bulan Maret
416
Ds. Belikurip 2.357,5 196,5 Kec. Baturetno Sumber: Data Wonogiri Dalam Angka 2011, Data Potensi Desa Belikurip 2011.
401 pada Bulan Desember
83
Suhu ratarata ( C) 24
Rata-rata Temperatur bulanan ( C) 23,5
90,37
23,35
23,20
Kelemba ban ratarata (%)
385,5 pada 89 23,35 23,20 Bulan Desember Data Potensi Kelurahan Selopuro Maret 2012 dan
4.2.2. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip sebagian besar (70,22% dan 74,77%) digunakan sebagai lahan tegalan/kebun (35,88% dan 33,47%) dan hutan negara (34,34% dan 41,30%). Lahan negara yang berada di Kelurahan Selopuro adalah Hutan Lindung (HL) dan lahan negara di Desa Belikurip adalah Hutan Produksi (HP), masing-masing hutan negara tersebut dikelola oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Wonogiri dan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Lahan tegalan/kebun merupakan lahan milik masyarakat yang kepemilikannya sudah jelas yang buktikan dengan akta tanah atau Leter C, dan lahan tersebut didominasi oleh tanaman keras/kayu-kayuan jenis jati, mahoni dan
44
sebagian kecil akasia. Lahan pekarangan masing-masing sebesar 91,57% dan 145%. Pada kedua lahan tersebut selain bangunan rumah, juga ditanami tanaman keras/kayu-kayuan jenis jati dan mahoni sehingga kondisi lingkungan sejuk dan rindang. Lahan sawah tadah hujan di Kelurahan Selopuro sebesar 69,93%, sedangkan di Desa Belikurip lahan sawah sebesar 1,74%, air yang mengairi sawah dari air irigasi setengan teknis. Sisanya lahan tambak/kolam, kuburan, kas desa dan lainnya masing-masing sebesar 6,67 % dan 0,50%. Pada lahan sawah pun selain ditanami padi, jagung dan kacang tanah juga disela-sela tanah kosong ditanami tanaman keras/kayu-kayuan jenis jati, bahkan di kiri kanan sepanjang jalan pun terlihat hijau dan rindang tanaman jati dan mahoni. Jenis penggunaan lahan di masing-masing lokasi disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Luas lahan di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip Menurut Penggunaannya No.
Penggunaan
1. 2. 3.
Kelurahan Selopuro Luas Persentase (ha) (%) 69,93 10,01 -
Desa Belikurip Luas Persentase (ha) (%) 77 8,18 13,00 1,38 64,00 6,80
Sawah tadah hujan Sawah irigasi teknis Sawah pengairan sederhana Pekarangan, bangunan, dan 4. 91,57 13,10 146,77 lain-lain 5. Tegalan/kebun 250,79 35,88 249,59 6. Tambak/kolam 41,00 5,87 7. Hutan Lindung 240,00 34,34 8. Lapangan olah raga 1,00 0,14 0,50 9. Kuburan 1,00 0,14 10. Jalan 3,62 0,52 11. Kas desa 27,70 12. Hutan Produksi 310,00 13 Padang rumput 3,00 14. Lainnya 51,94 Jumlah 698,91 100 941,50 Sumber: Potensi Kelurahan Selopuro, Maret 2012 dan Potensi Desa Belikurip, 2011
4.3.
15,59 26,51 0,05 2,94 32,71 0,32 5,52 100
Keadaan Sosial Ekonomi
4.3.1. Keadaan penduduk
Jumlah penduduk di Kelurahan Selopuro pada Bulan Februari 2012 adalah 1.904 jiwa dari 509 kepala keluarga yang terdiri atas 947 laki-laki dan 957 perempuan. Jumlah jiwa dalam rumah tangga rata-rata sebanyak 4 jiwa dan kepadatan penduduk sebanyak 3 jiwa/ha. Sedangkan jumlah penduduk di Desa Belikurip pada tahun 2010 adalah 2.804 jiwa dari 936 kepala keluarga yang terdiri
45
atas 1.677 laki-laki dan 1.127 perempuan. Jumlah jiwa dalam rumah tangga ratarata sebanyak 3 jiwa dan kepadatan penduduk sebanyak 4 jiwa/ha. Jumlah penduduk di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Jumlah dan kepadatan penduduk di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip Jumlah No Kelurahan Rumah LakiKecamatan Tangg /Desa laki a (orang) (KK) 1 Batuwarno Selopuro 509 947 2 Baturetno Belikurip 936 1.677 Sumber: Potensi Kelurahan Selopuro, Maret 2012 dan
Perem puan (orang)
Jumlah (orang)
Kepadatan Penduduk (orang/ha)
957 1.904 3 1.127 2.804 4 Potensi Desa Belikurip, 2011
AK/KK (orang) 4 3
Keterangan : AK : Anggota Keluarga KK : Kepala Keluarga
Tingkat pertumbuhan penduduk di dua lokasi penelitian tergolong rendah, masing-masing yaitu sebesar 0,27% dan 0,93% pertahunnya bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Secara keseluruhan, tingkat kepadatan penduduk tergolong tidak padat yaitu masing-masing sebesar 3 orang/ha dan 4 orang/ha. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya lahan pemukiman/pekarangan dan tegalan yang cukup luas yaitu Kelurahan Selopuro lahan pekarangan berkisar 0,04 sampai 2 ha dan lahan tegalan berkisar 0,05 sampai 2,5 ha, sedangkan Desa Belikurip lahan pekarangan berkisar 0,03 sampai 0,7 ha dan lahan tegalan berkisar 0,03 sampai 2,33 ha. Rata-rata anggota rumah tangga di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip adalah sebesar 4 jiwa dan 3 jiwa. Angka tersebut menunjukkan bahwa rumah tangga di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip umumnya tergolong rumah tangga kecil. Kelompok tenaga kerja merupakan kelompok umur penduduk produktif yang berumur 15-59 tahun, masing-masing adalah sebesar 62,71% dan 63,27% (Tabel 9). Umur tersebut merupakan usia produktif untuk bekerja sehingga banyak penduduk yang merantau untuk mencari kerja ke kota-kota besar. Bahkan keadaan ini sudah menjadi suatu tradisi bagi masyarakat Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip. Kaum perempuan di dua lokasi ini ikut terlibat secara aktif dalam pengelolaan lahan yang dilakukan secara bersama-sama oleh anggota keluarga.
46
Tabel 9. Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur No. 1 2 3 4 5
Kelompok Umur (tahun) 0–4 5–9 10 – 14 15 – 59 ≥ 60 Jumlah
Kelurahan Selopuro Jumlah % 75 3,94 186 9,77 184 9,66 1.433 62,71 26 1,37 1.904 100,00
Desa Belikurip Jumlah % 185 6,60 257 9,17 240 8,56 2.102 63,27 20 0,71 2.804 100,00
Sumber: Potensi Kelurahan Selopuro, Maret 2012 dan Potensi Desa Belikurip, 2011
Penduduk Kelurahan Selopuro sebagian besar bermata pencaharian sebagai Buruh bangunan dan sebagai petani, masing-masing yaitu sebesar 38,69% dan 29,49%, sedangkan Desa Belikurip sebagian besar bermata pencaharian sebagai buruh tani dan sebagai petani, masing-masing yaitu sebesar 43,27% dan 24,53% (Tabel 10). Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling dominan menggerakkan perekonomian baik di Kelurahan Selopuro maupun di Desa Belikurip.
Ketersediaan lahan bagi masyarakat
merupakan hal yang sangat penting untuk memperoleh pendapatan, karena untuk bekerja di sektor yang lain akan terbentur dengan banyaknya kendala, terutama rendahnya tingkat pendidikan dan modal usaha. Tabel 10. Jumlah penduduk di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip berdasarkan mata pencaharian No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13
Jenis Mata Pencaharian Petani Buruh tani Pengusaha kecil Buruh bangunan Buruh Industri Pedagang Pengangkutan Pegawai Negeri ABRI/POLRI Pensiunan Pengrajin Peternak Lain-lain Jumlah
Kelurahan Selopuro Jumlah Persentase (orang) (%) 356 29,49 99 8,20 41 3,40 467 38,69 165 13,67 32 2,65 5 0,41 14 1,16 2 0,17 16 1,33 10 0,83 1.207 100,00
Desa Belikurip Jumlah Persentase (orang) (%) 326 24,53 575 43,27 219 16,48 84 6,32 90 6,77 27 2,03 8 0,60 1.329 100,00
Sumber: Potensi Kelurahan Selopuro, Maret 2012 dan Potensi Desa Belikurip, 2011
47
Penduduk Desa Belikurip sebagian besar 43,27% bekerja sebagai buruh tani. Buruh tani adalah orang yang menanam tanaman pertanian pada lahan milik orang lain, kemudian hasil pertanian tersebut dibagi antara pemilik lahan dengan penggarap sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. Pada umumnya, pembagian hasil pertanian 40% pemilik lahan dan 60% penggarap, namun ada pula yang bersepakat untuk imbang, dimana baik pemilik maupun penggarap memperoleh 50% dari hasil panen. Usaha pertanian ini umumnya dilakukan pada lahan kering seperti tegalan dan kebun, serta sedikit dilakukan pada lahan basah seperti sawah. Disamping itu, sebagian penduduk di dua lokasi penelitian beternak ayam, kambing dan lembu (sapi) sebagai sumber pendapatan selain bertani dan buruh tani. Pendapatan dari beternak dirasakan sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga, walaupun pengelolaannya belum intensif. Kegiatan beternak yang dilakukan petani di dua lokasi penelitian sangat mendukung dalam mempertahankan keberadaan kelestarian hutan rakyat. Hal ini ditunjukkan ketika ada kebutuhan mendesak, daripada harus menjual pohon ke pengepul (pedagang pengumpul) lebih baik menjual ternak dulu. Keputusan petani tersebut, alasanya kalau ternak harus dipelihara dan membutuhkan korbanan waktu dan tenaga, sedangkan pohon tidak membutuhkan korbanan waktu dan tenaga bahkan semakin tumbuh besar maka semakin tinggi nilai jualnya sehingga petani menjadikan pohon sebagai tabungan. 4.3.2. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan pada penduduk di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip masih tergolong rendah. Hal ini dilihat dari masih banyaknya masyarakat yang tidak tamat SD/SR dan sebagian besar penduduk hanya menamatkan pendidikannya sampai tingkat SD/SR, masing-masing yaitu sebesar 52,16% dan 48,29% (Tabel 11). Sebagian besar masyarakat yang tidak tamat SD/SR dan hanya tamat tingkat SD/SR merupakan penduduk generasi tua sedangkan generasi muda dapat dikatakan semuanya mengikuti jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi, minimal hingga jenjang sekolah menengah atas bahkan beberapa diantaranya memasuki jenjang perguruan tinggi. Adanya perbedaan pendidikan yang cukup mencolok di kalangan generasi tua dan muda adalah karena adanya kesadaran masyarakat yang cukup tinggi akan pentingnya
48
pendidikan bagi masa depan anak-anaknya. Sehingga dalam kegiatan bertani yang sebagian besar generasi tua, pemahaman mereka terhadap pengetahuan budidaya suatu jenis tanaman, baik yang berasal dari pengalaman sendiri maupun orang lain masih sederhana dan seadanya (konvensional). Hal ini dapat dilihat dari pengetahuan mereka dalam kegiatan pemeliharaan tanaman jati dan mahoni tidak adanya penjarangan, sehingga kerapatan pohon sangat rapat. Alasan petani tidak melakukan penjarangan karena “eman eman” (saying sayang) kalau masih kecil ditebang hanya sebagai kayu bakar saja. Tabel 11. Jumlah penduduk di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip berdasarkan tingkat pendidikan Kelurahan Selopuro Desa Belikurip Jumlah Persentase Jumlah Persentase (orang) (%) (orang) (%) 1. Tidak sekolah 25 2,00 2. Belum tamat SD 89 7,13 173 6,17 3. Tidak tamat SD 59 4,73 4. Tamat SD/SR 651 52,16 1.354 48,29 5. Tamat SLTP 217 17,39 456 16,26 6. Tamat SLTA 189 15,14 758 27,03 7. Diploma/D3 2 0,16 43 1,53 8. Sarjana/S1 16 1,28 20 0,71 Jumlah 1.248 100 2.804 100 Sumber: Potensi Kelurahan Selopuro, Maret 2012 dan Potensi Desa Belikurip, 2011 No.
Tingkat Pendidikan
Salah satu yang mendorong keinginan orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi adalah karena kemampuan perekonomian mereka yang lebih baik dengan adanya hutan rakyat yang telah dikelola masyarakat. Harapan masyarakat jika anak-anaknya mampu meneruskan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi maka penghidupan anak-anaknya dapat lebih baik dibandingkan orang tuanya. 4.3.3. Agama
Penduduk pada Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip menganut agama yang beragam. Sebagian besar penduduk menganut agama Islam, masing-masing yaitu sebesar 94,31% dan 86,16% (Tabel 12), sedangkan yang lainnya masingmasing beragama Katolik (5,69% dan 12,91%) dan Kristen (0,93%). Sarana peribadatan umat Islam yang tersedia yaitu masing-masing sebanyak 3 masjid dan 3 mushola di Kelurahan Selopuro dan 8 mushola di Desa Belikurip. Sedangkan sarana untuk kegiatan peribadatan umat Katholik yaitu masing-masing 1 gereja katholik dan kadang-kadang dilakukan di luar desa. Kegiatan beribadah
49
di Kelurahan Selopuro khususnya untuk umat Islam sangatlah kental. Hal ini dicerminkan oleh kegiatan rutin mingguan dan bulanan. Tabel 12. Jumlah penduduk di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip berdasarkan agama No. 1. 2. 3. 4. 5.
Agama Islam Kristen Protestan Katholik Hindu Budha Jumlah
Kelurahan Selopuro Jumlah Persentase (orang) (%) 1.790 94,31 108 5,69 1.898 100
Desa Belikurip Jumlah Persentase (orang) (%) 2.416 86,16 26 0,93 362 12,91 2.804 100
Sumber: Potensi Kelurahan Selopuro, Maret 2012 dan Potensi Desa Belikurip, 2011
4.3.4. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang cukup baik di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip, terutama prasarana jalan, sangat menunjang kegiatan pertanian yang merupakan mata pencaharian sebagian besar penduduk (Tabel 13). Kondisi jalan yang cukup baik dan jarak yang relatif dekat dengan ibukota kecamatan dan kabupaten membuat banyak pedagang pengumpul (pengepul) berdatangan ke lokasi tersebut untuk membeli secara langsung hasil-hasil pertanian dan hutan rakyat. Sebagian penduduk menjual langsung hasil pertaniannya ke beberapa pasar yang berada di ibukota kecamatan atau kabupaten, bahkan untuk menjual produk hutan rakyat (kayu/pohon) tidak perlu keluar desa/kecamatan/kabupaten, karena di dusun-dusun sudah ada pengepul yang menampung hasil kayu dari masyarakat untuk disalurkan lagi ke pedagang yang lebih besar.
50
Tabel 13. Ketersediaan Sarana dan prasarana di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip No. 1
Sarana/prasarana
Jenis
Perhubungan
Kel. Selopuro Jumlah (unit) 8 km 0,7 km 0 km 1km 2 buah 3 buah 2 buah 3 buah 3 buah 1 buah 1 buah 4 buah 1 buah - buah - buah 6 buah 1 buah 1 buah 5 buah - buah
Desa Beliurip Jumlah (unit) 12 km 7 km 0 km 1 km 4 buah
Jalan aspal Jalan batu Jalan tanah Jembatan 2 Pendidikan TK TPA SD 1 buah 3 Tempat ibadah Masjid 3 buah Mushola 8 buah Gereja 1 buah 4 Sosial Balai desa 1 buah Poskamling 4 buah 5 Lapangan Sepak bola 1 buah olahraga Bulu tangkis 1 buah Meja pingpong 2 buah Bola voli 5 buah 6 Kesehatan Puskesmas pembantu Poliklinik/balai pengobatan 1 unit Posyandu 10 unit Bidan desa 1 orang Dukun terlatih 1 orang Sumber: Potensi Kelurahan Selopuro, Maret 2012 dan Potensi Desa Belikurip, 2011
Berdasarkan Tabel 13 terlihat belum adanya SMP dan SMA di desa ini, bukan berarti membuat masyarakat kurang berminat untuk melanjutkan pendidikan anak-anaknya ke jenjang tersebut, walaupun membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk biaya transportasi dan akomodasi ke luar desa. Justru salah satu yang mendorong keinginan orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi adalah karena kemampuan perekonomian mereka yang lebih baik dengan adanya hutan rakyat yang telah dikelola masyarakat. Harapan masyarakat jika anak-anaknya mampu meneruskan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi maka penghidupan anak-anaknya dapat lebih baik dibandingkan orang tuanya. Kegiatan-kegiatan rutin seperti pengajian, arisan, koperasi dan kegiatan olahraga, baik di tingkat desa maupun dusun juga turut membantu proses terjadinya tukar menukar pengalaman dan informasi berusaha tani di masyarakat.
51
4.4. Organisasi dan Struktur sosial masyarakat Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip
Uraian
mengenai
struktur
sosial
masyarakat
dimaksudkan
untuk
memberikan konteks sosial bagi perilaku komunitas yang akan diuraikan dan dijelaskan pada bab selanjutnya. Struktur sosial yang digambarkan mencakup sistem kekerabatan dan budaya, struktur komunitas dan lembaga-lembaga sosial. 4.4.1. Sistem Kekerabatan
Masyarakat Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip sebagian besar (97%) penduduknya mengidentifikasikan diri sebagai orang Jawa. Sistem kekerabatan pada masyarakat Selopuro dan Belikurip dibangun berdasarkan dua jalur, yaitu perkawinan dan keturunan. Pada jalur keturunan mereka menggunakan dua garis, yaitu garis laki-laki dan perempuan. Berdasarkan system ini orang jawa membangun kerabat dari jalur laki-laki (suami) dan jalur perempuan (istri) secara seimbang. Keluarga pihak laki-laki (suami) maupun pihak perempuan (istri) menjadi kerabat anak-anak mereka. Dengan demikian perkawinan bagi orang Jawa bertujuan untuk membangun hubungan sosial antar keluarga. Berdasarkan ikatan
kekerabatannya,
masyarakat
mengenal
kelompok-kelompok
yang
menggambarkan jauh-dekatnya hubungan kekerabatan. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip membangun jaringan sosial tidak selalu atas dasar ikatan kekerabatan. Hubungan-hubungan kekerabatan mungkin dijadikan dasar bagi individu-individu untuk bertindak dalam lapangan tertentu dan situasi tertentu. Namun dalam lapangan yang berbeda dan situasi yang berbeda individuindividu yang sama menggunakan dasar hubungan yang lain, misalnya pertemanan (friendship) atau ketetanggaan. Konteks situasional adalah krusial bagi tindakan individu-individu dalam kehidupan sehari-hari (Suhardjito 2002). Dalam bab-bab selanjutnya dijelaskan pola-pola hubungan antar individu yang tidak semata-mata didasarkan pada ikatan kekerabatan. 4.4.2. Budaya
Masyarakat di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip relatif homogen karena sebagian besar (97%) penduduknya adalah penduduk setempat sehingga
52
kultur Jawa merupakan kultur yang mendominasi kehidupan bermasyarakat dua lokasi tersebut. Bahasa sehari-hari yang biasa digunakan adalah bahasa Jawa. Dalam hal kerukunan hidup beragama pun setiap individu di dua lokasi tersebut memiliki hubungan yang erat satu sama lain. Kerukunan beragama tampak ketika masyarakat saling mengunjungi ketika perayaan hari raya lebaran atau hari raya natal bahkan dalam satu keluarga terdapat anggota keluarga yang memiliki agama yang berbeda dan tetap hidup rukun sebagai suatu keluaga. Budaya kerjasama dan solidaritas terutama keeratan saling terlibat dalam membantu berbagai kegiatan sosial di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip masih kuat. Hal tersebut ditunjukkan dalam berbagai kegiatan sosial seperti gotong royong dalam kegiatan kebersihan lingkungan (pembersihan jalan, parit dan kuburan), pembuatan rumah, hajatan baik jagong manten maupun sunatan, menengok orang sakit dan melayat orang yang meninggal. Kekuatan keeratan hubungan tersebut tidak hanya dengan sesama kelompok, namun dengan di luar kelompok, bahkan diluar komunitas/desa pun masih kuat. Selain kegiatan gotong royong, kegiatan terkait hutan rakyat pun masih kuat. Hal ini ditunjukkan dengan bersedia saling membantu dalam memberikan bibit dan saling mengawasi dalam pengaman
menjaga
keberadaan
dan
kelestarian
hutan
rakyat
dari
pencurian/perusakan. Pengelolaan hutan rakyat oleh keluarga petani berjalan lebih baik karena budaya mengelola hutan sudah tumbuh dan menguat sebagai hasil dari proses yang panjang dari kesadaran keluarga akan kebutuhan ekologi, sosial dan ekonomi. Walaupun kontribusi peran dari berbagai pihak (LSM, pemda, pemerintah nasional, lembaga-lembaga lainnya) saat ini masih kurang dirasakan keluarga petani dalam mendukung pengelolaan hutan rakyat. 4.4.3. Struktur Komunitas
Lapisan sosial tertinggi di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip diduduki oleh pemimpin formal (lurah/kepala desa dan ketua kelompok) dan pemimpin informal (tokoh agama). Lapisan kedua tertinggi diduduki oleh masyarakat yang bekerja di sector formal (PNS). Lapisan selajutnya diduduki oleh masyarakat yang aktif terlibat dalam kegiatan masyarakat, dan lapisan berikutnya adalah golongan masyarakat yang mempunyai kekayaan (pedagang, petani kaya). Lapisan paling bawah ditempati oleh masyarakat pada umumnya.
53
Tokoh yang paling disegani oleh masyarakat Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip adalah pemimpin, baik pemimpin formal maupun informal. Pemimpin formal di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip adalah kepala kelurahan/kepala desa, kepala lingkungan/dusun, dan ketua kelompok. Sedangkan pemimpin informal adalah tokoh agama, tokoh masyarakat (mantan kepala kelurahan/kepala desa, aparat kelurahan/desa, tokoh pemuda, dan tokoh wanita. Kerjasama antara pemimpin formal dan informal di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip sudah berjalan dengan baik. Satu sama lain saling mendukung terutama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kerjasama yang baik ditunjukkan dengan adanya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat, walaupun dilakukan secara individu namun manfaatnya untuk kepentingan bersama terutama dari segi lingkungan. 4.4.4. Lembaga-Lembaga Sosial Masyarakat
Pengelolaan hutan rakyat di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip seharihari dilakukan oleh pemiliknya, keluarga petani hutan rakyat. Terdapat beberapa lembaga seperti
koperasi di tingkat RT; Pemberdayaan dan Kesejahteraan
Keluarga (PKK), Paguyuban Keluarga Berencana (PKB), Karang Taruna, Kelompok Tani (KT) dan Komunitas Petani Sertifikasi (KPS) di tingkat lingkungan; Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) dan Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS) di tingkat kelurahan, dan Tempat Pengelolaan Kayu Sertifikasi(TPKS) yang merupakan unit usaha dari 2 (dua) FKPS (Selopuro dan Sumberejo). a.
Lembaga-Lembaga Hutan Rakyat
Lembaga yang terkait langsung dalam pengelolaan hutan rakyat di Kelurahan Selopuro yaitu KPS, FKPS dan TPKS. Keberadaan anggota KPS adalah semua warga yang berada di lingkungan tersebut, dan merupakan anggota KT, anggota FKPS adalah gabungan dari KPS-KPS yang ada disetiap lingkungan di Kelurahan Selopuro (Tabel 14), dan anggota TPKS adalah semua anggota KPS-KPS yang ada di FKPS Selopuro dan FKPS Sumberejo. Namun sampai saat ini fungsi KPS masih mengikuti kegiatan-kegiatan KT dan belum mempunyai kegiatan khusus KPS terkait HR. Keberadaan KPS hanya diketahui oleh elit tokoh tertentu, dan sebagian besar (5 KPS atau 62,5%) anggota di 8 KPS tidak mengetahui keberadaan KPS, namun yang diketahui hanya keberadaan KT.
54
Fungsi KT masih terbatas pada kegiatan simpan pinjam yang dilakukan melalui pertemuan rutin tiap bulan atau tiap selapanan (35 hari); KPS, FKPS dan TPKS sampai saat ini belum berperan secara optimal. Tabel 14. Nama Komunitas Petani Sertifikasi/Kelompok Tani, Jumlah Anggota dan Luas Lahan Hutan Rakyat di Kelurahan Selopuro dan Belikurip Nama
Jumlah Anggota Luas Lahan (orang) (ha)
No.
Lingkungan/ KPS/KT Ketua Dusun A Kelurahan Selopuro Pagersengon Misman 1. Percabaan Jarak M. Katmo 2. Ngudi Rejeki II Sudan Sukidi 3. Ngudi Rahayu Selorejo Kamidi 4. Ngesti Mulyo Watugeni Sugianto 5. Tani Mulyo Sidowayah Sulistiono 6. Ngudi Rejeki I Pendem Katino 7. Ngudi Mulyo Yatmo Tulakan 8. Ngudi Utomo Jumlah B Desa Belikurip Pagersari Sumbermulyo Satimo 1. 2. Jamprit kulon Ngudimakmur I Pujiyanto 3. Klerong Ngudimakmur II Rakino Banyuripan Sidorejo Karno 4. 5. Jamprit wetan Sri rejeki YB. Satimin 6. Melikan Sidomulyo Paino 7. Soko Mekar sari Lantian Tomi S Jumlah Sumber: Buku II Dokumen Pengajuan Sertifikasi PHBML Kelurahan Desa Belikurip, 2011
Pada
tingkat
kelurahan/desa,
lembaga
yang
41 59 51 14 54 54 72 76 421
45,59 27,14 16,27 19,22 36,18 11,22 58,87 48,28 262,77
74 27,95 34 27,70 60 24,50 83 72,20 87 69,95 41 27,00 62 34,46 441 283,76 Selopuro dan Potensi
mewadahi
kegiatan
pengelolaan hutan rakyat di Selopuro adalah Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS). FKPS merupakan kumpulan dari KPS yang ada di seluruh Kelurahan Selopuro. Sedangkan di Desa Belikurip belum ada lembaga khusus yang resmi mewadahi hutan rakyat seperti di Selopuro. Namun pada dasarnya dari dua lokasi tersebut, lembaga yang mewadahi petani yang mempunyai lahan yang ditanami tanaman kayu-kayuan (hutan rakyat) adalah kelompok tani pertanian pada tingkat lingkungan/dusun, walaupun dalam pelaksanaan pengelolaannya dari mulai perencanaan, pembibitan, penanaman, sampai pemanenan yang mengambil keputusan berada di tingkat petani/individu/rumah tangga. FKPS adalah suatu unit manajemen pengelola hutan rakyat yang berlingkup kelurahan/desa. Forum atau lembaga ini merupakan wadah gabungan dari kelompok (komunitas) yang berlingkup lebih kecil lingkungan/dusun) yang
55
ada di kelurahan/desa yang bersangkutan, yang disebut KPS (Komunitas Petani Sertifikasi). FKPS dibentuk untuk memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan oleh Lembaga Sertifikasi (LS) dalam proses sertifikasi mengenai batasan minimal luasan lahan hutan yang dikelola oleh satu unit manajemen. Oleh karena itu FKPS di Selopuro terbentuk karena untuk memperoleh sertifikat ekolabel. Dengan adanya persyaratan tersebut maka KPS-KPS menggabungkan dirinya dalam FKPS Selopuro. Pengurus FKPS dipilih secara musyawarah dan setiap KPS terwakili dalam kepengurusan organisasi. Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS) mempunyai tugas adalah: (1) melakukan pengawasan
(kontrol) dan mengkoordinasikan KPS-KPS;
(2) menyelesaikan persoalan yang timbul antar Komunitas Petani Sertifikasi (KPS). Komunitas Petani Sertifikasi (KPS) merupakan metamorfosa (bentuk baru) dari kelompok Tani Hutan Rakyat yang telah dikembangkan menjadi suatu unit manajemen berlingkup lingkungan/dusun. Tugas dan tanggung jawab KPS adalah: (1) membuat peta lahan/hutan; (2) membuat dokumen aturan kelola hutan; dan menghitung potensi. Tempat Pengelolaan Kayu Sertifikasi (TPKS) adalah unit usaha dari dua FKPS (Selopuro dan Sumberejo) yang bertugas dan bertanggung jawab mengelola tata niaga kayu sertifikasi. Mekanisme dan hubungan kerja antara KPS, FKPS dan TPKS adalah: (1) KPS merupakan sumber kayu sertifikasi bagi TPKS; (2) KPS bertanggung jawab atas dokumen dasar dalam penjualan kayu sertifikasi kepada TPKS; (3) TPKS bertindak sebagai pembeli kayu KPS; (4) TPKS melakukan kontrak/kerjasama dengan pihak lain dalam memenuhi permintaan kayu setelah ada persetujuan dengan FKPS. Keanggotaan KPS, FKPS dan pemilik lahan adalah bahwa FKPS Desa Selopuro masing-masing beranggotakan 8 (delapan) KPS sesuai dengan banyaknya lingkungan/dusun yang ada di kelurahan yang bersangkutan. b.
Aturan Kelola Hutan Rakyat
Komunitas Petani Sertifikasi tiap lingkungan mempunyai aturan yang telah disepakati bersama oleh anggota. Aturan itu biasanya ditetapkan melalui musyawarah pada waktu pertemuan rutin kelopok. Beberapa KPS menuangkan
56
aturan itu dalam bentuk tertulis. Namun, pada umumnya aturan tersebut hanya berupa kesepakatan tidak tertulis yang sudah biasa dilakukan petani. Secara rinci, aturan-aturan yang dibuat ditiap KPS itu tidak sama antara KPS yang satu dengan KPS yang lain. Akan tetapi pada prinsipnya sama, yaitu untuk mendukung upaya pelestarian fungsi hutan. Aturan itu berisi ketentuan umum yang menyangkut kewajiban dan larangan yang harus ditaanti anggota serta sanksi bagi pelanggar. Aturan-aturan yang ada dalam salah satu KPS, melipitu: (a) setiap anggota diharuskan menghadiri pertemuan; (b) tidak dapat hadir 2 kali pertemuan berturutturut tanpa pemberitahuan, simpanan pokok dihapus dan keluar dari kelompok; (c) setiap tebang satu harus ada penggantinya yang sudah tumbuh; (d) setiap tebangan jangan sampai merusak pohon yang ada disekitarnya; (e) setiap melakukan kegiatan penebangan wajib ijin kepada kepala lingkungan atau kepala kelurahan; (f) setiap musim penghujan diharuskan menanam pohon pada tanah yang masih kosong; (g) tidak dibenarkan mengembala ternak di areal hutan rakyat. Selain aturan-aturan tersebut, juga diatur hak dan kewajiban pada KPS dalam
pengelolaan
hutan
rakyat,
meliputi:
(a)
menilai
laporan
pertanggungjawaban pengurus; (b) turut mengesahkan rencana kegiatan kelompok; (c) melaksanakan rencana kegiatan dan keputusan kelompok; (d) menetapkan dan mengangkat pengurus; (e) ikut membuat perubahan AD dan ART yang diperlukan kelompok; (f) mengingatkan dan menegur pengurus bila terjadi penyimpangan dalam tugasnya. Aturan-aturan tersebut pada dasarnya sudah merupakan kebiasaan/tradisi yang sudah dilaksanakan masyarakat dalam mengelola hutan. Namun, aturan tersebut dibakukan dalam kelompok pada saat pengajuan sertifikasi. Sebagian besar masyarakat (99%) mentaati aturan tidak tertulis (kebiasaan/tradisi). Selain aturan yang disepakati dalam kelompok, terdapat pula aturan yang mengatur petani dalam pemanfaatan (pemanenan) hutan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Wonogiri. Peraturan tersebut dituangkan dalam: (1) Peraturan Bupati Wonogiri No. 1 Tahun 2007 Tentang Retribusi Ijin Pengangkutan Kayu Rakyat di Kabupaten Wonogiri; (2) Surat Bupati Wonogiri Perihal Pengendalian Penebangan dan Peredaran Kayu Rakyat; (3) Sekretariat
57
Daerah Kabupaten Wonogiri No.522.4/38.25 Perihal Pembentukan Tim Pelayanan Izin Menebang Pohon Milik Rakyat Tingkat Kecamatan. Sebagian besar petani mengetahui dan paham terhadap aturan tertulis yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut, hal tersebut ditunjukkan bahwa petani dapat menjelaskan “kalau menebang/menjual kayu harus mematuhi aturan-aturan seperti jenis, ukuran, standar harga kayu dan prosedur pelaksanaannya, seperti jenis jati ukuran keliling setinggi dada yang boleh ditebang minimum 80 cm dan mahoni 90 cm. Prosedur pelaksanaannya petani yang mau menjual kayu lapor pada KPS untuk mendapat surat keterangan, kemudian lapor ke desa untuk mendapat surat ijin tebang dari desa, kemudian pohon yang akan ditebang diperiksa oleh tim dari kecamatan. Namun, dalam melaksanakan aturan tertulis tersebut sebagian besar petani tidak mentaatinya. Alasan tidak mentaaati aturan tersebut, karena sebagian besar petani memanen/menjual pohon ketika dalam keadaan mendesak saja, jadi jika ada kebutuhan mendesak dan harus menunggu pohon sampai sesuai persyaratan aturan tersebut, siapa yang akan menanggung kebutuhan
petani. Selama ini pemerintah mengeluarkan aturan, namun tidak
mengatasi kebutuhan petani. Lain halnya, kalau dengan mengeluarkan aturan tersebut pemerintah pun dapat mengatasi kebutuhan-kebutuhan petani tersebut, seperti adanya bantuan ternak, modal bergilir, insentif bagi yang mempertahankan hutannya dan bantuan lain sesuai kebutuhan petani. Hal-hal teknis yang menyangkut pola penanganan dan pengelolaan hutan seperti misalnya pembibitan, penanaman, dan pemeliharaan tidak dibakukan dalam aturan kelompok. Hal-hal seperti itu keputusannya diserahkan pada masing-masing anggota. c.
Peran dan Tanggung Jawab Pihak Terkait
Dalam proses perjalanan kelompok sejak awal dimulainya
kegiatan
pengembangan hutan rakyat di Kelurahan Selopuro sampai mendapatkan keberhasilannya memperoleh Sertifikat Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML), ada peran para pihak yang terlibat di dalamnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Peran dan tanggungjawab para pihak terkait tersebut, adalah: Departemen Kehutanan, Pemerintah Kabupaten Wonogiri, Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Wonogiri, Lembaga
58
Swadaya Masyarakat (LSM) PERSEPSI, dan lembaga-lembaga lainnya. Masingmasing peran dan tanggung jawab para pihak yang terlibat adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah Tingkat Pusat (Departemen Kehutanan)
Peran dan tanggung jawab pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan adalah melalui unit-unit organisasi dan pelaksana teknis di bawahnya, sejak era Sub Balai RLKT sampai BP DAS sekarang, memberikan dukungan dengan pemberian bantuan program. 2. Pemerintah Wonogiri)
Tingkat
Kabupaten
(Pemerintah
Daerah
Kabupaten
Peran dan tanggung jawab pemerintah daerah tingkat kabupaten dalam rangka menunjang upaya pelestarian hutan rakyat, telah membuat regulasi mengenai retribusi izin pengangkutan kayu rakyat dan mekanisme serta prosedur penerbitan dokumen SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) yang dikukuhkan/disahkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) dan Keputusan Bupati. Peraturan yang sudah di keluarkan Pemda Kabupaten Wonogiri, yaitu: (1) Peraturan Bupati Wonogiri No. 1 Tahun 2007 Tentang Retribusi Ijin Pengangkutan Kayu Rakyat di Kabupaten Wonogiri; (2) Surat Bupati Wonogiri Perihal Pengendalian Penebangan dan Peredaran Kayu Rakyat; (3) Sekretariat Daerah Kabupaten Wonogiri No.522.4/38.25 Perihal Pembentukan Tim Pelayanan Izin Menebang Pohon Milik Rakyat Tingkat Kecamatan. 3. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonogiri (dulu Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertambangan)
Peran dan tanggung jawab Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonogiri (dulu Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertambangan atau LHKP) Kabupaten Wonogiri adalah berperan dalam memberikan bimbimbingan teknis mengenai pengelolaan hutan dan konservasi tanah melalui penyuluhanpenyuluhan yang dilaksanakan oleh Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL). 4. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) PERSEPSI
Peran dan tanggung jawab Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (PERSEPSI) Wonogiri adalah berperan dalam mendampingi dan memfasilitasi kelompok tani dalam setiap tahapan proses sertifikasi, sejak persiapan awal, menata organisasi, sampai memperoleh sertifikat, dan berupaya merintis jalur pemasaran produk sertifikasi.
59
5. Lembaga-Lembaga Lainnya
Beberapa lembaga yang mendukung keberhasilan FKPS Selopuro memperoleh sertifikat PHBML, adalah pemerintah tingkat kelurahan/desa, pemerintah tingkat kecamatan, dan Dinas Pertanian. Lembaga-lembaga tersebut berperan dalam mendukung dan memfasilitasi kelompok tani terkait administrasi dalam pengelolaan hutan rakyat. d.
Lembaga-Lembaga Sosial yang ada di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip
Beberapa lembaga formal yang ada di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip selain lembaga yang khusus terkait hutan rakyat, juga terdapat lembagalembaga sosial lainnya, adalah: koperasi di tingkat RT; Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Paguyuban Keluarga Berencana (PKB), Karang Taruna, dan Kelompok Tani (KT) di tingkat lingkungan/dusun dan tingkat kelurahan/desa; Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), dan Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) di tingkat kelurahan. 1. Koperasi Rumah Tangga (RT) adalah lembaga yang anggotanya dari rumah tangga yang ada pada tingkat kampung. Kegiatannya meliputi arisan, simpan, membahas permasalahan pada tingkat RT dan tukar menukar pengalaman dan informasi. Pertemuan dilaksanakan setiap bulan sekali dan tempat pertemuan di rumah ketua RT. 2. Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) adalah lembaga yang anggotanya ibu rumah tangga. PKK merupakan mitra kelurahan/desa untuk mensosialisasikan
program
pemerintah.
Kegiatannya
meliputi
arisan,
pelatihan-pelatihan yang terkait dengan aktivitas mengurus rumah tangga, seperti memasak, menjahit dan lainnya. Pertemuan dilaksanakan setiap bulan sekali dan tempat pertemuan di rumah ketua lingkungan/dusun. 3. Paguyuban Keluarga Berencana (PKB) adalah lembaga yang anggotanya ibu rumah tangga. Kegiatannya meliputi aktivitas mengurus rumah tangga, seperti kegiatan posyandu. Pertemuan dilaksanakan setiap bulan sekali dan tempat pertemuan di rumah ketua lingkungan/dusun.
60
4. Karang Taruna adalah lembaga yang anggotanya anak muda. Namun, karena di dua lokasi tersebut sebagian besar anak muda (generasi muda) pada merantau ke kota, maka yang menjadi anggotanya adalah orang tua (generasi tua). Lembaga karang taruna ini, ada pada tingkat lingkungan/dusun dan ada juga pada tingkat kelurahan/desa. Kegiatannya meliputi kegiatan kepemudaan. Pertemuan dilaksanakan setiap bulan sekali dan tempat pertemuan di rumah ketua lingkungan/dusun dan di kantor kelurahan/desa. 5. Kelompok Tani (KT) di Kelurahan Selopuro adalah lembaga yang bergerak di bidang pertanian dan anggotanya semua warga yang berada di tingkat lingkungan, sedangkan anggota KT di Desa Belikurip adalah tidak semua warga yang berada di tingkat dusun masuk anggota KT. Kegiatannya meliputi kegiatan pertanian (adanya bantuan subsidi pemerintah seperti benih, bibit, pupuk, dan lainnya). Pertemuan dilaksanakan setiap bulan sekali dan tempat pertemuan di rumah ketua kelompok tani. 6. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan Lembaga Keamanan Masyarakat Desa (LKMD) adalah lembaga yang anggotanya dari tokoh-tokoh informal masyarakat kelurahan/desa. Pertemuan dilaksanakan setiap bulan sekali dan tempat pertemuan di kantor LPM/LKMD. 7. Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sedyo Makmur dan Gapoktan Beliurip adalah
lembaga yang merupakan gabungan kelompok tani yang ada di
Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip. Kegiatannya meliputi kegiatan pertanian (memfasilitasi adanya bantuan subsidi pemerintah seperti benih, bibit, pupuk, modal dan lainnya). Pertemuan dilaksanakan setiap dua bulan sekali dan tempat pertemuan di kantor kelurahan/desa. 4.5. Sejarah Hutan Rakyat Wonogiri
Lokasi penelitian di Kabupaten Wonogiri termasuk dalam Zona Pegunungan Seribu (Sewu) atau sering disebut Pegunungan Kapur Selatan, yaitu salah satunya Kelurahan Selopuro Kecamatan Batuwarno Kabupaten Wonogiri. Sejarah hutan rakyat di Pegunungan Kapur Selatan, menurut Awang et. al. (2001) dapat dibagi menjadi empat periode, yaitu: (1) sebelum tahun 1960 periode kritis; (2) 1960-1970 periode penanaman mandiri; (3) 1970-1985 periode intensifikasi; dan (4) 1985-sekarang periode permudaan alam.
61
Periode I (sebelum tahun 1960), yang disebut juga dengan periode kritis, ditandai dengan hamparan batu bertanah yang kritis dan hanya ditumbuhi rumput ataupun semak pada lahan milik maupun lahan negara. Jarang sekali dijumpai tanaman kayu-kayuan. Masyarakat mempertahankan hidupnya dengan menanam tanaman pangan seperti jagung dan ketela pohon, serta padi bila musim penghijauan tiba. Akibatnya kondisi lahan semakin parah dan tanah menjadi jenuh sehingga tidak lagi dapat menghasilkan tanaman pangan. Sementara itu tanaman kayu lokal, seperti trembesi, sengon terus ditebang untuk dijual sebagai kayu bakar. Uang hasil penjualan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kondisi ini semakin memperpuruk kekritisan lahan, dan masyarakat semakin miskin, kekurangan pangan dan terjadilah busung lapar. Periode 2 (1960-1970), karena kondisi yang mendesak tersebut, masyarakat beserta tokoh masyarakat kemudian mencari solusi. Lahan-lahan yang sudah jenuh ditanami dengan tanaman kayu-kayuan, diawali dengan penanaman mahoni dan jati. Pada periode ini penanaman tanaman kayu-kayuanoleh masyarakat dilakukan secara swadaya. Para tokoh masyarakat menanami lahan miliknya dengan tanaman jati dan mahoni, dengan bibit yang didapatkan dari anak-anakan kayu alam, baik di lingkungan maupun dari lahan Negara yang sudah berhutan. Kegiatan para tokoh mencari bibit dan menanam ini diikuti oleh warga masyarakat lain. Kegiatan inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya kelompok tani. Pada periode 3 (1970-1985), yang disebut penanaman insentif, pemerintah sudah mulai campur tangan dalam pembinaan, melalui beberapa proyek seperti MALU ( Mantri-Lurah) yang dilakukan oleh perum PERHUTANI dan proyek penghijauan oleh kementerian kehutanan. Bantuan penghijauan oleh pemerintah dilakukan melalui penyebaran bibit akasia maupun katalina (sejenis lamtoro) melalui udara. Masyarakat melakukan tumpangsari tanaman kayu dengan tanaman pangan yang masih bisa tumbuh. Masyarakat mulai melakukan tata guna lahan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan lokal mereka. Pada periode ini juga ditandai dengan banyaknya terbentuk bermacam-macam kelompok tani dan Kebun Bibit Desa (KBD).
62
Pada periode 4 (1985-2002), ditandai dengan melimpahnya anakan alami di bawah tegakan tua, baik jati maupun mahoni. Masyarakat melakukan permudaan dan pengayaan dengan mendistribusikan anakan alami secara merata, dengan melalui teknik puteran dan cabutan. Anakan-anakan alami ini ditanam dengan jarak yang tidak beraturan, mengingat kondisi lahan yang bergelombang dan berbatu. Pada periode ini Kebun Bibit Desa yang dikenalkan oleh pemerintah sebagai upaya menjamin ketersediaan bibit penghijauan di desa tidak lagi efektif karena masyarakat melakukan permudaan dengan menggunakan anakan alami yang sudah ada. Hal tersebut dilakukan karena dinilai lebih efisien, lebih murah dan adaptasi bibit lebih baik dibandingkan bibit yang berasal dari Kebun Bibit Desa. Pada periode empat ini mulai dilakukan penebangan kayu baik untuk keperluan sendiri maupun untuk mendapatkan uang tunai. Walaupun penebangan dilakukan, masyarakat tetap melakukan penghutanan kembali secara swadaya. Menurut Awang et.al (2001) pada mulanya keberhasilan gerakan penanaman tanaman keras oleh masyarakat tidak dapat dilepaskan dari peranan kelompok tani. Pekerjaan pembuatan hutan rakyat, mulai dari penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan dilakukan bersama oleh anggota kelompok. Dalam kelompok juga dibuat pengaturan termasuk sanksi bagi yang tidak mematuhinya, misalnya kewajiban menanam sepuluh batang kayu bagi yang tidak ikut gotong royong. Namun dalam perkembangan selanjutnya ketika pembangunan hutan rakyat sudah berhasil, aktivitas kelompok menurun. Pertemuan kelompok masih berjalan, tetapi kebiasaanya sudah berbeda jauh dengan awal pembentukannya. Saat ini pertemuan kelompok masih berjalan, tetapi kebiasaanya sudah berbeda jauh dengan awal pembentukannya. Saat ini pertemuan kelompok hanya digunakan untuk arisan simpan-pinjam. Awang et.al (2001) mengatakan bahwa menurunnya dinamika kelompok selain disebabkan oleh tidak adanya pembinaan dari pemerintah, juga karena praktek hutan rakyat berbasis lahan milik individu sehingga peranan kelompok lemah. Ikatan kelompok hanya didasarkan pada “paguyuban” sebagai wujud dari social rasionallity mereka.
63
Sejak tahun 2002 hingga sekarang hutan rakyat berkembang pesat, Gerakan Nasional REhabilitas Hutan dan Lahan (GNRHL, yang sering disebut GERHAN), yang dicanangkan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan sejak 2002 telah meningkatkan luas hutan rakyat di daerah-daerah kritis, termasuk di Wonogiri. Sertifikasi hutan rakyat di Wonogiri dimulai pada tahun 2003, dengan pengembangan kapasitas organisasi hutan rakyat melalui kerjasama dengan Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (PERSEPSI), Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan World Wildlife Fund (WWF) untuk sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) di Kelurahan Selopuro Kecamatan Batuwarno Kabupaten Wonogiri pada 2004. 4.5.1. Sejarah Hutan Rakyat Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip
Kondisi hutan rakyat di Kelurahan Selopuro yang saat ini sudah banyak dipenuhi oleh pepohonan sangat berbeda dengan kondisi sebelumnya. Dahulu, lahan di desa ini termasuk lahan kritis yang gersang, gundul, tandus, dan terdiri dari batuan bertanah dengan kelerengan yang cukup curam. Menurut Mulyadi dan Soepraptohardjo (1975), diacu dalam Rosa (2003), lahan kritis sering diartikan sebagai lahan-lahan yang secara potensial tidak mampu berperan dalam salah satu atau beberapa fungsi, yaitu: (1) Unsur produksi pertanian (fungsi pertanian), (2) Media pengatur tata air (fungsi hidrologi), dan (3) Media pelindung alam lingkungan (fungsi orologi). Dengan kondisi demikian, petani menjadi tidak mau memanfaatkan lahan, sehingga banyak ditumbuhi alang-alang dan lambat laun kelangkaan lahan pertanian produktif mulai dirasakan seiring bertambahnya jumlah penduduk. Untuk mengatasi hal tersebut, mereka mulai menanami lahan dengan tanaman pangan, antara lain: padi, jagung, dan kedelai pada musim penghujan. Namun dengan keadaan lahan yang kurang mendukung tanpa diiringi tindakan silvikultur dan konservasi tanah, membuat usaha tersebut menjadi sia-sia dan hanya menghasilkan erosi serta penurunan produktivitas tanah. Oleh karena itu, usaha untuk menanami lahan dengan tanaman pangan dihentikan sementara waktu. Seiring berjalannya waktu, kondisi pun semakin parah karena tidak hanya kelangkaan pangan yang terjadi tetapi juga kesulitan mendapatkan air terutama saat musim kemarau tiba.
64
Pada tahun 1972, ada proyek WFP (World Food Program) sebagai upaya bantuan pangan dalam rangka memperbaiki lingkungan melalui rehabilitasi. Kegiatan rehabilitasi tersebut berupa penanaman pohon dengan jenis eukaliptus (Eucalyptus alba), akasia (Acacia auriculiformis), dan kaliandra (Caliandra calothyrsus) pada lahan kritis seluas ± 50 ha. Namun, karena belum terbentuk
suatu kesadaran terhadap arti penting hutan dan karena konsentrasi utama petani hanya pada tanaman pangan, maka program ini dapat dikatakan tidak berhasil. Pohon-pohon yang telah ditanam tidak dipelihara bahkan ada juga beberapa yang dicabut. Hal ini terjadi karena pengetahuan mereka yang rendah sehingga tidak sedikit dari mereka beranggapan bahwa tidak akan ada yang bisa dimakan bila lahannya ditanami kayu. Respon yang kurang baik ini tidak menyurutkan semangat para penggiat desa yang memiliki kesadaran terhadap pentingnya pohon bagi kelangsungan hidup mereka. Akhirnya, sedikit demi sedikit para penggiat desa yang dipelopori oleh Misman dan Tayat saat itu, mendekati warga dengan memberi pandangan pentingnya menanam pohon sekaligus melakukan penyulaman dengan jenis jati, mahoni, dan akasia pada pohon hasil proyek yang tidak tumbuh. Usaha itu pun berbuah manis dengan seiring berkembangnya kesadaran warga. Mereka menyadari bahwa dengan tidak mencabut pohon dan membiarkannya hidup hingga besar, ternyata dapat bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka, diantaranya yaitu sebagai bahan bangunan rumah atau untuk dijual. Pada tahun 1976-1977 pemerintah mengadakan program penghijauan di Kabupaten Wonogiri melalui proyek Reboisasi dan Penghijauan (INPRES) dengan memberikan bantuan bibit tanaman akasia (Acacia auriculiformis) sebanyak 400 batang/ha, pupuk, dan upah penanaman, serta biaya pemeliharaan selama satu tahun. Kelurahan Selopuro yang juga termasuk penerima program tersebut, sejak saat itu mulai menanam dengan lebih terarah dan terprogram. Kegiatan ini meliputi seluruh wilayah desa pada lahan-lahan yang tidak lagi produktif, ditinggalkan, dan liar. Melalui kegiatan ini, petani juga dibekali dengan penyuluhan tentang pengetahuan konservasi tanah, sehingga lahan yang mulanya berbatu diubah menjadi petak-petak berteras guna mencegah erosi.
65
Untuk mempermudah pengaturan dalam mengelola hutan rakyat yang sudah mulai berkembang tersebut, dibentuklah suatu kelompok tani pada tahun 1985 bernama Percabaan yang menaungi Dusun Pagersengon. Melalui kelompok tani ini, tegakan hutan rakyat menjadi semakin rapat, hijau, dan asri. Pembentukan kelompok tani pun diikuti oleh dusun-dusun lain di Kelurahan Selopuro, sehingga terbentuklah kelompok tani hutan rakyat di setiap dusun. Hingga pada akhirnya, atas fasilitas LSM PERSEPSI dan dukungan WWF (World Wide Fund for Nature), kelompok tani di Kelurahan Selopuro bersama dengan Desa Selopuro
berhasil memperoleh dan meraih sertifikasi PHBML LEI yang pertama di Indonesia pada tahun 2004. Pengelolaan hutan rakyat di Kelurahan Selopuro Kecamatan Batuwarno sehari-hari dilakukan oleh pemiliknya, yaitu keluarga petani hutan rakyat. Lembaga yang seharusnya terkait langsung dalam pengelolaan hutan rakyat di Kelurahan Selopuro yaitu KPS, FKPS dan TPKS. Keberadaan anggota KPS adalah semua warga yang berada di lingkungan tersebut, dan merupakan anggota KT, anggota FKPS adalah gabungan dari KPS-KPS yang ada ditiap lingkungan di Kelurahan Selopuro, dan anggota TPKS adalah semua anggota KPS-KPS yang ada di FKPS Selopuro dan FKPS Sumberejo. Namun sampai saat ini fungsi KPS masih mengikuti kegiatan-kegiatan KT dan belum mempunyai kegiatan khusus KPS terkait HR. Keberadaan KPS hanya diketahui oleh elit tokoh tertentu, dan sebagian besar anggota di 8 KPS tidak mengetahui keberadaan KPS, tapi yang diketahui hanya keberadaan KT. Fungsi KT masih terbatas pada kegiatan simpan pinjam yang dilakukan melalui pertemuan rutin tiap bulan atau tiap selapanan (35 hari); KPS, FKPS dan TPKS sampai saai ini belum berperan optimal. 4.5.2. Sistem Pengelolaaan Hutan Rakyat di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip
Awang et.al (2001) menyebutkan bahwa sesuai dengan susunan dan letaknya hutan rakyat di pegunungan Kapur Selatan (termasuk Wonogiri), dapat digolongkan menjadi tiga kelompok. Ketiga kelompok hutan tersebut adalah: (1) tanaman keras seperti jati dan mahoni, atau jenis lainnya ditanam hanya disepanjang batas lahan milik, dan tanah di antara pohon-pohon tersebut ditanami
66
tanaman pangan; (2) tanaman keras ditanam di seluruh lahan tegalan dan pekarangan tanpa ada tanaman pertanian semusim seperti tanaman pangan; (3) tanaman keras ditanam di batas-batas dan di sepanjang teras, untuk mengurangi erosi tanah. Dalam mengelola hutan rakyat, masyarakat di Kelurahan Selopuro Kecamatan Batuwarno dan Desa Belikurip Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri masih menggunakan silvikultur tradisional, yang meliputi pemilihan jenis, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, perlindungan dan penebangan. Pemilihan jenis tanaman yang ditanam oleh masyarakat pada hutan rakyat sangat dipengaruhi oleh kesesuaian lahan, riap pertumbuhan, ketersediaan tenaga kerja, harga jual dan pemeliharaan. Tiga jenis kayu yang banyak ditanam oleh masyarakat di kedua lokasi penelitian adalah jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia mahogany) dan akasia (Acacia auriculiformis). Awal mulannya penanaman tanama keras ini sebagai langkah awal untuk memeperbaiki struktur tanah, karena diharapkan akr pohon-pohonan tanaman keras dapat memecah batuan kapur dan daun-daunnya dapat menjadi kompos. Persiapan lahan terutama dilakukan pada saat pertama kali membangun hutan rakyat dengan membuat terasering teras bangku pada lahan-lahan tertentu yang miring. Dengan berbekal batu yang berlimpah disekitarnya, masyarakat mengumpulkan batu-batu, memecah dan menyusun menjadi penguat dinding teras bangku, membuat lubang tanam dan membuat batas lahan. Penanaman sebagian besar dilakukan tanpa adanya pengaturan jarak tanam, karena penanaman sebagian besar hanya dilakukan di antara sela-sela batu. Pada lahan-lahan yang memungkinkan, lahan yag relative datar atau landai dibuat jarak tanam 3x1 meter. Diduga pengaturan jarak tanam ini diketahui masyarakat berdasarkan pengalaman melihat apa yang telah dilakukan Perum Perhutani, di mana beberapa warga bekerja sebagai buruh tanam (Awang et.al). Perlindungan tanaman terhadap ternak dilakukan dengan melarang pengembalaan di areal hutan milik orang lain. Ternak sapi dan kambing umumnya dikandangkan di pekarangan rumah. Cara ini serjalan sangat efektif dan dipatuhi oleh semua warga. Gangguan pencurian sama sekali tidak pernah terjadi. Pengamanan dilakukan dengan “tepo selero” (tenggang rasa) yang selalu disosialisasikan lewat forum-forum seperti kelompok tani maupun forum desa lainnya.
67
Pemanen dilakukan tidak menggunakan system pengaturan hasil. Pohon ditebang saat dibutuhkan, yaitu untuk keperluan membangun rumah sendiri, maupun keperluan yang memerlukan biaya besar seperti keperluan pendidikan, anak, hajatan, pengobatan di rumah sakit dan lainnya. Sehingga system ini sering dikatakan “tebang butuh” yaitu ditebang pada saat dibutuhkan. Sekalipun demikian bagi masyarakat pohon merupakn tabungan yang kan digunakan sebaga alternative terakhir, jika sumberdaya lainnya sudah tidak ada (seperti ternak, ayam, kambing, sapi atau sumberdaya lainnya). Menurut pengakuan masyarakat, mereka memilih pohon sebagi alternative terakhir untuk ditebang, karena dianggap paling menguntungkan baik dari segi pemeliharaan maupun harga atau nilai jual. Pohon tidak membutuhka pemeliharaan yang merepotkan seperti halnya ternak, yang perlu diberi makan dua kali dalam satu hari. Demikian juga halnya dengan harga kayu, terutama kayu jati, sangat baik sebagai tabungan yang bernilai tinggi, tidak jauh berbeda dengan harga jual ternak. Sekalipun petani hutan rakyat lebih senang menggunakan system “tebang butuh” tetapi mereka tetap memeperhatikan system tebang pilih, yaitu sejumlah pohon yang ditebang untuk dijual atupun dipakai sendiri dan tidak menggelompok dalam satu tempat. Sebenarnya sudah ada aturan untuk menebang kayu jati yang sudah berumur minimal 15 tahun dan berdiameter di atas 20 cm, tetapi aturan ini belum bisa dilaksanakan sepenuhnya karena adanya system “tebang butuh” sehingga kayu jati yang paling banyak ditebang berada pada kisaran diameter 16 cm. menurut pengakuan petani, biasanya mereka menebang kayu rata-rata dua kali per tahun, dengan jumlah volume disesuaikan kebutuhan, yaitu jika kebutuhan kecil pohon yang ditebang jumlah dan volumenya relative kecil, sedangkan bila kebutuhan besar pohon yang ditebang jumlah dan volumenya juga besar. Untuk menjamin kelestarian, petani yang menebang kayu diwajibkan menanam lahannya 2-5 batang untuk setiap batang pohon yang ditebang. Metode pengaturan hasil hutan rakyat ini sangat spesifik dan berbeda dengan metode petani setempat, yang penting adalah terjamin kelestarian baik kelestarian kontinu memanen produksi kayu miliknya (Arupa, 1999). Pemasaran kayu hasil hutan rakyat dilakukan secara langsung oleh petani ke pedagang pengumpul lokal kemudian diteruskan ke pedagang pengumpul besar. Biaya pengurusan surat-surat seperti SKSHH (Surat Keterangan Syahnya Hasil Hutan) dan lain-lain biasanya ditanggung oleh pedagang. Petani tidak
68
mengeluarkan biaya sepeserpun untuk pengurusan dokumen tersebut dan menerima pembayaran harga kayu sesuai dengan kesepakatan dengan pedagang,. Pedagang pengumpul besar kemudian memasarkan kayu tersebut ke Industri mebel dan bahan bangunan atau ke tempat pembakaran gamping baik yang berada di daerah sekitarnya tau ke luar kota. Daerah luar kota yang menjadi tujuan pemasaran kayu antara lain adalah Klaten, Jepara, Pekalaongan, Tegal, Brebes, Solo dan Bandung. Masyarakat menyukai pola ini karena selain mereka langsung dapat menerima uang kontan, yang mereka butuhkan pada saat itu, juga dinilai lebih praktis. Dengan cara ini mereka tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi, biaya penebangan, dan urusan administrasi serta biaya pengangkutan, yang dinilai cukup merepotkan bagi masyarakat petani. Dalam hal kelembagaan, hampir tidak ada perbedaan yang nyata dilihat dari sisi organisasi, kepemimpinan, maupun aturan dan sanksi yang diberlakukan dalam pengelolaan hutan rakyat di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip. Dari hasil penelitian yang dilakukan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) di beberapa desa di Pegunungan Kapur Sealatan ditemui bahwa pembangunan hutan rakyat tidak lepas dari peranan kelompok tani, namun peranan individu kelompok tani lebih besar dibandingkan kelompok tani. Kelompok tani sebagai suatu organisasi mengacu pada organisasi modern dimana pengurus organisasi minimal terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota. Kelompok tani dipilih oleh anggota dengan mempertimbangkan pendidikan, kemauan dan kemampuan bekerja, status sosial dan posisi dalam masyarakat sehingga banyak ditemui pengurus kelompok tani yang menjabat aparat desa (Ketua RT/RW dan Kepala Dusun). Kegiatan kelompok tani ini biasanya meliputi kegiatan pertanian secara umum, baik tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, bahkan perikanan.
107
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa variabel modal sosial masyarakat Desa Belikurip baik modal sosial struktural maupun modal sosial kognitif tidak berpengaruh terhadap performansi hutan rakyat. Dengan demikian, bahwa performansi hutan rakyat tidak dipengaruhi oleh modal sosial struktural dan modal sosial kognitif. Persamaan regresi dengan metode Enter disajikan pada Tabel 29. Tabel 29. Persamaan regresi pengaruh modal sosial terhadap performansi hutan rakyat di Desa Belikurip. Modal Sosial
Persamaan Regresi
R
Struktural (S), Kognitif (K)
Y = 5,120 + 0,446 S – 0,874 K
0,192TN
Peranana (P), Aturan (A), Jaringan (J)
Y = 4,505 + 1,091 P + 0,436 A – 0,646 J
0,221 TN
Kepercayaan (K), Solidaritas (S)
Y = 5,155 + 1,299 K - 1,632 S
0,302 TN
Keterngan : TN : Tidak Nyata
Berdasarkan Tabel 29 modal sosial masyarakat tidak berpengaruh nyata terhadap performansi hutan rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa performansi hutan rakyat pada Komunitas Petani Desa Belikurip tidak dipengaruhi oleh modal sosial baik modal sosial struktural maupun modal sosial kognitif. Berdasarkan uraian diatas bahwa modal sosial masyarakat Kelurahan Selopuro berpengaruh nyata terhadap pengelolaan hutan rakyat terutama dalam menjaga performasinya. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan hutan rakyat di Kelurahan Selopuro pada awalnya dibangun atas dasar kesadaran petani yang dilakukan secara bersama-sama pada lahan masing-masing rumah tangga (individu) dan mendapat dukungan dan bimbingan dari PKL. Sedangkan di Desa Belikurip, bahwa modal sosial masyarakat tidak berpengaruh nyata terhadap pengelolaan hutan rakyat terutama dalam menjaga performasinya. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan hutan rakyat di Desa Belikurip pada awalnya tidak dibangun atas dasar kesadaran petani yang dilakukan secara bersama-sama, namun dibangun atas dasar masing-masing rumah tangga (individu).