IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Kawasan BTNGP ditetapkan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 6186/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional yang berkedudukan di Kabupaten Ketapang, Propinsi Kalimantan Barat. Kawasan Gunung Palung ditunjuk sebagai kawasan suaka alam melalui Staat Blaad No.4/13IB/1937 tanggal 29 April 1937 dengan luas 30 000 Ha. Kemudian, melalui SK Menteri Pertanian No: 101 A/Kpts /VIII/12/1981 tanggal 10 Desember 1981 luas kawasan Gunung Palung berubah menjadi 90 000 Ha dengan status kawasan sebagai Suaka Margasatwa Gunung Palung (SMGP). Pada Pekan Konservasi Alam Nasional III di Bali tanggal 24 Maret 1990, kawasan SMGP dideklarasikan sebagai taman nasional dengan luas 90 000 ha melalui pernyataan Menteri Kehutanan Nomor : 448/Menhut-VI/1990 tanggal 6 Maret 1990 (Zamzani et al. 2009a). Selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.721/Menhut-II/2010 tanggal 26 Desember 2010 kawasan ini ditetapkan sebagai KPHK TNGP.
4.2 Letak Kawasan TNGP Secara geografis TNGP terletak diantara 109o 54’-110o 28’ BT dan 01o 03’-01o 22’ LS. Sedangkan secara administrasi pemerintahan, taman nasional ini terletak di dua wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara. TNGP termasuk dalam enam wilayah kecamatan, yaitu : Kecamatan Matan Hilir Utara di bagian selatan, Kecamatan Sukadana di bagian barat, Kecamatan Simpang Hilir di bagian utara, Kecamatan Sungai Laur di bagian timur, dan Kecamatan Sandai, dan Nanga Tayap di bagian tenggara (Zamzani et al. 2009a).
4.3 Bio-fisik Kawasan Topografi Kawasan TNGP sangat beragam mulai dari dataran rendah sampai ke dataran tinggi yang curam. Areal TNGP yang mememiliki elevasi tertinggi, yaitu Puncak Gunung Palung (1 116 m dpl) dan Gunung Panti (1 050 m dpl). Kawasan ini memiliki 7 (tujuh) tipe ekosistem yang terbentang dari pantai sampai
38
pegunungan, meliputi ekosistem hutan bakau, hutan rawa, hutan gambut, hutan tanah aluvial, hutan hujan tropis dataran rendah, hutan pegunungan, dan hutan sub alpin (BTNGP 2009a). Setiap ekosistem tersebut menjadi habitat bagi flora dan fauna. Sedikitnya terdapat 4 000 jenis tumbuhan berkayu, 70 jenis diantaranya termasuk Dipterocarpaceae, kurang lebih 72 jenis mamalia; 178 jenis burung, 14 jenis diantaranya adalah burung pelatuk dan tujuh jenis burung enggang (Curran et al. 2004).
4.4 Sosial, Ekonomi, dan Budaya Penduduk di desa penyangga TNGP sebagian besar berasal dari suku Melayu yang beragama Islam, sedangkan suku lain yang ada, yaitu: suku Dayak, Jawa, Bugis, dan Tionghoa. Mata pencaharian utama sebagian besar penduduk di sekitar TNGP adalah bertani yang masih subsisten. Selain itu, terdapat juga masyarakat yang mempunyai pekerjaan berbisnis, usaha perorangan, pegawai swasta, dan pegawai negeri. Tingkat pendidikan penduduk di desa sekitar TNGP relatif masih rendah, sebagian besar hanya lulusan SD bahkan ada yang tidak sekolah atau tidak tamat SD (Zamzani et al. 2009a).
4.5 Organisasi 4.5.1 Visi dan Misi Pengelolaan Visi dan misi pengelolaan TNGP periode 2010-2014, yaitu: Mewujudkan kawasan TNGP yang lestari dan meningkatkan fungsi pemanfaatannya yang dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam upaya mewujudkan visi tersebut, ditetapkan misi sebagai berikut: (a) memantapkan status legal formal kawasan TNGP; (b) memantapkan perlindungan, pengawetan sumberdaya alam hayati dan rehabilitasi sebagai upaya menjaga keutuhan kawasan TNGP melalui peningkatan partisipasi masyarakat; (c) mengembangkan pemanfaatan sumberdaya alam hayati secara lestari yang mempunyai nilai ekonomis untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat; (d) memantapkan pengembangan ekowisata, jasa lingkungan, dan penelitian di kawasan TNGP; dan (e) mengembangkan kelembagaan, kemitraan, dan kerjasama pengelolaan TNGP .
39
4.5.2 Struktur dan Tata Hubungan Kerja Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007, struktur organisasi BTNGP termasuk ke dalam balai taman nasional tipe B. Untuk mendukung dan mengoptimalkan pelaksanaan tupoksi, maka melalui Surat Keputusan Kepala Balai Nomor SK.42/BTNGP1/2012 ditetapkan struktur organisasi BTNGP yang menyatakan bahwa untuk setiap Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) dibentuk Resort Pengelolaan Taman Nasional (RPTN), dibentuknya Urusan Penelitian di bawah kordinasi Kasubbag Tata Usaha, serta menunjuk Kelompok Jabatan Fungsional, Koordinator Pejabat Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), dan Polisi Kehutanan (Polhut). Struktur organisasi BTNGP dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Struktur organisasi BTNGP.
4.5.3 Pegawai Keadaan pegawai BTNGP berjumlah 80 orang yang terdiri dari 75 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan 5 (lima) orang tenaga harian lepas. Secara kuantitas dan kualitas jumlah pegawai tersebut masih belum memadai bila dibandingkan dengan volume kerja maupun luas kawasan yang memerlukan pengawasan secara intensif (BTNGP 2012b). Selain itu, terdapat permasalahan
40
kepegawaian, antara lain: (a) kurangnya tenaga non struktural, khususnya tenaga perencanaan dan evaluator; (b) kurangnya tenaga fungsional Polhut; dan (c) masih kurangnya kemampuan SDM, khususnya dalam perpetaan dan pembuatan data base (BTNGP 2011).
Sebaran pegawai berdasarkan jabatan dan penempatan
dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran pegawai BTNGP berdasarkan jabatan dan penempatan No
Jabatan
Penempatan Balai SPTN BKO
Jumlah
1
Struktural
2
1
0
3
2
Non Struktural
8
5
0
13
3
Polhut
7
11
20
38
4
PEH
3
11
0
14
5
Penyuluh
1
2
0
3
6
Karyasiswa
4
0
0
4
7
Tenaga Harian Lepas
5
0
0
5
Jumlah
30
30
20
80
Keterangan
BKO BKSDA Kalbar
Sumber: BTNGP 2012b
4.6 Keuangan Pengelolaan keuangan BTNGP terdiri atas anggaran dan pendapatan. Anggaran dalam bentuk Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang bersumber dari dana Rupiah Murni (RM) dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sedangkan pendapatan dapat bersumber dari penerimaan pajak, PNBP, dan penerimaan hibah (BTNGP 2012a). Terdapat peningkatan anggaran, realisasi belanja, dan pendapatan dalam periode tahun 2007 sampai dengan tahun 2011, yaitu sebesar 14%. Realisasi anggaran menggambarkan perbandingan antara DIPA dengan realisasinya, yang mencakup unsur-unsur pendapatan, belanja, selama periode tahun berjalan. Pendapatan hanya berasal dari PNBP, sementara realisasi belanja terdiri atas RM dan PNBP. Grafik anggaran, realisasi belanja, dan pendapatan BTNGP dalam lima tahun terakhir disajikan pada Gambar 9.
41
Gambar 9 Anggaran dan pendapatan BTNGP (Sumber: LAKIP BTNGP).
4.7 Program dan Kegiatan Program konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan hutan tahun 2010-2014, yaitu: 1) pengembangan pemanfaatan sumberdaya alam hayati, wisata alam, dan jasa lingkungan; 2) inventarisasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, 3) pemantapan kawasan; 4) pengembangan bina cinta alam dan kader konservasi; dan 5) pengembangan kelembagaan, sistem informasi, sarana prasarana taman nasional (BTNGP 2012b). Berdasarkan kebijakan, program, dan isu strategis, kegiatan pengelolaan TNGP tersaji pada Tabel 9. Tabel 9 Kegiatan pokok pengelolaan TNGP tahun 2010-2014 No
Kegiatan Pokok
No
Kegiatan Pokok
1 Pengukuhan dan Zonasi Kawasan
7 Pembangunan Sarana dan Prasarana
2 Perencanaan dan Strategi Pendanaan
8 Pembinaan dan Pengembangan Daerah Penyangga
3 Perlindungan Kawasan
dan
Pengamanan 9 Peningkatan Koordinasi, Integrasi, dan Pengembangan Kerjasama/Kolaborasi Pengelolaan Kawasan
4 Pengawetan dan Pemanfaatan 10 Peningkatan Peran Serta Potensi Keanekaragaman Hayati Pemberdayaan Masyarakat
dan
5 Pengendalian Kebakaran Hutan
11 Pengembangan Investasi Pemanfaatan Wisata Alam dan Pengusahaan Jasa Lingkungan
6 Rehabilitasi Kawasan Hutan
12 Pengelolaan Database (Sumber: BTNGP 2009)
42
Pelaksanaan program dan kegiatan BTNGP, tergantung ketersediaan anggaran dalam bentuk DIPA BTNGP. Persentase realisasi anggaran belanja kegiatan diluar gaji dan tunjangan pegawai periode tahun 2007-2011 dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Alokasi anggaran belanja kegiatan tahun 2007-2011 (LAKIP BTNGP).
4.8 Pemanfaatan Kondisi Lingkungan di TNGP 4.1.1 Wisata Alam Kawasan TNGP memiliki beberapa lokasi Obyek Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA), yaitu Lubuk Baji, Batu Barat, Riam Berasap, dan Pantai Batu Genting. Lokasi yang telah dikelola dan dikunjungi oleh wisatawan domestik dan mancanegara, yaitu: Lubuk Baji dan Batu Barat. Sedangkan Riam Berasap dan Pantai Batu Genting belum dikelola optimal, sehingga wisatawan belum berkunjung secara rutin. Daya tarik utama berupa pengalaman mengamati keindahan alam hutan hujan tropis dengan hidupan liarnya, seperti: orangutan, bekantan, kelasi, dan klampiau. Pengunjung umumnya melakukan kegiatan observasi, treking, dan bersampan (Zamzani et al. 2009a). Sistem pengelolaan wisata dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan instansi terkait dan masyarakat secara aktif, yaitu sebagai guide, porter, penyedia homestay, dan penyediaan transportasi lokal. Pengelolaan pengunjung melalui penyediaan paket wisata dilakukan bekerjasama dengan Koperasi Pegawai BTNGP, yaitu KPN Nasalis. Wisatawan yang berkunjung ke TNGP sampai
43
dengan saat ini jumlahnya relatif masih sedikit (Zamzani et al. 2009a). Jumlah kunjungan dari tahun 1985 sampai 2006 sebanyak 372 wisatawan yang tersebar ke barbagai tempat di kawasan TNGP dan rata-rata kunjungan pertahun sebesar 16,9 wisatawan (Rosita 2007). Informasi jumlah pengunjung dari tahun 2007 sampai 2011 dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11 Pengunjung wisata alam di TNGP (diolah dari Lakip BTNGP).
4.1.2 Penelitian Pemanfaatan TNGP untuk tujuan penelitian telah dimulai sejak tahun 1985 yang saat itu berstatus Cagar Alam dan dipusatkan di Stasiun Riset Cabang Panti (SRCP) yang berada di lembah antara Gunung Palung dan Gunung Panti (Zamzani et al. 2009a). Luas areal penelitian di SRCP sekitar 2.100 hektar dimana terdapat tujuh tipe ekosistem yang secara jelas dapat dibedakan, yaitu: hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, hutan tanah alluvial, hutan dataran rendah berbatu, hutan dataran rendah berbatu-pasir, hutan dataran tinggi berbatu, dan hutan pegunungan (Marshall 2004).
Banyaknya tipe ekosistem tersebut
memberikan kesempatan kepada peneliti untuk membandingkan berbagai perilaku, karakter, dan jenis pada setiap obyek yang diteliti (Cannon & Leighton 2004). Sejak ditetapkannya unit pengelola TNGP pada tahun 1998, SRCP menjadi bagian
dalam
pengelolaan
taman
nasional.
Pada
tahun
2002,
terjadi
kesalahpahaman antara BTNGP dengan peneliti, sehingga penelitian di SRCP
44
dihentikan. Kegiatan penelitian dibuka kembali tahun 2007 dengan melibatkan berbagai pihak dalam wadah konsorsium pengelolaan yang terdiri atas BTNGP, Pemda Ketapang, Yayasan Palung, dan Flora and Fauna Indonesia Program. Dalam perkembangan konsorsium tidak berjalan semestinya, sehingga untuk sementara pengelolaan SRCP dilakukan oleh KPN Nasalis. Penelitian di SRCP dilakukan oleh peneliti asing dan domestik dengan topik terkait dengan konservasi biodiversitas,
khususnya
orangutan,
kelasi,
kelampiau,
dan
tumbuhan.
Perkembangan jumlah peneliti dari tahun 2007-2011 disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12 Perkembangan jumlah peneliti di TNGP periode tahun 2007-2011.
4.1.3 Air TNGP merupakan kawasan yang menjadi sumber air bersih bagi masyarakat di Kabupaten Kayong Utara dan Kabupaten Ketapang. Air tersebut menjadi air baku Perusahaan Air Minun Dalam Kemasan (AMDK) dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) (Zamzani et al. 2009a). Potensi sumber daya air TNGP di wilayah Kecamatan Sukadana dan Simpang Hilir, yaitu sebesar 4,084 m3/detik atau 128 790 580,212 m3/tahun (BTNGP 2006). Potensi tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan air masyarakat sekitar TNGP sebesar 97 m3/tahun/KK dengan kesediaan untuk membayar (WTP) sebesar Rp 63 345/m3. Nilai tersebut menunjukkan manfaat ekonomi air untuk masyarakat sekitar TNGP sebesar Rp 81 910 717 056/tahun (BTNGP 2009d).
45
Pemanfaatan air di TNGP secara komersil dilakukan oleh sektor swasta untuk pengusahaan AMDK dan depot air isi ulang serta pemanfaatan air non komersil untuk kebutuhan hidup sehari-hari, yaitu: air rumah tangga, PDAM, pertanian, perikanan dan kebutuhan lainnya. Terdapat 25 pemanfaat air di TNGP, yaitu: 13 perusahaan air minum dan 12 pemanfaatan air non komersil (BTNGP 2010). Berdasarkan surat edaran Dirjend PHKA No.SE.03/IV-Set/2008, pemanfaat air tersebut harus membentuk suatu forum yang merupakan wadah para pihak untuk meningkatkan kerjasama dalam pengelolaan taman nasional. Oleh karena itu, pada tahun 2010 pemanfaat air di TNGP telah membentuk Forum Tirta Palung Lestari (Fortipari). Informasi pemanfaat air di TNGP disajikan pada Gambar 12.
Gambar 13 Pemanfaat air komersil dan non komersil di TNGP (BTNGP 2010). 4.1.4 Karbon Vegetasi TNGP yang masih alami memberikan jasa lingkungan yang penting, baik pada tingkat lokal, regional, maupun global. Pada tingkat lokal, pepohonan memberi perlindungan terhadap tanah dan menahan air, yang memberi efek pendinginan atau kesejukan dalam cuaca panas. Pada tingkat regional, evavotranspirasi dari vegetasi atau pepohonan TNGP akan dilepas ke atmosfir dan kembali sebagai hujan. Pada tingkat global, kawasan hutan TNGP memiliki peran sebagai penyerap dan penyimpan karbon (carbon sink), sehingga dapat mengurangi laju pemanasan global (BTNGP 2005). Upaya untuk mencegah dan menanggulangi perubahan iklim global yang mengacu pada Protokol Kyoto dapat dilakukan melalui perdagangan emisi karbon (Soemarwoto 2001).
46
Kemampuan ekosistem TNGP sebagai penyerap atau penyimpan karbon dapat dijual kepada negara industri yang ingin mengurangi tingkat emisinya melalui mekanisme REDD, REDD+, atau CDM (Angelsen & Atmadja 2010). Stok karbon di TNGP diperkirakan sebesar 21 582 000 ton dengan rata-rata potensi setiap hektar sebesar 218 ton (Stanley, Chatellier, & Cummins 2011). Sedangkan, potensi penyerapan karbon TNGP dengan menggunakan indeks pendugaan Brown dan Pearce (1994), yaitu hutan primer 255 ton/hektar, hutan sekunder dan areal terbuka 104 ton/hektar diperkirakan sebesar 18 118 000 ton/tahun (BTNGP 2005). Potensi tersebut memberikan manfaat ekonomi sebesar 47 000 USD per tahun (Gunawan & Kristianty 2010). Potensi pendapatan proyek karbon TNGP sebagai penyerap emisi CO2 dapat dilihat pada Tabel 10. Nilai tersebut merupakan manfaat TNGP yang diberikan kepada masyarakat atas kualitas ekosistemnya dan diharapkan dapat menjadi salah satu potensi sumber pendanaan dalam pengelolaan TNGP. Tabel 10 Potensi pendapatan proyek karbon tahunan di TNGP Ekstraksi Emisi CO2 (m3) (mt CO2 e)
Skenario Harga karbon (Asumsi 1 USD = Rp 9 000) USD 2,5/ton
USD 5/ton
USD 10/ton
Rp 22 500
Rp 45 000
Rp 90 000
15 000
27 500
Rp 337 500 000
Rp 675 000 000 Rp 1 350 000 000
30 000
55 000
Rp 675 000 000
Rp 1 350 000 000 Rp 2 700 000 000
60 000
110 000
Rp 1 350 000 000
Rp 2 700 000 000 Rp 5 400 000 000 (Sumber: Stanley, Chatellier & Cummins 2011)