BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1
Desa Katikuwai Desa Katikuwai Kecamatan Matawai Lapau Kabupaten Sumba Timur,
merupakan salah satu desa yang ada di dalam kawasan TNLW, dengan ketinggian 400 – 1225 meter diatas permukaan laut. Luas wilayah desa Katikuwai sebesar 1.561 Ha. Desa Katikuwai berbatasan dengan Resort Katikutana. Desa Katikuwai terdiri dari 4 dusun, yaitu dusun Matawai Watu, Pingi Ai Luri, Matawai Pataku, dan Laimbonah. Keadaan topografi Desa Katikuwai terdiri dari daerah pegunungan dan berbukit-bukit. Orbitasi jarak dari ibukota kabupaten, sejauh 96,5 km dan jarak dari ibu kota kecamatan sejauh 35 km. Kondisi sarana perhubungan masih sulit, dengan kondisi transportasi angkutan pedesaan yang berupa truk atau yang sering disebut bis kayu, yang didalamnya dicampur antara manusia dan hewan yang hendak diangkut (Gambar 3 ). Bis kayu yang ada hanya 2x seminggu datang ke Desa Katikuwai.
Gambar 3 Transportasi bis kayu (truk). 4.1.1 Karakteristik masyarakat Berdasarkan hasil data kependudukan di Desa Katikuwai pada tahun 2010, diketahui bahwa penduduknya berjumlah 1342 orang yang terdiri dari 269 kepala keluarga, dengan rincian: a. Laki-laki
: 665 orang
b. Perempuan
: 677 orang
21
Berdasarkan klasifikasi umurnya terbagi dalam 4 klasifikasi umur, yaitu: a. 0 – 5 tahun
: 262 orang
b. 6 – 15 tahun
: 331orang
c. 16 – 60 tahun
: 637 orang
d. > 60 tahun
: 112 orang
Data penduduk menurut mata pencahariannya terdiri dari: a. Petani pemilik tanah
: 344 orang
b. Petani penggarap tanah
: 344 orang
c. Pengusaha
: 10 orang
d. Buruh bangunan
: 25 orang
e. Pegawai Negeri Sipil
: 9 orang
Menurut data terbaru yang terdapat pada laporan tahunan Desa Katikuwai pada tahun 2011, diketahui bahwa terdapat peningkatan jumlah penduduk Desa Katikuwai menjadi 1.632 jiwa, yang terdiri dari 291 kepala keluarga, dengan pembagian jenis kelamin yaitu sebanyak 747 laki-laki dan 785 perempuan yang tersebar dalam 4 dusun, 8 RW, dan 16 RT. Masyarakat Desa Katikuwai termasuk dalam etnis Sumba, yang terletak Di Sumba Timur. Desa Katikuwai yang terdiri dari 4 dusun (Matawai Watu, Pingi Ai Luri, Matawai Pataku, Laimbonah), 16 RT, dan 18 RW, berbaur menjadi satu meskipun mereka memiliki nama keluarga atau yang biasa disebut marga yang berbeda-beda. Nama keluarga yang ada yaitu: Tawiri, Anakariung, Anawaru, Lenggit, Nipa, Watu, Ngguada, Ana Ma Eri, Ana Mburung, dan Ana Purak. Kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Katikuwai berjalan tentram, damai, dan tanpa membeda-bedakan antara marga yang satu dan lainnya. Pola kehidupan gotong-royong telah mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari, contohnya adalah kebiasaan ketika akan memulai menggarap sawah, kebun ataupun ladang. Orang terdekat seperti saudara atau tetangga akan datang untuk sekedar membantu membersihkan lahan yang akan digarap sebelum ditanami, dan yang memiliki lahan biasanya menyediakan suguhan berupa makanan dan minuman yang tersedia seperti jenis umbi-umbian dan minuman berupa kopi hitam, bahkan tidak jarang pemilik lahan juga menyediakan makan siang untuk orang-orang yang telah membantunya. Pada saat panen, biasanya sang pemilik lahan akan
22
membagi sedikit hasil panennya untuk keluarga dekat ataupun tetangga jika hasil panen berlebih. Jarak antara rumah masyarakat relatif jarang. Biasanya jarak rumah berjarak kurang lebih 10 m antara penduduk yang satu dengan yang lainnya. Namun tidak jarang ada rumah penduduk yang jaraknya hingga ratusan meter. Hal ini tergantung dari seberapa luas pekarangan, ladang, sawah, dan kebun yang dimiliki masyarakat yang letaknya berdekatan dengan rumah. Semakin luas lahan yang dimiliki masyarakat, semakin jauh pula jarak antar rumah. Sumba Timur termasuk Desa Katikuwai masih menganut sistem kerajaan. Masih banyak bangsawan berdarah biru yang juga keturunan raja. Namun, sistem kerajaannya tidak mempengaruhi terhadap kebijakan di suatu wilayah ataupun pada semua golongan masyarakat, tetapi mereka sangat dihargai karena keturunan darah biru. Sesuai perkembangan zaman, setiap keturunan raja yang memiliki panggilan nama Rambu yang ada pada nama depan. Setiap keturunan raja juga menjalani kehidupan masyarakat pada umumnya seperti sekolah dan bekerja di tempat yang mereka inginkan. Perbedaannya, mereka memiliki pesuruh yang disebut “hamba”. “Hamba” juga dipilih berdasarkan keturunan terdahulu yang juga merupakan seorang “hamba”. Pada kehidupan sehari-hari “hamba” memiliki tugas untuk melayani keturunan raja dalam kehidupannya, akan tetapi “hamba” tetap disekolahkan oleh keturunan raja dan dibebaskan untuk bekerja sesuai bidang yang diminati. Kedudukan seorang “hamba” seumur hidup dan berlaku kepada keturunan-keturunan selanjutnya. Contohnya, meskipun dalam kehidupan sehari-hari seorang “hamba” memiliki jabatan seorang dokter, tetapi dalam silsilah keluarganya, “hamba” tetap harus siap melayani seorang keturunan raja apabila sedang dibutuhkan. Pola hidup keseharian
masyarakat Desa Katikuwai diawali dengan
meminum kopi hitam dan mengonsumsi jagung atau umbi-umbian seperti singkong, ubi jalar, dan keladi untuk sarapan sebelum mereka pergi ke kebun, sawah, atau ladang bagi para petani. Pukul 08.00 pagi para petani biasanya baru pergi menggarap lahan mereka dan istirahat makan siang di sawah, kebun, atau ladang mereka. pada saat makan siang, para petani membawa bekal lauk-pauk dari rumah. Para petani yang kebanyakan laki-laki, biasanya pulang dari sawah, kebun,
23
dan ladang hingga paling lama pukul 05.00 sore hari. Setelah itu, para petani biasanya beristirahat sejenak dan pergi berkumpul ke rumah tetangga, saudara ataupun rumah yang sedang dikunjungi tamu dari luar, untuk sekedar berbincangbincang mulai pukul 07.00 malam hari hingga tengah malam, lalu mereka pulang ke rumah masing-masing untuk istirahat, namun banyak juga yang menginap di rumah yang mereka kunjungi, kemudian esok harinya melanjutkan pekerjaannya masing-masing seperti bertani ataupun beternak. Para ibu rumah tangga, dimulai pukul 05.00 dini hari, mereka telah memulai aktivitas menyiapkan kayu bakar untuk memasak air panas, menyiapkan sarapan, dan memasak makanan untuk makan siang yang bahan-bahannya diambil dari sekitar pekarangan atau kebun yang tersedia bahan pangan seperti bunga pepaya, daun singkong dan jenis tumbuhan lainnya yang dapat dimakan. Aktivitas selanjutnya, para ibu rumah tangga akan mengasuh anaknya di rumah jika memiliki anak yang masih kecil, akan tetapi jika memungkinkan, mereka akan membantu suaminya menggarap lahan di sawah, kebun, dan ladang. Makanan yang diberikan kepada anak balita berupa makanan yang juga biasa dikonsumsi oleh orang dewasa seperti nasi dan sayuran. Kebiasaan mengonsumsi buah-buahan pada pagi hari, ataupun buah dijadikan sebagai sarapan telah terbiasa sejak dini. Kebiasaan ini dikarenakan kondisi persediaan makanan yang banyak tersedia berupa buah-buahan, baik yang sudah dipetik maupun mengambil langsung dari pohon yang ada di sekitar lingkungan rumah, contohnya adalah buah jeruk besar (Citrus maxima), mangga (Mangifera indica), pisang (Musa paradisiaca) dan kedondong (Spondias dulcis). Kebiasaan sarapan berupa buah-buahan telah menjadikan kondisi mereka tahan terhadap sakit perut. 4.1.2 Kepercayaan Masyarakat sekitar kawasan TNLW merupakan masyarakat etnis Sumba yang dahulu menganut kepercayaan Marapu. Sekarang, kepercayaan Marapu tidak lagi dijalankan sebagai kepercayaan melainkan hanya sebagai adat istiadat. Kampung Lama dipercaya sebagai kampung nenek moyang mereka. Tradisi dan adat istiadat yang masih kuat dengan upacara adat seperti Belis untuk perkawinan, upacara penyembelihan untuk kematian, dan upacara adat lainnya. Belis merupakan unsur perkawinan berupa mas kawin.
24
Belis dianggap sebagai na buah ma an mone, simbol yang menyatukan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan mereka sebagai suami istri. Apabila seorang laki-laki telah menyerahkan sejumlah belis yang telah ditentukan dan disepakati bersama kepada pihak keluarga gadis, berarti keanggotaan perempuan itu telah berpindah dari kelompok kekerabatan orang tuanya ke kelompok kekerabatan suaminya. Wujud atau jenis belis yang harus diserahkan berupa emas, perak, uang, binatang ternak (kerbau, kuda, babi), serta benda lain berupa bahan makanan (beras atau jagung). Besar kecilnya belis yang diserahkan dipengaruhi oleh status sosial keluarga pihak perempuan. Siapa yang akan menerima bagian belis pun ditentukan dalam musyawarah keluarga, biasanya orang tua si gadis, paman, saudara tua, dan ketua adat. Menurut Tunggul (2005), kepercayaan Marapu atau roh leluhur adalah wujud kepercayaan etnik/suku Sumba, di daratan Sumba Provinsi Nusa Tenggara Timur. Budaya dan religi sulit untuk dipisahkan dalam budaya Marapu. Dalam budaya spiritual marapu, terdapat nilai norma atau kaidah kemasyarakatan yang disebut: “Lii Ndai”, atau institusi sosial dalam keesaan Marapu di Sumba, yakni seperangkat norma atau aturan-aturan resmi dalam kepercayaan marapu yang mengatur tentang tata krama, adat, sopan santun, tata susila aturan-aturan yang dikeluarkan para pimpinan, penguasa, pemerintah tradisional yang sedang berkuasa pada suatu tata ruang tertentu yang disebut nuku hara (hukuman aturan/ peraturan). Jika ditaati dikatakan baik, terpuji, membanggakan dan merasa puas. Sebaliknya, jika dilanggar mendapat sanksi sosial, dikatakan buruk, dicela, dicemooh dan menimbulkan konflik serta benturan sosial (Tunggul 2005) 4.1.3 Kondisi budaya Menurut Gennep (1965) diacu dalam Kartiwa (1992) upacara-upacara adat yang dilaksanakan oleh masyarakat dibedakan atas tiga tujuan pokok: 1.
Memisahkan (separation), misalnya dalam upacara kematian. Dalam upacara tersebut untuk memisahkan orang yang sudah meninggal dari orang-orang yang masih hidup.
2.
Menyatukan
(incorporated),
misalnya
dalam
upacara
perkawinan.
Menyatukan antara pasangan pengantin laki-laki dengan pengantin
25
perempuan, maupun menyatukan keluarga pihak laki-laki dengan pihak perempuan. 3.
Tradisi atau peralihan (transition). Misalnya dalam upacara asah gigi, khitanan yaitu upacara peralihan dari masa sebelum mempunyai anak, mengandung hingga kelahiran bayi. Menurut Tunggul (2005), terdapat beberapa upacara adat yang masih
dijalankan oleh masyarakat di Sumba Timur, antara lain : 1.
Upacara 4 Bulan Kehamilan Dilaksanakan Hamayang (sembahyang) di pohon kesambi di depan rumah
Umbu, seseorang yang dipandang atau dipercaya dalam pelaksanaan kegiatan adat seperti upacara adat. Upacara ini dilakukan untuk mendoakan janin yang ada di rahim agar diberi kekuatan. 2.
Upacara Pemberian Nama Dilaksanakan pada hari ke-4, 8, 16 sejak kelahiran bayi. Upacara ini
dilakukan dengan membersihkan bale-bale dan memberikan nama kepada bayi yang baru lahir. Selain itu, dilakukan juga pemotongan seekor babi dan 20 ekor ayam. 3.
Upacara Perkawinan Upacara
perkawinan
merupakan
suatu
rangkaian
tahapan
menuju
perkawinan. Tahapan tersebut antara lain: a.
Lihat Padang Tahapan ini disebut juga tahap perkenalan. Tahapan ini dilakukan calon
mempelai pria kepada calon mempelai wanita untuk meminta izin kepada keluarga pihak wanita untuk melakukan pendekatan kepada calon mempelai wanita. Pada tahapan ini calon mempelai pria membawa 2 ekor kuda (jantan dan betina). b.
Mei Pakarai (lamaran) Tahapan ini merupakan tahapan calon mempelai pria sudah meminta izin
untuk menikahi calon mempelai wanita. Pada tahapan ini, calon mempelai pria membawakan sejumlah 5 ekor kuda dan 10-15 ekor babi.
26
c.
Upacara Perkawinan Pada upacara adat perkawinan, calon mempelai pria memberikan sejumlah
hewan ternak kepada calon mempelai wanita sebagai mas kawin. Jumlah hewan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan/ musyawarah keluarga. 2.
Upacara Kematian Upacara ini dilakukan sejak seseorang tersebut meninggal sampai waktu
menguburkan tiba. Sejak hari kematian hingga upacara kematiannya (setahun setelah kematian), setiap harinya dilakukan upacara pukul gong. Ritual tersebut dilakukan setiap hari untuk memberitahukan bahwa ada kematian di keluarga yang melakukan ritual pukul gong.Ritual pukul gong dilakukan selama 3-6 bulan. Upacara tarik batu dilakukan sebagai upacara penguburan kalangan raja Sumba. Persiapan yang dilakukan antara lain pemilihan batu untuk kubur batu, persiapan hewan ternak untuk diberikan kepada sanak saudara, serta persiapan lainnya. Hewan ternak yang diberikan antara lain kuda, kerbau, dan babi. Hewan ternak tersebut diberikan kepada keluarga perempuan dari pihak raja maupun Mama. Penguburan raja dilakukan di halaman depan rumah. Terdapat beberapa simbol di atas makam raja, diantaranya buaya, penyu, ayam dan bebek merupakan simbol raja.Simbol lainnya disesuaikan dengan karakter raja yang dimakamkan (Gambar 4).
Gambar 4 Makam raja. Selain upacara-upacara adat tersebut adapula upacara adat lain yang ada di masyarakat Sumba Timur khususnya Desa Wahang, yaitu karaki. Karaki merupakan suatu rangkaian upacara adat sebagai ucapan rasa syukur kepada pencipta atas hasil panen yang didapat pada musim sebelumnya. Disamping
27
upacara-upacara adat yang menjadi budaya khas Sumba, bangunan seperti rumah adat dan kubur batu merupakan daya tarik tersendiri yang dimiliki masyarakat Sumba. Selain itu, hasil kerajinan seperi kain tenun serta beragam aksesoris juga menjadi daya tarik tambahan bagi kebudayaan Sumba khususnya Sumba Timur. Hasil kerajinan masyarakat juga dapat menjadi salah satu upaya pemberdayaan masyarakat dan akan menghasilkan penghasilan tambahan bagi masyarakat.
4.1.4 Aksesibilitas Desa Katikuwai yang berada di dalam kawasan Taman Nasional LaiwangiWanggameti dapat ditempuh melalui 3 jalur yaitu: 1.
Jalur Udara Pesawat Merpati F- 100 atau Pesawat Trigana setiap hari dengan jarak tempuh selama 1 – 1,5 jam, dapat melalui Kupang maupun Denpasar.
2.
Jalur Laut a. KM Fery – ASDP : Kupang- Ende- Waingapu dengan waktu tempuh selama ± 36 jam Kupang- Aimere- Waingapu dengan waktu tempuh selama ± 32 jam b. K AWU – PT.PELNI: Kupang - Ende - Waingapu dengan waktu tempuh selama ±22 jam Benoa - Waingapu dengan waktu tempuh selama ±36 jam
3.
Jalur Darat Waingapu – Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti dapat di tempuh dengan kendaraan dengan waktu tempuh ±1-1,5 jam Kantor Balai Taman Nasional Laiwangi – Wanggameti terletak di
Waingapu, untuk mencapai Desa Katikuwai diperlukan waktu 4-5 jam dari Waingapu dengan menggunakan kendaraan roda empat dan kondisi jalan yang berliku dan berlumpur apabila musim hujan.
28
4.2
Taman Nasional Laiwangi Wanggameti Taman Nasional Laiwangi Wanggameti (TNLW) terletak di Pulau Sumba
yaitu di barat daya Propinsi NTT, tepatnya sekitar 96 km di sebelah selatan P. Flores, 295 km di sebelah barat daya P. Timor dan 1.125 km di sebelah barat laut Darwin Australia; dan secara geografis terletak diantara 120˚03’-120˚19΄ BT dan 9˚57΄- 10˚11΄ LS (BTNLW 2010). Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.576/KptsII/1998 tanggal 3 Agustus 1998, luas kawasan TNLW adalah 47.014,00 ha. Secara administratif kawasan ini terletak di 4 (empat) wilayah kecamatan, yakni: Kecamatan Tabundung, Pinu Pahar, Karera, dan Matawai Lapau.
Kawasan
TNLW berbatasan langsung dengan wilayah pemukiman dan budidaya dari 16 (enam belas) desa pada empat wilayah kecamatan tersebut. Berdasarkan 16 desa yang berada di sekitar kawasan TNLW, di dalamnya termasuk dua desa di dalam kawasan, yakni adalah Desa Ramuk, Kecamatan Pinu Pahar dan Desa Katikuwai Kecamatan Matawai Lapau. Kedua wilayah desa tersebut berstatus enclave pada kawasan TNLW (BTNLW 2010). 4.2.1 Topografi Pada umumnya keadaan topografi di TNLW berbukit, sampai dengan keadaan bergunung dengan memiliki lereng-lereng agak curam sampai sangat curam. Topografi yang agak datar sampai bergelombang terdapat di bagian tenggara dan selatan dari TNLW, sedangkan yang lainnya memiliki topografi berbukit sampai bergunung dengan memiliki lereng-lereng agak curam sampai dengan lereng yang curam. Sedangkan untuk kelompok hutan, TNLW termasuk dalam kelas lereng 3 yaitu agak curam (15%-25%), kelas lereng 4 yaitu curam (25%-45%) dan kelas lereng 5 yaitu sangat curam (≥ 45%) (BTNLW 2010). 4.2.2 Geologi dan Tanah Sumba adalah pulau karang terangkat yang datarannya rendah seluas 11.057 km2. Bagian utaranya berupa dataran tinggi yang relatif rata, diselingi oleh jurang sempit yang curam. Dataran pesisir dipenuhi oleh cekungan-cekungan dangkal berupa rawa-rawa yang hanya berair sementara. Profil pulau Sumba yang merupakan pulau karang ini mengakibatkan wilayah ini relatif kurang subur
29
dibandingkan pulau-pulau lain seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan dan pulaupulau lainnya. Hal ini dikarenakan proses pelapukan bebatuan karang yang belum sampai menjadi tanah mengakibatkan kesuburan rendah yang hanya bisa ditumbuhi oleh rerumputan. Proses tersebut yang membuat sebagian besar kawasan TNLW didominasi oleh padang rumput yang rawan kebakaran saat musim kemarau (BTNLW 2010). Kawasan TNLW memiliki formasi geologi terdiri dari endapan permukaan aluvium, batuan sedimen (Formasi Kananggar, Formasi Paumbapa dan Formasi Tanahroong), batuan gunung api (Formasi Masu dan Formasi Jawila) serta batuan terobosan granit (Balai TNLW 2010). 4.2.3 Iklim Menurut peta curah hujan Pulau Sumba Skala 1: 2.000.000 (Verhandelingen No.42 Map.II Tahun 1951), tipe iklim di Pulau Sumba bervariasi dari C sampai dengan F. Untuk kawasan TNLW keadaan curah hujan berkisar antara 100-1500 mm.
Berdasarkan
sistem
klasifikasi
Schmidt-Ferguson
kawasan
hutan
Wanggameti termasuk daerah beriklim kering dengan kelembaban 71% (BTNLW 2010). 4.2.4 Hidrologi Di Pulau Sumba terdapat 7 (tujuh) Daerah Aliran Sungai (DAS) yang enam diantaranya berada di dalam kawasan TNLW, yaitu: DAS Nggongi, DAS Lailunggi, DAS Linggit, DAS Kambaniru, DAS Tondu dan DAS Wahang. Sungai–sungai ini tidak pernah kering sepanjang tahun, hanya debitnya yang berkurang pada musim kemarau (BTNLW 2010). 4.2.5 Ekosistem Tipe ekosistem kawasan TNLW cukup beragam yakni: ekosistem hutan hujan, ekosistem savana dan ekosistem hutan musim, yang mewakili tipe-tipe ekosistem utama pulau Sumba, kecuali ekosistem mangrove. Tipe-tipe ekosistem kawasan TNLW tersebut dicirikan oleh perbedaan kondisi vegetasi penyusunnya (BTNLW 2010).
30
4.2.6 Flora Hasil penelitian Darma dan Peneng (2007) dalam BTNLW (2010) mencatat berbagai spesies pohon antara lain jambu hutan (Eugenia jamboloides), pulai (Alstonia scholaris), taduk (Sterculia foetida), beringin (Ficus benjamina), kenari (Canarium asperum), pandan (Pandanus sp.). johar (Glochidion rubrum), kayarak (Magnolia sp.), watangga (Elaeocarpus shaericus), takumaka aweata (Nauclea spp.), wangga (Ficus spp.), aik papa (Harmsiopanax aculeatus), aik tibu (Lindera polyantha), Labung (jambu-jambuan) (Syzygium spp.), Laru (Garcinia celebica). kalauki (Calophyllum sulattri), bakuhan (Podocarpus imbricarus), Podocarpus neriifolius), wata kamambi (Rauvolfia sp.) yang merupakan salah satu jenis tumbuhan langka, kanduru ara kayu putih (Palaquium foetida) atau merah (Palaquium ferox), lebung (Syzygium anticepticum), suria (Dysoxylum sp.), tada malara (Euodia latifolia), Bischofia javanica, Engelhardia spicata, Weinmannia blumei, Polyosma integrifolia, pandan (Pandanus tectorius), aik uwu (Trema orientalis), maka wada (Ehretia javanica), enau (Arenga pinnata).Tumbuhan pemanjat antara lain rotan (Calamus ciliaris), oru bata (Daemonorop sp), Raphidopora sp., Pandanus linearis, Ficus spp., Piper spp., Rubus muluccanum, Rubus resifolius, Dinochloa sp. dan Passiflora sp (BTNLW 2010). 4.2.7 Potensi tumbuhan di dalam kawasan Taman Nasional LaiwangiWanggameti (TNLW) Berdasarkan data potensi tumbuhan yang berada dalam kawasan TNLW (BTNLW 2010), sebagian besar pemanfaatan tumbuhan yang diketahui hanya sebagai kayu bangunan saja, namun menurut beberapa literatur, Terdiri dari 102 spesies tumbuhan di dalam kawasan TNLW yang memiliki 3 potensi, yaitu sebagai tumbuhan pangan, obat, juga sebagai tumbuhan pangan fungsional. Namun demikian, hanya 8 spesies tumbuhan yang juga dimanfaatkan masyarakat Desa Katikuwai sebagai tumbuhan pangan, obat dan pangan fungsional (Lampiran 14). Spesies tumbuhan yang sudah dimanfaatkan yaitu kalumbang (Ceiba pentandra), kayu manis (Cinnamomum burmanii), kanjilu (Ficus variegata), pisang (Musa paradisiaca), pandan (Pandanus tectorius), sirih (Piper betle), kesambi (Schleichera oleosa), dan gaharu (Aquilaria malaccensis). Kalumbang (Ceiba pentandra) yang bagian kulit kayunya dimanfaatkan sebagai obat cacing.
31
Menurut Orwa (2009), kulit kayu tumbuhan ini dapat dimanfaatkan sebagai obat sakit kepala, dan diabetes, sedangkan bagian daunnya untuk mengobati batuk, penguat rambut, menghilangkan panas dalam, dan penyubur rambut. Beberapa tumbuhan juga memiliki potensi sebagai obat yang tidak banyak diketahui masyarakat.
4.2.7.1 Potensi tumbuhan pangan di dalam kawasan TNLW Berdasarkan potensinya, terdapat 89 pesies tumbuhan di dalam kawasan TNLW yang termasuk tumbuhan pangan. Spesies tumbuhan pangan di dalam kawasan TNLW yang buahnya dapat dimakan diantaranya: Pau omang (Mangifera laurina), Kahi omang (Canarium denticulatum) Wai rara (Bischofia javanica) dan lainnya (Lampiran 11). Wai rara merupakan tumbuhan yang memiliki rasa asam dan masih berasal dari hutan. Spesies tumbuhan pangan ini dapat menambah keanekaragaman pangan bagi masyarakat sekitar hutan.
4.2.7.2 Potensi tumbuhan obat di dalam kawasan TNLW Potensi tumbuhan yang dapat dijadikan obat di dalam kawasan TNLW terdiri dari 70 spesies tumbuhan (Lampiran 12), diantaranya: Muruwu (Pseuderanthemum acuminatum) yang bagian daunnya dapat dmengobati luka, borok, bisul, peluruh air seni, setelah melahirkan, demam, diare, gangguan usus (Lemmens 2003). Selain itu, jamur (Ganoderma sp.) ternyata memiliki potensi yang besar sebagai obat, yaitu dapat memperbaiki kembali sistem kekebalan tubuh, menormalkan tekanan darah tinggi maupun rendah, mencegah stroke, antioksidan, anti nyeri, anti radang, anti alergi, menurunkan kadar lemak, kolesterol dan gula darah, menyembuhkan bronchitis dan hepatitis, menekan efek samping kemoterapi/radiasi (Pearson 2010). 4.2.7.3 Potensi tumbuhan pangan fungsional di dalam kawasan TNLW Teridentifikasi 23 spesies tumbuhan yang berada di kawasan TNLW berpotensi sebagai pangan fungsional (Lampiran 13). Wihi kalauki (Calophyllum soulatrri) merupakan salah satu spesies tumbuhan yang buahnya dapat dimakan, selain itu Daun, bunga dan biji dapat dijadikan sebagai treatment AIDS,
32
mengobati sakit mata, sakit kulit, dan rematik. Bagian kulit kayu dan getahnya juga dapat mengobati diare dan digunakan setelah melahirkan (Lemmens 2003). Spesies tumbuhan tada muru (Terminalia supitiana) bagian bijinya dapat dimakan seperti buah kenari, selain itu, air rebusan akarnya digunakan untuk mengobati beser, radang selaput lendir usus dan mejen (KLH Sulut 2011). Tumbuhan Yerik Rundu (Citrus hystrix), buahnya bisa digunakan sebagai bumbu masak, bahan kue, manisan, sedangkan kulit buah dan daun dapat dijadikan sebagai penyedap masakan, dan air daging buah dapat mengobati batuk dan juga sebagai antiseptik. 4.2.8 Fauna Potensi fauna yang terdapat di Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti yaitu 182 jenis burung, 22 jenis mamalia, tujuh jenis amfibi dan 29 jenis reptil. Tercatat juga 115 jenis kupu-kupu termasuk 3 jenis kupu-kupu endemik Nusa Tenggara. Burung endemik TNLW yaitu burung julang sumba (Aceros everetti), pungguk wengi (Ninox rudolfi), punai sumba (Treron tyesmannii) dan walik rawa manu (Pthilinopus roherty). Selain itu juga terdapat elang (Haliastur indus), ayam hutan (Gallus varius), burung dara (Columba vitiensis), perkici dada kuning (Trichoglossus haematodus), kakatua sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata), gemak sumba (Turnix everetti), nuri (Lorius domicella), sikatan sumba (Ficedula harterti), kepodang sungu sumba (Coracina dohertyi) dan madu sumba (Nectarinia buettikoferi). Taman nasional ini juga merupakan habitat dari hewan liar seperti kera ekor panjang (Macaca fascicularis), babi hutan (Sus sp.), biawak (Varanus salvator) dan ular sanca timor (Phyton timorensis) (BTNLW 2010).